• Tidak ada hasil yang ditemukan

K2507020 SKRIPSI diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Teknik Mesin, Jurusan Pendidikan Teknik dan Kejuruan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "K2507020 SKRIPSI diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Teknik Mesin, Jurusan Pendidikan Teknik dan Kejuruan"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

ANALISIS PEMAKAIAN SERAGAM SEKOLAH SISWA SMK DALAM TINJAUAN PENDIDIKAN KRITIS

DI SMK N 5 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2011/2012

Oleh :

HUDZAIFAH

K2507020

JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK DAN KEJURUAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)
(3)

commit to user

ANALISIS PEMAKAIAN SERAGAM SEKOLAH SISWA SMK DALAM TINJAUAN PENDIDIKAN KRITIS

DI SMK N 5 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2011/2012

Oleh :

HUDZAIFAH

K2507020

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan gelar

Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Teknik Mesin, Jurusan Pendidikan

Teknik dan Kejuruan

JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK DAN KEJURUAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(4)

commit to user

(5)
(6)

commit to user

MOTTO

 Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan

membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan

menyiapkan baginya jalan yang mudah. (Q.S Al Lail ayat 5-7)

 Sebaik-baik ciptaan Tuhan adalah ciptaan yang berguna bagi ciptaanNya

yang lain

 Maju bukan sebuah cita-cita, tapi sedang dilakukan

 Tidak ada yang lebih dicintai oleh para pecinta kebenaran dari pada

kebenaran itu sendiri, dari mana pun datangnya, dari siapa pun berasal, dan

dalam bentuk apapun adanya, bahkan dia bersedia mengabdi kepada

(7)

commit to user

PERSEMBAHAN

Teriring syukur kepada-Mu, kupersembahkan karya ini untuk :

 “Bapak dan Ibu”

Doamu yang tiada terputus, kerja keras yang tiada henti, pengorbanan

yang tak terbatas dan kasih sayang yang tiada terbatas pula. Semuanya membuatku

bangga memiliki kalian. Tiada kasih sayang yang seindah dan setulus dari yang

kalian berikan kepadaku.

 “Zulaikah, Habibah, Salamah, dan Erna Widhi Rahayu”

Orang-orang yang selalu memompa semangatku dan mendorong

langkahku dengan perhatian dan semangat

 Hanif Syaifudien dan Hasan Musthofa

Dua sahabat terdekat dari bangku SMA hingga meja kuliah,

 Fauzi Sukri

Seorang yang memberikan semangat dalam menimba ilmu dari buku-buku

 Program Pendidikan Teknik Mesin Universitas Sebelas Maret Surakarta

(8)

commit to user

ABSTRAK

Hudzaifah. ANALISIS PEMAKAIAN SERAGAM SEKOLAH SISWA SMK

DALAM TINJAUAN PENDIDIKAN KRITIS DI SMKN 5 SURAKARTA

TAHUN AJARAN 2011/2012. Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret Surakarta. Juli 2012.

Tujuan penelitian ini adalah: (1)mengetahui bagaimana pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta yang dievaluasi sesuai dengan metode evaluasi CIPP, yaitu dari Context, Input, Process hingga Product,(2)mengetahui sejauh mana pemahaman penyeragaman siswa dalam pelaksanaan pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta ditinjau dari teori pendidikan kritis, (3)mengetahui pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta pada siswa yang kurang mampu.

Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi dengan menggunakan metode CIPP (Context, Input, Process, Produck). Data dari penelitian ini bersumber dari data kualitatif yang diperkuat oleh data kuantitatif. Data kuantitatif diperoleh dari sampel siswa SMKN 5 Surakarta sejumlah 289 siswa melalui kuesioner. Validitas data kuantitatif yang digunakan adalah validitas internal dan eksternal, sedangkan reabilitas data dalam penelitian ini merujuk pada rumus alpha yang dikemukakan oleh Saifuddin. Data kualitatif diperoleh dengan cara wawancara, observasi, dan dengan analisis dokumen. Sampel penelitian ini diambil dengan teknik purposive sampling yaitu, siswa, WKS-2, Guru Kesiswaan, dan Guru piket. Selanjutnya kedua jenis data dianalisis dengan metode analisis deskriptif.

Hasil penelitian pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta dengan metode evaluasi CIPP dari tiap indikator evaluasi sebagai berikut: (1) Context pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta berdasarkan ketiga indikator sebagai berikut, (a)pemakaian seragam sekolah bertujuan untuk mendisiplinkan siswa ketika belajar di SMKN 5 Surakarta, juga sebagai penanggulangan keberagaman siswa yang berasal dari lingkungan dan kondisi sosial ekonomi yang beragam, (b)pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta menciptakan kedisiplinan berpenampilan di sekolah, (c)pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta telah direncanakan oleh pihak kesiswaan, koprasi dan dibantu oleh beberapa siswa yang dilibatkan. (2)Input pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta berdasarkan ketiga indikator sebagai berikut,(a) dasar dari pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta berasal dari rujukan yang sangat jelas, yaitu

bersumber dari Kep.Dikdasmen. N0. 100/C/Kep/1991, (b)kemampuan penanganan pihak

sekolah dalam pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta dijalankan rutin yaitu dengan adanya jadwal petugas piket pagi kesiswaan yang bertujuan untuk mendisiplinkan siswa, (c)pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 surakarta memungkinkan timbulnya proses intimidasi dikarenakan sepatu siswa sudah tidak turut diseragamkan. (3)Process, pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta, terdapat ketidakmapanan siswa pada saat kegiatan program, sehingga pihak sekolah (semua aparat yang terlibat) bekerja secara ekstra yang ditunjukkan dari hasil pengukuran kepada siswa secara sistematis melalui angket penelitian pada indikator penanganan kemampuan program yang didominasi oleh kategori sangat tinggi. (4)Product pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta berdasarkan data tiga indikator sebagai berikut, (a)pemakaian seragam sekolah akan terus diterapkan dalam program pendisiplinan berpenampilan siswa di SMKN 5 Surakarta, (b)pemakaian seragam sekolah di SMK N 5 Surakarta memberikan pengaruh bahwasanya pendidikan yang berlangsung condong seperti yang di ungkapkan Fraire, yaitu berpola pendidikan gaya bank.

(9)

commit to user

ABSTRACT

Hudzaifah. SCHOOL UNIFORM USAGE ANALYSIS OF SMK STUDENTS ON

CRITICAL REVIEW OF EDUCATION IN SMKN 5 SURAKARTA

ACADEMIC YEAR 2011/2012. Thesis. Surakarta: Teacher Training and Education

Faculty. Sebelas Maret University, July: 2012.

The purpose of this research are (1)to know the use of a school uniform in SMKN 5 Surakarta who evaluated in accordance with the methods evaluation CIPP, namely from the Context, Input, Process to Product, (2)to know how much understanding of uniformity in the implementation of the use of students in SMKN 5 Surakarta in terms of critical educational theory, (3)to know of uniform usage in school SMK N 5 Surakarta on students who are less able to

This research is an evaluation study using the CIPP (Context, Input, Process, Produck). The data’s research come from the quantitative data that is reinforced by the qualitative data. Quantitative data obtained from a sample of students SMKN 5 Surakarta by the number of 289 students through a questionnaire. The validity of the quantitative data used are the internal and external validity, where as reliability of the data in this research refers to the alpha formula proposed by Saifuddin. Qualitative data obtained by interview, observation, and document analysis. Research sample was taken by purposive sampling techniques, such as students, vice-principal,teacher. The next two types of data were analyzed with descriptive analysis.

The result research on the use of a school uniform in SMKN 5 Surakarta with the methods evaluation CIPP of every indicators evaluation as follows: (1)Context, the use of school uniforms in SMK 5 Surakarta by three indicators, as follows, (a)the use of school uniforms aim to discipline students when studying in SMK 5 Surakarta, as well as students' response to the diversity of environmental and socio-economic conditions of diverse, (b)the use of school uniforms in SMKN 5 Surakarta create dressed in school discipline, (c)the use of school uniforms in SMK 5 Surakarta have been planned by the student, cooperatives and assisted by some of the students involved. (2)Input, the use of school uniforms in SMK 5 Surakarta by three indicators, as follows, (a)the basis of the use of school uniforms in SMK 5 Surakarta comes from referrals are very clear, that is sourced from Kep.Dikdasmen. N0. 100/C/Kep/1991, (b) handling capability of the school in the use of school uniforms in SMK 5 Surakarta routine is executed with the schedule of student affairs officer on duty in the morning aiming to discipline the student,(c)the use of school uniforms in SMKN 5 Surakarta allow the intimidation because students have not participated shoes uniform.(3)Process, use of uniform on the SMKN 5 Surakarta, students are unsettled at the time of program activities, so that the school (all officers involved) extra work is evident from the results of measurements to students systematically through a questionnaire study on indicators handling capability program which is dominated by the very high category.(4)Product, the use of school uniforms in Surakarta SMK 5 based on data from the following three indicators,(a)the use of school uniforms will continue to be applied in disciplinary program looking students SMKN 5 Surakarta, (b)the influence of school uniforms in SMK N 5 Surakarta, education that lasts such as Freire says, like bank style education.

(10)

commit to user

KATA PENGANTAR

Segala pujibagi Allah SWT Maha Pengasih lagi Penyayang, yang

memberikan ilmu, inspirasi dan kemuliaan. Atas kehendak-Nya penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “ANALISIS PEMAKAIAN SERAGAM

SEKOLAH SISWA SMK DALAM TINJAUAN PENDIDIKAN KRITIS DI

SMKN 5 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2011/2012”

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagaian dari persyaratan untuk

mendapatkan gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Teknik Mesin, Jurusan

Pendidikan Teknik dan Kejuruan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universtas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa terselesainya skripsi

ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk

itu, penulis menyampaiakan terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Teknik dan Kejuruan.

3. Ketua Program Pendidikan Teknik Mesin, Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Drs. Suwachid, M.Pd, selaku Pembimbing I, yang selalu memberikan

motivasi dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Drs. Emilly Dardy, M. Kes, selaku Pembimbing II, yang selalu memberikan

pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

6. Basori, S.Pd., M.Pd, selaku Dosen Tertunjuk Pembimbing I sebagi penguji

validitas internal kuesioner CIPP.

7. Kepala SMKN 5 Surakarta, yang telah memberikan kesempatan dan tempat

guna pengambilan data dalam penelitian.

8. Drs. Supartin, selaku WKS-2 SMKN 5 Surakarta, yang telah member

bimbingan dan bantuan dalam penelitian ini.

9. Sukidi S.Pd dan Drs. Suharyono, selaku Guru Kesiswaan SKMN 5

Surakarta, yang telah meluangkan waktu ngajar untuk pengambilan data dari

(11)

commit to user

10.Danar Susilo Wijayanto, ST.,M.Eng., atas dukungan dan tambahan

semangatnya baik di Facebook ataupun ketika bertemu langsung di kampus

tercinta.

11.Para siswa SMKN 5 Surakarta yang telah bersedia berpartisipasi dalam

pelaksanaan penelitian ini.

12.Teman-teman PTM angkatan 2007, yang telah membersamai dan saling

menyemangati bersama dalam proses penyelesaian skripsi.

13.Teman-teman adik tingkat PTM angkatan dibawah saya, yang telah

memberikan semangat dan dorongan juga rasa bangga bisa cepat lulus

dengan masa studi lebih cepat dari pada saya.

14.Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak

mungkin saya sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena

keterbatasan penulis. Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini

bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Surakarta, 12 Juli 2012

Penulis

(12)

commit to user

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ... ii

HALAMAN PENGAJUAN ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 6

1. Tinjauan tentang seragam sekolah ... 6

2. Tinjauan pendidikan kritis ... 13

B. Model Evaluasi CIPP ... 22

C. Kerangka Berfikir ... 28

BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

(13)

commit to user

C. Data dan Sumber Data ... 35

D. Teknik Sampling (Cuplikan) ... 35

E. Pengumpulan Data ... 36

F. Validitas Data ... 39

G. Analisis Data ... 42

H. Prosedur Penelitian ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Obyek Penelitian ... 55

B. Deskripsi Temuan Penelitian ... 60

C. Pembahasan ... 76

BAB V SIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI A. Simpulan ... 87

B. Implikasi ... 88

C. Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 90

(14)

commit to user

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Tabel 2.1. Rangkuman Indikator CIPP dari beberapa ahli ... 25

2. Tabel 2.2. Sintesis rangkuman indikator CIPP dari beberapa ahli ... 26

3. Tabel 2.3. Indikator yang terpilih dalam penelitian ... 27

4. Tabel 3.1. Jadwal penelitian ... 33

5. Tabel. 3.2. Data peserta didik sekolah menengah kejuruan (SMK)Negri 5 Surakarta 2011/2012 ... 35

6. Tabel. 3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 38

7. Tabel. 3.4 hasil reabilitas ujicoba instrument angket penelitian ... 41

8. Tabel 3.5 Kriteria Penilaian Komponen ... 44

9. Tabel 3.6 Skor Item Instrumen Tiap Indikator ... 45

10.Tabel 3.7 kriteria tiap indikator dalam penelitian ... 49

11.Tabel 4.1 Deskripsi statsitik frekuensi Context indikator tujuan yang akan dicapai ... 61

12.Tabel 4.2 Deskripsi statsitik frekuensi Context indikator kondisi lingkungan ... 63

13.Tabel 4.3 Deskripsi statsitik frekuensi Context indikator merencanakan keputusan ... 64

14.Tabel 4.4 Deskripsi statistik frekuensi Input indikator sumber-sumber yang ada ... 66

15.Tabel 4.5 Deskripsi statistik frekuensi Input indikator kemampuan subyek dalam menunjang program ... 67

16.Tabel 4.6 Deskripsi statistik frekuensi Input indikator strategi untuk mencapai tujuan ... 68

17.Tabel 4.7 Deskripsi statistik frekuensi Process indikator kegiatan program ... 70

18.Tabel 4.8 Deskripsi statistik frekuensi Process indikator kemampuan penanganan program ... 71

19.Tabel 4.9 Deskripsi statistik frekuensi Process indikator pemanfaatan sarana dan prasarana ... 72

(15)

commit to user

indikator ketercapaian hasil yang ditetpkan ... 73

21.Tebel 4.11 Deskripsi statistik frekuensi Product

indikator hal yang dilakukan setelah program berjalan ... 74

22.Tabel 4.12 Deskripsi statistik frekuensi Product

indikator pengaruh program ... 75

23.Tabel 4.13 Analisis statistik deskriptif frekuensi item soal E.1.1

Berseragam sekolah lengkap ... 84

24.Tabel 4.14 Analisis statistik deskriptif frekuensi item soal E.1.2

Berseragam sesuai dengan jadwal seragam sekolah ... 85

25.Tabel 4.15 Analisis statistik deskriptif frekuensi item soal E.1.3

Memakai wearpack saat praktikum ... 86

26.Tabel 4.16 Analisis statistik deskriptif frekuensi item soal F3.1

Seorang pelajar itu adalah orang-orang yang berseragam sekolah ... 88

27.Tabel 4.17 Analisis statistik deskriptif frekuensi item soal F3.2

Setiap perkataan guru wajib ditaati ... 89

28.Tabel 4.18 Analisis statistik deskriptif frekuensi item soal F3.2

Ilmu yang didapat di sekolah sama dengan

(16)

commit to user

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Gambar 2.1.Alur kerangka berfikir penelitian dengan model CIPP ... 30

2. Gambar 3.1 Denah Gedung SMKN 5 Surakarta ... 32

(17)

commit to user

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Pedoman wawancara ... 94

2. Catatan hasil wawancara ... 98

3. Pedoman observasi ... 113

4. Dokumentasi hasil penelitian ... 114

5. Angket penelitian ... 118

6. Data Uji Validitas dan reabilitas ... 121

7. Perhitungan kriteria tiap indikator ... 129

8. Tabulasi data tiap indikator ... 133

9. Analisis frekuensi data penelitian ... 212

10.Fotocopy buku tata tertib (hal4-5) ... 230

11.Data peserta didik SMKN 5 Surakarta ... 231

12.Jadwal piket STP2K ... 232

13.Daftar kegatan seminar skripsi ... 233

14.Surat permohonan ijin skripsi ... 235

15.Surat ijin penyusunan skripsi ... 236

16.Surat ijin try out ... 237

17.Surat ijin penelitian dari Diksikpora ... 239

18.Surat tugas penelitian SMKN 5 Surakarta ... 240

(18)

commit to user

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sekolah adalah sebuah tempat yang memberikan kenangan mendalam

bagi siapa saja yang pernah merasakan sekolah. Berbagai pengalaman yang

menakjubkan sekaligus mengharukan didapatkan penulis ketika di bangku

sekolah. Hampir sebagian orang memiliki pengalaman unik di sekolah. Unik

karena sekolah memang bukan sekadar tempat menumbuhkan pengetahuan tetapi

juga tempat perjumpaan sejumlah orang. Beberapa orang percaya jika sekolah

didirikan untuk mengabadikan sebuah pengalaman yang tidak lekang oleh waktu.

Sekolah identik dengan hal-hal yang menuntut sikap disiplin, salah satu

dari sikap disiplin itu adalah pemakaian seragam sekolah. Seragam sekolah yang

menjadi identitas siswa bersekolah memiliki kenangan yang mendalam bagi

semua orang yang pernah memakainya. Widji Thukul adalah seorang sastrawan

aktif dalam dunia puisi Indonesia juga seorang yang pernah memakai seragam

sekolah mengabadikan kenanganya dalam sebuah karya puisi yang berjudul

Kenangan Anak-Anak Seragam. Baju seragam sekolah menjadi kenangan getir

bagi Wiji Thukul yang berasal dari keluarga miskin. Baju seragam juga belum

selesai menjadi masalah orang tua dan siswa di awal tahun pelajaran 2011/2012,

di tahun ajaran baru tersebut ditemukan berbagai masalah, dan menjadi berita,

obrolan, diskusi, bahkan duka-lara bagi orang tua yang tidak mampu membeli

baju seragam sekolah.

Berita tentang seragam sekolah di awal tahun pelajaran 2011/2012 yang

ditulis oleh Sasongko dalam Solopos (posted, 23 Juni 2011), Sekitar sepuluh

warga mendatangi Kantor DPRD Sukoharjo. Mereka meminta bantuan anggota

DPRD untuk memberikan penjelasan mengenai jenis dan harga yang ditetapkan

untuk seragam sekolah. Di lokasi lain Sasongko menuliskan dalam Solopos

(posted, 25 Juli 2011), DPRD dan LSM di Karanganyar ramai-ramai membantah

dugaan adanya aliran dana dari potongan uang seragam untuk menutup kasus

(19)

commit to user

Komisi IV DPRD Karanganyar menilai sejumlah sekolah di Karanganyar tidak

transparan dalam pengadaan seragam bagi sejumlah peserta didik baru. Mereka

bahkan menantang para pengelola sekolah untuk terang-terangan mengungkapkan

apa yang sebenarnya terjadi.

Penyeragaman siswa melalui pemakaian seragam sekolah ini

berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, No.052/C/Kep/D/82. Sekolah secara

resmi berhak memakaiakan seragam sekolah terhadap siswanya dengan berbagai

alasan bahwa seragam sekolah merupakan sebuah alat untuk membuat kerapian,

kedisiplinan dan keteraturan siswa dalam melaksanakan pendidikan. Seragam

sekolah juga sebagai peniada kelas ekonomi dari masing-masing siswa yang

heterogen.

Sebagian orang mengatakan bahwa seragam sekolah adalah sebentuk

sikap disiplin, tetapi disiplin ini lebih bersifat militeristik, birokratis, dan

formalistik yang sering ditentang oleh siswa sendiri. Baju seragam hanya berhasil

mendisiplinkan siswa dalam berpakaian di dalam kelas atau di dalam sekolah,

akibatnya banyak siswa yang tidak memiliki disiplin belajar dan etos pembelajar.

Mereka hanya merasa perlu belajar saat memakai seragam, atau saat menjelang

ujian.

Pemakaian seragam sekolah hingga saat ini adalah sebuah kewajiban

bagi setiap siswa yang belajar di sekolah. Penelitian yang sudah ada tentang

seragam sekolah yang penulis dapati adalah penelitian yang dilakukan Elisabetta

Gentile dan Scott A. Imberman dari Universitas Houston, mereka meneliti

seragam sekolah sebagai metode untuk mencapai sukses yang berhubungan

dengan perbaikan perilaku, kedisiplinan dan prestasi belajar siswa. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa sekolah-sekolah di Southwest,

Washington, D.C. Amerika Serikat yang memberlakukan peraturan berseragam,

menunjukkan perbaikan pada skor ujian bahasa dan peningkatan tingkat

kehadiran antara 0,2 dan 0,4 persen poin. Penelitian terhadap pemakaian seragam

sekolah belum banyak dilakukan di Indonesia baik dampak dan gejala apa saja

(20)

commit to user

mengambil salah satu sekolah yaitu SMKN 5 Surakarta dengan

mempertimbangkan bahwa SMKN 5 Surakarta sebagai sekolah formal, memiliki

tanggung jawab yang sama dengan sekolah-sekolah lain dalam rangka turut serta

mencerdaskan anak bangsa. SMKN 5 Surakarta adalah sekolah yang

mengedepankan kedisiplinan dan etos pembelajar yang tinggi, terbukti

berdasarkan dari prestasi-prestasi yang pernah diraihnya. Salah satu dari prestasi

tersebut adalah pada ekstra PASILIMKA (Pasukan Inti SMKNegeri 5 Surakarta)

minggu 08/01/2012 yang berhasil memboyong trhopi dan uang pembinaan saat

mengikuti Lomba Baris Berbaris (LBB) tingkat Se-jateng DIY di Universitas

Widya Dharma Klaten yang diadakan Ramaka V , sebagai Juara Umum 2 LBB

Ramaka V, dan Juara Umum 1 Kriteria Danton Terbaik. Latar belakang tersebut

di atas telah menjadikan penulis sangat tertarik untuk mengkaji dan mengadakan

penelitian dengan judul "ANALISIS PEMAKAIAN SERAGAM SEKOLAH

SISWA SMK DALAM TINJAUAN PENDIDIKAN KRITIS DI SMKN 5

SURAKARTA TAHUN AJARAN 2011/2012”.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah, mengajukan beberapa pertanyaan yang berusaha

penulis jawab melalui penelitian ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain :

1. Bagaimanakah pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta yang

dievaluasi sesuai dengan metode evaluasi CIPP, yaitu dari Context, Input,

Process hingga Product?

2. Sejauh mana penyeragaman siswa dalam pelaksanaan pemakaian seragam

sekolah di SMKN 5 Surakarta ditinjau dari teori pendidikan kritis?

3. Bagaimanakah pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta pada

(21)

commit to user

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini antara lain untuk:

1. Mengetahui bagaimana pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta

yang dievaluasi sesuai dengan metode evaluasi CIPP, yaitu dari Context,

Input, Process hingga Product.

2. Mengetahui sejauh mana penyeragaman siswa dalam pemakaian seragam

sekolah di SMKN 5 Surakarta ditinjau dari teori pendidikan kritis.

3. Mengetahui pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta pada siswa

yang kurang mampu?

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis terkait dengan kontribusi tertentu dari

penyelenggaraan penelitian terhadap perkembangan teori dan ilmu

pengetahuan serta dunia akademis. Penelitian ini diharapkan memberi

manfaat teoritis sebagai berikut :

a. Memberikan sumbangan pemikiran pada pendidikan, khususnya

tentang pendidikan kritis dalam kaitanya dengan pemakaian seragam

sekolah siswa SMK.

b. Bahan informasi bagi pembaca untuk menambah pengetahuan tentang

pemakaian seragam sekolah siswa SMK.

c. Bahan perbandingan untuk penelitian yang relevan.

d. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar teoritis untuk

(22)

commit to user

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis berkaitan dengan kontribusi praktis yang

diberikan dari penyelenggaraan penelitian terhadap obyek penelitian, baik

individu, kelompok, maupun organisasi. Penelitian ini diharapkan memberi

manfaat praktis sebagai berikut :

a. Masukan dan bahan pertimbangan khususnya dalam pemakaian

seragam sekolah pada SMKN 5 Surakarta.

b. Bahan pertimbangan bagi guru agar mencapai tujuan proses belajar

(23)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

Landasan teori pada dasarnya merupakan pengkajian terhadap

pengetahuan ilmiah yang sudah ada. Pengkajian dapat berbentuk konsep-konsep,

hukum-hukum, dan prinsip-prinsip yang relevan dengan permasalahan yang

dikemukakan. Kajian ini diperlukan untuk melihat kemungkinan adanya

unsur-unsur yang dapat mendukung penelitian yang sedang dilakukan, dengan mengkaji

teori yang relevan dengan masalah yang dirumuskan merupakan langkah awal

untuk mencari jawaban atas masalah itu. Sesuatu hal yang terpenting adalah teori

yang digunakan untuk memecahkan masalah, dikutip dari sumber yang dapat

dipertanggung jawabkan. Penelitian ini memiliki aspek landasan teori yang

diuraikan meliputi : A. Tinjauan Pustaka yang memuat; l. Tinjauan Seragam

Sekolah, 2. Tinjauan Pendidikan Kritis, 3. Model Evaluasi CIPP. B. Kerangka

Berfikir.

A. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Tentang Seragam Sekolah

a. Pengertian Seragam Sekolah

Seragam dalam kamus bahasa indonesia berarti sama, sesuai, sepakat,

sebau, (pakaian dsb) yang sama potongan dan warnanya (Kamus Besar Bahasa

Indonesia, 2008:1010). Sedangkan definisi sekolah, Topatimasang(1998)

menyatakan:

Sekolah dalam bahasa aslinya, yakni skhole, scola, scolae atau scola

(Latin), keempat kata ini secara harafiah berarti waktu luang atau waktu senggang atau waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar. Orang Yunani tempo dulu biasanya mengisi waktu luang mereka dengan mengunjungi suatu tempat atau tempat orang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-ikhwal yang mereka rasakan memang perlu dan dibutuhkan untuk mereka ketahui (hlm.5).

Seragam sekolah berdasarkan arti dari kedua kata dasar yang telah

dipaparkan di atas berarti pakaian yang sama potongan dan warnanya yang

(24)

commit to user

“untuk keperluan Ketahanan Sekolah diciptakan pakaian seragam, sebagai pakaian digunakan untuk saat belajar di sekolah, yang disaturagamkan, yang

diatur bentuk/model, warna, tambahan atribut dan cara penggunaanya

(hlm.582)”.

b. Sejarah Pemakaian Seragam Sekolah di Indonesia

Peraturan pertama yang mengatur tentang pemakaian seragam sekolah

di Indonesia adalah Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan

Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, No.052/C/Kep/D/82:

Bahwa pembinaan dan pengembangan kesiswaan sangat perlu untuk menciptakan suasana dan tata cara kehidupan sekolah yang baik dan sehat, sehingga akan menjamin terselenggaranya proses belajar mengajar dalam

rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya. … bahwa menciptakan

suasana dan tata kehidupan sekolah yang baik merupakan modal dasar dari usaha meningkatkan ketahanan sekolah dalam rangka mewujudkan sekolah

sebagai pusat kebudayaan. … bahwa usaha meningkatkan ketahanan

sekolah dapat dicapai bila para siswa memiliki rasa bangga yang wajar dan tidak berlebihan-lebihan terhadap sekolahnya … bahwa agar usaha tersebut di atas dapat dilaksanakan sebaik-baiknya, maka perlu adanya pakaian seragam sekolah Bagi Siswa Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Tingkat Atas Dalam Lingkungan Pembinaan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan Menengah (Dakidae, 2003:581).

Seragam sekolah yang ada hingga sekarang, memiliki sejarah yang

sangat berarti bagi beberapa golongan tertentu di Indonesia. Firdaus(2009)

menyatakan bahwa:

Secara historis, peraturan yang pertama kali mengatur seragam sekolah secara nasional adalah Surat Keputusan (SK) 052/C/Kep/D/82. SK yang dikeluarkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 17 Maret 1982 ini (khusus berlaku untuk sekolah negeri) mengharuskan siswa SD (Sekolah Dasar) memakai pakaian putih-merah, siswa SMP(Sekolah Menengah Pertama) memakai putih-biru, dan siswa SMA(Sekolah Menengah Atas) memakai putih-abu-abu. Peraturan ini tidak mengakomodasi pemakaian busana muslimah bagi para siswa, terutama dalam kaitannya dengan jilbab.

Penelitian yang dilakukan Alatas(2003) tentang kasus jilbab di

sekolah-sekolah negeri di Indonesia tahun 1982-1991, busana muslimah yang

(25)

commit to user

diperbolehkan dipakai sebagai seragam sekolah. Persoalan tersebut sempat

memunculkan masalah terkait dengan pelarangan pemakaian jilbab di beberapa

SMA di Indonesia.

Firdaus(2009) menanggapi tentang permasalahan jilbab tahun

1982-1991 sebagai berikut:

Masalah pelarangan pemakaian jilbab sudah muncul beberapa tahun sebelum SK 052/C/Kep/D/82 disahkan. Pada 1979, pengelola Sekolah Pendidikan Guru Negeri Bandung bermaksud memisahkan sejumlah siswi yang memakai jilbab dengan siswa-siswi lainnya. Tindakan diskriminatif ini jelas ditolak oleh para siswi sehingga sempat terjadi ketegangan antara pihak sekolah dengan mereka. Masalah ini baru selesai tatkala Ketua Majelis Ulama Jawa Barat, EZ Muttaqien, ikut campur dalam soal ini. Setelah kasus di Bandung pada 1979, bermunculan sejumlah kejadian lain terkait pemakaian jilbab di sekolah. Pengesahan peraturan pada 1982 tentang seragam sekolah yang tidak mengakomodasi jilbab dan busana muslimah, membuat kasus-kasus pelarangan pemakaian jilbab meningkat. Dalam catatan Alwi Alatas, ada sekira 35 SMA di berbagai kota di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Jember, dan Solo yang terlibat kasus semacam itu. Selain karena peraturan pemerintah yang tidak akomodatif, pelarangan itu juga terjadi akibat adanya kecurigaan bahwa siswi-siswi yang memakai jilbab merupakan anggota gerakan Islam fundamentalis. Pada 1980-an, gerakan Islam memang sedang mendapat sorotan, sekaligus represi dari pemerintah, sehingga kecurigaan terhadap ekspresi-ekspresi keislaman di ruang publik menjadi begitu besar.

Selama bertahun-tahun, larangan memakai jilbab terus terjadi, sejumlah kasus besar dan kecil muncul, diselingi protes dan pelbagai kontroversi. Masalah pelarangan itu baru selesai pada 1991 tatkala pemerintah mengesahkan peraturan baru tentang seragam sekolah yang mengakomodasi pakaian muslimah, yakni SK 100/C/Kep/D/1991.

Firdaus (2009), menyatakan lebih lanjut bahwa, “Heboh pemakaian

jilbab di sekolah-sekolah Indonesia pada 1979 - 1991 menunjukkan, siswa

ternyata tidak dapat diatur secara semena-mena oleh pemerintah sebagai

pengelola pendidikan”. Siswa yang memakai jilbab ke sekolah memiliki tata

nilai tersendiri yang tidak dapat disamakan dengan murid-murid lainnya. Tata

nilai tertentu inilah yang hendak disampaikan melalui pemakaian jilbab.

Bentuk visual jilbab atau busana muslimah yang mereka pakai merupakan

(26)

commit to user

menjadi masalah bagi sekolah-sekolah atau bagi siswa yang memang ingin

mengenakannya, bahkan yang terjadi adalah jilbabisasi.

c. Seragam Sekolah sebagai Identitas

Ibrahim(2007:241) menyatakan bahwa, “Fashion, pakaian, busana

sudah menjadi bagian penting dari gaya trend, penampilan keseharian kita,

sebagai fenomena budaya dan komunikasi, fashion sesungguhnya dapat

berucap banyak tentang identitas pemakainya”, dalam bahasa Indonesia

fashion diartikan sebagai cara, kebiasaan, basa-basi, mode, pakaian. Pakaian

yang akan dikaji dalam peneletian ini adalah seragam sekolah. Seragam

sekolah merupakan pakaian yang dipakai sebagai penampilan seorang siswa di

sekolah sehari-hari, dalam fenomena budaya dan komunikasi pemakaian

seragam sekolah juga berucap banyak tentang identitas pemakainya.

Ibrahim(2007:243) menyatakan bahwa, “Pakaian yang kita pakai

dapat menampilkan berbagai fungsi, sebagai bentuk komunikasi, pakaian dapat

menyampaikan artifaktual yang bersifat non-verbal. Pakaian dapat melindungi

pemakainya dari cuaca buruk, atau dalam olahraga tertentu dari kemungkinan

cedera”. Wear pack merupakan salah satu dari jenis seragam sekolah

dikenakan siswa SMK di laboratorium atau bengkel, memiliki fungsi dapat

melindungi pemakainya dari kecelakaan kerja dan cedera.

Pakaian juga dapat membantu pemakainya dalam menyembunyikan

bagian-bagian tertentu dari tubuh pemakainya dan karenanya pakaian memiliki

fungsi kesopanan. Desmond Morris, dalam Manwatching: A Field Guide to

Human Behavior(1997), dalam Ibrahim(2007:243), “Pakaian juga

menampilkan peran sebagai pajangan budaya (cultural display) karena ia

mengafiliasikan budaya kita”, tidak terlalu sulit untuk mengenali negara atau

daerah asal-usul seseorang dari pakaian yang mereka kenakan.

Ibrahim(2007:243) menyatakan, “Pakaian dapat menunjukkan identitas

nasional dan kultural si pemakainya”, hal ini serupa dengan seragam sekolah

yang dipakai oleh pelajar dari taman kanak-kanan, sekolah dasar hingga

sekolah lanjutan tingkat atas ataupun sekolah menengah kejuruan. Seragam

(27)

commit to user

seragam sekolah dapat langsung diidentifikasi seorang pemakai seragam

sekolah terhadap jenjang pendidikan yang sedang dijalaninya, begitu pula

dengan tempat sekolah seorang pelajar dapat diketahui hanya dari seragam

sekolahnya.

Persepsi seorang terhadap penampilan orang lain adalah benar

menurut orang tersebut, persepsi tersebut akan mempengaruhi sikap seseorang

terhadap orang lain. “Orang membuat kesimpulan tentang siapa Anda,

sebagian juga melalui apa yang anda pakai, apakah kesimpulan tersebut

terbukti akurat atau tidak, tak ayal akan mempengaruhi pikiran orang tentang

anda dan bagaimana mereka bersikap pada anda” (Ibrahim,2007:243).

d. Seragam Sekolah sebagai Langkah Penyeragaman

Soedjatmoko(1989) dalam Ibrahim(2009:271) menyatakan bahwa,

“Konformitas merupakan bahaya terbesar untuk perkembangan kreativitas”. Partanto dan Dahlan(1994:358) menyatakan bahwa, “Konformitas berarti

kesesuaian, kecocokan, keselarasan, penyesuaian”, dalam hal ini tindakan

penyeragaman merupakan bahaya terbesar dalam perkembangan kreativitas.

Kegiatan penyeragaman adalah kegiatan membuat kesamaan, kesesuaian untuk

mencapai kata sepakat.

Penyeragaman melalui pemakaian seragam sekolah terhadap siswa

bersifat wajib dilaksanakan dan ditaati, hal ini berdasarkan Surat Keputusan

Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, No.052/C/Kep/D/82, seperti yang telah diutarakan di atas.

Sekolah secara resmi berhak memakaiakan pakaian seragam sekolah terhadap

siswanya. Penjelasan tentang seragam sekolah dijelaskan dalam Keputusan

Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, No.052/C/Kep/D 82, Bab II sebagai berikut:

(28)

commit to user

supaya ditisik dan dijahit kembali; e) digunakan lengkap (sedapat mungkin) sesuai yang ditentukan; f) digunakan sesuai fungsinya, untuk upacara berbeda dengan untuk tidak upacara (harian). (2) Pakaian Seragam Sekolah yang dikenakan seenaknya sendiri akan menurunkan citra siswa dan merusak nama sekolahnya, yaitu jika pakaian seragam tersebut: kotor, kumal, lusuh, robek/lepas jahitanya, baju dikenakan di luar celana, kemeja terbuka terlihat dada, atribut lain terpasang di sana-sini, sepatu tidak mengenal semir atau dicuci dan sebagainya. (dalam Dhakidae, 2003:582-583)

Pemakaian seragam sekolah kepada siswa di sekolah bertujuan untuk

membuat siswa mudah diarahkan, diatur, dan agar siswa berdisiplin diri.

Dhakidae (2003:583) manyatakan bahwa, “Penghormatan pantas diberikan

kepada pakaian seragam karena pakaian itu adalah metoda bagaimana

memperlakukan tubuh dan dengan demikian tubuh anak-anak itu menjadi

tubuh yang lunak, decile, dapat diperintah, governable body”.

Pakaian seragam tidak berarti hanya pakaian sebagai identitas,

melainkan bentuk pendisiplinan. Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Dasar

dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, No.052/C/Kep/D 82,

Bab III manyatakan sebagai berikut:

Berpakaian Seragam Sekolah memerlukan tertib dan disiplin, yaitu sikap menaati peraturan secara berpakaian dan mematuhi ketentuan yang telah disepakatkan. Sikap mental untuk taat dan patuh terhadap peraturan serta tata tertib akan menumbuhkan kesadaran hukum dan disiplin diri, disiplin yang tumbuh dari dalam, tanpa paksaan dan tekanan orang lain. Disiplin diri untuk membentuk disiplin kelompok, yang pada akhirnya memperkuat disiplin nasional (Dhakidae 2003:583).

Proses penyeragaman dalam dunia pendidikan masih terus terjadi,

tidak hanya di tingkat fisik, seperti pakaian atau buku ajar, tapi juga tidak

jarang dalam berpendapat. Siswa dituntut berpendapat yang serba sama untuk

segala hal. “Penyeragaman yang semula hanya untuk kebutuhan fisik(pakaian)

bahkan akhirnya dapat berubah menjadi penyeragaman pengetahuan/pikiran”

(Ibrahim,2007:276), tidak ada pertanyaan, tidak ada masalah, yang ada

hanyalah menerima penyeragaman pengetahuan, sehingga minim kreasi.

(29)

commit to user

kondisi yang berkemungkinan ilmu pengetahuan mengalami perlambatan

dalam perkembanganya.

e. Seragam dan Intimidasi

Partanto & Dahlan(1994:286) menyatakan bahwa intimidasi adalah

Penggertakan, gertakan, atau ajaran dengan ancaman. Parsons(2009:60)

menyatakan bahwa “Intimidasi berarti menyakiti seseorang dengan cara-cara tertentu. Intimidasi dapat dilakukan oleh satu orang atau atau lebih. Intimidasi

juga berarti sesorang atau orang-orang yang sama melakukan perbuatan

menyakiti tersebut lebih dari satu kali”. Perilaku intimidasi menurut

Parsons(2009:24) adalah, “Sesuatu yang endemik, dimulai ditahun pertama

sekolah dan mengganas sepanjang karier akademik seorang siswa”. Seorang

siswa memulai belajarnya di sekolah pada tahun pertama, baik tingkat TK

hingga SMA/SMK wajib mengenakan seragam sekolah, kaitanya dengan

perilaku intimidasi, seragam sekolah memiliki urun andil terhadap proses

intimidasi, lebih jelasnya Parsons(2009:25) menjelaskan tiga jenis perilaku

intimidasi sebagai berikut:

Intimidasi verbal atau tertulis : mengata-ngatai seperti menggunakan ejekan yang bermuatan rasis, seksis, atau homofobik; ledekan terhadap penampilan fisik, kemampuan atau status sosial ekonomi; telepon yang berisi ancaman dan menakut-nakuti; nota, e-mail, dan sms yang menyakitkan. Intimidasi fisik: memukul, menendang, menginjak, menyerang; melemparkan benda-benda, melakukan sentuhan seksual yang tidak diinginkan; mencuri atau merusak benda-benda atau milik pribadi; mengancam dengan senjata; mengancam melakukakan kekerasan, melakukan paksaan. Intimidasi sosial : merangkai rumor dan gossip; mengucilkan, mempermalukan, atau mencemooh seseorang; secara publik menceritakan informasi-informasi pribadi seseorang, termasuk menanyangkan gambar atau tulisan pada web site; mengunakan pertemanan atau status untuk melakukan paksaan atau manipulasi perilaku.

Proses intimidasi merupakan proses yang bertahap, dimulai dari

intimidasi verbal atau tertulis, kemudian intimidasi fisik, dan yang terakhir

adalah intimidasi sosial. Intimidasi dalam seragam sekolah terjadi ketika

seorang siswa tidak dapat memakai seragam sekolah, kemudian ejekan dan

(30)

commit to user

Ejekan dan gunjingan tidak hanya berasal dari sesama siswa, melainkan juga

dari guru dan kepala sekolah, selanjutnya adalah adanya sanksi kepada siswa

yang tidak mengenakan seragam sekolah, jika masih tidak puas dengan

menghukum secara fisik, bisa jadi siswa yang tidak memakai seragam sekolah

masih dicemooh dan dikucilkan di dalam kelas.

2. Tinjauan Pendidikan Kritis

a. Definisi pendidikan kritis

Pendidikan kritis menurut Nuryanto (2011);

Pendidikan kritis (critical pedagogy) adalah mazhab pendidikan yang meyakini adanya muatan politik dalam semua aktifitas pendidikan. Aliran

ini dalam diskursus pendidikan disebut juga “aliran kiri” karena orientasi

politiknya yang berlawanan dengan mazhab liberal dan konservatif, dalam

konteks akademik, mazhab ini disebut dengan “The New Sociology Of

Education” Atau “Critical Theory Of Education.(hlm. 1)

Henry Giroux (1993) dalam Nuryanto(2011:1) menyebut mazhab ini

adalah pendidikan radikal (radical education), sedangkan Allman (1998)

dalam Nuryanto(2011:1) menyebutnya dengan pendidikan revolusioner

(revolusionery pedagogy). Mazhab Kritis tidak merepresentasikan satu

gagasan yang tunggal dan homogen, namun para pendukung mazhab ini

disatukan dalam satu tujuan yang sama, yaitu memberdayakan kaum tertindas

dan mentransformasi ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat melalui

media pendidikan (McLaren,1998) dalam Nuryanto(2011:2).

Berbagai sudut pandang para pakar di atas tentang pendidikan kritis

dapat dikatakan bahwa pendidikan kritis adalah sebuah sarana yang

menjembatani pengetahuan seseorang dengan realitas lingkungan di sekitarnya

agar dapat membuat keadaan di masa depan lebih baik dari sekarang. Realitas

lingkungan yang ada adalah kesemua yang berhubungan dengan proses

berlangsungnya pendidikan, dalam hal ini adalah proses berlangsungnya

pembelajaran yang terjadi di sekolah ataupun di luar sekolah.

Nuryanto(2011:2) menyatakan bahwa, “Visi pendidikan kritis

(31)

commit to user

dari konteks sosial, kultural, ekonomi dan politik yang lebih luas”, secara jelas

menunjukan bahwa di dalam institusi pendidikan tidaklah bersifat netral,

independen, dan bebas dari kepentingan-kepentingan, melainkan juga menjadi

bagian dari isntitusi sosial lain yang menjadi ajang pertarungan kepentingan.

Berbagai kepentingan di dalam pendidikan akan membentuk wajah institusi

pendidikan dan mempengaruhi subyektifitas siswa. Subyektifitas manusia

tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial yang lebih luas. Secara garis besar

Nuryanto(2011) menyatakan bahwa:

Subyektifitas manusia dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan dipelajari, lingkungan belajar di sekolah, lingkungan sosial tempat berinteraksi, lingkungan keluarga sistem politik yang mengatur kehidupan publik, media masa dan televisi, dan entitas-entitas lain yang membentuk dan mempengaruhi kesadaran individu (hlm. 2).

Kesadaran kritis siswa perlu dibangun agar mereka mampu

memandang secara sebab akibat kepentingan ideologis yang menyelimuti

realitas mereka. Terdegradasinya sikap kritis manusia disebabkan oleh

berlangsungnya intimidasi atau penindasan, eksploitasi dan dominasi, sehingga

kesadaran kritis adalah kata kunci yang sangat penting dalam pendidikan kritis.

Kincholoe(2005), pendidikan kritis berbasis kepada keadilan dan

kesetaraan. Pendidikan tidak berkutat pada pertanyaan seputar sekolah,

kurikulum, dan kebijakan pendidikan, tetapi juga tentang keadilan sosial dan

kesetaraan (Nuryanto, 2011:3). Visi sosial dan pendidikan yang berbasis pada

keadilan dan kesetaraan tidak hanya tertuang di dalam tulisan dan kata, tetapi

juga termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari (Nuryanto,2011:3),

sehingga kejelasan dan kekonsistenan yang direncanakan secara teori harus

sesuai dengan praktek di lapangan.

Sekolah seringkali menampakkan wajah yang ambigu, kontradiktif,

dan paradoks. Sekolah dalam sudut pandang lain dilandaskan pada satu visi

untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun kadang pada

prakteknya bertindak otoriter dan anti-demokrasi dengan tidak memberikan

ruang bagi tumbuhnya subyek yang kritis, toleransi dan multi-kulturalisme.

(32)

commit to user

Untuk mendukung peningkatan kesadaran kritis, ada tiga tahapan dalam pendidikan kritis yang selalu diajarkan di kelas. Tahap pertama adalah

naming, yaitu tahap menanyakan sesuatu, dalam tahap ini merupakan

latihan untuk menanyakan sesuatu baik yang berkaitan dengan teks, realita sosial ataupun sturktur ekonomi politik. Tahap kedua adalah reflecting,

yaitu dengan mewujudkan pertanyaan mendasar untuk mencari akar persoalan, dalam tahapan ini dimaksudkan agar siswa untuk berfikir kritis dan reflektif. Pada tahap ketiga, adalah acting, yaitu proses pencarian alternatif untuk memecahkan persoalan. Tahapan ini merupakan tahapan praksis, refleksi dan aksi merupakan dua sisi dari satu koin yang sama dalam pendidikan kritis. Tiga tahap ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam proses pendidikan (Nuryanto,2011;10).

Nuryanto(2011) filsafat pendidikan kritis didasarkan pada beberapa

asumsi berikut ini :

… (a) manusia diyakini memiliki kapasitas untuk berkembang dan berubah

karena memiliki potensi untuk belajar, dibekali dengan kapasitas berfikir

dan self-reflection; (b) manusia, sebagai mahluk yang tidak sempurna,

mampunyai panggilan ontologism, dan historis untuk menjadi manusia yang lebih sempurna; (c) manusia, dalam bahasa Colin Lankshear(1993)

adalah “mahluk praksis yang hidup secara otentik hanya ketika terlibat

dalam transformasi dunia”… (hlm.10).

Nuryato merangkumkan pandangan yang berakar dari filsafat ke

dalam tiga asumsi dasar tersebut. Ketiga asumsi tersebut sangat dibutuhkan

dalam pelaksanaan pendidikan kritis.

b. Teori pendidikan kritis

Lather(1986) menyatakan, “Sumber yang dijadikan rujukan sebagai

basis teori dan metodologi Pendidikan kritis ada tiga: teori kritis Frankfurt,

Antonio Gramsci, dan Paulo Fraire” (Nuryanto,2011:11). Ketiga sumber

tersebut sangat popular bagi mereka yang memiliki perhatian teori imu sosial

(33)

commit to user

1. Pokok pikiran Antonio Gramsci (hegemoni dan pendidikan)

Livingstone (1976:235) menyatakan bahwa, “Hegemoni dalam

pengertian Gramsci adalah a social condition in which all aspects of social

reality are dominated by or supportive of a single

class”(Nuryanto,2011:33). “Single class” disini diartikan secara tepat

untuk sekarang adalah “dominant group”(kelompok dominan) sebagai

penggambaran kompleksitas kekuasaan yang bermain.

Nuryanto (2011) menyatakan bahwa;

Konsep hegemoni bisa digunakan sebagai alat analisis untuk memahami mengapa kelompok-kelompok subordinat secara sukarela mau berasimilasi ke dalam pandangan dunia kelompok dominan, yang pada giliranya membuat kelompok ini menjadi mudah untuk terus melanggengkan dominasi dan kekuasaan mereka. Gramsci berpendapat situasi seperti ini memungkinkan karena kelompok dominan menerapkan apa yang dia sebut sebagai hegemoni yaitu rule by consent and by virtue of moral and

intellectual authority. Dengan demikian, untuk mempertahankan

posisi kelompok dominan selalu berupaya untuk mengamankan persetujuan spontan kelompok marginal dengan cara menegosiasikan penciptaan konsesus politik dan ideologi (Dominic Strinati:1995) (hlm.33).

Penelitian ini, menyinggung hegemoni pemakaian seragam

sekolah, dimana kelompok pemakai seragam sekolah secara lengkap

merupakan komunitas yang dominan, dibandingkan dengan kelompok

siswa yang tidak memakai seragam sekolah secara lengkap. Siswa yang

mampu membeli seragam sekolah serta mengenakanya membuat percaya

dan yakin bahwa pendidikan layak mereka dapatkan di bangku sekolah.

Boggs(1976) menyatakan:

Proses hegemoni melibatkan penetrasi dan sosialisasi nilai, keyakinan, sikap, dan moralitas di masyarakat yang dimediasi oleh praktek-praktek sosial, politik, dan ideologi. Ketika prinsip-prinsip ini diinternalisasi oleh masyarakat maka akan berubah menjadi

common sense, yang pada giliranya mendegradasi fakultas kritis

(34)

commit to user

menganggap bahwa tindakan kelas yang berkuasa sebagai sesuatu yang natural dan normal serta sesuai dengan kepentingan mereka(Nuryanto,2011:34).

Pernyataan tersebut dapat dipahami bawasanya kelompok

dominan disini yaitu pemakai seragam sekolah secara lengkap memperkuat

status quo bahwa pengetahuan akan legal didapatkan dan hanya boleh

didapatkan oleh seorang yang memakai seragam sekolah secara lengkap.

Pengertian masyarakat tentang seragam sekolah sudah menjamur

bawasanya seorang yang bersekolah adalah seorang yang mengenakan

seragam sekolah, dan ini adalah wajar menurut mereka. MAL ataupun

supermarket dengan tegas menolak pengunjung yang mengenakan seragam

sekolah, karena seragam sekolah menegaskan bawasanya pemakainya

adalah seorang yang seharusnya belajar di sekolah, bukan untuk

berkunjung ke MAL atau ke supermarket.

Gramsci(1971:350) mengatakan, “Every relationship of hegemony

is essentially an educational relationship” (Nuryanto,2011:34). Nuryanto

(2011) mempertegas:

Agen-agen yang terlibat dalam hubungan edukatif adalah institusi yang turut membentuk masyarakat sipil, atau institusi-institusi yang turut sosial ideologis yang ikut mengkonstruksi basis kultural kekuasaan, seperti hukum, pendidikan, agama, media massa, dan lain sebagainya. Dengan demikian, institusi-insititusi seperti ini tidaklah netral, tapi justru mendukung dan memperkuat hegemoni yang ada, termasuk di dalamnya dunia pendidikan (hlm.34).

Konsep hegemoni tidaklah eklusif milik kelas borjuis, atau kelas

dominan (pemakai seragam sekolah). Nuryanto menyatakan bahwa,

“Pandangan Gramsci, kelas pekerja dapat membangun hegemoninya sendiri dengan cara membuat aliansi dengan kelompok-kelompok

minoritas dan kekuatan sosial yang lain berdasarkan prinsip saling

menghormati” (2011:34). Masing-masing kelompok memiliki kontribusi

terhadap aliansi baru tersebut, jika demikian, Nuryanto(2011), “Hegemoni

(35)

commit to user

untuk dinegosiasi ulang” (hlm:34), dengan kata lain, Adamson (1980:174)

dalam Nuryanto menyatakan “Hegemoni adalah a process of continous

creation” (2011:34).

2. Paulo Fraire (pendidikan kritis yang membebaskan)

Adeny&Risakotta(2001) menyatakan sebagai berikut:

Fraire membangun ide-idenya dengan cara mempertimbangkan dua hal yang kontradiktif. Pikiran dialektis ini dimulai dengan ide atau praktik (tesis) yang harus ditolak, kemudian diusulkan antitesisnya, yaitu ide atau pikiran yang melawan tesis yang ditolak. Istilah

terkenal dalam pikiran Fraire adalah “Pendidikan Menurut Teori

Banking”. Teori banking tersebut ditolak oleh Fraire (halm.14).

Adeny&Risakotta(2001), “Metafor banking berasumsi bahwa

ilmu pengetahuan adalah semacam barang, seperti uang, yang dapat

ditrasfer dari satu orang ke orang lain. Pendidikan banking berarti ilmu

pengetahuan ditransfer dari pengajar kepada pelajar(hlm. 14), dengan kata

lain siswa menerima pengetahuan seperti layaknya hadiah atau barang yang

dibeli, dan pengajar menganjurkan siswanya harus menerima apa saja yang

diberikan oleh gurunya.

Fraire(1985), menyatakan bahwa:

… dalam konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah anugrah yang dihibahkan oleh mereka yang menggagap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Pengetahuan dapat diartikan sebagai sesuatu yang dimiliki oleh seorang guru, dan akan diberikan kepada siswa yang sebelumnya siswa dianggap bodoh, tidak tahu apa-apa dan siap menerima pengetahuan layaknya gelas kosong yang siap diisi oleh air minum (hlm. 51).

Fraire(1985), sebagaimana kebiasaan pendidikan gaya bank antara

lain sebagai berikut :

1. Guru mengajar, murid diajar.

2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa. 3. Guru berfikir, murid difikirkan.

4. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan. 5. Guru menentukan peraturan, murid diatur.

(36)

commit to user

7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.

8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.

9. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatanya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.

10.Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.

(hlm. 51-52)

Pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai mahluk yang

dapat disamakan dengan sebuah benda yang dapat diatur, semakin banyak

siswa yang menyimpan tabungan yang dititipkan kepada mereka, semakin

kurang mengembangkan kesadaran kritis mereka, semakin penuh mereka

menerima peran pasif yang disodorkan kepada dirinya, mereka semakin

cenderung menyesuaikan diri dengan dunia menurut apa adanya serta

pandangan terhadap realitas yang terpotong-potong sebagaimana yang

ditanamkan dalam diri mereka.

Fraire(1985), menyatakan bahwa;

Kemampuan pendidikan gaya bank untuk mengurangi atau menghapuskan daya kreasi pada murid serta menumbuhkan sikap mudah percaya, menguntungkan kepentingan dengan dunia yang terkuak atau yang berubah. Kaum penindas memanfaatkan humanitarianisme mereka untuk melindungi situasi menguntungkan bagi diri mereka sendiri. Oleh karena itu naluriah mereka akan selalu menentang setiap usaha percobaan dalam bidang pendidikan yang akan merangsang kemampuan kritis dan tidak puas dengan pandangan terhadap dunia yang berat sebelah, tetapi selalu mencari ikatan yang menghubungkan satu hal dengan hal-hal lainya atau satu masalah dengan masalah lain (hlm.52).

Fraire menawarkan lawan dari pendidikan banking, yaitu

“Pendidikan hadap masalah” atau dalam bahasa Adeny dan Risakotta

(2001) “Penddikan yang Menonjolkan Masalah Sosial” (PMMS).

Perbedaan kedua teori ini sangatlah jauh, dalam pendidikan banking semua

kekuasaan dan ilmu pengetahuan di tangan pengajar, siswa dianggap

(37)

commit to user

yang rela menyetor ilmu pengetahuan kepada otak siswanya” (Adeny dan

Risakotta,2001:14). Teori PMMS mengasumsikan bahwa murid-murid

juga memiliki ilmu pengetahuan, walaupun mereka belum mengerti ilmu

yang diketahui oleh gurunya(Adeny&Risakotta,2001:15). Guru seharusnya

hadir sebagai seorang yang dapat membimbing siswanya agar menjadi

sadar akan masalah-masalah di dalam dunianya, kemudian siswa mencari

cara sendiri untuk memecahkan masalahnya.

Fraire(1985) menyatakan bahwa;

Metode pendidikan gaya bank menekankan pentingnya hal-hal yang tetap dan karenanya menjadi reaksioner; sementara pendidikan hadap masalah (yang tidak mau menerima suatu masa kini yang

“baik-baik saja maupun masa depan yang telah ditakdirkan) mendasarkan dirinya kepada kekinian yang dinamis dan karenanya revolusioner. Pendidikan hadap masalah adalah sikap revolusioner terhadap masa depan (hlm.68).

Bentuk bahasa yang dikemukakan oleh Adeny&Risakotta, yaitu

“pendidikan hadap masalah” Fraire dibahasakan menjadi PMMS. Teori Fraire menurut Adeny&Risakotta(2001) menyatakan bahwa, “Ilmu

pengetahuan bukan merupakan barang yang dimiliki oleh seseorang, tetapi

kemampuan/keterampilan untuk melihat dan mengerti kenyataan melalui

bahasa yang tepat” (hlm.15). Maksud dari bahasa yang tepat adalah

pemecahan masalah yang telah didapati untuk menyongsong masa depan

yang lebih baik.

Tujuan pendidikan kritis menurut Fraire adalah, “Membuka

cakrawala pelajar (dan juga si guru), supaya dengan kesadaran yang lebih

mendalam mereka dapat mengerti masalah-masalah nyata dalam dunia

mereka sendiri” (Adeny&Risakotta,2001:16). Penulis menekankan bahwa

PMMS merupakan pendidikan yang kritis, sehingga siswa dibimbing

supaya tidak secara mentah menerima struktur sosial, ekonomi, budaya,

agama, dan politik, tetapi dengan mempersoalkan terlebih dahulu. Pengajar

menolong siswa untuk mengkritik kenyataan sturktural yang tidak adil

(38)

commit to user

pengetahuan siswa sendiri. Guru dan siswa bersama-sama mempersoalkan

hal-hal yang dianggap menyusahkan kehidupan rakyat.

Peneliti mengusung pemakaian seragam sekolah sebagai

permasalahan dalam penelitian ini, sehingga baik guru, siswa, orang tua

wali murid mempertanyakan mengapa sekolah harus mengenakan seragam

sekolah, karena kehadiranya hingga sekarang masih ada yang dibuatnya

bermasalah ketika akan belajar di bangku sekolah, berawal dari

mempertanyakan hal yang kecil seperti seragam sekolah, akan membawa

kepada sebuah permasalahan yang lebih besar dan kompleks.

Adeny&Risakotta menyatakan bahwa:

Guru yang kritis-radikal menolong siswa untuk mempersoalkan struktur ketidakadilan yang lebih besar dari konteks lokal mereka. Dalam PMMS memang dimulai dengan pengetahuan lokal, tetapi struktur ketidakadilan tidak hanya muncul dari konteks lokal, melainkan dari struktur daerah, sturktur nasional, dan struktur global. Guru yang radikal menolong siswa untuk membuka cakrawala siswanya agar bisa mengerti konteks yang lebih besar (2001:17).

Seragam sekolah jika memang dirasa memberikan ketidakadilan

bagi siswa, peran mendasar pendidikan kritis untuk menguak permasalahan

dari yang kecil semacam ini sangat dibutuhkan agar nantinya pendidikan

menjadi sebuah keadilan bagi seluruh rakyat indonesia.

Pendidikan kritis hadir memberikan solusi sekaligus pengharapan.

Adeny&Risakotta(2001) menyatakan bahwa, “Pengharapan menurut Fraire

tidak sama dengan rasa optimis, dapat saja dalam situasi tertentu kita

menjadi pesimis, tetapi kita tetap membutuhkan pengharapan sebagai

keharusan ontologism(ontological necessity)”(hlm.17). Maksud dari

keharusan ontologism disini adalah pengharapan diharuskan untuk

kehidupan manusia yang sejati, dengan demikian pengharapan memang

sikap normatif, yaitu sikap etis yang menjadikan syarat untuk hidup baik.

Pengharapan memiliki dua unsur, unsur pertama adalah sikap

kritis atau tidak puas dengan kenyataan. Kedua pengharapan merupakan

(39)

commit to user

dapat dirubah(Adeny-Risakotta,2001:17), jika sikap kritis dalam diri

seorang siswa tidak ada, maka pengharapan keadilan dalam pendidikan

tidaklah diperlukan. Kemugkinan yang ada adalah mengikut serta dengan

kenyataan yang ada, menerimanya dengan selaras sebuah kenyataan. Unsur

yang kedua menyatakan bahwa pengharapan itu bukanlah mimpi-mimpi

yang kosong melainkan kemungkinan nyata yang belum diuji.

3. Model Evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product)

Terdapat beragam jenis evaluasi program, salah satu dari model evaluasi

program adalah model evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product).

Penjelasan mengenai metode evaluasi CIPP dapat dipahami sebagai berikut:

a. Evaluasi Konteks (Context Evaluation)

Arikunto dan Jabar(2004) mengemukakan bahwa, “Evaluasi konteks

adalah upaya yang menggambarkan dan merinci lingkungan, kebutuhan yang

tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan

proyek”(hlm.29). Pertanyaan yang dapat diajukan sehubungan dengan evaluasi

konteks yaitu mengenai kebutuhan yang belum terpenuhi oleh program, tujuan

pengembangan yang belum tercapai dan tujuan yang paling mudah

pencapaianya.

Sudjana(2006) menjelaskan bahwa, “Evaluasi ini menjelaskan

mengenai kondisi lingkungan yang relevan, menggambarkan kondisi yang ada

dan yang diinginkan dalam lingkungan, dan mengidentifikasi

kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi dan peluang yang belum

dimanfaatkan”(hlm.54-55). Evaluasi ini berkaitan pula dengan sistem nilai

yang ada dan yang baru, menyajikan alat untuk menetapkan prioritas, serta

perubahan-perubahan yang diinginkan. Stufflebeam menegaskan bahwa

konteks evaluasi ini membantu merencanakan keputusan, menentukan

kebutuhan yang dicapai oleh program, dan merumuskan tujuan

(40)

commit to user

b. Evaluasi Masukan (Input Evaluation)

Sudjana(2006) menjelaskan bahwa, “Evaluasi masukan (input)

program menyediakan data untuk menentukan bagaimana penggunaan

sumber-sumber yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan program”(hlm.55).

Evaluasi ini mencakup kegiatan identifikasi dan penilaian kemampuan sistem

yang digunakan dalam program, strategi-strategi untuk mencapai tujuan-tujuan

program yang dipilih. Menurut Stufflebeam, “Evaluasi input menolong

mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternative apa

yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan dan

bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya” (Tayibnapis,2008: 14).

c. Evaluasi Proses (Process Evaluation)

Evaluasi proses dalam CIPP menunjuk pada “apa” (what) kegiatan

yang dilakukan dalam program, “siapa” (who) orang yang ditunjuk sebagai

penanggung jawan program, “kapan” (when) kegiatan akan selesai. Evaluasi proses dalam CIPP diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan

di dalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Stufflebeam

mengemukakan pertanyaan yang harus dijawab sehubungan dengan evaluasi

proses ini, yaitu mengenai pelaksanaan program yang sudah sesuai dengan

jadwal, kemampuan penanganan staf yang terlibat di dalam pelaksanaan

program, pemanfaatan secara maksimal sarana dan prasara yang disediakan,

dan hambatan-hambatan yang dijumpai selama pelaksanaan program

kemungkinan berkelanjutan program(Arikunto&Jabar,2004: 30).

Sudjana(2006) memaparkan bahwa, “Evaluasi proses ini mendeteksi

dan memprediksi kekurangan dalam rancangan prosedur kegiatan program dan

pelaksanaanya, menyediakan dan untuk keputusan dalam implementasi

program, dan memelihara dokumentasi tentang prosedur yang dilakukan”

(hlm.55-56). Dokumentasi tentang prosedur kegiatan pelaksanaan program

akan membantu untuk kegiatan analisis akhir tentang hasil-hasil program yang

telah dicapai. Lebih lanjut Stufflebeam menyatakan bahwa, “Evaluasi proses

(41)

commit to user

rencana diterapkan dan apa saja rencana yang membutuhkan revisi”

(Tayibnapis,2008: 14), begitu pertanyaan tersebut terjawab, prosedur dapat

dimonitor, dikontrol dan diperbaiki.

d. Evaluasi Hasil (Product Evaluation)

Evaluasi hasil atau produk diarahkan pada hal-hal yang menunjukkan

perubahan yang terjadi pada masukan mentah. Evaluasi produk merupakan

tahap akhir dari serangkaian evaluasi program. Evaluasi produk untuk

menolong keputusan selanjutnya. Stufflebeam mengemukakan

pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan evaluasi produk ini, yaitu mengenai

ketercapaian tujuan atau hasil yang ditetapkan, pertanyaan-pertanyaan yang

mungkin dirumuskan berkaitan antara rincian proses dengan pencapaian

tujuan, kebutuhan individu yang telah terpenuhi dan tentang hasil jangka

panjang (dampak) sebagai akibat dari kegiatan program dan mengenai hal yang

akan dilakukan setelah proses berjalan(Arikunto&Jabar,2004: 31). Sudjana

mendefinisikan evaluasi program sebagai kegiatan sistematis untuk mengambil

keputusan(2006:21). Batasan evaluasi program ini mengandung tiga unsur

penting yaitu :

1) Kegiatan sistematis; mengandung makna bahwa evaluasi program

dilakukan melalui prosedur yang tertib berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah.

2) Data: data yang dikumpulkan, sebagai fokus evaluasi program, diperoleh

melalui kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian dengan

menggunakan metode pendekatan, model, metode dan teknik ilmiah.

3) Pengambilan keputusan; data yang disajikan itu akan bernilai apabila

menjadi masukan berharga untuk proses pengambilan keputusan tentang

alternative yang akan diambil terhadap program.

Penjelasan beberapa ahli mengenai CIPP menjadi acuan dasar dalam

penentuan indikator evaluasi program pada penelitian ini. Indikator yang dipilih

sebagai indikator evaluasi dengan metode CIPP dalam penelitian ini disesuaikan

dengan program yang dievaluasi. indikator yang dimaksudkan adalah sebagaimana

(42)

commit to user

Tabel. 2.1: Rangkuman Indikator CIPP dari beberapa ahli

(43)

commit to user

Berdasarkan tabel indikator CIPP dari beberapa ahli dapat disintesis sebagai berikut :

Tabel. 2.2. Tabel sintesis rangkuman indikator CIPP dari beberapa ahli

Context Input Process Product

Gambar

Gambar
Tabel. 2.1: Rangkuman Indikator CIPP dari beberapa ahli
Tabel. 2.2. Tabel sintesis rangkuman indikator CIPP dari beberapa ahli
Tabel. 2.3. Indikator yang terpilih dalam penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui jenis cetakan yang paling baik terhadap Pb, dari cetakan logam dan cetakan pasir dengan pengikat khusus dan cetakan pasir.. - Air ditambahkan

Walaupun demikian hasil pengujian secara keseluruhan dapat mencapai angka konduktivitas yang diharapkan lebih baik dari bahan yang hanya menggunakan lem epoksi tanpa campuran

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh volume tabung udara terhadap unjuk kerja pompa hidram sehingga dalam perancangan dapat diketahui

Waktu yang diperlukan untuk penguapan tergantung pada efisiensi kolektor atau efisiensi evaporator dalam mengumpulkan energi termal dan mengkonversikannya ke fluida kerja,

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh koefisien perpindahan panas konveksi terhadap distribusi suhu, laju aliran kalor, dan efektivitas pada sirip benda putar keadaan

Mesin diesel adalah jenis khusus dari mesin pembakaran dalam. Mesin pembakaran dalam adalah mesin panas yang di dalamnya terdapat energi kimia dari pembakaran dilepaskan di

Negara Indonesia tercatat sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Ini berarti bahwa Indonesia memiliki potensi terbesar akan salah satu sumber

Setelah dilakukan analisis data terhadap kekuatan tarik, kekerasan dan keuletan pada Al-Cu sebelum dan sesudah diberikan perlakuan remelting sebanyak empat kali