1. Pemeriksaan fisik neurologis yang dilakukan pada pasien ini a. Pemeriksaan refleks fisiologis
1) Refleks biseps
Siku pasien dalam keadaan fleksi dan pronasi, letakan ibu jari pemeriksa di atas tendo biseps,lalu pukul ibu jari tadi dengan menggunakan refleks hammer. Reaksi pertama adalah kontraksi otot biseps dan kemudian fleksi pada siku.
2) Refleks triseps
Tempatkan lengan bawah pasien dalam posisi antara fleksi dan ekstensi, pukullah tendon yang lewat di fossa olekrani. Reaksinya adalah kontraksi otot triseps dan sedikit terhentak.
3) Refleks patella
Sokong lutut pasien dalam posisi fleksi 90˚, raba daerah tendo patella, pukulkan palu refleks ke tendo patella. Tangan pemeriksa yang menahan bagian distal paha akan merasakan kontraksi otot quadriceps dan pemeriksa mungkin dapat melihat gerakan tiba-tiba dari tungkai bagian bawah.
4) Refleks archiles
Dorsofleksikan pergelangan klien dengan memegang jari-jari kaki dengan telapak tangan, Tendon Achilles dipukul dengan ringan tapi cepat. Hasilnya adalah fleksi kaki yang tiba-tiba.
b. Pemeriksaan refleks patologis 1) Refleks Hoffmann-Tromner
Dilakukan dengan ekstensi jari tengah pasien. Refleks Hoffmann diperiksa dengan cara melakukan petikan pada kuku jari tengah. Refleks Tromner diperiksa dengan cara mencolek ujung jari tengah. Refleks Hoffmann-Tromner positis jika timbul gerakan fleksi pada ibu jari, jari telunjuk , dan jari-jari lainnya.
2) Refleks Babinski
Goreskan ujung palu refleks pada telapak kaki pasien. Goresan dimulai pada tumit menuju ke atas dengan menyusuri bagian lateral telapak kaki, kemudian setelah sampai pad apangkal kelingking, goresan dibelokkan ke medial sampai akhir pada pangkal jempol kaki. Refleks Babinski positif jika ada respon dorsofleksi ibu jari yang disertai pemekaran jari-jari yang lainnya.
3) Refleks Chaddock
Dilakukan goresan dengan ujung palu refleks pada kulit di bawah maleolus eksternus. Chaddock positif jika ada respon dorsofleksi ibu jari kaki yang disertai pemekaran jari-jari yang lain.
4) Refleks Oppenheim
Dengan menggunakan jempol dan jari telunjuk pemeriksa, tulang tibia pasien diurut dari atas ke bawah. Refleks Oppenheim positif jika ada respon dorsofleksi ibu jari kaki yang disertai pemekaran jari-jari yang lain.
5) Refleks Gordon
Dilakukan pemijatan pada otot betis pasien. Refleks Gordon positif jika ada respon dorsofleksi ibu jari kaki yang disertai pemekaran jari-jari yang lain.
6) Refleks Schaefer
Dilakukan pemijatan pada tendo archiles pasien. Refleks Schaefer positif jika ada respon dorsofleksi ibu jari kaki yang disertai pemekaran jari-jari yang lain.
7) Refleks Rosolimo-Mendel Batchterew
Refleks Rosolimo diperiksa dengan cara melakukan ketukan palu refleks pada telapak kaki di daerah basis jari-jari pasien.
Refleks Mendel Batchterew diperiksa dengan melakukan ketukan palu refleks pada daerah dorsum pedis pada basis jari-jari kaki pasien. Refleks Rosolimo-Mendel Batchterew positif jika timbul plantar fleksi jari-jari kaki nomor 2 sampai nomor 5.
c. Pemeriksaan refleks meningeal 1) Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang di atas tempat tidur, secara pasif kepala pasien dilakukan fleksi dan k=ekstensi. Kaku kuduk positif jika sewaktu dilakukan gerakan terdapat tahanan.
2) Tanda Brudzinski I
Pasien berbaring terlentang, tangan kiri pemeriksa diletakkan di bawah kepala pasien, kemudian dilakukan gerakan fleksi pada kepala pasien dengan cepat, gerakan fleksi dilaukan semaksimal mungkin. Tanda Brudzinski positif jika
sewaktu dilakukan gerakan fleksi pada kepala pasien, timbul fleksi involunter pada kedua tungkai.
3) Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, pemeriksa melakukan fleski pada sendi panggul dan sendi lutut dari pasien, kemudian dilakukan ekstensi pada sendi lutut. Tanda Kernik positif jika pada waktu dilakukan ekstensi pada sendi lutut <135˚, timbul rasa nyeri, sehingga ekstensi sendi lutut tidak bisa maksimal.
4) Tanda Brudzinski II
Pasien berbaring terlentang, tungkai bawah pasien dilakukan fleksi secara pasif pada sendi panggul dan sendi lutut. Tanda Brudzinski II positif jika sewaktu dilakukan gerakan di atas tadi, tungkai yang kontralateral secara involunter ikut fleksi.
Sumber:
Mirawati, Diah Kurnia, Sutejo Widjojo, Suroto, et al. 2013. Pemeriksaan Neurologi. Surakarta: Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universiat Sebelas Maret.
2. Pemeriksaan GCS pada pasien. Glasqow Coma Scale
Nilai membuka mata
Spontan 4
Terhadap bicara (suruh pasien membuka mata) 3 Dengan rangsang nyeri (tekan pada saraf supraorbita atau kuku jari)
2
Tidak ada reaksi (dengan rangsang nyeri pasien tidak membuka mata)
1
Respon verbal Baik dan tidak disorientasi (dapat menjawab dengan kalimat yang baik dan tahu dimana ia berada, tahu waktu,hari)
5
Kacau/confused (dapat bicara dalam kalimat, namun ada disorientasi waktu dan tempat)
4
Tidak tepat (dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa kalimat dan tidak tepat)
3
Mengerang (tidak mengucapkan kata, hanya mengerang) 2
Tidak ada jawaban 1
Respon motorik Menurut perintah (suruh angkat lengan) 6 Mengetahui lokasi nyeri (dirangsang nyeri dengan menekan supraorbita. Bila pasien mengangkat tangannya sampai melewati dagu untuk menepis rangsang berarti ia mengetahui lokasi nyeri)
5
Reaksi menghindar 4
Reaksi fleksi/dekortikal (rangsangan nyyeri dengan menekan supraorbita timbul reaksi fleksi sendi siku atau pergelangan tangan)
3
Reaksi ekstensi (dengan menekan supraorbita timbul reaksi ekstensi pada sendi siku disertai fleksi spastic pergelangan tangan)
Tidak ada reaksi 1
Pemeriksaan tanda vital
3. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan
Pemeriksaan penunjang pada penderita stroke meliputi:
a. Hitung darah tepi lengkap: diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia atau trombositosis atau infeksi sebagai faktor risiko stroke.
b. Waktu protrombin, waktu protrombin parsial: ditujukan kepada penderita dengan antibodi antifosfolipid (waktu protrombin parsial memanjang).
c. Analisa urin: hematuria terjadi pada endokarditis bakterialis subakut (SBE) dengan stroke iskemik oleh karena emboli.
d. Kecepatan sedimentasi (LED): peningkatan LED menunjukkan kemungkinan adanya vaskulitis, hiperviskositas atau (SBE) sebagai penyebab stroke.
e. Kimia darah: peningkatan kadar glukosa, kolesterol atau trigliserida dalam darah. f. Foto rontgen dada: pelebaran ukuran jantung sebagai suatu sumber emboli pada
suatu stroke atau akibat hipertensi lama; dapat menemukan suatu keganasan yang tidak diduga sebelumnya.
g. Elektrokardiogram: dapat menunjukkan adanya aritmia jantung, infark miokard baru, atau pelebaran atrium kiri.
h. Tomografi terkomputasi (CT-Scan).
1) Tomografi terkomputasi (CTscan) bermanfaat dalam membedakan stroke perdarahan (intraserebral atau subarakhnoid) dengan stroke tanpa perdarahan/iskemik (trombosis atau emboli). Adanya darah pada perdarahan baru mengakibatkan terjadinya suatu daerah dengan peningkatan densitas; sebaliknya suatu infark mengakibatkan suatu daerah dengan penurunan densitas. Sebagai tambahan, CT-scan dapat membantu menentukan lokasi dan ukuran abnormalitas, seperti daerah vaskularisasi, superfisial atau dalam, kecil atau luas.
2) CT-scan benar-benar positif pada perdarahan intraserebral (dengan peningkatan densitas) dan sering menunjukkan darah antar-hemisfer atau perdarahan dalam parenkhim otak pada perdarahan subarakhnoidea. Perubahan-perubahan ini terlihat pada jam pertama setelah timbulnya gejala stroke. Dengan CT yang lebih maju lagi, beberapa penderita dengan diagnosis klinis trombosis dapat ditemukan adanya perdarahan intraparenkhimal.
3) CT-scan positif pada sebagian besar kasus infark serebri (penurunan densitas), tetapi peruhahan-perubahan ini hanya dapat terlihat pada 24 – 48 jam setelah timbulnya gejala stroke. Dengan penyengatan terhadap kontras, infark dapat menyerupai suatu tumor tetapi penyengatan terhadap kontras pada infark serebri pada umumnya tidak berkaitan dengan efek massa yang nyata seperti yang terjadi pada tumor. Pada beberapa kejadian. mungkin efek massa terdapat bersama dengan infark, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah bukan suatu tumor; dalam hal demikian maka dengan MRI, CT-scan secara serial dan observasi klinis dapat memperjelas diagnosis.
4) Suatu infark herdarah sering terjadi sekunder terhadap emboli yang besar. Dalam hal ini terjadi peningkatan densitas pada CT-scan. Pemberian antikoagulan harus ditunda bila terjadi perdarahan yang berkaitan dengan infark embolik.
5) Perdarahan pada batang otak mungkin dapat terlihat pada CT- scan, akan tetapi infark batang otak biasanya tidak.
6) CT-scan mengidentifikasi pergeseran massa intrakranial yang memerlukan tindakan medis dan operatif secara agresif untuk mengontrol edema serebri yang terjadi.
7) Suatu hematoma subdural dapat dikenal pada pemeriksaan CT-scan dengan adanya pergeseran massa intrakranial, menghilangnya sebagian ventrikel lateralis atau sulkus-sulkus, dan perubahan densitas (tergantung pada usia lesi) pada perrnukaan otak.
8) Tumor otak dapat diidentifikasi pada pemeriksaan CT-scan dengan adanya pola densitas yang khas, penyengatan terhadap kontras, dan efek massa. Pada persentase yang kecil tumor otak secara klinis menyerupai stroke.
i. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI memainkan peranan penting dalam diagnosis suatu stroke karena:
1) MRI kadang dapat menunjukkan adanya iskemia serebri pada stadium awal, sebelum dapat terlihat pada CT-scan dan sering bila pemeriksaan CT-scan tetap negatif.
2) MRI sering dapat menunjukkan adanya infark pada batang otak, serebelum, atau lobus temporalis yang tidak terlihat pada CT-scan.
3) Kemampuan MRI dalam mencari trombosis vena sebagai penyebab infark lebih baik dibanding CT-scan.
4) MRI lebih sensitif dalam mencari infark kecil (lakuner). CT-scan tetap lebih baik dihanding MRI pada fase akut stroke bila sasaran utama mencari perdarahan dan terdapat masalah dalam hal kerjasama dengan penderita. 5) Penyengatan kontras pada MRI kemungkinan berguna dalam menentukan
umur suatu infark dan mencari adanya tumor atau AVM sebagai penyebab stroke.
Catatan : SPECT (Single photon emission computed tomography) dapat melokalisir iskemia dalam beberapa jam setelah serangan stroke.
j. Arteriografi
Arteriografi, baik yang dikerjakan secara konvensional maupun dengan teknik digital, ditujukan untuk:
1) Mengidentifikasi suatu lesi yang dapat dikoreksi dengan operasi seperti aneurisma intrakranial dan AVM, stenosis arteria karotis, dan plak arteria karotis yang mengalami ulserasi,
2) Membantu memastikan diagnosis,
3) Memastikan diagnosis sebelum dikerjakan pemberian antikoagulansia. Dalam perencanaan suatu arteriografi, penting untuk ditentukan secara klinis sistem yang terlibat dalam stroke tersebut, sistem karotis atau sistem vertebrobasiler. Bila memungkinkan, angiografi dikerjakan dengan teknik kateterisasi oleh ahli radiologi yang berpengalaman.
Elektroensefalografi (EEG) dapat membantu menentukan lokalisasi gangguan fungsi kortikal, dan kadang-kadang pada lesi talamus. EEG dapat abnormal pada jam-jam pertama setelah serangan stroke meskipun CT-scan masih normal. EEG biasanya akan normal pada stroke pada daerah sirkulasi posterior atau stroke lakunar dan abnormal pada stroke daerah sirkulasi anterior atau emboli.
EEG biasanya abnormal pada stroke pembuluh darah besar atau emboli. EEG merupakan hal yang penting untuk dikerjakan bila dicurigai adanya aktivitas epileptik. Kelemahan setelah suatu stroke kemungkinan merupakan bagian dari pasca serangan epilesi (Paralisis Todd).
l. Pungsi Lumbal
Bila cairan serebrospinalis (CSS) mengandung darah (eritrosit) 1.000) dan tekanannya meningkat (200 mmH2O), pungsi lumbal mendukung adanya suatu perdarahan. Perlu diingat bahwa tekanan CSS normal dan tidak ditemukan sel dalam CSS dapat terjadi pada 10% perdarahan intraserebral. Semua perdarahan subarakhnoid menunjukkan perdarahan yang nyata pada CSS, biasanya mengandung eritrosit 25.000.
Pungsi lumbal dengan kandungan eritrosit 50 – 500 dalam CSS mengarahkan kecurigaan pada emboli serebri, dan tampak CSS jernih pada sebagian besar emboli.
Pada trombosis serebri dan stroke lakunar tidak ditemukan sel dalam CSS. Kadang-kadang terlihat adanya lekosit dalam CSS setelah serangan trombosis atau perdarahan. Eritrosit dalam jumlah besar (10.000 – 20.000) kadang terlihat pada infark berdarah setelah suatu serangan emboli serebri. Setelah perkembangan lanjut dengan adanya CT, pungsi lumbal jarang dikerjakan lagi dalam upaya evaluasi penderita stroke. Pungsi lumbal dikerjakan bila :
1) Kecurigaan adanya infeksi susunan saraf pusat.
2) Kemungkinan ditegakkannya diagnosis perdarahan sub-arakhnoid. CT-scan dapat menghasilkan negatif palsu pada 5 – 10% penderita perdarahan subarakhnoid,
3) Kemungkinan ditegakkannya diagnosis perdarahan intra-serebral, tetapi tidak memungkinkan dilakukan pemeriksaan CT-scan, dan tidak ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
4) Sebelum dimulai ‘pemberian antikoagulansia, guna mengesampingkan adanya perdarahan bila tidak memungkinkan dilakukan pemeriksaan CT-scan.
5) Kecurigaan adanya arteritis.
6) Diagnosis penderita yang tidak jelas.
Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.