BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada awal masa orde baru tahun 1960-an produktivitas padi di Indonesia hanya
1-1,5 ton/ha, sementara jumlah penduduk pada masa itu sekitar 90 jutaan sehingga
produksi dalam negeri masih mencukupi. Namun ancaman kekurangan pangan
sudah di depan mata mengingat pertumbuhan penduduk rata-rata 2,5 persen per
tahun. Hal ini juga didorong dengan berkembangnya Teori Malthus yang
menjelaskan bahwa ketersediaan bahan pangan tidak mampu mengimbangi
pertumbuhan penduduk yang semakin pesat. Dengan landasan tersebut maka
lahirlah ”revolusi hijau” dan mulai diberlakukan di Indonesia sekitar tahun
1970-an. Intensifikasi pertanian melalui program BIMAS (Bimbingan
Masyarakat) padi sawah menjadi tumpuan bagi peningkatan produksi pangan
nasional. Usaha peningkatan produksi pangan di Indonesia dilakukan dengan
penggunaan berbagai bahan kimia sintetis mulai dari bibit baru varietas unggul,
pupuk kimia dan pestisida kimia (Sugiyanto, 2011).
Terbukti “revolusi hijau” telah mampu meningkatkan produktivitas subsektor
pertanian pangan beras. Data Departemen Pertanian (2007), menunjukkan bahwa
dari tahun 1980 hingga tahun 1990 produktivitas padi meningkat 40,2 % sejalan
dengan meningkatnya pemakaian pupuk sebesar 50,3 % dan pestisida sebesar
97,7 %. Pada tahun 1984 produksi padi nasional mencapai 38,14 juta ton dengan
produktivitas 3,91 ton/ha, keberhasilan tersebut membuktikan bahwa Indonesia
1990 ke tahun 1999 mengalami penurunan sebesar 3,9 % walaupun pemakaian
pupuk masih meningkat sebesar 3,47 % dan pemakaian pestisida meningkat
sebesar 74,42 %.
Salah satu faktor utama penyebab penurunan produktivitas padi di Indonesia
adalah penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang menyebabkan tanaman padi
rentan terhadap hama, pencemaran air, udara dan kejenuhan tanah sehingga
menurunkan produktivitas dan kualitas dalam jangka panjang serta menyebabkan
produksi pangan tidak lagi aman untuk dikonsumsi karena menimbulkan penyakit
bagi manusia (Saragih, 2008).
Belajar dari dampak negatif penggunaan pupuk dan pestisida kimia sebagai
alternatif teknik bertanam secara aman, baik untuk lingkungan maupun manusia.
Hal inilah yang kemudian melahirkan teknik bertanam secara organik atau
pertanian organik dengan penggunaan varietas lokal yang alami, pupuk dan
pestisida organik sehingga mampu menyediakan bahan pangan yang aman dan
penghidupan secara berkelanjutan.
Menurut Andoko (2002), pertanian organik mulai berkembang pada tahun 1997,
krisis ekonomi melambungkan harga sarana produksi pertanian berupa pupuk dan
pestisida kimia yang mengakibatkan biaya produksi menjadi tinggi sehingga
keuntungan menurun. Inilah yang menyebabkan petani mulai berpaling ke
pertanian organik dengan memanfaatkan bahan-bahan alami sekitar.
Dalam perkembangan pertanian organik di Indonesia pemerintah juga berperan
dengan mulai mencanangkan program Go Organic 2010 oleh Departemen
mempercepat terwujudnya pembangunan agribisnis berwawasan lingkungan
(eko-agribisnis) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani
(Departemen Pertanian, 2007).
Tabel 1. Sasaran Produksi Pertanian Organik 2008-2015
No Komoditi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Satuan
1 Padi 279 562 852 1.146 1.736 2.236 2.948 3.571 1000 ton
2 Kedelai 4 8 12 16 25 33 42 51 1000 ton
3 Sayuran 33.461 68.802 106.103 145.446 224.300 307.471 395.139 487.490 ton
4 Kopi 3.171 6.398 9.682 13.023 19.707 26.507 33.425 40.463 ton
5 Kakao 5.215 11.786 19.975 30.093 51.003 76.838 108.524 147.146 ton
6 Teh 201 403 608 814 1.226 1.642 2.062 2.485 ton
Sumber : Departemen Pertanian, 2007
Berdasarkan data pada Tabel 1. Komoditi padi merupakan komoditi yang menjadi
sasaran produksi paling tinggi jika dibandingkan dengan komoditi lainnya.
Peningkatan sasaran produksi padi organik berkaitan dengan meningkatnya
permintaan produk organik baik dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini sangat
mendukung pengembangan pertanian padi organik di Indonesia.
Perkembangan program Go Organic 2010 hingga saat ini belum dapat dikatakan
berhasil. Cita-cita pemerintah untuk menjadikan Indonesia salah satu produsen
pangan organik utama dunia pada tahun 2010 belum terpenuhi karena terdapat
beberapa kendala yang terkait dengan kurangnya sosialisasi dari pemerintah
mengenai program Go Organic 2010 di seluruh Indonesia, seperti penyuluhan
mengenai pertanian organik, sosialisasi mengenai standar nasional pertanian
organik, bantuan teknis serta sertifikasi dan akses pasar. Namun beberapa output
dan outcome dari kegiatan utama program Go organic sudah mulai mengalami
Data Statistik Pertanian Organik Indonesia menunjukkan bahwa total luas area
pertanian organik di Indonesia pada tahun 2012 adalah 213.023,55 Ha angka ini
turun sekitar 5 % dari total luas area pertanian organik tahun 2011. Luas area
tersebut meliputi luas lahan disertifikasi (organik dan konversi) yaitu 29,16 % dari
total luas area pertanian organik di Indonesia, dalam proses sertifikasi yaitu
0,6776% dari total luas area pertanian organik di Indonesia, dijamin PAMOR
(Penjamin Mutu Organis Indonesia) yaitu 0,0024 % dari total luas area pertanian
organik di Indonesia dan tanpa sertifikasi yaitu 70,16 % dari total luas area
pertanian organik di Indonesia. Pada luas area pertanian organik yang disertifikasi
terjadi tren penurunan sebanyak 31 % dari tahun 2011, hal ini berbeda dengan
area pertanian organik tanpa sertifikasi yang setiap tahunnya selalu mendominasi
(Aliansi Organis Indonesia, 2013).
Sumatera Utara adalah salah satu provinsi penghasil beras organik. Total luas area
padi organik di Provinsi Sumatera Utara saat ini masih sekitar 46 Ha tersebar di
tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Deli Serdang, Toba Samosir dan Serdang
Bedagai.
Salah satu desa yang telah menerapkan pertanian organik adalah Desa Lubuk
Bayas. Desa ini terletak di Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai,
Provinsi Sumatera Utara. Mayoritas masyarakat di desa ini memiliki mata
pencaharian utama yaitu bertani, terutama bertani padi.
Di desa Lubuk Bayas terdapat 6 Kelompok Tani dan Kelompok Tani Subur
merupakan satu-satunya kelompok pertanian padi organik di desa ini. Kelompok
produksi, seperti pembuatan kompos dengan memanfaatkan kotoran ternak atau
tumbuh-tumbuhan yang dikeringkan dan pembuatan insektisida hayati yang
dibuat dari tumbuh-tumbuhan dan kotoran hewan, yaitu daun sirih, tembakau,
akar pinang muda dan urin sapi serta sebagai pencegah gulma mereka
memanfaatkan siput murbei. Pada kegiatan pengolahan dari gabah menjadi beras
Kelompok Tani Subur masih bercampur dengan kilang padi anorganik karena
ketersediaan kilang khusus organik masih terbatas.
Beras Organik dipasarkan melalui koperasi Jaringan Pemasaran Pertanian Selaras
Alam (JAPPSA), Lembaga Swadaya Masyarakat BITRA Bahagia dan distributor
distributor. Berdasarkan hasil data pra survey dari bidang pemasaran Kelompok
Tani Subur pada Tabel 2. Penjualan beras organik di Desa Lubuk Bayas
mengalami peningkatan, permintaan akan beras organik mengalami trend
meningkat setiap tahun.
Tabel 2. Perkembangan Penjualan Beras Organik di Desa Lubuk Bayas Tahun 2008-2012
Tahun Jumlah Penjualan (ton)
2009 7,5 ton
2010 13 ton
2011 15 ton
2012 35 ton
Sumber : Kelompok Tani Subur, 2013
Menurut salah satu responden selaku pelopor pengembangan padi organik dan
Ketua Kelompok Tani Subur, ide tentang pertanian organik di Desa Lubuk Bayas
mulai muncul pada tahun 1990 namun sosialisasi dan penerapannya mulai
Tabel 3. Perkembangan Luas Lahan Padi Organik di Desa Lubuk Bayas Tahun 2008-2013
Tahun Luas Lahan (Ha)
2008 3
2009 3
2010 7
2011 12
2012 21
Sumber : Kelompok Tani Subur, 2013
Berdasarkan Tabel 3. Jumlah luas padi organik di Desa Lubuk bayas yaitu 21 Ha,
luas ini masih jauh bila dibandingkan dengan luas lahan padi anorganik
(konvensional) yaitu 385 Ha. Peningkatan luas lahan padi organik pada Tabel 3.
Merupakan indikasi bahwa perkembangan luas lahan padi organik masih lambat
begitu juga dengan perkembangan kegiatan sistem agribisnis beras organik pada
Kelompok Tani Subur sedangkan permintaan akan beras organik setiap tahunnya
cenderung semakin meningkat. Peningkatan permintaan tidak sebanding dengan
peningkatan produksi.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka perlu dilakukan penelitian
mengenai strategi pengembangan sistem agribisnis beras organik yang mencakup
penyediaan sarana produksi (saprodi) pertanian, pelaksanaan usahatani,
penanganan pasca panen dan pemasaran serta kegiatan penunjang di Desa Lubuk
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan
yang perlu diteliti sebagai berikut :
1. Faktor–faktor apa saja yang mempengaruhi pengembangan sistem agribisnis
beras organik di daerah penelitian?
2. Bagaimana strategi pengembangan sistem agribisnis beras organik di daerah
penelitian ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor–faktor yang mempengaruhi
pengembangan sistem agribisnis beras organik di daerah penelitian
2. Menganalisis strategi pengembangan sistem agribisnis beras organik di
daerah penelitian.
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Sebagai bahan informasi dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan
bagi petani padi organik untuk meminimalkan kelemahan dan ancaman dalam
rangka perbaikan dan pengembangan sistem agribisnis beras organik di Desa
Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sehingga
dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.
2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan instansi-instansi terkait dalam
melaksanakan pertanian organik yang berkelanjutan.
3. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak-pihak yang membutuhkan
dalam melakukan penelitian, khususnya penelitian mengenai sistem