• Tidak ada hasil yang ditemukan

korelasi tingkat pendidikan orang tua da (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "korelasi tingkat pendidikan orang tua da (2)"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan buah cinta dari orang tua yang dengan adanya anak maka orang tua mempunyai keinginan dan harapan yang besar kepada anak atau buah hati untuk bisa melanjutkan dan meneruskan cita-cita dari para orang tua, sehingga anak adalah investasi masa depan bagi orang tua, anak sebagai pelanjut keturunan yang disebabkan oleh naluri (insting) makhluk manusia untuk melanjutkan keberadaan dan anak akan meneruskan atau menggantikan cita-cita dan ide-ide dari orang tua. Anak adalah orang terdekat dengan orang tua sehingga dapat mewarisi pandangan-pandangan dan ide-ide atau cita-cita orang tua. Sehingga orang tua akan melakukan suatu usaha untuk memberikan yang terbaik untuk anak dengan fasilitas yang menunjang tumbuh kembangnya anak baik secara materi atau fisik. Salah satu fasilitas tersebut adalah pendidikan, mereka akan memberikan pendidikan yang terbaik untuk anaknya, bagi orang tua pendidikan adalah yang utama sehingga mereka memilihkan sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan yang favorit yang paling bagus untuk anaknya.

(2)

Para orang tua yang mempunyai pemikiran dan ide-ide untuk masa yang akan datang dan mereka mempunyai pemikiran bagaimana cara untuk mengembangkan dan merealisasikan ide tersebut sehingga bisa diturunkan kepada anak. Para orang tua tersebut adalah orang tua yang berpikir dan intelektual karena cara pandang mereka yang maju juga akan ditularkan kepada anak-anak mereka. Anak-anak dan cucu mereka juga akan mewarisinya meskipun tidak sepenuhnya atau tidak sehebat pemikiran orang tua itu.

Pada dasarnya para orang tua menginginkan anaknya tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik, cerdas, terampil serta mereka mempunyai harapan-harapan yang baik untuk anak-anaknya. Setiap orang tua berkeinginan untuk mendidik anaknya secara baik dan berhasil. Sejak dari bayi anak sudah dididik dengan cara yang baik dan benar, dihindarkan dari kesalahan baik dari kesalahan dari orang tua atau keluarga ataupun dari lingkungan sekitar dimana anak tinggal.

(3)

Kesibukan orang tua menjadi penyebab utama kurangnya komunikasi di keluarga. Seharusnya orang tua dapat dan harus meluangkan waktunya untuk bercengkerama dengan anaknya, atau lebih ingin tahu tentang apa yang dilakukan anak di sekolah (Medanbisnisdayli.com/2014/11/11). Hal tersebut menyebabkan timbulnya rasa tidak bahagia karena para orang tua jarang bertemu dengan anak-anak mereka, orang tua yang jarang ada waktu untuk anak-anak pada saat di rumah dapat menimbulkan kesenjangan antara orang tua dan anak.

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang di dalamnya terdapat beberapa orang yang disebut dengan anggota keluarga yaitu terdiri dari orang tua dan anak bahkan ada juga nenek dan kakek. Keluarga terbentuk dengan adanya ikatan perkawinan. Keluarga termasuk dalam pendidikan informal karena dalam keluarga proses pendidikan akan diberikan untuk pertama kalinya kepada anak baik pendidikan karakter, bahasa, berinteraksi dengan sesama anggota keluarga.

Menurut Sarumpaet ( 1990:35), bahwa “pendidikan yang mula-mula sekali kepada anak-anak harus diutamakan, pelajaran-pelajaran yang dipelajari oleh anak itu selama tujuh tahun pertama dalam kehidupannya lebih banyak sangkut pautnya dengan pembentukan tabiatnya daripada segala perkara yang dipelajarinya pada tahun-tahun seterusnya”- Child Guidance halaman 193.

(4)

penghargaan, penurutan, penghormatan, pengendalian diri”. Menurut Suhartin (1990:8), bahwa “pendidikan dalam keluarga merupakan dasar, seperti juga dalam membuat rumah, apabila dasar atau fondasinya kurang kuat, rumah itu akan mudah rubuh atau tidak terwujud”. Demikian halnya dalam mendidik anak apabila fondasinya kurang kuat akan berakibat fatal, apabila anak sudah besar nanti. Anak akan belajar banyak hal yang terkait dengan bahasa, interaksi bahkan karakter di dalam keluarga. Pendidikan yang dilakukan di dalam keluarga disebut dengan pendidikan keluarga yang dilakukan oleh orang tua, dibantu orang-orang dewasa yang lain yang berada atau tinggal di dalam satu rumah. Pendidikan yang dilakukan dalam keluarga itu sangat penting untuk anak sebelum memasuki dunia sekolah dan sebelum anak berada di masyarakat.

Menurut Collete Dowling, seorang psikolog mengatakan, “kebebasan dan kemandirian tidak bisa diminta dari orang lain, tapi harus dikembangkan dengan susah payah dari dalam diri sendiri. Kemandirian merupakan suatu kondisi mental yang penting (Fatchul Mu’in, 2013:385), “dengan adanya kemandirian manusia akan merasa bahwa dirinya bertangung jawab terhadap dirinya dan memahami bahwa untuk mendapatkan sesuatu dibutuhkan proses”.

(5)

melihat perilaku orang tua di dalam keluarga tersebut sehingga anak mencontoh perilaku dari orang tua.

Menurut Charles Schaefer dalam bukunya Maria Etty yang berjudul Menyiapkan Masa Depan Anak (2003:62) mengungkapkan kesanggupan menjadi manusia mandiri sesungguhnya merupakan upaya selama bertahun-tahun. “Pemberian kebebasan yang lebih besar pada anak harus merupakan proses yang bertahap dan berkesinambungan”.

Kutipan tersebut mengungkapkan bahwa untuk menanamkan kemandirian pada anak itu dilakukan melalui proses yang sangat lama dan tidak hanya cukup satu kali atau dua kali saja tetapi dilakukan secara terus menerus dan bertahap. Semakin bertambah umur anak tersebut menyebabkan perilaku ketergantungan anak akan semakin berkurang, misalnya anak yang sudah memasuki sekolah dasar (SD) sikap ketergantungan anak sudah berkurang contohnya dalam hal mandi. Anak yang sudah memasuki SD sudah bisa mandi sendiri dan tidak didampingi oleh ibunya. Contoh lainnya dalam hal makan anak SD sudah bisa makan sendiri bahkan mengambil makanan sendiri sudah tidak minta untuk diambilkan makan dan minta disuapi oleh ibunya. Hal tersebut jauh berbeda jika dibandingkan dengan anak pada saat TK, pada masa usia TK anak masih banyak bergantung pada orang tua, baik saat mandi anak masih dimandikan oleh ibu, dan saat makan anak masih disuapi dan diambilkan makanannya.

(6)

dalam hal ini orang tua perlu menyadari situasi anak: berapa usianya serta berapa tingkat kematangannya”.

Para orang tua sudah tidak pantas lagi mengatur anak yang sudah SMA misal dalam hal berpakaian seperti mengatur anak SD. Apabila hal tersebut terjadi maka akan menyebabkan anak menjadi kurang mandiri, itu hanya contoh dalam hal memakai pakaian atau berpakaian belum dalam hal yang lainnya.

Menurut Annisa Mardiana (2014), dalam skripsinya yang berjudul “Hubungan Pelaksanaan Kemandirian Anak Dalam Keluarga Dengan Pelaksanaan Kemandirian Anak Di Sekolah Kelompok A Paud Pertiwi 1 Kota Bengkulu” bahwa mengembangkan perilaku kemandirian pada anak harus dimulai dari lingkungan rumah, peran orang tua dalam mendidik anak sangat penting bagi pengembangan kemandirian anak karena orang tua sosok pribadi yang akan ditiru anak, orangtua lah yang akan menjadi model dalam menuju pembentukan karakter anak”.

Maksudnya, orang tua adalah model atau figur yang akan dicontoh oleh anak dalam hal apapun itu, kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang tua selama di keluarga akan dilihat dan hal tersebut akan ditiru oleh anak bahkan anak akan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang tuanya di rumah akan dibawa anak sampai ke sekolah atau di luar rumah.

“Demi kemandirian anak, para orang tua harus bersikap bijaksana, usahakan para orang tua jangan terlalu melindungi anak secara berlebihan karena hal itu akan membuat anak kurang bahkan tidak berani bertindak sendiri, anak cenderung akan melihat banyak hal berdasarkan kaca mata orang tuanya saja” (Maria Etty, 2003:63).

(7)

berkurang dalam hal pendidikan anak”. Artinya semakin bertambah umur seorang anak, maka para orang tua sudah harus mengurangi aturan-aturan yang diwajibkan dan batasan-batasan yang harus dilakukan pada anak. Anak akan senang jika orang tua sudah tidak lagi membatasi gerak pada anak karena anak akan merasa dipercaya oleh orang tua. Anak perlu diberikan sedikit kebebasan dari orang tua mulai dari mandi sendiri, makan sendiri, tidur sendiri berpergian jauh sendiri tanpa dampingan orang tua.

(8)

pengetahuan orang tua terkait dengan pola asuh anak yang ditanamkan dalam keluarga orang tua tersebut.

Menurut Sugihartono ( 2013:31), “Pola asuh adalah pola perilaku yang digunakan untuk berhubungan dengan anak-anak. Pola asuh ini terdapat tiga macam pola asuh orang tua, yaitu otoriter, permisif, dan autoritatif. Pola asuh otoriter adalah bentuk pola asuh yang menekankan pada pengawasan orang tua kepada anak untuk mendapatkan ketaatan atau kepatuhan. Orang tua bersikap tegas, suka menghukum, dan cenderung mengekang keinginan anak. Hal ini dapat menyebabkan anak kurang inisiatif, cenderung ragu, dan mudah gugup. Oleh karena sering mendapat hukuman anak menjadi tidak disiplin dan nakal. Pola asuh permisif merupakan bentuk pengasuhan dimana orang tua memberi kebebasan sebanyak mungkin pada anak untuk mengatur dirinya, anak tidak dituntut untuk bertanggung jawab dan tidak banyak dikontrol oleh orang tua. Sementara itu pola asuh autoritatif bercirikan adanya hak dan kewajiban orang tua dan anak adalah sama dalam arti saling melengkapi, anak dilatih untuk bertanggung jawab, dan menentukan perilakunya sendiri agar dapat berdisiplin”.

Beberapa jenis pola asuh orang tua kepada anak diterapkan oleh orang tua sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan para orang tua dan tingkat pendidikan orang tua. Salah satu faktor dalam mendidik dan memberikan pola asuh pada anak salah satunya yaitu latar belakang pendidikan orang tua. Tingkat pendidikan orang tua akan memberikan pola pikir dan orientasi pendidikan yang akan diberikan kepada anak. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua akan mempengaruhi pola pikir mereka dalam mendidik dan memberikan pengasuhan kepada anak-anak mereka.

(9)

sebagian para orang tua yang tidak bisa membaca atau buta huruf, yang cenderung mendidik anak secara naluriah dan tradisional (Maria Etty, 2003:62).

(10)

Keadaan seperti di atas menunjukkan bahwa kemandirian anak dalam keluarga sangat penting dan peran orang tua dalam proses menanamkan kemandirian anak sangat dibutuhkan. Anak-anak pada saat ini masih ada yang belum memiliki kemandirian dalam melakukan kegiatan di dalam keluarga, seperti dalam hal membereskan kamar tidur, dalam hal membantu orang tua dalam merapikan dan membersihkan rumah, dalam hal makan dan mandi semua hal tersebut masih diperintah oleh orang tua padahal tersebut tanpa sadar merupakan kepentingan mereka.

Berdasarkan latar belakang di atas serta melihat permasalahan yang ada maka penulis ingin mengangkat masalah-masalah tersebut ke dalam skripsi yang berjudul “ Korelasi Tingkat Pendidikan Orang Tua Dan Pola Asuh Terhadap Kemandirian Anak Dalam Keluarga”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka dapat diidentifikasikan masalah seperti berikut :

1. Para orang tua yang hanya memperhatikan kebutuhan fisik atau materi untuk perkembangan dan kebutuhan anaknya.

2. Orang tua yang tidak memberikan contoh ataupun model yang baik dalam berperilaku dalam keluarga.

(11)

C. Batasan Masalah

Mengingat keterbatasan kemampuan peneliti, maka peneliti membatasi permasalahan ini sebagai berikut:

1. Ada atau tidak hubungan antara tingkat pendidikan dengan pola asuh orang tua.

2. Ada atau tidak hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan kemandirian anak dalam keluarga.

3. Ada atau tidak hubungan antara pola asuh dengan kemandirian anak dalam keluarga.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah ada hubungan dan kecenderungan tingkat pendidikan dan pola asuh orang tua?

2. Apakah ada hubungan tingkat pendidikan dengan kemandirian anak? 3. Apakah ada hubungan dan kecenderungan pola asuh dengan

kemandirian anak?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Mengetahui hubungan dan kecenderungan tingkat pendidikan orang tua dengan pola asuh.

2. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan kemandirian anak. 3. Mengetahui hubungan dan kecenderungan pola asuh denga kemandirian

(12)

F. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis:

1. Secara teoritis: hasil temuan penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan teori tentang pengaruh tingkat pendidikan orang tua dan pola asuh terhadap kemandirian anak dalam keluarga. Selain itu diharapkan juga hasil penelitian ini dapat menambah referensi ilmiah.

2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

a. Orang tua: untuk memberikan kesadaran kepada orang tua bahwa melatih atau menanamkan kemandirian anak di dalam keluarga sangat penting agar anak bisa memiliki perilaku kemandirian yang tinggi, baik di dalam keluarga maupun di lingkungan sosial.

(13)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Tingkat Pendidikan

a. Pengertian Tingkat

Tingkat adalah jenjang, strata atau tata urut (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996:856). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:1197), Tingkat adalah susunan yang berlapis-lapis, tinggi rendah martabat kedudukan, jabatan, kemajuan, peradaban, pangkat, derajat, kelas.

Tingkat adalah tinggi rendah martabat (kedudukan, jabatan, kemajuan, peradaban, pangkat, derajat, taraf, kelas).

b. Pengertian Pendidikan

Menurut Dwi Siswoyo (2013:45), “secara historis, pendidikan dalam arti luas telah mulai dilaksanakan sejak manusia berada di muka bumi ini”. Pendidikan dilakukan pada awal manusia sudah berada di dunia atau bumi, dan penyelenggaraan pendidikan tersebut disesuaikan dengan perkembangan zaman dan ide-ide baru dari manusia.

Menurut George F.Kneller dalam Dwi Siswoyo (2013:47), “pendidikan dapat dipandang dalam arti luas dan dalam arti teknis, atau dalam arti hasil dan dalam arti proses. Dalam artinya yang luas pendidikan menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan atau perkembangan jiwa (mind), watak (character), atau kemampuan fisik (physical ability) individu”.

(14)

dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan, dan generasi ke generasi.

Peneliti setuju dengan pendapat di atas, bahwa pendidikan itu dilaksanakan secara terus menerus atau sepanjang hayat dimulai dari dalam kandungan sampai meninggal karena pendidikan dalam hal ini kaitannya dengan menumbuh kembangkan jiwa, karakter, dan kemampuan fisik yang dalam hal ini harus dilakukan secara keberlanjutan atau secara terus menerus, dan pendidikan secara teknis yang dilakukan dalam bangku sekolah secara formal sesuai dengan sistematika dari pemerintah atau sesuai dengan peraturan yang sudah dibuat atau disepakati sebelumnya.

Menurut Ki Hajar Dewantara (1977:20), yang dinamakan pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagian yang setinggi-tingginya.

Pendidikan mengembangkan semua bakat yang sudah dipunyai anak agar lebih berkembang dan kelak bisa bermanfaat untuk kehidupan anak tersebut baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat sekitar di mana anak tersebut berada.

(15)

secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Menurut Redja Mudyahardjo (2012:3-6), “pendidikan dalam arti luas adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup, sedangkan pendidikan dalam arti sempit adalah pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal”.

Pendidikan di sini memiliki pengertian dalam hal sempit dan luas, yang keduanya memiliki pengertian bahwa pendidikan adalah suatu pengajaran baik dilakukan di dalam lembaga formal maupun non formal yang mana memiliki tujuan sama yaitu untuk mengarahkan agar mempunyai kemampuan dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan sosial mereka.

(16)

Fullan (1982:288) dalam bukunya Syukri Hamzah (2013:13), “pendidikan mempunyai arti yang sangat penting dalam proses pembentukan diri seseorang yang menyangkut aspek kognitif berupa kemampuan akademik dan kemampuan memecahkan masalah”. Pengertian pendidikan di sini yaitu proses di mana manusia itu sendiri dikembangkan dari beberapa aspek baik pribadi dan sosial yang hal tersebut akan digunakan untuk kehidupannya kelak di dalam masyarakat. Dari beberapa pengertian pendidikan menurut para ahli di atas penulis menyimpulkan bahwa pendidikan adalah kegiatan secara sadar dalam proses belajar dan pembelajaran untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik dan menjadikan manusia menjadi manusia seutuhnya yaitu yang berkepribadian dan terjadinya perubahan yang positif dalam diri individu peserta didik yang berlangsung secara terus menerus.

Jadi, tingkat pendidikan adalah jenjang atau tahapan yang sudah ditempuh oleh orang tua peserta didik, yaitu jenjang pendidikan formal mulai dari SD, SMP, SMA, Perguruan tinggi maupun nonformal.

2. Kemandirian

a. Pengertian Kemandirian

(17)

dalam menggapai keberhasilan, baik bagi kehidupannya sendiri maupun dalam lingkup bangsa. Sungguh, karakter bisa belajar secara mandiri seperti ini sangat dibutuhkan, apalagi persaingan kehidupan di masa mendatang semakin ketat. Hanya orang-orang berkarakter mandirilah yang akan memperoleh keberhasilan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mandiri diartikan sebagai keadaan yang dapat menjadikan individu berdiri sendiri, tidak bergantung kepada orang lain. Mandiri di sini anak bisa berdiri sendiri artinya anak bisa melakukan semua aktivitas atau kegiatan yang berkaitan untuk dirinya dilakukan secara individu atau sendiri tanpa anak bergantung pada orang lain baik teman, orang tua ataupun guru di sekolah.

(18)

Menurut Novan Ardy W (2013:25) kemandirian anak usia dini adalah karakter yang dapat menjadikan anak yang berusia 0-6 tahun dapat berdiri sendiri, tidak bergantung dengan orang lain, khususnya orang tua. Menurut Alex Sobur (1986:78) mengatakan bahwa kemandirian dapat tumbuh jika orang tua mengarahkan anak-anaknya untuk dapat melakukan tugas dan kegiatannya sendiri atau berkelompok. Menurut Desmita (2012:185) kemandirian atau otonomi adalah kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan keragu-raguan.

Penulis setuju dengan pendapat di atas bahwa selaku orang tua apabila ingin anak-anaknya memiliki sikap mandiri perlu membimbing dan mengarahkan anak-anaknya dalam melakukan aktivitas anak sehari-hari baik kegiatan individu maupun yang berkaitan dengan kegiatan kelompok.

Dari penjelasan Musthafa dan Syamsu dalam bukunya Novan Ardy (2013:29), dapat ditarik kesimpulan bahwa kemandirian yang akan dibentuk orang tua ataupun guru pada anak usia dini adalah kemandirian yang menjadikan anak usia dini:

a. Memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan. b. Berani memutuskan sesuatu atas pilihannya sendiri.

c. Bertanggung jawab menerima konsekuensi yang menyertai pilihannya.

d. Memiliki rasa percaya diri. e. Mampu mengarahkan diri. f. Mampu mengembangkan diri.

(19)

Upaya mendorong anak usia dini menuju ke kemandiriannya, orang tua dan guru perlu memberikan berbagai pilihan dan bila dimungkinkan sekaligus memberikan gambaran kemungkinan konsekuensi yang menyertai pilihan yang diambilnya. Dalam konteks lingkungan keluarga di rumah, orang tua diharapkan dapat lebih telaten dan sabar dengan cara memberikan berbagai pilihan dan membicarakannya secara seksama dengan anak-anak setiap kali mereka dihadapkan pada pembuatan keputusan-keputusan penting. Sementara itu, di lingkungan Taman Kanak-Kanak (TK), kemampuan anak usia dini perlu didengar dan diakomodasi oleh guru TK. Karakter mandiri yang dimiliki oleh anak usia dini akan sangat bermanfaat bagi mereka dalam melakukan prosedur-prosedur keterampilan dan bergaul dengan orang lain.

(20)

Menurut Robert Havighurst (1972) dalam bukunya Desmita (2012:186), membedakan kemandirian atas tiga bentuk kemandirian, yaitu:

a) Kemandirian emosi, yaitu kemampuan mengontrol emosi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi pada orang lain.

b) Kemandirian ekonomi, yaitu kemampuan mengatur ekonomi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain.

c) Kemandirian intelektual, yaitu kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.

d) Kemandirian sosial, yaitu kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung pada aksi orang lain.

Dari beberapa pengertian dari ahli tentang kemandirian, disini dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah suatu sikap yang melakukan semua aktivitas atau kegiatannya dilakukan oleh diri sendiri baik dalam hal aktivitas di rumah ataupun di sekolah dan dalam hal memilih apapun yang berkaitan untuk dirinya sendiri tanpa bantuan orang tua dan orang lain pada anak berusia 0-6 tahun.

b. Ciri-ciri Kemandirian Anak Usia Dini

Dalam konsep pendidikan nasional, kemandirian merupakan core value pendidikan nasional. Kemandirian akan mengantarkan anak memiliki kepercayaan diri dan motivasi intrinsik yang tinggi.

Menurut Kartono (2013:32), Kemandirian terdiri dari beberapa aspek, sebagai berikut:

a) Emosi yang ditunjukkan dengan kemampuan anak mengontrol dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua.

(21)

c) Intelektual yang ditunjukkan dengan kemampuan anak untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, sosial yang ditunjukkan dengan kemampuan anak untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung dengan orang lain.

Dari ketiga aspek tersebut, bisa dikatakan bahwa kemandirian di sini bagaimana anak bisa menghadapi masalah yang dihadapinya dan bagaimana cara untuk menemukan solusinya.

Sementara itu, Kantor Kependudukan dan Lingkungan Hidup mengeluarkan rumusan mengenai komponen utama kemandirian dalam bukunya Novan Ardy ( 2013:32-33), antara lain:

(a) Bebas artinya bertindak atas kehendaknya sendiri dan tidak bergantung pada orang lain.

(b) Berinisiatif artinya mampu berpikir dan bertindak secara rasional, kreatif, dan penuh inisiatif.

(c) Progresif dan ulet.

(d) Mampu mengendalikan diri dari dalam (internal locus of control).

(e) Memiliki kemantapan diri ( self esteem, self confidence). Berdasarkan aspek dan komponen kemandirian di atas, ciri-ciri kemandirian anak usia dini menurut Novan Ardy (2013:32-33) adalah sebagai berikut:

(1) Memiliki kepercayaan kepada diri sendiri.

(22)

(2) Memiliki motivasi instrinsik yang tinggi.

Motivasi instrinsik merupakan dorongan yang berasal dari dalam diri untuk melakukan suatu perilaku maupun perbuatan. Motivasi instrinsik ini pada umumnya lebih kuat dan abadi dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik walaupun kedua jenis motivasi tersebut bisa juga berkurang dan bertambah. Motivasi yang datang dari dalam akan mampu menggerakkan anak untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya.

(3) Mampu dan berani menentukan pilihannya sendiri.

Anak yang berkarakter mandiri memiliki kemampuan dan keberanian dalam menentukan pilihannya sendiri. Contohnya, seperti memilih makanan yang akan dimakan, memilih baju yang akan dipakai, dan dapat memilih mainan yang akan digunakan untuk bermain, serta dapat memilih mana sandal untuk kaki kanan dan mana sandal untuk kaki kiri.

(4) Kreatif dan inovatif.

(23)

(5) Bertanggung jawab menerima konsekuensi yang menyertai pilihannya.

Pada saat anak usia dini mengambil keputusan atau pilihan, tentu ada konsekuensi yang melekat pada pilihannya. Anak yang mandiri akan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya apapun yang terjadi. Tentu saja bagi anak usia dini tanggung jawab tersebut dilakukan dalam taraf yang wajar. Misalnya, tidak menangis ketika salah mengambil alat mainan, lalu dengan senang hati menggantinya dengan alat mainan lain yang diinginkannya.

(6) Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Lingkungan KB maupun TK merupakan lingkungan yang baru bagi anak usia dini. Sering sekali kita menemukan dengan mudah anak yang menangis ketika pertama kali masuk KB maupun TK. Bahkan, kebanyakan anak ditunggu oleh orang tuanya ketika sedang belajar di kelas. Bagi anak yang memiliki karakter mandiri, dia akan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan dapat belajar walaupun tidak ditunggui orang tuanya.

(7) Tidak bergantung pada orang lain.

(24)

mampu untuk mendapatkannya, barulah dia akan meminta bantuan orang lain. Contohnya, seperti pada saat anak mengambil mainan yang jauh dari jangkauannya.

Penulis setuju dengan pendapat Novan Ardy Wiyani dalam bukunya Bina Karakter Anak bahwa anak yang memiliki sikap kemandirian harus berdasarkan atau mempunyai beberapa dari ciri-ciri kemandirian seperti di atas tersebut, semuanya harus dimiliki oleh seorang anak jika dikatakan sebagai anak yang mempunyai sikap mandiri.

Dari beberapa pendapat ahli di atas mengenai ciri-ciri kemandirian anak dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kemandirian anak usia dini adalah sebagai berikut:

(a) Kemampuan Fisik (b) Percaya Diri (c) Bertanggung jawab (d) Disiplin

(e) Pandai Bergaul

(f) Mengendalikan Emosi.

c. Faktor-Faktor Yang Mendorong Terbentuknya Kemandirian Anak Usia Dini

Menurut Novan (2013:35-41) Kemandirian merupakan salah satu karakter atau kepribadian seorang manusia yang tidak dapat berdiri sendiri. Kemandirian terkait dengan karakter percaya diri dan berani, anak yang percaya diri dan berani akan mudah dalam memilih dan mengambil keputusan dan bersedia menerima konsekuensinya yang telah dipilih. Karenanya, kepercayaan diri pada anak-anak perlu ditumbuh kembangkan sehingga terbentuk karakter kemandirian pada diri anak.

(25)

untuk mengembangkan kemandirian yang tidak terpenuhi pada usia sekitar dua sampai tiga tahun akan menimbulkan terhambatnya perkembangan kemandirian yang maksimal. Sementara itu, kemandirian baru akan tercapai secara penuh pada akhir masa remaja. Akan tetapi, kemandirian tersebut tidak akan pernah tercapai atau hanya akan tercapai sebagian jika perkembangan pada masa awal anak tidak diberi dasar yang baik. Kemandirian bukanlah keterampilan yang muncul tiba-tiba, melainkan perlu diajarkan kepada anak. Tanpa diajarkan, anak-anak tidak akan tahu bagaimana mereka harus membantu dirinya sendiri.

Anak-anak yang tidak dilatih untuk mandiri sejak dini mereka akan menjadi individu yang akan bergantung pada orang lain sampai dewasa nanti. Apabila kemampuan-kemampuan yang seharusnya sudah diajarkan kepada anak pada usia tertentu akan tetapi tidak diajarkan ataupun tidak dilatihkan kepada anak maka anak tersebut bisa dibilang belum mandiri.

Ada dua faktor yang mempengaruhi kemandirian anak yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar anak atau individu seperti lingkungan, sosial, karakter, stimulasi, pola asuh, cinta kasih sayang, kualitas informasi anak dan orang tua, pendidikan orang tua dan status pekerjaan ibu.

Sedangkan faktor internal adalah faktor yang muncul dari dalam diri individu atau anak seperti emosi dan intelektual. Berikut adalah deskripsi dari faktor-faktor yang mendorong timbulnya kemandirian anak.

1. Faktor Internal

Faktor internal ini terdiri dari dua kondisi, yaitu kondisi fisiologis dan kondisi psikologis.

(26)

Kondisi fisiologis yang berpengaruh antara lain keadaan tubuh, kesehatan jasmani, dan jenis kelamin. Pada umumnya, anak yang sakit lebih bersikap tergantung pada orang yang tidak sakit. Lamanya anak sakit pada masa bayi menjadikan orang tua sangat memerhatikannya.

Jenis kelamin anak juga berpengaruh terhadap kemandiriannya. Pada anak perempuan terdapat dorongan untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada orang tua, tetapi dengan statusnya sebagai anak perempuan, mereka agresif dan ekspensif, akibatnya anak perempuan berada lebih lama dalam ketergantungan daripada anak laki-laki. b. Kondisi psikologis

Meskipun kecerdasan atau kemampuan berpikir seorang anak dapat diubah atau dikembangkan melalui lingkungan, sebagian ahli berpendapat bahwa faktor bawaan juga berpengaruh terhadap keberhasilan lingkungan dalam mengembangkan kecerdasan seorang anak. Pandangan yang demikian dalam perspektif ilmu pendidikan dikenal dengan paradigma nativisme. Sementara mereka yang berpandangan kecerdasan atau kemampuan berpikir seorang anak dipengaruhi oleh lingkungannya.

(27)

seorang anak hanya mungkin dimiliki oleh anak yang mampu berpikir dengan seksama tentang tindakannya. 2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal ini meliputi lingkungan, rasa cinta dan kasih sayang orang tua kepada anak, pola asuh orang tua dalam keluarga, dan faktor pengalaman dalam kehidupan.

a. Lingkungan

Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pembentukan kemandirian anak usia dini. Lingkungan yang baik dapat menjadikan cepat tercapainya kemandirian anak. Kondisi lingkungan keluarga ini sangat berpengaruh dalam kemandirian anak. Pemberian stimulasi yang terarah dan teratur di lingkungan keluarga, akan lebih mempercepat kemandirian anak dibanding dengan anak yang kurang mendapat stimulasi.

b. Rasa cinta dan kasih sayang

(28)

menerima segala informasi dari luar terutama tentang mendidik anak agar anak menjadi mandiri.

Penulis setuju dengan pendapat tersebut, bahwa apabila orang tua yang berpendidikan bisa menghasilkan anak yang mandiri, karena dari orang tua yang berpendidikan tersebut orang tua bisa belajar, mau belajar, peduli dengan anak sehingga anak bisa memberikan kasih sayang sesuai porsi yang tidak berlebihan.

Pemberian rasa cinta dan kasih sayang orang tua kepada anak juga dipengaruhi oleh status pekerjaan orang tua. Menurut Novan Ardy (2013:39). Apabila orang tua, khususnya ibu bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah, akibatnya ibu tidak bisa melihat perkembangan anaknya, apakah anaknya sudah bisa mandiri atau belum. Sementara itu, ibu yang tidak bekerja bisa melihat langsung perkembangan kemandirian anaknya dan bisa mendidiknya secara langsung.

c. Pola asuh orang tua dalam keluarga

(29)

Pola asuh ayah dan ibu mempunyai peran nyata dalam membentuk karakter mandiri anak usia dini. Toleransi yang berlebihan, begitu pun dengan pemeliharaan yang berlebihan dari orang tua yang terlalu keras kepada anak dapat menghambat pencapaian kemandiriannya.

Karena rasa kasih sayang dan rasa khawatir, seorang ibu tidak berani melepaskan anaknya untuk berdiri sendiri, menjadikan anak tersebut harus selalu dibantu, si anak akan selalu terikat pada ibu. Pada akhirnya, karena dimanjakan anak menjadi tidak dapat menyesuaikan diri dan perkembangan wataknya mengarah pada keragu-raguan. Sementara disisi lain, sikap ayah yang keras juga dapat menjadikan anak kehilangan rasa percaya diri. Namun, pemanjaan dari ayah yang berlebihan juga dapat menjadikan anak kurang berani menghadapi masyarakat luas.

d. Pengalaman dalam kehidupan

Pengalaman dalam kehidupan anak meliputi pengalaman di lingkungan sekolah dan masyarakat. Lingkungan sekolah berpengaruh terhadap pembentukan kemandirian anak, baik melalui hubungan dengan teman maupun dengan guru.

(30)

orang tuanya dan mengarah kepada teman sebaya. Maka pada saat itu, anak telah memulai perjuangan memperoleh kebebasan, dengan demikian melalui hubungan dengan teman sebaya, anak akan belajar berpikir mandiri.

Faktor budaya dan kelas sosial juga dapat mempengaruhi kemandirian anak usia dini. Seorang anak dalam ruang lingkup tempat tinggalnya mengalami tekanan untuk mengembangkan suatu pola kepribadian tertentu yang sesuai dengan standar yang telah ditentukan oleh budayanya. Kemudian kelas sosial, termasuk kelas ekonomi dan kelas pendidikan juga mempengaruhi ketergantungan anak pada orang tua. Pengaruh kelas sosial terhadap pembentukan kemandirian terlihat dari golongan priyayi dan nonpriyayi yang sejak berusia 12 tahun lebih mandiri dari anak-anak dalam keluarga priyayi (Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Menurut Mar’atun Shalihah (2010:80-82), beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk menanamkan kemandirian pada anak, membuatnya tidak suka bergantung dan bisa mengambil keputusan sendiri antara lain:

a. Beri kesempatan anak belajar memilih, bantuan bisa diberikan sebagai alternatif.

b. Menghargai hasil kerja anak dan sabar pada prosesnya. c. Jangan banyak tanya hanya karena ingin dianggap

(31)
(32)

3. Pengertian Anak a. Anak Usia Dini

Menurut Muhammad Fadhillah (2014:44), “dalam pandangan agama (Islam), anak merupakan amanah atau titipan Allah Swt yang harus dijaga, dirawat, dan dipelihara dengan sebaik-baiknya oleh setiap orang tua. Sejak lahir anak telah diberikan berbagai potensi yang dapat dikembangkan sebagai penunjang kehidupannya di masa depan. Bila potensi-potensi ini tidak diperhatikan, nantinya anak akan mengalami hambatan-hambatan dalam pertumbuhan maupun perkembangannya”. Setiap anak memiliki potensi sendiri-sendiri dan unik, hal ini tergantung dari orang tuanya yang dititipi amanah oleh Tuhan dengan cara merawat, mendidik dan mengembangkan potensi yang ada pada diri anak sesuai dengan bakat dan minat yang anak tersebut miliki dari kecil.

Dalam pasal 28 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003 ayat 1, disebutkan bahwa yang termasuk anak usia dini adalah anak yang masuk dalam rentang usia 0-6 tahun.

Bredekamp dalam Lilif Mualifatu (2014:47), membagi anak usia dini menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok bayi hingga 2 tahun, kelompok 3 hingga 5 tahun, dan kelompok 6 hingga 8 tahun. Berdasarkan keunikan dan perkembangannya anak usia dini terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu masa bayi lahir sampai 12 bulan, masa batita (toddler) usia 1-3 tahun, masa prasekolah usia 3-6 tahun, dan masa kelas awal 6-8 tahun.

(33)

Setiap anak memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang unik dan berbeda antara anak yang satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan anak dari lahir sudah membawa keunikan tersendiri dalam hal bakat ataupun kemampuan lain halnya dengan sikap yang ini bisa saja dari keturunan dan bisa dibentuk dari lingkungan dimana anak tinggal dan pola asuh dari orang tua anak tersebut.

Menurut Wiwien Dinar Prastiti (2008:55), “bahwa adapun usia setelah lebih dari 6 tahun sering disebut sebagai usia sekolah dimana anak sudah berkembang fisiknya sehingga membentuk tubuh yang proporsional, mampu berjalan, meloncat, berlari, mampu menggunakan bahasa verbal, mampu memahami emosi yang dirasakan oleh orang lain berdasarkan bahasa tubuh yang ditunjukan, oleh karena itu batasan pengertian anak usia dini adalah 0-6 tahun”.

Anak pada usia 6 tahun anak sudah mampu melakukan kegiatan atau aktivitas yang lebih berat baik dari motorik halus, kasar, bahasa, agama, komunikasi. Anak sudah melakukan kegiatan tersebut dengan baik dan benar sesuai dengan umur 6 tahun tersebut, anak sudah bisa melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan orang lain.

Menurut Slamet Suyanto (2005:1), anak usia dini dipandang memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak usia di atasnya sehingga pendidikannya dipandang perlu untuk dikhususkan.

(34)

Menurut Mulyasa (2012:1) anak usia dini adalah individu yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, bahkan dikatakan sebagai lompatan perkembangan.

Kesimpulan dari pengertian anak usia dini menurut para ahli, penulis menyimpulkan bahwa anak usia dini adalah kelompok anak titipan atau amanah yang diberikan oleh Tuhan yang sudah diberikan bakat atau potensi secara alami sejak lahir yang unik dan berbeda yang mana orang tua wajib merawat, mendidik, mengasihi dan menyayangi dalam mengembangkan potensi baik motorik, intelegensi, kecerdasan spiritual, emosional, bahasa dan komunikasi sesuai dengan umurnya yaitu 0-6 tahun.

b. Golden Age

(35)

berlatih maka anak akan mengalami masa-masa kesulitan pada perkembangan berikutnya.

Penulis setuju dengan pendapat di atas apabila pada perkembangan awal anak sudah diberikan stimulus oleh orang tua ataupun orang yang tinggal di sekeliling anak dengan baik dan benar, orang-orang di sekitarnya memberikan contoh dalam berperilaku dan bersikap yang baik maka anak akan meniru dan meneladani apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekililingnya dan hal ini bisa dikembangkan oleh orang tua sesuai dengan harapan dari orang tua tersebut.

Menurut Muhammad Fadhillah (2013:48) “ bahwa golden age adalah masa-masa keemasan seorang anak, yaitu masa ketika anak mempunyai banyak potensi yang sangat baik untuk dikembangkan, pada tahap inilah waktu yang sangat tepat untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan, karakter yang diinginkan yang nantinya akan dapat membentuk kepribadian”.

Karena pada masa inilah anak masih murni dan belum terpengaruh dari lingkungan luar sehingga hal ini mempermudahkan orang tua untuk mengajari hal-hal yang baik dan benar kepada anak terkait perbuatan dan sikap, karena anak masih belum terbebani dengan masalah yang serius layaknya orang dewasa sehingga anak dengan mudah bisa menyerap apapun yang diberikan oleh orang tua ataupun guru.

(36)

Atas dasar inilah, penting kiranya untuk mengembangkan potensi dan bakat yang dimiliki oleh anak, jangan sampai sebagai orang tua tidak mengetahui potensi yang ada dalam diri anaknya dan tidak mematikan perkembangan dari potensi yang dimiliki oleh anak.

Dari pengertian mengenai the golden age tersebut bisa disimpulkan bahwa the golden age adalah masa dimana anak usia dini memiliki masa untuk perkembangan, pembinaan, pembimbingan, pembentukan karakter ataupun segenap potensi yang dimiliki oleh anak sesuai dengan harapan.

c. Karakter perkembangan anak usia 3-6 tahun a) Perkembangan fisik

Postur tubuh anak yang berusia 3 tahun biasanya lebih langsing dan panjang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Meskipun ukuran kepala masih relatif besar, proporsi tubuh mendekati proporsi orang dewasa. Ukuran berat dan tinggi badan mengikuti pola pada tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan tinggi dan berat badan pada anak usia 3-6 tahun (Nelaon, W.E.et.al)

(37)

Dalam tabel 1 menggambarkan bahwa perkembangan tinggi dan berat badan anak pada usia 3-6 tahun, yang mana dari bertambahnya usia maka berat badan seorang anak juga akan bertambah berat dan bertambah tinggi, antara anak laki-laki dan perempuan mempunyai berat badan yang berbeda lebih berat dan tinggi anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.

Selain berat badan dan tinggi, terjadi perkembangan yang pesat pada sistem syaraf, otot, dan kerangka tubuh. Tulang-tulang menjadi semakin padat dan keras. Asupan makan sangat berpengaruh pada proses pematangan pada tulang. Penelitian yang pernah dilakukan menunjukan bahwa anak yang mengalami kekurangan gizi ternyata perkembangan tulangnya terhambat dan memiliki lingkar kepala yang lebih kecil dibanding ukuran normal. Semua gigi susu telah tumbuh sehingga anak mulai dapat merobek dan menggigit makanan atau benda-benda lainnya. Gigi geligi akan terus tumbuh, apabila anak yang berusia 5 tahun masih suka menghisap ibu jari maka akan berpengaruh terhadap gigi dan dimungkinkan mengalami gangguan emosional.

b) Perkembangan perilaku

Perkembangan perilaku pada anak yang berusia diatas 3 tahun, dapat dilihat pada tabel 2.

(38)

Tabel 2. Perkembangan anak usia 4-6 tahun (kombinasi antara Milestone dengan Gesell dan Matruda)

Usia Perkembangan motorik Perilakuadaptif Kemapuanberbahasa sosial-pribadiPerilaku 4 tahun Mampu

Sumber : Wiwien Dinar Prastiti (2008 : 82-86) c) Perkembangan Kognitif

Ketika anak usia 3 tahun, terjadi perkembangan kognitif yang tidak terduga. Semakin dipelajari semakin disadari bahwa anak mengalami perkembangan kognitif yang pesat hanya dalam waktu yang relatif singkat.

(39)

kemampuan untuk menggunakan simbol sebagai pengganti objek, peristiwa, ataupun orang, anak mampu berpikir kembali ke belakang dan memberikan antisipasinya di waktu yang akan datang. Pada perkembangan ini anak sudah bisa memiliki konsep, berpikir, mengingat, menalar dan mengambil keputusan. Sebagi contohnya, seorang anak melihat guru yang sedang mengajar, maka anak akan memainkan sekolah-sekolahan dan anak menjadi gurunya.

d) Perkembangan kepribadian

Menurut Wiwien Pratisti (2008:85), anak yang berusia 3-4 tahun berada pada masa Oedipus complex , yakni sindrom yang ditandai oleh keinginan anak untuk menggantikan orang tua yang berjenis kelamin sama untuk memperoleh perhatian dan kasih sayang dari orang tua yang sejenis kelamin berbeda.

(40)

anaknya maka anak akan menjadi terbiasa dan dibawa dimana pun anak berada.

Maka hal dari itu pembentukan kepribadian seorang individu tergantung atau dipengaruhi oleh peran orang tua dan lingkungan sosial dimana anak tinggal.

Menurut Elizabeth, perkembangan fisik sangat penting untuk dipelajari karena baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi perilaku anak sehari-hari (Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam (2009:29). Perkembangan fisik itu akan mempengaruhi perkembangan yang lainnya juga, apabila fisik seorang anak tidak sehat hal tersebut akan mempengaruhi perkembangan yang lainnya seperti perkembangan kognitifnya, karena fisik yang tidak sehat dan sesuai dengan perkembangannya maka anak tidak bisa melakukan aktifitas atau kegiatan sehari-hari anak, seperti sekolah, bermain atau pun bersosialisasi, tidak bisa menerima stimulus dari orang tua atau pun orang lain tidak bisa berpikir.

Menurut Beaty dalam Lilif Mualifatu ( 2014:59), kemampuan motorik kasar seorang anak paling tidak dapat dilihat melalui empat aspek, yaitu 1) berjalan atau walking, dengan indikator berjalan naik turun tangga dengan menggunakan kedua kaki, berdiri pada satu kaki 2) berlari atau running, dengan indikator menunjukkan kekuatan dan kecepatan berlari, berbelok ke kanan kiri tanpa kesulitan dan mampu berhenti dengan mudah, 3) melompat atau jumping, dengan indikator mampu melompat ke depan ke belakang dan ke samping. 4) memanjat atau climbing dengan indikator memanjat naik turun tangga dan memanjat pepohonan.

(41)

seorang anak dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya dimana anak tersebut berada. Perkembangan kognitif menurut Jean Piaget pada anak berusia 2-7 tahun yang disebut masa praoperasional, pada masa ini seorang anak sudah memiliki kemampuan menggunakan simbol yang mewakili suatu konsep. Perkembangan emosi menurut Muhammad Fadhillah (2014:64), masa perkembangan emosi ini akan muncul ketika anak berinteraksi pada lingkungannya.

Karena saat berinteraksi dengan lingkungan, anak akan melakukan sosialisasi dengan orang-orang baru, baik dengan teman sebaya ataupun dengan anak yang umurnya lebih tua. Melalui interaksi dengan lingkungan seperti bermain dengan teman-temannya, akan terlihat emosi yang dimilikinya sebagai contoh apabila anak tidak mendapatkan mainan seperti temannya dia akan marah kemudian menangis, akan tetapi apabila anak mendapatkan permainan yang dia inginkan seperti punya temannya maka anak akan senang, tersenyum bahkan tertawa. Karakteristik emosi anak dalam tabel 3 berikut ini:

(42)

Sumber : Muhammad Fadhillah (2014:65)

Perkembangan moral menurut piaget dalam Muhammad Fadhillah (2014:69), “pada awalnya pengenalan nilai dan pola tindakan masih bersifat paksaan, dan anak belum mengetahui maknanya”. Anak masih dipaksa dalam perkenalan nilai dan pola tindakan, karena pada masa usia dini anak belum tahu dan paham mengenai moral perbuatan yang baik dan tidak, sehingga anak harus dipaksa untuk menerimanya dengan diberikan hukuman atau imbalan apabila anak melakukan tindakan yang salah, akan tetapi anak akan mengerti perbuatan yang salah dan benar pada saat anak sudah bertambah usianya dengan berkembanganya kecerdasan dan pemahaman anak.

Berkaitan dengan perkembangan moral, Lawrence Kohlberg yang dikutip oleh Santrock dalam bukunya Lilif Mualifatu K (2014:69), “tahap prakonvesional untuk usia 2-8 tahun, pada tahap ini anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan atau hadiah dan hukuman eksternal, anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat, dan apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah”.

(43)

Dari beberapa pendapat ahli di atas terkait karakter anak usia 3-6 tahun dapat disimpulkan dalam hal karakteristik perkembangan fisik motorik, anak berusia 3-6 tahun mengalami kenaikan berat badan dan tinggi dari tiap bertambah usianya. Pada perkembangan motorik anak sudah mampu melakukan berbagai gerakan seperti melompat, berjalan, berlari dan memanjat dengan benar dan baik. Pada perkembangan kognitif anak sudah bisa berpikir, menghapal apapun yang dia liyat dengan mempraktekannya saat bermain. Pada perkembangan bahasa anak bisa bertanya kata yang dianggap belum pernah didengar dengan menanyakan kenapa dan mengapa. Pada sosial perilaku, anak sudah bisa membasuh wajahnya sendiri, sudah bisa diperintah, sudah bisa memakai baju sendiri, dan makan sendiri tanpa bantuan orang lain.

5. Tinjauan Pola Asuh a. Pengertian Pola Asuh

(44)

keluarga tersebut dari masing-masing anggota keluarga dan apabila terjadi masalah dalam keluarga maka dapat diselesaikan secara positif dan konstruktif.

Menurut Monks dkk (2011) dalam Mohammad Takdir Ilahi (2013: 134), “pola asuh adalah cara orang tua yaitu ayah, ibu dalam memberikan kasih sayang dan cara mengasuh yang mempunyai pengaruh yang besar bagaimana anak melihat dirinya dan lingkungannya”.

Penelitian menunjukan bahwa pola asuh orang tua adalah penting dalam upaya menyediakan suatu model perilaku yang lebih lengkap bagi anak. Peran orang tua dalam mengasuh anak bukan saja penting untuk menjaga perkembangan jiwa anak dari hal-hal yang negatif, melainkan juga untuk membentuk karakter dan kepribadiannya agar menjadi insan spiritual yang selalu taat menjalankan perintah agama.

(45)

Orang tua yang baik menyesuaikan diri terhadap perubahan perkembangan anak tersebut (Macoby, 1984) dalam bukunya John W Santorck (2007:164). Orang tua yang baik harus menyesuaikan diri terhadap perubahan perkembangan anaknya, ketika anak masih usia 3 tahun jangan disamakan pola asuhnya dengan anak usia 12 tahun, karena anak sudah mengalami perubahan baik dalam segi fisik, psikis dan gaya dalam berteman atau dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.

Gaya Baumrind penelitian Diana Baumrind (1971) dalam bukunya John W Santrock (2007:166), sangat berpengaruh, ia percaya bahwa orang tua tidak boleh menghukum atau menjauh. Orang tua tidak boleh menghukum anak dan menjauh dalam hal ini hanya akan membuat anak menjadi jauh dari orang tua dan merasa takut terhadap orang tua, karena sikap orang tua yang menghukum dan menjauh apabila anak melakukan kesalahan ataupun anak melakukan hal yang tidak sesuai harapan orang tua.

Menurut Mohamad Takdir Illahi ( 2013: 135), menerangkan bahwa “pola asuh adalah suatu sikap yang dilakukan oleh orang tua yaitu ayah, ibu dalam berinteraksi dengan anaknya, bagaimana cara ayah dan ibu memberikan disiplin, hadiah, hukuman, pemberian perhatian, dan tanggapan-tanggapan lain berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak”.

(46)

sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup seleras dengan lingkungannya.

Dari pengertian pola asuh dari beberapa ahli diatas bisa disimpulkan bahwa pola asuh adalah suatu cara atau metode sikap yang dilakukan oleh orang tua dalam melakukan hubungan dengan anaknya yang berkaitan dengan membimbing, mengasihi, menasehati, mendengarkan apapun yang terkait dengan pembentukan pribadi anak.

b. Jenis-jenis Pola Asuh Orang Tua

Metode asuh yang digunakan oleh orang tua kepada anak menjadi faktor utama yang menentukan potensi dan karakter seorang anak. Jenis-jenis pola asuh orang tua ini masing-masing memiliki karakteristik dan ciri khas yang berbeda.

Hurlock (1990) dalam Mohammad Takdir Ilahi (2013:136) membedakan pola asuh orang tua menjadi tiga antara lain pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, dan pola asuh permisif. Pola asuh ada tiga jenis otoriter yaitu pola asuh yang kaku, orang tua yang menentukan semuanya buat anak. Pola asuh demokrasi yaitu orang tua memberikan kebebasan kepada anak tetapi anak diberikan tanggung jawab terhadap apa pun yang mereka lakukan dan pilih, pola asuh permisif yaitu pola asuh yang orang tua memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak. Menurut Diana Baumrind (1971) dalam bukunya John W Santrock (2007:167), menjelaskan empat jenis gaya pengasuhan:

a) Pengasuhan Otoritarian

(47)
(48)

b) Pengasuhan Otoritatif

Mendorong anak untuk mandiri namun masih menetapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak. Orang tua yang otoritatif menunjukan kesenangan dan dukungan sebagai respons terhadap perilaku konstruktif anak. Mereka juga mengharapkan perilaku anak yang dewasa, mandiri dan sesuai dengan usianya. Anak yang memiliki orang tua autoritatif sering kali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi, mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stres dengan baik.

c) Pengasuhan yang mengabaikan

(49)

d) Pengasuhan yang menuruti

Gaya pengasuhan dimana, orang tua sangat terlihat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang tua macam ini membiarkan anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak mereka dengan cara ini karena mereka percaya bahwa kombinasi antara keterlibatan yang hangat dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Namun, anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya (peer).

(50)

Pola asuh otoriter menunjukan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anaknya ditandai melalui sikap yang tidak hangat dan kaku. Intinya, anak kurang diberi kasih sayang, sementara orang tua lebih suka memaksa kehendak, kontrol yang sangat ketat dan anak sering diberi hukuman juga sebaliknya jarang mendapat pujian. Pola asuh yang otoriter memang tidak bisa memberikan jaminan atas terciptanya generasi yang paripurna dan menjadi harapan bangsa, ini karena pola asuh yang demikian, tidak memberikan pendidikan karakter dan penanaman moral yang baik kepada anak.

Sikap orang tua dalam pola asuh permisif biasanya memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berperilaku sesuai dengan apa yang diinginkan. Akibatnya, anak tumbuh menjadi seseorang yang berperilaku agresif dan antisosial karena sejak awal ia tidak diajari untuk patuh pada peraturan sosial. Anak tidak pernah diberikan hukuman ketika melanggar peraturan yang telah ditetapkan orang tua. Sebab, orang tua denga pola asuh permisif menganggap anak mampu berpikir sendiri dan ia sendirilah yang merasakan akibatnya. Selain itu, keacuhan orang tua mengembangkan emosi yang tidak stabil pada anak. Anak akan bersifat mementingkan diri sendiri dan kurang menghargai orang lain ( Bernadib dalam Ancok dkk., 1988) dalam Mohammad Takdir Ilahi (2013:138).

(51)

pola asuh permisif mempunyai ciri orang tua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat. Pola asuh permisif mempunyai ciri dominasi pada anak, sikap longgar atau kebebasan dari orang tua, tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orang tua, kontrol dan perhatian orang tua sangat kurang.

6. Tinjauan Keluarga

a. Pengertian Keluarga

Keluarga adalah suatu sistem, suatu kesatuan yang dibentuk oleh bagian-bagian yang saling berhubungan dan berinteraksi, menurut John W Santrock ( 2007: 157). Didalam keluarga terdapat beberapa anggota keluarga yang saling berinteraksi satu sama lain dan saling berhubungan antar anggota keluarga dalam hal berbicara, memerintah antar anggota yang lain, menasehati antar anggota yang lain.

Menurut Soejono Seokanto ( 2004:22), “keluarga batih terdiri dari suami/ayah, istri/ibu dan anak-anak yang belum menikah, lazimnya dikatakan bahwa keluarga batih merupakan unit pergaulan hidup yang terkecil dalam masyarakat”.

Keluarga dalam artian ini yaitu keluarga inti yang hanya terdiri dari orang tua dan anak, semua anak-anaknya yang belum menikah masih tinggal satu rumah dengan orang tua.

(52)

kegagalannya untuk berbuat seperti ini, akan menyebabkan tujuan masyarakat yang lebih besar tidak akan tercapai secara tepat guna”. Menurut James M. Henslin (2007:116), keluarga terdiri atas orang-orang yang menganggap bahwa mereka mempunyai hubungan darah, pernikahan atau adopsi.

Kesimpulan dari beberapa pengertian tentang keluarga di atas, keluarga adalah suatu unit terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang didalamnya terdapat interaksi satu sama lain baik dalam hal menasehati, memerintah, mematuhi, menghargai, menghormati antar anggota keluarga atau di mana lembaga utama untuk belajar norma-norma sebelum ke masyarakat dan didalamnya juga terdapat sosialisasi dalam lingkup kecil sebelum ke masyarakat yang lebih luas.

b. Peranan Keluarga

Peranan-peranan keluarga menurut Soerjono Soekanto (2004:23), keluarga batih memiliki peranan-peranan sebagai berikut:

1. Keluarga batih berperan sebagai pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi anggota, di mana ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah tersebut.

2. Keluarga batih merupakan unit sosial-ekonomis yang secara materil memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya.

3. Keluarga batih menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup.

4. Keluarga batih merupakan wadah di mana manusia mengalami proses sosialisasi awal, yakni suatu proses di mana manusia mempelajari dan mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat.

(53)

seseorang, apabila seseorang mengalami gangguan kepribadian bisa disebabkan karena mempunyai masalah dalam keluarganya baik secara fisik maupun psikis.

Menurut Soerjono Soekanto (2004:23-24), meningkatnya peranan keluarga batih atau keluarga inti disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:

1. Hubungan darah yang semula mendapat tekanan yang sangat kuat kemudian didampingi dengan faktor hubungan karena tempat tinggal yang sama.

2. Pembagian kerja dalam masyarakat yang semakin berkembang ke arah keterampilan individual menyebabkan bahwa kemampuan individu lebih dipentingkan daripada kemampuan kolektif atau kelompok.

3. Pusat kehidupan yang semula ada di kelompok-kelompok kekerabatan semakin beralih ke keluarga batih.

4. Pelaksanaan program keluarga berencana yang menekankan pada pengaturan kehamilan dan pembatasan kelahiran, hal mana mengakibatkan semakin eratnya hubungan antara anggota-anggota suatu keluarga batih yang secara relatif kecil jumlahnya.

Semakin meningkatnya peranan keluarga batih hal ini dapat menguntungkan orang tua yang bisa lebih fokus dan bisa memusatkan perhatian yang lebih kepada anak-anaknya, karena jumlah yang terdapat di keluarga batih lebih sedikit.

Menurut Soejono Soekamto (2004:24), peningkatan peranan keluarga batih di Indonesia belum merata, hal ini disebabkan karena taraf kemajemukan masyarakat Indonesia yang relatif agak tinggi.

(54)

hanya keluarga batih. Adat atau tradisi semacam ini tidak bisa dihapus, dan peranan keluarga batih di Indonesia masih didominasi oleh keluarga berkalangan atas, sedangkan keluarga yang berada di kalangan bawah masih mengalami kesulitan karena masih menganut adat atau tradisi.

c. Fungsi keluarga

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu. Menurut Soejono Soekanto (2004:85), di Indonesia terutama di kota-kota pengaruh keluarga batih ( inti ) terhadap anak sangat besar, sedangkan di wilayah pedesaan biasanya kelompok kekerabatan yang berpengaruh. Wilayah pedesaan masih menganut tradisi turun temurun dari zaman terdahulu.

Keluarga mempunyai fungsi-fungsi pokok, menurut Soejono Soekanto (2004:85), keluarga batih mempunyai fungsi-fungsi pokok:

1. Sebagai wadah berlangsung sosialisasi primer, yakni dimana anak-anak dididik untuk memahami dan menganuti kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

2. Sebagai unit yang mengatur hubungan seksual yang seyogia atau layak.

3. Sebagai unit sosial ekonomis yang membentuk dasar kehidupan sosial ekonomi bagi anak-anak.

4. Sebagai wadah tempat berlindung, agar supaya kehidupan berlangsung secara tertib dan tenteram, sehingga manusia hidup dalam kedamaian.

(55)

Menurut Soejono Soekanto (2004:86), pada keluarga batih kecil (misalnya, dengan jumlah anak satu sampai tiga orang), terdapat gejala-gejala umum, sebagai berikut:

1. Keluarga batih kecil biasanya merupakan hasil suatu perencanaan, sehingga pendidikan pun berlangsung menurut program tertentu (baik yang dilakukan secara mantap maupun karena pengalaman). 2. Proses pendidikan dari orang tua berlangsung secara lebih intensif

dari pada ekstensif. Terhadap setiap, anak orang tua dapat mencurahkan atensi dengan sepenuhnya.

3. Interaksi berlangsung secara kooperatif dan demokratis, dengan demikian dapat dikatakan, bahwa peranan keluarga batih kecil terhadap pendidikan anak-anak sangat besar.

Menurut Soejono Soekanto (2004:86), pada keluarga batih besar yang jumlah anak-anaknya lebih dari tiga orang, biasanya ditemui gejala-gejala sebagai berikut:

1. Proses pendidikan dilangsungkan secara ekstensif.

2. Anak-anak secara lebih langsung berhubungan dengan realitas pergaulan hidup di luar lingkungan keluarga batih yang bersangkutan.

3. Kepatuhan sangat dipentingkan dalam keluarga batih yang besar. 4. Pendidikan cenderung berlangsung secara masal.

Pada keluarga kecil pengaruh lingkungan sosial dan budaya terjadi karena adanya seleksi, sedangkan keluarga besar lingkungan sosial dan budayanya terjadi tanpa seleksi.

Menurut William J. Goode (1995:9), ciri utama sebuah keluarga ialah bahwa fungsi utamanya dapat dipisahkan satu sama lain, tetapi tidak demikian halnya pada semua sistem keluarga yang diketahui. Keluarga itu menyumbangkan hal-hal berikut ini kepada masyarakat : kelahiran, pemeliharaan pisik anggota keluarga, penempatan anak dalam masyarakat, pemasyarakatan, dan kontrol sosial.

(56)

dilakukan oleh seorang ibu karena sang ibu sibuk bekerja maka anak dititipkan kepada orang yang ahli dalam memelihara dan mendidik.

B. Kerangka Berpikir

Kepribadian merupakan hal yang penting dalam masa seperti sekarang ini di mana terjadi krisis kepribadian. Orang yang mempunyai kepribadian yang bagus yang dibutuhkan pada saat sekarang ini akan tetapi pendidikan di Indonesia hanya mementingkan akademik tanpa mengutamakan kepribadian. Kepribadian akan lebih bagus jika diajarkan atau dilatih sejak dini kepada anak-anak karena dengan diajarkan sejak kecil hal tersebut bisa menjadi kebiasan sampai dewasa nanti. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan penjelasan dan contoh dari orang tua sehingga anak akan mengerti dan paham mengenai kepribadian tersebut sesuai dengan perkembangan usia dan didikan dari orang tua. Mendidik anak menjadi pribadi yang baik sangat dibutuhkan peran dari orang tua, di mana orang tua yang baik adalah orang tua yang selalu ada dan menyaksikan perkembangan dan pertumbuhan anak dari balita sampai dewasa.

(57)

meminta bantuan orang lain dan apabila mengalami kesulitan tidak akan mudah menyerah dan tidak akan langsung meminta bantuan orang lain.

Pada masa anak berumur 0-6 tahun tersebut di mana anak dikatakan sebagai masa golden age, karena pada masa-masa usia 0-6 tahun anak masih mengalami perkembangan dan pertumbuhan baik dari segi fisik dan otak. Pada masa tersebut anak mudah menangkap apa yang dilihat dan didengar sehingga pada usia tersebut adalah masa di mana orang tua dapat mengajarkan hal-hal yang baik kepada anak dan mencontohkan perilaku yang baik kepada anak karena apa yang dilihat anak akan ditiru. Hal tersebut akan diingat dan dijadikan sebagai panutan sampai nanti anak tumbuh menjadi dewasa.

Salah satu sikap mandiri yang dapat diajarkan kepada anak sejak berusia golden age adalah mengajarkan sikap mandiri kepada anak yang dimulai dari dalam keluarga, karena keluarga merupakan pendidikan yang utama bagi anak sebelum anak melakukan kegiatan di luar rumah. Anak akan diajarkan berbagai hal di dalam keluarga mulai dari sosialiasasi antar anggota keluarga, belajar sikap-sikap yang baik atau nilai-nilai moral yang baik yang nantinya akan dibawa keluar pada saat anak sudah berada di tengah-tengah masyarakat.

(58)

dilatihkan kepada anak usia 3-6 tahun supaya anak memiliki sikap mandiri baik di dalam keluarga maupun di luar .

Pendidikan orang tua juga sangat berpengaruh dalam memilih pola asuh yang baik untuk anak. Orang tua yang memiliki pendidikan tinggi akan berbeda dengan orang tua yang tidak berpendidikan tinggi, karena orang tua yang berpendidikan tinggi mereka lebih tahu mengenai berbagai informasi dan pengetahuan dalam hal mendidik anak. Mereka mendapatkan informasi mengenai cara mendidik anak yang baik, memilih pola asuh yang tepat untuk anak-anaknya maka hal ini juga mendukung terbentuknya anak yang seperti orang tua inginkan dan harapkan. Berbeda dengan orang tua yang tidak memiliki pendidikan tinggi atau orang tua yang tidak bisa baca tulis, mereka tidak memahami bagaimana cara mendapatkan informasi mengenai cara mendidik anak yang tepat, pola asuh yang tepat dan baik sehingga orang tua semacam ini akan mengandalkan pola asuh turunan dari orang tua terdahulunya ataupun dengan cara tradisional dalam mendidik anak-anaknya.

(59)

selalu memutuskan apapun yang terkait kebutuhan anak hal ini akan menyebabkan anak kurang percaya diri dan tidak memiliki sikap mandiri. Berdasarkan berbagai hal tersebut maka dapat disimpulkam bahwa dengan tingkat pendidikan orang tua dan pola asuh yang dipilih orang tua secara tepat dalam mendidik anak dapat membuat anak mempunyai kepribadian yang sesuai dengan harapan orang tua, salah satunya sikap mandiri dalam keluarga.

Gambar 1. Model Hubungan antar Variabel Keterangan :

X1 : Variabel Tingkat Pendidikan. X2 : Variabel Pola Asuh.

Y : Variabel Kemandirian Anak dalam Keluarga.

: Hubungan Tingkat Pendidikan Keluarga dan Pola Asuh terhadap Kemandirian Anak dalam Keluarga secara sendiri-sendiri.

: Hubungan Tingkat Pendidikan orang tua dengan Pola Asuh.

C. Penelitian Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian yang berjudul “Pengaruh Tingkat Pendidikan Orang tua dan Pola Asuh terhadap Kemandirian Anak dalam Keluarga” sebagai berikut:

X1

(60)

1. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pembentukan Sikap Sosial Siswa Kelas V SD Se-Kecematan Karangmojo Kabupaten Gunung Kidul (oleh : Nika Mei Wulansari, tahun 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Nika Mei Wulansari ini mempunyai tujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pola asuh orang tua terhadap pembentukan sikap sosial pada siswa kelas V SD di Kecamatan Karangmojo Gunung Kidul. Penelitian menunjukan hubungan yang positif antara pola asuh orang tua terhadap pembentukan sikap sosial siswa kelas V SD se-kecamatan Karangmojo Kabupaten Gunung Kidul. Terdapat perbedaan diantaranya variabel yang digunakan dalam penelitian ini hanya satu variabel independennya yaitu pola asuh orang tua dan variabel dependennya sikap sosial sedangkan pada penelitian saya variabel independennya ada dua yaitu pola asuh orang tua dan tingkat pendidikan sedangkan variabel dependennya yaitu kemandirian anak dalam keluarga. Sampel yang digunakan sampelnya pada siswa SD kelas V sedangkan penelitian saya yang digunakan sampel siswa PAUD.

(61)

siswa di SMA Karangmojo Gunungkidul tahun ajaran 1995/1996 dibuktikan dengan hasil analisis korelasi ganda sebesar 0,665 yang lebih besar dari r tabel (0,138). Jadi rh > rt. Terdapat perbedaan dengan penelitian saya diantaranya variabel independennya yaitu perhatian orang tua dan konsep diri kemudian variabel dependennya kemandirian belajar, sedangkan penelitian saya variabel independennya yaitu pola asuh orang tua dan tingkat pendidikan orang tua kemudian variabel dependennya yaitu kemandirian anak dalam keluarga. Sampelnya pada siswa SMA sedangkan penelitian saya sampelnya siswa PAUD.

(62)

independen yaitu pola asuh dan tingkat pendidikan dan variabel dependen yaitu kemandirian anak dalam keluarga.

D. Hipotesis

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang dikemukakan di atas, maka sebelum dilakukan pengambilan data dalam penelitian dirumuskan dahulu hipotesis sebagai dugaan awal peneliti, yaitu:

1. Adanya hubungan dan kecenderungan antara tingkat pendidikan orang tua dan pola asuh.

2. Adanya hubungan yang bermakna antara pola asuh dengan kemandirian anak dalam keluarga.

Gambar

Tabel 1. Perkembangan tinggi dan berat badan pada anak usia 3-6tahun (Nelaon, W.E.et.al)
Tabel 2. Perkembangan anak usia 4-6 tahun (kombinasi antaraMilestone dengan Gesell dan Matruda)
Tabel 3. Perbedaan Karakteristik Emosi
Gambar 1. Model Hubungan antar Variabel

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 1 menunjukkan hasil penelitian sebagai berikut (1) motivasi berprestasi sebagian besar penyuluh rendah, (2) persepsi penyuluh pada kesempatan pengembangan

Tidak terdapat interaksi untuk perlakuan dan perlakuan level protein signifikan pada konsumsi ransum sedang untuk penambahan lama pencahayaan tidak terdapat

lepas dari partisipasi yang aktif dan stakeholcler yang sudah dan akan dilakukan bersama instirusi yang ntenauugi sasaran. Langkah-langkah c'lalam bentuk program yang

Atas dissenting opinion dari dua orang hakim anggota, maka di Halaman 358 Berkas Putusan Majelis Hakim menyatakan bahwa Perbuatan melawan Hukum pada diri terdakwa atas penerbitan

berfikir, oleh karena itu mengurangi verbalisme,memperbesar perhatian siswa,meletakkan dasar-dasar yang penting untuk perkembangan belajar siswa, oleh karena itu

Penelitian ini dilatarbelakangi dengan adanya kebutuhan akan modul pembelajaran bahasa Inggris bagi mahasiswa keperawatan tingkat II khususnya di Akademi Keperawatan Panca

kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Upaya Peningkatan Kemampuan Melakukan Pemecahan Masalah Tentang Pecahan Dengan Menggunakan Pendekatan CTL

Namun seiring berjalannya waktu serta adanya perhatian dari pemerintah melihat potensi dari objek wisata Pantai Tiram dapat dijadikan sebagai kawasan wisata maka