• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aksesibilitas penyandang disabilitas terhadap layanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Aksesibilitas penyandang disabilitas terhadap layanan "

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

AKSESIBILITAS PENYANDANG DISABILITAS MENEMPUH PENDIDIKAN TINGGI

OLEH : UTOMO PRODI PLB FKIP UNLAM Email : bekantan_mtp@yahoo.co.id ABSTRAK

Pendidikan merupakan hak setiap warga negara, tidak terkecuali mereka yang menyandang disabilitas. Saat ini dunia pendidikan telah diperkaya dengan munculnya paradigma pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif memberikan peluang kepada seluruh anak bangsa tanpa kecuali untuk mendapatkan pendidikan yang layak ditinjau dari semua sisi. Sangat menarik bagaimana implementasi pendidikan inklusif di pendidikan/perguruan tinggi, terutama bagaimana mengakomodir mereka yang menyandang disabilitas. Tentunya mereka juga punya hak. Dan perguruan tinggi mempunyai kewajiban untuk memberikan layanan terbaiknya. Memberikan kesempatan bagi mereka merupakan sebuah kearifan yang berbasis pendidikan etnopedagogi.

A. Latar Belakang

Setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat berperan serta dalam pembangunan. Kesempatan yang dimaksud adalah setiap warga Negara mempunyai hak dan kewajiban untuk mengaktualisasikan dirinya ikut serta sebagai pelaku dalam pembangunan ataupun sebagai penikmat hasil dari pembangunan. Manusia yang dapat mendapatkan kesempatan menikmati hasil-hasil pembangunan adalah yang mempunyai akses yang cukup diberbagai bidang kehidupan. Jarang ditemukan seseorang yang sedikit atau tidak mempunyai akses akan mendapatkan kesempatan menikmati pembangunan dengan baik. Akses yang baik sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusianya. Jika sumberdaya manusianya baik, maka akan lebih berpeluang mendapatkan akses yang baik pula. Sebaliknya jika sumberdaya manusianya kurang baik, maka peluang untuk mendapatkan akses juga bisa kurang baik. jika kesempatan tersebut dapat tercipta dengan baik apabila terpenuhi akses yang memadai baik akses fisik maupun non fisik. Akses fisik misalnya tersedianya sarana dan prasarana yang memadai diberbagai bidang kehidupan baik bidang transportasi, bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Akses non fisik misalnya terciptanya kesempatan menempuh pendidikan, adanya peluang memporeleh pekerjaan yang layak, kesempatan untuk dapat hidup sejahtera, terciptanya keamanan dan kesempatan bidang kehidupan lainnya.

(2)

penyesuaian fasilitas umum tersebut dikenal dengan istilah aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Aksesibilitas fasilitas umum sangat memungkinkan penyandang disabilitas dapat menyetarakan dengan kaum nondisabilitas. Penyandang disabilitas bisa setara menggunakan fasilitas-fasilitas yang ada, baik fisik maupun non fisik. Prinsip aksesibilitas adalah meliputi tiga hal yaitu prinsip kemudahan, keamanan, dan kenyamanan (UU No. 28 tahun 2002 pasal 27 ayat 2).

Prinsip kesetaraan bukan berarti persamaan. Seringkali penggunaan istilah persamaan justru akan merugikan penyandang disabilitas. Para penyandang disabilitas seringkali harus menggunakan fasilitas yang sama yang sering digunakan oleh orang pada umumnya tanpa ada modifikasi. Fasilitas umum yang tidak memenuhi standar aksesibilitas memungkinkan penyandang disabilitas belum tentu bisa menggunakannya. Makna kesetaraan bagi penyandang disabilitas dimaksudkan agar mereka mempunyai kesempatan yang sama dalam mempergunakan fasilitas-fasilitas umum yang ada. Pertanyaannya mengapa penyandang disabilitas memerlukan fasilitas yang aksesibel? Mereka karena kondisi fisik, mental, perilaku, maupun social mempunyai keterbatasan jika menggunakan fasilitas umum yang hanya disetting untuk orang yang tidak mengalami disabilitas. Penyandang disabilitas yang hanya mempunyai kaki satu misalnya, agar bisa setara menggunakan fasilitas trotoar, maka trotoar tersebut perlu dimodifikasi agar bisa dilalui oleh penyandang tunadaksa dan juga memerlukan bantuan alat sebagai pengganti kakinya yang tidak ada. Para penyandang disabilitas sesungguhnya tidak menuntut terlalu berlebihan, mereka menginginkan kesetaraan kesempatan, seperti pendapatnya Dr. Didi Tarsidi (2008) :

Sesungguhnya para penyandang ketunaan tidak mengharapkan dan tidak pula memerlukan lebih banyak hak daripada orang-orang pada umumnya. Mereka hanya menghendaki agar dapat bergerak di dalam lingkungannya dengan tingkat kenyamanan, kemudahan dan keselamatan yang sama dengan warga masyarakat lainnya, memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang normal, dapat semandiri mungkin dalam batas-batas kemampuannya.

Menjadi disabilitas tentu bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah kenyataan yang harus dijalani. Setiap orangtua tentu juga tidak berharap anaknya lahir dalam kondisi disabilitas. Tidak juga kepada siapapun dalam proses perkembangannya tiba-tiba mengalami disabilitas. Jika demikian yang harus dilakukan adalah “belajar berdamai dengan keadaan” alias pasrah (bukan putus asa) dengan keputusan yang telah diambil oleh Sang Maha Pencipta. Kepasrahan akan membuat seseorang yang terkena dampak disabilitas akan tidak mudah mengatakan bahwa “Tuhan tidak adil.” Pertanyaan yang negatif (kenapa harus menimpa diri saya) akan bisa diminimalisir bahkan akan dibuang jauh-jauh. Kepasrahan akan membuat seseorang yang disabilitas atau lingkungannya (orangtua, masyarakat, pemerintah) akan segera bangkit dari keadaan. Disini dituntut agar lingkungan benar-benar peduli sebagai bentuk rasa syukur bahwa orang-orang yang tidak diberi kekurangan harus memberikan kompensasinya. Salah satunya adalah perlunya sarana dan prasarana yang aksesibel terhadap penyandang disabilitas. Penyediaan fasilitas umum yang akseibel bagi penyandang disabilitas merupakan bentuk implementasi layanan kepada semua lapisan masyarakat yang adil, bermutu dan tanpa diskriminasi.

(3)

orang lain yang tidak mengalami disabilitas. Secara prinsip, jika penyandang disabilitas saja bisa mempergunakan fasilitas umum tersebut dengan mudah dan aman, tentu bagi orang lain yang tidak mengalami disabilitas akan lebih aksesibel. Secara garis besar, aksesibilitas bagi penyandang disabilitas menurut kegunaannya dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu (1) fasilitas yang bisa digunakan oleh siapa saja, tidak hanya penyandang disabilitas yang mempergunakannya, contohnya trotoar, selasar, life, dsb. (2) fasilitas yang hanya dipergunakan oleh penyandang disabilitas saja, orang yang tidak menyandang disabilitas tidak boleh mempergunakannya, contohnya ada beberapa fasilitas yang khusus disediakan oleh penyandang disabilitas seperti wc, tempat parkir, hidrolik di bus maupun di bangunan sebagai pengganti tangga di gedung bertingkat, jalan dengan kemeringan maksimal 30%, dll.

Penyandang disabilitas memerlukan upaya penyetaraan dalam menjalani kehidupan, bukan mendapatkan perlakuan diskriminasi. Semua landasan yang ada, baik landasan religious, landasan HAM, landasan psikologis, landasan yuridis, maupun pemikiran yang sesuai dengan hati nurani dan sebagainya, tidak ada yang sanggup melawan adanya asumsi bahwa mereka tidak boleh mendapatkan diskriminasi.

Hukum di Indonesia telah banyak mengatur tentang sisi-sisi layanan kehidupan di segala bidang. Telah banyak peraturan perundangan-udangan ditetapkan baik oleh lembaga legislative maupun lembaga eksekutif. Misalnya Undang-Undang tahun nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, salah satu pasalnya menyebutkan bahwa setiap badan usaha yang mempunyai karyawan 100 orang, maka satu persennya harus dari penyandang cacat (istilah sekarang penyandang disabilitas). Undang-Undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Pasal 27 ayat 2 yaitu Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia. Diperjelas lagi dalam pasal 31 menyebutkan :

(1) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali rumah tinggal. (2) Fasilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), termasuk penyediaan fasilitas aksesibilitas dan fasilitas lainnya dalam bangunan gedung dan lingkungannya. (3) Ketentuan mengenai penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(4)

Penanganan pendidikan selama ini masih banyak yang belum memperhatikan factor aksesibilitas fisik bagi penyandang disabilitas. Penanganan pendidikan bagi penyandang diasbilitas selama ini lebih banyak mengarah kepada penanganan pada konten pendidikannya saja. Program-program yang ada masih kelihatan kepada penanganan non fisik seperti kurikulum, proses penanganan/pembelajaran dan penilaiannya. Jarang sekali lembaga pendidikan meingimpelentasikan peraturan tentang aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Bahkan sekolah-sekolah yang dirancang khusus untuk anak berkebutuhan khususpun tidak memperhatikan lingkungannya akses atau tidak terhadap penyandang disabilitas. Padahal sesuai peraturan perundang-undangan yang ada misalnya UU No. 28 tahun 2002 tentang bangunan gedung, lembaga pendidikan/sekolah termasuk kategori fasilitas umum yang harus mengakomodir aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Akses-akses lainnya seperti akses kursi roda, petunjuk untuk tunanetra, tiang-tiang bangunan masih belum terlihat. Begitu juga prinsip-prinsip bangunan dan lingkungan lainnya yang akses belum banyak diimplementasikan, termasuk di lembaga-lembaga pendidikan tinggi.

Mengingat pentingnya aksesibilitas fisik maupun non fisik bagi penyandang disabilitas dan masih minimnya implementasi dari peraturan perundang-undangan yang ada, maka memberikan inspirasi bagi penulis untuk memberikan gambaran dan ulasan bagaimana penyandang disabilitas dapat menempuh pendidikan secara layak, bahkan sampai menempuh pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi.

B. Akses Penyandang Disabilitas Menempuh Pendidikan Tinggi

Hak mendapatkan pendidikan yang layak tentunya berlaku bagi siapapun. Paradigma yang saat ini berkembang paling popular untuk memberantas diskriminasi adalah paradigma pendidikan inklusif. Jika dibandingkan dengan paradigma yang lain, pendidikan inklusif dipandang sebagai paradigma pendidikan yang paling ramah dan sangat memungkinkan para penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang layak, bahkan sampai di perguruan tinggi. Bagaimana implementasi paradigma pendidikan inklusif di pendidikan tinggi yang memungkinkan para penyandang disabilitas mendapatkan pendidikan tinggi yang layak? Simak ulasan berikut sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan kebudayaan Nomor 26 tahun 2014.

1. Pemberian kesempatan yang setara untuk mendaftar

Pendidikan pada intinya adalah memberikan kesempatan kepada setiap manusia untuk berkembang sesuai dengan potensinya. Sesuatu yang tidak adil jika sebuah lembaga pendidikan membatasi seseorang untuk dapat mengaksesnya dikarenakan kondisi manusia yang “berbeda” dari umumnya. Misalnya karena seseorang menyandang disabilitas, kemudian tidak diperkenankan untuk ikut kompetisi memperebutkan kursi kuliah di pendidikan tinggi. Implementasi Pendidikan inklusif di pendidikan tinggi mempersyaratkan bahwa mereka yang mempunyai persyaratan pendidikan maka mempunyai hak untuk ikut kompetisi memperebutkan kursi kuliah di pendidikan tinggi, tidak terkecuali mereka yang menyandang disabilitas.

2. Kebebasan memilih program studi/jurusan

(5)

berbeda (misalnya mempunyai kekurangan fisik) kemudian lembaga pendidikan tinggi membatalkan/menganulirnya. Terkadang alasannya juga tidak masuk akal dan bukan menjadi persyaratan untuk menimba ilmu di pendidikan tinggi. Para penyandang disabilitas tidak perlu dibatasi untuk memilih program studi/jurusan yang ada di pendidikan tinggi. Justru pendidikan inklusif memberikan keleluasaan bagi penyandang disabilitas untuk memilih program studi/jurusan yang diminatinya. Para penyandang disabilitas akan mengukur sendiri kemampuan dan kondisinya (self estem). Bukan pendidikan tinggi yang membatasi/mengarahkan. Perlu ditepis jika ada pendapat yang mengatakan bahwa penyandang disabilitas jika mau kuliah tempatnya harus di Program Studi/Jurusan Pendidikan Luar Bisaa. Misalnya ada seorang tunadaksa yang hanya mempunyai salah satu kaki dan anak itu berminat sekali ingin menjadi programer dibidang IT, masak harus kuliah di Pendidikan Luar Bisaa. Biarkan dia untuk memilih program studi di ilmu komputer.

3. Pemberian layanan sesuai dengan kebutuhan

Seluruh bidang kehidupan yang memberikan nafas bagi sivitas akademika seharusnya disentuh dengan pemberian kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk dapat mengaksesnya. Semua lini yang diperlukan mahasiswa harus mempertimbangkan adanya dukungan dan bantuan yang diperlukan bagi penyandang disabilitas. Semua layanan yang berhubungan dengan kepentingan mahasiswa perlu diseting dan dikondisikan juga untuk memberikan layanan terbaik bagi mahasiswa yang kebetulan mengalami disabilitas. Dikalangan teknis layanan sering menyebut “LAYANAN PURNA”. Beberapa masukan yang bisa dipertimbangkan adalah :

a. Menciptakan aksesibilitas fisik baik di gedung maupun di luar gedung, misalnya pembuatan jalan akses terhadap pengguna kursi roda dan tuanentra.

b. Menciptakan aksesibilitas non fisik, misalnya kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi ABK, pemberian layanan IT yang aksesibel, pemberian bantuan, penerimaan dosen, dan sebagainya.

c.

C. Memulai aksi

Peraturan hanya tinggal peraturan jika tidak ada kemauan dan komitmen untuk menjalankan. Indoensia termasuk jago di dalam membuat peraturan perundangan-undangan. Mungkin sudah puluhan, ratusan bahkan ribuan peraturan perundangan-undangan yang telah lahir. Salah satu peraturan yang telah lahir adalah mengatur penyandang disabilitas untuk menempuh pendidikan tinggi yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 46 tahun 2014 Tentang Pendidikan Khusus, Pendidikan Layanan Khusus dan/atau Pembelajaran Layanan Khusus pada Perguruan Tinggi. Aksi sangat perlu untuk mengimplementasikan sebuah gagasan, apalagi sudah tertuang dalam peraturan. Langkah-langkah yang bisa ditempuh adalah:

1. Reformasi pemikiran bahwa hak menempuh pendidikan tinggi berlaku bagi siapa saja. 2. Reformasi pemikiran bahwa kondisi tertentu seseorang tidak membatasi seseorang untuk

menempuh pendidikan, misalnya menghilangkan persyaratan tinggi badan, kondisi fisik dan sebagainya yang tidak ada hubungannya dengan persyaratan seseorang untuk belajar di pendidikan tinggi.

(6)

4. Mengkaji semua filosofi, gagasan, peraturan perundangan-undangan yang berkenaan dengan kepentingan penyandang disabilitas.

5. Melakukan risetdi seluruh bidang yang berkenaan dengan kepentingan penyandang disablitas.

6. Melakukan sosialisasi yang berkelanjutan kepada seluruh civitas akademika.

7. Membuat program aksi secara terencana dan terkaji menuju kesempurnaan memberikan layanan pendidikan tinggi kepada penyandang disabilitas.

8. Segera menciptakan aksesibitas fisik maupun non fisik di pendidikan tinggi sebagai upaya tunduk terhadap undang-undang.

D. Kesimpulan

Memberikan kesempatan menempuh pendidikan termasuk sampai ke pendidikan tinggi kepada penyandang disabilitas merupakan sebuah kearifan. Penulis berharap kajian pendidikan berbasis etnopedagogi jangan hanya sebuah tulisan. Penyandang disabilitas menunggu para ETNOPEDAGOGIK di perguruan/pendidikan tinggi membuka tangan lebar-lebar untuk menerima mereka. Kutunggu aksinya.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S dan Cepi Safrudin (2008) Evaluasi Program Pendidikan, Pedoman Teoritis Praktis bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara

Astati, (2001), Pendidikan Luar Bisaa di Sekolah Umum, Bandung :Pendawa

Bean R, (1993), How to Help Your Children Succed in School, Price stren Sloan, Inc.

Berk.L.E.L (2003), Child Developmnet, The United States Of Amerika: Person Education.

Direktorat Pendidikan Luar Bisaa dan Braillo Norway, (2005), Menciptakan Kelas Iklusif, Ramah terhadap Peserta Didik: Jakarta, Depdiknas

Dryden G & Vos J, (2002), The Learning Revolution, Bandung : Kaifa (Selandia Baru:The Learning Web)

Jhonsen B.H. &Skjorten MD, (2003), Menuju Inklusi, Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah Pengantar, Bandung, Program Pasca Sarjana UPI Bandung

Johnsen, B: (2003), Kurikulum Untuk Pluralitas kebutuhan Belajar Individual Artikel dalam johnsen B.H & Skjorten MD Menuju Inklusi, pendidikan kebutuhan khusus Sebuah Pengantar, Bandung, Program pasca Sarjana UPI Bandung

Mason H & Mc Call, (1997), Visual Impairment Acces to Education for Children and Young people, London: David Fultron Publishers

(7)

Permanarian & Alimin Z, (2005) Reorientasi Pemahaman Konsep SpecialEducation ke Konsep Special Needs Education dan Implikasi terhadap Layanan Pendidikan (jurnal), Bandung, Jassi

Skjorten M. (2003) Menuju Inklusi dan Pengayaan, Artikel dalam Johsen B.H & Skjorten MD Menuju Inklusi, Pendidikan kebutuhan Khusus sebuah Pengantar, Bandung, Program Pasca Sarjana UPI bandung

Sunanto J, (2003), Konsep Pendidikan Untuk Semua, Bandung, Makalah tidak diterbitkan Jurusan PLB UPI Bandung

Tarsidi D, (2008), Aksesibilitas Fisik bagi Penyandang Ketunaan (Online).www.didi-tarsidi.blogspot.com

UNESCO, (1999), The Journey to Inclusive Schools, Published By Inclussion Internasional

__________, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional : Jakarta : Restindo Mediatama

__________, Undang-undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

__________, Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang cacat.

__________, Permendiknas nomor 46 tahun 2014 Tentang Pendidikan Khusus, Pendidikan Layanan Khusus dan/atau Pembelajaran Layanan Khusus pada Perguruan Tinggi

_____________, (2005), Mengelola Kelas Inklusif, dengan Pembelejaranyang Ramah : Jakarta, Depdiknas

_____________, (2005) Merangkul Perbedaan: Perangkat Untuk Mengembangkan Lingkungan Inklusif, Ramah terhadap Pembelejaran: Jakarta, Depdiknas

_____________, (2005) Menciptakan Lingkungan Inklusif Ramah terhadap Pembelajaran (LIRP) yang Sehat dan Aman: Jakarta, Depdiknas

_____________, (2005) Menjadikan Lingkungan Inklusif, Ramah terhadap Pembelajaran (LIRP): Jakarta, Depdiknas

_____________, (2005) Bekerja Sama dengan Keluarga dan Masyarakat untuk Meniciptakan Lingkungan Inklusif Ramah terhadap Pembelejaran(LIRP): Jakarta, Depdiknas

Referensi

Dokumen terkait

Baik LAPORAN maupun JURNAL HASIL PENELITIAN disajikan/ditampilkan menggunakan semua MODEL PENELITIAN dengan KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS [Panjang Alt, Sedang Alt,

Penelitian ini bertujuan untuk memperolah bukti secara empiris pengaruh, Asset Growth, Total Asset Turnover, Firm Size, Operating Leverage , dan Financial Leverage

Dari hasil analisis yang dilakukan akan diketahui kekuatan desain boatlanding dengan modifikasi struktur support pada kondisi beban kapal menabrak , dengan variasi sudut

Soal memiliki ambiguitas yakni konteks wacana yang digunakan kurang sesuai dengan usia dari peserta didik. Selain itu, instrumen tes tidak memiliki peta blue print yang

Dalam rangka penyusunan tugas akhir Fakultas Ekonomi Program Manajemen Pemasaran Universitas Kristen Petra, saya atas nama Metha Nilarisma Dewi, selaku mahasiswa Universitas

Jaminan untuk pinjaman tersebut di atas sama seperti yang disebutkan dalam perjanjian aslinya, yang terdiri dari piutang usaha, persedian, aktiva tetap dan dijamin oleh

Tampilan aplikasi media pembelajaran menghafal surat-surat pilihan dalam Al-Quran berbasis Android ini sangat mudah dipahami oleh pengguna dan dibuat menggunakan Software Adobe Flash

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan yang tepat antara bahan pengisi galendo/blondo dan jamur tiram putih ( Pleurotus ostreatus)