• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Jatuhnya Hak Hadhanah Kepada Orang Tua Laki-Laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama. (Studi Pada Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Jatuhnya Hak Hadhanah Kepada Orang Tua Laki-Laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama. (Studi Pada Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Allah SWT, menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna

dibandingkan dengan makhluk lainnya di bumi. Namun suatu bentuk yang dapat

dirasakan dari kesempurnaan itu adalah dengan diberikannya manusia akal yang

berguna untuk berpikir dan hati nurani yang ada pada manusia, tetapi disamping itu

juga keberadaan manusia di muka bumi tidak hanya untuk hidup saja bahkan turut

serta dan aktif dalam mengisi kehidupannya sehari-hari.

Salah satu bentuk turut sertanya dan aktif dalam mengisi kehidupannya itu

adalah perkawinan. Suatu perkawinan adalah salah satu lembaga kemasyarakatan

yang paling tua, dan paling pertama kali diatur oleh aturan hukum sejak dahulu kala.

Adapun tujuan dari perkawinan bagi manusia tidak hanya untuk mendapatkan

keturunan, tetapi lebih dari itu adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan

bathin sekaligus yang terpenting adalah melaksanakan perintah agama dan juga

membentuk sebuah keluarga. Pelengkap dari suatu keluarga adalah kelahiran anak,

apabila di dalam keluarga telah dikaruniai anak, hendaknya keluarga tersebut harus

memperhatikan kepentingan seorang anak baik secara rohani, jasmani, maupun

perkembangan di dalam lingkungan sosialnya.

Keluarga dapat diartikan sebagai wadah yang digunakan dalam rangka

pembinaan dan kesejahteraan setiap orang dan juga dapat melanjutkan silsilah

(2)

sah.

Di dalam bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah,1 yang bermakna al-

wathi’ dan al-dammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna

bersetubuh, berkumpul dan akad.2 Pernikahan berasal dari kata nikah yang menurut

bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan dan digunakan untuk arti

bersetubuh.3 Nikah atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan,

membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan perempuan yang antara

keduanya bukan muhrim. Kata nikah sering digunakan untuk arti persetubuhan, juga

untuk arti akad nikah.4

Perkawinan merupakan suatu lembaga masyarakat yang melegitimasi hidup

bersama antara seorang laki-laki dewasa dengan seorang perempuan dewasa dalam

satu rumah tangga (keluarga). Hidup bersama disini lepas dari pengertian dalam ilmu

hayat (biologi) yang ditandai dengan adanya kegiatan persetubuhan antara seorang

laki-laki dan perempuan yang hidup bersama tersebut, “ tetapi lebih jauh lagi adalah

bahwa hidup bersama itu harus memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang

berlaku”.5

Mengenai perkawinan di Indonesia diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disebutkan “ perkawinan adalah

1

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelesaian Penterjemah Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hal. 468

2

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai KHI, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal.38

3

Armia, Bahan Ajar Fiqh Munakahat, La-Tansa Press, Medan, 2011, hal.1 4Ibid

5

(3)

ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ”.6 Adapun hukum perkawinan yang berlaku

bagi tiap-tiap agama tersebut satu sama lain ada perbedaan akan tetapi tidak saling

bertentangan. Dari pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dapat

diambil suatu pengertian bahwa perkawinan menurut undang-undang ini adalah suatu

“tujuan ideal yang tinggi dan mencakup suatu pengertian jasmaniah dan rohaniah

yang akan melahirkan suatu keturunan”.7

Dalam bahasa Indonesia pernikahan adalah perbuatan nikah,8 dan yang disebut

perkawinan yang berarti ”ikatan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan

hukum dan ajaran agama”.9 Sedangkan menurut syara nikah berarti akad yang

mengakibatkan bolehnya melakukan istimta (campur) dengan seorang wanita , dan ini

dapat terjadi jika wanita itu bukan orang yang haram dinikahi karena hubungan nasab

sesusuan dan hubungan semenda (pernikahan).10

Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat

kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya

merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.11

6

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 7

M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan :CV.Rajawali,1986), hal.3 8

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal.782

Mohd.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, 2004, hal.70

Perkawinan adalah sah, apabila

(4)

Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perkawinan juga merupakan akad atau perjanjian, tetapi bukan berarti

perjanjian itu sama dengan perjanjian biasa yang diatur didalam buku III KUH

Perdata.12 Perbedaannya bahwa pada perjanjian biasa para pihak berjanji bebas untuk

menentukan isi dari bentuk perjanjiannya, sebaliknya dalam perkawinan para pihak

tidak bisa menentukan isi dan bentuk dalam perjanjiannya selain yang telah

ditetapkan oleh hukum-hukum yang berlaku.13

Didalam perkawinan juga terdapat perjanjian, Perjanjian dalam perkawinan ini

mempunyai/mengandung tiga karakter yang khusus, yaitu :14

Tidak ada seorangpun yang telah melangsungkan perkawinan mengharapkan

rumah tangga yang telah dibangunnya mengalami perceraian, apalagi di dalam 1. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak.

2. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumya.

3. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Setiap perkawinan dapat dipastikan bertujuan untuk membina suatu keluarga

yang bahagia dan kekal dengan tetap diridhoi oleh Allah SWT. Kebahagiaan dan

kekekalan perkawinan ini kadang hampir sering terjadi tidak dapat berlangsung lama

atau dengan kata lain perkawinan yang tidak mendapatkan kebahagiaan lahir dan

bathin yang akhirnya mengakibatkan perceraian.

12

Tengku Erwinsyahbana, Pembatalan Perkawinan Karena Alasan Poligami, Media HukumVol. XIII, Nomor 1, Januari-Juni, 2004,hal.204

13

Ibid

14

(5)

perkawinan itu telah dikarunia anak. Walaupun sedemikian tidak menutup

kemungkinan karena sebab-sebab atau suatu hal tertentu yang harus mengakibatkan

perceraian.

Perceraian yang berasal dari kata cerai adalah “putus hubungan sebagai suami

istri”,15 menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerai berarti juga “talak”16. Secara

bahasa talak berasal dari kata ithlaq berarti melepaskan atau meninggalkan.17 Sayyid

Sabiq, dalam bukunya yang berjudul Fiqh as-sunnah mendifinisikan talak adalah “

membuka atau melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami

istri”.18

Menurut ketentuan pasal 39 ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat

dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha

dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk dapat melakukan

perceraian harus ada cukup alasan, bahwa suami istri tidak akan dapat hidup rukun

sebagai suami istri.19

Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat

cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,

ikrar talak, atau putusan taklik talak.

20

Untuk dapat melakukan perceraian salah satu dari pihak laki-laki ataupun

perempuan mengajukan permohonan atau gugatan cerai ke Pengadilan Agama bagi

15

Departemen Pendidikan Nasional, Op.cit, hal.208 16Ibid

17

Armia, Op.cit, hal.98 18

Sayyid Sabiq, Fiqh as-sunnah, Jilid VIII, Al-Ma’arif, Bandung, 1987, hal.9 19

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta, 2005, hal.116 20

(6)

yang beragama muslim sedangkan Pengadilan Negeri bagi yang bukan beragama

muslim. Kemudian berkas dan alasan-alasan yang cukup harus diperiksa terlebih

dahulu dan setelah semuanya dipertimbangkan dengan baik maka hakim baru dapat

memutuskan dan mengabulkan permohonan atau gugatan cerai tersebut.

Perceraian adalah terlarang, banyak larangan Tuhan dan Rasul mengenai

perceraian antara suami dan istri. Tak ada sesuatu yang halal yang paling dimarahi

oleh Tuhan selain dari talak.21

Anak adalah salah satu tujuan dari adanya pernikahan atas suatu perkawinan,

yaitu yang dikatakan anak adalah seseorang yang dilahirkan dari rahim seorang

wanita, apabila dikaitkan dengan ibu. Bila dikaitkan dengan keduanya atau ibu

maupun bapak maka anak adalah seseorang yang dilahirkan setelah adanya

pernikahan yang sah antara kedua orang tuanya. Anak juga merupakan anugerah yang

diberikan oleh Allah SWT kepada hambaNya, tetapi tidak semua insan di dunia juga

diberikan kepercayaan untuk memiliki dan mengasuh anak. Oleh karena itu kehadiran

anak dalam rumah tangga adalah suatu kenikmatan dan rasa syukur yang begitu besar

terhadap Allah SWT, sehingga wajib dan harus disyukuri dan juga merupakan

belahan jiwa setiap jiwa. Anak adalah sumber kebahagiaan dan kesejahteraan yang Adapun akibat yang terjadi terhadap perceraian adalah anak, dimana anak

yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya

sudah meninggal dunia bisa dirawat oleh ayahnya, anak yang belum mumayyiz juga

dapat memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

21

(7)

mampu membuat setiap insan menjadi lebih bahagia, karena dialah rezeki dicari dan

lantarannya pada cita-cita dan harapan digapai.

Perceraian dapat menimbulkan efek-efek yang kurang baik dari segi moral

maupun keluarga, bahkan yang sudah memiliki anak membawa tanggung jawab yang

lebih berat, sehingga anak-anak dapat saja mengalami perubahan dalam kehidupan

sehari-hari mereka apalagi setelah perceraian itu terjadi, yang mana mengigat anak-

anak masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang maupun pendidikan yang

semestinya harus didapat kedua orangtuanya.

Terkadang orangtua beranggapan bahwa dalam perceraian mereka, persoalan

anak dapat diselesaikan nanti setelah masalah perceraian diselesaikan. Padahal tidak

demikian adanya dan sederhananya, bahwa penyelesaian terhadap anak lebih dapat

dan mudah dicapai. Dalam kondisi dan situasi apapun harus tetap diingat bahwa anak

juga adalah individu yang mempunyai hak-hak dasar yang harus diakui sebagaimana

halnya orang dewasa. Berarti anak adalah subjek kehidupan, bukan objek yang dapat

diperlakukan sesuka hati orang dewasa (orangtua). Oleh karena itu, didalam

perceraian orangtua, anak merupakan salah satu subjek dan kepentingan anak tetap

harus menjadi prioritas yang utama.

UU Perkawinan dan KHI menentukan perceraian hanya dapat dilaksanakan

bila dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah melalui proses dan tahapan tertentu.

(8)

Perkawinan,22 dan Pasal 115 KHI.23

Kehadiran anak juga di dalam perkawinan menimbulkan hubungan hukum

antara anak dan orang tua, hubungan itu adalah memberikan hak dan kewajiban antara

orangtua dan anak. Kewajiban orang tua dapat dilihat dari ketentuan didalam Pasal 45

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan :

Diadakannya ketentuan hukum yang berkaitan

dengan perceraian tentunya untuk menghilangkan kesan bahwa proses perceraian

dapat dilakukan dengan teramat mudah, disamping juga untuk melindungi hak bekas

istri dan hak anak setelah terjadinya perceraian.

24

Selanjutnya Pasal 46 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan : 1. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

2. Kewajiban orangtua yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan orang tua putus.

25

1. Anak wajib menghormati orangtua dan menaati kehendak mereka yang baik.

2. Jika anak telah dewasa maka ia wajib memelihara menurut kemampuannya orang tua dan keluarga garis lurus ke atas bila mereka memerlukan bantuannya.

Dari kedua pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan

timbal balik yang erat yaitu adanya hak dan kewajiban antara orangtua dan anaknya

yang tidak akan berakhir walaupun sampai kedua orangtuanya bercerai.

Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orangtua diatur dalam Pasal 26

ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak.26

22

Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 1997, hal.222

23Ibid

, hal.331 24

Lihat Pasal 45 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 25

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 26

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

(9)

“Bahwa pertanggung jawaban orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara

merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi

terlindunginya dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak,

baik fisik, mental, spiritual maupun sosial”.27

Sesuai dengan aturan hukum dan rumusan yang ada di dalam undang-undang,

bahwa untuk dapat menentukan hak pemeliharaan anak yang perlu diperhatikan

adalah demi kepentingan hukum anaknya. Jadi hakim harus bisa benar-benar Seperti halnya juga yang kita lihat dan kita ketahui bahwa permasalahan hak

dan pemeliharaan anak sering timbul dalam kehidupan manusia, sebagai akibat

darinya suatu perceraian yang dilakukan kedua orangtuanya. Oleh karena itu, bagi

orangtua tentunya menginginkan anak-anaknya tetap berada di dekat dan berada

didalam asuhannya, tetapi mau tidak mau antara kedua orang tua yang telah bercerai

harus merelakan anak-anaknya dalam penguasaan salah satu dari mereka, ataupun

dengan jalur pembagian hak asuhnya berdasarkan putusan hakim yang sudah

diputuskan didalam persidangan perceraian mereka.

Anak yang belum dewasa/dapat berdiri sendiri tentu saja masih mempunyai

hak atas pengasuhan kedua orangtuanya, meskipun orangtuanya sudah bercerai dan

semata-mata pengasuhan tersebut demi kepentingan dan kelangsungan hidup anak

tersebut. Namun apabila terjadinya suatu perselisihan dalam penguasaan anak maka

pengadilan yang berhak atau memberikan keputusan yang seadil-adilnya tanpa

sedikitpun mengurangi hak-hak anak tersebut.

27

(10)

memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya atau bapaknya. Namun

apabila bapaknya tidak mempunyai jaminan sosial ekonomi untuk bisa membiayai

penghidupan anaknya, maka ibunya yang ternyata lebih mampu untuk membiayainya,

maka sang ibulah yang harus bertanggung jawab memberikan penghidupan kepada

anaknya begitu pula sebaliknya terhadap bapaknya, walaupun seorang bapak dan ibu

diwajibkan untuk membiayai penghidupan anaknya.

Seperti yang telah disinggung diatas bahwa perceraian menimbulkan akibat

bagi anaknya yang telah lahir dalam perkawinan tersebut. Akibat didalam perceraian

terhadap anak diatur dalam Pasal 41 UUP yang menyatakan sebagai berikut :

“Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusan. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaan pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Dan Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri”.

Kenyataan yang kita lihat sebahagian besar yang terjadi dilingkungan

masyarakat Indonesia sekarang terutama yang beragama Islam, apabila terjadi

perceraian dan memiliki anak dibawah umur maka akan menimbulkan permasalahn

dalam hal tanggung jawab orangtua setelah terjadinya perceraian dan antara

permasalahan hak pemeliharaan anak dan tanggung jawab pemberian nafkah terhadap

anak ini sering berbanding terbalik. Maksudnya disini adalah dalam hal hak

pemeliharaan anak orangtua umumnya menginginkan anak-anaknya berada dalam

asuhannya, tetapi untuk kewajiban pemberian nafkah sering kali pihak yang telah

(11)

dengan keputusan Pengadilan.

Bagi yang beragama Islam ketentuan mengenai pemeliharaan dapat dilihat

dalam Pasal 105 KHI, yang berbunyi sebagai berikut :

1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Jika dibandingkan dan dilihat dari ketentuan Pasal 41 UUP dengan Pasal 105

KHI, ketentuan keduanya tetap mengatur mengenai hak anak pasca terjadinya

perceraian, hanya saja didalam KHI disebutkan batas umur pemeliharaan anak yang

merupakan hak ibunya, yaitu sampai si anak berumur 12 (dua belas) tahun dan apabila

sudah lewat 12 (dua belas) tahun atau sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk

dapat memilih apakah ikut dengan ibunya maupun bapaknya. Sedangkan dalam 41

UUP tidak ditentukan batas usia anak, namun tetap ditentukan adanya kewajiban

orangtua untuk memelihara anak-anaknya.

Berdasarkan uraian di atas, tertarik untuk melakukan penelitian Putusan

mengenai hak asuh anak yang telah di Putuskan oleh Pengadilan Agama di kota

Medan, dengan judul penelitian: “Jatuhnya Hak Hadhanah Kepada Orang

Tua Laki-laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama.

(12)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut:

1. Bagaimana hak dan kedudukan anak dalam ketentuan hukum Islam ?

2. Bagaimana kewajiban orang tua atas pemeliharaan anak setelah perceraian ?

3. Alasan-alasan hukum apa saja yang digunakan hakim dalam memutuskan hak hadhanah

anak kepada orang tua laki-laki dalam perceraian ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui tentang hak dan kedudukan anak dalam ketentuan hukum Islam.

2. Untuk mengetahui kewajiban orang tua atas pemeliharaan anak setelah perceraian.

3. Untuk mengetahui alasan-alasan hukum yang digunakan hakim dalam memutuskan hak

hadhanah anak kepada orang tua laki-laki dalam perkara perceraian.

Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah :

1. Menambah wawasan pembaca terhadap ilmu hukum Perdata khususnya hukum keluarga

yang berkaitan dengan hak hadhanah anak kepada orang tua laki-laki setelah terjadinya

perceraian.

2. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai putusan Pengadilan Agama yang

berhubungan dengan hak hadhanah anak kepada orang tua laki-laki setelah perceraian.

3. Sebagai bahan referensi bagi lembaga Peradilan sebagai bahan pertimbangan bagi

(13)

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya

dilingkungan Universitas Sumatera Utara belum pernah ada penulisan skripsi yang

menyangkut hak hadhanah anak kepada orang tua laki-laki dalam hal terjadinya

perceraian, sehingga penulisan skripsi ini adalah asli.

JATUHNYA HAK HADHANAH KEPADA ORANG TUA LAKI-

LAKI KARENA PERCERAIAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN

AGAMA. (Studi Pada Putusan Pengadilan Agama Medan NO. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn)

yang diangkat menjadi judul skripsi ini merupakan hasil karya yang ditulis secara objektif

dan ilmiah melalui pemikiran referensi, dari buku-buku, media elektronik dan bantuan para

narasumber dari pihak-pihak lain. Skripsi ini juga bukan merupakan jiplakan atau merupakan

judul skripsi yang sudah pernah diangkat sebelumnya oleh orang lain.

E. Tinjauan Kepustakaan

Pada prinsipnya perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal. Karena itu antara suami dan istri perlu adanya sikap saling

membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan

kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material,

karena itu UU Perkawinan menganut asas atau prinsip mempersukar terjadinya

perceraian.

Di dalam Pasal 38 UU Perkawinan ditegaskan bahwa perkawinan dapat putus

(14)

39 UU Perkawinan ditegaskan kembali bahwa perceraian hanya dapat dilakukan did

epan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak

berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Apabila perkawinan tersebut putus karena perceraian, persoalan yang terjadi

tidak begitu saja selesai, akan tetapi timbul akibat-akibat hukum yang perlu dipatuhi

oleh pihak-pihak yang bercerai. Akibat hukum yang timbul dari perceraian tidak

hanya kepada pihak suami atau istri, akan tetapi juga terhadap anak-anak yang lahir

dari perkawinan tersebut.

Akibat hukum yang kemudian timbul dari perceraian pada umumnya adalah

tentang hadhanah.28 Secara teminologi hadhanah berarti merawat dan mendidik

seorang yang belum mumayyiz atau yang hilang kecerdasannya karena mereka tidak

bisa memenuhi keperluannya.29 Apabila anak sudah mumayyiz (berumur 12 tahun)

hendaklah diselidiki oleh yang berwajib siapakah diantara kedua orang tuanya yang

lebih baik dan lebih cakap untuk mendidik anak tersebut.30 Selain persoalan

hadhanah, akibat hukum perceraian juga berkaitan dengan biaya hadhanah dan biaya

nafkah anak tersebut dan harta sarikat (harta bersama).31

Setiap anak berhak mendapatkan pemeliharaan (hadhanah) dan kelangsungan

hidup yang layak dari orangtuanya sekalipun telah terjadi perceraian. Pemeliharaan

menurut etimologi adalah “proses, cara, perbuatan memelihara (kan), penjagaan,

28Hadhanah

berasal dari kata “hidhan” yang artinya lambung, para ahli fiqh mendefinisikan hadhanah

ialah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tapi belum tamyiz (berumur 12 tahun), Sayyid Sabbiq Op.cit., hal.42-43

29

Abu Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Ikhtiar Baru, Jakarta, 1999, hal.415 30

M.Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Fakultas Hukum Dharmawangsa, Medan, 1993, hal.12

31

(15)

perawatan, pendidikan, penyelamatan, penjagaan harta kekayaan”.32

Menurut Abdul Aziz Dahlan, “Hadhanah ini berarti disamping atau berada

dibawah ketiak. Sedangkan secara terminologisnya merawat dan mendidik seseorang

yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa

memenuhi keperluannya sendiri”.

33

Hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-

laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz (dapat membedakan antara yang baik atau yang buruk) tanpa perintah padanya, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga sesuatu dari yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.

Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa :

34

Anak adalah putra-putri kehidupan didalam sebuah keluarga, masa depan

bangsa dan negara. Oleh karena itu anak memerlukan bimbingan atau pembinaan

yang khusus agar perkembangan fisik, mental maupun spiritualnya dapat dimiliki Dalam Pasal 41 UU Perkawinan, disebutkan akibat putusnya perkawinan

karena perceraian adalah :

1. Baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata mata berdasarkan kepentingan anak ; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, maka Pengadilan memberi keputusannya.

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu ; bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.

32

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal.848

33

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoepe, 1999), hal.415 34

(16)

semaksimal mungkin. Anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang

masih kecil dan belum menikah.

Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa anak adalah turunan dari

ayah dan ibu sebagai turunan pertama. Secara hukum perdata pengertian anak tidak

diatur secara eksplisit, namun pengertian anak selalu dikaitkan dengan pengertian

tentang kedewasaan dan masalah batas kedewasaan tidak ada keseragaman dalam

berbagai peraturan perundang-undangan. Pasal 330 KUH Perdata menentukan bahwa

belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu)

tahun dan tidak kawin sebelumnya.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak langsung

mengatur mengenai usia sampai kapan seseorang digolongkan sebagai seorang anak,

bahkan undang-undang membedakan usia dewasa yang dikaitkan kepada

perbuatan hukumnya, sebagaimana dinyatakan didalam Pasal 6 ayat (2) yang memuat

tentang syarat perkawinan, “ Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang

belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang

tuanya”. Kemudian dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan memuat batas usia

minimum untuk dapat melangsungkan perkawinan, “perkawinan hanya diizinkan jika

pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah

mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Dilihat dari sisi lain Pasal 47 ayat (1) UU

Perkawinan menyatakan, “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun

atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya

(17)

Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang

Kesejahteraan Anak menyebutkan, “Anak adalah seseorang yang belum mencapai

umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.35 Sedangkan dalam Pasal 1

angka (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak,

menyatakan, “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai

umur 8 (delapan) tahun dan belum pernah kawin”.36

Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang

KHI, batas usia dewasa diatur dalam Pasal 98 ayat (1) yang menyatakan, “Batas usia

anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun

sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah

melangsungkan perkawinan” Kemudian Pasal 105 huruf a dan b KHI membedakan

anak yang belum dewasa antara yang belum mumayyiz ( belum berumur 12 tahun)

dan telah mumayyiz.37

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003

Tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak), disebutkan

bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk

anak yang masih di dalam kandungan.38

Dari 2 (dua) sumber tersebut terdapat pengertian yang sangat berbeda tentang

anak, satu sisi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian anak tidak

35

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak 36

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak 37

Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum umur 12 tahun) merupakan hak ibunya sepanjang tidak terhalang dan yang telah mumayyiz diserahkan kepada anak yang bersangkutan untuk memilih apakah ikut ibunya atau bapaknya

38

(18)

melihat kepada batas usia, sedangkan berdasarkan UU Perlindungan Anak, pengertian

anak hanya meliputi yang berusia 0 (nol) tahun sampai dengan 18 (delapan belas)

tahun bahkan yang masih dalam kandungan ibunya juga dikategorikan sebagai anak.

Untuk dapat disebut anak maka anak itu harus berada pada batas usia bawah atau usia

minimum 0 (nol) tahun (terhitung dalam kandungan) sampai dengan batas usia atas.39

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,

apabila perkawinan bubar karena perceraian yang dilakukan melalui pengadilan, maka

setiap anak berhak mendapatkan pemeliharaan dan nafkah dari orang tuanya.

Mengasuh anak adalah hak ibu, kalau tidak ada ibu maka diganti oleh kaum wanita

dari keluarga ibu, dan kalau mereka tidak ada maka digantikan oleh kaum wanita dari

keluarga ayah, kemudian keluarga lain dari pihak ibu, kalau tidak ada maka

digantikan oleh keluarga lain dari pihak ayah.

Dari berbagai peraturan yang telah dikemukakan di atas, batas umur anak yang

belum dewasa itu ada 2 (dua) batasan umur yaitu 18 (delapan belas) tahun dan 21

(dua puluh satu) tahun. Hal ini tergantung kepada tindakan atau perbuatan hukum

yang terjadi padanya.

40

Dari beberapa permasalahan yang telah dikemukakan di atas dapat dikatakan

bahwa apabila terjadinya suatu perceraian, maka pemeliharaan anak dan memberikan

kelangsungan hidup yang layak ataupun pemberian nafkah sampai anak tersebut

tumbuh dewasa tetap menjadi tanggung jawab orang tua sesuai keputusan

39

Maulana Hasan Wadung, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hal.24 40

(19)

pengadilan.

F. Metode Penelitian 1. Sifat Jenis Penelitian

Penulisan skripsi ini adalah dikaji dan disusun dengan menggunakan

penelitian yang bersifat deskriptif, karena penelitian ini bermaksud untuk menjelaskan

atau menggambarkan keadaan atau fenomena yang berhubungan dengan

permasalahan yang akan di teliti. Adapun Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang

tata kerjanya memberikan data seteliti mungkin tentang segala hal yang berhubungan

dengan aktivitas manusia, karya manusia, keadaan dan gejala-gejala lainnya.

Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu suatu

penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum/ norma-norma hukum atau

prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan “Jatuhnya Hak Hadhanah

Kepada Orang Tua Laki-laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan

Pengadilan Agama MedanNO. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn”.

2. Sumber Data

Data Sekunder yang di pergunakan terdiri dari beberapa bahan hukum, yaitu :

1. Bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan

yang di bahas dan Putusan Pengadilan Agama di wilayah hukum Medan.

2. Bahan hukum sekunder, yang sifatnya menjelaskan dari hukum primer.

3. Tersier, berupa kamus umum.

(20)

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan

(library research) dan penelitian Putusan Pengadilan Agama Medan. Library research

dimaksudkan untuk dapat dikumpulkan bahan-bahan kepustakaan, berupa buku-buku,

majalah, dokumen-dokumen serta sumber-sumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian

pokok masalah dalam skripsi ini. Putusan Pengadilan Agama Medan yang akan dibahas

untuk melengkapi data yang telah diperoleh melalui Pengadilan Agama Medan.

G. Sistematika Penulisan

Gambaran isi dari tulisan ini kemudian diuraikan secara sistematis dalam

bentuk tahapan-tahapan atau bab-bab yang masalahnya akan diuraikan secara

tersendiri, tetapi antar satu dengan yang lainnya mempunyai keterkaitan.

Berdasarkan sistematika yang baku, penulisan skripsi ini dibagi dalam 5 (lima)

bab, yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan skripsi yang berisi latar belakang

pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,

keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan

gambaran isi.

BAB II : KEDUDUKAN ANAK DALAM KETENTUAN HUKUM

ISLAM

(21)

anak menurut hukum Islam, hak dan kewajiban anak yang masih

dibawah umur menurut perundang-undangan.

BAB III : KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK HADHANAH

(PEMELIHARAAN ANAK) SETELAH PERCERAIAN

Didalam bab ini di jelaskan tentang pengertian hadhanah

(pemeliharaan anak) dalam hukum Islam, hak dan kedudukan anak

setelah perceraian orang tuanya, kewajiban orang tua terhadap

anak setelah perceraian.

BAB IV : ALASAN-ALASAN HUKUM YANG DIGUNAKAN DALAM

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO. 1521/Pdt.G/2011/PA.

Mdn TENTANG HAK HADHANAH KEPADA ORANG TUA

KARENA PERCERAIAN

Didalam bab ini dijelaskan tentang duduk perkara, dasar

pertimbangan putusan hakim serta analisis putusan hakim.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini akan memberikan kesimpulan dari seluruh analisis

Referensi

Dokumen terkait

Meningkatkan Kualitas Pelayanan Internet Speedy dalam Memuaskan Pelanggan.. Penyediaan sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas

Instruksi kerja ini hanya berlaku untuk pekerjaan yang dilaksanakan PPK Irigasi dan Rawa SNVT Pelaksanaan.. Jaringan Pemanfaatan

antara hasil latihan kelincahan dengan hasil belajar sepakbola dapat dilihat pada.

Dari data yang sudah diinterpretasi dan dianalisis, maka disimpulkan bahwa karena pencipta lagu melihat masyarakat Indonesia sudah mulai kehilangan rasa nasionalisme, maka

Dengan demikian Giant Sun City lebih memperkenalkan produknya bukan hanya lewat media cetak di spanduk akan tetapi juga lewat media elektronik yang ditujukan untuk

pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yang dilakukan oleh guru kemudian meningkat menjadi 5 (100%) aktivitas tindakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw

PENENTUAN HARGA POKOK PRODUKSI GUNA UNTUK MENGOPTIMALKAN BIAYA OPERASIONAL DENGAN METODE.. ACTIVITY BASED COSTING SYSTEM (DI CV. MUTIARA