• Tidak ada hasil yang ditemukan

ENERGI METABOLIS DAN KECERNAAN PROTEIN AKIBAT PERBEDAAN PORSI PEMBERIAN RANSUM PADA AYAM PETELUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ENERGI METABOLIS DAN KECERNAAN PROTEIN AKIBAT PERBEDAAN PORSI PEMBERIAN RANSUM PADA AYAM PETELUR"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

ENERGI METABOLIS DAN KECERNAAN PROTEIN

AKIBAT PERBEDAAN PORSI PEMBERIAN RANSUM

PADA AYAM PETELUR

(Metabolizable Energy and Protein Digestibility of Layer Ration as Affected

by Different Feeding Portion)

ANGGARAYONO,H.I.WAHYUNI danTRISTIARTI

Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Jl. Drh. Soejono Koesoemawardaja, Semarang

ABSTRACT

The research was conducted to evaluate the effect of different feeding portion on feed consumption, protein digestibility, metabolizeable energy (ME) and Hen Day Production (HDP) in layer. Two hundred fifty two layers of twelve-weeks old with initial body weight of 987.5 ± 178.5 g were used. Completely randomized design was employed in this study with the following treatments: T1 (100S) = 100% (once in the afternoon), T2 (30P : 70S) = 30 : 70%, T3 (40P : 60P) = 40 : 60%, T4 (50P : 50S) = 50 : 50%, T5 (60P : 40S) = 60 : 40%, T6 (70P : 30S) = 70 : 30% dan T7 (100P) = 100% (once in the morning). Each treatment was replicated four times and each replication consist of nine layers. The result showed that different feeding portion did not affect feed consumption, ME and HDP, but significantly affected (P < 0.05) protein digestibility. It is concluded that high feeding portion in the morning decrease protein digestibility, but giving the same value of ME and HDP as compared to other treatments.

Key Words: Layer, Feeding Portion, Metabolizable Energy, Digestible Protein, Egg Production

ABSTRAK

Penelitian ditujukan untuk mengkaji pengaruh perbedaan porsi pemberian ransum terhadap konsumsi ransum, kecernaan protein, energi metabolis (EM) dan Hen Day Production (HDP) pada ayam petelur. Materi yang digunakan adalah 252 ekor ayam petelur umur 12 minggu dengan bobot badan awal 987,5 ± 178,5 g. Penelitian dirancang dalam rancangan acak lengkap dengan 7 perlakuan yaitu T1 (100S) = 100% (1 kali pemberian di siang hari), T2 (30P : 70S) = 30 : 70%, T3 (40P : 60P) = 40 : 60%, T4 (50P : 50S) = 50 : 50%, T5 (60P : 40S) = 60 : 40%, T6 (70P : 30S) = 70 : 30% dan T7 (100P) = 100% (1 kali pemberian di pagi hari). Setiap perlakuan diulang 4 kali dan setiap unit ulangan terdiri dari 9 ekor ayam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan porsi pemberian ransum tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum, EM dan HDP, tetapi berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap kecernaan protein. Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum dengan porsi lebih banyak pada pagi hari menurunkan kecernaan protein, namun memberikan pengaruh yang sama terhadap nilai EM dan HDP dibanding dengan porsi pemberian ransum yang lain.

Kata Kunci: Ayam Petelur, Porsi Ransum, Energi Metabolisme, Kecernaan Protein, Produksi Telur

PENDAHULUAN

Produktivitas ternak merupakan fungsi dari faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik merupakan faktor yang menentukan kemampuan produksi, sedangkan faktor lingkungan merupakan faktor pendukung agar ternak mampu berproduksi sesuai dengan kemampuannya. Faktor lingkungan yang perlu mendapat perhatian utama adalah ransum.

Keunggulan genetik suatu bangsa ternak tidak akan ditampilkan secara optimal apabila faktor lingkungannya tidak sesuai. Faktor lingkungan memberi pengaruh lebih besar terhadap produktivitas dibanding faktor genetik. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat heretabilitas produksi telur untuk ayam petelur hanyalah 0,15 (AMRULLAH, 2003).

Manajemen pemberian ransum yang tepat dibutuhkan untuk mendukung produksi karena

(2)

terkait dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi ayam petelur. Manajemen pemberian ransum yang diterapkan oleh peternak pada umumnya adalah dengan mengatur jumlah porsi pemberian ransum 2 kali dalam sehari, yaitu pada pagi dan siang. Manajemen pemberian ransum yang diterapkan beberapa peternakan ayam petelur berbeda-beda, khususnya porsi pemberian ransum pagi dan siang, antara lain 50 : 50, 40 : 60, 60 : 40, atau 30 : 70 (INDRESWARI, 2007).

Peternakan di daerah dataran tinggi yang suhu lingkungannya termasuk kisaran nyaman, berapapun porsi yang diberikan selama kadar nutriennya sesuai dengan kebutuhan ayam, maka tidak akan berpengaruh terhadap proses-proses fisiologis dalam tubuh. Lain halnya untuk peternakan di daerah dataran rendah dengan suhu udara yang lebih tinggi dari suhu nyaman ayam petelur, sangat dimungkinkan porsi pemberian ransum pagi dan siang berpengaruh terhadap proses-proses fisiologis tubuh. Hal ini berkaitan dengan mekanisme pengaturan panas dalam tubuh.

Proses pencernaan yang berlangsung pada suhu lingkungan yang lebih tinggi dari suhu nyaman ayam akan menurunkan nilai kecernaan. Menurut MILES (2001), cekaman panas akan menghambat suplai nutrien ke jaringan tubuh terutama untuk pembentukan telur. Dijelaskan lebih lanjut bahwa cekaman panas akan menurunkan aliran darah ke saluran pencernaan sampai 50% seperti pada proventrikulus, gizzard, dan pankreas, sedangkan laju aliran darah pada bagian atas duodenum dan jejunum menurun sampai 70% selama cekaman panas. Hal ini akan berdampak pada penurunan efisiensi dari pencernaan, absorpsi dan transport nutrien. Di sisi lain penggunaan energi ransum menjadi tidak efisien sehingga akan berpengaruh terhadap produksi.

Porsi pemberian ransum yang tepat diharapkan mampu meningkatkan efisiensi penggunaan energi dan kecernaan nutrisi yang pada akhirnya akan tetap menjaga stabilitas produksi telur. Berdasarkan uraian tersebut kiranya diperlukan sebuah kajian untuk memberikan tambahan informasi mengenai pengaruh porsi pemberian ransum terhadap konsumsi ransum, nilai energi metabolis dan kecernaan protein yang pada akhirnya akan

MATERI DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2006 sampai Juli 2007 di Desa Bandungrejo, Kecamatan Mrangen, Kabupaten Demak. Materi yang digunakan adalah 252 ekor ayam petelur strain Lohmann Brown umur 12 minggu dengan rata-rata bobot badan awal 987,5 ± 178,5 g. Dua macam ransum produksi PT Central Proteina Prima, Semarang digunakan pada penelitian ini yaitu ransum grower B22 yang diberikan sampai ayam bertelur pertama kali sekitar umur 17 minggu, kemudian diganti ransum layer T24K sampai akhir penelitian. Komposisi nutrisi ransum T24K disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi nutrien ransum T24K

Nutrien Gross energy (kal/g)* 3624,62

Energimetabolis (kal/g)** 3097.95 Kadar air (%)* 9,66 Abu (%)* 11,63 Protein kasar (%)* 20,22 Lemak kasar (%)* 7,13 Serat kasar (%)* 6,00 BETN (%)* 45,36 Kalsium (%)*** 3,7 Fosfor (%)*** 0,3 *) Hasil analisis

**) Dihitung dengan rumus Balton (Siswohardjono, 1982) sbb: EM = 40,81 (0,87 (PK + 2,25 LK + BETN) + k); k = 4,9

***) Label pakan kode T24K produksi PT Central Proteina Prima (CPP), Semarang

Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu tahap pendahuluan, tahap perlakuan dan tahap pengukuran kecernaan. Tahap pendahuluan yang bertujuan untuk memberikan masa adaptasi sampai ayam memasuki periode bertelur dan menyeragamkan konsumsi ransum serta bobot badan. Semua ayam diberi ransum dengan porsi 50 : 50 pada pagi (pk. 07.00) dan siang (pk. 13.30) hari.

Tahap perlakuan dimulai saat ayam berumur 21 minggu dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Tujuh perlakuan porsi pemberian

(3)

berikut: T1 (100S) =100% (1 kali pemberian di siang hari);T2 (30P:70S) = 30:70%; T3 (40P:60P) = 40:60%; T4 (50P:50S) = 50:50%; T5 (60P:40S) = 60:40%; T6 (70P:30S) = 70:30% dan T7 (100P) = 100% (1 kali pemberian di pagi hari). Setiap perlakuan diulang 4 kali dan pada setiap ulangan terdiri dari 9 ekor ayam petelur. Waktu pemberian ransum pagi dan siang tetap dilakukan pada pukul 07.00 dan 13.30. Jumlah ransum yang diberikan disesuaikan dengan standar kebutuhan strain Lohmann. Data konsumsi ransum dan produksi telur dalam Hen Day Production (HDP) dicatat mulai minggu ke 27 sampai minggu ke-32 saat ayam mencapai puncak produksi.

Tahap terakhir, pengukuran energi metabolis (EM) dan kecernaan protein dilakukan pada umur 32 minggu dengan metode kombinasi total koleksi dan indikator (WAHYU, 1997). Pada saat ini diamati pula laju digesta dan aktivitas panting. Laju digesta diamati dengan melihat selisih waktu saat ransum berindikator dimakan dan saat warna indikator muncul pertama kali pada ekskreta. Tingkah laku panting diamati pada satu ekor ayam disetiap perlakuan selama 3 hari masing-masing 1 jam sebelum dan setelah diberi ransum pada siang hari. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah gerakan naik turun yang nampak pada leher saat ayam panting. Data yang diperoleh diolah dengan analisis ragam dan bila ada pengaruh nyata (P < 0,05)

maka dilanjutkan dengan uji beda wilayah ganda Duncan pada taraf 5% (STEEL dan TORRIE, 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi ransum

Hasil penelitian pengaruh perbedaan porsi pemberian ransum terhadap konsumsi ransum disajikan pada Tabel 2. Perlakuan porsi pemberian ransum tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum masing-masing pada umur 27 – 32 minggu. Ayam yang mendapat perlakuan porsi pemberian ransum lebih banyak pada siang hari mengkonsumsi sama banyaknya dengan ayam yang mendapat porsi lebih banyak di pagi hari.

Berdasarkan pengamatan di lapangan selama penelitian, ayam yang mendapat porsi pemberian ransum lebih banyak di pagi hari tidak langsung mengkonsumsi habis ransum yang diberikan. Saat ransum diberikan di pagi hari, ayam makan secukupnya dan berangsur berhenti, ketika suhu lingkungan mulai meningkat di siang hari. Ayam kembali makan setelah pemberian ransum pada siang hari, dengan demikian sisa ransum pada pemberian pagi hari juga dimakan bersama ransum yang diberikan pada siang hari. Pola konsumsi seperti ini karena perubahan suhu lingkungan dalam sehari. Suhu lingkungan tertinggi

Tabel 2. Rataan konsumsi ransum ayam petelur per minggu pada berbagai perlakuan porsi pemberian

ransum dari umur 27 sampai 32 minggu

Perlakuan T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 Umur (minggu) 100S 30:70 40:60 50:50 60:40 70:30 100P --- (g) --- 27 96,79 99,93 99,21 99,12 98,97 100,62 99,29 28 101,06 101,15 100,15 99,33 99,93 100,94 101,84 29 102,08 101,19 100,97 100,88 102,75 101,84 103,46 30 104,37 101,53 101,93 102,79 102,87 103,09 104,16 31 104,83 103,51 103,77 103,40 103,05 104,79 104,75 32 105,05 104,66 104,67 104,95 104,49 105,39 105,65 Rataan 102,36 101,99 101,78 101,74 102,01 102,78 103,19

(4)

dicapai pada siang hari (pagi: 25,60; saing: 31,73; sore:28,90°C), sehingga ayam yang mendapat porsi pemberian ransum lebih sedikit pada pagi hari akan melakukan kompensasi konsumsi ransum di siang hari. Konsumsi ransum menjadi lebih banyak saat porsi pemberian ransum lebih banyak pada siang hari. Hal ini yang menyebabkan porsi pemberian ransum pagi dan siang yang berbeda, tidak menghasilkan perbedaan konsumsi ransum.

Suhu lingkungan yang berangsur naik dari pagi sampai siang hari menambah beban panas dalam tubuh ayam sehingga ayam akan mengurangi atau menghentikan konsumsinya dan akan kembali makan setelah suhu berangsur turun pada sore hari. Menurut WAHYU (1997), konsumsi ransum dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan kisaran suhu nyaman untuk ayam adalah 18 – 22°C (ROOK dan THOMAS, 1983).

Kecernaan protein kasar dan energi metabolis (EM)

Pengaruh perbedaan porsi pemberian ransum terhadap kecernaan protein dan EM disajikan pada Tabel 3. Kecernaan protein nyata dipengaruhi oleh perbedaan porsi pemberian ransum, sedangkan pengaruhnya terhadap EM tidak nyata. Uji Duncan pada kecernaan protein menunjukkan bahwa pemberian ransum T1 (100S) menghasilkan kecernaan protein kasar tertinggi yaitu 81,64%, tetapi tidak berbeda nyata dengan T6 (70 : 30) dan T7 (100P). Kecernaan protein pada ayam dengan porsi pemberian ransum T1 (100S) nyata (P < 0,05) lebih tinggi dibanding porsi T2 (30 : 70), T3 (40 : 60), T4 (50 : 50) dan T5 (60 : 40), sedangkan porsi pemberian ransum

T6 (70 : 30) memberikan kecernaan protein yang tidak nyata (P > 0,05) berbeda dengan perlakuan T7 (100P), T3 (40 : 60), T2 (40 : 60), T5 (60 : 40) dan T4 (50 : 50). Hal ini menunjukkan bahwa ayam dengan porsi ransum lebih banyak pada pagi hari mencerna protein lebih rendah daripada ayam yang mendapat porsi ransum lebih banyak pada siang hari.

WAHYU (1997), menyatakan bahwa kecernaan suatu ransum dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan laju digesta. Rata-rata suhu lingkungan pada pagi, siang dan sore hari selama penelitian masing-masing adalah 25,60; 31,73 dan 28,90°C. Beban panas ayam menjadi lebih besar terutama pada siang hari, karena suhu lingkungan yang dicapai jauh dari suhu nyaman yaitu sekitar 18 – 22°C (ROOK dan THOMAS, 1983), selain mendapat beban panas

dari lingkungan, ayam dengan porsi pemberian ransum lebih banyak pada pagi hari juga mendapat beban panas dari proses pencernaan yang berlangsung pada saat suhu lingkungan beranjak naik. Menurut MILES (2001), dampak dari cekaman panas akan menurunkan efisiensi terhadap proses pencernaan, absorpsi dan transport nutrien. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian OSMAN dan TANIOS (1982) yang menyatakan bahwa aktivitas enzim-enzim pencernaan akan menurun selama cekaman panas. Dijelaskan lebih lanjut bahwa sekresi enzim ke dalam saluran pencernaan menjadi lebih rendah pada saat ayam mengalami cekaman panas. Selain itu, menurut TILLMAN

et al. (1998), enzim merupakan senyawa kimia yang sangat responsif terhadap suhu dan bekerja tidak optimal pada suhu yang terlalu tinggi, oleh sebab itu proses pencernaan pada ayam yang mengalami cekaman panas menjadi kurang optimal, terutama pencernaan secara enzimatis.

Tabel 3. Rataan kecernaan protein dan energi metabolis ransum ayam petelur dengan berbagai perlakuan

porsi pemberian ransum pada umur 32 minggu

Perlakuan

T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 Parameter

100S 30 : 70 40 : 60 50 : 50 60 : 40 70 : 30 100P Kercernaan protein (%) 81,64a 71,36b 74,66b 70,28b 70,32b 76,14ab 76,08ab Energi metabolis (kal/g) 2795,72 2609,89 2705,13 2619,06 2619,34 2763,77 2715,76 Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05)

(5)

Di sisi lain, data laju digesta mendukung turunnya nilai kecernaan protein pada ayam dengan porsi pemberian ransum lebih banyak di pagi hari. Data laju digesta selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Digesta pada ayam yang mendapat porsi pemberian ransum lebih banyak pada siang hari bergerak lebih lambat. Laju digesta pada perlakuan T1 (100S) 30 – 35 menit lebih lama dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Ransum dengan porsi pemberian 100% pada siang hari dicerna oleh ayam-ayam ini dalam waktu yang lebih lama, sehingga nilai kecernaan protein menjadi paling tinggi. Hal sebaliknya pada ayam-ayam dengan perlakuan lain.

Tabel 4. Rataan laju digesta dan panting per hari

ayam petelur yang mendapat perlakuan berbagai porsi pemberian ransum

Perlakuan Laju digesta (menit) Jumlah panting/ jam T1 (100S) 192,50 164,67 T2 (30 : 70) 162,50 279,33 T3 (40 : 60) 170,00 292,33 T4 (50 : 50) 160,00 251,67 T5 (60 : 40) 157,50 260,00 T6 (70 : 30) 170,00 240,00 T7 (100P) 172,50 313,00

Perlakuan perbedaan porsi pemberian ransum tidak memberikan pengaruh yang nyata (P > 0,05) terhadap nilai EM (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa berapapun porsi pemberian ransum yang diberikan pada pagi dan siang akan menghasilkan rata-rata nilai energi metabolis yang sama. Menurut AUSTIC

dan NESHEIM (1990), EM dimanfaatkan untuk hidup pokok, produksi dan aktivitas. Mengingat nilai kecernaan protein yang dipengaruhi perlakuan maka diduga pemanfatan energi ransum menjadi berbeda walaupun secara eksplisit nilai EM ransum sama. Diduga kelompok ayam yang mendapat porsi ransum lebih banyak pada pagi hari menggunakan EM lebih banyak untuk melakukan aktivitas panting sebagai akibat beban cekaman panas yang harus dikeluarkan. Hal ini ditunjukkan dengan data tingkah laku panting yang diamati. Berdasarkan data pengamatan tingkah laku panting di siang hari (Tabel 4). Ayam dengan porsi pemberian

ransum 100% pagi hari (T7) melakukan aktivitas panting rata-rata lebih banyak (313/jam) dibanding ayam dengan porsi pemberian ransum T1-100% siang hari (164,67/jam).

Standar kebutuhan nutrisi, utamanya energi metabolis, bergantung pada suhu lingkungan. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa mekanisme adaptasi terhadap suhu lingkungan dapat diamati dari naik turunnya konsumsi ransum yang disebabkan oleh adanya mekanisme termodinamik yang mengontrol pemasukan dan pengeluaran energi ke dalam dan keluar tubuh guna mempertahankan kestabilan suhu tubuh. Oleh karena itu effisiensi penggunaan energi akan berbeda pada iklim atau beban panas yang berbeda. AUSTIC dan NESHEIM

(1990), menyatakan bahwa efisiensi penggunaan energi pada ternak unggas bervariasi, hal tersebut sangat erat hubungannya dengan kondisi lingkungan. Pada penelitian ini nampak bahwa ayam sudah mengalami cekaman panas yang mempengaruhi kecernaan protein, namun belum sampai mempengaruhi konsumsi ransum (Tabel 2), nilai EM ransum (Tabel 3) dan juga produksi telur (Tabel 5).

Hen day production (HDP)

Rataan produksi telur per minggu akibat perbedaan porsi pemberian ransum pagi dan siang ditunjukkan dengan nilai HDP dan disajikan pada Tabel 5. Perbedaan porsi pemberian ransum tidak berpengaruh (P > 0,05) terhadap HDP. Hal ini sejalan dengan data asupan nutrien yang sama pada sumua ayam, karena jenis dan konsumsi ransum sama. Perbedaan kecernaan protein ransum pada penelitian ini belum mempengaruhi produksi telur.

Beberapa penelitian tentang waktu pemberian ransum terhadap HDP menunjukkan pengaruh yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan BOOTWALLA et al. (1983) dan BACKHOUSE dan GOUS (2005) tidak menunjukkan adanya pengaruh waktu pemberian ransum pagi dan siang terhadap HDP. Sementara penelitian yang lain menunjukkan adanya penurunan HDP jika ayam diberi ransum hanya pada sore hari pukul

(6)

Tabel 5. Rataan HDP per minggu pada ayam petelur pada berbagai perlakuan porsi pemberian ransum dari

umur 27 sampai 32 minggu

Perlakuan T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 Umur (minggu) 100S 30:70 40:60 50:50 60:40 70:30 100P --- (%) --- 27 66,67 71,03 66,27 73,81 67,46 70,64 72,62 28 82,15 86,11 73,02 91,27 81,75 76,99 84,92 29 91,67 94,84 87,30 91,27 92,46 85,72 90,08 30 92,06 95,64 92,06 89,68 93,65 92,46 91,27 31 91,67 96,43 94,05 93,65 91,67 95,24 92,86 32 93,52 95,37 95,99 92,29 97,54 97,84 96,92 Rataan 86,29 89,90 84,78 88,66 87,42 86,48 88,11

15.30 (AVILLA et al., 2003). Penelitian AVILLA

et al. (2003) juga menunjukkan bahwa produksi telur pada ayam yang diberi ransum 100% pada pukul 11.00 lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi ransum 100% pada pukul 06.30 dan yang diberi perlakuan 50% pada pukul 06.30 dan 50% pada pukul 15.30. Bbeban panas yang dialami oleh ayam yang diberi ransum 100% pada pukul 11.00 lebih tinggi dan lama dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Nampak bahwa saat pemberian ransum sangat mempengaruhi beban panas yang ditimbulkan. Waktu pemberian ransum pagi (pk. 07.00) dan siang (pk. 13.30) yang dilakukan pada penelitan ini tidak terlalu ekstrim sehingga ayam-ayam masih mampu mengatasi beban panas yang timbul akibat porsi pemberian ransum yang tinggi pada pagi hari bersamaan dengan meningkatnya suhu lingkungan di siang hari. Oleh sebab itu, produksi telur masih dapat dipertahankan walaupun kecernaan protein ransum menurun sekitar 10% (Tabel 3).

KESIMPULAN

Simpulan yang diperoleh bahwa perbedaan porsi pemberian ransum menghasilkan konsumsi ransum, EM dan HDP yang sama. Pemberian ransum dengan prosi lebih banyak pada pagi hari menurunkan kecernaan protein sebagai respon terhadap beban panas yang ditimbulkan. Porsi pemberian ransum 100% di

lebih efisien dilihat dari nilai kecernaan protein dan penyajiannya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada ibu Hanny Indrat Wahyuni dan ibu Tristiarti atas diskusi, saran dan bimbingannya. Juga kepada Rysca Indrasweri dan Prima Widya Ristiana atas semua bantuan dan kerjasamanya.

DAFTAR PUSTAKA

AMRULLAH, I.K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Cetakan Pertama. Penerbit Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor.

AUSTIC, R.E. and M.C. NESHEIM. 1990. Poultry Production. 13th Ed. Lea and Febiger, Washington.

AVILLA, D.V.S.,A.M. PENZ JR., P.A.R. DE BRUM, P.S. ROS, A.L. GUIDONI and E.A.P. DE

FIGUEIREDO. 2003. Performance of female broiler breeder submitted to different feeding schedule. J. Revista Brasileira de Cienca Avicola 5: 197 – 201.

BACKHOUSE,D. and R.M.GOUS. 2005. The Effect of feeding time on shell quality and oviposition time in broiler breeders. Brit. J. Poult. Sci. 46: 255 – 259.

BOOTWALLA,S.M.,H.R.WILSON and R.H.HARMS. 1983. Performance of broiler beeder on different feeding systems. Poult. Sci. 62: 2321 – 2325.

(7)

INDRESWARI,R. 2007. Efisiensi Penggunaan Nutrien dan Produktivitas Ayam Petelur Akibat Perbedaan Porsi Pemberian Ransum. Thesis. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. MILES,D. 2001. Understanding heat stress in poultry

and strategies to improve production through good management and maintaining nutrient and energy intake. Proceedings of The ASA Poultry. Lance Course, Costa Rica.

OSMAN,A.M. and N.I.TANIOS. 1982. The Effect of Heat on the Intestinal and Pancreatic Levels of Amylase and Maltase of Laying Hens and Broilers. J. Physiol. Biochem. 75A(4): 563 – 567.

ROOK, J.A.F. and P.C. THOMAS. 1983. Nutritional Physiology of Farm Animals. 1st Ed. Longman, London and New York.

STEEL,R.G.D. dan J.H.TORRIE. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Cetakan ke-4. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Diterjemahkan oleh:BAMBANG SUMANTRI. TILLMAN,A.D.,H.HARTADI,S.REKSOHADIPRODJO,

S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSOEKOJO. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan Ketujuh. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

WAHYU, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan Keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Gambar

Tabel 1. Komposisi nutrien ransum T24K
Tabel 2.  Rataan konsumsi ransum ayam petelur per minggu pada berbagai perlakuan porsi pemberian  ransum dari umur 27 sampai 32 minggu
Tabel 3. Rataan kecernaan protein dan energi metabolis ransum ayam petelur dengan berbagai perlakuan  porsi pemberian ransum pada umur 32 minggu
Tabel 4. Rataan laju digesta dan panting per hari  ayam petelur yang mendapat perlakuan  berbagai porsi pemberian ransum
+2

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam situs ini, pengguna juga bisa membuat sebuah list dari hal-hal yang akan dikerjakan (to do list) untuk kepentingan pribadi dan juga memberikan tips tentang lokasi tersebut

Hal ini dikarenakan laporan tersebut tidak serta merta dapat diterima oleh hakim, karena pembuat laporan (auditor) harus menjelaskan hasil perhitungannya kepada

Masalah ini bisa diatasi dengan menggunakan barcode 2 Dimensi dan scanner barcode 2 Dimensi pada berbagai transaksi yang melibatkan proses input manual yang dimulai

Sharp Elektronik Indonesia Cabang Palembang yang mampu menginput data pemesanan, data toko, data pengiriman serta output laporan pengiriman, cetak bukti

lainnya secara mandiri, maka Busuu.com layak dikunjungi dan mendaftar sebagai pengguna agar dapat menguasai materi pelajaran bahasa yang telah disusun dengan baik dan

Orang yang memiliki kesadaran spiritual akan memiliki beberapa kemampuan khusus, diantaranya mampu menemukan kekuasaan Yang Maha Kuasa, merasakan kelezatan ibadah ,

Peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di Sekolah Dasar

Penelitian yang berjudul “Eksplorasi Tanaman Hias Di Kawasan Hutan Taman Wisata Alam Sicike Cike Kabupaten Dairi Sumatra Utara” disusun sebagai salah satu syarat untuk