JURNAL PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 2 2009
Penampilan Genotipe Padi Gogo Toleran
Kahat Fosfor pada Tanah Ultisol
Tintin Suhartini, Joko Prasetiyono, Masdiar Bustamam, dan I. Hanarida Somantri
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknolologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Jln. Tentara Pelajar No. 3A Bogor, Jawa Barat
ABSTRACT. Performance of Upland Rice Genotypes Tolerant to Phosphate Deficiency on Ultisol. Phosphor is a macro nutrient essential for the plant growth. Insufficient of P causes a stunting growth of plant in early growing stage. Experiment was carried out at the green hous e of Indonesian Center for Agric ultural Biotechnology Research and Development, Bogor, using potted soil on plastic box measuring 42 cm x 31 cm x 15 cm, filled with 10 kg Ultisol soil from Kentrong Lebak, West Java, during DS of 2007. A randomized block design with three replications was applied. The treatments consisted of 8 upland rice genotypes, P fertilizer (without and 5 g SP36/10 kg of soil), liming (without and 10 g dolomit/10 kg of soil), manure (without and 60 g manure/10 kg of soil). Fertilizers were applied at rate of 5 g urea and 2 g KCl for each pot. Each genotype was planted three rows per pot. Results showed that the use of 5 g SP36 and 60 g manure improved plant height, dry plant weight and tiller number, at 90 days after planting. The use of dolomit lime did not give significant effect. Batur, Kasalath and Way Rarem varieties were very responsive to P fertilizer and manure, with a small ratio value of dry plant weight (1-3%) between without and with P treatment. Base on the tiller number, K36-5-1-1, Limboto, Batur and NIL-C433 were found tolerant to P deficiency, with the tolerance ratio value of 50-60%. K36-5-1-1-1 and Batur were considered as an efficient genotype to absorb P, as indicated by dry plant weight and plant height higher than those of Limboto and NIL-C443 without P and manure.
Keywords: Upland rice, P deficiency, Ultisol
ABSTRAK. Fosfor (P) merupakan unsur hara makro yang esensial bagi pertumbuhan tanaman. Kekurangan unsur P dapat menyebab-kan pertumbuhan tanaman terhambat. Perakitan tanaman yang toleran kahat P bermanfaat untuk memecahkan masalah tersebut. Penelitian dilakukan di rumah kaca BB Biogen menggunakan bak plastik ukuran 42 cm x 31 cm x 15 cm berisi 10 kg tanah Ultisol asal Desa Kentrong, Kabupaten Lebak, Jawa Barat pada MK 2007. Rancangan yang digunakan adalah faktorial dalam acak kelompok, tiga ulangan. Perlakuan terdiri atas delapan genotipe padi gogo, pemupukan P (tanpa P dan 5 g SP36/10 kg tanah), pengapuran (tanpa kapur dan kapur dolomit 10 g/10 kg tanah), dan pupuk kandang (tanpa dan 60 g pupuk kandang/10 kg tanah). Sebagai pupuk dasar diberikan 5 g urea dan 2 g KCl untuk setiap bak. Setiap genotipe ditanam satu baris (tiga lubang/baris), satu biji/lubang. Setiap bak berisi delapan genotipe, jarak tanam sama antarbaris. Hasil penelitian menunjukkan pemberian 5 g SP36/10 kg tanah dan 60 g pupuk kandang/10 kg tanah meningkatkan tinggi tanaman, bobot kering tanaman, dan jumlah anakan pada umur 90 hari, sedangkan pemberian kapur dolomit 10 g/10 kg tanah tidak nyata. Batur, Kasalath, dan Way Rarem paling tanggap terhadap P dan pupuk kandang dengan rasio bobot kering tanaman terkecil 1-3% pada perlakuan tanpa P/P dan 2-4% pada perlakuan tanpa pupuk kandang/pupuk kandang. Berdasarkan jumlah anakan K36-5-1-1, Limboto, Batur, dan NIL-C433 toleran terhadap kahat P dengan rasio toleransi 50-60%. K36-5-1-1-1 dan Batur merupakan genotipe yang efisien P karena memiliki bobot kering dan tanaman yang lebih tinggi dari Limboto dan NIL-C443 pada kondisi tanpa P dan tanpa pupuk kandang dan lebih tanggap terhadap P dan pupuk kandang. Kata kunci: Padi gogo, kahat P, Ultisol
L
oleh ultisol (Podsolik Merah Kuning), dengan luasahan kering di Indonesia umumnya didominasi 45,79 juta ha atau sekitar 25% dari daratan Indonesia (Subagyo et al. 2004). Sebagian besar lahan ini kahat hara esensial seperti Ca, Mg, N, P, K, dan memiliki kejenuhan Al tinggi (Sujadi 1984; Sri Adiningsih dan Mulyadi 1993). Untuk mengatasi masalah ini, cara yang dianjurkan antara lain adalah dengan penanaman varietas toleran, pengolahan tanah yang baik, penambahan pupuk P, kapur, dan pemberian bahan organik. Penggunaan varietas toleran dapat mengurangi biaya produksi, ramah lingkungan, dan mudah diadopsi petani.Pada tanah Ultisol, P sukar larut karena terjerap dalam bentuk Al-P dalam kondisi kering dan Fe-P dalam kondisi tergenang. Oleh karena itu, efisiensi pemupukan P sangat rendah, hanya sekitar 10% (Barber 1976). Hasil penelitian menunjukkan, untuk mencapai hasil jagung 3,6 t/ha pada tanah Ultisol dibutuhkan 40 kg P/ha atau setara dengan 300 kg SP36/ha, 4,8 t/ha pupuk kandang, dan 6,5 t kapur/ha. Tanpa pemupukan dan pengapuran tidak diperoleh hasil sama sekali (Prasetyo dan Suriadikarta 2006). Penelitian Nasution (1989) pada Ultisol Cigudeg, Bogor, menunjukkan hasil padi gogo berkisar antara 1,2-1,5 t/ha dengan pemberian 20-40 kg P/ha dan kapur 0,75 t/ha. Tanpa P dan tanpa kapur, hasil padi gogo kurang dari 1 t/ha.
Seleksi galur-galur padi yang efisien menyerap P telah banyak dilakukan, IRRI mulai melakukan penelitian ini pada tahun 1971. Beberapa genotipe telah dipilih sebagai material persilangan, di antaranya padi lokal Kasalath (landrace) yang berasal dari India. Varietas ini toleran terhadap defisiensi P. Galur hasil silangan Kasalath dengan Nipponbare (peka defisiensi P) dapat meningkatkan penyerapan P sebesar 170% dan me-ningkatkan hasil 250% pada kondisi kahat P (Wissuwa and Ae 2001).
Varietas padi yang toleran terhadap kahat P selain memiliki kemampuan yang lebih besar (efisiensi eksternal) menyerap P tetapi juga dapat menggunakan P yang diserap secara lebih efisien dalam tanaman (efisiensi internal), sehingga dapat mencegah pengaruh kekurangan hara (Schachtman et al. 1998). Mekanisme
toleransi tanaman terhadap kahat P telah dilaporkan oleh sejumlah peneliti, antara lain toleransi tanaman terhadap kahat P dicapai melalui mekanisme peningkatan penyerapan P dari tanah melalui sejumlah perubahan morfologi, fisiologi, biokimia, dan molekuler dalam merespon pertumbuhan tanaman di bawah kondisi kahat P. Hal ini meliputi perubahan morfologi dan arsitektur akar, akumulasi pigmen antosianin, sekresi fosfomonoeterase, dan asam organik ke dalam rizosfer, perubahan efisiensi penyerapan P, dan perubahan metabolisme dalam sel tanaman (Vance et al. 2003). Sejumlah tanaman dapat mengeluarkan asam organik untuk mengkelat mineral yang mengikat P, seperti asam sitrat, malat, dan fenolik (Rausch and Bucher 2002). Asam organik ini akan berikatan dengan Al, Fe atau Ca sehingga P yang terikat pada unsur-unsur tersebut menjadi lepas dan tersedia bagi tanaman.
Pada tanaman lupin (Lupinus albus) pada kondisi kahat P ditemukan asam organik berupa asam malic (Tian et al. 2004) dan sitrat (Kania et al. 2003). Pada tanaman chickpea (Cicer arietinum), asam organik yang dikeluarkan dalam kondisi kahat P adalah carbocylic acid (Neumann and Romheld 1999). Mekanisme lain adalah tanaman berasosiasi dengan jamur mikoriza (Rausch and Bucher 2002). Jamur ini akan bersimbiosis dengan akar tanaman sampai menembus kortek. Hifa jamur bisa memanjang sampai menembus tanah dan akan menyerap hara termasuk P dan bisa langsung dikirim sampai ke ujung jamur yang bisa dimanfaatkan oleh tanaman (Bucher et al. 2001).
Tujuan penelitian ini adalah untuk menyeleksi toleransi beberapa genotipe padi gogo terhadap kahat P pada tanah Ultisol.
BAHAN DAN METODE
Percobaan dilaksanakan di rumah kaca BB Biogen, Bogor, pada bulan Maret-Juni 2007. Tanah yang digunakan adalah jenis Ultisol (Podsolik Merah Kuning) asal Desa Kentrong, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak. Sebagai sumber P digunakan SP36 (36% P2O5), pupuk kandang (kotoran kambing), dan kapur dolomit. Sebagai pupuk dasar digunakan urea dan KCl dengan takaran dapat dilihat pada Tabel 1.
Rancangan percobaan adalah faktorial dalam acak kelompok tiga ulangan. Faktor pertama adalah perlakuan pupuk P (tanpa P dan 5 g SP36), kapur dolomit (Do) (tanpa kapur dan 10 g kapur), dan pupuk kandang atau bahan organik (BO) (tanpa BO dan 60 g BO). Faktor kedua adalah genotipe padi gogo. Susunan perlakuan selengkapnya disajikan pada Tabel 2.
Pada pengujian ini digunakan lima varietas padi gogo asal Indonesia, yakni Batur, Dodokan, Situ Bagendit, Way Rarem, dan Limboto, satu genotipe (landrace) introduksi Kasalath dan dua galur turunan dari Kasalath, yakni NIL-C443 dan K36-5-1-1. Ketiga genotipe terakhir mengandung gen Pup-1 (gen pembawa sifat toleran kahat P).
Contoh tanah dianalisis lengkap sebelum digunakan sebagai media tanam. Tanah yang telah dikering-anginkan dan diayak dimasukkan ke dalam bak plastik berukuran 42 cm x 31 cm x 15 cm yang berisi 10 kg/bak dan diberi perlakuan pupuk (Tabel 1 dan 2). Tanah dalam bak diinkubasi selama 10 hari, kemudian diairi hingga kapasitas lapang. Sebelum tanam, benih dikecambahkan dulu dalam cawan petri selama 3 hari, kemudian kecambah ditanam satu baris/genotipe (tiga lubang/baris, satu biji/lubang). Setiap bak berisi delapan genotipe dan jarak tanam sama antargenotipe. Penyiraman dilakukan setiap hari untuk memper-tahankan kadar air pada kondisi kapasitas lapang. Tanaman dipanen setelah berumur 90 hari. Peubah yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan, bobot kering oven tanaman (jerami + malai), dan umur berbunga.
Seleksi secara marka molekuler dilakukan terhadap enam genotipe yaitu Batur, Dodokan, Situ Bagendit, Kasalath, NIL-C443, dan Nipponbare menggunakan 17 primer spesifik untuk gen PupI. Daun dari genotipe
Tabel 2. Kombinasi perlakuan pemupukan P.
Perlakuan Kode Perlakuan Kode
tanpa P (- P) dengan P (+P)
NK NK NPK NPK
NK-kapur (dolomit) NK-DO NPK-kapur NPK-DO
NK-PK NK-BO NPK-PK NPK-BO
NK-PK-kapur NK-BO-DO NPK-kapur-PK NPK-BO-DO NK = urea-KCl
NPK = urea-SP36-KCl PK = pupuk kandang
Tabel 1. Dosis pupuk yang diberikan per ha dan per pot (10 kg tanah) Ultisol Kentrong.
Jenis pupuk Takaran Jumlah pupuk/pot pupuk/ha (10 kg tanah)
Pupuk P (SP36)*) 250 kg 5 g
Urea 250 kg 5 g
KCl 100 kg 2 g
Pupuk kandang kambing (BO) 12 ton 60 g
Kapur dolomit (DO) 1 ton 10 g
*) Pada pengujian ini digunakan 32,3 kg P/ha (SP36) atau setara
tersebut diisolasi DNA-nya dengan metode Dellaporta (1983), selanjutnya dilakukan uji keterpautan (polimorfisme) dengan metode PCR.
Kriteria defisiensi P diukur mengikuti metode SES IRRI (1980, 1996), berdasarkan peubah jumlah anakan untuk pengujian di lapang. Jumlah anakan yang dihasilkan merupakan indikator toleransi tanaman terhadap kahat P (Wissuwa et al. 1998). Kriteria toleransi terhadap kahat P adalah sebagai berikut:
Ketahanan Jumlah anakan pada 0 P
terhadap = ——————————————— x 100% kahat P Jumlah anakan pada 25 kg P/ha*) *) dalam percobaan ini digunakan 32,2 kg P/ha
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Tanah Percobaan
Tanah Ultisol Kentrong memiliki tekstur liat, bereaksi masam, kadar C dan N organik rendah, P tersedia dan P potensial sangat rendah, K potensial rendah, K, Ca, dan Mg dapat ditukar rendah, KTK dan kejenuhan basa sangat rendah. Tanah tersebut bersifat miskin hara dan berpotensi keracunan Fe dan Mn, kejenuhan Al tinggi (Tabel 3).
Pengaruh Perlakuan terhadap Parameter Tanaman
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan P dan pupuk kandang sangat nyata terhadap
tinggi tanaman, bobot kering tanaman, dan jumlah anakan. Analisis ini juga menunjukkan adanya interaksi yang nyata antara perlakuan P dan pupuk kandang dengan genotipe yang diuji. Pengaruh kapur tidak nyata terhadap parameter yang diamati dan tidak terdapat interaksi kapur dengan P dan pupuk kandang terhadap parameter yang diamati.
Pada Tabel 4 terlihat perbedaan tinggi tanaman, jumlah anakan, dan bobot kering tanaman antar-genotipe. Pengaruh P dan pupuk kandang sangat nyata, sedangkan pengaruh kapur tidak nyata pada semua parameter yang diamati. Pemberian P maupun pupuk kandang meningkatkan tinggi tanaman, bobot kering tanaman, dan jumlah anakan.
Terdapat interaksi yang nyata antara genotipe dan pemberian P terhadap tinggi tanaman. Genotipe K36-5-1-1-1 memiliki tanaman tertinggi (86,2 cm) pada perlakuan tanpa P dan terendah pada Dodokan dan Situ Bagendit. Penambahan P nyata meningkatkan tinggi tanaman, tanaman tertinggi ditunjukkan pada Kasalath (123,0 cm) dan Way Rarem (113,9 cm) dan terendah pada NlL-C443, diikuti Dodokan dan Situ Bagendit (Tabel 5).
Pemberian pupuk kandang berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Tanpa pupuk kandang, tanaman tertinggi diperoleh pada genotipe K36-5-1-1-1 (83,4 cm) dan terendah pada Dodokan, Situ Bagendit dan NIL-C443. Dengan pemberian pupuk kandang terjadi penambahan tinggi tanaman pada semua genotipe, Kasalath yang tertinggi, disusul oleh Way Rarem dan K36-5-1-1-1, terendah pada Dodokan, Situ Bagendit, dan NIL-C443 (Tabel 6).
Tabel 3. Sifat fisik dan kimia tanah Ultisol Kentrong, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak.
Ciri tanah Nilai a Nilai b Ciri tanah Nilai a Nilai b
Tekstur (%) (pipet) Kation tukar (NH4-Asetat 1N, pH7)
Pasir 4 - Ca (me/100 g) 4,54 3,33 Debu 27 - Mg (me/100 g) 0,71 0,49 Liat 69 - K (me/100 g) 0,16 0,09 Na (me/100 g) 0,21 0,24 pH( ekstrak (1:2,5) KTK (me/100 g) 20,36 -pH (H2O) 4,7 4,8 KB (%) 28 -pH(KCl) 3,8 3,98 Kejenuhan Al % (KCl 1N) 34,8 65,0
Bahan Organik (%) Al 3+ (me/100 g) 3,25 9,84
N (Kjeldhal ) 0,13 0,206 H+ (me/100 g) 0,47 1,09
C (Wd & Black) 1,71 - Hara mikro (ppm)
C/N 13 - Fe 496
-P &K potensial (Ekstrak HCl 25%) Mn 678
-P2O5 (mg/100 g) 17 - Cu 13
-K2O (mg/100 g) 10 - Zn 55
-P2O5 tersedia (Bray 1) (ppm) 3,3 0,69
K2O (ppm) (Morgan) 108
-a)Lab. LP Tanah Bogor, Pusat Penelitian Tanah b) Lab. BB Biogen
Tinggi tanaman juga dipengaruhi oleh interaksi antara P dan pupuk kandang. Pemberian P dan pupuk kandang atau keduanya menambah tinggi tanaman 2-3 kali lebih tinggi dibanding tanpa P dan tanpa pupuk kandang. Tinggi tanaman dengan pemberian P maupun pupuk kandang atau bersamaan tidak berbeda nyata (Tabel 7). Adanya perbedaan pada karakter tinggi tanaman disebabkan oleh perbedaan tanggap tanaman terhadap P dan faktor genetik tanaman padi terhadap karakter tersebut.
Tanggap tanaman terhadap P berdasarkan nilai rasio tinggi tanaman terlihat pada perlakuan tanpa P dan perlakuan dengan P (NK/NPK dan NK-Do/NPKDo), genotipe K36-5-1-1 dan NIL-C443 memiliki nilai 0,53- 0,57 atau >50%. Genotipe Limboto, Dodokan, dan Situ Bagendit 40-45%, nilai rasio terkecil pada genotipe Kasalath (35-37%). Genotipe dengan nilai rasio terkecil adalah yang paling tanggap terhadap pemupukan P, yaitu Kasalath, Way Rarem, dan Batur. Untuk karakter tinggi tanaman, genotipe K36-5-1-1 dan NIL-C443 paling rendah tanggapnya terhadap P. Tanggap genotipe Tabel 4. Pengaruh genotipe, pupuk P, kapur, dan pupuk kandang
terhadap parameter tanaman padi gogo pada tanah Ultisol Kentrong, Kab. Lebak. 2007.
Perlakuan Tinggi tanaman Jumlah anakan Bobot kering (cm) per pot tanaman (g/pot) Varietas Batur 88,5 b 2,0 b 15,5 b Dodokan 66,9 cd 3,0 a 9,1 c Situ Bagendit 63,4 d 3,0 a 9,2 c Way Rarem 95,2 ab 2,1 b 16,7 ab Limboto 73,3 c 1,6 b 8,0 c K36-5-1-1-1 98,4 a 1,9 b 18,3 ab NIL-C443 61,3 d 2,1 b 3,0 d Kasalath 101,5 a 3,0 a 19,2 a Fosfor % P 65,9 a 1,6 a 5,8 a + P 96,2 b 3,1 b 18,9 b Pupuk organik % Bo 67,5 a 2,0 a 8,9 a + Bo 94,6 b 2,7 b 15,8 b Kapur % kapur 82,3 a 2,3 a 12,3 a + kapur 79,8 a 2,4 a 12,4 a
Angka selajur atau sebaris yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNJ
Tabel 5. Interaksi antara genotipe dan pupuk P terhadap jumlah anakan, tinggi tanaman dan bobot kering tanaman padi gogo pada tanah Ultisol Kentrong, Kab. Lebak, 2007.
Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan per pot Bobot kering tanaman (g/pot) Varietas
Tanpa P Dengan P Tanpa P Dengan P Tanpa P Dengan P
Batur 70,7 de 106,2 b 1,4 ef 2,5 bc 6,3 fghi 24,8 b
Dodokan 53,0 f 80,8 cd 1,7 cdef 4,3 a 3,0 hi 15,3 c
Situ Bagendit 50,5 f 76,3 cd 2,0 bcde 3,9 a 4,8 ghi 15,2 c
Way Rarem 76,6 cd 113,9 ab 1,3 ef 2,9 b 7,9 efgh 25,5 ab
Limboto 60,2 ef 87,7 c 1,1 f 2,0 bcde 3,9 ghi 12,4 cde
K36-5-1-1-1 86,2 c 109,8 b 1,4 ef 2,4 bcd 9,8 def 26,7 ab
NIL-C443 55,9 f 72,6 d 1,6 def 2,5 bc 2,0 i 3,9 ghi
Kasalath 79,9 cd 123,0 a 1,9 cdef 4,1 a 8,5 efg 29,2 a
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNJ.
Tabel 6. Interaksi antara genotipe dan pupuk kandang terhadap jumlah anakan, tinggi tanaman, dan bobot kering tanaman padi gogo pada tanah Ultisol Kentrong, Kab. Lebak. 2007.
Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan per pot Bobot kering tanaman (g/pot) Varietas
Tanpa BO Dengan BO Tanpa BO Dengan BO Tanpa BO Dengan BO
Batur 72,6 cde 104,3 b 1,6 e 2,3 cde 11,7 cdef 20,0 b
Dodokan 54,3 f 79,5 cd 2,6 bc 3,4 ab 7,1 defg 11,2 cdef
Situ Bagendit 54,2 f 72,6 cde 2,6 bcd 3,4 ab 6,7 fgh 13,4 cde
Wayrarem 75,5 cde 114,9 ab 2,0 cde 2,2 cde 12,4 c 20,9 b
Limboto 63,6 ef 84,9 c 1,5 e 1,7 de 6,9 efg 9,4 cdef
K36-5-1-1-1 83,4 c 112,4 ab 1,5 e 2,2 cde 13,6 c 23,1 ab
NIL-C443 54,2 f 74,3 de 1,6 e 2,5 cd 1,9 h 3,7 gh
Kasalath 82,4 c 120,5 a 2,4 cde 3,6 a 12,1 cd 25,6 a
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNJ. BO = pupuk kandang
terhadap pupuk kandang sama dengan tanggap genotipe terhadap P.
Terdapat interaksi yang nyata antara genotipe, pem-berian P, dan pupuk kandang. Pempem-berian kapur tidak berpengaruh nyata. Pemberian P maupun pupuk kandang nyata meningkatkan jumlah anakan (Tabel 4). Tanpa P atau tanpa pupuk kandang, tanaman tidak mampu membentuk anakan (Tabel 7). Jumlah anakan lebih banyak pada pemberian P daripada pupuk kandang. Hal ini disebabkan P dari pupuk kandang tidak seluruhnya dapat digunakan tanaman karena memerlukan proses perombakan lebih lama, berbeda dengan P dari pupuk buatan (SP36) yang langsung tersedia bagi tanaman.
Jumlah anakan dipengaruhi oleh interaksi P dan pupuk kandang. Jumlah anakan terbanyak pada per-lakuan pemberian P dan pupuk kandang ditunjukkan oleh Kasalath, Situ Bagendit, dan Dodokan. Limboto memiliki anakan paling sedikit (1,7-2,0) pada perlakuan pemberian P maupun pupuk kandang (Tabel 5 dan 6). Jumlah anakan lebih banyak bila tanaman diberi P dan pupuk kandang, dibandingkan dengan hanya diberi P atau pupuk kandang (Tabel 7).
Pemberian P dan pupuk kandang nyata meningkat-kan bobot kering tanaman (Tabel 4). Pada perlakuan tanpa P maupun tanpa pupuk kandang, bobot kering tanaman sangat rendah, berkisar antara 0,3-2,1 g. Bobot kering tanaman pada perlakuan pemberian P serta gabungan P dan pupuk kandang umumnya tidak berbeda nyata dan lebih tinggi dari bobot kering tanaman pada perlakuan pemberian pupuk kandang saja (Tabel 8). Pemberian P meningkatkan bobot kering tanaman 3- 5 kali lebih tinggi bila tanpa P. Bobot kering paling tinggi terdapat pada Kasalath (29,2 g),
K36-5-1-1-1 (26,7 g), Way Rarem (25,5 g), dan Batur (24,8 g), sedangkan terendah pada NIL-C443 (4 g) dan Limboto (12,4 g) (Tabel 5).
Interaksi genotipe dan pupuk kandang nyata pada bobot kering tanaman (Tabel 6). Bobot kering tanaman tertinggi dicapai oleh Kasalath, K36-5-1-1-1, Way Rarem, dan Batur (25,62-20,0 g). Tanpa pupuk kandang, bobot kering tanaman hanya mencapai setengah dari perlakuan pemberian pupuk kandang.
Gambar 1 menunjukan rasio bobot kering tanaman antara perlakuan tanpa P dan tanpa pupuk kandang (NK) dengan pemberian pupuk kandang (NKBo) dan P (NPK). Varietas Batur memiliki rasio bobot kering paling kecil (0,01), kemudian diikuti oleh Kasalath (0,02) dan Way Rarem (0,03). Keadaan ini menunjukkan Batur, Kasalath, dan Way Rarem paling tanggap terhadap Tabel 8. Interaksi antara genotipe dengan pupuk P dan pupuk kandang terhadap bobot kering tanaman padi gogo pada tanah Ultisol Kentrong, Kab. Lebak, 2007.
Bobot kering tanaman (g/pot) Varietas
P Bo + P + Bo + P + Bo Batur 0,3 l 23,2 bcde 12,8 fghij 24,5 b Dodokan 0,7 l 14,3 fgh 5,5 jkl 16,8 def Situ Bagendit 0,7 l 14,4 fghij 8,9 jk 19,3 cd Way Rarem 0,7 l 25,5 bcd 16,9 efg 25,6 b Limboto 1,0 l 15,2 fghi 7,3 jkl 11,8 fghij K36-5-1-1-1 2,1 kl 25,4 bc 18,1 def 24,4 b NIL-C443 0,9 l 3,2 kl 3,0 kl 3,1 kl Kasalath 0,5 l 26,9 bcd 15,9 fg 32,9 a Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNJ
P= tanpa pupuk P, Bo = tanpa pupuk kandang
Tabel 7. Interaksi antara genotipe, pupuk P, dan pupuk kandang terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan padi gogo pada tanah Ultisol Kentrong, Kab. Lebak. 2007.
Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan per pot Varietas
- P - Bo + P + Bo +P +Bo - P - Bo + P + Bo + P + Bo
NK NPK NK-Bo NPK-Bo NK NPK NK-Bo NPK-Bo
Batur 41,2 jk 107,9 abc 103,89 cde 106,0 bcd 1,0 i 1,9 fgh 1,8 efgh 2,9 cde Dodokan 33,4 k 74,4 fgh 73,50 fgh 88,4 def 1,0 i 4,2 ab 2,2 efg 4,4 ab Situ Bagendit 32,3 k 77,9 fgh 68,33 gh 75,5 fgh 1,0 i 4,3 ab 3,2 abcde 3,7 abcd Way Rarem 40,3 jk 110,8 abc 113,89 abc 117,8 ab 1,0 i 2,9 cd 1,8 ghi 2,8 def Limboto 39,5 k 87,1 efg 87,39 efg 88,2 def 1,0 i 1,8 efgh 1,1 i 2,3 fgh K36-5-1-1-1 59,0 hij 109,3 abc 113,44 abc 109,4 abc 1,0 i 1,6 ghi 1,7 e ghi 2,7 def NIL-C443 38,3 k 69,7 gh 73,78 fgh 79,5 fg 1,0 i 2,2 efg 1,8 efgh 2,4 efg Kasalath 43,2 jk 123,2 ab 115,72 abc 130,1 a 1,0 i 3,8 abc 2,7 cde 4,6 a
Rata-rata 40,90 95,04 93,74 99,38 1,0 2,83 2,0 3,23
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNJ (+ P = diberi pupuk P, + Bo = diberi pupuk kandang)
pemberian P. Terhadap pupuk kandang, tiga genotipe tersebut lebih tanggap dari genotipe lainnya. NIL-C443 adalah genotipe yang paling rendah tanggapannya terhadap pemberian P maupun pupuk kandang, disusul oleh K36-5-1-1-1 dan Limboto. Dodokan nampaknya kurang tanggap terhadap pupuk kandang dibandingkan dengan P.
Perbedaan tanggap tanaman terhadap P maupun pupuk kandang disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan tanah masam Ultisol. Selain itu, karakter penotipik cukup berperan dalam pertumbuhan tanaman. NIL-C443 tidak tanggap terhadap P maupun pupuk kandang, tanggapnya tidak berbeda nyata antara pemberian P maupun pupuk kandang dengan bobot kering tanaman (Tabel 8). Umur berbunga NIL-C443 yang sangat genjah (+ 50 hari) menyebabkan proses pertumbuhan tanaman kurang optimal.
Menurut Wissuwa et al. (1998), kriteria toleransi terhadap kahat P juga dapat digunakan berdasarkan peubah tanaman lainnya, seperti bobot kering tanaman dan hasil biji. Pada penelitian ini bobot kering tanaman tidak dapat digunakan untuk kriteria toleransi terhadap kahat P, karena rasio perlakuan tanpa P dibagi perlakuan dengan P (NK/NPK dan NKDo/NPKDo) sangat kecil (< 0,32 atau 32%), sehingga tidak ada genotipe yang toleran. Bila menggunakan kriteria tinggi tanaman terjadi per-ubahan toleransi. Terdapat tiga genotipe yang konsisten toleran terhadap kahat P berdasarkan jumlah anakan maupun tinggi tanaman, yaitu K36-5-1-1, NIL-C443, dan Limboto.
Pada perlakuan tanpa pupuk P dan tanpa pupuk kandang, varietas Batur, Situ Bagendit, K36-5-1-1, dan
Kasalath tidak berbunga, sedangkan yang berbunga adalah Dodokan, Limboto, dan NIL-C443. Way Rarem berbunga pada perlakuan kapur (NKDo) sedangkan tanpa kapur (NK) tidak berbunga. Umur berbunga lebih cepat 2-5 hari pada perlakuan P dibandingkan dengan perlakuan pupuk kandang. Perbedaan umur berbunga pada perlakuan tanpa P atau tanpa pupuk kandang dengan P atau pupuk kandang mencapai 20 hari pada Dodokan dan 18 hari pada Limboto dan Way Rarem, sedangkan pada NIL-C443 hanya 6 hari. Pada NIL-C443 perbedaannya tidak terlalu banyak karena umur berbunga NIL-C443 sangat genjah (+ 50 hari). Dengan demikian, perlakuan tanpa P dan tanpa pupuk kandang pada tanah Ultisol dapat menghambat pembungaan varietas unggul 18-20 hari hingga tidak berbunga.
Evaluasi Toleransi Genotipe Padi Gogo pada Lahan Kahat P
Hasil perhitungan rasio jumlah anakan padi gogo tanpa pupuk P dan dipupuk P (NK/NPK dan NKDo/NPKDo) dapat dilihat pada Gambar 2. Dari rasio jumlah anakan pada perlakuan tanpa kapur (NK/NPK) diperoleh dua genotipe yang moderat dengan skor 5 (Batur dan NIL-C443) dan dua genotipe toleran dengan skor 3 (K36-5-1-1 dan Limboto). Pada rasio jumlah anakan dengan perlakuan kapur dolomit (NKDo/ NPKDo) diperoleh genotipe yang moderat toleran dengan skor 5, yaitu Batur, Limboto, K36-5-1-1, dan NIL-C443.
Pada penelitian ini Kasalath tidak toleran terhadap kahat P, sekalipun di daerah asalnya (India) dinyatakan sebagai genotipe toleran kahat P. Hal serupa juga dijumpai pada percobaan di lapangan, baik di Sitiung
Gambar 1. Rasio bobot kering tanaman padi gogo pada perlakuan P dan pupuk kandang pada tanah Ultisol Kentrong, Kab. Lebak. 2007. 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 N il a i ra s io b o b o t k e ri n g ta n a m a n Batur Kasalath Way rarem Dodokan Situ Bagendit Limboto K36-5-1-1-1 NIL-C443 0,01 0,02 0,01 0,02 0,03 0,01 0,03 0,04 0,03 0,05 0,14 0,04 0,05 0,08 0,04 0,06 0,13 0,08 0,08 0,12 0,09 0,28 0,30 0,29 NK/NPK NK/NKBo NK/NPKBo 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 N il a i ra s io b o b o t k e ri n g ta n a m a n Batur Kasalath Way rarem Dodokan Situ Bagendit Limboto K36-5-1-1-1 NIL-C443 0,01 0,02 0,01 0,02 0,03 0,01 0,03 0,04 0,03 0,05 0,14 0,04 0,05 0,08 0,04 0,06 0,13 0,08 0,08 0,12 0,09 0,28 0,30 0,29 NK/NPK NK/NKBo NK/NPKBo 0,01 0,02 0,01 0,02 0,03 0,01 0,03 0,04 0,03 0,05 0,14 0,04 0,05 0,08 0,04 0,06 0,13 0,08 0,08 0,12 0,09 0,28 0,30 0,29 NK/NPK NK/NKBo NK/NPKBo
Gambar 2. Nilai rasio jumlah anakan padi gogo pada perlakuan tanpa P dan pupuk P. 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 S k o r to le ra n s i te rh a d a p k a h a t P K36-5-1-1 0,6 0,4 0,6 0,6 Limboto 0,6 0,5 0,5 0,7 Batur 0,5 0,4 0,6 0,6 NIL-C443 0,5 0,5 0,7 0,8 Wayrarem 0,3 0,3 0,6 0,6 Kasalath 0,3 0,3 0,6 0,7 Dodokan 0,2 0,2 0,5 0,6
NK/NPK NKDo/NPKDo NKBo/NPKBo NKBoDo/NPK BoDo Situ Bagendit 0,2 0,3 0,9 0,8 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 S k o r to le ra n s i te rh a d a p k a h a t P K36-5-1-1 0,6 0,4 0,6 0,6 Limboto 0,6 0,5 0,5 0,7 Batur 0,5 0,4 0,6 0,6 NIL-C443 0,5 0,5 0,7 0,8 Wayrarem 0,3 0,3 0,6 0,6 Kasalath 0,3 0,3 0,6 0,7 Dodokan 0,2 0,2 0,5 0,6
NK/NPK NKDo/NPKDo NKBo/NPKBo NKBoDo/NPK BoDo
(Sumatera Barat) maupun Jasinga (Jawa Barat). Perbedaan toleransi ini belum diketahui dengan pasti, namun diduga disebabkan oleh terjadinya perubahan ekspresi toleransi akibat perbedaan lingkungan percobaan dengan lingkungan asalnya. Menurut laporan IRRI (2008), Kasalath memiliki gen toleran kahat P (pup 1). Gen ini diduga bekerjasama dengan AMS (arbuscular mycorrhiza symbiosis) yang terbentuk dalam akar. AMS berperan dalam penyerapan hara, terutama P. AMS akan terbentuk bila kondisi lingkungan-nya aerobik dalam arti cukup oksigen. Pada penelitian ini digunakan tanah Kentrong yang bertekstur liat (70%) yang lebih banyak mengikat air dan sedikit oksigen. Keadaan ini yang diduga menyebabkan AMS tidak terbentuk pada akar, khususnya Kasalath, sehingga gen Pup1 pada Kasalath tidak dapat terekspresikan secara fenotipik pada tanah Ultisol Kentrong.
Bila digunakan rasio jumlah anakan dengan perlakuan bahan organik (NKBo/NPKBo dan NKBoDo/ NPKBoDo) maka diperoleh beberapa genotipe dengan skor toleran (Gambar 2). Hal ini diperkirakan karena pupuk kandang mengandung P yang cukup tinggi. Pupuk kandang dari kotoran kambing atau domba me-ngandung 0,88% P2O5 (IRRI 2006). Dalam percobaan ini pupuk kandang yang digunakan setara dengan 105 kg P2O5/ha, sehingga pada perlakuan pupuk kandang tidak dapat digunakan untuk mengukur ketahanan varietas terhadap kahat P.
Identifikasi Toleransi terhadap Kahat P dengan Marka Molekuler
Untuk mendukung hasil seleksi genotipe padi gogo terhadap toleran kahat P pada tanah Ultisol, juga dilakukan identifikasi polimorfisme dengan marka molekuler yang spesifik untuk gen Pup1. Genotipe sebagai sumber gen Pup1 yang digunakan sebagai tetua donor adalah Kasalath dan NIL-C443. Segmen gen Pup1 aslinya terdapat pada tetua Kasalalth, sementara NIL-C443 adalah introduksi gen Pup1 ke padi Nipponbare melalui metode seleksi silang balik (BC5), sehingga seluruh genom NIL-C443 mirip Nipponbare, kecuali satu segmen Pup1. K36-5-1-1 tidak dipilih sebagai tetua donor karena dalam genom K36-5-1-1 terjadi percampuran
antara IR36 dan Kasalath (termasuk gen Pup1). Hal ini disebabkan karena pembentukan K36-5-1-1 meng-gunakan metode silang tunggal. Tetua yang dipilih sebagai tetua penerima (recipien) adalah Dodokan, Situ Bagendit, dan Batur. Dodokan dan Situ Bagendit berdasarkan hasil seleksi genotipe peka terhadap kahat P, sedangkan Batur termasuk toleran. Hasil analisis molekuler tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 dan Tabel 9.
Berdasarkan hasil analisis fenotipik hanya sedikit primer yang bisa dijadikan sebagai marka molekuler untuk menyeleksi progeni hasil persilangan antara donor yang membawa gen Pup-1 dan tetua penerima. Marka yang menghasilkan pita monomorfis tidak bisa digunakan sebagai alat seleksi. Marka yang polimorfis dapat menunjukkan asal sumbangan allel dari tetuanya bila digunakan untuk progeni hasil persilangan.
Gambar 3. Hasil amplifikasi 6 tetua padi dengan 17 primer spesifik untuk Pup1 setelah diseparasi menggunakan gel poliakrilamid 5%.
No 1-17 = primer spesifik (nama primer sama dengan nama primer pada Tabel 9)
a=Dodokan; b-Situ Bagendit; c=Batur; d=Kasalath; e=NIL-C443; f=Nipponbare
Nipponbare digunakan sebagai kontrol negatif gen Pup-1 (tidak mengandung gen Pup1)
1 3 5 4 6 7 8 10 9 12 2 11 13 14 15 16 17 a b c d e f
KESIMPULAN
1. Berdasarkan peubah jumlah anakan diperoleh empat genotipe toleran kahat P pada tanah Ultisol, yaitu Limboto, K36-5-1-1, Batur, dan NIL-C443. 2. Berdasarkan bobot kering tanaman, Batur, Kasalath,
dan Way Rarem merupakan genotipe yang paling tanggap terhadap pemupukan P maupun pupuk kandang.
3. Terdapat interaksi yang nyata antara genotipe, pupuk P, dan pupuk kandang terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan, dan bobot kering tanaman.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dibiayai oleh proyek Generation Challenge Program yang berjudul: Revitalizing marginal lands: discovery of genes for tolerance of saline and phosphorus deficient soils to enhance and sustain productivity.
Ucapan terima kasih kepada Sdr. Fadjar Suryawan dan Mahrup, teknisi Kelti Biologi Molekuler dan teknisi Rumah K aca BB Biogen yang telah membantu pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Bucher, M., C. Rausch, and P. Daram. 2001. Molecular and biochemical mechanisms of phosphorus uptake into plants. J. Plant Nutr. Soil Sci. 164:209-217.
Barber, S.A. 1976. Efficient fertilizer use. Agronomic Research for Food. Madison, WIASA Special Publication No 26. Amer. Soc. Agron. p.13-29.
IRRI 1980. Standard evaluation system for rice. International Rice Testing Program. Second Edition.
IRRI Rice Knowledge Bank. 2006. Bahan organik dan pupuk kandang. Informasi Ringkas Teknologi Padi. Disadur oleh: J. Bawolye/M. Syam, Des. 2006. Kerja sama: Badan Litbang Pertanian-IRRI. http://balitpa.litbang.deptan.go.id;
IRRI 2008. Improving rice yield in unfavorable environments with
pup1: a major QTL for phosphorus uptake (Unpublish)
Kania, A., N. Langlade, E. Martinoia, and G. Neumann. 2003. Phosphorus deficiency-induced modifications in citrate catabolism and in cytosolic pH as related to citrate exudation in cluster roots of white lupin. Plant and Soil 248:117-127. Neumann, G. and V. Romheld. 1999. Root excretion of carboxylic
acids and protons in phosphorus-deficient plants. Plant and Soil 211:121-130.
Nasution, I. 1989. Tanggapan padi gogo terhadap pemupukan P pada tanah Podsolik merah kuning, Cigudeg, Bogor. Penelitian Pertanian. Vol. 9. No. 3.
Prasetyo, B.H dan D.A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, potensi, dan teknologi pengelolaan tanah Ultisol untuk pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia. J. Litbang Pertanian, 25(2).
Rausch, C. and M. Bucher. 2002. Molecular mechanisms of phosphate transport in plants. Planta 216:23-37.
Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2004. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Dalam A. Adimihardja, L.I. Amien, F. Agus, dan D. Djaenudin (eds.). Sumber daya lahan Indonesia dan pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Sri Adiningsih, J. dan Mulyadi. 1993. Alternatif teknik rehabilitasi dan pemanfaatan lahan alang-alang. Dalam S. Sukmana, Suwardjo, J. Sri Adiningsih, H. Subagjo, H. Suhardjo, dan Y. Prawirasumantri (eds.). Pemanfaatan lahan alang-alang untuk usahatani berkelanjutan. Prosiding Seminar Lahan Alang-Tabel 9. Hasil analisis polimorfis dengan marka molekuler spesifik untuk gen Pup1.
No Primer 1 vs 4 1 vs 5 2 vs 4 2 vs 5 3 vs 4 3 vs 5 1 Ba76H14_7154 M M M M M M 2 Bb66P16_2258 P P M M M M 3 Primer 59 M M M M M M 4 Primer 50 M M M M M M 5 Primer 45 M M M M M M 6 Primer 43 M M M M M M 7 Primer 42 M M M M M M 8 Primer 40 M M M M M M 9 Primer 39 M M M M M M 10 Primer 38 M M M M M M 11 Gene26-1 M M P P M M 12 Kasgene19-C2 M M P P M M 13 Kasgene18-C M M M M M M 14 Kasgene16-C M M M M P P 15 Kasgene5n-NK-C M M M M P P 16 Kasgene4n-C2 M M M M M M 17 Kasgene1n-C P P P P P P
alang, Bogor, Desember 1992. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Sujadi, M. 1984. Masalah kesuburan tanah Podsolik Merah Kuning dan kemungkinan pemecahannya. Prosiding Pertemuan Teknis Pola Penelitian Usahatani Menunjang Transmigrasi, Pusat Penelitian Tanah. Bogor.
Schachtman, D.P., R.J. Reid, and S.M. Ayling. 1998. Phosphorus uptake by plant from soil to cell. Plant Physiol. 116:447-452. Tian, Z.M., B. Wang, C.X. Song, W.P. Li, and F.L. Qin. 2004. The response of Lupinus albus roots to the signal from phosphorus-deficient substrate. Russian J. of Plant Physiology 51(3): 396-401.
Wissuwa. M., M. Yano, and N. Ae. 1998. Mapping of QTL for phosphorus deficiency tolerance in rice (Oryza sativa L.). Theor. Appl. Genet. 97(5-6):777-783.
Wissuwa, M. and N. Ae 2001. Genotypic variation for tolerant to phosphorus deficiency in rice and the potential for its exploitation in rice improvement. Plant Breeding 120(1):43-48(6).
Vance, C., C. Uhde-Stone, and D.I. Allan. 2003. Phosphorus acquisition and use: critical adaptations by plans for securing a nonrenewable resource. New Phytologist 157:423-447.