• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV POLA ASUH, PEMBERIAN MAKAN

4.2. Pola Makan Balita

Pola konsumsi masyarakat di Desa Prambanan secara umum digambarkan dengan menu konsumsi yang sarat dengan karbohidrat dan protein, namun minim dalam konsumsi vitamin yang didapat dari sayur dan buah. Sumber utama karbohidrat masyarakat adalah nasi jagung. Tidak sulit bagi masyarakat untuk mengolah nasi jagung. Mayoritas beras dan jagung diperoleh dari hasil panen sendiri yang disimpan untuk kebutuhan makan sehari-hari. Makanan yang diolah dari beras dan jagung ini dimasak sesuai selera. Ada yang memasak dengan komposisi lebih banyak beras, ada yang lebih banyak mengandung jagung dan ada yang memasak dengan komposisi berimbang.

Sebagai daerah kepulauan dengan kekayaan hasil lautnya banyak berkontribusi memenuhi kebutuhan protein masyarakat. Ikan hasil tangkapan para nelayan merupakan sumber protein utama. Namun ketika cuaca sedang tidak bersahabat dan nelayan tidak bisa melaut, telur dijadikan sebagai pengganti ikan. Sumber protein lain seperti daging ayam dan apalagi daging sapi, jarang dikonsumsi oleh warga karena harganya relatif mahal. Walaupun Pulau Sapudi merupakan pulau penghasil sapi unggul, namun daging sapi jarang menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat di Pulau Sapudi. Kebanyakan sapi dipelihara untuk dijual bukan untuk dikonsumsi. Daging sapi dikonsumsi hanya pada waktu-waktu tertentu, seperti hari raya umat Islam atau bulan-bulan yang banyak digunakan untuk mengadakan pesta perkawinan.

Masyarakat di Desa Prambanan jarang mengkonsumsi sayur. Konsumsi sayur itupun sangat terbatas dari segi frekuensi dan jenis. Hal ini terlepas dari adanya anggapan di masyarakat bahwa jika sudah makan ikan, tidak perlu makan sayur. Sayur dikonsumsi ketika lauknya adalah telur. Keengganan untuk memasak sayur dikarenakan kaum ibu

tidak mau repot. Menyiapkan bumbu untuk memasak sayur dianggap sama repotnya dengan memasak ikan. Dari segi pembiayaan, besaran yang dikeluarkan untuk memasak sayur tidak kalah mahal dengan menyiapkan bumbu untuk memasak ikan. Kaum ibu, yang bertanggungjawab atas konsumsi pangan keluarga nampaknya lebih berorientasi pada nilai-nilai kepraktisan. Hal ini juga tidak lepas dari tanggungjawab ibu untuk kegiatan domestik. Ibu juga harus kekebun sejak pagi untuk mecari rumput ternak atau sekadar memanen hasil kebun. Aktivitas ini cukup berdampak terhadap ketersediaan waktu untuk mengolah makanan. Sehingga daripada mengolah sayur, kaum ibu lebih suka memasak ikan karena sama repotnya. Seperti yang dipaparkan informan M:

“Kalau masak sayur bumbunya kan sayang anu bumbunya mahal buat ikan saja. Sama kalau pagi-pagi itu ndak sempat (masak)”

Jenis sayur yang lazim dikonsumsi antara lain adalah kacang panjang, bayam, kangkung, dan meronggi (daun kelor). Bahan sayuran tersebut adalah tanaman lokal yang tidak perlu didatangkan dari luar pulau. Keterbatasan jenis sayur yang dikonsumsi dikarenakan bahan baku sayur yang tidak selalu ada. Tidak banyak jenis tanaman sayur yang bisa tumbuh di Desa Prambanan. Kalaupun ada, tanaman sayur tersebut sudah dalam kondisi layu dan tidak segar karena dibawa dari daerah diluar pulau, seperti dari Situbondo. Dari segi kesehatan sayur mayur yang tidak segar sudah berkurang vitamin dan zat gizi lainnya.

Masyarakat di Desa Prambanan juga jarang mengonsumsi buah. Informan M mengatakan, ia dan keluarga biasanya mengonsumsi buah paling sering seminggu sekali. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya tanaman buah yang bisa dikonsumsi dan terbatasnya pedagang yang membawa buah dari luar pulau. Jenis buah yang biasa dikonsumsi masyarakat adalah pisang, pepaya, dan mangga itupun jika sedang musim.

Pola konsumsi masyarakat seperti yang dijabarkan di atas menggambarkan pola konsumsi di tingkat keluarga. Pola konsumsi

keluarga berpengaruh terhadap asupan gizi di dalam keluarga tersebut. Asupan gizi yang tidak tepat dapat mempengaruhi status kesehatan keluarga. Kekurangan zat gizi tertentu dapat menimbulkan masalah kesehatan dalam waktu singkat maupun panjang.

Pada anak, asupan gizi yang benar merupakan hal penting dalam proses tumbuh kembang anak, terutama pada periode lima tahun pertama usia anak. Pada masa ini proses tumbuh kembang berlangsung sangat cepat disebut dengan istilah golden age. Suatu masa dimana otak berkembang sangat cepat dan akan berhenti saat anak berusia tiga tahun. Balita yang sedang mengalami proses pertumbuhan dengan pesat, memerlukan asupan zat makanan relatif lebih banyak dengan kualitas yang lebih baik dan bergizi.

Dari hasil pengamatan di Desa Prambanan masih banyak terjadi praktik pemberian makanan yang salah pada balita. Kesalahan dalam pemberian makanan bahkan sudah dimulai sejak dalam kandungan. Asupan gizi ibu selama hamil tidak optimal karena masih terdapat pantangan-pantangan untuk mengonsumsi makanan tertetu. Cumi-cumi, gurita, dan udang adalah jenis makanan yang dilarang untuk dikonsumsi oleh ibu hamil. Masyarakat mempunyai kepercayaan, apabila mengkonsumsi makanan tersebut, seorang ibu hamil akan mendapat masalah dalam proses persalinannya. Dianalogikan dengan cumi-cumi dan gurita yang senantiasa bergerak mundur saat berenang, maka ada kekhawatiran dari masyarakat bahwa disaat proses persalinan,posisi janin akan bergerak mundur menjauhi mulut rahim. Padahal ketiga jenis makanan, cumi-cumi, gurita dan udang, mengandung protein yang berguna bagi pertumbuhan bayi sejak dalam kandungan.

Sampai dengan usia 6 bulan, bayi diharapkan hanya

mengkonsumsi ASI. Pemerintah melalui puskesmas sudah

memberikan sosialisasi tentang program Inisiasi Menyusui Dini (IMD), ASI ekslusif dan pentingnya kolostrum untuk imunitas bayi. Nampaknya anjuran tersebut belum mendapat respon yang baik dari masyarakat.

Seorang ibu yang baru melahirkan tidak bisa langsung menyusui bayinya.Masyarakat percaya jika air susu yang dihasilkan beberapa saat ketika bayi lahir adalah air susu basi. Agar bayi tidak mengonsumsi kolostrum atau ASI yang dianggap basi, ibu harus membuang ASInya hingga tiga hari. Sebagai penggantinya, bayi akan diberi madu. Masyarakat di Desa Prambanan percaya jika anak bayi yang baru lahir diberi madu akan memiliki tutur-kata yang baik, dan manis seperti rasa madu. Ada juga yang beranggapan dengan diberi madu anak tumbuh menjadi anak yang sehat dan cantik.

Praktik yang salah juga terjadi pada pemberian ASI ekslusif. Menurut pengakuan beberapa informan, kebanyakan balita di Desa Prambanan mendapatkan ASI sampai usia dua tahun. Namun ketika bayi berusia 0-6 bulan dan harus mendapat ASI eksklusif, mereka sudah diberi makanan padat seperti pisang, MP-ASI, maupun nasi lengkap beserta lauk.

Kebiasaan pemberian makanan selain ASI pada anak usia 0–6

bulan berkaitan dengan persepsi bahwa bayi menangis

mengindikasikan bahwa bayi tersebut lapar dan perlu segera diberi makanan. Masalahnya, makanan yang diberikan bukan ASI melainkan makanan padat seperti biskuit bayi, pisang yang dilembutkan, nasi, sayur, ikan, telur dan makanan ringan. Padahal pada usia sampai dengan enam bulan, usus bayi belum siap untuk mencerna makanan padat. Hal tersebut akan mengganggu pertumbuhan balita. Seperti yang dikatakan informan, S yang sudah memberikan pisang sejak anaknya masih berusia satu hari:

“Pagi-pagi lahir. Malamnya itu nangis, tak kirain lapar. Dikasih mimik (ASI) gak mau trus dikerekin pisang itu langsung diam karena kenyang”

Ketika sudah disapih dan tidak lagi mendapatkan ASI, anak kemudian tidak mengenal pemberian susu pengganti. Untuk selanjutnya, makanan anak sebagai sumber asupan gizi, sama dengan apa yang dimakan oleh orang tua dan keluarganya. Selain makanan di

rumah, sejak bisa bermain dengan sebayanya, anak mulai mengenal makanan kemasan yang dijual.

Perilaku jajan semakin lazim karena akses untuk jajan sangat mudah. Banyak warga yang membuka warung yang menjual makanan ringan dalam kemasan. Ketika melihat teman seusianya membeli makanan tersebut, seorang anak akan merengek untuk membeli juga. Membeli makanan dalam kemasan sudah menjadi kegiatan harian anak balita. Mereka sudah mengerti fungsi uang dan konsep membeli. Jenis makanan yang dibeli berupa snack ringan yang harganya berkisar antara lima ratus hingga seribu rupiah. Mengapa mereka mengenal ajajan, tidak lain karena orangtua memberi ketika anak meminta uang untuk membeli jajan. Dalam satu hari, orang tua bisa mengeluarkan uang berkisar antara lima ribu hingga dua puluh ribu rupiah, seperti yang dikatakan LQ:

“Sehari jajannya dua puluh ribu. Kalau ikut kita ke warung mesti minta jajan..mbuk itu mbuk kalau ndak dikasih nanti nangis”

Memperhatikan harga jualnya, dapat dibayangkan seperti apa kualitas makanan dengan harga yang sangat murah seperti itu. Ketika dikonsumsi, yang terasa dari makanan tersebut adalah kandungan MSG dan zat pengawet. Bila dikonsumsi dalam jangka panjang, tentunya akan berpengaruh kepada kesehatan balita atau anak yang mengkonsumsinya.

Kemampuan keluarga, dalam hal ini kemampuan ibu dalam mengolah bahan pangan yang ada berpengaruh terhadap jenis dan menu makanan yang dikonsumsi oleh keluarga. Kemampuan tersebut dipengaruhi oleh tingkat ekonomi, ketersediaan bahan pangan, dan pengetahuan ibu.

Karena keterbatasan bahan, kaum ibu lebih sering mengolah makanan dengan bahan yang ada. Menu makanan sehari-hari yang dikonsumsi biasanya terdiri dari nasi, ikan digoreng dengan diberi sedikit cabai/lombok apabila sedang musim. Apabila tidak ada ikan, telur diceplok atau didadar baru dikombinasikan dengan sayur. Sayur

dimasak menjadi sayur kuah bening dengan memberi sedikit bawang. Begitu juga ikan dimasak kuning dengan bumbu seadanya.

Status gizi masyarakat secara umum memang berkaitan dengan status ekonominya. Dari segi ekonomi, masyarakat di desa Prambanan masih mengalami kesulitan. Mayoritas masyarakat masih harus mendapatkan nafkah dari hari ke hari. Hari ini dapat uang, besok habis untuk membeli kebutuhan dan mereka harus mencari lagi. Keterbatasan tersebut menyebabkan adanya keterbatasan atas jenis makanan yang dikonsumsi.

Selain kondisi perekonomian, faktor lain yang berpengaruh adalah masalah ketersediaan bahan pangan. Di Pulau Sapudi, bahan pangan seperti sayur dan buah sulit didapat karena tidak dapat tumbuh. Untuk mencukupi kebutuhan masyarakat, mayoritas sayur-mayur dan buah harus dibawa dari luar pulau. Rempah-rempah sebagai bahan dasar bumbu masakan juga didapat dari luar pulau. Wajar bila kemudian makanan masyarakat yang tinggal di Pulau Sapudi diolah dengan bumbu yang seadanya.