BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki
kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap
warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam
kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1).
Sementara itu lembaga pendidikan tidak hanya di tunjukkan kepada anak
yang memiliki kelengkapan fisik, tetapi juga kepada anak yang memiliki
keterbelakangan mental. Mereka dianggap sosok yang tidak berdaya, sehingga
perlu di bantu dan di kasihani untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu di
sediakan berbagai bentuk layanan pendidikan atau sekolah bagi mereka. Pada
dasarnya pendidikan untuk berkebutuhan khusus sama dengan pendidikan anak-
anak pada umumnya. Disamping itu pendidikan luar biasa, tidak hanya bagi anak –
anak yang berkebutuhan khusus, tetapi juga di tujukan kepada anak-anak normal
yang lainnya.
Beberapa sekolah telah dibuka bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus ini.
Sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan keadaan siswa menjadi salah satu
keunggulan yang ditawarkan sekolah – sekolah ini. Jadi anda tidak perlu khawatir
dengan masa depan anak anda karena sekolah ini membekali anak untuk bisa
hidup mandiri dalam hidupnya dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Pada tahun 2009, Badan Pusat Statistik (BPS) menyajikan data statistik
disabilitas dalam SUSENAS 2009 dengan kategori kecacatan dengan jumlah total
adalah 2.126.998 jiwa di Indonesia.
Tabel 1.1 Persentase penyandang cacat berdasarkan jenis kecacatan
Jenis kecacatan Jumlah (%) Jumlah (jiwa)
Tuna Netra 15,93 338.796,85
Tuna Rungu 10,52 223.737,78
Tuna Wicara 7,12 151.427,09
Tuna Daksa 33,75 717.789,94
Tuna Grahita 13,68 290.944,19
Tuna Ganda 7,03 149.512,99
Jiwa 8,52 181.202,08
Jumlah total 100,0 2.126.998
Sumber : Data BPS, Susenas RI 2009
Data Badan Pusat Statistik tahun 2007 mencatat banyaknya rumah tangga
yang memiliki anak cacat di Medan dengan jumlah 394 orang.
Tabel 1.2 Banyaknya anak cacat menurut kecamatan tahun 2007
Kecamatan Anak Cacat
(1) (2)
Medan Johor 31
Medan Amplas 17
Medan Denai 44
Medan Polonia 26
Medan Baru 2
Medan Sunggal 30
Medan Barat 10
Medan Tembung 31
Medan Labuhan 65
Medan Marelan 65
Medan Belawan 73
Total 394
Sumber : BPS 2007
Berdasarkan data dari Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat tahun
2008, terdapat jumlah populasi penyandang cacat di Sumatera Utara dari total
penduduk 51.836 jiwa.
Tabel 1.3 Data Populasi Orang Cacat di Sumatera Utara tahun 2008
Jenis Cacat Jumlah (orang)
(1) (2)
Tuna Netra 10.097
Tuna Daksa 15.250
Tuna Wicara 4.393
Tuna Rungu Wicara 11.303
Tuna Grahita 9.844
Tuna Ganda 5.342
Total 46.494
Sumber : PPLS 2008 (Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat)
Dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2009 di Sumatera Utara
terdapat anak yang menyandang cacat menurut jenis kecacatan dan jenis kelamin
terlihat bahwa dari 49 ribu anak cacat, sepertiganya (31,71 persen) menyandang
cacat tubuh, kemudian cacat mental (tuna grahita) sebesar 22,07 persen dan cacat
wicara/bisu sebesar 8,25 persen. Dilihat menurut jenis kelamin, pola tersebut di atas
terjadi baik pada anak laki-laki maupun perempuan.
Tabel 1.4 Persentase Anak Cacat menurut jenis kecacatan
dan jenis kelamin tahun 2009
Jenis Cacat Laki-laki + Perempuan
(%)
Anak Cacat
(jiwa)
(1) (4) (5)
Tuna Netra 10,71 5.248
Tuna Rungu 5,15 2.524
Tuna Wicara 6,09 2984
Tuna Rungu Wicara 13,73 6.728
Tuna Daksa 31,71 15.538
Tuna Grahita 22,07 10.014
Tuna Ganda 8,25 4043
Gangguan Jiwa 2,29 1.122
Total 100,00 49.000
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional Modul 2009, BPS
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah populasi orang dengan
kecacatan di Sumatera Utara pada tahun 2011 :
Tabel 1.5 Data Populasi Orang Cacat di Sumatera Utara tahun 2011
Jenis Cacat Jumlah (orang)
(1) (2)
Tuna daksa 24.306
Tuna grahita 10.785
Tuna laras 2268
Tuna ganda 3552
Tuna rungu wicara 10.645
Total 58.558
Sumber : Profil Anak Indonesia
Dari data diatas dapat dilihat bahwa persentase yang terus meningkat dan
dengan jumlah terbanyak adalah penderita cacat tuna daksa, tuna netra, tuna rungu
wicara dan tuna grahita.
Populasi anak berkebutuhan khusus di Indonesia diperkirakan mencapai 350
ribu orang. Namun, jumlah anak yang sudah masuk di jenjang pendidikan baru
sekitar 85 ribu orang. Mereka ditampung di sekitar 1.600 sekolah luar biasa
se-Indonesia. Artinya, pemerintah baru mengkomodir sekitar 30 persen anak
berkebutuhan khusus. Selain faktor biaya, banyak orang tua yang cenderung
menyembunyikan anaknya karena merasa malu.1
Peningkatan anak cacat ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : 2
a) Faktor penyebab anak berkebutuhan khusus yang terjadi pada pra kelahiran
antara lain : Gangguan Genetika (Kelainan Kromosom, Transformasi); Infeksi
Kehamilan; Usia Ibu Hamil (high risk group); Keracunan Saat Hamil;
Pengguguran; dan Lahir Prematur.
b) Faktor penyebab anak berkebutuhan khusus yang terjadi selama proses
kelahiran adalah Proses kelahiran lama (Anoxia), prematur, kekurangan
oksigen; Kelahiran dengan alat bantu (Vacum); Kehamilan terlalu lama: > 40
minggu.
c) Faktor penyebab anak berkebutuhan khusus yang terjadi setelah proses
kelahiran yaitu Penyakit infeksi bakteri (TBC/ virus); Kekurangan zat makanan
(gizi, nutrisi); kecelakaan; dan keracunan.
Berdasarkan faktor tersebut di atas, sebagian besar (70,21 persen) anak
cacat disebabkan oleh bawaan lahir, kemudian karena penyakit (15,70 persen) dan
kecelakaan/bencana alam sebesar 10,88 persen. Pola yang sama terjadi baik di
daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. 1
http://www.swatt-online.com/ 2
Tabel 1.6 Persentase Anak Cacat 0-17 Tahun menurut penyebab kecacatan dan tipe darah tahun 2009
Penyebab Kecacatan Perkotaan Pedesaan Perkotaan + Pedesaan
(1) (2) (3) (4)
Bawaan sejak lahir 70,40 70,05 70,21
Kecelakaan/bencana alam 10,64 11,07 10,88
Kurang gizi 1,90 1,43 1,64
Tekanan hidup/stress 0,95 2,08 1,57
Penyakit 16,11 15,37 15,70
Jumlah 100,00 100,00 100,00
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional Modul 2009, BPS
Selain secara populasi jumlahnya terus bertambah, ada persoalan mendesak
yang perlu mendapat perhatian serius menyangkut keadaan tumbuh kembang dan
kelanjutan pendidikan anak-anak spesial itu. Meski demikian, dengan segala
keadaannya, bukan berarti mereka kehilangan kesempatan untuk memperoleh
hidup seperti anak-anak lain pada umumnya. Anak-anak dengan label kekhususan
ini tetap harus mendapat ruang hidup yang layak dan kesempatan yang sama untuk
mengoptimalkan potensi yang mereka miliki dan berhak mendapat kehidupan yang
layak, berkesempatan mengembangkan potensinya, dan memiliki kesempatan
menjadi orang dewasa yang bahagia seperti impian banyak orang pada umumnya.
Undang-undang No. 4 Tahun 1997 menegaskan bahwa penyandang cacat
merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak,
kewajiban, dan peran yang sama. Pada pasal 6 dijelaskan bahwa setiap
penyandang cacat berhak memperoleh: (1) pendidikan pada semua satuan, jalur,
jenis, dan jenjang pendidikan; (2) pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai
jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya; (3) perlakuan yang
sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; (4)
aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; (5) rehabilitasi, bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan (6) hak yang sama untuk
menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama
bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
Selain itu, terdapat dasar-dasar hukum yang mendasari pendidikan terhadap
UUD 1945 Pasal 31 ayat (1), “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran”
UURI Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 5 ayat 920, “Warga Negara yang memiliki
kelainan fisik, mental/intelektual, sosial, dan emosional berhak memperoleh
pendidikan.
Salinan Peraturan Menteri pendidikan Nasional Indonesia Nomor 70 Tahun
2009, “Bahwa peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
sosial dan atau memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa perlu
mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan asasinya, dan
peserta didik yang memiliki kelaianan sebagaimana dimaksud terdiri dari :
tunanetra; tunarungu; tunawicara; tunagrahita; tunadaksa; tunalaras;
berkesulitan belajar; lamban belajar; autis; memiliki gangguan motorik; menjadi
korban penyalahgunann narkoba,obat terlarang dan zat adiktif lainnya; memiliki
kelainan lainnya; tunaganda.”
Seluruh warga negara tanpa terkecuali apakah dia mempunyai kelainan atau
tidak mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini dijamin
oleh UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang mengumumkan “Bahwa tiap-tiap warga
negara berhak mendapat pengajaran.”
Pada tahun 2003 Pemerintah mengeluarkan Undang- Undang No 20 tentang
sistem pendidikan nasional (UUSPN). Dalam undang – undang tersebut
dikemukakan hal- hal yang erat hubungan dengan pendidikan bagi anak-anak
dengan kebutuhan pendidikan khusus sebagai berikut ;
Bab 1 (Pasal 1 ayat 18); Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang
harus di ikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan
pemerintah daerah.
Bab II (Pasal 4 ayat 1); Pendidikan diselenggarakan secara demokratis
berdasarkan HAM, agama, kultural, dan kemajemukan bangsa.
Bab IV (Pasal 5 ayat 1); Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus.
Bab V bagian 11 Pendidikan khusus (Pasal 32 ayat 1; Pendidikan khusus bagi
karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau memiliki potensi
kecerdasan.
Menurut WHO, diperkirakan terdapat sekitar 7-10 % anak berkebutuhan
khusus dari total populasi anak. Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik
tahun 2003 jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% dari jumlah
penduduk sebesar 211.428.572 atau sebanyak 1.480.000 jiwa. Dari jumlah tersebut
24,45% atau 361.860 diantaranya adalah anak-anak usia 0-18 tahun dan 21,42%
atau 317.016 anak merupakan anak cacat usia sekolah (5-18 tahun). Sekitar 66.610
anak usia sekolah penyandang cacat (14,4% dari seluruh anak penyandang cacat)
ini terdaftar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Ini berarti masih ada 295.250 anak
penyandang cacat (85,6%) ada di masyarakat dibawah pembinaan dan
pengawasan orang tua dan keluarga dan pada umumnya belum memperoleh akses
pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya. Pada tahun 2009 jumlah anak
penyandang cacat yang ada di Sekolah meningkat menjadi 85.645 dengan rincian
di SLB sebanyak 70.501 anak dan di sekolah inklusif sebanyak 15.144 anak.
Tabel 1.7 Persentase anak cacat 7-17 tahun menurut jenis kelamin dan partisipasi sekolah tahun 2009
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional Modul 2009, BPS
Tabel menunjukkan hampir separuh (43,87 persen) anak cacat usia sekolah
(7-17 tahun) belum pernah mengecap pendidikan, sepertiganya (35,87 persen)
sedang sekolah dan sekitar 20,26 persen berstatus tidak sekolah lagi. Kondisi ini
menggambarkan perlunya perhatian khusus terutama penyandang cacat yang
seharusnya bersekolah seyogyanya dapat bersekolah selayaknya anak seusianya.
Oleh karena itu, dalam mengarahkan setiap pihak untuk menyusun aksi dan
program-program nyata dalam menangani berbagai konsekuensi dari kekhususan
depan anak-anak spesial di Indonesia dibutuhkanlah suatu wadah yang dapat
menampung seluruh kegiatan tersebut.
I.2 Maksud dan Tujuan
Bagi anak penderita anak berkebutuhan khusus :
1. Untuk memberikan perawatan intensif bagi anak berkebutuhan khusus dalam
mendapatkan perawatan dalam hal terapi-terapi dalam bentuk pelatihan fisik,
pelatihan saraf sensorik – motorik serta pembelajaran pengembangan
kemampuan dan potensi diri dalam peningkatan kualitas hidupnya.
2. Untuk memfasilitasi anak berkebutuhan khusus supaya mereka dapat menjadi
mandiri dan dianggap sebagai anggota masyarakat yang mempunyai
kemampuan seperti masyarakat normal dengan dapat menyumbangkan
sesuatu yang berguna bagi komunitas bernegara.
3. Untuk meningkatkan kemauan untuk hidup bermasyarakat dan bersosialisasi
tanpa harus meminta-minta empati dari orang normal sehingga mereka tidak
malu dan tidak merasa abnormal di tengah-tengah masyarakat.
Bagi orang tua :
1. Membantu dalam memberikan tambahan pengetahuan dan petunjuk praktis
dalam menangani anak dengan perhatian dan kasih sayang yang lebih
daripada anak normal lainnya.
2. Dapat melihat dan merasakan perkembangan anak melalui terapi dan alat
bantu yang diberikan yang dapat mengoptimalkan perkembangan anak
berkebutuhan khusus.
Bagi masyarakat :
1. Mengubah persepsi orang tua dan masyarakat bahwa mereka juga memiliki
kemampuan dan kelebihan dibalik kekurangannya.
2. Meningkatkan rasa kepedulian terhadap keberadaan anak berkebutuhan
I.3 Masalah Perancangan
Masalah perancangan yang timbul dalam kasus proyek ini adalah :
Bagaimana mewujudkan desain bangunan agar setiap ruang, bentuk, dan
bahan yang digunakan dapat berfungsi secara maksimal sesuai dengan
kebutuhan bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Bagaimana menciptakan suatu sarana perawatan sekaligus pendidikan yang
nyaman bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk melakukan kegiatan
kesehatan dan belajar.
Bagaimana mewadahi beberapa kegiatan, tidak hanya terapi dan belajar
pengetahuan umum, tetapi juga tempat bermain untuk anak anak
berkebutuhan khusus.
Bagaimana menerapkan prinsip-prinsip tema yang diambil untuk diterapkan
dalam desain bangunan agar sesuai dengan fungsi bangunan dan
prinsip-prinsip estetika dalam teori arsitektur.
I.4 Pendekatan
Pendekatan perancangan dilakukan dengan mempertimbangkan item-item
perancangan antara lain:
Studi Literatur. Studi pustaka atau studi literatur yang berkaitan langsung
dengan judul dan tema yang dipilih untuk mendapatkan informasi dan bahan
berupa literatur yang sesuai dengan materi laporan, yang berguna untuk
memperkuat fakta secara ilmiah.
Studi Banding. Studi banding terhadap proyek dan tema sejenis dengan
melakukan pendekatan perancangan dengan melihat keadaan yang sudah
ada, sumber dapat berupa buku, majalah, internet dan sebagainya.
Studi Lapangan. Studi lapangan mengenai kondisi sekitar site/lokasi
perancangan dan lingkungan fisik yang berhubungan dengan kasus proyek
untuk mendapatkan data-data yang akurat dari lokasi perancangan.
Wawancara. Wawancara dengan instansi terkait atau orang-orang yang
dianggap ahli dan mengetahui tentang kasus dan tema yang diangkat untuk
pengenalan masalah dan dapat menghasilkan kriteria umum bagi
I.5 Lingkup / Batasan
Adapun batasan perencanaan proyek ini adalah bangunan sebagai sarana
perawatan kesehatan sekaligus pendidikan untuk anak-anak anak berkebutuhan
khusus.
Lingkup perencanaannya adalah :
Perancangan sarana terapi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus ini
dibuat untuk anak-anak berkebutuhan khusus di Medan, tapi tidak menutup
kemungkinan bagi anak dari luar Medan baik masyarakat ekonomi menengah
ke atas, sedang maupun menengah ke bawah..
Bangunan sebagai wadah kegiatan bagi anak berkebutuhan khusus yaitu tuna
netra, tuna grahita, tuna daksa, dan tuna rungu wicara dengan batas usia 5-20
tahun (kegiatan perawatan rehabilitasi dan pelatihan keterampilan) juga bagi
anak normal dengan usia 5-15 tahun (kegiatan pelatihan keterampilan).
Kajian terhadap tema, pengertian dan penerapannya pada kasus proyek
lingkup batasan yang mempengaruhi proses perancangan meliputi : peraturan
pemerintah, data-data dari instansi terkait, asumsi kelayakan dan program
ruang.
Pusat perawatan anak berkebutuhan khusus ini nantinya diharapkan dapat
menjadi suatu tempat perawatan sekaligus pendidikan bagi anak-anak
berkebutuhan khusus yang menyediakan fasilitas lebih lengkap daripada
sekolah luar biasa maupun fasilitas perawatan lainnya, seperti: fasilitas utama
yaitu lokasi fasilitas terapi (terapi okupasi, terapi sensori integrasi, terapi
wicara, terapi ADL (Aktifitas Keseharian), terapi perilaku, fisioterapi, terapi
musik, terapi lumba-lumba, terapi akupuntur, terapi audio visual),
perpustakaan, sanggar pelatihan keterampilan (sanggar lukis, sanggar
patung, sanggar tari dan drama, sanggar musik), ruang pamer, fasilitas
penunjang seperti perpustakaan umum, kantin, toko souvenir, convention hall,
I.6 Kerangka Berpikir
Gambar 1.1 Skema Dasar Pemikiran Maksud dan Tujuan
Sebagai wadah perawatan intensif bagi anak berkebutuhan khusus dalam mendapatkan pelatihan fisik, pelatihan saraf sensorik – motorik serta pembelajaran pengembangan kemampuan dan potensi diri dalam
peningkatan kualitas hidupnya.
Latar Belakang Kasus Proyek :
Anak-anak dengan label kekhususan ini tetap harus mendapat ruang hidup yang layak dan kesempatan yang sama untuk mengoptimalkan potensi yang mereka miliki dan berhak mendapat kehidupan yang layak, berkesempatan mengembangkan potensinya, dan memiliki kesempatan menjadi orang dewasa yang bahagia seperti impian banyak orang pada umumnya.
Konsep : Tapak
Bangunan (Utilitas, Struktur, Estetika)
Desain
Masalah Perancangan :
Bagaimana mewujudkan desain bangunan agar setiap ruang, bentuk, dan bahan yang digunakan dapat berfungsi secara maksimal sesuai dengan kebutuhan bagi para penyandang cacat.
Bagaimana menciptakan suatu sarana perawatan sekaligus pendidikan yang nyaman bagi anak anak berkebutuhan khusus untuk melakukan kegiatan kesehatan dan belajar.
Bagaimana mewadahi beberapa kegiatan, tidak hanya terapi dan belajar pengetahuan umum, tetapi juga tempat bermain untuk anak anak berkebutuhan khusus.
Bagaimana menerapkan prinsip-prinsip tema yang diambil untuk diterapkan dalam desain bangunan agar sesuai dengan fungsi bangunan dan prinsip-prinsip estetika dalam teori arsitektur.
Analisis Perancangan :
Analisis Site
Analisis Kegiatan
Analisis Ruang
Analisis Bentuk dan Langgam Bangunan
Pengumpulan Data :
Survey Lokasi (Kondisi Site)
Studi Literatur
Peraturan-peraturan
I.7 Sistematika Laporan
BAB I : PENDAHULUAN
Menguraikan tentang latar belakang, maksud dan tujuan, masalah
perancangan, pendekatan, lingkup kajian dan batasan, kerangka berpikir,
dan sistematika laporan.
BAB II : DESKRIPSI PROYEK
Berisi tentang deskripsi umum, program kegiatan, kebutuhan ruang, dan
studi banding terhadap proyek sejenis.
BAB III : ELABORASI TEMA
Menguraikan tentang pengertian, Interpretasi, dan keterkaitan tema dengan
judul serta studi banding terhadap bangunan-bangunan yang menerapkan
tema sejenis.
BAB IV : ANALISIS
Menguraikan tentang analisa fungsional, organisasi ruang, program ruang,
persyaratan teknis, analisa kondisi lingkungan dan potensi lahan, karakter
lingkungan, peraturan bangunan sekitar, prasarana, karakter lingkungan,
pemandangan, orientasi, lalu lintas, sirkulasi, dan kesimpulan.
BAB V : KONSEP PERANCANGAN
Menguraikan tentang konsep dasar, rencana tapak (tata letak, gubahan
massa, pencapaian, hirarki ruang, sirkulasi, parkir, utilitas, tata hijau),
bangunan (bentuk, fungsi, sirkulasi, struktur dan konstruksi, bahan, desain
interior, utilitas, pentahapan pembangunan, penyelesaian ruang
luar/lansekap)
BAB VI : HASIL RANCANGAN
Menguraikan tentang gambar-gambar hasil rancangan dan foto-foto hasil
perancangan akhir.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR