Sediaan Otik Sediaan Otik
Telinga terbagi menjadi bagian luar, tengah dan dalam. Telinga luar terdiri dari pinna atau Telinga terbagi menjadi bagian luar, tengah dan dalam. Telinga luar terdiri dari pinna atau aurikula, yaitu daun kartilogo yang menangkap gelombang bunyi dan menyalurkannya ke kanal aurikula, yaitu daun kartilogo yang menangkap gelombang bunyi dan menyalurkannya ke kanal auditori eksternal (meatus), suatu lintasan sempit yang panjangnya sekitar 2.5 cm merentang dari auditori eksternal (meatus), suatu lintasan sempit yang panjangnya sekitar 2.5 cm merentang dari aurikula sampai membran timpani. Membran timpani (gendang telinga) adalah pembatas telinga aurikula sampai membran timpani. Membran timpani (gendang telinga) adalah pembatas telinga tengah.
tengah.
Membran timpani berbentuk kerucut, permukaan eksternalnya dilapisai kulit dan Membran timpani berbentuk kerucut, permukaan eksternalnya dilapisai kulit dan permuakaan
permuakaan internalnya internalnya dilapisi dilapisi membran membran mukosa, mukosa, membran membran ini ini memisahkan memisahkan telinga telinga luar luar dandan telinga tengah, memiliki tegangan, ukuran dan ketebalan yang sesuai untuk menggetarkan telinga tengah, memiliki tegangan, ukuran dan ketebalan yang sesuai untuk menggetarkan gelombang bunyi secara mekanis. Telinga tengah terletak di rongga berisi udara dalam bagian gelombang bunyi secara mekanis. Telinga tengah terletak di rongga berisi udara dalam bagian petrosus
petrosus tulang tulang temporal. temporal. Turba Turba eustachius eustachius (auditori) (auditori) menghubungkan menghubungkan telinga telinga tengah tengah dengandengan faring. Turba yang biasanya tertutup dapat terbuka saat menguap, menelan, atau mengunyah. faring. Turba yang biasanya tertutup dapat terbuka saat menguap, menelan, atau mengunyah. Saluran ini berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani. Saluran ini berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani.
Sediaan otik,
Sediaan otik, kadang kadang dinamakans ebagai sediaan telinga ataus ediaan :aural”.kadang kadang dinamakans ebagai sediaan telinga ataus ediaan :aural”. Sediaan telinga biasanya ditempatkan pada kanal telinga untuk menghilangkan serumen (malam Sediaan telinga biasanya ditempatkan pada kanal telinga untuk menghilangkan serumen (malam kuping, tahi kuping) atau untuk pengobatan infeksi, inflamasi atau nyeri telinga. Karena telinga kuping, tahi kuping) atau untuk pengobatan infeksi, inflamasi atau nyeri telinga. Karena telinga terluar ditutup oleh strukutr kulit dan berperilaku seperti kondisi dermatologi lain seperti halnya terluar ditutup oleh strukutr kulit dan berperilaku seperti kondisi dermatologi lain seperti halnya permukaan tubuh, kondisi kulit diobati menggunakan beranek ragam sediaan dermatologi.
permukaan tubuh, kondisi kulit diobati menggunakan beranek ragam sediaan dermatologi. dikutip dari: Sediaan Farmasi Steril
Farmasetika_Laporan Guttae
Farmasetika_Laporan Guttae
Auriculares
Auriculares
BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN I.1I.1 Latar Latar BelakangBelakang
Kemajuan ilmu pengaetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan yang semakin Kemajuan ilmu pengaetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan yang semakin pesat, menuntut farmasis untuk selalu mengembangkan pembuatan obat dan pesat, menuntut farmasis untuk selalu mengembangkan pembuatan obat dan formulasi sediaan obat. Peningkatan kualitas obat dan efisiensi dalam pembuatan formulasi sediaan obat. Peningkatan kualitas obat dan efisiensi dalam pembuatan merupakan hasil
merupakan hasil yang ingin dicapai yang ingin dicapai dari pengembangan cara pembuatan dari pengembangan cara pembuatan dan caradan cara formulasi suatu sediaan obat sehingga dapat lebih diterima dan sesuai dengan formulasi suatu sediaan obat sehingga dapat lebih diterima dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
kebutuhan masyarakat.
Dalam pengembangan obat tersebut dibuatlah sedbua sediaan yang ditunjukkan Dalam pengembangan obat tersebut dibuatlah sedbua sediaan yang ditunjukkan untuk telinga berdasarkan adanya gangguan pada telinga yakni berupa untuk telinga berdasarkan adanya gangguan pada telinga yakni berupa penyumbatan akibat kotoran telinga, infeksi dan lain-lain. Sediaan telinga penyumbatan akibat kotoran telinga, infeksi dan lain-lain. Sediaan telinga kadang-kadang dikenal sebagai sediaan otic atau aural. Sediaan-sediaan yang digunakan kadang dikenal sebagai sediaan otic atau aural. Sediaan-sediaan yang digunakan pada permukaan luar telinga, hidung, rongga mulut termasuk macam-macam dari pada permukaan luar telinga, hidung, rongga mulut termasuk macam-macam dari sediaan farmasi dalam bentuk larutan, suspense dan salep yang semuanya dibuat sediaan farmasi dalam bentuk larutan, suspense dan salep yang semuanya dibuat dalam keadaan steril sehingga disebut dengan sediaan steril. Tujuannya untuk dalam keadaan steril sehingga disebut dengan sediaan steril. Tujuannya untuk memperlihatkan lebih dekat tipe-tipe bentuk sediaan yang digunakan dengan tempat memperlihatkan lebih dekat tipe-tipe bentuk sediaan yang digunakan dengan tempat pemakaiannya dan untuk menentukan dari komponen dalam formulasi (Ansel, pemakaiannya dan untuk menentukan dari komponen dalam formulasi (Ansel, 2005).
2005).
Guttae atau obat tetes merupakan salah satu dari bagian sediaan farmasi Guttae atau obat tetes merupakan salah satu dari bagian sediaan farmasi yang termaksud ke dalam sediaan steril. Guttae adalah sediaan cair berupa larutan yang termaksud ke dalam sediaan steril. Guttae adalah sediaan cair berupa larutan emulsi atau suspensi yang dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar digunakan emulsi atau suspensi yang dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar digunakan dengan cara meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara dengan cara meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara dengan tetesan yang dihasilkan penetes baku yang disebutkan dalam Farmakope dengan tetesan yang dihasilkan penetes baku yang disebutkan dalam Farmakope Indonesia. Guttae atau obat tetes sendiri terdiri dari guttae atau obat tetes yang Indonesia. Guttae atau obat tetes sendiri terdiri dari guttae atau obat tetes yang digunakan untuk obat luar dilakukan dengan cara meneteskan obat ke dalam digunakan untuk obat luar dilakukan dengan cara meneteskan obat ke dalam makanan atau minuman. Kemudian guttae oris atau tetes mulut, guttae auriculars makanan atau minuman. Kemudian guttae oris atau tetes mulut, guttae auriculars atau tetes telinga, guttae opthalmicae atau tetes mata dan guttae nasals yaitu tetes atau tetes telinga, guttae opthalmicae atau tetes mata dan guttae nasals yaitu tetes hidung.
Dari semua obat tetes hanyalah obat tetes telinga yang tidak menggunakan air sebagai zat pembawanya. Karena obat tetes telinga harus memperhatikan kekentalan. Agar dapat menempel dengan baik kepada dinding telinga. Guttae auriculars ini sendiri merupakan obat tetes yang digunakan untuk telinga dengan cara meneteskan obat ke dalam telinga. Zat pembawanya biasanya menggunakan gliserol dan propilenglikol. Bahan pembuatan tetes telinga harus mengandung bahan yang sesuai untuk mencegah pertumbuhan atau memusnahkan mikroba yang masuk secara tidak sengaja bila wadah dibuka pada waktu penggunaan dikatakan bersifat bakteriostatik.
Jika terkena cahaya matahari atau cahaya yang lainnya akan merusak sediaan tetes telinga tersebut. Karena guttae auriculars ini merupakan salah satu sediaan obat dalam bidang farmasi. maka seorang farmasis wajib mengetahui bagaimana cara pembuatannya dan bagaimana pula cara pemakaiannya.
BAB II FORMULA II.1 Master Formula
Tiap 10 mL mengandung R/ Kloramfenikol 1 gram Propylenglikol ad 10 mL
II.2 Kelengkapan Resep
Dr.ReskyPratama SIP. 08/056/2010 Jl.
Telp
No.05 Tanggal 19 November 2012
R/ Khloramphenicol 1 g
Propilenglikol ad 10 mL
da 60 mL
Pro : Mawar Umur : 20Tahun
Menurut Formularium Nasional Edisi II hal. 64. CHLORAMPHENICOLI GUTTAE AURICULARES
( tetes telinga kloramfenikol ) Komposisi : Tiap 10 mL mengandung :
Chloramfenicol 1 g Propilenglicol ad 10 mL
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik Catatan : 1. Pada etiket harus tertera daluwarsa
2. Sediaan berkekuatan lain 500 mg
II.3 Alasan Penggunaan Bahan II.3.1 Penggunaan Bahan Aktif
Kloramfenikol merupakan zat aktif yang digunakan pada pembuatan obat.Dalam sediaan tetes telinga yakni berkhasiat sebagai antibiotik (zat-zat yang digunakan untuk menghambat atau membunuh mikroorganisme) tetapi dalam pembuatannya zat ini tidak boleh terlalu banyak karena efeknya sangat fatal yakni terjadi iritasi. Kloramfenikol merupakan antibiotik spektrum luas. Kloramfenikol berhubungan dengan gangguan darah yang serius sebagai efek yang tidak diinginkan sehingga harus disimpan untuk pengobatan infeksi berat, terutama yang disebabkan
hemofilus influenza dan demam tifoid.
II.3.2 Penggunaan Bahan Tambahan
Propylenglikol merupakan zat tambahan yang berguna sebagai pelarut dari
kloramfenikol, selain sebagai pelarut yang umum dalam pembuatan sediaan tetes telinga. Propylenglikol juga digunakan karena kloramfenikol sukar larut dalam air sehingga digunakan propylenglikol sebagai pelarut.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1 Landasan teori
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, larutan tetes telinga atau larutan otic adalah larutan yang mengandung air atau gliserin atau pelarut lain dan bahan pendispersi, untuk penggunaan pada telinga luar misalnya larutan otic benzokain dan antipirin, larutan otic neomisin dan polimiskin sulfat dan larutan otic hidrokortison.
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III Guttae auriculars atau tetes telinga adalah obat tetes yang digunakan untuk telinga dengan cara meneteskan obat ke dalam telinga. Kecuali dinyatakan lain, tetes telinga dibuat menggunakan cairan pembawa bukan air. Cairan pembawa yang digunakan harus mempunyai kekentalan yang cocok agar obat mudah menempel pada dinding telinga, umumnya digunakan gliserol dan propylenglikol. Dapat juga digunakan etanol 90%, heksilenglikol dan minyak nabati. Zat pensuspensi dapat digunakan sorbitan, polisorbat atau surfaktan lain yang cocok. Keasaman-kebasaan kecuali dinyatakan lain pH 5,0 –6,0
penyimpanan, kecuali dinyatakan lain dalam wadah tertutup rapat. Cara penggunaan dari tetes telinga, yaitu :
Cuci tangan
Berdiri atau duduk depan cermin Buka tutup botol
Periksa ujung penetes dan pastikan tidak pecah atau patah
Jangan menyentuh ujung penetes dengan apapun usahakan tetap bersih Posisikan kepala miring dan pegang daun telinga agar memudahkan memasukkan sediaan tetes telinga.
Pegang obat tetes telinga dengan ujung penetes di bawah sedekat mungkin dengan lubang telinga tetapi tidak menyentuhnya
Perlahan-lahan tekan botol tetes telinga sehingga jumlah tetesan yang diinginkan dapat menetes dengan benar pada lubang telinga.
Diamkan selama 2-3 menit
Bersihkan kelebihan cairan dengan tisu
Tutup kembali obat tetes telinga, jangan mengusap atau mencuci ujung penutupnya.
Komposisi pada sediaan steril tetes telinga yakni sebagai berikut (Syamsuni, 2006). Zat aktif, misalnya neomisin, klorampenikol, gentamycin sulfat dan lain-lain.
Zat tambahn bukan air, misalnya :
Antioksidan : alfa tokoferol, asam ascorbat, Na-Disulfida, Na-Bisulfit Pengawet : Klorbutanol (10,5 %) dan kombinasi paraben
Pensuspensi : Span dan Tween
Zat aktif yang digunakan untuk sediaan tetes telinga biasanya adalah sebagai berikut (Ansel, 1989)
Untuk melunakkan kotoran telinga, misalnya : minyak mineral encer, minyak nabati, asam peroksida.
Sebagai antiinfeksi, misalnya : kloramfenikol, neomisin, kolistin fosfat, polimiksin B sulfat, gentamicyn
Sebagai aniseptik dan anestesi, misalnya : fenol, AgNO3, lidokain HCl, dan benzokain.
Sebagai antiradang, misalnya : hidrokortison dan deksametazone, natrium fosfat Untuk membersihkan telinga, misalnya : spiritus
Evaluasi yang dilakukan untuk sediaan steril tetes telinga adalah : Uji organoleptis : bau, warna dan rasa
Uji kejernihan
Uji pH : pH standar untuk tetes telinga adalah 5,5-6,5
III.2 Uraian Bahan
Kloramfenikol (FI edisi III Hal 143) Nama resmi : CHLORAMPHENICOLUM
Sinonim : Kloramfenikol
Rumus molekul : C11H12Cl2N2O5
Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng, memanjang, putih hingga putih kelabu atau putih kekuningan, tisak berbau, rasa sangat pahit. Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 400 bagian air, dalam 2,5 bagian etanol (95%) p dan dalam 7 bagian propilenglikol p, sukar larut dalam kloroform p dan dalam eter p.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
Penggunaan : Antibiotikum yaitu zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang berkhasiat untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme atau secara spesifik berguna sebagai bakteriostatik atau bakteiosid.
Propilenglikol (FI edisi III Hal 534)
Nama resmi : PROPYLENGLYCOLUM Sinonim : Propilenglikol
Pemerian : Cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, rasa agak manis, higroskopik
Kelarutan : Dapat campur dengan air, denganb etanol (95%) p dan dengan
kloroform p, larut dalam 6 bagian eter p, tidak dapat campur dengan eter minyak tanah p dan dengan minyak lemak
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Penggunaan : Zat tambahan, pelarut dari kloramphenikol.
BAB IV
METODE KERJA
IV.1. Alat dan Bahan
IV.1.1 Alat yang digunakan
Batang Pengaduk Cawan porselin Gelas kimia 50 mL Gelas Ukur 25 mL Kaca arloji Timbangan Digital Sendok Tanduk
Wadah Tetes Telinga 10 mL
IV.1.2 Bahan yang digunakan
Kertas perkamen
Kloramphenikol 2 gram Propilenglikol ad 10 mL
IV.2 Perhitungan / Penimbangan Bahan
Kloramfenikol = 1 gram
Di lebihkan 5 % = 5/100 x 1 gram = 0.05 gram Jadi yang ditimbang = 1 gram + 0.05 gram = 1,05 gram
Untuk 60 mL (6 botol) = (1,05 gram)/(10 mL) x 60 mL = 6,3 gram
Propylenglikol = 10 mL
Di lebihkan 5 % = 5/100 x 10 mL = 0.5 mL
Jadi yang ditimbang = 10 mL + 0.5 mL = 10,5 gram Untuk 60 mL (6 botol) = (10,5 mL)/(10 mL) x 60 mL
= 63 mL = 63 -6.3 mL = 56.7 mL
IV.3 Cara Kerja
Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
Sterilisasi alat yang akan digunakan di autoklaf 121oC selama 15 menit. Digerus kloramfenikol lalu diayak dan di timbang sebanyak 6,3 gram di gelas kimia lalu dibungkus dengan perkamen, kemudian disterilisasi di oven selama 1 jam pada suhu 1150 C. kemudian di timbang sebanyak 10,5 gram
Ukur Propilenglikol 10,5 mL menggunakan spoit
Kemudian masukkan kloramfenikol di cawan porselin, lalu campur dengan Propilenglikol sedikit demi sedikit sampai homogen.
Setelah itu masukkan dalam wadah dengan menggunakan spoit, setelah disterilisasi dengan sterilisasi C, dengan menggunakan Filtrasi atau Filter dari diameter zat ke dalam botol/wadah tetes telinga.
Beri etiket, brosur dan kemasan
BAB V PEMBAHASAN
Pada praktikum ini, kami melakukan percobaan yaitu membuat guttae auriculares atau obat tetes telinga. Sebagaimana telah diketahui definisi guttae auriculares
adalah obat tetes yang digunakan untuk telinga dengan cara meneteskan obat ke dalam telinga. Obat tetes telinga ini dibuat menggunakan cairan pembawa bukan air tetapi menggunakan propilenglikol. Dalam praktikum ini pembawa yang digunakan
adalah propilenglikol, karena pemeriannya yang kental lebih me mungkinkan kontak yang lama antara obat dengan jaringan telinga. Dan juga sebagai zat tambahan karena sifat higroskopiknya memungkinkan menarik kelembaban dari jaringan telinga sehingga mengurangi peradangan dan membuang lembab yang tersedia untuk proses kehidupan mikroorganisme yang ada. Bahan pembuatan tetes telinga harus mengandung bahan yang sesuai untuk mencegah pertumbuhan atau
memusnahkan mikroba yang masuk secara tidak sengaja saat wadah dibuka pada waktu penggunaan atau dikatakan bersifat bakteriostatik. Dalam hal ini
kloramfenikol yang menjadi zat aktif yang berfungsi sebagai antibiotik spektrum luas.
Sebelum melakukan praktikum terlebih dahulu dilakukan sterilisasi pada semua alat dan bahan yang akan digunakan, tujuannya agar alat dan bahan yang kita gunakan dalam keadaan steril dan bebas dari mikroba yang bersifat patogen. Alat yang digunakan adalah batang pengaduk, gelas kimia, dan botol (wadah) untuk sediaan. Alat-alat tersebut disterilkan dengan cara sterilisasi A yakni dengan
menggunakan uap air bertekanan dengan suhu dan waktu yang telah ditentukan. Sterilisasi cara A ini dilakukan di dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210C atau pada suhu 1150C selama 30 menit. Sedangkan bahan yang disterilkan adalah kloramfenikol dengan teknik sterilisasi cara D yakni sterilisasi panas kering atau menggunakan oven dan kloramfenikol ini disterilkan pada suhu 1150C selama 1 jam. Sebaiknya sebelum dilakukan sterilisasi kloramfenikol ini di gerus lalu diayak
agar partikel-partikelnya menjadi lebih kecil dan pada saat dicampurkan dengan pembawa, kloramfenikol ini bisa larut dengan sempurna sehingga bebas dari bahan yang tidak larut serta bebas partikel kasar yang dapat menyebabkan infeksi pada telinga pada saat pemakaian tetes telinga. Lalu kemudian di timbang sesuai dengan kebutuhan. Setelah itu, barulah dilakukan sterilisasi. Setelah dilakukan sterilisasi, bahan ditimbang sebanyak 1,05 gram lalu dimasukkan ke dalam gelas kimia kemudian ditambahkam dengan propilenglikol sambil diaduk hingga klomfenikol larut. Setelah itu dimasukkan dalam wadah botol yang berwarna gelap agar terlindung dari cahaya.
Sebelum wadah botol tetes telinga diberi etiket, brosur dan dikemas, terlebih dahulu kita lakukan uji pemeriksaan hasil sediaan atau evaluasi. Pertama yang kita lakukan yaitu uji pH, dimana pH tetes telinga harus sesuai dengan Farmakope yaitu 5,5 –6,5 dengan menggunakan pH meter. Kedua yaitu uji kejernihan, uji ini bertujuan agar obat tetes telinga yang kita buat dapat jernih dan bebas dari bahan yang tidak larut serta bebas partikel kasar yang dapat menyebabkan infeksi pada telinga pada saat pemakaian tetes telinga.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Muhammad. 2000. ILMU MERACIK OBAT TEORI DAN PRAKTEK. Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Ansel, Howard. 1989. PENGANTAR BENTUK SEDIAAN FARMASI. Jakarta : UI Press
Annonim. 1978. FORMULARIUM NASIONAL EDIS II. Jakarta : Depkes RI Anonim. 1979. FARMAKOPE INDONESIA EDISI III. Jakarta : Depkes RI. Anonim. 1997. FARMAKOPE INDONESIA EDISI IV. Jakarta : Depkes RI
Syamsuni. 2006. ILMU RESEP. Jakarta : EGC <br /></div>
Diposkan oleh unnack' iffah di 05.52
PEMBUATAN SEDIAAT TETES TELINGA
I. TUJUAN
A. Mahasiswa mampu membuat sediaan tetes telinga Lidokain HCl.
B. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi terhadap sediaan tetes telinga Lidocaine HCl.
C. Mahasiswa mampu membuat kemasan sekunder, brosur, dan etiket. II. FORMULASI
A. Formula Standart
PHENOLI GUTTAE AURICURALES Tetes Telinga Fenol
Komposisi, Tiap 10 g mengandung: Phenolum liquidum 800 mg
Glycerolum hingga 10 g
Penyimpanan, dalam wadah tertutup rapat(1) B. Formula Modifikasi
Lidocain Hcl 1%
Metil paraben 1%
Gliserin ad 10 mL
III. TANGGUNG JAWAB
A. Nurul Fatimah selaku praktikan yang bertanggung j awab atas pelaksanaan prosedur tetap ini.
B. Octariana S, selaku supervisor dalam pelaksanaan prosedur tetap in i. IV. DEFINISI
Guttae Auriculares atau tetes telinga adalah obat tetes yang digunakan untuk telinga dengan cara meneteskan obat ke dalam telinga. Kecuali dinyatakan lain, tets telinga dibuat menggunakan cairan pembawa bukan air. Cairan
pembawa yang digunakan harus mempunyai kekentalan yang cocok agar obat menempel pada dinding telinga, umumnya digunakan gliserol dan propilenglikol, dapat juga digunakan etanol, heksilenglikol, dan minyak nabati. Zat pensuspensi dapat digunakan sorbitan, polisorbat, atau surfaktan lain yang cocok(2).
Tetes telinga merupakan larutan zat aktif dalam air atau dalam pembawa lain yang digunakan dengan meneteskan ke dalam lubang telinga. Penggunaan obat tetes telinga untuk antibiotik (chlorampheicol), melunakan malam (hidrogen peroksida, natrium bikarbonat), membersihkan telinga setelah pengobatan (spiritus), menger ingkan permukaan dalam telinga yang berair (astringen, alumunium asetat), dan antiseptik serta anestesi (fenol)(3).
A. Lidokain HCl
Sinonim : Lidocaini Hyrochloridum, Lignokain Hidroklorida(4). Rumus molekul : C14H12N2O.HCl.H2O BM 288,82
Pemerian : Serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit (4). Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan dalam etanol, larut dalam kloroform, tidak larut dalam eter (4).
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik(4).
Fungi : Sebagai zat aktif, yaitu berkhasiat sebagai antiseptik dan anastetik lokal.
Sinonim : Metil p-hidroksibenzoat (4). Rumus molekul : C8H8O3(4)
Pemerian : Hablur kecil, tidak berwar na atau serbuk hablur, putih, tidak berbau atau ber bau khas lemah, mempunyai sedikit rasa terbakar(4).
Kelarutan : Sukar larut dalam air,dalam benzena, dan dalam karbon tetraklorida. Mudah larut dalam etanol dan dalam eter(4).
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik(4).
Fungsi : Sebagai pengawet sediaan tetes t elinga yang dibuat. C. Gliserin
Rumus molekul : C3H8O3(4). Sinonim : Glycerolum(4).
Pemerian : Cairan jernih seperti sirup, tidak berwarna; rasa manis; hanya boleh berbau khas lemah (tajam atau tidak enak). Higroskopik, netral terhadap lakmus(4).
Kelarutan : Dapat bercampur dengan air dan dengan etanol, tidak larut dalam kloroform, dalam eter, dalam minyak lemak dan dalam minyak menguap(4).
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat(4).
Fungsi : Sebagai pembawa/pelarut untuk Lidokain HCl. V. PELAKSANAAN
A. Metode Sterilisasi
Sterilisasi akhir menggunakan metode sterilisasi A, yaitu pemanasan dalam otoklaf. Sediaan yang akan disterilkan diisikan ke dalam wadah yang cocok, kemudian ditutup kedap. Jika volume dalam tiap wadah tidak lebih dari 1000 ml, sterilisasi dilakukan dengan uap air jenuh pada suhu 115° sampai 116° selama 30 menit(1).
B. Alat dan Bahan Alat: Cawan porselen
Corong Gelas beker Mortir
Pengaduk Pipet tetes Sendok Stamper Bahan: Lidocain HCl Gliserin Timerosal C. Prosedur Kerja 1. Sterilisasi Alat Alat Sterilisasi Cawan porselen Corong Gelas beker Mortir Pengaduk Pipet tetes Sendok Stamper Oven Oven Autoklaf Autoklas Oven Oven UV Autoklaf
2. Perhitungan dan Penimbangan Lidocain HCl = 1 % = 1 g/100 mL = 100 mg/10 mL Penimbangan = 100 mg Metil paraben = 1 % = 1 g/100 mL = 100 mg/10 mL Penimbangan = 100 mg
Gliserin ad 10 mL = 10 g – (0,1 + 0,1) g = 9,8 g
= 9,8 mL
Penimbangan = 9,8 g
3. Cara Kerja
Black area: semua alat yang akan disterilkan dibungkus dengan kertas perkamen untuk autoklaf dan dengan almunium foil untuk oven
Alat dimasukkan ke grey area melalui pass box
Dalam ruang antara memakai jas lab, tutup kepala, dan sarung kaki
Grey area: Masing-masing alat disterilkan. Gelas beker, mortir, stamper, spatula, karet penutup vial, dan karet pipet tete s disterilisai di autoklaf pada suhu121oC selama 15 menit. Corong, pengaduk, pipet tetes, dan cawan porselen disterilisasi
menggunakan oven pada suhu 170oC selama 30 menit. Grey area: menimbang bahan yang digunakan
White area: melarutkan Lidokain HCl dengan air panas secukupnya, diaduk hingga homogen
Menambahkan metil paraben, diaduk hingga homogen
Menambahkan gliserin hingga 10 ml, diaduk hingga homogen
Dimasukan ke dalam botol
Evaluasi (kejernihan, pH, kebocoran, volume, dan organoleptis)
Sterilisasi akhir dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit Dimasukkan ke dalam kemasan sekunder, diberi etiket dan brosur
VI. EVALUASI
A. Uji Penetapan PH
Ujung kertas pH dicelupkan kedalam larutan
Mencocokkan warna yang muncul dengan indikator pH B. Uji Kejernihan
Sediaan yang diuji dilihan dengan latar berwrna hitam Melihat ada tidaknya partikel yang tidak larut C. Uji Organoleptis
Sediaan tetes telinga yang sudah jadi, diamati secara visual Dilihat warna dan bau sediaan
D. Uji Kebocoran
sediaan dalam kemasan diletakkan terbalik dengan ujung dibawah ketika disterilisasi akhir
Apabila wadah bocor maka isi dari wadah akan keluar VII. LAMPIRAN
A. Brosur B. Kemasan C. Etiket VIII. DAFTAR PUSTAKA
(1)
Anonim, 1978,Formularium Nasional , edisi kedua, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 238, 323.
(2) Anonim, 1979,Farmakope Indonesia, edisi ketiga, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta, 10, 347-348.
(3)
Lukas, S. 2006, Formulais Steril , Penerbit ANDI, Yogyakarta, 114-117.
(4) Anonim, 1995,Farmakope Indonesi a, edisi IV , DepKes RI, Jakarta, 413-414,
497, 551.
Obat Tetes dan Sediaan Cair Topikal
A. Obat tetes mataobat tetes mata adalah sediaan tetes yang digunakan untuk mengobati gangguan pada indra penglihatan. ada yang digunakan untuk menyembuhkan mata merah karena iritasi ringan, maupun mengandung
antibiotik untuk menyembuhkan infeksi, serta mengandung antibiotik+steroid untuk mengurangi glukosa (tekanan pada mata).
pengawet untuk tetes mata seperti fenilraksa (II) nitrat, fenilraksa (II) asetat 0,002% b/v, benzalkonium klorida 0,01% b/v. pemilihan pengawet berdasarkan tingkat kesesuaian
kelarutan pengawet dan zat aktif. benzalkonium k. tidak cocok pada tetes mata yang mengandung anestetikum lokal/pembius. obat tetes mata harus jernih, bebas partikel asing, serat, dan benang.
Pada pembuatan tetes mata harus memperhatikan : sterilitas
kejernihan
pengawet
tonisitas dan stabilitas
B. Obat tetes telinga
Obat tetes telinga adalah sediaan yang ditujukan untuk pengobatan telinga, dengan meneteskan kedalam telinga, pembawanya buka air, ditujukan untuk membersihkan telinga, mengobati radang atau rasa sakit.
C. Obat tetes hidung
Obat tetes hidung adalah obat tetes yang digunaka dengan cara meneteskan pada rongga hidung. biasanya mengandung zat adrenergik untuk mengatasi kemampatan pada hidung.
D. Obat kumur
Obat kumur adalah sediaan yang ditujukan untuk kesehatan mulut. Beberapa zat yang umumnya digunakan untuk sediaan obat kumur :
- paraklorofenol : sebagai antiinfeksi, membersihkan saluran akar gigi - larutan karbamid peroksida : anti infeksi, membunuh/mengikis kuman - eugenol : analgesik untuk gigi
E. Obat cuci mulut
Obat cuci mulut adalah sediaan larutan pekat dalam air yang mengandung bahan deodorant, antiseptik, analgetik dan astringen, biasanya untuk membersihkan dan menghilangkan bau mulut.
F. Obat gosok (linimentum)
obat gosok adalah sediaan cair atau kental mengandung analgetikum dan zat yang mempunyai sifat rubefasien, melemaskan otot, atau menghangatkan.
G. Lotio
Lotio adalah sediaan berupa suspensi atau sistem dispersi yang digunakan sebagai obat luar (topikal), biasanya dikenal dengan sebutan lotion atau losion.
H. Enema
Enema atau lavement atau clysma adalah cairan untuk membersihkan atau menghasilkan efek terapi setempat atau sistemik. enema untuk terapi seperti sedatif, antelmintik,
antiradang, ataupun nutrien. Macam-macam enema :
- enema retensi : enema/larutan yang diberikan melalui rektum
- enema untuk pengosongan : enema diberikan melalui rektum untuk membersihkan usus. - enema dengan efek terapeutik : enema untuk efek karminatif, sebagai astringen, dsb Sumber : Farmasetika Dasar
Aspek Biofarmasetik Produk Obat
BAB I PENDAHULUAN
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Bioavailabilitas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu.
Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia atau produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variable-variabel tersebut melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik tertentu. Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat, maka bioavaibilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai tidak terjadi absorpsi sama sekali.
BAB II
FAKTOR-FAKTOR DALAM BIOAVAILABILITAS OBAT
Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses. Proses tersebut meliputi (1) disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat; (2) pelarutan obat; (3) absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik. Di dalam proses disintegrasi obat, pelarutan dan absorpsi, kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi ditentukan oleh tahapan yang paling lambat dalam rangkaian tersebut.
Tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetik disebut tahap penentu kecepatan(rate limiting step). Untuk obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan serigkali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu mengakibatkan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailablitas obat. Tetapi sebaliknya, untuk obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau tembus obat lewat membran merupakan tahap paling lambat atau merupakan tahap penentu kecepatan.
Pelepasan dengan cara penghancuran Obat dalam tubuh Absorps i Obat dalam larutan
Pelarutan
Partikel obat padat
Obat dalam produk obat
Gambar 1. Proses laju bioavailabilitas obat
Faktor-Faktor Fisiologik yang Berkaitan dengan Absorpsi Obat
PERJALANAN OBAT LEWAT MEMBRAN SEL. Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan atau organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran sel. Banyak obat mengandung substituen lipofilik dan hidrofilik. Obat-obat yang lebih larut dalam lemak lebih mudah melewati membran sel daripada obat yang kurang larut dalam lemak atau obat yang lebih larut dalam air.
WAKTU TRANSIT OBAT DALAM SALURAN CERNA. Usus halus, dan terutama mukosa duodenum, mempunyai luas permukaan yang besar untuk absorpsi obat. Untuk memastikan absorpsi cepat suatu obat setelah pemberian oral, maka obat harus mencapai duodenum secara cepat.
Suatu penundaan pengosongan obat dari lambungke dalam duodenum akan memperlambat absorpsi obat dan dengan demikian menunda awal dari efek terapetik. Sejumlah faktor telah
menunjukkan pengaruh terhadap waktu pengosongan lambung. Beberapa faktor yang cenderung menghambat pengosongan lambung meliputi konsumsi makanan dengan lemak tinggi, minuman dingin, dan obat-obat antikolinergik. Sebagai tambahan, obat-obat yang tidak stabil pada pH asam, seperti penisilin dapat terurai jika pengosongan lambung tertunda.
ALIRAN (PERFUSI) DARAH DARI SALURAN CERNA. Aliran darah ke saluran cerna merupakan hal yang penting untuk membawa obat ke sirkulasi sistemik dan k emudian ke tempat kerja. Daerah usus diperfusi oleh pembuluh-pembuluh darah mesenterika. Obat dilepaskan ke dalam hati melalui vena porta hepatik dan kemudian ke sirkulasi umum atau sirkulasi sistemik. Berbagai penurunan aliran darah mesenterika, seperti pada kegagalan jantung kongest if, akan menurunkan laju pemindahan obat dari saluran usus dan oleh karena itu menurunkan laju bioavaibilitas obat.
Faktor-Faktor Farmasetik yang Mempengaruhi Bioavailabilitas Obat
Untuk merancang suatu produk obat yang akan melepaskan obat aktif dalam bentuk yang paling banyak berada dalam sistemik, farmasis harus mempertimbangkan (1) jenis produk obat (misal: larutan, suspensi, supositoria); (2) sifat bahan tambahan dalam produk obat; (3) sifat fisikokimia obat itu sendiri.
Seperti dikatakan sebelumnya, bioavailabilitas obat aktif dalam suatu bentuk sediaan pada bergantung pada beberapa faktor, yang meliputi (1) disintegrasi produk obat dan pelepasan partikel obat aktif; (2) pelarutan obat; dan (3) absorpsi atau permeasi obat melintasi membran sel.
DISINTEGRASI. Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami disintegrasi ke dalam partikel-partikel kecil dan melepaskan obat. Proses disintegrasi tidak menggambarkan pelarutan sempurna tablet atau obat. Disintegrasi yang sempurna ditakrifkan oleh USP XX sebagai “keadaan di mana berbagai residu tabet, kecuali fragmen-fragmen penyalut yang tidak larut, tinggal dalam saringan alat penguji sebagai massa yang lunak dan jelas tidak mempunyai inti yang teraba”. Uji disintegrasi dipakai sebagai suatu komponen dari keseluruhan pengendalian kualitas fabrikasi tablet.
PELARUTAN.Pelarutanmerupakan proses di mana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorpsi sistemik obat. Hal-hal yang mempengaruhi pelarutan obat adalah sifat fisikokimia obat, faktor formulasi dan uji pelarutan in vitro.
METODE UJI PELARUTAN (USP XXI/NF XVI) a. Metode “Rotating Basket” (Alat 1)
Metode “rotating basket” terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37°C.
b. Metode “Paddle” (Alat 2)
Metode “paddle” atau alat ke 2 terdiri atas suatu dayung yang dilapis khusus, yang berfungsi
memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan.
Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode “rotating basket”
dipertahankan pada suhu 37°C.
c. Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi (Alat 3)
Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP “basket and rack” dirakit untuk uji pelarutan.
KORELASI KELARUTAN IN VITRO-IN VIVO
Berbagai metode pelarutan memberi kemudahan cara pengujian dari suatu produk obat. Bila suatu metode pelarutan yang tepat dipilih, maka laju pelarutan produk obat dapat dikorelasikan dengan laju absorpsi obat dalam tubuh. Ada beberapa cara untuk memeriksa korelasi in vitro-in vivo.
a. Laju pelarutan vs. Laju Absorpsi
Jika pelarutan obat merupakan laju penentu, maka suatu laju pelarutan yang lebih cepat dapat mengakibatkan laju keberadaan obat dalam plasma yang lebih cepat, sehingga memungkinkan untuk menetapkan korelasi antara laju pelarutan dan laju absorpsi obat.
b. Prosen Obat Terlarut vs. Prosen Obat Terabsorpsi
Jika suatu obat diabsorpsi secara sempurna setelah pelarutan, maka dengan membandingkan prosen obat terabsorpsi terhadap prosen obat terlarut dapat diperoleh suatu korelasi linear.
c. Konsentrasi Plasma Maksimum vs. Prosen Obat Terlarut In Vitro
Bila formulasi obat yang berbeda diuji untuk pelarutan, suatu obat yang diformulasi secara tidak baik, tidak akan terlarut dan dilepas secara sempurna, sehingga menghasilkan konsentrasi obat dalam plasma yang lebih rendah. Prosen obat yang dilepas pada berbagai jarak waktu untuk produk obat yang lebih berada dalam sistemik akan menjadi lebih besar.
d. Konsentrasi Obat dalam Serum vs. Prosen Obat Terlarut
Pada studi absorpsi aspirin, kadar aspirin dalam serum dikorelasikan dengan prosen obat terlarut yang menggunakan suatu metode pelarutan in vitro. Media pelarutan merupakan simulasi cairan lambung. Karena aspirin diabsorpsi cepat dari lambung, maka pelarutan obat merupakan tahap penentu dan berbagai formulasi dengan laju pelarutan yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan konsentrasi aspirin dalam serum dari menit ke menit.
Meskipun ada sejumlah contoh publikasi obat dengan data pelarutan yang mempunyai korelasi baik dengan absorpsi obat dalam tubuh, ada juga beberapa contoh yang menunjukkan adanya korelasi yang jelek dari pelarutan terhadap absorpsi obat. Juga ada contoh suatu obat gagal dalam uji pelarutan,
tetapi ternyata diabsorpsi dengan baik. Masalah tidak adanya korelasi antara bioavaibiltas dan pelarutan mungkin disebabkan oleh kekompleksan absorpsi obat dan k elemahan rancangan pelarutan.
PERTIMBANGAN DALAM RANCANGAN BENTUK SEDIAAN
Pertimbangan terpenting dalam merancang suatu sediaan adalah keamanan dan keefektifan. Bahan-bahan aktif dan in aktif harus aman bila digunakan seperti yang diharapkan. Obat harus dilepas secara efektif ke tempat sasaran sehingga efek terapetik yang diharapkan dapat dicapai. Bentuk sediaan harus tidak menambah efek samping atau efek yang tidak dikehendaki terhadap obat. Dalam menyiapkan produk obat, farmasis mencoba mempertimbangkan kebutuhan dokter, penderita dan biaya produksi. Pertimbangan ini kemudian disesuaikan dengan batasan sifat fisika, kimia dan biologik obat.
Pertimbangan Penderita
Bentuk sediaan harus sesuai untuk penderita. Bila suatu obat yang terasa pahit dipakai sebagai tablet atau kapsul hendaknya disalut. Ukuran tablet atau kapsul hendaknya cukup kecil sehingga mudah ditelan. Frekuensi pemberian dosis dijaga minimum.
Pertimbangan Dosis
Bentuk sediaan harus dirancang dengan pertimbangan dosis. Beberapa obat mempunyai perbedaan dosis individual yang besar, dan harus tersedia beberapa macam kekuatan dosis sehingga suatu dosis yang sesuai dapat dipakai dari bentuk sediaan yang tersedia. Pada obat tertentu, pemberian dosis obat didasarkan atas luas permukaan tubuh atau berat badan dan dengan pemantauan konsentrasi obat dalam tubuh, dosis dapat disesuaikan kembali.
Pertimbangan Frekuensi Pemberian Dosis
Frekuensi dosis suatu obat dikaitkan dengan waktu-paruh eliminasi obat dan juga konsentrasi terapetik obat. Untuk suatu obat dengan waktu-paruh pendek, pertimbangan sering diberikan untuk memperpanjang lama kerja obat. Resiko kelebihan dosis yang tidak terpakai dan potensi untuk penurunan bioavailabilitas obat harus dipertimbangkan jika suatu dosis yang lebih besar diformulasi untuk mencapai suatu lama kerja yang lebih panjang.
Pertimbangan Terapetik
Pengetahuan indikasi terapetik obat merupakan hal yang penting untuk formulator. Suatu obat yang digunakan untuk suatu kondisi segera dan kondisi akut hendaknya diformulasi sehingga obat tersebut mencapai sasaran dengan cepat. Suatu obat yang digunakan untuk jangka terapi yang lebih panjang dapat mencapai sasaran lebih lambat. Sebagai contoh, suatu obat yang menghilangkan sakit hendaknya
diabsorpsi secara cepat sehingga diperoleh hilangnya rasa sakit yang cepat, sedangkan suatu obat yang dirancang untuk mencegah keadaan asmatik dapat diabsorpsi secara lambat sehingga efek perlindungan dari obat berakhir setelah suatu jangka waktu yang panjang.
Efek Samping Pada Saluran Cerna
Beberapa obat yang diberikan secara oral mengiritasi lambung. Obat-obat ini dapat menyebabkan mual dan rasa sakit pada lambung bila diberikan pada lambung yang kosong. Untuk menurunkan iritasi lambung, dalam beberapa hal makanan atau antacid dapat diberikan bersama-sama dengan obat. Cara lain, untuk menurunkan iritasi lambung obat dapat disalut enterik.
Untuk memperbaiki bioavailabilitas obat dan menurunkan efek samping pada saluran cerna, obat-obat tertentu telah diformulasi dalam kapsul gelatin lunak. Jika obat diformulasi dalam kapsul gelatin lunak sebagai suatu larutan, maka obat dapat terdispersi dan melarut lebih cepat dengan meninggalkan sedikit residu obat dalam dinding usus dan menyebabkan iritasi.
Ada beberapa pilihan untuk formulator guna memperbaiki toleransi obat dan memperkecil iritasi lambung. Sifat bahan tambahan dan keadaan fisik obat merupakan hal yang penting dan harus ditetapkan secara hati-hati sebelum suatu produk obat diformulasi. Beberapa bahan tambahan dapat memperbaiki kelarutan obat dan mempermudah absorpsi. Sedangkan yang lain secara fisika dapat mengabsorpsi obat untuk menurunkan iritasi.
PERTIMBANGAN RUTE PEMBERIAN Produk-Produk Parenteral
Pada umumnya, pemakaian intravena memberi mula kerja yang paling cepat. Obat-obat yang diinjeksikan secara intravena langsung masuk ke dalam darah dan dalam beberapa menit beredar ke seluruh bagian tubuh. Suatu obat dapat diinjeksikan secara intramuscular melibatkan penundaan absorpsi, karena obat berjalan dari tempat injeksi ke aliran darah.
Tablet Bukal
Suatu tablet yang mengalami difusi dan penetrasi secara cepat dapat diberikan dan diabsorpsi dalam rongga mulut. Suatu tablet yang dirancang untuk absorpsi obat dalam rongga mulut disebuttablet bukal.Sebagai contoh tablet sublingual nitrogliserin terlarut di bawah lidah dan diabsorpsi melalui mukosa mulut. Tablet-tablet bukal pada umumnya mengandung suatu bahan tambahan yang cepat melarut seperti laktosa, sehingga obat dilepaskan secara ce pat.
Obat-obat yang diberikan ke dalam sistem pernafasan, seperti anti asmatik, dapat diformulasi dalam
suatu aerosol atau larutan inhalasi. Suatu sediaan aerosol dengan “propellan” yang sesuai dapat
memberikan obat secara cepat sampai ke daerah bronchial.
Sediaan Transdermal
Pemberian transdermalmemberi pelepasan obat ke sistem tubuh melalui kulit. Contoh dari suatu obat yang dilepas secara transdermal adalah Transderma-V. Untuk mabuk perjalanan Transderma-V melepaskan skopolamin melalui kulit telinga. Rute pemberian ini dapat melepaskan obat selama beberapa jam tanpa efek samping saluran cerna yang tidak menyenangkan. Obat yang diberikan secara
transdermal tidak dipengaruhi oleh “first pass effects”.
Sediaan Oral
Keuntungan yang utama dari sediaan oral adalah kemudahan-pemakaian dan menghilangkan ketidakenakan yang terjadi pada pemakaian injeksi. Kerugian utama dari sediaan oral adalah persoalan yang potensial dari penurunan bioavailabilitas dan bioavailabilitas yang berubah-ubah yang disebabkan oleh absorpsi tidak sempurna atau interaksi obat. Rasa mual atau ketidakenakan lambung dapat terjadi pada beberapa obat yang menyebabkan iritasi saluran cerna lokal. Bioavailabilitas yang jelek atau penurunan absorpsi mungkin disebabkan oleh antasid atau interaksi makanan.
Sediaan Rektal
Sediaan rektal dapat diberikan dalam bentuk padat atau cair. Pemberian rektal lebih disukai untuk obat-obat yang menyebabkan rasa mual atau dalam keadaan yang tidak memungkinkan memberi obat-obat secara
oral. Absorpsi obat melalui rektal dapat menghindari “first pass-effects” yang disebabkan oleh enzim
dan hati. Pada umumnya, obat yang diabsorpsi melalui daerah rektal bagian atas melewati vena porta hepatik dan dapat diinaktivasi oleh hati.
BAB III PENUTUP Kesimpulan
Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu. Semua produk obat di pantau dan di formulasikan sedemikian rupa agar dapat menghasilkan efek terapi yang optimal dan meminimalkan efek samping dari obat tersebut. Obat dirancang sesuai dengan kebutuhan dan sifat-sifat kimia maupun
fisika dari zat aktif, agar dalam pembuatan atau penggunaannya tidak menimbulkan kerugian baik bagi produsen maupun konsumen.
Literatur:
Shargel L., dan Yu Andrew B.C., 2005.Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan.Airlangga University Press.