• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diare 2.1.1 Definisi Diare - Hubungan Kepadatan Lalat, Personal Hygiene dan Sanitasi Dasar dengan Kejadian Diare pada Balita di Lingkungan I Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan Kota Medan Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diare 2.1.1 Definisi Diare - Hubungan Kepadatan Lalat, Personal Hygiene dan Sanitasi Dasar dengan Kejadian Diare pada Balita di Lingkungan I Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan Kota Medan Tahun 2015"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diare

2.1.1 Definisi Diare

Menurut Depkes RI (2011), diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih dari tiga kali dalam satu hari. Diare merupakan penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi buang air besar lebih dari biasanya (> 3 kali sehari) disertai dengan perubahan konsistensi tinja menjadi cair atau lembek, dengan/tanpa darah dan/atau lendir (Suraatmadja, 2010).

Menurut Irianto (2014), diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, serta frekuensinya lebih dari 3 kali sehari.

2.1.2 Klasifikasi Diare

Pada klasifikasi diare dapat dikelompokkan menjadi diare dengan dehidrasi berat, diare dengan dehidrasi sedang atau ringan, diare tanpa dehidrasi, diare persisten dan disentri (Hidayat, 2009):

a. Diare dengan dehidrasi berat jika terdapat tanda seperti latergi atau mengantuk atau tidak sadar, mata cekung dan turgor kulit jelek.

(2)

c. Diare tanpa dehidrasi jika hanya ada salah satu tanda dehidrasi berat atau ringan.

d. Diare persisten jika terjadi diare sudah lebih dari 14 hari.

e. Disentri jika diare disertai darah pada feses dan tidak ada tanda gangguan saluran pencernaan.

2.1.3 Etiologi Diare

Diare dapat diakibatkan oleh beberapa faktor penyebab yang diklasifikasikan menjadi 6 golongan besar (Depkes RI, 2002), yaitu: a. Infeksi

Keberadaan agen biologi yang masuk melalui makanan dan minuman kemudian bereaksi di dalam tubuh menimbulkan infeksi di dalam sistem pencernaan. Agen biologi tersebut dapat dibagi menjadi 3 kelompok antara lain sebagai berikut:

1) Bakteri, seperti: Shigella, Salmonella, Entamoeba coli, golongan Vibrio, Bacillus aureus, Clostridium perferingens, Staphilococcus

aureus, Campylobacter aeromonas.

2) Parasit, seperti: protozoa (Entamoeba hystolitica, Giardia lamblia, Balantidium coli, Cryptospiridium), cacing perut (Ascaris,

Trichiuris, Strongyloides, Blasisitis huminis) dan jamur (Candida).

(3)

b. Mal absorpsi

Mal absorpsi adalah kelainan fungsi usus yang menyebabkan gangguan dalam proses penyerapan nutrisi dari makanan, seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang terjadi di dalam usus besar.

c. Alergi

Salah satu contoh seseorang yang mengalami laktosa intoleransi yaitu suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu membentuk laktosa dan biasanya terjadi pada bayi.

d. Keracunan

Keracunan disebabkan oleh racun yang dikandung dan diproduksi oleh mikroba dalam makanan, misalnya Pseudomonas cocovenenans menghasilkan racun asam bongkrek dan Clostridium botulinum biasanya mengkontaminasi pada makanan kaleng.

e. Immunodefisiensi

Immunodefisiensi atau penurunan daya tahan tubuh bisa menimbulkan diare, misalnya pada penderita HIV/AIDS. Diare yang biasa terjadi pada penderita HIV/AIDS adalah diare kronik.

f. Sebab-sebab lain

(4)

Dari 6 golongan tersebut, yang sering ditemukan di lapangan adalah diare yang disebabkan oleh infeksi dan keracunan (Depkes RI, 2002).

2.1.4 Tanda dan Gejala Diare

Menurut Schwartz (2004), tanda dan gejala diare pada anak antara lain:

a. Gejala umum

1) Berak cair atau lembek dan sering adalah gejala khas diare. 2) Muntah, biasanya menyertai diare pada gastroenteritis akut. 3) Demam, dapat mendahului atau tidak mendahului gejala diare. 4) Gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, ketegangan kulit menurun,

apatis bahkan gelisah. b. Gejala spesifik

1) Vibrio cholera: diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan berbau amis.

2) Disentriform: tinja berlendir dan berdarah. 2.1.5 Epidemiologi Diare

Epidemiologi penyakit diare adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2005):

(5)

dan meningkatkan risiko terjadinya diare, antara lain tidak memberikan ASI secara penuh 4 atau 6 bulan pada kehidupan pertama, menggunakan botol susu, menyimpan makanan masak pada suhu kamar, mengkonsumsi air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan dengan sabun sesudah buang air besar atau sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan atau menyuapi anak dan tidak membuang tinja dengan benar.

2) Faktor penjamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare. Beberapa faktor pada pejamu yang dapat meningkatkan beberapa penyakit dan lamanya diare, yaitu tidak memberikan ASI sampai dua tahun, kurang gizi, campak, immunodefisiensi dan secara proporsional diare lebih banyak terjadi pada golongan balita.

3) Faktor lingkungan dan perilaku. Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian diare.

2.1.6 Pencegahan Diare

Pencegahan menurut Pedoman Tatalaksana Diare Depkes RI (2006), adalah sebagai berikut:

1) Pemberian ASI

(6)

memberikan perlindungan terhadap diare pada bayi yang baru lahir. Pemberian ASI eksklusif mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Flora usus pada bayi-bayi yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab diare.

Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh pada 6 bulan pertama kehidupan, risiko terkena diare adalah 30 kali lebih besar. Pemberian susu formula merupakan cara lain dari menyusui. Penggunaan botol untuk susu formula biasanya menyebabkan risiko tinggi terkena diare sehingga bisa mengakibatkan terjadinya gizi buruk. 2) Pemberian Makanan Pendamping ASI

Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat dimana bayi secara bertahap mulai dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut merupakan masa yang berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian makanan pendamping ASI dapat menyebabkan meningkatnya risiko terjadinya diare ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian.

3) Menggunakan Air Bersih yang Cukup

(7)

4) Mencuci Tangan

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi anak dan sebelum makan, mempunyai pengaruh dalam kejadian diare.

5) Menggunakan Jamban

Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan risiko terhadap penyakit diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus membuat jamban dan keluarga harus buang air besar di jamban. 2.1.7 Pengobatan Diare

Pengobatan pada penyakit diare dapat dilakukan dengan 2 terapi, yaitu (Wijoyo, 2013):

1) Terapi Nonfarmakologi a. Terapi Rehidrasi Oral

(8)

teh encer, air taji, air perasan buah dan larutan garam dan gula. Pemakaian cairan ini di titik beratkan pada pencegahan timbulnya dehidrasi, bila terjadi dehidrasi sedang atau berat sebaiknya diberi oralit.

b. Oralit

Larutan oralit yang lama tidak dapat menghentikan diare. Hal ini disebabkan formula oralit lama dikembangkan dari kejadian outbreak diare di Asia Selatan yang disebabkan oleh bakteri. Hal

tersebut menyebabkan berkurangnya lebih banyak elektrolit tubuh terutama natrium pada diare yang lebih banyak dijumpai belakangan ini adalah diare karena virus. Karenanya para ahli mengembangkan formula baru dengan tingkat osmoralitas yang lebih rendah.

2) Terapi Farmakologi

Selain menggunakan cara pengobatan nonfarmakologi, pengobatan diare menggunakan obat-obatan seperti loperamida, defenoksilat, kaolin, karbon adsorben, attapulgite, dioctahedral smectite, pemberian zink dan antimikroba sangat diperlukan.

2.2 Lalat

2.2.1 Pengertian Lalat

(9)

Lalat hanya mempunyai sepasang sayap. Mulutnya berbentuk “belalai”

yang dapat memanjang dan digunakan untuk menyedot cairan manis yang menjadi makanannya. Pada beberapa spesies seperti lalat hitam atau lalat tse-tse, belalai tersebut cukup kuat untuk menembus kulit binatang dan menghisap darah. Cara itu mirip dengan apa yang dilakukan lalat betina. Lalat terbang dan suka menempel pada kotoran. Oleh karena itu, lalat dapat menyebarkan mikroba yang mengakibatkan penyakit berbahaya (De Becker, 2007).

Lalat juga merupakan spesies yang berperan dalam masalah kesehatan masyarakat yaitu sebagai vektor penularan penyakit saluran pencernaan seperti kolera, typhus, disentri dan lain-lain. Pada saat ini dijumpai ± 60.000-100.000 spesies lalat, tetapi tidak semua spesies perlu diawasi karena beberapa diantaranya tidak berbahaya terhadap kesehatan masyarakat (Santi, 2001).

Menurut Kusnoputranto dalam Wijayanti (2009), lalat mempunyai sifat kosmopolitan yang artinya kehidupan lalat dijumpai merata hampir diseluruh permukaan bumi. Diperkirakan di seluruh dunia terdapat lebih kurang 85.000 jenis lalat, tetapi semua jenis lalat terdapat di Indonesia. Jenis lalat yang paling banyak merugikan manusia adalah jenis lalat rumah (Musca domestica), lalat hijau (Lucilia sertica), lalat biru (Calliphora vomituria) dan lalat latrine (Fannia canicularis). Lalat juga merupakan

(10)

yang dapat memindahkan atau menularkan agent infection dari sumber infeksi kepada host yang rentan.

Lalat sering hidup di antara manusia dan sebagian jenis dapat menyebabkan penyakit yang serius. Lalat disebut sebagai penyebar penyakit yang sangat serius karena setiap lalat hinggap di suatu tempat, kurang lebih 125.000 kuman jatuh ke tempat tersebut. Lalat sangat mengandalkan penglihatan untuk bertahan hidup. Mata majemuk lalat terdiri atas ribuan lensa dan sangat peka terhadap gerakan. Beberapa jenis lalat memiliki penglihatan tiga dimensi yang akurat (Suska, 2007).

Menurut Depkes RI (2001), penularan penyakit oleh lalat terjadi secara mekanis, dimana bulu-bulu badannya, kaki-kaki serta bagian tubuh yang lain dari lalat merupakan tempat menempelnya mikroorganisme penyakit yang dapat berasal dari sampah, kotoran manusia dan binatang. Bila lalat tersebut hinggap ke makanan manusia, maka kotoran tersebut akan mencemari makanan yang akan dimakan oleh manusia sehingga akhirnya akan timbul gejala sakit pada manusia yaitu sakit pada bagian perut serta lemas. Penyakit-penyakit yang ditularkan oleh lalat antara lain disentri, kolera, thypus perut, diare dan lainnya yang berkaitan dengan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk.

2.2.2 Siklus Hidup Lalat

(11)

Gambar 2.1 Siklus Hidup Lalat

Berdasarkan Depkes RI (2001), siklus hidup lalat dibagi menjadi 4 stadium:

1) Stadium pertama (stadium telur)

Bentuk telur lonjong, bulat dan berwarna putih dengan panjang kurang lebih 1 mm. Setiap bertelur, lalat akan menghasilkan 120-130 butir telur dan akan menetas dalam waktu 8-16 jam. Pada suhu rendah dibawah 12-13°C telur tidak akan menetas.

(12)

2) Stadium kedua (stadium larva)

Telur yang menetas akan menjadi larva yang berwarna putih kekuningan dengan panjang 12-13 mm. Lama stadium ini 2-8 hari tergantung pada temperatur setempat. Larva ini selalu bergerak dan makan dari bahan-bahan organik. Temperatur yang disukai larva lalat adalah 30-35°C.

Gambar 2.3 Larva Lalat 3) Stadium ketiga (stadium pupa)

(13)

Gambar 2.4 Pupa Lalat 4) Stadium keempat (stadium dewasa)

Stadium ini dimulai dari keluarnya lalat muda yang sudah dapat terbang antara 400-900 m. Siklus hidup dari telur hingga menjadi lalat dewasa adalah 6-20 hari. Lalat dewasa panjangnya lebih kurang ¼ inci dan mempunyai 4 garis yang agak gelap dipunggungnya. Pada kondisi normal, lalat betina dewasa dapat bertelur sampai lima kali dan umumnya umur lalat sekitar 2-3 minggu tetapi pada kondisi yang lebih sejuk bisa sampai 3 bulan. Lalat tidak kuat terbang menantang arah angin.

(14)

2.2.3 Pola Hidup Lalat

Pola hidup lalat terbagi menjadi beberapa bagian. Adapun pola hidup lalat adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2001):

1) Tempat Peristirahatan

Pada siang hari apabila lalat tidak sedang mencari makan, lalat beristirahat di tempat-tempat yang sejuk seperti di dinding, lantai, rumput dan tempat-tempat sejuk lainnya. Lalat juga suka dengan tempat yang berdekatan dengan makanan serta terlindung dari angin dan matahari terik. Di dalam rumah, lalat beristirahat pada pinggiran tempat makan, kawat listrik dan tidak aktif pada malam hari. Tempat hinggap lalat biasanya pada ketinggian tidak lebih dari 5 m.

2) Tempat Perindukan

Tempat perindukan yang disenangi oleh lalat adalah tempat yang basah seperti sampah basah (organik), kotoran binatang, tumbuh-tumbuhan busuk.

a. Kotoran hewan

Tempat perindukan lalat yang paling utama adalah pada kotoran hewan yang lembab dan masih baru (normalnya lebih kurang satu minggu).

b. Sampah dan sisa makanan dari hasil olahan

(15)

c. Kotoran organik

Lalat berkembang biak pada kotoran organik seperti kotoran hewan dan kotoran manusia.

d. Air kotor

Lalat berkembang biak pada permukaan air kotor yang terbuka. 3) Kebiasaan Makan

Lalat dewasa sangat aktif sepanjang hari, dari makanan yang satu ke makanan yang lain. Lalat suka dengan kotoran serta darah dan lalat juga sangat tertarik pada makanan yang dimakan oleh manusia sehari-hari seperti buah-buahan, gula, susu dan makanan lainnya.

4) Lama Hidup

Pada musim panas, lalat dapat bertahan hidup antara 2-4 minggu. Pada musim dingin, lalat dapat bertahan hidup sampai 70 hari.

5) Temperatur

Lalat mulai terbang pada temperatur 15°C dari aktifitas optimumnya pada temperatur 21°C. Pada temperatur di bawah 7,5°C lalat tidak aktif dan diatas 45°C terjadi kematian.

6) Kelembaban

Kelembaban erat kaitannya dengan temperatur setempat. 7) Cahaya

(16)

2.2.4 Penyakit yang Disebabkan Oleh Lalat

Lalat merupakan vektor mekanis jasad-jasad patogen terutama penyebab penyakit usus dan bahkan beberapa spesies khususnya lalat rumah dianggap sebagai vektor thypus abdominalis, salmonellosis, cholera, disentri tuberculosis, penyakit sapar dan trypanosominasi. Lalat

Chrysops dihubungkan dengan penularan parasit filaria loa-loa dan

pasteurella tularensis penyebab tularemia pada manusia dan hewan

(Sucipto, 2011).

Secara lebih detail, Sucipto (2011) menjelaskan beberapa penyakit yang disebabkan oleh lalat antara lain:

1) Disentri, dengan gejala sakit pada bagian perut, lemas karena terhambat peredaran darah dan pada kotoran terdapat mucus dan push.

2) Diare, dengan gejala sakit pada bagian perut, lemas dan pencernaan terganggu. Disentri dan diare termasuk penyakit karena Shigella spp atau diare bisa juga karena Eschericia coli.

3) Thypoid, gejala sakit pada bagian perut, lemas dan pencernaan terganggu, penyebabnya adalah Salmonella spp.

4) Kolera, gejala muntah-muntah, demam, dehidrasi, penyebabnya adalah Vibrio cholera.

5) Pada beberapa kasus, sebagai vektor penyakit lepra dan yaws (Frambusia atau Patek).

(17)

jarum atau cacing kremi (Enterobius vermin cularis), cacing giling (Ascaris lumbricoides), cacing kait (Anclyostoma sp., Necator), cacing pita (Taenia, Dypilidium caninum), cacing cambuk (Trichuris trichiura).

7) Belatung lalat Musca domestica, Chrysomya dan Sarchopaga dapat juga menyerang jaringan luka pada manusia dan hewan. Infestasi ini disebut myasis atau belatungan.

2.2.5 Kepadatan Lalat

Upaya untuk menurunkan populasi lalat adalah sangat penting, mengingat dampak yang ditimbulkan oleh lalat itu sendiri. Untuk itu sebagai salah satu cara penilaian baik buruknya suatu lokasi adalah dilihat dari angka kepadatan lalatnya. Dalam menentukan kepadatan lalat, pengukuran terhadap populasi lalat dewasa lebih tepat dan biasa diandalkan daripada pengukuran populasi larva lalat.

Tujuan dari pengukuran angka kepadatan lalat adalah untuk mengetahui tentang:

- Tingkat kepadatan lalat

- Sumber-sumber tempat berkembang biaknya lalat - Jenis-jenis lalat

Lokasi pengukuran kepadatan lalat adalah yang berdekatan dengan kehidupan atau kegiatan manusia karena berhubungan dengan kesehatan manusia, antara lain (Depkes RI, 2001):

(18)

- Tempat-tempat umum (pasar, terminal, rumah makan, hotel dan sebagainya)

- Lokasi sekitar Tempat Pembuangan Sementara (TPS) sampah yang berdekatan dengan pemukiman

- Lokasi sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang berdekatan dengan pemukiman

Untuk mengetahui angka kepadatan lalat di suatu wilayah dilakukan dengan cara mengukur angka kepadatan lalat. Pengukuran populasi lalat hendaknya dapat dilakukan pada:

- Setiap kali dilakukan pengendalian lalat (sebelum dan sesudah)

- Memonitoring secara berkala yang dilakukan sedikitnya 3 bulan sekali Ada beberapa cara yang digunakan untuk mengukur tingkat kepadatan lalat, antara lain (Balittro, 2008):

1) Perangkap Model 1

(19)

Dalam waktu satu minggu, perangkap ini dapat menjebak 50-150 ekor lalat. Keunggulan dari perangkap model ini adalah menggunakan bahan yang murah dan mudah diperoleh, cara membuatnya pun cukup mudah dan dapat dibawa ke lapangan. Kelemahannya yaitu kalau sering turun hujan, air dalam botol akan bertambah sehingga merendam kapas yang mengandung metil eugenol, akibatnya perangkap tidak berfungsi. Oleh karena itu, sebaiknya setelah turun hujan dilakukan pengecekan untuk mengetahui kondisi perangkap.

Gambar 2.6 Perangkap Model 1 2) Perangkap Model 2

(20)

Aroma yang ditimbulkan akan menarik lalat untuk masuk ke dalam toples melalui corong. Lalat yang telah masuk tidak dapat keluar lagi, kemudian akan mati dengan sendirinya. Agar lalat cepat mati, masukkan satu butir kapur barus (kamper) ke dalam toples. Penambahan metil eugenol dilakukan dua bulan sekali sambil membuang lalat yang sudah kering. Lalat yang tertangkap dalam waktu 2 bulan dapat mencapai 600-800 ekor. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.7 Perangkap Model 2 3) Perangkap Model 3

(21)

kapas berada dalam toples gelas (2/3 tinggi toples). Pada leher toples diberi ikatan kawat untuk menggantungkan perangkap di pohon.

Lalat yang tertarik atraktan akan masuk melalui lubang toples yang dicat gelap. Lalat tidak menyukai keadaan gelap sehingga lalat akan naik melalui corong kemudian terperangkap dan mati di dalam gelas plastik. Untuk mempercepat kematian lalat, masukkan satu butir kapur barus (kamper) ke dalam gelas plastik. Jumlah lalat yang tertangkap mencapai 50-100 ekor lalat tiap minggu atau rata-rata 7-15 ekor/hari.

Gambar 2.8 Perangkap Model 3

4) Scudder Grill

(22)

di atas scudder grill itu dengan menggunakan hand counter (alat penghitung) (Marquardt, 2004).

5) Sticky Trap

Pemasangan sticky trap dilakukan untuk menjebak lalat dalam pemantauan populasi dan keberadaan lalat di lapangan. Pemasangan sticky trap dilakukan selama 24 jam. Populasi lalat yang tertangkap

pada sticky trap dihitung dengan menggunakan hand counter (alat penghitung).

6) Fly Grill

Fly grill dapat dibuat dari bilah-bilah kayu yang lebarnya 2 cm dan

(23)

Hasil rata-rata pengukuran ini kemudian diinterpretasi dengan satuan block grill. Berdasarkan Depkes RI (2001), interpretasi hasil pengukuran dengan satuan block grill adalah sebagai berikut:

a. 0 – 2 : rendah atau tidak menjadi masalah.

b. 3 – 5 : sedang atau perlu tindakan pengendalian terhadap tempat perkembangbiakan lalat.

c. 6 – 20 : tinggi atau populasi cukup padat, perlu

pengamanan terhadap tempat-tempat perindukan lalat dan bila mungkin direncanakan upaya

pengendalian.

d. ≥ 21 : sangat tinggi sehingga perlu dilakukan pengamanan terhadap tempat-tempat

perkembangbiakan lalat dan pengendalian lalat.

(24)

2.3 Personal Hygiene

2.3.1 Pengertian Personal Hygiene

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014), higiene diartikan sebagai ilmu tentang kesehatan dan berbagai usaha untuk mempertahankan atau memperbaiki kesehatan. Menurut Tarwoto dan Wartonah (2010), personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya perorangan dan hygiene berarti sehat. Kebersihan perorangan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis.

Personal hygiene merupakan perawatan diri sendiri yang dilakukan

untuk mempertahankan kesehatan baik secara fisik maupun psikologis (Hidayat, 2006). Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa personal hygiene merupakan kegiatan atau tindakan membersihkan

seluruh anggota tubuh yang bertujuan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang.

Menurut Maharani dan Yusiana (2013), salah satu faktor penyebab diare pada balita adalah makanan yang terkontaminasi dan umumnya karena higiene perorangan yang buruk dalam pengolahan makanan yang dilakukan oleh pengasuh balita khusunya ibu.

(25)

2.3.2 Macam-Macam Personal Hygiene

Menurut Tarwoto dan Wartonah (2010), personal hygiene dibagi menjadi:

1. Perawatan kulit kepala dan rambut 2. Perawatan mata

3. Perawatan hidung 4. Perawatan telinga

5. Perawatan kuku kaki dan tangan 6. Perawatan genitalia

7. Perawatan kulit seluruh tubuh 8. Perawatan tubuh secara keseluruhan 2.3.3 Tujuan Perawatan Personal Hygiene

Tujuan dari perawatan personal hygiene antara lain (Tarwoto dan Wartonah, 2010):

1. Meningkatkan derajat kesehatan seseorang 2. Memelihara kebersihan diri seseorang 3. Memperbaiki personal hygiene yang kurang 4. Pencegahan diri dari penyakit

5. Meningkatkan kepercayaan diri seseorang 6. Menciptakan keindahan

2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Personal Hygiene

(26)

1. Citra tubuh

Gambaran individu terhadap dirinya sangat memengaruhi kebersihan diri. Misalnya, karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli terhadap kebersihannya.

2. Praktik sosial

Pada anak-anak yang selalu dimanja dalam hal kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.

3. Status sosioekonomi

Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, sampo dan alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk memperolehnya.

4. Pengetahuan

Pengetahuan tentang personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes melitus yang harus selalu menjaga kebersihan kakinya.

5. Budaya

Sebagian masyarakat menganggap jika individu menderita penyakit tertentu, maka individu tersebut tidak boleh mandi.

6. Kebiasaan seseorang

(27)

7. Kondisi fisik

Pada keadaan sakit, tentu kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.

2.3.5 Dampak yang Sering Timbul pada Masalah Personal Hygiene

Apabila seseorang tidak merawat diri atau seseorang memiliki

personal hygiene yang kurang, maka dirinya akan dengan mudah terkena

penyakit. Penyakit merupakan dampak dari kurangnya personal hygiene pada seseorang. Berikut dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene menurut Tarwoto dan Wartonah (2010):

1. Dampak fisik

Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik. Gangguan fisik yang sering terjadi adalah gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga, serta gangguan fisik pada kuku.

2. Dampak psikososial

Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial. 2.3.6 Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Sabun Setelah Buang Air Besar

(28)

penting untuk bayi, anak-anak, penyaji makanan di restoran atau warung serta orang-orang yang merawat dan mengasuh anak. Setiap tangan kontak dengan feses, urin atau dubur sesudah buang air besar (BAB) maka harus dicuci pakai sabun dan kalau bisa disikat.

Menurut Fathonah dalam Sudasman (2014), tangan yang kotor atau terkontaminasi dapat memindahkan bakteri atau virus patogen dari tubuh, feses atau sumber lain ke makanan. Oleh karenanya kebersihan tangan dengan mencuci tangan perlu mendapat prioritas tinggi walaupun hal tersebut sering disepelekan. Pencucian dengan sabun sebagai pembersih serta penggosokkan dan pembilasan dengan air mengalir akan menghanyutkan partikel kotoran yang banyak mengandung mikroorganisme.

2.3.7 Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Sabun Sebelum Makan

(29)

Menurut Rompas, Tuda dan Ponidjan (2013), cuci tangan belum menjadi budaya yang dilakukan masyarakat luas di Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari saja masih banyak yang mencuci tangan hanya dengan air sebelum makan, cuci tangan dengan sabun justru dilakukan setelah makan. Mencuci tangan saja adalah salah satu tindakan pencegahan yang menjadi perilaku sehat dan baru dikenal pada akhir abad ke 19. Tangan yang kotor dapat memindahkan bakteri dan virus patogen dari tubuh, feses atau sumber lain ke makanan. Oleh karena itu kebersihan tangan dengan mencuci tangan perlu mendapat prioritas yang tinggi walaupun hal tersebut sering disepelekan.

Mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air bersih dan sabun oleh manusia agar menjadi bersih dan juga memutuskan mata rantai kuman. Perilaku sehat cuci tangan pakai sabun yang merupakan salah satu Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), saat ini juga telah menjadi perhatian dunia. Hal ini karena masalah kurangnya praktek perilaku cuci tangan tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang saja, tetapi ternyata di negara-negara maju pun kebanyakan masyarakatnya masih lupa untuk melakukan perilaku cuci tangan (Anggrainy, 2010).

(30)

1. Cuci tangan dengan air yang mengalir dan gunakan sabun. Tidak perlu harus sabun khusus antibakteri, namun lebih disarankan sabun yang berbentuk cairan.

2. Gosok tangan setidaknya selama 15-20 detik.

3. Bersihkan bagian pergelangan tangan, punggung tangan, sela-sela jari dan kuku.

4. Basuh tangan sampai bersih dengan air yang mengalir. 5. Keringkan dengan handuk bersih atau alat pengering lain.

(31)

Menurut Tietjen (2004), mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang biak di tempat basah juga air yang menggenang, maka apabila menggunakan sabun batangan sediakan sabun batangan yang berukuran kecil dalam tempat sabun yang kering. Hindari mencuci tangan di baskom berisi air walaupun telah ditambahkan antiseptik karena mikroorganisme dapat bertahan dan berkembang biak pada larutan ini.

Apabila menggunakan sabun cair, jangan menambahkan sabun jika terdapat sisa sabun pada tempatnya. Penambahan dapat menyebabkan kontaminasi bakteri pada sabun yang baru dimasukkan. Apabila tidak tersedia air mengalir, gunakan ember dengan kran yang dapat dimatikan sementara menyabuni kedua tangan dan buka kembali untuk membilas atau gunakan ember dan kendi/teko (Ray dkk, 2011).

2.3.8 Kebiasaan Buang Air Besar

(32)

menimbulkan masalah baru yang dapat membahayakan kesehatan manusia (Kusnoputranto, 2001).

Tinja atau kotoran manusia merupakan media sebagai tempat berkembang dan berinduknya bibit penyakit menular misalnya seperti kuman, bakteri, virus dan cacing. Apabila tinja tersebut dibuang di sembarang tempat maka bibit penyakit tersebut akan menyebar luas ke lingkungan dan akhirnya akan masuk ke dalam tubuh manusia serta berisiko menimbulkan penyakit pada seseorang dan bahkan menjadi wabah penyakit pada masyarakat yang lebih luas (Daryanto, 2004).

Pertambahan penduduk yang tidak sebanding dengan area pemukiman menyebabkan masalah pembuangan kotoran manusia meningkat. Dilihat dari segi kesehatan masyarakat, masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah yang pokok untuk sedini mungkin diatasi. Kotoran manusia (feces) merupakan sumber penyakit yang multikompleks. Penyebaran penyakit yang bersumber pada feces dapat melalui berbagai macam cara. Beberapa penyakit yang dapat disebabkan oleh tinja manusia antara lain tifus, disentri, diare, kolera, schistosomiasis dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).

2.4 Sanitasi Dasar

(33)

Sanitasi dasar merupakan salah satu persyaratan dalam rumah sehat. Sarana sanitasi dasar berkaitan langsung dengan masalah kesehatan terutama masalah kesehatan lingkungan. Sarana sanitasi dasar menurut Depkes RI (2002), yaitu meliputi penyediaan air bersih, jamban, pembuangan air limbah dan pengelolaan sampah rumah tangga.

2.4.1 Sarana Air Bersih

Menurut Permenkes Nomor 416 Tahun 1990, definisi air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah direbus terlebih dahulu.

Air sangat penting bagi kehidupan manusia karena sebagian besar tubuh manusia terdiri dari air. Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk minum, masak, mandi, mencuci (bermacam-macam cucian) dan sebagainya. Menurut penelitian WHO di negara-negara maju, setiap orang memerlukan air antara 60-120 l per hari. Masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia, setiap orang memerlukan air antara 30-60 l per hari (Notoatmodjo, 2007).

(34)

Ditinjau dari sudut ilmu kesehatan masyarakat, penyediaan sumber air bersih harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena persediaan air bersih yang terbatas yang memudahkan timbulnya penyakit di masyarakat. Volume rata-rata kebutuhan air setiap individu per hari berkisar antara 150-200 l atau 35-40 galon. Kebutuhan air tersebut bervariasi dan bergantung pada keadaan iklim, standar kehidupan dan kebiasaan masyarakat (Chandra, 2007).

Penyediaan air bersih harus memenuhi dua syarat yaitu kuantitas dan kualitas yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 Tahun 1990 yaitu:

a. Syarat Kuantitas

Syarat kuantitas adalah jumlah air yang dibutuhkan setiap hari tergantung kepada aktifitas dan tingkat kebutuhan. Makin banyak aktifitas yang dilakukan maka kebutuhan air akan semakin besar. Secara kuantitas, di Indonesia diperkirakan dibutuhkan air sebanyak 138,5 l/orang/hari dengan perincian yaitu untuk mandi dan cuci kakus 12 l, minum 2 l, cuci pakaian 10,7 l, kebersihan rumah 31,4 l (Slamet 2002).

b. Syarat Kualitas

(35)

Air yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia harus berasal dari sumber yang bersih dan aman. Menurut Sumantri (2010), batasan sumber air yang bersih dan aman ini antara lain:

a. Bebas dari kontaminasi kuman atau bibit penyakit. b. Bebas dari substansi kimia yang berbahaya dan beracun. c. Tidak berasa dan tidak berbau.

d. Dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan domestik dan rumah tangga.

e. Memenuhi standar minimal yang ditentukan oleh WHO atau Departemen Kesehatan RI.

Menurut Chandra (2007), air yang berada di permukaan bumi ini dapat berasal dari berbagai sumber. Berdasarkan letak sumbernya, air dapat dibagi menjadi air angkasa (hujan), air permukaan dan air tanah. 1) Air Angkasa (Hujan)

Air angkasa atau air hujan merupakan sumber utama air di bumi. Walau pada saat presipitasi merupakan air yang paling bersih, air tersebut cenderung mengalami pencemaran ketika berada di atmosfer. Pencemaran yang berlangsung di atmosfer itu dapat disebabkan oleh partikel debu, mikroorganisme dan gas, misalnya saja seperti karbon dioksida, nitrogen dan amonia.

2) Air Permukaan

(36)

besar berasal dari air hujan yang jatuh ke permukaan bumi. Air hujan tersebut kemudian akan mengalami pencemaran baik oleh tanah, sampah, maupun lainnya.

3) Air Tanah

Air tanah (ground water) berasal dari air hujan yang jatuh ke permukaan bumi yang kemudian mengalami perkolasi atau penyerapan ke dalam tanah dan mengalami proses filtrasi secara alamiah. Proses-proses yang telah dialami air hujan tersebut, di dalam perjalanannya ke bawah tanah membuat air tanah menjadi lebih baik dan lebih murni dibandingkan air permukaan.

(37)

1) Sumur dangkal (shallow well)

Sumur semacam ini memiliki sumber air yang berasal dari resapan air hujan di atas permukaan bumi terutama di daerah dataran rendah. Jenis sumur ini banyak terdapat di Indonesia dan mudah sekali terkontaminasi air kotor yang berasal dari kegiatan mandi cuci kakus (MCK) sehingga persyaratan sanitasi yang ada perlu sekali diperhatikan.

2) Sumur dalam (deep well)

Sumur ini memiliki sumber air yang berasal dari proses purifikasi alami air hujan oleh lapisan kulit bumi menjadi air tanah. Sumber airnya tidak terkontaminasi dan memenuhi persyaratan sanitasi.

2.4.2 Penyediaan Jamban

Menurut Depkes RI (2005) yang dikutip oleh Umiati (2009), jamban merupakan sarana yang digunakan masyarakat sebagai tempat buang air besar. Sebagai tempat pembuangan tinja, jamban sangat potensial untuk menyebabkan timbulnya berbagai gangguan bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. Gangguan tersebut dapat berupa gangguan estetika, kenyamanan dan kesehatan.

(38)

Menurut Mubarak dan Chayatin (2009), jenis-jenis jamban dibedakan berdasarkan konstruksi dan cara menggunakannya yaitu:

1. Jamban Cemplung

Bentuk jamban ini adalah yang paling sederhana. Jamban cemplung ini hanya terdiri atas sebuah galian yang di atasnya diberi lantai dan tempat jongkok. Lantai jamban ini dapat dibuat dari bambu atau kayu tetapi dapat juga terbuat dari batu bata atau beton. Jamban semacam ini masih menimbulkan gangguan karena baunya.

2. Jamban Plengsengan

Jamban semacam ini memiliki lubang tempat jongkok yang dihubungkan oleh suatu saluran miring ke tempat pembuangan kotoran. Jadi, tempat jongkok dari jamban ini tidak dibuat persis di atas penampungan tetapi agak jauh. Jamban semacam ini sedikit lebih baik dan menguntungkan daripada jamban cemplung karena baunya agak berkurang dan keamanan bagi pemakai lebih terjamin.

3. Jamban Bor

(39)

4. Angsalatrine (Water Seal Latrine)

Di bawah tempat jongkok jamban ini ditempatkan atau dipasang suatu alat yang berbentuk seperti leher angsa yang disebut bowl. Bowl ini berfungsi mencegah timbulnya bau. Kotoran yang berada di tempat penampungan tidak tercium baunya karena terhalang oleh air yang selalu terdapat dalam bagian yang melengkung. Dengan demikian dapat mencegah hubungan lalat dengan kotoran.

5. Jamban di Atas Balong (Empang)

Membuat jamban di atas balong (yang kotorannya dialirkan ke balong) adalah cara pembuangan kotoran yang tidak dianjurkan tetapi sulit untuk menghilangkannya, terutama di daerah yang terdapat banyak balong. Sebelum kita berhasil menerapkan kebiasaan tersebut kepada kebiasaan yang diharapkan, maka cara tersebut dapat diteruskan dengan persyaratan sebagai berikut:

a. Air dari balong tersebut jangan digunakan untuk mandi. b. Balong tersebut tidak boleh kering.

c. Balong hendaknya cukup luas.

d. Letak jamban harus sedemikian rupa sehingga kotoran selalu jatuh di air.

e. Ikan dari balong tersebut tidak boleh dimakan.

f. Tidak terdapat sumber air minum yang terletak sejajar dengan jarak 15 m.

(40)

6. Jamban Septic Tank

Septic tank berasal dari kata septic, yang berarti pembusukan

secara anaerobik. Nama septic tank digunakan karena dalam pembuangan kotoran terjadi proses pembusukan oleh kuman-kuman pembusuk yang sifatnya anaerob. Septic tank dapat terdiri dari dua bak atau lebih serta dapat pula terdiri atas satu bak saja dengan mengatur sedemikian rupa (misalnya dengan memasang beberapa sekat atau tembok penghalang), sehingga dapat memperlambat pengaliran air kotor di dalam bak tersebut. Dalam bak bagian pertama akan terdapat proses penghancuran, pembusukan dan pengendapan. Dalam bak terdapat tiga macam lapisan yaitu:

a. Lapisan yang terapung, yang terdiri atas kotoran-kotoran padat b. Lapisan cair

c. Lapisan endap

Menurut Warsito dalam Siregar (2011), banyak macam jamban yang digunakan tetapi jamban di Indonesia pada dasarnya digolongkan menjadi 2 macam yaitu:

1) Jamban tanpa leher angsa. Jamban yang mempunyai bermacam cara pembuangan kotorannya yaitu:

a. Jamban cubluk, bila kotorannya dibuang ke tanah. b. Jamban empang, bila kotorannya dialirkan ke empang.

(41)

a. Tempat jongkok dan leher angsa atau pemasangan slab dan bowl langsung di atas galian penampungan kotoran.

b. Tempat jongkok dan leher angsa atau pemasangan slab dan bowl tidak berada langsung di atas galian penampungan kotoran tetapi dibangun terpisah dan dihubungkan oleh suatu saluran yang miring ke dalam lubang galian penampungan kotoran.

Jamban keluarga sehat adalah jamban yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Depkes RI, 2004):

1. Tidak mencemari sumber air minum, letak lubang penampung berjarak 10-15 m dari sumber air minum.

2. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus.

3. Cukup luas dan landai/miring ke arah lubang jongkok sehingga tidak mencemari tanah di sekitarnya.

4. Mudah dibersihkan dan aman penggunaannya.

5. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna.

6. Cukup penerangan. 7. Lantai kedap air. 8. Ventilasi cukup baik.

(42)

2.4.3 Sarana Pembuangan Air Limbah

Menurut Kusnoputranto dalam Notoatmodjo (2007), air limbah atau air buangan adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari rumah tangga, industri maupun tempat-tempat umum lainnya dan pada umumnya mengandung bahan-bahan atau zat-zat yang dapat membahayakan bagi kesehatan manusia serta mengganggu lingkungan hidup. Batasan lain mengatakan bahwa air limbah adalah kombinasi dari cairan dan sampah cair yang berasal dari daerah pemukiman, perdagangan, perkantoran dan industri, bersama-sama dengan air tanah, air permukaan dan air hujan yang mungkin ada.

Air limbah ini berasal dari berbagai sumber, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi (Notoatmodjo, 2007):

1) Air buangan yang bersumber dari rumah tangga (domestic waste water), yaitu air limbah yang berasal dari pemukiman penduduk. Pada

umumnya air limbah ini terdiri dari ekskreta (tinja dan air seni), air bekas cucian dapur dan kamar mandi dan umumnya terdiri dari bahan-bahan organik.

(43)

pengolahan jenis air limbah ini agar tidak menimbulkan polusi lingkungan menjadi lebih rumit.

3) Air buangan kotapraja (industrial wastes water), yaitu air buangan yang berasal dari daerah seperti perkantoran, perdagangan, hotel, restoran, tempat-tempat umum, tempat-tempat ibadah dan sebagainya. Pada umumnya zat-zat yang terkandung dalam jenis air limbah ini sama dengan air limbah rumah tangga.

Pengolahan air limbah perlu dilakukan agar tidak mencemari lingkungan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, pengolahan air limbah yang memenuhi persyaratan yaitu:

a. Jarak bidang resapan septic tank dengan sumber air minum harus berjarak > 10 m untuk jenis tanah liat dan > 15 m untuk tanah berpasir.

b. Kepadatan 100 orang/ha dengan menggunakan sanitasi setempat memberikan dampak kontaminasi bakteri coli cukup besar terhadap tanah dan air tanah. Jadi bagi para pengguna sanitasi individual pada kawasan dengan kepadatan tersebut, penerapan anaerobic filter sebagai pengganti bidang resapan dan effluennya dapat dibuang ke saluran terbuka atau secara komunitas menggunakan sistem off site sanitation.

(44)

dahulu dan lumpurnya harus ada pengeraman 3 minggu untuk digunakan di permukaan tanah (sebagai pupuk).

2.4.4 Sarana Pembuangan Sampah

Sampah merupakan suatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia, atau benda padat yang sudah tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang. Para ahli kesehatan masyarakat Amerika membuat batasan, sampah (wastes) diartikan sebagai sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia serta tidak terjadi dengan sendirinya (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Notoatmodjo (2007), sumber-sumber sampah terdiri dari: a. Sampah yang berasal dari pemukiman (domestic wastes)

b. Sampah yang berasal dari tempat-tempat umum c. Sampah yang berasal dari perkantoran

d. Sampah yang berasal dari jalan raya

e. Sampah yang berasal dari industri (industrial wastes) f. Sampah yang berasal dari pertanian/perkebunan g. Sampah yang berasal dari pertambangan

h. Sampah yang berasal dari peternakan dan perikanan

(45)

prinsip-prinsip terbaik dari kesehatan masyarakat seperti teknik (engineering), perlindungan alam (conservation), keindahan dan pertimbangan-pertimbangan lainnya, serta mempertimbangkan sikap masyarakat. Pengelolaan sampah pada saat ini merupakan masalah yang kompleks karena semakin banyaknya sampah yang dihasilkan, beraneka ragam komposisinya, makin berkembangnya kota, terbatasnya dana yang tersedia dan masalah lainnya yang berkaitan (Mubarak dan Chayatin, 2009).

Cara-cara pengelolaan sampah menurut Notoatmodjo (2007) antara lain:

a. Pengumpulan dan pengangkutan sampah

Pengumpulan sampah menjadi tanggung jawab dari masing-masing rumah tangga atau institusi yang menghasilkan sampah. Oleh sebab itu, mereka harus membangun atau mengadakan tempat khusus untuk mengumpulkan sampah. Kemudian dari masing-masing tempat pengumpulan sampah tersebut harus diangkut ke tempat penampungan sementara (TPS) sampah dan selanjutnya ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah.

(46)

maupun TPA. Sampah rumah tangga daerah pedesaan biasanya didaur ulang menjadi pupuk.

b. Pemusnahan dan pengolahan sampah

Pemusnahan dan/atau pengolahan sampah padat ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain:

1) Ditanam (landfill), yaitu pemusnahan sampah dengan membuat lubang di tanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah.

2) Dibakar (inceneration), yaitu memusnahkan sampah dengan dibakar dalam tungku pembakaran (incenerator).

3) Dijadikan pupuk (composting), yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk kompos khususnya untuk sampah organik seperti dedaunan, sisa makanan dan sampah-sampah lain yang dapat membusuk. Di daerah pedesaan hal ini sudah biasa, sedangkan di daerah perkotaan hal ini perlu dibudidayakan. Apabila setiap rumah tangga dibiasakan untuk memisahkan sampah organik dan anorganik, kemudian sampah organik diolah menjadi pupuk tanaman, pupuk tersebut dapat dijual atau dipakai sendiri. Sampah anorganik dibuang kemudian dipungut oleh pemulung. Dengan demikian maka masalah persampahan akan berkurang.

(47)

kontak yang langsung dengan sampah tersebut. Misalnya saja seperti sampah beracun, sampah yang korosif terhadap tubuh, sampah yang karsinogen, teratogenik dan sebagainya. Selain itu, ada pula sampah yang mengandung kuman patogen sehingga dapat menimbulkan penyakit. Sampah ini dapat berasal dari sampah rumah tangga selain sampah industri.

Pengaruh tidak langsung dapat dirasakan masyarakat akibat proses pembusukan, pembakaran dan pembuangan sampah. Dekomposisi sampah biasanya terjadi secara aerobik, dilanjutkan secara fakultatif dan secara anaerobik apabila oksigen telah habis. Dekomposisi anaerobik akan menghasilkan cairan yang disebut leachate beserta gas. Leachate atau lindi ini adalah cairan yang mengandung zat padat tersuspensi yang sangat halus dan hasil penguraian mikroba yang biasanya terdiri dari Ca, Mg, Na, K, Fe, Klorida, Sulfat, Fosfat, Zn, Ni, CO2, H2O, N2, NH3, H2S, H2 dan Asam organik (Slamet, 2009).

(48)

2.5 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Kepadatan Lalat

Personal Hygiene (Kebiasaan Cuci Tangan Setelah Buang Air Besar Ibu

Balita, Kebiasaan Cuci Tangan Sebelum Makan Ibu Balita, Kebiasaan

Balita Buang Air Besar) Diare pada balita

Sanitasi Dasar (Sarana Air Bersih,

Penyediaan Jamban, Sarana

Pembuangan Air Limbah, Sarana

Gambar

Gambar 2.1 Siklus Hidup Lalat
Gambar 2.3 Larva Lalat
Gambar 2.4 Pupa Lalat
Gambar 2.6 Perangkap Model 1
+5

Referensi

Dokumen terkait

manfaat ( benefit) perusahaan asuransi dapat menemukan segmen yang tepat untuk.. bisnisnya, misalnya dari beberapa segmen yang ada ternyata ada segmen

 3.5.1 menggali informasi penting dari teks narasi sejarah yang disajikan secara lisan dan tulis menggunakan aspek: apa, di mana, kapan, siapa, mengapa, dan bagaimana;. IPA 

Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai disebut dalam Pasal 53g.

untuk mengiringi lagu bertangga nada mayor dan minor. JURNAL

Inovasi Teknologi dan Informasi untuk Optimalisasi Energi. Rekayasa Teknologi Industri

Ira pada tahun 2008 telah melaporkan kejadian yang dialaminya ini ke Kepolisian Metro Tangerang Kota, namun kurang mendapat tanggapan yang berarti dan kasusnya pun

Masalah utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: Apakah penerapan Metode Make a Match dapat meningkatkan hasil belajar mata pelajaran fiqih materi Pengeluaran

Analisis dengan Cara Gambar Bahasa Rupa .... Analisis dengan Unsur dan Prinsip Seni