• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KESEHATAN MASYARAKAT

3.1. Kesehatan Ibu dan Anak

3.1.1 Kesehatan Ibu

Berdasarakan Profil Kesehatan Kabupaten Sumenep Tahun 2014, disebutkan bahwa AKI di Kabupaten Sumenep tahun 2014 sebesar 63,71 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut jauh lebih rendah dari target Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPMN) tahun 2014 yaitu sebesar 181 per 100.000 kelahiran hidup dan target MDG’s sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2015. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Sumenep berhasil dalam menekan kematian Ibu.

Gambar 3.1. Gambaran AKI di Kabupaten Sumenep Th. 2012-2014 Sumber: Profil Kesehatan Daerah Kabupaten Sumenep Tahun 2014

Dari grafik di atas terlihat, angka kematian ibu di Kabupaten Sumenep pada tahun 2012-2014 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2012, AKI mencapai 72,67 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan pada tahun 2013, angka tersebut sempat turun menjadi hanya 58,87 per 100.000 kelahiran hidup. Namun pada tahun 2014, kematian ibu meningkat lagi menjadi 63,71 per 100.000 kelahiran hidup.

Jumlah kematian maternal di Kabupaten Sumenep pada tahun 2014 tercatat sebanyak sepuluh kasus kematian ibu dengan rincian dua kematian masa hamil, satu saat bersalin dan tujuh pada masa nifas. Bluto merupakan kecamatan dengan kasus kematian terbesar, yaitu sebanyak

15

Wawancara dengan informan IM 72.67 58.87 63.71 0 20 40 60 80 2012 2013 2014

tiga kasus.16 Sedangkan di Pulau Sapudi, baik Kecamatan Gayam maupun Nonggunong tidak dilaporkan terdapat kematian ibu. Di Puskesmas Gayam, data mengenai AKI tidak ada.

Berbicara mengenai kesehatan ibu, tidak terlepas pula membahas pelayanan Antenatal Care (ANC) yang merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan profesional (dokter spesialis kandungan dan kebidanan,dokter umum, bidan dan perawat) seperti mengukur berat badan dan tekanan darah, pemeriksaan tinggi fundusuteri, imunisasi Tetanus Toxoid (TT) serta pemberian tablet besi kepada ibu hamil selama masa kehamilannya sesuai pedoman pelayanan antenatal yang ada. Pelayanan ANC menitikberatkan pada kegiatan promotif dan preventif. Hasil pelayanan antenatal dapat dilihat dari cakupan pelayanan K1 dan K4.

Cakupan K1 atau juga disebut akses pelayanan kesehatan ibu hamil merupakan gambaran besaran ibu hamil yang telah melakukan kunjungan pertama ke sarana kesehatan untuk mendapatkan pelayanan antenatal. Pada tahun 2014 target Provinsi Jawa Timur untuk cakupan pelayanan ibu hamil K1 adalah 95% dengan kondisi 4 kecamatan masih di bawah target provinsi. Kecamatan Gayam merupakan kecamatan dengan capaian terendah yakni 89%. Cakupan K1 per puskesmas di Kabupaten Sumenep Tahun 2014 dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 3.2. Cakupan K1 di Kabupaten Sumenep Tahun 2014 Sumber: Profil Kesehatan Daerah Kabupaten Sumenep Tahun 2014

Sedangkan cakupan K4 menggambarkan besaran ibu hamil yang mendapatkan pelayanan ibu hamil sesuai standar serta paling sedikit

16

Profil Kesehatan Daerah Kabupaten Sumenep Tahun 2014

89 92 94 94 95 95 95 96 96 96 96 97 97 98 98 98 99 99 99 100 100 100 101 101 103 103 105 106 111 118 123 0 20 40 60 80 100 120 140 G AY A M SA RON G G I RAA S G U LU K2 BA TU PUT IH KA LIAN G ET G APU R A MA N D IN G BA TAN G 2 BLU TO KA B.SU ME MAS ALE MBU G ILI G EN TIN G N ON G G U N KA YU ARO ARJ AS A

empat kali kunjungan, dengan distribusi sekali pada trimester pertama,sekali pada trimester kedua dan dua kali pada trimester ketiga. Target Provinsi Jawa Timur untuk cakupan pelayanan ibu hamil K4 pada tahun 2014 adalah 90% dimana terdapat 13 kecamatan yang masih di bawah target provinsi. Kecamatan Gayam termasuk kecamatan yang capaian K4 di bawah target yaitu 86%. Cakupan K4 per puskesmas diKabupaten Sumenep Tahun 2014 dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 3.3 Cakupan K4 di Kabupaten Sumenep Tahun 2014 Sumber: Profil Kesehatan Daerah Kabupaten Sumenep Tahun 2014

Kesenjangan antara cakupan K1 dan K4 terjadi karena masih banyak ibu hamil yang telah melakukan kunjungan pertama pelayanan antenatal tidak meneruskan hingga kunjungan ke-4 pada triwulan 3 sehingga kehamilannya lepas dari pemantauan petugas kesehatan17. Kondisi tersebut membuka peluang terjadinya kematian pada ibu melahirkan dan bayi yang dikandungnya. Kondisi tersebut harus diantisipasi dengan meningkatkan penyuluhan ke masyarakat serta melakukan komunikasi dan edukasi yang intensif kepada ibu hamil dan keluarganya agar memeriksakan kehamilannya sesuai standar.

Jika K1 dan K4 menggambarkan kesehatan ibu selama hamil, maka Pertolongan Linakes memberikan informasi mengenai pertolongan persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang profesional

17

Profil Kesehatan Kabupaten Sumenep Tahun 2014

74 77 80 81 81 81 83 84 85 86 86 86 87 90 90 92 92 94 95 95 95 96 96 96 97 97 98 99 100 102 104 0 20 40 60 80 100 120

(dengan kompetensi kebidanan) dimulai dari lahirnya bayi, pemotongan tali pusat sampai keluarnya placenta. Sebagaimana kita ketahui, komplikasi dan kematian ibu maternal serta bayi baru lahir sebagian besar terjadi dimasa persalinan. Hal ini antara lain disebabkan karena pertolongan persalinan yang tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan (profesional).

Jika dilihat dari cakupan persalinan linakes di Kabupaten Sumenep adalah sebesar 93,2%. Cakupan ini lebih baik dari tahun 2013 sebesar 91,25%. Cakupan tahun 2014 sudah melebihi target cakupan 90%. Tren cakupan linakes di Kabupaten Sumenep dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 3.4.

Trend Cakupan Linakes di Kabupaten Sumenep Th. 2012-2014 Sumber: Profil Kesehatan Daerah Kabupaten Sumenep Tahun 2014

Ada beberapa hal yang menyebabkan kematian ibu pada saat melahirkan maupun nifas di Kabupaten Sumenep. Penyebab pertama adalah pertolongan persalinan yang tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan, baik bidan maupun dokter. Meskipun cakupan linakes sudah melebih target, namun masyarakat terutama di daerah kepulauan masih mempercayai dukun anak sebagai penolong utama persalinan atau bahkan melahirkan sendiri di rumah dengan keluarga. Di Desa Prambanan, masih dijumpai ibu yang tidak mau ditolong bidan saat melahirkan. Misalnya yang terjadi pada salah satu informan, SW. Meskipun ayah dan ibunya adalah kader Posyandu dan bahkan memiliki hubungan baik dengan bidan desa, SW memilih melahirkan dengan dukun bayi. Ada dua alasan mengapa ia lebih memilih dukun beranak. Yang pertama karena ia merasa lebih nyaman dengan dukun beranak yang

86.95 91.25 93.2 82 84 86 88 90 92 94 2012 2013 2014

ternyata masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya. Dukun tersebut yang dia panggil mbah biasa merawat, memijit keluarga mereka jika ada sakit yang sederhana. Yang kedua, SW takut jika melihat alat-alat dan tindakan medis yang digunakan bidan. Seperti yang dituturkan.

“Takut pak..gak tau kenapa takut. Mulai dua bulan kan periksa, tapi kalau sudah enam bulan mempunyai perasaan takut (ke bidan). Percaya aja sama dukun di sini. Liat gunting-gunting itu saya takut. Bilang sama bapak, saya ndak mau lahir ke bidan. Di sini aja sama dukun. Kalau sama dukun nyaman (enak) ada diurut”.

Hal tersebut dibenarkan oleh IM, tenaga kesehatan di Desa Prambanan. Ia membenarkan jika terdapat persepsi yang salah pada ibu hamil di Desa Prambanan terhadap persalinan yang ditolong bidan. Berikut penuturan IM, bidan desa Prambanan

“Takut digunting, padahal kan gak digunting. Disini kan banyak yang takut katanya kalau lahiran ke bidan di gunting. Padahal saya gak pernah gunting. Cuma dulu tahun dua ribu berapa ya..2010, karena lama dan bayinya sudah vitalitistisnya udah gawat..Sebelumnya sama dukun”

Selain ketakutan terhadap alat medis, persoalan biaya juga menjadi masalah mengapa mereka lebih memilih dukun. Mereka takut jika melahirkan di bidan biayanya menjadi mahal, padahal saat ini persalinan sudah gratis.

Penyebab kedua adalah keterlambatan dalam pengambilan keputusan dan keterlambatan mencapai fasilitas kesehatan. Di Madura ada kecenderungan keputusan terkait persalinan ditentukan oleh keluarga besar. Hal ini terjadi karena terkait biaya selama proses persalinan mulai dari sewa mobil, hingga perahu jika dirujuk dari kepulauan ke RSUD di daratan. Proses tersebut menyebabkan terlambatnya pertolongan persalinan, sehingga pasien sampai di tenaga kesehatan sudah dalam kondisi memburuk. Dari kepulauan menuju RSUD yang ada di daratan kadang terhambat oleh masalah angin dan ombak bila cuaca sedang tidak bersahabat.

“Itu juga yang kadang buat terlambat. Misalnya apa ya sudah saya bilang rujuk sekarang. Suaminya sudah mau, tetapi

kakak-adik, keluarga besarnya belum mau merujuk karena itu (biaya)”

(Hasil wawancara dengan IM, nakes Desa Prambanan)

Ketiga, merupakan penyebab langsung yang berkaitan dengan kondisi ibu, misalnya anemia. Dari hasil pengamatan, di Pulau Sapudi mayoritas perempuan juga pergi ke ladang untuk bertani atau ikut mencari pakan untuk ternak. Pada masyarakat Madura di Pulau Sapudi, masih terdapat pantangan mengkonsumsi makanan tertentu pada masa kehamilan, melahirkan, nifas, dan menyusui. Pantangan-pantangan makanan menyebabkan asupan gizi ibu selama masa penting tersebut tidak maksimal. Seperti yang dipaparkan informan SW yang memiliki satu putra berumur tiga belas bulan:

“Kalau pas hamil enak semua dimakan kecuali cumi-cumi. Nanti susah lahirannya ari-ari mundur kayak cumi-cumi. Kalau kepingin banget curi-curi kalau ndak ditegur nanti (sama orangtua)” (hasil wawancara dengan ibu SW warga desa Prambanan)

Hal serupa juga dikatakan oleh informan yang lain. Hal ini dapat dibaca dalam kutipan di bawah ini;

“Kalau hamil gak boleh makan cumi, gurita, dan udang. Karena takut masuk (anaknya). Nanti kan keluar (anaknya), dalem lagi. Keluar (anaknya) masuk lagi, lama gitu lahirnya. Kalau kepingin banget ya curi-curi” (Hasil wawancara dengan ibu LQ, warga desa Prambanan)

Informan LQ pada saat melahirkan anak pertamanya tiga tahun lalu juga mengalami pantangan makanan selama masa nifas. Ketika ditanya mengapa ada pantangan untuk mengkonsumsi beberapa makan tertentu seperti cumi-cumi dan udang yang merupakan sumber protein yang tinggi. Tidak semua informan bisa menjelaskan sebab dari pantangan tersebut seperti yang dikatakan oleh informan LQ bahwa sebagai orang desa, dia ikut saja apa kata orang.

Sementara itu ada informan lain yang percaya bahwa apabila mengkonsumsi hewan seperti Cumi-cumi atau udang akan menyebabkan sulitnya proses persalinan. Hal ini dikarenakan adanya kepercayaan

apabila mengkonsumsi kedua jenis hewan laut ini pada saat menjelang kelahirannya posisi bayi tidak turun mendekati mulut vagina tetapi semakin masuk ke dalam. Sebagian masyarakat yang masih percaya pada pantangan ini mengatakan bahwa hal itu bisa terjadi karena binatang laut seperti cumi-cumi dan udang apabila berenang selalu dalam posisi mundur. Jadi ada kepercayaan dari sebagian masyarakat bahwa sifat dari hewan tersebut akan berpengaruh pada bayi yang sedang dikandung apabila jenis hewan laut ini dikonsumsi oleh ibu hamil.

Pantangan makan lain yang merupakan sumber protein selain ikan adalah tidak boleh memakan ayam dan daging. Sebagian masyarakat masih percaya apabila dengan mengkonsumsi akan menyebabkan luka basah dan luka bekas melahirkan susah kering. Informan LQ selama beberapa hari pasca melahirkan, hanya makan nasi dengan kerupuk. Hal yang sama juga dipaparkan oleh IM, tenaga kesehatan di Desa Prambanan.

“Kebiasaannya kalau disini biasanya kalau hamil ndak boleh makan cumi. Katanya kalau melahirkan susah karena plasentanya nanti mundur, seperti cumi. Terus kalau habis melahirkan sebelum plasenta keluar tidak boleh dikasih minum, nanti meninggal. Terus ketika nifas ndak boleh makan ayam nanti basah”.

(wawancara dengan IM, nakes Desa Prambanan)