• Tidak ada hasil yang ditemukan

Format Penulisan ( adaptasi dari gaya selingkung LIPI Press )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Format Penulisan ( adaptasi dari gaya selingkung LIPI Press )"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

( adaptasi dari gaya selingkung LIPI Press ) 

 

• Format kertas A4 dengan margin atas 2,5 cm, kiri 2,5 cm, kanan 2,0 Cm, bawah 3,0  

cm 

• Gunakan 2 kolom dengan separasi 1,2 cm 

• Fonts Times New Roman dengan ukuran : 

9

Judul  

: 14, Bold, center 

9

Keterangan Penulis 

: 10, center  

9

Abstrak 

: 10, italic 

9

Sub Bab 

: 13, Bold 

9

Isi 

: 11 

9

Keterangan Gambar & Tabel  :  10, align left 

9

Daftar Pustaka 

: 10, numbering 

• Posisi gambar diletakkan dengan “in line with text” 

• Format lainnya disesuaikan dengan contoh tulisan berikut. 

 

 

 

 

 

 

(2)

Pembuatan Besi Nugget dari Pasir Besi

dan Bijih Besi Laterit:

Tantangan dan Kemungkinan Keberhasilannya

Oleh:

Yusuf dan Edi Herianto Pusat Penelitian Metalurgi-LIPI Komplek PUSPIPTEK, Cisauk, Tangerang

e-mail: yusuflipi@yahoo.com

Diterima 1 Agustus 2008, Disetujui 1 Desember 2008

INTISARI

Cadangan bijih besi Indonesia yang didominasi oleh bijih besi laterit dan pasir besi membutuhkan pendekatan proses yang tepat. Proses pembuatan besi nugget dengan teknologi ITMk3 yang menggunakan pereduksi batu bara memiliki berbagai kelebihan yang layak dipertimbangkan. Teknologi berbasis RHF yang dikembangkan oleh Midrex dan Kobe Steel ini telah siap dipakai untuk bijih besi konvensional, tetapi masih menyisakan tantangan menarik untuk dapat diterapkan pada bijih besi laterit dan pasir besi. Ada empat cara untuk mengatasi masalah yang mungkin timbul, yaitu: (1) pembentuk terak encer, (2) penggunaan jumlah pereduksi sub stoikiometrik, (3) penggerusan halus, dan (4) reduksi dua tahap. Perlu dilakukan penelitian mendasar untuk memungkinkan pemanfaatan bijih besi dalam negeri sebagai penopang industri besi baja nasional

Kata Kunci: Biji laterit, Pasir besi, Besi-nugget, Batu bara, RHF.

ABSTRACT

Indonesian iron ore reserves dominated by lateritic ore and titanium rich beach sand require an appropriate processing technology. Iron nugget production technology ITMk3 which use ordinary coal as reductant has many advantages to be considered. As an RHF base technology developed by Midrex and Kobe Steel, ITMk3 will be ready for commercialization for a conventional iron ore, but not too easy to be adapted for the laterite ore and beach sand iron concentrate. There are four possibility to solve the coming problems: (1) flux addition to produce high fluidity slag, (2) the use of sub stoichiometric reductant, (3) finer grinding, and (4) two stages heating or reduction. It will be advisable to conduct a thorough fundamental research to facilitate the utilization of Indonesian domestic iron ore to support national iron and steel industries.

Keywords: Lateritic ore, Ironsand, Iron nugget, Coal, RHF

I. P

ENDAHULUAN

Cadangan bijih besi Indonesia didominasi oleh pasir besi dan bijih besi laterit, dan hanya memiliki sedikit bijih yang memenuhi persyaratan konven-sional. Persyaratan itu meliputi kadar besi (Fe) yang relatif tinggi (di atas 60%) dan kadar pengotor yang relatif rendah. Peleburan dalam tanur tiup, misalnya, mempersyaratkan kadar titan oksid maksimum 1%, sedangkan pasir besi kita memiliki kadar titan oksid sekitar 10%. Sedangkan bijih besi laterit kadar me-miliki kandungan besi yang rendah, kadang-kadang di bawah 50%, dan kandungan Ni dan Cr yang tinggi.

Dengan kondisi mayoritas bijih seperti itu, perlu dicari pendekatan yang agak lain untuk mencari proses yang sesuai. Untuk itu ada beberapa tawar-an ytawar-ang diajuktawar-an sebagai alternatif untuk peleburtawar-an dengan tanur tiup. Salah satunya adalah peleburan dengan jalur besi spons dan tanur listrik. Tetapi peng-alaman dengan proses reduksi langsung berbasis gas HyL3 di PT KS kurang memberi semangat untuk memilih proses dengan jalur besi spons ini. Proses peleburan langsung (smelting reduction) seperti proses Corex dan Hismelt masih dianggap terlalu berisiko untuk dipilih.

Produksi besi nugget dengan tanur lori ber-putar RHF (rotary hearth furnace) tampak

(3)

memiliki berbagai keunggulan yang layak diperhi-tungkan, baik dari sisi produk maupun keekonomian prosesnya. Meskipun demikian, pilihan ini tentu memunculkan masalah dan tantangan seperti yang juga dihadapi oleh proses yang lain. Kadar besi yang relatif rendah dan pengotor yang kompleks dengan kandungan tinggi merupakan tantangan yang bakal dihadapi.

Untunglah ada beberapa petunjuk dari berbagai paten yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah dan menghadapi tantangan yang ada. Akan tetapi, dari pengamatan terhadap paten yang telah diterbitkan, belum ada paten yang benar-benar pas untuk menangani pasir besi dan bijih besi laterit Indonesia. Karena itu, perlu dilakukan penelitian proses secara khusus. Dari data penelitian itu, prospek pengembangannya tidak akan terlalu sulit untuk dilakukan karena tinggal diterapkan ke dalam teknologi ITMk3 yang sudah siap dioperasikan secara komersial.

II. C

ADANGAN

B

IJIH

B

ESI

I

NDONESIA

Data cadangan biji besi Indonesia yang dike-luarkan oleh Direktorat Informasi Mineral–Badan Geologi Nasional dan dirangkum oleh PT Krakatau Steel (Persero)1) ditunjukkan dalam Tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan bahwa keberadaan bijih besi primer di Indonesia sangat tidak memadai untuk mendukung industri besi baja secara nasional. Jumlah cadangan yang hanya sekitar 25 juta ton sangat kecil dibandingkan kebutuhan industri baja nasional kita. PT Krakatau Steel menghasilkan 2,5–

3,0 juta ton baja yang setara dengan 5–6 juta ton bijih besi. Ini berarti potensi besi primer kita hanya akan bertahan untuk 4–5 tahun. Apalagi dengan rencana pengembangan tahun 2020 yang menarget-kan produksi baja sebesar 20 juta ton per tahun. Berarti cadangan besi primer kita tidak akan bertahan walau untuk satu tahun.

Yang dapat menjadi tumpuan harapan adalah Bijih Besi Lateritik dan Pasir Besi. Dari data cadangan di Tabel 1, cadangan bijih lateritik yang di atas 1 miliar ton dan pasir besi yang di atas 160 juta ton merupakan jumlah yang lumayan. Perkiraan cadangan ini bahkan diduga masih terlalu kecil dibandingkan dengan kondisi sebenarnya.

Cadangan bijih besi laterit yang berjumlah 1 miliar ton tampaknya harus dikoreksi. Dengan informasi dari Weda Bay Corp yang mengaku menemukan cadangan nikel besi laterit sejumlah 600 juta ton di Halmahera maka diperkirakan ada tembahan cadangan bijih besi laterit sekitar 1 miliar ton di sekitar Halmahera (termasuk pulau-pulau Obi dan Waigeo) dan lebih dari 500 juta ton di Sulawesi. Dari perkiraan ini dapat diduga potensi biji besi lateritik dapat mencapai lebih dari 2,5 miliar ton.

Cadangan pasir besi pun hampir dipastikan jauh melampaui data yang disajikan dalam Tabel 1. Jawa Barat yang disebut hanya memiliki cadangan 3 juta ton, dipastikan memiliki cadangan dalam skala puluhan atau bahkan ratusan juta ton. Ini ditunjuk-kan dengan minat China membangun peleburan di daerah Sukabumi. Pembangunan unit peleburan itu tidak mungkin dilakukan kalau cadangannya tidak mencapai 30–40 juta ton.

Tipe Bijih Lokasi Cadangan (ribuan ton) Kadar Fe (%) Kalimantan Selatan Kalimantan Barat Belitung Lampung Sumatra Barat 11.675 1.000 7.400 5.243 1.600 43,30 – 66,04 55,00 62,25 42,50 – 63,50 Bijih Primer

(Kadar besi tinggi, cocok untuk bijih bongkah) Total 25,478 Kalimantan Selatan Sulawesi Tengah Papua Barat 565,233 375,200 123,410 38,00 – 59,00 Bijih Lateritik (Mengandung Ni dan Cr) Total 1.058.600 Jawa Barat Jawa Tengah Jogyakarta Jawa Timur 3.097 86.267 30.668 15.979 38,00 – 58,32 59,00 59,00 51,29 – 51,51 Pasir Besi

(Saat ini digunakan di pabrik semen, mengandung titanium)

Total 163.311

Total 1.237.389

(4)

Yang menjadi masalah adalah proses apa yang akan digunakan untuk mengolah bijih besi lateritik dan pasir besi itu. Tanur tiup membutuhkan kokas dan pasti tidak cocok untuk melebur pasir besi. Kandungan titanium di pasir besi akan mempersulit operasi peleburan pasir besi di dalam tanur tiup. Titanium yang tereduksi dan masuk di fasa logam akan membentuk cairan dengan titik lebur yang tinggi dan membentuk kerak di dasar tanur. Ini menyebabkan mengecilnya daya tampung hearth tanur tiup.

Untuk bijih besi laterit, mungkin tanur tiup masih dapat digunakan. Tetapi kadar besi yang relatif ren-dah dan kadar pengotor yang relatif tinggi akan meng-hasilkan terak yang relatif banyak dan meningkatkan konsumsi kokas. Dengan posisi Indonesia yang tidak memiliki cadangan batu bara kokas dan harga internasionalnya yang sangat tinggi, maka diduga peleburan dengan tanur tiup ini tidak akan berjalan ekonomis.

Proses reduksi langsung yang diikuti dengan peleburan dengan tanur listrik sesungguhnya tidak menimbulkan masalah bila ditinjau dari prosesnya saja, tetapi yang menjadi masalah adalah faktor ekonomi. Melebur bijih yang berkadar relatif rendah akan meningkatkan konsumsi energi listrik. Kondisi ini akan mengganggu kemungkinan untuk bijih besi laterit dan pasir besi menjadi bahan baku utama industri baja nasional.

Proses peleburan langsung pun belum memberi harapan yang terlalu menjanjikan. Sifat reduksinya yang mirip tanur tiup akan menyulitkan peleburan pasir besi dan efek yang belum bisa diduga untuk bijih besi lateritik. Operasi dalam kondisi lebur juga akan menghasilkan masalah pengaturan komposisi terak dan umur refraktori. Ini bukan masalah seder-hana. Meskipun mengaku sebagai proses dengan konsumsi energi dan biaya operasi yang rendah, proses peleburan langsung masih sulit untuk dipilih sebagai alternatif.

III. T

EKNOLOGI

P

EMBUATAN

B

ESI

Teknologi pembuatan besi yamg digunakan secara komersial pada saat ini dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: (1) teknologi tanur tiup (blast furnace), (2) teknologi reduksi langsung (direct reduction), dan (3) teknologi peleburan langsung (smelting reduction). Teknologi tanur tiup masih mendominasi proses pembuatan besi saat ini, meski-pun menghadapi tantangan ketersediaan kokas dan faktor lingkungan. Upaya penghematan konsumsi

kokas dengan suntikan batu bara halus, penggunaan udara tiup ultra panas (1200oC) dan pemanfaatan

gas buang untuk menghasilkan listrik, mengukuhkan dominasi teknologi tanur tiup terhadap kedua tek-nologi (reduksi langsung dan peleburan langsung) yang relatif lebih baru. 2,3)

Bagi Indonesia yang belum memiliki tambang batu bara berkualitas kokas (coking coal), kehadir-an teknologi pembuatkehadir-an besi ykehadir-ang tidak mengguna-kan kokas tentu sangat diharapmengguna-kan. Sayangnya, teknologi reduksi langsung seperti yang digunakan oleh PT Krakatau Steel belum mampu bersaing dengan produsen besi baja dunia yang berbasis tanur tiup. Teknologi reduksi langsung menghasilkan besi spons atau direct reduced iron (DRI) yang masih harus dilebur di dapur listrik. Ini membutuh-kan pasomembutuh-kan listrik yang murah agar bisa bersaing dengan teknologi tanur tiup yang super efisien.

Teknologi peleburan langsung yang dimotori oleh proses COREX mestinya cukup ideal untuk menjadi pesaing tanur tiup. Penggunaan batu bara nonkokas menjadi titik kuat dari teknologi yang awalnya dikembangkan oleh VAI di Afrika Selatan. Kini sudah ada empat pabrik di luar Afrika Selatan, dua di Jindal India dan dua lagi di Korea Selatan. Teknologi peleburan langsung tidak membutuhkan peleburan dengan dapur listrik, bahkan dapat meng-hasilkan listrik dengan memanfaatkan kelebihan gas buangnya. Di samping COREX, teknologi pelebur-an lpelebur-angsung juga dikembpelebur-angkpelebur-an oleh BHP-Billiton di Australia dengan nama proses HISMELT.

Proses peleburan langsung masih dianggap berisiko untuk diterapkan oleh industri baja dengan orientasi komersial seperti PT KS karena teknologi reaktor yang meminta persyaratan teknis yang cukup berat. Temperatur yang tinggi di atas 1800oC

dan keberadaan fasa cair dan gas yang tidak statis menuntut ketangguhan bahan refraktori yang di-gunakan. Berapa lama bahan refraktori itu mampu bertahan, tentu akan dibandingkan dengan refraktori tektologi tanur tiup yang mampu bertahan hingga delapan tahun operasi.

IV. P

EMBUATAN

B

ESI

N

UGGET

Besi nugget merupakan kelanjutan dan modi-fikasi dari proses reduksi langsung. Kalau proses reduksi langsung ditingkatkan temperaturnya sam-pai pada titik leleh (fusion), tetapi tidak samsam-pai me-lebur maka logam besi yang terbentuk akan meng-gumpal dan terkumpul menjadi nugget yang terpisah dari teraknya. Besi nugget memiliki kualitas mirip

(5)

pig iron atau bahkan lebih baik.4) Proses terjadinya

besi nugget dapat dilihat pada Gambar 1, sedang besi nuggetnya sendiri dapat dilihat pada Gambar 2.

Besi nugget dibuat dalam tanur lori berputar (rotary hearth furnace-RHF) yang berupa modi-fikasi dari tanur lorong (tunnel kiln) yang dibuat terus-menerus. Teknologi ini menghasilkan besi tanpa lolas dan tanpa peleburan listrik. Dengan temperatur yang relatif rendah dan tidak terdapatnya fasa cair yang berpotensi merusak refraktori, pengembangan teknologi pembuatan besi nugget tidak mengundang risiko seperti pengembangan teknologi peleburan langsung.

Pembuatan besi nugget telah dicoba dalam skala pabrik demonstrasi dengan kapasitas 25.000 ton per tahun dengan cukup berhasil. Proses yang dikembangkan oleh Kobe Steel dengan teknologi RHF dari Midrex ini dikenal dengan teknologi ITMk3.5) Kini sedang dibangun pabrik komersial

dengan skala 500.000 ton per tahun yang akan ber-operasi pada tahun 2009 depan. Seperti pada pabrik demonstrasi, pabrik komersial yang dibangun oleh Sttel Dynamics ini akan mengolah konsentrat Tako-nit Pegunungan Mesabi dari Negara Bagian Mine-sota Amerika Serikat.

Dengan keberhasilan operasional pabrik komersial berkapasitas 500.000 ton per tahun ini proses ITMk3 akan masuk dalam jajaran proses

Tabel 2. Biaya Produksi Besi Nugget dan Besi Cair 6)

Gambar 2. Besi Nugget 4)

(6)

yang dikelompokkan sebagai proses yang terbukti secara komersial. Melihat keberhasilan proses di skala pabrik percobaan 25.000 ton per tahun, keberhasilan operasi pabrik komersial ini hanya sekedar menunggu waktu.

Dari sisi produk, besi nugget diakui memiliki ber-bagai keunggulan. Pertama adalah metalisasinya yang tinggi dan kondisinya yang padat sehingga tidak bersifat piroforik (mudah terbakar). Yang kedua, bersih atau mudah dipisahkan dari terak (slag). Ketiga, relatif berkadar fosfor rendah, karena pada temperatur pembentukan nugget, fosfor di dalam bijih belum tereduksi dan masih ber-ada di dalam terak. Yang keempat, ukuran nugget yang relatif kecil dibandingkan besi pig memudah-kan proses peleburan dalam dapur listrik.

Dari sisi proses produksi, proses ITMk3 untuk menghasilkan besi nugget juga diakui memiliki bebe-rapa keunggulan. Pertama, prosesnya tidak meng-gunakan kokas maupun energi listrik secara masif. Kedua, konsumsi energi dan biaya operasi yang relatif rendah dibandingkan proses pembuatan besi yang lain. Dan ketiga, temperatur operasi yang relatif rendah dan berlangsung dalam keadaan padat sehingga membutuhkan reaktor (tanur) yang relatif sederhana dan dapat dibangun dengan biaya rendah. Persoalannya, bisakah proses ITMk3 digunakan untuk mengolah bijih besi Indonesia.

Untuk mengolah bijih besi konvensional, biaya produksi besi nugget lebih rendah dibandingkan biaya produksi dengan tanur tiup maupun besi FASTMELT (DRI-EF). Perhitungan yang dilaku-kan oleh peneliti dari Kobe Steel, menunjukdilaku-kan perbandingan biaya seperti tersaji dalam Tabel 2.

Untuk bijih semacam pasir besi atau bijih besi laterit perbedaannya akan lebih menyolok karena kebutuhan energi listrik (untuk jalur DRI) dan kebutuhan kokas (untuk jalur tanur tiup akan menjadi sangat menyolok.

V. B

ESI

N

UGGETDARI

P

ASIR

B

ESIDAN

B

IJIH

B

ESI

L

ATERIT

Melihat masalah yang dihadapi dalam peng-olahan biji besi lateritik dan pasir besi tadi, satu-satu-nya harapan adalah proses pembuatan besi nugget dengan teknologi ITMk3. Proses ini dilakukan dalam keadaan padat, tidak membutuhkan kokas dan tidak menggunakan dapur listrik. Kondisi ini akan meng-hasilkan proses yang mestinya mampu bersaing se-cara ekonomis. Untuk bijih besi konvensional ber-kadar tinggi (Lihat Tabel 3) proses ini hampir

men-jadi proses yang terbukti secara komersial. Bagai-mana kemungkinannya untuk mengolah biji besi laterit dan pasir besi?

Setidaknya ada tiga masalah yang bakal di-hadapi dalam pembuatan besi nugget dari bijih besi lateritik dan pasir besi. Pertama, kandungan besi yang rendah. Kalau bijih besi konvensional meng-inginkan kadar besi di atas 60% (terkadang ada yang menghendaki kadar 65 atau 67%), kandungan besi pada bijih besi laterit berkisar antara 40–50%, sementara konsentrat pasir besi mengandung besi sekitar 55%. Kedua, kandungan unsur-unsur pengotor yang tinggi dan komposisi yang kompleks. Ini akan memperbesar jumlah terak dan masalah dalam mengatur komposisinya. Ketiga, adanya unsur yang menghasilkan paduan dengan titik leleh yang tinggi. Ini diduga akan mempersulit pemisahan cairan logam dari terak.

Ketiga masalah yang dimiliki oleh bijih besi lateritik dan pasir besi itu diduga akan mempersulit pembentukan nugget. Kesulitan ringan berupa ter-bentuknya nugget-nugget mikro yang sulit dipisah-kan dari teraknya. Sementara kesulitan yang berat berupa tidak terbentuknya nugget, atau nugget mikro yang terbentuk demikian kecilnya sehingga tersebar merata dan tidak terpisahkan dari teraknya. Nugget mikro adalah nugget yang berukuran di bawah 0,5 mm.

Contoh: 1000 gram bijih besi berkadar besi 50% dicampur dengan 18% batu bara dan dibentuk pelet kemudian diproses menjadi besi nugget dengan temperatur 1350oC. Terbentuk besi nugget dengan

kandungan karbon 3%, perolehan 97% dan pembentukan nugget mikro sebesar 20%.

Total besi nugget = 500 gram Nugget mikro 20% = 100 gram Nugget makro = 400 gram

Nugget makro dipisahkan dari terak dan nugget mikro setelah produk besi nugget digiling sehingga terlepas dari terak dan nugget mikronya. Dengan

Applicable Freferable Bijih Besi (% berat) Tfe > 56 % SiO2 < 6 % Tfe > 60 % SiO2 < 5 % Batubara (Dry base %) FC > 50 % VM < 45 % Ash < 25 % VM <30 % S < 0.9 %

Tabel 3. Bijih besi dan batu bara yang diinginkan untuk ITmk3Ò 4)

(7)

ayakan berukuran 0,5 mm, kita memperoleh nugget makro yang tertahan di atas ayakan. Nugget mikro diperoleh dengan memisahkannya dari terak meng-gunakan pemisah magnetik. Fraksi magnetik adalah besi nugget mikro, sedang yang non magnetik adalah terak.

VI. T

AWARAN

P

EMECAHAN

M

ASALAH

Dari berbagai paten yang terkait dengan proses ITMk3 ada beberapa petunjuk dan tawaran untuk memecahkan masalah kegagalan pembentukan nugget atau terlalu banyaknya nugget mikro yang terbentuk sehingga menyulitkan pemisahan. Tawar-an itu dapat dikelompokkTawar-an dalam empat cara, yaitu: (1) pembentuk terak encer, (2) penggunaan jumlah pereduksi sub soikiometrik, (3) penggerusan halus, dan (4) reduksi dua tahap.

Pembentuk terak encer dengan zat imbuh se-macam CaF2 atau CaCO3 dimaksudkan untuk me-mudahkan pemisahan lelehan logam dari teraknya. Cara ini ditawarkan oleh paten Eropa bernomor EP1405924 berjudul: Method for Producing Gra-nular Metal yang didaftarkan atas nama Shuzo ITO dan Osamu TSUGE sebagai penemunya.7)

Penggunaan jumlah pereduksi sub stoikiome-trik yang digabung dengan penambahan pereduksi di luar aglomerat (pelet), dimaksudkkan untuk mengurangi kecenderungan pembentukan logam titanium pada proses pembuatan nugget dari pasir besi. Cara ini ditawarkan oleh paten WIPO ber-nomor WO/2008/014397 berjudul: Method and System for Producing Metalic Iron Nuggets, yang didaftarkan oleh Iwao IWASAKI, Andrew J. LINDGREN dan Richard F. KIESEL sebagai penemu.8)

Penggerusan halus diduga akan memudahkan reduksi besi tanpa mereduksi titan oksid yang ada di konsentrat pasir besi. Cara ini ditawarkan oleh paten Amerika Serikat bernomor United States Patent 6685761 berjudul: Method for producing beneficiated titanium oxide yang didaftarkan oleh Glenn E HOFFMAN dan Ronald D GRAY sebagai penemu.9)

Cara terakhir yang dapat dicoba adalah proses dua tahap. Dalam cara ini pembuatan pelet dilaku-kan dalam dua tahap, yaitu tahap reduksi dan tahap pelelehan atau pembentukan nugget. Cara ini diakui mampu memisahkan logam besi dalam bentuk nugget dari terak yang kaya titan oksid. Cara ini ditawarkan oleh paten nomor WO-2007-027998

berjudul: Ore Reduction Process and Titanium Oxide and Iron Metallization Product yang di-daftarkan oleh oleh John J. BARNES dkk sebagai penemu. Dalam paten ini ditunjukkan bahwa cam-puran besi dan titan oksid (dari butir yang terpisah) yang direduksi dan dipanaskan pada titik leleh akan mudah membentuk nugget.

VII. P

ENELITIAN

P

ROSES

Paten bisa memberi banyak inspirasi, tetapi masih harus dibuktikan dengan percobaan yang menggunakan contoh bijih yang mewakili bijih yang akan diolah. Apalagi paten-paten yang menyebut kemungkinan penggunaannya untuk mengolah pasir besi atau besi laterit belum memberi data yang khusus untuk kedua bijih jenis ini. Paten juga sering menyembunyikan hal-hal kunci untuk keberhasilan proses yang ditawarkan.

Serangkaian penelitian mendasar perlu dilaku-kan, apalagi kalau nanti ditemukan berbagai kelainan dari dugaan yang telah dikemukakan di dalam paten yang telah dipublikasikan. Penelitian mendasar juga akan memudahkan kita mengikuti arah pengem-bangannya ke skala komersial. Untuk Indonesia yang memiliki miliaran ton bijih laterit dan ratusan juta ton pasir besi, penelitian mendasar itu merupakan suatu keniscayaan.

Penelitian mendasar juga merupakan hal yang layak secara ekonomis. Kalau kita akan memenuhi kebutuhan besi baja kita sebesar 20 juta ton pada tahun 2020, maka kita membutuhkan sekitar 40 juta ton bijih besi. Kalau kita bisa memenuhi 20% saja dari kebutruhan bijih besi itu, berarti 80 juta ton. Bijih besinya mungkin bernilai US$ 320–400 juta dan produk bajanya akan bernilai sekitar US$ 3,2– 4,0 miliar. Kalau biaya penelitian yang dikeluarkan hanya sekitar US$ 3–4 juta per tahun, itu baru 0,1% dari penjualan produknya.

Tentu saja penelitian itu harus dilakukan dengan kesungguhan untuk mencapai sasaran yang di-harapkan: pemanfaatan bijih besi dalam negeri untuk mendukung industri baja nasional. Pengembangan selanjutnya rasanya tidak terlalu sulit, karena bisa menumpang teknologi ITMk3 yang sudah mapan tersedia.

VIII. K

ESIMPULAN

1. Kondisi bijih besi Indonesia yang didominasi oleh bijih besi laterit dan pasir besi membutuhkan pendekatan proses yang tepat.

(8)

2. Proses pembuatan besi nugget dengan teknologi ITMk3 memiliki berbagai kelebihan yang layak dipertimbangkan.

3. Teknologi ITMk3 telah siap dipakai untuk bijih besi konvensional, dan masih menyisakan tantangan menarik untuk dapat digunakan mengolah bijih besi laterit dan pasir besi. 4. Ada empat cara untuk mengatasi masalah yang

mungkin timbul, yaitu: (1) pembentuk terak encer, (2) penggunaan jumlah pereduksi sub stoikiometrik, (3) penggerusan halus, dan (4) reduksi dua tahap.

5. Perlu dilakukan penelitian mendasar untuk memungkinkan pemanfaatan bijih besi dalam negeri sebagai penopang industri besi baja nasional

D

AFTAR

P

USTAKA

1. Technology Road Map PT KRAKATAU STEEL (PERSERO) 2004–2020.

2. Mikko Angermann, Alternative Processes for Iron and Steel Making, Oulu University, 2004

3. M Gojic and S Kojuh, Development of Direct Reduction Processes and Smelting Reduction Processes for Steel Production, Faculty of Metal-lurgy, University of Zagreb, 2006

4. Isao Kobayashi et al, Direct Iron Making Process Using Fine Ore and Coal, Asia Steel 2000, Beijing, China September 2000.

5. John Mc Celland, Not All RHFs Are Created Equal, Direct from Midrex, 2nd Quarter 2002

6. Kosuke Seki and Hidetoshi Tanaka, Canges in Paradigm: Development of Iron and Steel Industry by Applying Coal Based DR Processes : Fastmelt and ITMk3, Kobe Steel Ltd, Tokyo, 2008.

7. Shuzo ITO dan Osamu TSUGE, Method for Produ-cing Granular Metal, EP (European Patent) 1405924, 2007.

8. Iwao IWASAKI et al, Method and System for Producing Metalic Iron Nuggets, Paten WIPO bernomor WO/2008/014397, 2008.

9. Glenn E HOFFMAN dan Ronald D GRAY, Method for producing beneficiated titanium oxide, United States Patent 6685761, 2004.

10. John J BARNES, Ore Reduction Process and Titanium Oxide and Iron Metallization Product, paten WIPO nomor WO-2007-027998, tahun 2007.

R

IWAYAT

P

ENULIS

Yusuf, lahir di Solo 18 Desember 1948, memperoleh

pendidikan bidang Metalurgi Ekstraksi di Jurusan Tambang–ITB. Pernah mengikuti pelatihan di Jepang (JSPS dan JICA), Korea Selatan dan Amerika Selatan (Kaiser Engineers). Aktif meneliti dan menulis di bidang metalurgi ekstraksi, material, energi dan pengolahan limbah. Di bidang metalurgi ekstraksi, penelitiannya meliputi pengolahan besi nikel laterit, bauksit, bijih mangan, serta peleburan timbal dan besi. Dalam pengolahan limbah, pernah menangani ekstraksi logam dari limbah lapis listrik dan etsa PCB. Hingga kini masih aktif di Perhim-punan Ahli Pertambangan (PERHAPI).

Gambar

Tabel 1 menunjukkan bahwa keberadaan bijih besi primer di Indonesia sangat tidak memadai untuk mendukung industri besi baja secara nasional.
Gambar 1. Proses terjadinya Besi Nugget  4)
Tabel 3. Bijih besi dan batu bara yang diinginkan untuk ITmk3 Ò 4)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menghasilkan temuan yang menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna pada tingkat pengetahuan gizi remaja, pengeluaran jajan remaja, frekuensi makan, pola

Rasio keuangan yang berpengaruh pada pengklasifikasian perusahaan syariah adalah rasio likuiditas ( Current Asset dan Quick Ratio ), rasio solvabilitas (DAR dan DER),

Penurunan kadar kalsium oksalat yang paling baik diperoleh pada proses pemanasan dengan suhu 60°C yang dilanjutkan dengan penambahan NaHCO3 6%w sebesar 98,52% dari kadar awalnya

Atau perasan jeruk nipis ditambah sepotong gula batu lalu diaduk hingga rata, diminum satu kali sehari sampai sembuh.. Influenza yang disertai batuk

Berdasarkan penelitian ini, ditemukan empat jenis tindak advisoris guru dalam pembelajaran bimbingan konseling, yaitu: (1) tindak advisoris menasihatkan,

Modul Teras Asas merangkumi Bahasa Malaysia, Bahasa Inggeris, Bahasa Cina (untuk prasekolah aliran bahasa Cina), Bahasa Tamil (untuk prasekolah yang aliran bahasa Tamil),

Bagian-bagian yang harus diurug sampai mencapai ketinggian yang ditentukan, tanah urugan harus cukup baik, bebas dari sisa (rumput/akar-akar lain-lainnya). Semua

Detektor Radiasi adalah alat y adalah alat yang ang bekerja atas bekerja atas dasar interaksi antara dasar interaksi antara sinar sinar radio aktif dengan suatu