• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori Gerakan Sosial

Secara umum, gerakan sosial dimaknai sebagai sebuah gerakan yang lahir dari sekelompok individu untuk memperjuangkan kepentingan, aspirasi atau menuntut adanya perubahan yang ditujukan oleh sekelompok tertentu misalnya pemerintah atau penguasa. Namun, gerakan sosial ini dapat berpihak sebagai kelompok yang pro maupun kontra dengan pemerintah (penguasa). Gerakan sosial merupakan bentuk dari kolektivitas orang-orang didalamnya untuk membawa atau menentang perubahan. Gidden dalam (Putra,dkk,2006) menjelaskan konsep gerakan sosial sebagai suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama, atau gerakan yang bertujuan untuk mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif di luar lingkup lembaga-lembaga yang sudah ada.

Dalam buku Sosiologi Perubahan Sosial oleh Nanang (2011), Sztompka memberikan batasan definisi gerakan sosial. Menurutnya gerakan sosial harus memiliki empat kriteria, yaitu: pertama adanya kolektifitas; kedua, memiliki tujuan bersama yaitu mewujudkan perubahan tertentu dalam masyarakat mereka yang ditetapkan partisipan menurut cara yang sama; ketiga kolektivitasnya relatif tersebar namun lebih rendah derajadnya daripada organisasi formal. Keempat, tindakannya memiliki derajat spontanitas tinggi namun tidak terlembaga dan bentuknya tidak konvensional.

(2)

Teori gerakan sosial lebih melihat faktor masyarakat daripada individu sebagai pemicu munculnya gerakan sosial. Dengan adanya gerakan sosial, muncullah teori-teori lainnya sebagai akibat dari terjadinya gerakan sosial yaitu:

2.1.1 Teori Deprivasi Relatif (relative deprivation theory)

Deprivasi merupakan perasaan yang timbul bila seseorang menyadari bahwa kondisi hidupnya mengalami kekurangan dalam beberapa hal, hal-hal mana mereka sadari ada pada diri orang lain dan ia merasa bahwa seharusnya hal-hal itu harus juga ia miliki. Deprivasi relatif adalah deprivasi yang dirasakan bila seseorang membandingkan dirinya dengan kelompok tertentu atau generalized other, dengan kata lain hal ini ditentukan oleh pilhan individu tersebut terhadap kelompok yang akan dijadikannya sebagai kelompok referensi komparatifnya. Deprivasi relatif mengandung pengertian tentang ketimpangan sosial dan ketidakadilan sosial. (David Berry:2003)

Teori deprivasi relatif dikembangkan oleh Stouffer. Berdasarkan teori ini dalam buku sosiologi perubahan, seseorang merasa kecewa karena adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Orang yang menginginkan sedikit, namun ternyata hanya mampu memperoleh lebih sedikit akan merasakan kekecewaan yang lebih rendah daripada orang yang telah memperoleh banyak, tetapi masih menghendaki yang lebih dari apa yang telah mereka dapatkan. Faktor ini juga dipicu oleh proses melemahnya kendali atau tradisi kesukuan yang biasanya disertai dengan meningkatnya kadar keinginan.

(3)

Kondisi seperti ini mudah dipicu dan berubah menjadi aksi-aksi kolektif spontan, tidak terorganisir, dan tidak menggunakan saluran-saluran resmi. Dalam bahasa Ted Gurr, misalnya, kekerasan-kekerasan muncul karena terjadinya deprivasi relatif. Perasaan terpinggirkan (deprived) terjadi karena kesenjangan (disparity) antara nilai-nilai expektasi dan nilai-nilai kemampuan. Kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Semakin besar dan serius kesenjangan itu, maka potensi kekerasan semakin besar pula. Singkatnya gerakan sosial muncul sebagai akibat ketidakpuasan. Ia kemudian akan semakin berkembang ketika ketidakpuasan ini meluas dan pada saat yang sama tidak terdapat lagi institusi-institusi yang mampu berperan secara fleksibel yang mampu meresponnya. (Nanang Martono : 2011)

2.1.2 Teori Mobilitas Sumber Daya (Resource Mobilization Theory)

Teori ini menekankan pada faktor teknis, bukan penyebab munculnya gerakan sosial. Teori ini menjelaskan tentang pentingnya pendayagunaan sumber daya secara efektif dalam menunjang gerakan sosial, karena gerakan sosial yang berhasil memerlukan organisasi dan taktik yang efektif. Teori ini berpandangan bahwa kepemimpinan, organisasi dan taktik merupakan faktor utama yang menentukan sukses atau gagalnya suatu gerakan sosial. Sumber daya yang dimaksud dalam teori ini adalah pandangan dan tradisi yang menunjang, peraturan hukum yang mendukung organisasi dan pejabat yang dapat membantu, manfaat yang memungkinkan untuk dipromosikan, kelompok sasaran yang dapat

(4)

tepikat oleh manfaat tersebut dan sumber daya penunjang lainnya. (Nanang Martono : 2011)

Pespektif Mobilisasi Sumber Daya melihat bahwa masalah dan ketegangan sosial itu sebagai sesuatu yang nyaris melekat didalam masyarakat. Kenyataan bahwa ketidakpuasan seringkali tidak menimbulkan gerakan sosial dan tidak pada tempatnya bila kita menganggap bahwa ketidakpuasan selalu menghasilkan protes. Karena itu, perspektif mobilisasi sumber daya mengajukan tesis baru bahwa organisasi-organisasi gerakan memberikan struktur mobilisasi yang sangat krusial bagi aksi kolektif dalam bentuk apapun. Dengan kata lain, pendekatan ini menyatakan bahwa gerakan sosial muncul sebagai konsekuensi dari bersatunya para aktor dalam cara-cara yang rasional, mengikuti kepentingan-kepentingan mereka, dan adanya peran sentral organisasi dan para kader dan pemimpin profesional untuk memobilisasi sumber daya pada mereka. (KSPPM:2008)

2.2 Gerakan Para Buruh di Indonesia

Gerakan buruh pasca Soeharto memang telah menyita banyak perhatian masyarakat, termasuk para pengamat. Jika diamati lebih dekat, sebagian besar pemerhati buruh sebenarnya memiliki gambaran suram terhadap gerakan buruh Indonesia. Pertama, sebagian pengamat berargumen bahwa pasca Soeharto, buruh bukanlah kelompok yang solid. Sebagai warisan dari otoritarianisme brutal Soeharto, buruh dilihat terlalu terpecah-pecah dan tidak bisa mendesakkan

(5)

kepentingannya sebagai kelompok. Buruh tidak memiliki rasa kebersamaan sebagai kelompok dan buruh seringkali justru lebih memperhatikan gaya hidup konsumtifnya sendiri. Kedua, organisasi buruh dianggap tetap lemah meskipun telah lahir peraturan yang menyediakan payung bagi lahirnya berbagai serikat buruh. Bukannya membantu lahirnya organisasi buruh yang independen, peraturan seperti itu justru dianggap sebagai pemecah belah gerakan buruh. Kecenderungan ketiga dalam studi perburuhan sebelumnya adalah dengan menunjukkan kegagalan kelompok buruh dalam pertarungan pemilu. Bagi kelompok pengamat ini, buruh dianggap gagal menancapkan pengaruh politiknya pasca Soeharto. Berbeda dengan pandangan pengamat sebelumnya, tulisan ini berupaya menunjukkan bahwa di tengah himpitan pasar kerja fleksibel, kaum buruh masih tetap gencar melakukan perlawanan melalui aksi-aksi jalanan yang mereka gelar. Menguasai jalan-jalan raya, menduduki kantor-kantor publik, menutup jalan tol, memblokade kawasan industri, merupakan berbagai aksi jalanan yang kian banyak dilakukan buruh. Aksi jalanan nampaknya mulai dipilih buruh sebagai reaksi mereka atas kebebalan penguasa yang dirasa makin terabaikan terhadap nasib buruh. Menurut (Muhtar Habibi, 2013. dalam jurnal http : // jurnalsospol .fisipol .ugm. ac.id/index. php /jsp/article/view/265, tentang Gerakan buruh pasca Soeharto)

Pasca jatuhnya pemerintahan Orde Baru, gerakan buruh ternyata memiliki permasalahan kelas ketika proses industrialisasi telah merasuk ke dalam individu buruh itu sendiri khususnya paska jatuhnya pemerintah Orde Baru. Perjuangan serikat pekerja di Indonesia telah mengalami pergeseran dari isu-isu kesejahteraan menjadi perjuangan eksistensial yang hanya sekadar mempertahankan

(6)

pekerjaannya sendiri. Problem lainnya adalah rendahnya kesadaran berorganisasi di kalangan buruh dan ini terkait dengan warisan depolitisasi Orde Baru yang cukup lama. Pada saat itu hampir semua sektor di depolitisasi, termasuk sektor buruh sehingga para buruh cenderung menghindari persoalan-persoalan politik yang konkret. Meskipun kebebasan untuk membentuk organisasi telah diatur dalam undang-undang, namun bukan berarti dengan serta merta diiringi oleh kemampuan untuk menata pengorganisasian buruh.

Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya institusi buruh, sejak jatuhnya pemerintah Orde Baru diantaranya adalah tingkat pengangguran yang tinggi sebagai akibat dari krisis ekonomi memberikan pengaruh negatif. Di sisi lain, warisan subordinasi, tekanan dan kontrol yang ketat selama Orde Baru, telah menyebabkan kelas pekerja hanya memiliki sedikit keterampilan dan kemampuan berorganisasi. Kondisi di atas akhirnya menjebak para aktivis buruh untuk terlibat hanya pada persoalan-persoalan spesifik buruh semata. Mereka hanya sibuk dengan urusan-urusan sektoralnya saja dan jarang terlibat dalam persoalan-persoalan kebangsaan yang lebih luas. Sehingga, kebebasan berorganisasi yang dimiliki oleh kaum buruh tidak diiringi dengan penguatannya sebagai kekuatan sosial dan politik dan tetap berada pada posisi yang lemah. Untuk merespon perubahan sisten ekonomi-politik, serikat buruh perlu menata ulang berbagai aspek gerakan. Beragam latar belakang sejarah harus dijadikan sebagai cermin saja untuk tidak mengulangi sejarah kelam buruh. Menurut ( Muryanto Amin, 2011. Dalam jurnal http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46781/1/Jurnal Politeia - Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia.pdf, tentang fragmentasi gerakan buruh di Indonesia pasca orde baru)

(7)

Gerakan buruh Indonesia telah sampai pada tahap politieke toestand, yakni sebuah keadaan politik yang memungkinkan gerakan buruh bebas berserikat, bebas berkumpul, bebas mengkritik, dan bebas berpendapat. Secara keseluruhan gerakan buruh Indonesia lima tahun terakhir memang bertumbuh pesat. Bahkan, di Asia, Indonesia mendapat pengakuan sebagai yang berkembang pesat. Prestasi mereka mendorong perbaikan jaminan sosial nasional, perbaikan upah minimum, menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional adalah pencapaian bagus. Sayangnya keberhasilan ini belakangan mulai memudar akibat berlanjutnya fragmentasi organisasi buruh. Hampir semua serikat buruh mengalami perpecahan akibat kegagalan mengelola konflik internal organisasi, mengedepankan egoisme, dan menjauh dari pusaran penyatuan gerakan (sentrifugal). Yang paling dibutuhkan kini adalah menyatukan kekuatan suara buruh, selanjutnya mengirim pesan tegas kepada elite politik bangsa agar sungguh-sungguh memperbaiki nasib buruh Indonesia termasuk buruh migran. Selagi momentum sedang berpihak kepada Indonesia, pemimpin buruh harus segera berbenah. Pada masa Orde Lama saja pemimpin buruh Indonesia diperhitungkan dalam kancah internasional karena jadi pelaku utama yang melahirkan wadah serikat buruh internasional. Selanjutnya, penguatan kapasitas pengurus sampai di level rata-rata pemimpin buruh dunia lainnya. Pemimpin buruh tak hanya diperlukan untuk perjuangan domestik, tetapi juga internasionalis, mengingat hampir semua ide, bentuk hubungan kerja, dan sistem ekonomi yang merugikan buruh berasal dari kapitalis internasional. (academia.edu/Kondisi_Buruh_di_Indonesia)

(8)

2.3 Teori Konflik dalam Gerakan Sosial

Teori konflik adalah salah satu perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian atau komponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha menaklukkan kepentingan yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Karl Marx dalam buku Elly M. Setiadi (2013) memberikan landasan pemikiran tentang kehidupan sosial:

1. Masyarakat sebagai arena yang didalamnya terdapat berbagai bentuk pertentangan .

2. Negara dipandang sebagai pihak yang terlibat aktif dalam pertentangan dengan berpihak pada kekuatan yang dominan.

3. Paksaan dalam wujud hukum dipandang sebagai faktor utama untuk memelihara lembaga-lembaga sosial seperti milik pribadi, perbudakan kapital yang menimbulkan ketidaksaan hak dan kesempatan. Kesenjangan sosial terjadi dalam masyarakat karena bekerjanya lembaga paksaan tersebut yang bertumpu pada cara-cara kekerasan, penipuan dan penindasan dengan demikian titik tumpuh adalah kesenjangan sosial.

4. Negara dan hukum dilihat sebagai alat penindasan yang digunakan oleh kelas yang berkuasa ( kapitalis ) demi keuntungan mereka.

5. Kelas-kelas dianggap sebagai kelompok-kelompok sosial yang mempunyai kepentingan sendiri yang bertentangan satu sama lain sehingga konflik tidak terelakkan lagi.

(9)

Sebagaimana dikemukakan oleh Karl Marx yang memandang masyarakat terdiri dari dua kelas yang didasarkan pada kepemilikan sarana dan alat produksi yaitu kelas borjuis dan kelas proletar. Kelas borjuis adalah kelompok yang memiliki sarana dan alat produksi yang dalam hal ini adalah perusahaan sebagai modal dalam produksi atau usaha. Kelas proletar adalah kelas yang tidak memiliki sarana dan alat produksi sehingga dalam pemenuhan akan kebutuhan ekonominya tidak lain adalah hanya menjual tenaganya. Menurut Marx masyarakat terintegrasi karena adanya struktur kelas dimana kelas borjuis menggunakan negara dan hukum untuk mendominasi kelas proletar. Konflik antar kelas sosial terjadi melalui proses produksi sebagai salah satu kegiatan ekonomi dimana dalam proses produksi terjadi kegiatan pengeksploitasian terhadap kelompok proletar oleh kelompok borjuis. ( Elly M. Setiadi : 2013 )

Fenomena konflik kemudian dipandang oleh Simmel dalam buku sosiologi konflik (Novri Susan : 2009 ) sebagai proses sosiasi. Sosiasi dapat menciptakan asosiasi, yaitu para individu yang berkumpul sebagai kesatuan kelompok masyarakat. Sebaliknya sosiasi melahirkan diasosiasi yaitu para individu mengalami interaksi saling bermusuhan karena adanya feeling of hostility secara alamiah. Ketika konflik menjadi bagian dari interaksi sosial maka konflik menciptakan batasan-batasan antarkelompok dengan memperkuat kesadaran internal yang membuat kelompok tersebut terbedakan dan terpisah dari kelompok lain. Hal ini berlaku secara permusuhan timbal balik. Permusuhan timbal balik ini mendirikan identitas dari berbagai jenis kelompok dalam sistem dan sekaligus juga menolong untuk memelihara keseluruhan sistem sosial.

(10)

Ketimpangan ekonomi dan kekuasaan yang menimbulkan kontradiksi dan konflik antara berbagai segmen penduduk ( kelas, strata, kelompok kepentingan dan sebagainya ) menurut Dahrendorf ( Piotr, 2004:340 ) selalu dijadikan faktor pendorong utama untuk memobilisasi gerakan. Perbedaan hierarkis kepentingan tersembunyi yang menimbulkan ketegangan dan kepedihan, keluhan dan kerugian dikalangan rakyat, akan memotivasi orang untuk bergabung dalam gerakan protes atau pembaruan. Perasaan kehilangan kesempatan , peluang hidup, akses terhadap sumber daya dan barang berharga, menyediakan langganan yang siap untuk melakukan gerakan. Mereka mudah untuk direkrut dan dimobilisasi untuk bertindak dengan tujuan redistribusi struktural terhadap hak istimewa dan kepuasan.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Syamsd, ada be- berapa strategi yang bisa di- lalukan p€merintah untuk menseDdalikan harga obat lokal.. Di antsranya so8ialiiali penssunaan obat generih ke

Kerugian pada tiket roll kain atau Kerugian dari data Vendor adalah perbedaan panjang gulungan kain sebenarnya dibandingkan dengan. panjang yang disebutkan dalam tiket

1. Evaluasi pemenuhan/kelengkapan syarat-syarat substansial yang diminta berdasarkan Dokumen Pengadaan. Evaluasi terhadap Surat Penawaran. Hasil evaluasi administrasi

Arthur,  seorang  pengusaha  muda  hendak  membuka  sebuah  toko  perhiasan  di  Jakarta.  Anda . sebagai  seorang  ahli  pengambilan  keputusan  dengan 

bahawa ia berasal dari Ashab As-Suffah iaitu sifat-sifat Para Sufi itu menyamai sifat-sifat orang-orang yang tinggal di serambi masjid iaitu Suffah yang hidup di zaman

Menimbang : bahwa berdasarkan DIKTUM KESEMBILAN Keputusan Bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri

1. Diagnosa Keperawatan 1 : Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan invasi sel-sel ganas di paru-paru. Diagnosa keperawatan 2: Nyeri akut b.d agen

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dalam menyelesaikan soal cerita pada materi sistem persamaan linear tiga