1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Di era globalisasi dunia yang ditandai oleh pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini,
kecakapan berliterasi peserta didik sangat diperlukan,
karena menjadi prasyarat utama memahami informasi
secara analitis, kritis, dan refktif. Akan tetapi,
kenyataanmenunjukkan, bahwa pembelajaran sekolah
di Indonesia belum mampu mewujudkan kecakapan
berliterasi peserta didik, yang pada umumnya masih
termasuk kategori rendah dibandingkan dengan negara
lain. Penyebab utama dari rendahnya kecakapan literasi
tersebut adalah karena masih rendahnya minat baca
para peserta didik di Indonesia.
Hasil tes dan survey PISA 2015,yang dirilis oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada bulan
Oktober 2016, menyebutkan bahwa performa siswa-siswi
Indonesia untuk penguasaan materi sains, membaca dan
matematika masih tergolong rendah. Berturut-turut
rata-rata skor pencapaian siswa-siswi Indonesia untuk sains,
membaca, dan matematika berada di peringkat 62, 61,
dan 63 dari 69 negara yang dievaluasi. Peringkat dan
2 hasil tes dan survey PISA terdahulu padatahun 2012
yang juga berada pada kriteria peringkat yang rendah.
Dilihat dari indikator utama berupa rata-rata skor
pencapaian siswa-siswi Indonesia di bidang sains,
matematika, dan sains memang mengkhawatirkan.
Apalagi kalauyangdilihat adalah peringkat Indonesia
dibandingkan dengan negara lain. Tersirat kekhawatiran
kitatentang kemampuan daya saing kita pada masa yang
akan datang. Jangankan dibandingkan dengan
Singapura yang menjuarai semua aspek dan indikator
penilaian, dengan sesama negara Asia Tenggara yang
lainpun kita tertinggal. Tercatat Vietnam yang jauh di
peringkat atas dan Thailand yang juga unggul di atas
Indonesia. Peringkat Indonesia untuk bidang
matematika sebenarnya naik dari peringkatsebelumnya,
namun tetap saja masih berada di level bawah.
(Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah,
Kemendikbud, 2016, 2)
Rendahnya tingkat literasi membaca itu bisa
dikaitkan dengan Angka Buta Huruf di Indonesia.
Berdasarkan data di Pusat Data dan Statistik
Kemendikbud tahun 2015, Angka Buta Huruf di
Indonesia mencapai 5.984.975 orang. Jumlah ini tersebar
di 6 provinsi, meliputi Jawa Timur (1.258.184), Jawa
Tengah (942.683), Jawa Barat (604.683), Papua
(584.441), Sulawesi Selatan (375.321) dan Nusa Tenggara
3 Angka tersebut tentu berpengaruh secara signifikan
terhadap tumbuh berkembangnya minat baca
masyarakat. Karena itu program pemberatasan Buta
Huruf perlu ditingkatkan sejalan dengan Program
pembudayaan minat baca masyarakat. Sekolah sebagai
garda terdepan dalam implementasi kebijakan literasi
sekolah perlu dioptimalkan peranan dan fungsinya dalam
membudayakan minat baca kepada peserta didik.Hal ini
perlu dilakukan karena proses pendidikan di sekolah dan
kebiasaan di lingkungan keluarga terbukti belum mampu
mendorong peserta didik untuk mengembangkan budaya
literasi, sekalipun dalam wujud yang paling mendasar,
yaitu kebiasaan membaca dan menulis.
Dari uraian tersebut dapat dinyatakan, bahwa
proses pembelajaran di sekolah belum memperlihatkan
fungsi sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang
berupaya menjadikan semua warganya menjadi terampil
membaca untuk mengantarkan mereka menjadi
pembelajar sepanjang hayat. Hal ini berarti bahwa proses
pembelajaran di sekolah belum mampu mendorong
peserta didik untuk selalu berusaha memperoleh ilmu
dan pengetahuan dari kegiatan membaca, menyimak,
menulis, dan menganalisis informasi yang notabene
merupakan keterampilan berliterasi.
Berdasarkan hal tersebut, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan mengembangkan gerakan literasi
4 kepentingan di bidang pendidikan, mulai dari tingkat
pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan
pendidikan. Selain itu, pelibatan unsur eksternal dan
unsur publik, yakni orang tua peserta didik, alumni,
masyarakat, dunia usaha dan industri juga menjadi
komponen penting dalam GLS. Gerakan Literasi Sekolah
juga dimaksudkan sebagai sebuah program untuk
mengembangkan sekolah sebagai organisasi
pembelajaran, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
bertekad menjadikan Gerakan Literasi Sekolah (GLS)
sebagai upaya memperkuat gerakan penumbuhan budi
pekerti seperti dimaksud dalam Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015.
Salah satu kegiatan di dalam gerakan tersebut adalah “kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran
sebelum waktu belajar dimulai”. Kegiatan ini
dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca peserta
didik serta meningkatkan keterampilan membaca agar
pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Materi
baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal,
nasional, dan global yang disampaikan sesuai tahap
perkembangan peserta didik.
Sejalan dengan program GLS, Pemerintah Kota
Salatiga pada peringatan Hari Pendidikan Nasional
tanggal 2 Mei 2016, juga telah mencanangkan Kota
Salatiga sebagai Kota Literasi. Dengan pencanangan
5 Salatiga bertekad untuk menumbuhkembangkan budaya
literasi bagi segenap warganya. Sasaran dari program
Salatiga Kota Lierasi adalah membudayakan minat baca
di kalangan masyarakat, utamanya para peserta
didik.Oleh sebab itu, Program GLS menjadi bagian
integral dari program Kota Literasi.
Dalam kaitan ini perlu pula dikemukakan tentang
penelitian yang relevan tentang Gerakan Literasi Sekolah
sebagaimana dilakukan oleh Yunita Fajarwati (2012),
Hasil Penelitiannya yang berjudul Pengaruh Kemampuan
Literasi Informasi terhadap Prestasi Pelajar SMAN I
Depok, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang
linier antara Kemampuan Literasi Informasi dengan
Prestasi Siswa. Artinya semakin baik kemampuan
Literasi yang dikuasai terbukti berpengaruh signifikan
terhadap Prestasi Belajar siswa tersebut.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Ika Ulfa Dwi
Ratih F (2017), berjudul Program Membaca lima belas
menit (Sustained Silent Reading) Pada Siswa Siswi
Sekolah Dasar Negeri Surabaya, menunjukkan bahwa
program membaca lima belas menit merupakan program
yang efektif untuk meningkatkan keahlian membaca dan
menulis yang dilihat dari kesenangan siswa ketika
mengikuti program serta karya yang telah dihasilkan
oleh para siswa, program membaca lima belas menit juga
6 Dari hasil dua penelitian diatas dapat
disimpulkan.bahwa Program Literasi Sekolah memang
sangat diperlukan untuk meningkatkan budaya
membaca para peserta didik. Hal ini didasari oleh
kenyataan bahwa kemampuan literasi peserta didik
sangat dipengaruhi oleh kemampuan berliterasi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Yunita
Fajarwati, lebih difocuskan kepada mencari pengaruh
Kemampuan Literasi Informasi terhadap Prestasi Pelajar
Sekolah Menengah Atas atau jenjang menengah atas,
sedang penelitian yang dilakukan oleh Ika Ulfa Dwi Ratih
F, lebih menyoroti implementasi Program Membaca lima
belas menit (Sustained Silent Reading) pada Siswa Siswi
Sekolah Dasar, sehingga masih memberi ruang untuk
dilakukan penelitian serupa pada jenjang Sekolah
Menengah Pertama. Atas dasar pertimbangan itulah,
dipandang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
tentang Pelaksanaan Program Gerakan Literasi Sekolah
pada jenjang Sekolah Lanjutan Pertama.
Program GLS di Salatiga mulai dilasanakan tahun
2016 lalu, tepatnya satu tahun sejak dikeluarkannya
Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 23 Tahun
2015.Program GLS di Salatiga dilaksanakan sejalan
dengan pencanangan Kota Salatiga sebagai Kota
Literasi.Setelah memasuki tahun keduapenetapan Kota
Literasi tersebut, semua Sekolah Menengah Pertama
7 Bentuk kegiatan utama yang dilaksanakan oleh SMP di
Salatiga pada umumnya adalah Kegiatan Membaca 15
menit sebelum jampelajaran dimulai. Pada beberapa
sekolah Kegiatan membaca 15 menit sebelum jam
pelajaran dimulai bahkan telah dikembangkan lebih
lanjut dengan kegiatan lain sesuai dengan kebutuhan
sekolah masing-masing.
Sebagai salah satu program yang relatif masih baru
GLS ini perlu mendapat evaluasi karena program ini
akan dilaksanakan secara berkelanjutan sampai batas
waktu yang tidak bisa ditetapkan dan sesuai dengan
kebijakan pemerintah. Dalam kenyataannya
pelaksanaan Program Gerakan Literasi Sekolah (GLS)
pada jenjang SMP negeri di Salatiga belum pernah
dilakukan evaluasi. Padahal langkah evaluasi menjadi
sangat penting guna mengetahui bagaimana
pelaksanaan program, sejauhmana tujuan program
dapat dicapai,faktor apa yang mempengaruhi
pelaksanaan program,dan apa dampak program
terhadap pengembangan budi pekerti siswa,yang
menjadi tujuan utama dikeluarkannya Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor23 Tahun
2015 tentang Pengembangan Budi Pekerti.
Wirawan (2011), menyatakan bahwa semua
program perlu dievaluasi untuk menentukan apakah
layanan atau intervensinya telah mencukupi tujuan yang
8 evaluasi perlu dilakukan oleh para pemangku
kepentingan secara berjenjang, baik Sekolah, Pemerintah
Daerah maupun Pemerintah (pusat).
Tindakan evaluasi yang dilakukan terhadap suatu
program dapat membantu mengukur tujuan program
tersebut.Menurut Sukardi (2008) evaluasi merupakan
sebuah upaya yang dilakukan dalam rangka menilai
ketercapaian suatu program.Selain untuk mengukur
ketercapain tujuan, evaluasi juga dijalankan untuk
mengetahui bagaimana Perencanaan Program itu
disusun dan bagaimana program itu dilaksanakan, serta
untuk mengetahui adakah pengaruh-pengaruh (baik
positif maupun negatif) yang muncul selama program
berlangsung,serta untuk mengetahui bagaimana dampak
dari program GLS tersebut
Untuk keperluanevaluasi yang demikian itu,
sangatlah tepat digunakan Model Evaluasi Bebas Tujuan
(Goal Free Evaluation) yang dikembangkan oleh Michael
Scriven. Dengan model Evaluasi Bebas Tujuan, maka
dalam melaksanakan evaluasi program, evaluator tidak
semata-mata hanya memperhatikan apa yang menjadi
tujuan program,melainkan juga untuk mengevaluasi
bagaimana bekerjanya program atau bagaimana proses
yang terjadi dalam pelaksanaan program
terssebut.Proses atau berjalannya program dapat dilihat
dengan jalan mengidentifikasi penampilan-penampilan
9 diharapkan) maupun hal-hal negatif (yang sebenarnya
tidak diharapkan)
Salah satu SMP di Salatiga yang telah
melaksanakan Program GLS adalah SMPN 6 Salatiga.
Meskipun telah memasuki tahun kedua Program GLS
dilaksanakan di SMPN 6,namun belum pernah
dilakukan Evaluasi. Padahal evaluasi ini sangat penting
dilakukan untuk menentukan kelanjutan pelaksanaan
program GLS di SMPN 6 periode berikutnya.Atas dasar
latar belakang itulah dipandang perlu adanya penelitian
evaluative terhadap pelaksanaan Program GLS di SMPN
6 Salatiga.
1.2.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaiman diuraikan
di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah :
1.Bagaimana Perencanaan Program Gerakan Literasi
Sekolah di SMPN 6 Salatiga?
2. Bagaiamana pelaksanaan Program Gerakan Literasi Sekolah di SMPN 6 Salatiga?
3.Bagaimana pencapaianTujuan Program GLS di SMPN
6 Salatiga ?
4.Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
pelaksanaan Program Gerakan Literasi Sekolah di
10 5.Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh
pelaksanaan Program Gerakan Literasi Sekolah di
SMPN 6 Salatiga?
1.3.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1.Untuk mengevaluasi Perencanaan Program Gerakan
Literasi Sekolah di SMPN 6 Salatiga.
2.Untuk mengevaluasi pelaksanaan Program Gerakan
Literasi Sekolah di SMPN 6 Salatiga.
3.Untuk mengevaluasi Pencapaian Tujuan Program
Gerakan Literasi Sekolah di SMPN 6 Salatiga
4.Untuk mengevaluasi faktor-faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan Program Gerakan
Literasi Sekolah di SMPN 6 di Salatiga.
5.Untuk mengevaluasi dampak yang ditimbulkan oleh
pelaksanaan Program Gerakan Literasi Sekolah di
SMPN 6 Salatiga.
1.4.Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan bermanfaa
tuntuk menambah pengetahuan dalam bidang
pendidikan, khususnya mengenaievaluasi program
Gerakan Literasi Sekolah dengan menggunakan model
Goal Free Evaluation. Disamping itu hasil penelitian
ini juga diharapkan dapat memberikan bahan untuk
11 2.Manfaat Praktis
1)Bagi Sekolah, Hasil penelitian ini dapat dijadikan
bahan evaluasi untuk mengembangkan program
GLS di SMPN 6 Salatiga pada tahun berikutnya.
2)Bagi Instansi yang berwenang, khususnya Dinas
Pendidikan Kota Salatiga, hasil penelitian ini dapat
dijadikan referensi untuk menyusun Petunjuk