• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengasuhan Anak: Di Bumi ‘Adi Poday’ Pulau Sapudi. Etnik Madura – Kabupaten Sumenep

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengasuhan Anak: Di Bumi ‘Adi Poday’ Pulau Sapudi. Etnik Madura – Kabupaten Sumenep"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Pengasuhan Anak:

Di Bumi ‘Adi Poday’

Pulau Sapudi

Etnik Madura – Kabupaten Sumenep

Basuki I Izzah D.S Setia Pranata

Penerbit

(3)

Basuki I, dkk

Pengasuhan Anak:

Di Bumi “Adi Poday”

Pulau Sapudi

Etnik Madura – Kabupaten Sumenep

Diterbitkan Oleh

UNESA UNIVERSITY PRESS Anggota IKAPI No. 060/JTI/97

Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015 Kampus Unesa Ketintang

Gedung C-15Surabaya

Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109 Fax. 031 – 8288598

Email: unipress@unesa.ac.id unipressunesa@yahoo.com

Bekerja sama dengan:

PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176 Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749

xii, 155 hal., Illus, 15.5 x 23

ISBN : 978-979-028-966-6

copyright © 2016, Unesa University Press All right reserved

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit

(4)

SUSUNAN TIM

Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015, dengan susunan tim sebagai berikut:

Pembina : Kepala Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan

Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc

Ketua Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si

Anggota Tim Teknis : Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes

drg. Made Asri Budisuari, M.Kes dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH

drs. Kasno Dihardjo

dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK Sekretariat : Mardiyah, SE. MM

(5)

Koordinator Wilayah:

1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab. Klaten, Kab. Barito Koala

2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan

3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah Selatan

4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru

5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong Selatan

6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba Barat

7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab. Sumenep, Kab. Aceh Timur

8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab. Bantaeng

9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab. Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke

10.dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar 11.Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu

Raijua, Kab. Tolikara

12.drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli, Kab. Muna

(6)

KATA PENGANTAR

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.

Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat di Indonesia.

Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.

Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

(7)

Surabaya, Nopember 2015 Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI

(8)

DAFTAR ISI

SUSUNAN TIM ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR ... xi BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan Penelitian ... 4 1.3. Metode Penelitian ... 4 1.4. Analisis Data ... 5 1.5. Keterbatasan Penelitian ... 6

1.6. Gambaran Singkat Sistematika Buku... 6

BAB II ALAM DAN BUDAYA MASYARAKAT PULAU SAPUDI ... 8

2.1. Sumenep dan Sapudi Selayang Pandang ... 8

2.2. Geografi dan Kependudukan ... 25

2.3. Keyakinan antara Masjid dan Pusaka ... 31

2.4. Pola Pemukiman ... 38

2.5. Sistem Kekerabatan dan kemasyarakatan ... 41

2.6. Pengetahuan tentang kesehatan ... 50

2.7. Konsep Sehat dan Sakit ... 54

2.8. Bahasa ... 55

2.9. Mata Pencaharian ... 56

BAB III KESEHATAN MASYARAKAT DI BUMI ADI PODAY ... 67

3.1. Kesehatan Ibu dan Anak ... 68

3.1.1 Kesehatan Ibu ... 69

3.1.2 KB dan Alat Kontrasepsinya ... 75

3.1.3 Kesehatan Balita ... 77

3.2. Penyakit Menular ... 80

3.2.1 Tuberkulosis ... 80

3.2.2 Kusta ... 85

(9)

3.4. Pemantauan Status Gizi Balita ... 91

3.5. Pelayanan Kesehatan ... 96

3.6. Pembiayaan Kesehatan ... 100

3.7. Pola Pencarian Pengobatan ... 101

3.8. Kesehatan Lingkungan ... 102

3.8.1 Rumah Sehat ... 102

3.8.2 Sanitasi Dasar dan Penyediaan Air Bersih ... 103

3.9. Pelayanan Posyandu ... 105

3.10. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ... 107

3.10.1 Mencuci Tangan ... 107

3.10.2 Penggunaan Jamban ... 108

3.10.3 Kebiasaan minum air di wadah bersama ... 108

3.10.4 Kebiasaan merokok ... 108

BAB IV POLA ASUH, PEMBERIAN MAKAN DAN BALITA BGM ... 110

4.1. Pola Pengasuhan Anak di Desa Prambanan... 110

4.2. Pola Makan Balita ... 117

4.3. Potret RS, balita dibawah garis merah ... 122

4.4. Peluang Dan Tantangan Perbaikan Gizi Balita ... 127

4.5. Skenario perbaikan status gizi Balita. ... 138

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 142

DAFTAR PUSTAKA ... 151

GLOSARIUM ... 153

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Luas wilayah desa dan jumlah penduduk

berdasarkan jenis kelamin ... 27 Tabel 2.2. Pembagian kerja di keluarga masyarakat

petani-peternak di Desa Prambanan ... 64 Tabel 3.1. Jumlah Sarana Kesehatan di Kabupaten

Sumenep Tahun 2014 ... 96 Tabel 3.2. Rekapitulasi Tenaga Kesehatan Berdasarkan

Jenis Tenaga Kesehatan di Kabupaten Sumenep

Tahun 2014... 97 Tabel 3.3. Gambaran Tenaga Kesehatan

Di Puskesmas Gayam Tahun 2015 ... 98 Tabel 4.1. Matriks Evaluasi menggunakan SWOT (Strength,

(11)
(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Masjid Agung Sumenep ... 9

Gambar 2.2 Peta Sumenep dan Pulau Sapudi ... 11

Gambar 2.3 Asta Adi Poday ... 12

Gambar 2.4 Sapi Poday ... 14

Gambar 2.5 Pesisir Selatan Desa Prambanan ... Gambar 2.6 Kondisi Dusun Sumberjati Desa Prambanan ... 20

Gambar 2.7 Peta desa Prambanan ... 22

Gambar 2.8 Nonton TV bersama dirumah kelebun ... 24

Gambar 2.9 Sumber mata air di Desa Prambanan. ... 26

Gambar 2.10 Masjid Desa Prambanan ... 32

Gambar 2.11 Memperingati Isra Miraj Nabi Muhammad SAW ... 33

Gambar 2.12 Menyambut Isra Miraj di Gua Keramat Ratu Sapi ... 34

Gambar 2.13 Calo’ kodi, senjata pusaka Adi Poday. ... 36

Gambar 2.14 Tempat penyimpanan ‘air hikmah’ ... 52

Gambar 2.15 Tanaman tembakau. ... 57

Gambar 2.16 Kegiatan warga Desa Prambanan. ... 58

Gambar 2.17 Kegiatan memanen padi ... 59

Gambar 2.18 Aktifitas di Pasar Sapi. ... 60

Gambar 2.19 Kandang sapi penduduk desa ... 61

Gambar 2.20 Pancing rawai untuk menangkap ikan ... 63

Gambar 3.1 Gambaran Angka Kematian Ibu di Kabupaten Sumenep Tahun 2012-2014 ... 69

Gambar 3.2 Cakupan K1 di Kabupaten Sumenep Tahun 2014 ... 70

Gambar 3.3 Cakupan K4 di Kabupaten Sumenep Tahun 2014 ... 71

Gambar 3.4 Trend Cakupan Linakes di Kabupaten Sumenep Th. 2012-2014 ... 72

Gambar 3.5 Proporsi Jenis Alat Kontrasepsi Peserta KB Aktif di Kabupaten Sumenep Tahun 2014 ... 76

(13)

Gambar 3.6 Tren Cakupan UCI Di Kabupaten Sumenep

tahun 2011-2014 ... 79

Gambar 3.7 Gambaran Kasus TB Paru di Kabupaten Sumenep Tahun 2012-2014 ... 81

Gambar 3.8. Kebiasaan Minum Dari Wadah Yang Sama ... 82

Gambar 3.9. Gambaran Perkembangan Penemuan Kasus Baru Kusta di Kabupaten Sumenep Tahun 2012-2014 ... 86

Gambar 3.10. Gambaran Kasus Kusta Di Kecamatan Gayam ... 87

Gambar 3.11. Petugas Kusta sedang melakukan Pemeriksaan ... 88

Gambar 3.12. Bedak Palekkeran dan Kayu Masoji ... 89

Gambar 3.13. Balita BGM menurut Kecamatan di Kabupaten Sumenep Tahun 2014 ... 92

Gambar 3.14. Kasus BGM dan BBK di Kecamatan Gayam Per April 2015 ... 94

Gambar 3.15. Balita BGM sedang makan ... 95

Gambar 3.16. Puskesmas Gayam di Pulau Sapudi ... 99

Gambar 3.17 Sumber air bersih dan sarana MCK ... 104

Gambar 3.18 Pelaksanaan Posyandu di Desa Prambanan ... 106

Gambar 3.19. Jumlah Kader di Kecamatan Gayam Tahun 2014 ... 107

Gambar 3.20. Rokok Lintingan yang dijual bebas di pasar ... 109

Gambar 4.1. Mengasuh anak dan keponakan ... 111

Gambar 4.2. Kegiatan anak di malam hari ... 113

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kesehatan adalah unsur utama yang harus dipenuhi dari tiap individu, agar dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana harusnya. Individu yang sehat dan tangguh secara fisik, psikis, maupun intelegensia akan menjadi tulang punggung bagi tumbuh kembang suatu bangsa dalam pembangunan ekonomi, sosial maupun politik. Kesehatan dengan demikian adalah modal utama pembangunan manusia yang tanpanya modal-modal lain tidak akan berfungsi optimal.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005–2025 menyebutkan bahwa salah satu strategi dalam pembangunan kesehatan adalah pemberdayaan masyarakat. Melakukan pembangunan kesehatan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, perlu juga peran serta dari masyarakat itu sendiri. Bentuknya adalah keberdayaan masyarakat untuk mampu menjaga kesehatan mereka sendiri. Upaya untuk memberdayakan kesehatan sudah sering difasilitasi oleh Pemerintah dalam bentuk program pembangunan kesehatan yang mengedepankan nilai peorangan, keluarga, dan masyarakat sesuai dengan keragaman sosial budaya sebagai potensi dan modal sosial.

Masalah kesehatan tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di mana masyarakat itu berada. Faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan pengetahuan tentang kesehatan, dapat membawa dampak positif maupun negatif terhadap kesehatan. Faktor tersebut merupakan potensi dan kendala yang perlu digali. Beberapa kegagalan dalam mengatasi permasalahan kesehatan berkenaan dengan tidak dipertimbangkannya faktor sosial budaya yang ada di dalam masyarakat.

Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, peringkat terbawah Indeks Kesehatan Pembangunan Manusia (IPKM) tahun 2013 untuk wilayah Jawa Timur didominasi oleh daerah-daerah dengan penduduk etnis Madura. Probolinggo, Bondowoso, Situbondo,

(15)

Lumajang, Jember dan empat kabupaten di Madura merupakan daerah dengan peringkat terbawah. Keadaan ini mengindikasikan bahwa permasalahan sosial budaya adalah faktor determinan dalam upaya pembangunan kesehatan.

Sumenep adalah salah satu kabupaten yang berada dibawah wilayah Propinsi Jawa Timur. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat Kabupaten Sumenep berada di peringkat ke 37 dari 38 kabupaten/kota yang ada di wilayah Propinsi Jawa Timur. Sementara untuk tingkat nasional Kabupaten Sumenep menempati ranking IPKM ke 423 dari 497 kabupaten/kota diseluruh Indonesia. Ini berarti Kabupaten Sumenep merupakan salah satu kabupaten yang bermasalah di bidang kesehatan. Kondisi spesifik Kabupaten Sumenep dibandingkan daerah lain di Jawa Timur adalah kondisi geografisnya yang merupakan daerah kepulauan. Hal ini yang menjadikan Kabupaten Sumenep merupakan salah satu lokus kesehatan dari Kementerian Kesehatan.1

Faktor yang disebutkan diataslah yang menjadi latarbelakang dipilihnya Kabupaten Sumenep sebagai salah satu daerah studi dari kegiatan Riset Etnografi Kesehatan (REK) tahun 2015. Berdasarkan data dan informasi dari penentu kebijakan kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten Sumenep, ditentukan bahwa kegiatan riset dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Gayam yang berlokasi di pulau Sapudi. Beberapa dasar pemikiran mengapa daerah tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian antara lain karena masih relatif tingginya kasus penyakit menular di wilayah kerja Puskesmas Gayam. Hasil wawancara awal dengan Dinas kesehatan terkait, didapatkan informasi tentang masih memprioritaskan permasalahan gizi pada balita di Kabupaten Sumenep. Masih kurangnya data terkait dengan perilaku, kepercayaan dan pengetahuan yang dapat mempengaruhi status kesehatan individu dan masyarakat juga menjadi dasar penelitian ini dilakukan agar nantinya dapat dijadikan sebagai bahan rujukan program kesehatan di wilayah Kabupaten Sumenep.

Kegiatan riset yang berlangsung antara bulan April-Mei 2015, mengambil subyek penelitian etnis Madura yang tinggal atau menetap di

1

(16)

Desa Prambanan, Kecamatan Gayam, Pulau Sapudi Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur. Sebagai daerah kepulauan, masyarakat pulau Sapudi mempunyai dua karakteristik, masyarakat pesisir dan masyarakat bukan pesisir yang tinggal di wilayah bagian tengah pulau. Untuk memperoleh gambaran utuh masyarakat pulau Sapudi, yang dapat mewakili karateristik masyarakat pesisir dan masyarakat non pesisir, dipilih Desa Prambanan sebagai lokasi utama kegiatan Riset Etnografi Kesehatan.

Dari hasil observasi awal pada saat persiapan penelitian, rencana tematik penelitian adalah mengenai open-defication di Pulau Sapudi. Salah satu indikator IPKM yang rendah di Kabupaten Sumenep adalah kesehatan lingkungan, di mana salah satu komponen penilainya adalah ketersediaan jamban. Catatan yang ada menunjukkan bahwa ketersediaan jamban memang lebih sedikit dibandingkan jumlah rumah yang ada. Namun ini tidak berarti bahwa penghuni rumah yang tidak ada jambannya akan membuang kotoran secara sembarangan. Dari hasil observasi diketahui bahwa warga desa Prambanan tinggal di rumah yang letaknya bersebelahan dengan rumah orang yang masih memiliki hubungan keluarga. Kuatnya ikatan kekerabatan dan rasa kebersamaan membuat mereka tidak perlu membangun jamban sendiri-sendiri. Mereka terbiasa menggunakan kamar mandi dan jamban secara bersama. Dua sampai empat rumah yang masih memiliki hubungan kekerabatan hanya memiliki satu jamban dan kamar mandi yang digunakan bersama secara bergantian. Hal ini yang membuat peneliti mencari alternatif tematik.

Dari hasil wawancara awal dan pengamatan, peneliti menemukan tujuh anak dengan berat badan kurang. Untuk Kecamatan Gayam sendiri angka balita BGM mencapai tiga anak. Angka tersebut diperkirakan lebih tinggi mengingat surveillans pencegahan penyakit di wilayah desa tersebut kurang berjalan dengan baik. Meskipun BGM tidak bisa dikatakan sebagai gizi buruk, namun balita dengan BGM perlu mendapatkan perhatian khusus. Sebab BGM merupakan ambang batas peringatan menuju gizi kurang. Di Desa Prambanan peneliti melihat ada satu balita yang memiliki berat badan dibawah garis merah (BGM), dimana balita tersebut memiliki karateristik orangtua yang sibuk melakukan aktifitas.

(17)

Nampaknya pola pengasuhan dan pola pemberian makan yang dilakukan oleh warga Prambanan kepada balita dapat mempengaruhi asupan gizinya. Akibatnya, pemberian makan dan asupan gizi anak, akan berpengaruh terhadap status gizi anak. Ketika anak diasuh oleh orang lain, pola makan menjadi teratur, baik dari segi jenis maupun frekuensi makannya. Berangkat dari hal tersebut diatas, peneliti tertarik melihat pola pengasuhan anak dan dampaknya terhadap kesehatan anak, terutama mengenai gizi anak.

1.2. Tujuan

Tujuan yang pertama dari riset etnografi kesehatan yang dilakukan di Kabupaten Sumenep adalah untuk mendeskripsikan kebudayaan masyarakat Sapudi dalam rangka memahami pandangan, pengetahuan tentang sesuatu hal yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, menggambarkan program kesehatan dan kondisi kesehatan masyarakat Sapudi tentang kesehatan ibu dan anak, penyakit menular dan tidak menular serta tentang perilaku hidup bersih dan sehat. Tujuan ketiga, secara khusus untuk menggambarkan dan menganalisis unsur kebudayaan masyarakat Sapudi yang berkaitan dengan masalah kesehatan khususnya untuk pemenuhan gizi anak balita.

1.3. Metode Penelitian

Pada riset etnografi kesehatan ini, data diperoleh dari beberapa jenis cara. Ada yang diperoleh melalui wawancara, pengamatan, pencatatan dokumen, melakukan pengambilan foto dan pengambilan film. Wawancara dan wawancara mendalam kepada informan kunci dan komunitas di sekitar wilayah Desa Prambanan. Dalam melakukan wawancara digunakan pedoman wawancara yang dibangun sesuai tujuan dan ruang lingkup penelitian. Informan dan informan kunci meliputi tokoh masyarakat yang ada seperti petugas kesehatan, petugas kecamatan, kepala desa dan ketua lingkungan. Sementara tokoh informal lainnya seperti tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh wanita, pejabat publik, ketua ormas di lokasi studi, serta masyarakat biasa yang tergolong memiliki peran penting di masyarakat (local champion).

(18)

Metode penemuan informan kunci dilakukan secara bola salju (snow ball). Pengumpulan informasi secara bola salju ini diawali dengan mencari informasi kepada aparat desa setempat tentang orang-orang yang tahu banyak fenomena yang akan digali. Kepada orang yang tahu banyak akan dilakukan wawancara mendalam. Untuk melengkapi informasi, peneliti meminta informan untuk merekomen-dasikan siapa yang bisa melengkapi dan tahu tentang substansi tersebut.

Metode pengamatan dilakukan untuk menggambar-kan suatu keadaan atau kejadian dalam kehidupan masyarakat sehari-hari atau secara khusus dilakukan untuk membuktikan suatu fenomena. Pengamatan yang dilakukan secara langsung, hasilnya akan dicatat pada buku catatan pengamatan peneliti. Pengamatan tidak langsung dilakukan menggunakan kamera foto atau film.

Pada penelitian ini, validitas data merupakan hal yang penting. Validitas data ditetapkan berdasarkan akurasi informasi yang diperoleh dengan triangulasi dari observasi dan hasil crosscheck wawancara. Untuk triangulasi dan crosscheck informasi tidak dibatasi hanya di sekitar wilayah penelitian tetapi juga diluar wilayah penelitian.

Data yang bersifat kuantitatif digali dari data sekunder dilokasi studi yang diperoleh melalui publikasi resmi maupun melalui informasi media lainnya. Ada dokumen seperti peraturan bupati yang berkaitan dengan data kependudukan, ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Data dokumen statistik Kabupaten Sumenep dalam angka diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten. Data profil kesehatan Kabupaten Sumenep diperoleh dari Dinas Kesehatan. Data statistik Kecamatan Gayam dan profil kesehatan Puskesmas Gayam. Fakta dilapangan, apabila tidak diperoleh data kuantitatif secara memadai baik dalam bentuk catatan tertulis apalagi dalam bentuk publikasi resmi, maka data ini didekati berdasarkan hasil wawancara dengan penanggungjawab data tersebut.

1.4. Analisis Data

Hasil data kualitatif yang didapat pada saat pengumpulan data di lapangan akan dianalisis secara ‘content analysis’ dengan menggunakan

(19)

matriks serta skema hubungan. Analisis dilakukan dengan mengkategorikan tema yang ada dalam data untuk selanjutnya dikaitkan satu sama lainnya. Evaluasi atas temuan lapang tersebut menggunakan metode SWOT (Strength, Weaknessess, Opportunities, dan Threath). 1.5. Keterbatasan Penelitian

Salah satu keterbatasan dalam penelitian ini adalah waktu penelitian yang singkat untuk meneliti persoalan etnografi. Idealnya untuk melihat kebudayaan secara menyeluruh pada masyarakat atau etnis tertentu diperlukan waktu satu tahun penelitian. Sehingga peneliti bisa mendapatkan secara holistik kebudayaan yang terjadi di masyarakat baik dilihat dari segi ritual, kepercayaan, tertentu pada waktu tertentu atau hal lain yang terjadi.

Hasil dalam penelitian ini adalah lokal spesifik dan tidak bisa digeneralisir. Sebab penentuan lokasi pada etnik tertentu yang hanya dilakukan pada satu desa jelas tidak mencakup seluruh wilayah yang didiami oleh etnik Madura.

1.6. Gambaran Singkat Sistematika Buku

Dalam buku seri etnografi ini, peneliti mencoba menjabarkan hasil temuan penelitian menjadi lima bab.

Pada bab pertama peneliti akan menggambarkan tentang dasar dan apa yang mendasari penelitian ini dilakukan. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai tujuan penelitian, kelemahan penelitian, maupun metode penelitian dan proses pengumpulan data yang dilakukan.

Bab kedua merupakan selayang pandang Kabupaten Sumenep dan Pulau Sapudi. Pada bab ini dijelaskan mengenai wilayah penelitian, unsur-unsur budaya yang ada pada etnik Madura di lokasi penelitian, mulai dari sejarah, mata pencaharian, bahasa, sistem kekerabatan hingga yang berhubungan dengan pengetahuan kesehatan masyarakat.

Pada bab ketiga dijelaskan mengenai gambaran kesehatan di Kabupaten Sumenep secara umum dan kesehatan di lokasi penelitian secara khusus. Persoalan kesehatan yang dibahas antara lain mengenai Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), Kesehatan lingkungan, angka morbiditas, serta gambaran gizi masyarakat. Tentunya

(20)

aspek-aspek kesehatan tersebut dibahas tanpa melupakan kebudayaan masyarakat di dalam masyarakat itu sendiri. Bab ini juga mengantarkan pada bab berikutnya mengenai pola onsumsi masyarakat.

Bab empat merupakan tematik masalah yang menjadi fokus penelitian ini, yaitu mengenai pola asuh anak dan kaitannya dengan kesehatan anak, terutama persoalan gizi. Pada bab ini akan digambarkan model pengasuhan yang terjadi pada etnis Madura di lokasi penelitian dan kaitannya dengan status kesehatan anak. Pada bab ini juga peneliti mencoba memaparkan potensi positif dan potensi negatif dari pola pengasuhan anak terhadap kesehatan anak, tentunya yang berasal dari kebudayaan masyarakat setempat.

Pada bagian terakhir, peneliti berupaya menyimpulkan permasalahan pola asuh anak dan kaitannya dengan status kesehatan anak, terutama masalah gizi. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah rekomendasi intervensi yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang ada.

(21)

BAB II

ALAM DAN BUDAYA MASYARAKAT PULAU SAPUDI

2.1. Sumenep dan Sapudi Selayang Pandang.

Kabupaten Sumenep merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah administrasi Propinsi Jawa Timur. Terletak diujung timur Pulau Madura dengan posisi di antara 113°32'54"-116°16'48" Bujur Timur dan di antara 4°55'-7°24' Lintang Selatan. Kabupaten Sumenep ini merupakan wilayah yang unik dibandingkan dengan tiga kabupaten lain yang ada di Pulau Madura. Keunikan ini karena kabupaten ini mencakup wilayah daratan dan wilayah kepulauan yang cukup luas.

Di Kabupaten Sumenep terdapat 126 pulau yang tersebar di bagian Selatan dan Timurnya. Jumlah pulau berpenghuni hanya 48 pulau atau 38%, sedangkan pulau yang tidak berpenghuni sebanyak 78 pulau atau 62%. Pulau Karamian di Kecamatan Masalembu adalah pulau terluar di bagian utara yang berdekatan dengan Kalimantan Selatan dan jarak tempuhnya + 151 Mil Laut dari Pelabuhan Kalianget. Wilayah terluar dibagian timur adalah Pulau Sakala, sebuah pulau yang berdekatan dengan Pulau Sulawesi dan mempunyai jarak tempuh + 165 Mil Laut dari Pelabuhan Kalianget .

Sebagai kesatuan wilayah, Kabupaten sumenep berbatasan dengan wilayah lain. Perbatasan Sumenep dengan daerah disebelah selatan adalah Selat Madura dan Laut Bali, sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah barat dengan Kabupaten Pamekasan dan batas Sebelah Timur adalah Laut Jawa dan Laut Flores

Secara administrasi Kabupaten Sumenep terdiri dari 27 kecamatan dengan ibukota di Kecamatan Kota Sumenep. Dari 27 kecamatan tersebut terdapat 8 (delapan) kecamatan yang berada di wilayah kepulauan.

(22)

Gambar 2.1. Masjid Agung Sumenep Dokumentasi peneliti

Nama Sumenep berasal dari kata Songènèb, yang merupakan kata dari bahasa Kawi / Jawa Kuno, song dan ènèb. Kata “Song” mempunyai arti sebuah relung/cekungan/ lembah, dan “ènèb” yang berarti endapan yang tenang. Apabila diartikan lebih dalam lagi, Songènèb mempunyai arti "lembah/cekungan yang tenang". Penyebutan Kata Songènèb sendiri sebenarnya sudah popular sejak Kerajaan Singhasari sudah berkuasa atas tanah Jawa, Madura dan sekitarnya. Dalam kitab Pararaton, kata daerah "Sumenep"disebutkan oleh Sang Prabu Kertanegara pada saat menyingkirkan Arya Wiraraja, seorang penasehat kerajaan dalam bidang politik dan pemerintahan ke wilayah Sumenep, Madura Timur pada tahun 1226 M. Bunyi lengkap kalimat tersebut;

“...Hanata Wongira, babatangira buyuting Nangka, Aran Banyak Wide, Sinungan Pasenggahan Arya Wiraraja, Arupa tan kandel denira, dinohaksen, kinun adipati ring Sungeneb, anger ing Madura wetan”.

(“...Adalah seorang hambanya, keturunan orang ketua di Nangka, bernama Banyak Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja, rupa-rupanya tidak dipercaya, dijauhkan disuruh menjadi adipati di Sumenep. Bertempat tinggal di Madura timur.”)2.

2

(23)

Pada masa VOC sampai pemerintahan Kolonial Belanda, Wilayah Sumenep tidak diperintah secara langsung oleh Belanda. Hal ini tentunya berbeda dengan wilayah lainnya di wilayah Hindia-Belanda. Pada masa itu, para penguasa Sumenep diberi kebebasan dalam memerintah wilayahnya. Tapi kebebasan dalam memerintah ini masih tetap dalam ikatan-ikatan kontrak yang telah ditetapkan oleh pemerintah kolonial pada saat itu.

Sejak tahun 1883, ketika Pemerintah Hindia Belanda mulai menghapus sistem keswaprajaan, kerajaan-kerajaan di Madura termasuk di Sumenep dikelola langsung oleh Nederland Indische Regening. Pada masa itu struktur pemerintahan di Sumenep berubah menjadi keadipatian yang masuk kedalam Karesidenan Madura (Belanda; Residentie Madoera). Keadipatian Sumenep dan Karesidenan Madura menjadi satuan pembagian administratif yang pernah ada di wilayah Jawa bagian timur sampai pada masa kemerdekaan. Pada zaman Republik Indonesia Serikat, wilayah Karesidenan Madura pernah mendapatkan status sebagai negara Madura. Sejak tahun 1960 dengan dihapusnya istilah karesidenan, status pemerintahan di wilayah Madura seperti Sumenep menjadi kabupaten. Status daerah kabupaten ini sesuai dengan Keppres No. VI/1959 dan menjadikan Sumenep kembali dipimpin oleh seorang bupati. Pada saat ini yang menjabat sebagai Bupati Sumenep adalah DR.KH.A.Busyro Karim M.Si, beliau menjabat sejak tahun 2010.

Sumenep merupakan kabupaten yang memiliki wilayah daratan dan kepulauan yang sangat luas. Salah satu pulau di wilayah Kabupaten adalah pulau Sapudi atau Sapodi. Masyarakat lokal di Sumenep menyebut pulau sapudi dengan nama “Spudi” atau “Poday”. Pulau ini berjarak kurang lebih 20 mil laut dari pesisir Timur Kabupaten Sumenep.

(24)

Gambar 2.2. Peta Sumenep dan Pulau Sapudi. Sumber: Wikipedia Indonesia

Menuju ke pulau Sapudi harus ditempuh dengan mempergunakan transportasi laut. Ada 2 (dua) alternatif transportasi laut menuju ke Pulau Sapudi ini yaitu mempergunakan transportasi tradisional berupa perahu rakyat dan transportasi moderen menggunakan kapal laut atau ferry. Apabila mempergunakan angkutan tradisional harus melalui pelabuhan yang terletak di Kecamatan Dungkek. Angkutan laut tradisional ini berangkat setiap hari kecuali ada masalah cuaca seperti ombak besar atau angin kencang. Dari Dungkek kapal ini akan merapat di pelabuhan rakyat di Terebung Kecamatan Gayam atau di Sokarame Peseser di Kecamatan Nonggunong Pulau Sapudi.

Transportasi yang mempergunakan kapal laut/ferry berangkat dari pelabuhan Kalianget. Kapal laut moderen ini selain melayani rute Kalianget-Sapudi juga melayani rute pelayaran Kalianget-Raas, setelah dari Kalianget-Sapudi dan Raas kapal ini mengahiri pelayaran di pelabuhan Jangkar Situbondo. Adanya beberapa rute pelayaran ini menyebabkan penyeberangan ke Sapudi tidak bisa dilakukan tiap hari. Jadwal pelayaran dari Kalianget-Sapudi-Jangkar adalah hari Minggu dan Kamis, dimana kapal berangkat jam 08.00 WIB dari Kalianget dan merapat di pelabuhan ASDP Terebung pada jam 10.30 WIB sebelum melanjutkan perjalan menuju pelabuhan Jangkar-Situbondo.

(25)

Sementara itu jadwal pelayaran ke Kalianget dari Sapudi adalah pada hari Senin dan Kamis, dimana pada hari Senin kapal tiba di pelabuhan Terebung dari Jangkar-Situbondo pada jam 11.00-12.00 WIB sebelum melanjutkan pelayaran ke Kalianget. Pada hari Kamis, kapal tiba di pelabuhan Terebung pada jam 20.00-21.00 WIB sebelum melanjutkan pelayaran ke pelabuhan Kalianget dan tiba sekitar pukul 23.00-00.00 WIB. Kapal yang melayani rute ini adalah KMP (Kapal Motor Penumpang) Dharma Kartika yang dikelola oleh PT.Dharma Lautan Utama.

Konon, “Sapudi” berasal dari kata Sepuh Dhewe (bahasa Jawa) yang bermakna “yang paling tua”. Menurut kisah tutur Madura, dikatakan tua sendiri karena dianggap Islam masuk ke tempat ini paling awal dibandingkan di tempat-tempat lain di Madura pada umumnya dan di Sumenep pada khususnya3. Sehingga banyak tempat yang dijadikan sebagai tempat ziarah tidak hanya peziarah dari wilayah Sumenep tetapi juga dari wilayah-wilayah lain di Madura dan Jawa Timur.

Gambar 2.3. Asta Adi Poday Dokumentasi peneliti

3

(26)

Beberapa tempat yang menjadi tempat ziarah tersebut adalah Asta Blingi (Panembahan Sunan Wirokromo) dan Asta Adi Podey (Panembahan Sunan Wirobroto). Yang dimaksud dengan Asta disini adalah suatu kompleks pemakaman bagi sesepuh dan penyebar agama Islam di wilayah Sapudi dan sekitarnya dan juga keluarganya. Kompleks Makam Atau Asta Blingi berada di Dusun Koattas Desa Gendang Timur Kecamatan Gayam, adalah kompleks makam bagi Sunan Wirokromo. Menurut kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar penduduk Pulau Sapudi beliau adalah orang pertama yang menemukan serta membuka atau pembabat alas

Pulau Sapudi dan Pulau Raas.

Sementara Asta Adi Poday adalah kompleks pemakaman bagi Sunan Wirobroto dan keluarganya. Sunan Wirobroto dikenal dengan beberapa sebutan diantaranya adalah Adi Sepuh Dewe atau ada yang juga menyebut Adi Poday. Menurut kepercayaan sebagian besar masyarakat di Sapudi, beliau adalah putra dari Sunan Wirokromo. Selain dikenal sebagai penguasa Islam di Sapudi, beliau dikenal juga sebagai bapak dari Jokotole yang selanjutnya akan menjadi penguasa Sumenep. Dengan putranya ini juga Adi Poday dengan gigih mempertahankan Pulau Sapodi dari serbuan Raja Klungkung yang memimpin pasukan ekspedisi dari Pulau Bali untuk menguasai daratan Sumenep dan pulau-pulau yang ada disekitarnya. Asta Adi Poday ini terletak di daerah perbukitan di Dusun Nyamplong Desa Nyamplong kecamatan Gayam, karena dimakamkan di Nyamplong maka Sunan Wirobroto ini dikenal juga dengan sebutan Panembahan Nyamplong.

Kedua lokasi pemakaman ini paling banyak dikunjungi oleh para peziarah baik yang berasal dari Sapudi maupun luar Sapudi, terutama pada Jumat Manis (bahasa Madura) setiap bulannya. Biasanya peziarah akan mengunjungi Asta Blingi terlebih dulu karena dianggap yang lebih tua karena Sunan Wirokromo adalah orang tua dari Sunan Wirobroto. Setelah dari Asta Blingi, para peziarah baru akan berangkat ke Asta Adi Poday di Nyamplong.

Sebutan Sapudi selain berasal dari kata-kata Sepuh Dhewe, ada warga Madura menyebutnya Sapudi, diambil dari nama Adi Poday, putra tertua Sunan Wirokromo Panembahan Balinge/Blingi, yang menjadi penguasa pulau itu. Namun masyarakat Jawa menyebut Sapudi akronim

(27)

dari sapi ten pundi-pundi atau sapi di mana-mana.4 Akronim sapi ten pundi-pundi bukanlah sesuatu yang mengada-ngada atau dibuat-buat. Hal ini karena banyak orang mengenal Pulau Sapudi sebagai pulau penghasil sapi. Dari data UPT Peternakan Kecamatan Gayam dan Nonggunong pada tahun 2012 di kedua kecamatan tersebut terdapat 40.009 ekor sapi potong. 5 Setiap minggu pada hari Rabu sehabis waktu dzuhur ada kegiatan jual beli sapi yang dilakukan di Desa Pancor Kecamatan Gayam, di lokasi yang disebut masyarakat lokal sebagai pasar sapi. Kegiatan jual beli sapi ini tidak hanya dilakukan oleh peternak Kecamatan Gayam saja tetapi juga dari Kecamatan Nonggunong dengan pembeli datang tidak hanya dari Madura tetapi juga dari wilayah Jawa Timur.

Gambar 2.4. Sapi Poday

Dokumentasi peneliti

Tradisi masyarakat Sapudi untuk menernakkan sapi berasal dari kepercayaan masyarakat bahwa hewan kesayangan dari Sunan Wirokromo/Panembahan Blingi adalah sepasang sapi. Dari sepasang sapi jantan dan betina milik Sunan Wirokromo inilah konon semua sapi yang

4

Siwi Yunita C dan Adi Sucipto, “Kisah Dewa-dewi Sapi dan Juragan Sapudi”,Posted on 16 Desember 2012 oleh Pusaka Jawatimuran

5

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep, “Kecamatan Gayam Dalam Angka 2013”.

(28)

ada di Pulau Sapudi berasal dan terus beranak pinak sampai sekarang. Menurut kepercayaan masyarakat Sapudi sepasang sapi yang akhirnya dianggap dewa dan dewi sapi inilah yang menjaga populasi ternak sapi di Sapudi. Bahkan di Dusun Minumi Desa Prambanan Kecamatan Gayam terdapat situs yang disebut sebagai Gua Keramat Ratu Sapi. Gua ini dipercaya sebagai tempat tinggal dari dewa dan dewi sapi yang merupakan hewan kesayangan Sunan Wirokromo/ Panembahan Blingi.

Selama masyarakat percaya tentang keberadaan dewa dan dewi sapi di gua tersebut, jumlah sapi di Sapudi tidak akan pernah berkurang. Hal ini bisa dilihat masih banyaknya anggota masyarakat yang melakukan kegiatan ziarah dan syukuran di lokasi tersebut. Air yang berasal dari gua keramat tersebut banyak diambil untuk diminumkan atau dimandikan ke tubuh sapi peliharaan oleh pemiliknya, karena air ini dipercaya bisa membuat sapi peliharaan mereka kebal penyakit dan lebih subur dalam bereproduksi. Kepercayaan dan ritual ini tidak hanya di anut oleh masyarakat Pulau Sapudi tetapi juga masyarakat peternak di Jawa Timur. Sehingga kegiatan ziarah dan syukuran di gua keramat ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Sapudi tetapi juga oleh masyarakat yang berasal dari luar Sapudi.

Masyarakat etnis Madura yang tinggal di wilayah Pulau Sapudi adalah masyarakat Madura yang sama dengan masyarakat Madura yang tinggal di wilayah Sumenep daratan. Hal ini bisa dilihat dengan kesamaan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Sapudi dan Sumenep. Masyarakat di wilayah Sumenep dianggap sebagai masyarakat Madura yang paling asli karena wilayah Sumenep adalah wilayah yang paling sedikit terpengaruh dari kebudayaan lain dalam hal ini adalah budaya Jawa. Ini disebabkan karena posisi wilayah Sumenep yang berada di wilayah paling Timur dari Pulau Madura, sementara budaya Jawa lebih terserap disekitar wilayah Bangkalan dan Sampang sehingga dapat dikatakan kedua wilayah itu merupakan wilayah persimpangan budaya antara budaya Jawa (terutama Jawa Timuran) dengan Madura.

Pulau Sapudi memiliki luas kurang lebih 128,53 Km2. Secara administratif pemerintahan terdapat dua kecamatan yaitu Gayam dan Nonggunong. Kecamatan Nonggunong ini berada di bagian Utara dan Barat sementara Kecamatan Gayam berada di bagian Selatan dan Timur

(29)

dari Pulau Sapudi. Terdapat 8 (delapan) desa yang berada dalam wilayah Kecamatan Nonggunong, yaitu: Desa Sokarame Paseser, Sokarame Temur, Tanahmerah, Somber, Sonok, Nonggunong, Rosong dan Talaga. Ibukota Kecamatan Nonggunong adalah Desa Sokarame Peseser. Sementara itu Kecamatan Gayam yang beribukota di Desa Pancor terdiri dari 10 (sepuluh) desa, yaitu: Desa Gayam, Jambuir, Pancor, Prambanan, Gendang Timur, Gendang Barat, Karangtengah, Nyamplong, Kalowang dan Terebung. Sebelum pemekaran, di Pulau Sapudi hanya ada satu kecamatan yaitu Kecamatan Gayam.

Secara topografi mayoritas daratan di Pulau Sapudi merupakan dataran rendah dengan kemiringan kurang dari 30% berarti termasuk kategori daerah landai serta dikelilingi oleh pantai dan batu karang. Mempunyai kontur topografis yang terdiri dari tanah pesisir dan datar. Tanah pesisir umumnya terdiri dari batu karang dengan lapisan tanah yang sangat tipis sekitar 20 cm, kondisi tanah datar dan pesisir hampir sama. Disekeliling pulau terdapat banyak dangkalan dengan batu karang yang dapat melindungi pantai dari erosi gelombang laut6. Terdapat terumbu karang di wilayah pesisir di bagian Barat dan Selatan. Tapi hampir sebagian besar terumbu karang yang ada di wilayah pesisir sudah rusak, dari informasi masyarakat kerusakan terumbu karang ini disebabkan oleh adanya penggunaan bom ikan dan racun sianida yang digunakan oleh nelayan dalam menangkap ikan.

6

http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/pulau_info/4736

(30)

Gambar 2.5. Pesisir selatan Desa Prambanan Dokumentasi peneliti

Selain itu, kerusakan terumbu karang juga disebabkan oleh banyaknya masyarakat yang melakukan pengangkatan atau pengambilan terumbu karang untuk digunakan sebagai pondasi mendirikan bangunan. Selain sebagai pondasi, karang-karang tersebut digunakan sebagai bahan untuk mereklamasi wilayah pantai. Kegiatan reklamasi pantai ini banyak di lakukan di sekitar wilayah pesisir Desa Pancor yang merupakan ibukota dari Kecamatan Gayam. Maraknya kegiatan reklamasi wilayah pesisir, beberapa warga Sapudi berpendapat bahwa kegiatan ini menyebabkan daratan pulau Sapudi semakin bertambah luas. Berbeda dengan pulau-pulau lain yang luas daratannya semakin menyusut karena tergerus gelombang air laut.

Desa Prambanan merupakan desa yang memiliki wilayah terluas dibandingkan dengan desa-desa lain di Kecamatan Gayam. Luas wilayah Desa Prambanan adalah 19,04 Km2 atau sekitar 21,54% dari wilayah Kecamatan Gayam. Desa ini berbatasan dengan beberapa desa lain. Disebelah selatan berbatasan dengan Desa Pancor dan Selat Madura. Disebelah utara berbatasan dengan Desa Sonok, Kecamatan

(31)

Nonggunong. Wilayah sebelah barat desa Prambanan berbatasan dengan Desa Karang Tengah dan Gendang Timur. Sedangkan sebelah timur dibatasi oleh Selat Ra’as.

Desa Prambanan memiliki wilayah yang terluas dari desa-desa yang ada di Kecamatan Gayam. Secara administratif desa ini terdiri dari 10 (sepuluh) dusun yaitu; dusun Minumi, Sumber Jati, Blingi, Karang Nyiur, Panggung, Slat Brata, Kon Daja, Kon Laok, Prambanan dan Jambusok. Kesepuluh dusun terletak berjauhan satu sama lain dan terbagi dalam wilayah pesisir dan non pesisir. Hubungan antar desa terbatas karena tidak ada sarana transportasi umum untuk mengakses masing-masing desa. Selain itu, tidak semua dusun terjangkau oleh alat dan jaringan komunikasi. Dapat dikatakan wilayah Desa Prambanan adalah wilayah yang terpencil dan masih memiliki banyak kekurangan dalam infrastruktur

Sama seperti sejarah suatu daerah dan masyarakatnya di Indonesia, asal muasal nama dan sejarah desa ini diselimuti oleh kabut misteri yang berbaur antara sejarah, mitos dan legenda dari yang mendirikan desa. Menurut warga masyarakat, kata Prambanan berasal dari kata “karamphe’unan” yang bisa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai “keramaian yang tidak terjadi”. Sebagian warga lain menterjemahkan sebagai “sudah tidak memiliki atau mempunyai kekuasaan atau kekuatan’. Kedua arti ini berhubungan dengan peristiwa penyerbuan kerajaan Klungkung-Bali ke Sumenep dan Sapudi. Di wilayah yang sekarang menjadi Dusun Prambanan, raja Klungkung dan pasukannya berlindung dan bertahan dari serangan rakyat Sapudi yang dipimpin oleh Adi Poday dan dibantu oleh putranya Joko Tole yang kelak menjadi salah satu bupati di Sumenep. Menurut cerita, setelah kalah bertempur di lokasi yang sekarang menjadi Dusun Kaladi Desa Pancor, bahkan menurut masyarakat di Pancor nama dusun Kaladi berasal dari kalimat “kalah e die” yang berarti “kalah disini”. Seperti yang diceritakan oleh salah seorang tokoh masyarakat MW di Desa Karang Lowang.

“...nama dusun kaladi itu asalnya dari kalimat ‘kalah e die’ yang artinya kalah disini. Disekitar lokasi dusun tersebut pihak raja Klungkung dan pasukannya kalah ketika bertempur

(32)

melawan tentara rakyat Sapudi yang dipimpin oleh Adi Poday yang dibantu oleh anaknya Joko Tole..”

Setelah menelan kekalahan di Pancor,raja Klungkung dan pasukannya yang kelelahan melarikan diri ke arah Timur dan tiba di wilayah yang sekarang menjadi dusun Prambanan Desa Prambanan. Diwilayah ini raja Klungkung dan pasukannya yang kelelahan dikepung oleh Adi Poday dan pasukannya. Disekitar wilayah ini kedua pasukan bersiap untuk melakukan pertempuran terakhir. Tapi sebelum terjadi pertempuran, raja dan pasukan Klungkung yang sudah kelelahan akhirnya memilih untuk kembali ke Bali mempergunakan kapal-kapal mereka. Sementara pasukan Adi Poday yang sudah siap sedia untuk melakukan pertempuran terakhir mendapatkan keadaan bahwa lawan mereka sudah pergi kembali ke kampung halamannya.

Dari peristiwa inilah muncul dua arti kata karamphe’unan yang berbeda. Karamphe’unan yang pertama yang berarti keramaian yang tidak terjadi. Arti kata ini dilihat dari sudut pandang dari pasukan dan rakyat Sapudi yang dipimpin oleh Adi Poday. Dimana mereka sudah bersiap-siap baik fisik maupun mental untuk melakukan pertempuran terakhir yang akan menghancurkan pasukan raja Klungkung. Tetapi pertempuran tersebut tidak terjadi karena raja Klungkung dan pasukannya sudah menaiki kapal-kapal mereka dan kembali ke Bali.

“...karamphe’unan bisa berarti keramaian yang tidak terjadi. Kenapa bisa begitu..waktu itu semua pasukan Adi Poday yang dibantu putranya Joko Tole sudah bersiap mau melakukan pertempuran terakhir melawan raja Klungkung. Tapi itu tidak terjadi karena raja dan pasukan Klungkung sudah pulang kembali ke Bali....” (wawancara P. toma di Desa Prambanan)

Sementara arti karamphe’unan yang kedua, berarti ‘sudah tidak memiliki atau mempunyai kekuasaan atau kekuatan’. Makna kata ini dilihat dari konteks raja dan pasukan Klungkung yang sudah tidak berdaya karena setelah menderita kekalahan di wilayah Kaladi. Untuk menghindari kekalahan total, mereka mengundurkan diri ke arah timur menuju wilayah Karang Nyiur dan akhirnya ke wilayah yang sekarang menjadi dusun Prambanan. Ketika tiba di wilayah tersebut, raja dan

(33)

pasukan Klungkung sudah dalam kondisi kelelahan akibat kejaran Adi Poday dan pasukannya sehingga mereka tidak mampu lagi untuk bertempur. Pada akhirnya, raja dan pasukan Klungkung lebih memilih menaiki kapal-kapal mereka dan pulang ke Bali. Dari kondisi tersebut maka ada arti karamphe’unan yang berarti ‘sudah tidak memiliki atau mempunyai kekuasaan atau kekuatan untuk melawan’. Hal ini seperti yang diceritakan oleh MW, seorang tokoh masyarakat di desa Karang Lowang.

“....setelah kalah di Kaladi, raja dan tentara Klungkung melarikan diri ke arah Karang Nyiur sampai akhirnya tiba di tempat yang sekarang dusun Prambanan. Tetapi karena sudah kelelahan akibat dikejar-kejar oleh pasukan Adi Poday, ditempat itu mereka benar-benar sudah kelelahan sehingga mereka tidak punya kekuatan(untuk melawan)...”

Dari peristiwa inilah maka wilayah tersebut di abadikan oleh masyarakat Sapudi dengan menamakan wilayah tersebut menjadi

Karamphe’unan, yang karena agak sulit di ucapkan akhirnya sedikit demi sedikit berubah dan pada akhirnya menjadi Prambanan.

Gambar 2.6. Kondisi Dusun Sumberjati Desa Prambanan Dokumentasi peneliti

(34)

Kondisi alam di wilayah Prambanan lah yang mungkin menjadi salah satu pilihan dari raja dan pasukan Klungkung untuk mengundurkan diri serta mencoba bertahan sebelum akhirnya memilih untuk kembali ke Bali. Wilayah Prambanan berada di ujung Tenggara pulau Sapudi letaknya terpencil dengan dibatasi dua sisi oleh laut, di Timur oleh Selat Raas dan di Selatan Selat Madura. Sementara di daratannya kontur topografis yang berbukit-bukit rendah yang ditutupi hutan dan semak serta adanya pantai yang terlindung seperti di wilayah Sumur Tasek dan dusun Prambanan. Dari sudut pandang militer wilayah seperti ini merupakan lokasi yang ideal untuk bertahan, apalagi dijaman tersebut pertempuran dilakukan dengan saling berhadapan satu lawan satu mempergunakan senjata tajam tanpa adanya senjata api. Selain itu dengan pantai yang terlindung apabila terdesak pihak yang bertahan dapat melarikan diri melalui laut dengan kapal-kapal yang mereka miliki. Kondisi tersebut masih dapat dilihat di wilayah Desa Prambanan sampai sekarang ini. Penduduk hidup berkelompok di beberapa dusun yang tersebar di wilayah desa terpisahkan oleh hutan, persawahan, ladang atau lahan tidak produktif yang relatif luas serta sungai kecil. Bahkan di tiap dusun, kelompok rumah juga terpisah-pisah dalam kelompok pemukiman yang lebih kecil yang pada saat ini dikelompokkan dalam satu Rukun Tetangga (RT). Masing-masing rukun tetangga dalam dusun dibatasi oleh ladang milik warga masing-masing. Setiap rukun tetangga memiliki musholla untuk melakukan kegiatan keagamaan, sementara disetiap dusun terdapat satu masjid besar untuk digunakan warga untuk melakukan sholat Jumat berjamaah atau acara-acara keagamaan yang melibatkan warga dalam jumlah besar. Terkadang dalam 1 (satu) dusun memiliki 2 (dua) masjid besar, seperti di Dusun Sumberjati terdapat 2 (dua) masjid besar. Mayoritas pemukiman warga dibangun berkelompok dan berorientasi ke jalan baik jalan setapak yang menghubungkan antar dusun atau jalan desa.

(35)

Gambar 2.7. Peta desa Prambanan Dokumentasi peneliti

Dusun dihubungkan ke dusun lain dengan jalan setapak yang diperlebar, dibeberapa lokasi sudah mengalami pengerasan. Hal ini dikarenakan pada saat ini jalan tersebut tidak hanya digunakan oleh pejalan kaki tetapi juga kendaraan roda dua. Selain jalan setapak ada juga jalan aspal yang biasanya menjadi jalan penghubung antar desa. Jalan-jalan aspal maupun setapak yang menghubungi antar desa atau dusun ini dibangun melintasi hutan serta lahan pertanian milik warga.

Kondisi jalan di Desa Prambanan sama seperti di mayoritas jalan di Pulau Sapudi antara rusak ringan sampai rusak berat. Jalan dengan kondisi rusak terparah berada di wilayah Desa Prambanan yaitu jalan yang menghubungkan Dusun Karang Nyiur, Blingi dan Panggung. Jalan tersebut merupakan jalan darat yang termasuk jalan lingkar dan jalan poros yang menghubungkan Kecamatan Gayam dan Kecamatan Nonggunong.

(36)

Luasnya wilayah desa Prambanan dan kurang baiknya kualitas jalan menyebabkan sulitnya tenaga kesehatan untuk melakukan kegiatan

preventive and promotion.

Transportasi darat masyarakat Desa Prambanan sama seperti mayoritas masyarakat yang tinggal di Pulau Sapudi yaitu menggunakan kendaraan roda 2 dan kendaraan roda 4 yang kebanyakan terdiri dari mobil pick up dengan tenda di bagian belakang. Hampir setiap keluarga memiliki kendaraan motor lebih dari satu, dimana satu keluarga inti yang beranggotakan 4 orang bisa memiliki motor sebanyak dua yang masing-masing digunakan oleh kepala keluarga/bapak untuk bekerja dan ibu rumah tangga untuk berbelanja keperluan sehari-hari. Apabila ada anak yang sudah memasuki usia belajar setingkat sekolah menengah pertama biasanya sudah di belikan motor, hal ini disebabkan bukan untuk meningkatkan gengsi atau pamor keluarga tapi lebih pada kebutuhan. Karena tidak semua desa memiliki sekolah tingkat menengah pertama atau atas, jadi banyak siswa yang harus menempuh perjalanan yang relatif jauh dari desanya untuk meneruskan pendidikan lanjutannya. Selain itu karena tidak adanya angkutan umum yang reguler oleh sebab masyarakat memilih menggunakan transportasi kendaraan roda dua. Ada beberapa penduduk yang memiliki mobil pribadi.

Untuk kendaraan roda empat selain beberapa mobil pribadi banyak berlalu lalang mobil pick up yang usianya sudah cukup tua. Kendaraab ini apabila di perkotaan dianggap sudah tidak laik jalan maupun laik operasional. Kendaraan pick up ini kebanyakan digunakan untuk transportasi penduduk atau barang yang akan dibawa menuju atau kembali dari pasar. Selain kendaraan berupa mobil pick up, ada juga kendaraan niaga lain yang berupa truk yang banyak digunakan untuk mengangkut bahan galian, hasil bumi dan ternak untuk dijual di luar Sapudi.

Yang menjadi permasalan dalam pengadaan infrastruktur selain masalah rendahnya kualitas jalan di darat adalah terbatasnya akses warga terhadap sarana listrik. Listrik di wilayah Sapudi di pasok dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang dioperasikan oleh perusahaan swasta yang merupakan kontraktor dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Yang menjadi permasalahan adalah listrik tidak menyala secara penuh selama

(37)

24 jam, listrik hanya menyala selama 12 jam pada sore hari mulai jam 17.30 WIB sampai 5.00 WIB. Pada beberapa waktu terakhir masyarakat mengeluhkan sering terjadinya pemadaman listrik bergilir yang biasanya terjadi selang sehari.

Untuk menanggulangi kelangkaan listrik ini warga mempergunakan mesin genset portable untuk alternatif sumber tenaga listrik pada malam hari. Untuk warga yang tidak memiliki genset portable biasanya mempergunakan lampu minyak atau lilin untuk penerangan pada malam hari. Kelangkaan listrik pada malam hari banyak dimanfaatkan oleh warga untuk berkumpul di rumah warga yang memiliki genset untuk bersosialisasi sambil menonton acara TV bersama-sama. Kegiatan ini biasanya berlangsung setelah selesai sholat Isya dan berakhir sampai tengah malam Kegiatan bersosialisasi atau berkumpul yang sangat sulit dilakukan pada siang hari karena pada waktu tersebut warga lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja di ladang atau mencari rumput untuk ternak mereka.

Gambar 2.8. Nonton TV bersama di rumah kelebun Dokumentasi peneliti

Pada saat ini sarana komunikasi antar warga pada umumnya sudah bisa menggunakan telepon selular dengan jangkauan sinyal yang relatif baik. Untuk wilayah Desa Prambanan karena wilayah yang luas dan

(38)

kontur yang berbukit-bukit maka masih ada sebagian wilayah yang belum bisa mendapat sinyal telepon selular. Untuk menanggulangi masalah tersebut beberapa warga memasang dan menambahkan antene penguat di depan rumah mereka masing-masing agar bisa menambah kemampuan penerimaan sinyal bagi telepon selular mereka. Begitu juga untuk menerima sinyal radio dan televisi warga harus memasang penguat untuk mendapatkan siaran yang mereka inginkan. Untuk radio biasanya warga memasang antene biasa yang terbuat dari kawat untuk memperkuat sinyal sementara untuk televisi banyak warga memasang antene parabola.

2.2. Geografi dan Kependudukan

Di wilayah administrasi Kecamatan Gayam, Desa Prambanan adalah desa yang memiliki wilayah yang terluas. Selain terluas desa ini memiliki kondisi geografis yang bervariasi, yang didominasi oleh wilayah dengan kontur geografis yang berbukit-bukit rendah. Dibagian Timur dan Selatan yang berbatasan langsung dengan Selat Raas dan Selat Madura sebagian besar tebing-tebing yang langsung menjorok ke laut, sedikit sekali wilayah pesisir yang memiliki pantai yang landai di Desa Prambanan. Kondisi ini menyebabkan Desa Prambanan memiliki dusun-dusun yang berada di wilayah pesisir maupun non pesisir. Dari kesepuluh dusun yang ada di Prambanan yang merupakan dusun pesisir adalah dusun-dusun yang berada disebelah Timur desa seperti (dari Selatan ke Utara) Dusun Prambanan, Jambusok, Kon Daja, Slat Brata, Karang Nyiur dan Panggung. Sementara dusun nonpesisir adalah Dusun Konlaok, Minomi, Sumberjati dan Blingi.

Jenis lahan di wilayah Desa Prambanan terdiri dari lahan kering dan lahan sawah. Terdapat 18,484 km2 lahan kering dan 0,552 km2 lahan sawah. Mayoritas lahan sawah ini merupakan sawah tadah hujan sedangkan sisanya adalah lahan sawah dengan irigasi sederhana yang berasal dari sumber air. Lahan sawah yang memiliki irigasi sederhana yang berasal dari sumber air terdapat di dusun Karang Nyiur. Adanya pasokan air yang relatif stabil menyebabkan sawah di dusun ini bisa menghasilkan panen padi 2 kali setahun ditambah dengan 1 kali panen kacang hijau. Kecilnya luasan tanah sawah dan lahan kering yang bisa

(39)

ditanami menyebabkan lahan menjadi suatu aset yang sangat berharga. Apalagi dengan bertambahnya jumlah penduduk yang berakibat luas kepemilikan lahan perorangan semakin kecil. Hal ini menyebabkan konflik antar warga akibat masalah kepemilikan lahan merupakan hal yang relatif sering terjadi di kalangan masyarakat desa.

Gambar 2.9. Sumber mata air di Desa Prambanan. Dokumentasi peneliti

Sumber air yang berupa mata air selain digunakan sebagai sumber irigasi bagi sawah dan ladang, dipegunakan oleh warga desa untukmemenuhi kebutuhan akan air bersih untuk konsumsi dan MCK (mandi, cuci dan kakus). Mata air yang digunakan oleh warga untuk konsumsi dan kebersihan pada umumnya berasal dari air tanah (ground water) yang merembes dari tanah yang lalu menggenang dan membentuk kolam. Kolam-kolam mata air seperti ini kebanyakan terdapat di wilayah yang memiliki struktur geologi yang terdiri dari batuan karst atau kapur seperti kolam-kolam karst yang ada di dekat masjid Dusun Blingi.

Kolam-kolam ini dipergunakan sebagai sarana pengambilan air untuk konsumsi dan tempat mandi umum, dimana kolam untuk mengambil air dipisahkan dengan tembok dari kolam untuk mandi. Ada

(40)

pemisahaan bagi perempuan dan laki-laki, dimana tempat mandi perempuan letaknya lebih dekat ke sumber air sementara untuk laki-laki di dalam halaman masjid. Sumber air di tempat pemandian perempuan lebih banyak dibandingkan dengan tempat laki-laki. Hal ini dikarenakan lebih banyak aktifitas yang dilakukan di tempat mandi perempuan, dimana selain mandi biasanya perempuan mengambil air untuk konsumsi dan mencuci pakaian. Sementara di tempat laki-laki kebanyakan hanya digunakan untuk mandi saja atau mengambil air wudlu ketika hendak melakukan sholat di masjid. Selain itu juga ada beberapa kelompok warga yang lokasi tinggalnya jauh dari mata air melakukan pemipaan untuk mengalirkan air langsung dari sumbernya ke tempat tinggal mereka.

Sumber air bersih lain di wilayah Desa Prambanan berupa sumur baik sumur bor maupun gali. Untuk sumur ini biasanya digali secara gotong royong dan digunakan sebagai sumber air bersama oleh beberapa rumah tangga. Biasanya tidak jauh dari sumber air itu dibangun tempat cuci, kamar mandi dan kakus yang dipergunakan secara komunal oleh beberapa rumah tangga.

Ada beberapa dusun yang memiliki keterbatasan sumber air baik mata air atau sumur seperti di wilayah dusun Prambanan dan Jambusok. Di kedua dusun ini pada saat musim penghujan masyarakat tidak menemukan masalah karena bisa menampung air hujan dan persediaan air di sumur sangat berlimpah. Tetapi pada saat musim kering masyarakat harus mencari air ke sumber air diwilayah dusun lain yang berbatasan dengan dusun mereka.

Tabel 2.1. Luas wilayah desa dan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin.

No. Desa Luas

(Km2) Penduduk Laki-laki Perempuan Jumlah 1. Gayam 3,02 1.748 2.063 3.811 2. Jambuir 3,18 845 910 1.755 3. Pancor 12,92 3.467 3.880 7.347 4. Prambanan 19,04 2.294 2.607 4.901

(41)

5. Gendang Timur 9,89 858 1.029 1.887 6. Karang Tengah 3,50 880 953 1.833 7. Nyamplong 3,71 518 617 1135 8. Gendang Barat 13,67 1.343 1.569 2.912 9. Kalowang 9,52 1.897 2.236 4.133 10. Terebung 9,94 1.337 1.560 2.897

Sumber : Kecamatan Gayam Dalam Angka 2013

Seperti yang sudah di tuliskan dibagian sebelumnya secara administratif Desa Prambanan terdiri dari 10 dusun dan 23 rukun tetangga, dimana di masing-masing dusun terdapat 2-3 rukun tetangga. Dari data BPS Kecamatan Gayam tahun 2013, Desa Prambanan memiliki jumlah rumah tangga berjumlah 1.935 rumah tangga yang terdiri jumlah penduduk laki-laki adalah 2.294 jiwa dan perempuan 2.607 jiwa. Total jumlah penduduk adalah 4.901 jiwa, dengan luas wilayah desa seluas 19,04 km2 maka kepadatan penduduk adalah 257,41 per-km2. Tabel.2.1 diatas dapat dilihat luas wilayah masing-masing desa dan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kecamatan Gayam tahun 2013. Selain masih kurangnya berbagai fasilitas infrastruktur seperti transportasi dan listrik di wilayah Desa Prambanan.Hal yang sama berlaku juga bagi fasilitas pendidikan yang ada di Desa Prambanan.

Fasilitas pendidikan yang ada di Desa Prambanan dapat dikatakan belum lengkap, baru terdapat sarana pendidikan dasar berupa 4 (empat) sekolah dasar negri dan tidak ada sekolah lanjutan baik lanjutan pertama maupun atas. Begitu juga fasilitas pendidikan berbasis agama hanya ada 1 (satu) Madrasah Ibtidaiyah. Sementara untuk fasilitas pendidikan agama yang lain terdapat 8 (delapan) madrasah Diniyah di Desa Prambanan.

Madrasah Diniyah adalah lembaga pendidikan keagamaan yang berada di luar jalur sekolah, dimana diharapkan lembaga ini mampu secara terus menerus memberikan pendidikan agama Islam kepada anak didik yang tidak terpenuhi pada jalur sekolah yang diberikan dengan

(42)

sistem klasikal.7 Untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi siswa harus mencari di sekitar wilayah ibukota kecamatan yaitu Desa Pancor yang berjarak ±8 km dari Desa Prambanan. Kurangnya fasilitas pendidikan itu bisa menjadi salah satu faktor masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di Desa Prambanan.

Rata-rata pendidikan masyarakat di desa Prambanan berdasarkan data BPS Kecamatan Gayam pada tahu 2013 adalah setingkat Sekolah Dasar dengan jumlah 3.307 jiwa. Tapi dari hasil pengamatan dan keterangan warga, ada warga masyarakat yang dianggap hanya lulusan sekolah dasar tetapi sebenarnya setelah lulus mereka melanjutkan pendidikan ke pesantren tradisional yang fokus pengajarannya kepada penghafalan kitab suci Al Quran atau hafidz.

“....biasanya anak-anak menyelesaikan pendidikan formalnya dulu setingkat sekolah dasar atau SMP baru meneruskan ke pondok (pesantren) yang ada di wilayah Situbondo. Teman-teman saya banyak yang hanya menyelesaikan pendidikan sampai SD saja lalu melanjutkan ke pesantren yang hanya mengajarkan sistim hafidz saja....” (wawancara dengan HH toma Desa Prambanan)

Hal ini dapat terjadi karena masyarakat Desa Prambanan sama dengan masyarakat Madura yang lain adalah masyarakat yang cenderung sangat relijius. Jadi dalam hal ini masyarakat lebih mementingkan pendidikan agama dibandingkan pendidikan formal. Dari kutipan diatas bisa disimpulkan bahwa pendidikan walaupun pendidikan formalnya relatif rendah tetapi pengetahuan non formal masyarakat tidaklah rendah. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya pendidikan terutama di kalangan perempuan di Desa Prambanan adalah karena masih adanya kasus pernikahan usia dini.

“....biasanya setelah lulus sekolah dasar, temen saya ada yang langsung menikah. Saya dan teman yang lain lanjut ke pondok (pesantren) tetapi ada teman karena tidak naik kelas terus disuruh pulang dan dinikahkan....” (wawancara dengan SW, warga Desa Prambanan).

7

(43)

Dari kutipan diatas tersebut serta informasi masyarakat yang lain kasus pernikahan usia dini masih banyak berlangsung. Biasanya kedua pasangan dijodohkan oleh masing-masing orangtua atau wali dan dipertunangkan pada saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Setelah dianggap cukup umur antara 14-16 tahun untuk anak perempuan biasanya mereka langsung dinikahkan. Ada beberapa teman informan (SW) yang begitu tidak lulus ujian sekolah dasar langsung dinikahkan oleh orangtuanya. Dapat dikatakan berbagai faktor yang diceritakan diatas menjadi penyebab masih rendahnya taraf pendidikan formal masyarakat Desa Prambanan.

Menurut Kecamatan Gayam dalam Angka tahun 2013 dari 1.935 rumah tangga yang ada di Desa Prambanan 1.352 rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian. Sementara sisanya bekerja di sektor perkebunan dan perikanan. Tetapi dari hasil pengamatan dan informasi warga, banyak rumah tangga tidak hanya bekerja di satu sektor saja tetapi dua bahkan tiga sektor. Di dusun-dusun pesisir Desa Prambanan bahkan ada beberapa rumah tangga yang bergerak di sektor pertanian, peternakan dan perikanan.

“...warga di dusun ini kerjanya tidak hanya bertani, setelah selesai masa tanam sambil nunggu panen biasanya warga berangkat ke laut mencari ikan dan gurita. Diantara kedua kegiatan tersebut ada juga yang ngurus ternak baik milik sendiri maupun titipan orang...” (wawancara dengan HH toma di Desa Prambanan)

Dari hasil pengamatan kegiatan di sektor pertanian dan peternakan ini lebih banyak dilakukan tidak hanya oleh warga usia produktif tapi juga oleh warga usia lanjut. Beratnya kegiatan fisik yang dilakukan dalam kegiatan pertanian dan peternakan menyebabkan munculnya keluhan dalam masalah kesehatan. Banyak warga yang bekerja sebagai petani-peternak terutama yang sudah berusia lanjut sering mengeluhkan pegal-pegal dan sakit persendian. Karena beratnya kegiatan fisik yang dilakukan dalam ketiga sektor (pertanian, peternakan dan perikanan tangkap) ini serta ditambah semakin sempitnya lahan pertanian menjadi salah satu pendorong bagi sebagian masyarakat usia produktif yang memilih untuk menjadi pekerja migran di luar Sapudi bahkan di luar Madura seperti di Jawa, Bali dan Kalimantan. Alasan lainnya adalah kurang tersedianya lapangan pekerjaan

(44)

diluar ketiga sektor tersebut menjadi pendorong warga usia produktif untuk merantau.

2.3. Keyakinan antara Masjid dan Pusaka.

Masyarakat Madura adalah penganut Islam yang taat. Bentuk dari ketaatan pada agama Islam dalam kehidupan sehari-hari yang paling jelas terlihat adalah dengan banyaknya tempat ibadah seperti langgar, musholla dan masjid yang dibangun oleh masyarakat. Selain itu juga setiap waktu sholat hampir semua warga masyarakat menghentikan aktifitasnya dan melakukan sholat baik yang dilakukan secara berjamaah di musholla atau secara mandiri di rumah masing-masing. Selain itu juga anak-anak sejak usia dini sudah diperkenalkan dengan ajaran Islam dalam bentuk belajar mengaji di langgar milik salah satu warga. Bentuk-bentuk kegiatan ibadah tersebut merupakan perwujudan atas keyakinan kepada Tuhan yang sangat kuat, karena diyakini bahwa hanya Tuhan yang bisa memberikan keselamatan baik di dunia maupun akhirat.

(45)

Gambar 2.10. Masjid Desa Prambanan Dokumentasi peneliti

Bentuk keyakinan kepada Tuhan di wujudkan dengan dirayakannya dengan meriah setiap hari besar keagamaan. Dalam perayaan ini semua anggota masyarakat baik tua maupun muda semua dilibatkan untuk menyukseskan kegiatan tersebut. Seperti perayaan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 27 rejjbeb atau Rajab, hampir setiap malam di Desa Prambanan beberapa masjid secara bergiliran mengadakan sholawatan. Dalam kegiatan ini jamaah dari masjid yang berdekatan secara bergantian mengunjungi dan melakukan

sholawatan di mesjid tetangganya. Sementara di beberapa keluarga yang mampu dalam rangka menyambut Isra Miraj mengadakan

sholawatan dan hadran di rumah mereka sambil mengundang tetangga dan kerabat.

(46)

Gambar 2.11. Memperingati Isra Miraj Nabi Muhammad SAW Dokumentasi peneliti

Dalam pendidikanpun mayoritas warga lebih memilih pendidikan berbasis pendidikan agama bagi anak-anaknya. Biasanya anak-anak menyelesaikan pendidikan dasarnya terlebih dahulu, setelah itu ada yang langsung mengirimkan anaknya untuk belajar di pondok pesantren. Tetapi mayoritas orangtua cenderung memilih memasukkan anak-anaknya ke pondok pesantren selesai pendidikan tingkat Sekolah Lanjutan Pertama baru melanjutkan ke pondok pesantren yang memberikan model pendidikan formal dan agama. Pada umumnya anak akan memasuki pondok pesantren yang dulu menjadi tempat belajar dari orangtua mereka. Ada beberapa alasan kenapa mendidik anak di pondok pesantren lebih disukai, hal tersebut bisa dilihat dari kutipan wawancara dengan tokoh masyarakat di Desa Prambanan.

“...mengirim anak ke pondok (pesantren) biarpun di Jawa jauh lebih aman. Pergaulannya sehari-hari bisa diawasi karena tinggal di pondok dan jadwal belajarnya padat sehingga anak-anak tidak sempat keluar pondok. Anak bisa belajar mengurus diri sendiri dan diajari rasa solidaritas... Untuk biaya jauh lebih murah daripada sekolah umum”. (wawancara dengan BA, Toma di Desa Prambanan)

(47)

Dari kutipan diatas dapat dilihat bahwa ada beberapa keuntungan memasukkan anak ke pondok pesantren. Yang pertama adanya rasa aman dari orangtua akan pergaulan sosial dari sang anak. Adanya pelajaran tidak langsung dari sistem pendidikan yang jauh dari orangtua karena anak diajari untuk mandiri dan mampu mengurus diri sendiri. Selain itu ada pelajaran tidak langsung tentang rasa solidaritas. Ini disebabkan selain santri harus mengurus sendiri keperluannya sehari-hari, ada standar jumlah uang saku yang sama dan diterima oleh semua santri/santriwati. Dan yang terakhir adalah alasan ekonomi, dimana menurut informan biaya memasukkan anak ke pesantren lebih murah daripada di sekolah umum.

Hampir sama dengan masyarakat Jawa, walaupun sama-sama penganut Islam yang taat masyarakat Madura secara tidak sadar masih juga melakukan kegiatan atau perilaku keagamaan yang tidak disunahkan oleh Nabi Muhammad SAW8. Bentuk perilaku ini secara tidak sadar dipengaruhi kebudayaan setempat, sehingga memunculkan kegiatan relijius yang dipadukan dengan kepercayaan lokal seperti melakukan ziarah dan memasang sesaji di makam-makam leluhur yang dianggap keramat.

Gambar 2.12. Menyambut Isra Miraj di Gua Keramat Ratu Sapi Dokumentasi peneliti

8

Gambar

Tabel 2.1.  Luas wilayah desa dan jumlah penduduk
Gambar 2.1. Masjid Agung Sumenep  Dokumentasi peneliti
Gambar 2.2. Peta Sumenep dan Pulau Sapudi.
Gambar 2.3. Asta Adi Poday   Dokumentasi peneliti
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sistem komunikasi masyarakat dalam menghadapi kompleksitas multi etnis juga memproduksi informasi tentang kegiatan keagamaan.. Mayoritas masyarakat sapeken adalah

Ahmad Fauzi, 09210020, Eskalasi Perceraian di Lingkungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Masyarakat Kepulauan Kangean (Studi Kasus di Pengadilan Agama Kangean).. Skripsi, Al

Petugas kesehatan terutama bidan, diharapkan lebih banyak lagi untuk melakukan komunikasi, informasi dan edukasi terhadap masyarakat terutama bagi suami ibu hamil

Kegiatan edukasi ditujukan untuk meningkatkan pemahan masyarakat tentang cara-cara pengasuhan yang dapat dilakukan orang tua kepada anak dalam upaya pemeliharaan

Guna menghemat pemakaian BBM, mengurangi Emisi CO 2, dan membantu Generator Diesel dalam memenuhi kebutuhan suplai beban listrik untuk masyarakat Gili Labak

Partispan (pemilik modal, pekerja tambang, tokoh agama dan aparat desa, pelajar serta tenaga kesehatan dan kelompok perempuan) 95,67% setuju untuk mengurangi atau

Tujuan dari kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah memberikan edukasi pada orang tua wali murid TK ABA Sukodono khususnya ibu dengan tema positive parenting untuk mengoptimalkan

Masa responsif gender sangat tepat di terapkan pada anak usia dini sebagai salah satu upaya untuk memutus mata rantai budaya bias gender sejak dini juga fokus pada peran keluarga