BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Allah SWT, menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna
dibandingkan dengan makhluk lainnya di bumi. Namun suatu bentuk yang dapat
dirasakan dari kesempurnaan itu adalah dengan diberikannya manusia akal yang
berguna untuk berpikir dan hati nurani yang ada pada manusia, tetapi disamping itu
juga keberadaan manusia di muka bumi tidak hanya untuk hidup saja bahkan turut
serta dan aktif dalam mengisi kehidupannya sehari-hari.
Salah satu bentuk turut sertanya dan aktif dalam mengisi kehidupannya itu
adalah perkawinan. Suatu perkawinan adalah salah satu lembaga kemasyarakatan
yang paling tua, dan paling pertama kali diatur oleh aturan hukum sejak dahulu kala.
Adapun tujuan dari perkawinan bagi manusia tidak hanya untuk mendapatkan
keturunan, tetapi lebih dari itu adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan
bathin sekaligus yang terpenting adalah melaksanakan perintah agama dan juga
membentuk sebuah keluarga. Pelengkap dari suatu keluarga adalah kelahiran anak,
apabila di dalam keluarga telah dikaruniai anak, hendaknya keluarga tersebut harus
memperhatikan kepentingan seorang anak baik secara rohani, jasmani, maupun
perkembangan di dalam lingkungan sosialnya.
Keluarga dapat diartikan sebagai wadah yang digunakan dalam rangka
pembinaan dan kesejahteraan setiap orang dan juga dapat melanjutkan silsilah
sah.
Di dalam bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah,1 yang bermakna al-
wathi’ dan al-dammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna
bersetubuh, berkumpul dan akad.2 Pernikahan berasal dari kata nikah yang menurut
bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan dan digunakan untuk arti
bersetubuh.3 Nikah atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan,
membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan perempuan yang antara
keduanya bukan muhrim. Kata nikah sering digunakan untuk arti persetubuhan, juga
untuk arti akad nikah.4
Perkawinan merupakan suatu lembaga masyarakat yang melegitimasi hidup
bersama antara seorang laki-laki dewasa dengan seorang perempuan dewasa dalam
satu rumah tangga (keluarga). Hidup bersama disini lepas dari pengertian dalam ilmu
hayat (biologi) yang ditandai dengan adanya kegiatan persetubuhan antara seorang
laki-laki dan perempuan yang hidup bersama tersebut, “ tetapi lebih jauh lagi adalah
bahwa hidup bersama itu harus memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang
berlaku”.5
Mengenai perkawinan di Indonesia diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disebutkan “ perkawinan adalah
1
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelesaian Penterjemah Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hal. 468
2
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai KHI, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal.38
3
Armia, Bahan Ajar Fiqh Munakahat, La-Tansa Press, Medan, 2011, hal.1 4Ibid
5
ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ”.6 Adapun hukum perkawinan yang berlaku
bagi tiap-tiap agama tersebut satu sama lain ada perbedaan akan tetapi tidak saling
bertentangan. Dari pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dapat
diambil suatu pengertian bahwa perkawinan menurut undang-undang ini adalah suatu
“tujuan ideal yang tinggi dan mencakup suatu pengertian jasmaniah dan rohaniah
yang akan melahirkan suatu keturunan”.7
Dalam bahasa Indonesia pernikahan adalah perbuatan nikah,8 dan yang disebut
perkawinan yang berarti ”ikatan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan
hukum dan ajaran agama”.9 Sedangkan menurut syara nikah berarti akad yang
mengakibatkan bolehnya melakukan istimta (campur) dengan seorang wanita , dan ini
dapat terjadi jika wanita itu bukan orang yang haram dinikahi karena hubungan nasab
sesusuan dan hubungan semenda (pernikahan).10
Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya
merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.11
6
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 7
M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan :CV.Rajawali,1986), hal.3 8
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal.782
Mohd.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, 2004, hal.70
Perkawinan adalah sah, apabila
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perkawinan juga merupakan akad atau perjanjian, tetapi bukan berarti
perjanjian itu sama dengan perjanjian biasa yang diatur didalam buku III KUH
Perdata.12 Perbedaannya bahwa pada perjanjian biasa para pihak berjanji bebas untuk
menentukan isi dari bentuk perjanjiannya, sebaliknya dalam perkawinan para pihak
tidak bisa menentukan isi dan bentuk dalam perjanjiannya selain yang telah
ditetapkan oleh hukum-hukum yang berlaku.13
Didalam perkawinan juga terdapat perjanjian, Perjanjian dalam perkawinan ini
mempunyai/mengandung tiga karakter yang khusus, yaitu :14
Tidak ada seorangpun yang telah melangsungkan perkawinan mengharapkan
rumah tangga yang telah dibangunnya mengalami perceraian, apalagi di dalam 1. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak.
2. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumya.
3. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Setiap perkawinan dapat dipastikan bertujuan untuk membina suatu keluarga
yang bahagia dan kekal dengan tetap diridhoi oleh Allah SWT. Kebahagiaan dan
kekekalan perkawinan ini kadang hampir sering terjadi tidak dapat berlangsung lama
atau dengan kata lain perkawinan yang tidak mendapatkan kebahagiaan lahir dan
bathin yang akhirnya mengakibatkan perceraian.
12
Tengku Erwinsyahbana, Pembatalan Perkawinan Karena Alasan Poligami, Media HukumVol. XIII, Nomor 1, Januari-Juni, 2004,hal.204
13
Ibid
14
perkawinan itu telah dikarunia anak. Walaupun sedemikian tidak menutup
kemungkinan karena sebab-sebab atau suatu hal tertentu yang harus mengakibatkan
perceraian.
Perceraian yang berasal dari kata cerai adalah “putus hubungan sebagai suami
istri”,15 menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerai berarti juga “talak”16. Secara
bahasa talak berasal dari kata ithlaq berarti melepaskan atau meninggalkan.17 Sayyid
Sabiq, dalam bukunya yang berjudul Fiqh as-sunnah mendifinisikan talak adalah “
membuka atau melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami
istri”.18
Menurut ketentuan pasal 39 ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk dapat melakukan
perceraian harus ada cukup alasan, bahwa suami istri tidak akan dapat hidup rukun
sebagai suami istri.19
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat
cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,
ikrar talak, atau putusan taklik talak.
20
Untuk dapat melakukan perceraian salah satu dari pihak laki-laki ataupun
perempuan mengajukan permohonan atau gugatan cerai ke Pengadilan Agama bagi
15
Departemen Pendidikan Nasional, Op.cit, hal.208 16Ibid
17
Armia, Op.cit, hal.98 18
Sayyid Sabiq, Fiqh as-sunnah, Jilid VIII, Al-Ma’arif, Bandung, 1987, hal.9 19
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta, 2005, hal.116 20
yang beragama muslim sedangkan Pengadilan Negeri bagi yang bukan beragama
muslim. Kemudian berkas dan alasan-alasan yang cukup harus diperiksa terlebih
dahulu dan setelah semuanya dipertimbangkan dengan baik maka hakim baru dapat
memutuskan dan mengabulkan permohonan atau gugatan cerai tersebut.
Perceraian adalah terlarang, banyak larangan Tuhan dan Rasul mengenai
perceraian antara suami dan istri. Tak ada sesuatu yang halal yang paling dimarahi
oleh Tuhan selain dari talak.21
Anak adalah salah satu tujuan dari adanya pernikahan atas suatu perkawinan,
yaitu yang dikatakan anak adalah seseorang yang dilahirkan dari rahim seorang
wanita, apabila dikaitkan dengan ibu. Bila dikaitkan dengan keduanya atau ibu
maupun bapak maka anak adalah seseorang yang dilahirkan setelah adanya
pernikahan yang sah antara kedua orang tuanya. Anak juga merupakan anugerah yang
diberikan oleh Allah SWT kepada hambaNya, tetapi tidak semua insan di dunia juga
diberikan kepercayaan untuk memiliki dan mengasuh anak. Oleh karena itu kehadiran
anak dalam rumah tangga adalah suatu kenikmatan dan rasa syukur yang begitu besar
terhadap Allah SWT, sehingga wajib dan harus disyukuri dan juga merupakan
belahan jiwa setiap jiwa. Anak adalah sumber kebahagiaan dan kesejahteraan yang Adapun akibat yang terjadi terhadap perceraian adalah anak, dimana anak
yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya
sudah meninggal dunia bisa dirawat oleh ayahnya, anak yang belum mumayyiz juga
dapat memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.
21
mampu membuat setiap insan menjadi lebih bahagia, karena dialah rezeki dicari dan
lantarannya pada cita-cita dan harapan digapai.
Perceraian dapat menimbulkan efek-efek yang kurang baik dari segi moral
maupun keluarga, bahkan yang sudah memiliki anak membawa tanggung jawab yang
lebih berat, sehingga anak-anak dapat saja mengalami perubahan dalam kehidupan
sehari-hari mereka apalagi setelah perceraian itu terjadi, yang mana mengigat anak-
anak masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang maupun pendidikan yang
semestinya harus didapat kedua orangtuanya.
Terkadang orangtua beranggapan bahwa dalam perceraian mereka, persoalan
anak dapat diselesaikan nanti setelah masalah perceraian diselesaikan. Padahal tidak
demikian adanya dan sederhananya, bahwa penyelesaian terhadap anak lebih dapat
dan mudah dicapai. Dalam kondisi dan situasi apapun harus tetap diingat bahwa anak
juga adalah individu yang mempunyai hak-hak dasar yang harus diakui sebagaimana
halnya orang dewasa. Berarti anak adalah subjek kehidupan, bukan objek yang dapat
diperlakukan sesuka hati orang dewasa (orangtua). Oleh karena itu, didalam
perceraian orangtua, anak merupakan salah satu subjek dan kepentingan anak tetap
harus menjadi prioritas yang utama.
UU Perkawinan dan KHI menentukan perceraian hanya dapat dilaksanakan
bila dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah melalui proses dan tahapan tertentu.
Perkawinan,22 dan Pasal 115 KHI.23
Kehadiran anak juga di dalam perkawinan menimbulkan hubungan hukum
antara anak dan orang tua, hubungan itu adalah memberikan hak dan kewajiban antara
orangtua dan anak. Kewajiban orang tua dapat dilihat dari ketentuan didalam Pasal 45
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan :
Diadakannya ketentuan hukum yang berkaitan
dengan perceraian tentunya untuk menghilangkan kesan bahwa proses perceraian
dapat dilakukan dengan teramat mudah, disamping juga untuk melindungi hak bekas
istri dan hak anak setelah terjadinya perceraian.
24
Selanjutnya Pasal 46 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan : 1. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
2. Kewajiban orangtua yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan orang tua putus.
25
1. Anak wajib menghormati orangtua dan menaati kehendak mereka yang baik.
2. Jika anak telah dewasa maka ia wajib memelihara menurut kemampuannya orang tua dan keluarga garis lurus ke atas bila mereka memerlukan bantuannya.
Dari kedua pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
timbal balik yang erat yaitu adanya hak dan kewajiban antara orangtua dan anaknya
yang tidak akan berakhir walaupun sampai kedua orangtuanya bercerai.
Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orangtua diatur dalam Pasal 26
ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak.26
22
Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 1997, hal.222
23Ibid
, hal.331 24
Lihat Pasal 45 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 25
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 26
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
“Bahwa pertanggung jawaban orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara
merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi
terlindunginya dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak,
baik fisik, mental, spiritual maupun sosial”.27
Sesuai dengan aturan hukum dan rumusan yang ada di dalam undang-undang,
bahwa untuk dapat menentukan hak pemeliharaan anak yang perlu diperhatikan
adalah demi kepentingan hukum anaknya. Jadi hakim harus bisa benar-benar Seperti halnya juga yang kita lihat dan kita ketahui bahwa permasalahan hak
dan pemeliharaan anak sering timbul dalam kehidupan manusia, sebagai akibat
darinya suatu perceraian yang dilakukan kedua orangtuanya. Oleh karena itu, bagi
orangtua tentunya menginginkan anak-anaknya tetap berada di dekat dan berada
didalam asuhannya, tetapi mau tidak mau antara kedua orang tua yang telah bercerai
harus merelakan anak-anaknya dalam penguasaan salah satu dari mereka, ataupun
dengan jalur pembagian hak asuhnya berdasarkan putusan hakim yang sudah
diputuskan didalam persidangan perceraian mereka.
Anak yang belum dewasa/dapat berdiri sendiri tentu saja masih mempunyai
hak atas pengasuhan kedua orangtuanya, meskipun orangtuanya sudah bercerai dan
semata-mata pengasuhan tersebut demi kepentingan dan kelangsungan hidup anak
tersebut. Namun apabila terjadinya suatu perselisihan dalam penguasaan anak maka
pengadilan yang berhak atau memberikan keputusan yang seadil-adilnya tanpa
sedikitpun mengurangi hak-hak anak tersebut.
27
memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya atau bapaknya. Namun
apabila bapaknya tidak mempunyai jaminan sosial ekonomi untuk bisa membiayai
penghidupan anaknya, maka ibunya yang ternyata lebih mampu untuk membiayainya,
maka sang ibulah yang harus bertanggung jawab memberikan penghidupan kepada
anaknya begitu pula sebaliknya terhadap bapaknya, walaupun seorang bapak dan ibu
diwajibkan untuk membiayai penghidupan anaknya.
Seperti yang telah disinggung diatas bahwa perceraian menimbulkan akibat
bagi anaknya yang telah lahir dalam perkawinan tersebut. Akibat didalam perceraian
terhadap anak diatur dalam Pasal 41 UUP yang menyatakan sebagai berikut :
“Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusan. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaan pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Dan Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri”.
Kenyataan yang kita lihat sebahagian besar yang terjadi dilingkungan
masyarakat Indonesia sekarang terutama yang beragama Islam, apabila terjadi
perceraian dan memiliki anak dibawah umur maka akan menimbulkan permasalahn
dalam hal tanggung jawab orangtua setelah terjadinya perceraian dan antara
permasalahan hak pemeliharaan anak dan tanggung jawab pemberian nafkah terhadap
anak ini sering berbanding terbalik. Maksudnya disini adalah dalam hal hak
pemeliharaan anak orangtua umumnya menginginkan anak-anaknya berada dalam
asuhannya, tetapi untuk kewajiban pemberian nafkah sering kali pihak yang telah
dengan keputusan Pengadilan.
Bagi yang beragama Islam ketentuan mengenai pemeliharaan dapat dilihat
dalam Pasal 105 KHI, yang berbunyi sebagai berikut :
1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Jika dibandingkan dan dilihat dari ketentuan Pasal 41 UUP dengan Pasal 105
KHI, ketentuan keduanya tetap mengatur mengenai hak anak pasca terjadinya
perceraian, hanya saja didalam KHI disebutkan batas umur pemeliharaan anak yang
merupakan hak ibunya, yaitu sampai si anak berumur 12 (dua belas) tahun dan apabila
sudah lewat 12 (dua belas) tahun atau sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
dapat memilih apakah ikut dengan ibunya maupun bapaknya. Sedangkan dalam 41
UUP tidak ditentukan batas usia anak, namun tetap ditentukan adanya kewajiban
orangtua untuk memelihara anak-anaknya.
Berdasarkan uraian di atas, tertarik untuk melakukan penelitian Putusan
mengenai hak asuh anak yang telah di Putuskan oleh Pengadilan Agama di kota
Medan, dengan judul penelitian: “Jatuhnya Hak Hadhanah Kepada Orang
Tua Laki-laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana hak dan kedudukan anak dalam ketentuan hukum Islam ?
2. Bagaimana kewajiban orang tua atas pemeliharaan anak setelah perceraian ?
3. Alasan-alasan hukum apa saja yang digunakan hakim dalam memutuskan hak hadhanah
anak kepada orang tua laki-laki dalam perceraian ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tentang hak dan kedudukan anak dalam ketentuan hukum Islam.
2. Untuk mengetahui kewajiban orang tua atas pemeliharaan anak setelah perceraian.
3. Untuk mengetahui alasan-alasan hukum yang digunakan hakim dalam memutuskan hak
hadhanah anak kepada orang tua laki-laki dalam perkara perceraian.
Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah :
1. Menambah wawasan pembaca terhadap ilmu hukum Perdata khususnya hukum keluarga
yang berkaitan dengan hak hadhanah anak kepada orang tua laki-laki setelah terjadinya
perceraian.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai putusan Pengadilan Agama yang
berhubungan dengan hak hadhanah anak kepada orang tua laki-laki setelah perceraian.
3. Sebagai bahan referensi bagi lembaga Peradilan sebagai bahan pertimbangan bagi
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya
dilingkungan Universitas Sumatera Utara belum pernah ada penulisan skripsi yang
menyangkut hak hadhanah anak kepada orang tua laki-laki dalam hal terjadinya
perceraian, sehingga penulisan skripsi ini adalah asli.
JATUHNYA HAK HADHANAH KEPADA ORANG TUA LAKI-
LAKI KARENA PERCERAIAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN
AGAMA. (Studi Pada Putusan Pengadilan Agama Medan NO. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn)
yang diangkat menjadi judul skripsi ini merupakan hasil karya yang ditulis secara objektif
dan ilmiah melalui pemikiran referensi, dari buku-buku, media elektronik dan bantuan para
narasumber dari pihak-pihak lain. Skripsi ini juga bukan merupakan jiplakan atau merupakan
judul skripsi yang sudah pernah diangkat sebelumnya oleh orang lain.
E. Tinjauan Kepustakaan
Pada prinsipnya perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal. Karena itu antara suami dan istri perlu adanya sikap saling
membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material,
karena itu UU Perkawinan menganut asas atau prinsip mempersukar terjadinya
perceraian.
Di dalam Pasal 38 UU Perkawinan ditegaskan bahwa perkawinan dapat putus
39 UU Perkawinan ditegaskan kembali bahwa perceraian hanya dapat dilakukan did
epan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Apabila perkawinan tersebut putus karena perceraian, persoalan yang terjadi
tidak begitu saja selesai, akan tetapi timbul akibat-akibat hukum yang perlu dipatuhi
oleh pihak-pihak yang bercerai. Akibat hukum yang timbul dari perceraian tidak
hanya kepada pihak suami atau istri, akan tetapi juga terhadap anak-anak yang lahir
dari perkawinan tersebut.
Akibat hukum yang kemudian timbul dari perceraian pada umumnya adalah
tentang hadhanah.28 Secara teminologi hadhanah berarti merawat dan mendidik
seorang yang belum mumayyiz atau yang hilang kecerdasannya karena mereka tidak
bisa memenuhi keperluannya.29 Apabila anak sudah mumayyiz (berumur 12 tahun)
hendaklah diselidiki oleh yang berwajib siapakah diantara kedua orang tuanya yang
lebih baik dan lebih cakap untuk mendidik anak tersebut.30 Selain persoalan
hadhanah, akibat hukum perceraian juga berkaitan dengan biaya hadhanah dan biaya
nafkah anak tersebut dan harta sarikat (harta bersama).31
Setiap anak berhak mendapatkan pemeliharaan (hadhanah) dan kelangsungan
hidup yang layak dari orangtuanya sekalipun telah terjadi perceraian. Pemeliharaan
menurut etimologi adalah “proses, cara, perbuatan memelihara (kan), penjagaan,
28Hadhanah
berasal dari kata “hidhan” yang artinya lambung, para ahli fiqh mendefinisikan hadhanah
ialah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tapi belum tamyiz (berumur 12 tahun), Sayyid Sabbiq Op.cit., hal.42-43
29
Abu Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Ikhtiar Baru, Jakarta, 1999, hal.415 30
M.Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Fakultas Hukum Dharmawangsa, Medan, 1993, hal.12
31
perawatan, pendidikan, penyelamatan, penjagaan harta kekayaan”.32
Menurut Abdul Aziz Dahlan, “Hadhanah ini berarti disamping atau berada
dibawah ketiak. Sedangkan secara terminologisnya merawat dan mendidik seseorang
yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa
memenuhi keperluannya sendiri”.
33
Hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-
laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz (dapat membedakan antara yang baik atau yang buruk) tanpa perintah padanya, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga sesuatu dari yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.
Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa :
34
Anak adalah putra-putri kehidupan didalam sebuah keluarga, masa depan
bangsa dan negara. Oleh karena itu anak memerlukan bimbingan atau pembinaan
yang khusus agar perkembangan fisik, mental maupun spiritualnya dapat dimiliki Dalam Pasal 41 UU Perkawinan, disebutkan akibat putusnya perkawinan
karena perceraian adalah :
1. Baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata mata berdasarkan kepentingan anak ; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, maka Pengadilan memberi keputusannya.
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu ; bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.
32
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal.848
33
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoepe, 1999), hal.415 34
semaksimal mungkin. Anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang
masih kecil dan belum menikah.
Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa anak adalah turunan dari
ayah dan ibu sebagai turunan pertama. Secara hukum perdata pengertian anak tidak
diatur secara eksplisit, namun pengertian anak selalu dikaitkan dengan pengertian
tentang kedewasaan dan masalah batas kedewasaan tidak ada keseragaman dalam
berbagai peraturan perundang-undangan. Pasal 330 KUH Perdata menentukan bahwa
belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu)
tahun dan tidak kawin sebelumnya.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak langsung
mengatur mengenai usia sampai kapan seseorang digolongkan sebagai seorang anak,
bahkan undang-undang membedakan usia dewasa yang dikaitkan kepada
perbuatan hukumnya, sebagaimana dinyatakan didalam Pasal 6 ayat (2) yang memuat
tentang syarat perkawinan, “ Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang
tuanya”. Kemudian dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan memuat batas usia
minimum untuk dapat melangsungkan perkawinan, “perkawinan hanya diizinkan jika
pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Dilihat dari sisi lain Pasal 47 ayat (1) UU
Perkawinan menyatakan, “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya
Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak menyebutkan, “Anak adalah seseorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.35 Sedangkan dalam Pasal 1
angka (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak,
menyatakan, “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun dan belum pernah kawin”.36
Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang
KHI, batas usia dewasa diatur dalam Pasal 98 ayat (1) yang menyatakan, “Batas usia
anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan” Kemudian Pasal 105 huruf a dan b KHI membedakan
anak yang belum dewasa antara yang belum mumayyiz ( belum berumur 12 tahun)
dan telah mumayyiz.37
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003
Tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak), disebutkan
bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih di dalam kandungan.38
Dari 2 (dua) sumber tersebut terdapat pengertian yang sangat berbeda tentang
anak, satu sisi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian anak tidak
35
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak 36
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak 37
Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum umur 12 tahun) merupakan hak ibunya sepanjang tidak terhalang dan yang telah mumayyiz diserahkan kepada anak yang bersangkutan untuk memilih apakah ikut ibunya atau bapaknya
38
melihat kepada batas usia, sedangkan berdasarkan UU Perlindungan Anak, pengertian
anak hanya meliputi yang berusia 0 (nol) tahun sampai dengan 18 (delapan belas)
tahun bahkan yang masih dalam kandungan ibunya juga dikategorikan sebagai anak.
Untuk dapat disebut anak maka anak itu harus berada pada batas usia bawah atau usia
minimum 0 (nol) tahun (terhitung dalam kandungan) sampai dengan batas usia atas.39
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
apabila perkawinan bubar karena perceraian yang dilakukan melalui pengadilan, maka
setiap anak berhak mendapatkan pemeliharaan dan nafkah dari orang tuanya.
Mengasuh anak adalah hak ibu, kalau tidak ada ibu maka diganti oleh kaum wanita
dari keluarga ibu, dan kalau mereka tidak ada maka digantikan oleh kaum wanita dari
keluarga ayah, kemudian keluarga lain dari pihak ibu, kalau tidak ada maka
digantikan oleh keluarga lain dari pihak ayah.
Dari berbagai peraturan yang telah dikemukakan di atas, batas umur anak yang
belum dewasa itu ada 2 (dua) batasan umur yaitu 18 (delapan belas) tahun dan 21
(dua puluh satu) tahun. Hal ini tergantung kepada tindakan atau perbuatan hukum
yang terjadi padanya.
40
Dari beberapa permasalahan yang telah dikemukakan di atas dapat dikatakan
bahwa apabila terjadinya suatu perceraian, maka pemeliharaan anak dan memberikan
kelangsungan hidup yang layak ataupun pemberian nafkah sampai anak tersebut
tumbuh dewasa tetap menjadi tanggung jawab orang tua sesuai keputusan
39
Maulana Hasan Wadung, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hal.24 40
pengadilan.
F. Metode Penelitian 1. Sifat Jenis Penelitian
Penulisan skripsi ini adalah dikaji dan disusun dengan menggunakan
penelitian yang bersifat deskriptif, karena penelitian ini bermaksud untuk menjelaskan
atau menggambarkan keadaan atau fenomena yang berhubungan dengan
permasalahan yang akan di teliti. Adapun Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang
tata kerjanya memberikan data seteliti mungkin tentang segala hal yang berhubungan
dengan aktivitas manusia, karya manusia, keadaan dan gejala-gejala lainnya.
Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu suatu
penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum/ norma-norma hukum atau
prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan “Jatuhnya Hak Hadhanah
Kepada Orang Tua Laki-laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan
Pengadilan Agama MedanNO. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn”.
2. Sumber Data
Data Sekunder yang di pergunakan terdiri dari beberapa bahan hukum, yaitu :
1. Bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan
yang di bahas dan Putusan Pengadilan Agama di wilayah hukum Medan.
2. Bahan hukum sekunder, yang sifatnya menjelaskan dari hukum primer.
3. Tersier, berupa kamus umum.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan
(library research) dan penelitian Putusan Pengadilan Agama Medan. Library research
dimaksudkan untuk dapat dikumpulkan bahan-bahan kepustakaan, berupa buku-buku,
majalah, dokumen-dokumen serta sumber-sumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian
pokok masalah dalam skripsi ini. Putusan Pengadilan Agama Medan yang akan dibahas
untuk melengkapi data yang telah diperoleh melalui Pengadilan Agama Medan.
G. Sistematika Penulisan
Gambaran isi dari tulisan ini kemudian diuraikan secara sistematis dalam
bentuk tahapan-tahapan atau bab-bab yang masalahnya akan diuraikan secara
tersendiri, tetapi antar satu dengan yang lainnya mempunyai keterkaitan.
Berdasarkan sistematika yang baku, penulisan skripsi ini dibagi dalam 5 (lima)
bab, yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan skripsi yang berisi latar belakang
pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan
gambaran isi.
BAB II : KEDUDUKAN ANAK DALAM KETENTUAN HUKUM
ISLAM
anak menurut hukum Islam, hak dan kewajiban anak yang masih
dibawah umur menurut perundang-undangan.
BAB III : KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK HADHANAH
(PEMELIHARAAN ANAK) SETELAH PERCERAIAN
Didalam bab ini di jelaskan tentang pengertian hadhanah
(pemeliharaan anak) dalam hukum Islam, hak dan kedudukan anak
setelah perceraian orang tuanya, kewajiban orang tua terhadap
anak setelah perceraian.
BAB IV : ALASAN-ALASAN HUKUM YANG DIGUNAKAN DALAM
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO. 1521/Pdt.G/2011/PA.
Mdn TENTANG HAK HADHANAH KEPADA ORANG TUA
KARENA PERCERAIAN
Didalam bab ini dijelaskan tentang duduk perkara, dasar
pertimbangan putusan hakim serta analisis putusan hakim.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab terakhir ini akan memberikan kesimpulan dari seluruh analisis