• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. TB MDR adalah kasus TB yang disebabkan oleh basil M. tuberculosis yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. TB MDR adalah kasus TB yang disebabkan oleh basil M. tuberculosis yang"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TB MDR 2.1.1. Pengertian

TB MDR adalah kasus TB yang disebabkan oleh basil M. tuberculosis yang telah resisten terhadap INH dan rifampisin secara bersamaan, dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lini pertama lainnya.

Secara umum resistensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi :

a. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan b. Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada

riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah

c. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan.

2.1.2. Kategori TB-MDR

Terdapat 5 kategori resistensi terhadap obat anti TB, yaitu:

a. Monoresistan: resisten terhadap salah satu OAT, misalnya resistan isoniazid (H) b. Poliresistan: resisten terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid

(H) dan rifampisin (R), misalnya resistan isoniazid dan ethambutol (HE), rifampicin ethambutol (RE), isoniazid ethambutol dan streptomisin (HES), rifampicin ethambutol dan streptomisin (RES).

(2)

c. Multi Drug Resistan (MDR): resistan terhadap isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya resistan HR, HRE, HRES. d. Ekstensif Drug Resistan (XDR): TB MDR disertai resistensi terhadap salah salah

satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).

e. Total Drug Resistan (Total DR). Resistensi terhadap semua OAT (lini pertama dan lini kedua) yang sudah dipakai saat ini.

2.1.3. Faktor yang Memengaruhi terjadinya Tuberkulosis Resisten Obat Lima sumber utama penyebab terjadinya TB MDR (“SPIGOTS”) :

a. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants resisten. Hal ini amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama

b. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan menyebabkan penyebaran galur resitensi obat. .Penyebaran ini tidak hanya pada pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan keluarga pasien

c. Pasien dengan TB MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh dan akan menyebarkan kuman. Pengobatan TB MDR sulit diobati serta memerlukan pengobatan jangka panjang dengan biaya mahal

d. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang mendapat pengobatan jangka pendekdengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak OAT yang resisten (’’The amplifier effect”). Hal ini menyebabkan seleksi mutasi resisten karena penambahan obat yang tidak multipel dan tidak efektif

(3)

e. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB menjadi sakit TB dan akan memperpanjang periode infeksius.

Berdasarkan Kemenkes RI 2013 faktor utama penyebab terjadinya resistensi kuman terhadap OAT adalah ulah manusia sebagai akibat tata laksana pengobatan pasien TB yang tidak dilaksanakan dengan baik. Penatalaksanaan pasien TB yang tidak adekuat tersebut dapat ditinjau dari sisi :

1. Pemberi jasa/petugas kesehatan, yaitu karena : a. Diagnosis tidak tepat,

b. Pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat,

c. Dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants resisten. Hal ini amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama d. Penyuluhan kepada pasien yang tidak adequat

2. Pasien, yaitu karena :

a. Tidak mematuhi anjuran dokter/ petugas kesehatan b. Tidak teratur menelan paduan OAT,

c. Menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya d. Gangguan penyerapan obat

3. Program Pengendalian TB, yaitu karena : a. Persediaan OAT yang kurang

b. Kualitas OAT yang disediakan rendah (Pharmaco-vigillance). Mekanisme terjadinya resistensi:

(4)

Seorang pasien TB paru dengan kavitas yang berukuran sedang (diameter: 2,5 cm) biasanya mengandung basil TB >108, yang diantaranya sudah terdapat:

- 1 basil yang resisten terhadap rifampisin (R). - 100 basil yang resisten terhadap INH (H).

- 100 basil yang resisten terhadap streptomisin (S). - 100 basil yang resisten terhadap etambutol (E). - 0 basil yang resisten terhadap H dan R.

- 0 basil yang resisten terhadap H dan R dan E.

Dengan demikian, sebelum mendapatkan/dimulainya pengobatan, populasi basil dalam tubuh pasien sudah mengandung basil yang resisten.

Bila pasien yang bersangkutan diobati hanya dengan INH saja, maka dalam beberapa bulan basil TB yang peka terhadap INH mati. Sedangkan basil yang resisten terus berkembang sehingga terbentuk populasi baru dengan komposisi seperti dibawah ini:

- 108 basil resisten terhadap INH.

- 1 basil resisten terhadap rifampisin (R). - 100 basil resisten terhadap streptomisin (S). - 100 basil resisten terhadap etambutol (E).

Bila selanjutnya pasien tersebut diobati dengan INH dan rifampisin saja, maka dalam beberapa bulan akan terjadi semua basil TB yang peka terhadap INH dan Rifampisin akan mati, sedangkan basil TB yang resisten akan terus berkembang.

(5)

Hasil pemeriksaan mikroskopis dahak akan tetap BTA positif dan menjadi pasien TB MDR.

Keadaan seperti ini biasa disebut sebagai fenomena “fall and rise”, yang artinya pada beberapa minggu setelah pengobatan, hasil pemeriksaan mikroskopis dahak telah berupa menjadi negatif, karena banyak basil TB yang masih peka terhadap OAT telah mati. Namun beberapa saat kemudian hasil pemeriksaan mikroskopis dahak akan menjadi positif kembali karena basil yang resiten berkembang terus dan jumlahnya bertambah banyak.

Menurut Program Nasional, terdapat 9 kriteria pasien yang menjadi suspek TB-MDR yaitu:

1. Kasus TB kronik;

2. Gagal pengobatan kategori 2;

3. Pasien dengan riwayat OAT baik lini pertama maupun lini kedua (fluorokuinolon, aminoglikosid misalnya kanamisin);

4. Gagal pengobatan kategori 1;

5. Pasien dengan BTA tetap positif setelah pengobatan sisipan; 6. Pasien kambuh

7. Pasien pengobatan ulang setelah lalai pengobatan (default);

8. Pasien TB dan petugas yang kontak erat dengan pasien TB resistan OAT; 9. Pasien ko-infeksi TB-HIV

(6)

2.1.4. Strategi Diagnosis TB MDR

Pemeriksaan laboratorium untuk uji kepekaan M.tuberculosis dilakukan dengan metode standar yang tersedia di Indonesia:

a. Metode konvensional

Menggunakan media padat (Lowenstein Jensen/ LJ) atau media cair(MGIT). b. Tes Cepat (Rapid Test).

Menggunakan cara Hain atau Gene Xpert.

Pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis yang dilaksanakan adalah pemeriksaan untuk obat lini pertama dan lini kedua.

2.1.5. Prosedur Dasar Diagnostik untuk Suspek TB MDR

a. Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.tuberculosis untuk OAT lini kedua bersamaan dengan OAT lini pertama:

 Kasus TB kronis

 Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB Non DOTS

Suspek TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan kasus TBXDR konfirmasi.

b. Pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis untuk OAT lini kedua setelah terbukti menderita TB MDR :

 Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi  Pasien pengobatan kategori 1 yang gagal

 Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah pemberian sisipan

(7)

 Pasien kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2

 Pasien yang berobat kembali setelah lalai berobat/default, kategori 1 dan kategori 2

 Suspek TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR  Pasien koinfeksi TB-HIV yang tidak respon terhadap pemberian OAT

c. Pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis untuk OAT lini kedua atas indikasi khusus :

 Setiap pasien yang hasil biakan tetap positif pada atau setelah bulan ke empat pengobatan menggunakan paduan obat standar yang digunakan pada pengobatan TB MDR.

 Pasien yang mengalami rekonversi biakan menjadi positif kembali setelah pengobatan TB MDR bulan ke empat.

Sambil menunggu hasil uji kepekaan M.tuberculosis di laboratorium rujukan TB MDR, maka suspek TB MDR akan tetap meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman penanggulangan TB Nasional ditempat asal rujukan, kecuali pada kasus kronik, pengobatan sementara tidak diberikan. Suspek TB MDR tersebut akan diberikan penyuluhan tentang pengendalian infeksi.

(8)
(9)

Keterangan :

a. Pasien terduga TB resistan obat akan mengumpulkan 3 spesimen dahak, 1 dahak untuk Gene Xpert (sewaktu pertama) dan 2 dahak (sewaktu-pagi/pagi-sewaktu) ke Laboratorium rujukan TB MDR untuk dilakukan pemeriksaan sediaan apus sputum BTA, pemeriksaan biakan dan identifikasi kuman.

b. Jika didapatkan hasil pemeriksaan biakan dan identifikasi positif Mycobacterium tuberculosis, maka akan dilanjutkan dengan pemeriksaan uji kepekaan.

Hasil dari uji kepekaan ini dapat berupa MDR, mono-resisten, poli-resisten atau sensitif seluruh lini pertama

2.1.6. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB MDR Klasifikasi Penyakit TB MDR (berdasarkan lokasi) : a. Paru

Apabila kelainan ada di dalam parenkhim paru. b. Ekstra Paru

Apabila kelainan ada di luar parenkhim paru.

Bila dijumpai kelainan di Paru dan juga di luar paru maka pasien akan diregistrasi sebagai pasien TB MDR dengan klasifikasi TB MDR Paru.

Tipe pasien TB MDR diregistrasi sesuai dengan pengelompokkan riwayat sebelumnya sebagai berikut :

(10)

Tabel 2.1. Tipe Pasien TB MDR Diregistrasi Sesuai dengan Pengelompokkan Riwayat Sebelumnya

Tipe Pasien Keterangan

a. Pasien Baru Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau pernah di obati menggunakan OAT kurang dari 1 bulan

b. Pengobatan Ulangan Pasien yang mendapatkan pengobatan ulang karena : • Kasus Kambuh (relaps):

Yaitu pasien TB yang sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan TB lini pertama atau lini kedua dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis dan biakan positif.

• Pasien kembali setelah putus berobat (loss to follow up)

Yaitu pasien yang kembali berobat setelah putus berobat paling sedikit 2 bulan dengan pengobatan TB lini pertama atau lini kedua serta hasil pemeriksaan dahak menunjukkan BTA positif. • Kasus Gagal Pengobatan Kategori 2:

Yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada pengobatan dengan OAT lini pertama kategori 2. Hal ini ditunjang dengan rekam medis dan atau riwayat pengobatan TB sebelumnya.

• Kasus Gagal Pengobatan Kategori 1 :

Yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada pengobatan dengan OAT lini pertama kategori 1. c. Transfer in Pasien TB Resistan Obat yang sudah diobati dan sudah

diregister di RS Rujukan/Sub Rujukan lain.

d. Lain-lain Pasien TB yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak jelas atau tidak dapat dipastikan

(11)

Tantangan dalam pengelolaan pasien TB MDR lebih besar dari pada pasien TB yang bukan MDR. Oleh karena itu semua komponen DOTS harus dilaksanakan dengan lebih cermat, agar faktor risiko untuk terjadinya TB MDR tidak muncul.

Faktor risiko TB MDR seperti:

1. Riwayat Pengobatan TB sebelumnya yang tidak berhasil: a. Kambuh

b. Gagal c. Kronik

2. Kontak erat dengan pasien TB MDR

3. Bertempat tinggal/lahir di tempat dengan prevalensi TB MDR tinggi 4. Gagal konversi pada pengobatan dengan OAT lini pertama,

5. Infeksi HIV

6. Pencegahan dan pengendalian infeksi yang tidak adekuat. 2.1.7. Strategi Pengobatan Pasien TB MDR

Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB MDR mengacu kepada strategi DOTS.

a. Semua pasien yang sudah terbukti sebagai TB MDR dipastikan dapat mengakses pengobatan TB MDR yang baku dan bermutu.

b. Paduan OAT untuk pasien TB MDR adalah paduan standar yang mengandung OAT lini kedua. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan M.tuberculosis dengan paduan baru yang ditetapkan oleh TAK

(12)

(tim ahli klinis).Bila diagnosis TB MDR telah ditegakkan, maka sebelum memulai pengobatan harus dilakukan persiapan awal. Pada persiapan awal yang dilakukan adalah melakukan pemeriksaan penunjang yang bertujuan untuk mengetahui data awal berbagai fungsi organ (ginjal, hati, jantung) dan elekrolit. Jenis pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah sama dengan jenis pemeriksaan untuk pemantauan efek samping obat.

2.1.8. PMO (Pengawas Menelan Obat)

Pasien TB Resistan Obat memerlukan pemantauan secara ketat dan rutin untuk melihat reaksi terhadap pengobatan yang telah diberikan dan untuk mengetahui efek samping dari pengobatan. Oleh karena diperlukan kepatuhan yang tinggi dalam pengobatan, maka diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) untuk memantau pengobatan dan mengingatkan pemeriksaan yang perlu dilakukan.

PMO adalah petugas kesehatan yang membantu mengawasi pasien TB Resistan Obat selama masa pengobatan hingga sembuh. Peran PMO dalam pengobatan adalah:

1) Memastikan pasien menelan obat sesuai aturan sejak awal pengobatan sampai sembuh, yaitu:

- Membuat kesepakatan antara PMO dan pasien mengenai lokasi dan waktu menelan obat .

- PMO dan pasien harus menepati kesepakatan yang sudah dibuat. - Pasien menelan obat dengan disaksikan oleh PMO.

(13)

2) Memberikan dukungan moral kepada pasien agar dapat menjalani pengobatan secara lengkap dan teratur, yaitu:

- Meyakinkan kepada pasien bahwa TB MDR bisa disembuhkan dengan minum obat secara lengkap dan teratur.

- Memotivasi pasien untuk tetap minum obatnya saat mulai bosan.

- Mendengarkan setiap keluhan pasien, menghiburnya dan menumbuhkan rasa percaya diri.

- Menjelaskan manfaat bila pasien menyelesaikan pengobatan agar pasien tidak putus berobat.

3) Mengingatkan pasien TB Resistan Obat datang ke Fasyankes untuk mendapatkan obat dan periksa ulang dahak sesuai jadwal, yaitu:

- Mengingatkan pasien datang ke Fasyankes untuk mendapatkan obat berdasarkan jadwal pada kartu identitas pasien (TB.02 MDR).

- Memastikan bahwa pasien sudah mengambil obat.

- Mengingatkan pasien jadwal periksa ulang dahak berdasarkan yang tertera pada kartu identitas pasien (TB.02 MDR).

- Memastikan bahwa pasien sudah melakukan periksa ulang dahak.

4) Menemukan dan mengenali gejala-gejala efek samping OAT dan menghubungi Fasyankes

- Menanyakan apakah pasien mengalami keluhan setelah menelan OAT. - Mendampingi pasien ke Fasyankes bila mengalami efek samping obat. - Menenangkan pasien bahwa keluhan yang dialami bisa ditangani.

(14)

5) Memberikan penyuluhan tentang TB MDR kepada keluarga pasien atau orang yang tinggal serumah, yaitu tentang:

- TB MDR adalah penyakit menular, cara penularan TB MDR, gejala-gejala TB MDR dan cara pencegahannya,

- TB MDR disebabkan oleh kuman, tidak disebabkan oleh guna-guna atau kutukan dan bukan penyakit keturunan,

- TB MDR dapat terjadi karena pasien TB tidak minum obat tuberkulosis secara teratur,

- TB MDR dapat disembuhkan dengan berobat lengkap dan teratur,

- Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, yaitu: tahap awal dan lanjutan, yang lamanya berkisar19-24 bulan,

- Obat TB MDR harus diminum sekaligus pada waktu yang sama setiap harinya,

- Tidak ada obat lain untuk mengobati TB MDR,

- Pentingnya pengawasan agar pasien berobat secara lengkap dan teratur, - Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta

pertolongan ke Fasyankes.

6) Mengidentifikasi adanya kontak erat dengan pasien TB Resisten Obat dan apa yang harus dilakukan terhadap kontak erat tersebut.

2.1.9. Pencegahan terhadap Terjadinya Resistensi OAT 1. Standarisasi pemberian regimen yang efektif

(15)

3. Penyediaan suatu pedoman terapi terhadap TB

4. Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terpai sesuai “evidence based”.

5. Tes kepekaan bakteri Mycobacterium Tuberculosis 6. Pengelompokkan kasus TB secara tepat

7. Regimen obat yang adekuat untuk semua kategori pasien

8. Identifikasi dini dan pengobatan yang adekuat untuk kasus TB resisten

9. Integrasi program DOTS dengan pengobatan resisten TB akan bekerja sinergis untuk menghilangkan sumber penularan.

10. Pengendalian infeksi

2.1.10. Manajemen Program TB Resistan Obat

Manajemen program TB resistan Obat (Programmatic Management of Drug Resistant Tuberculosis) atau MTPTRO (Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resisten Obat) merupakan program yang sistematis, komprehensif dan terpadu sesuai kerangka kerja DOTS dalam mengendalikan perkembangan TB kebal obat agar tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat, dengan kegiatan utama :

a. Pencegahan terjadinya TB resistan obat b. Penemuan secara dini

c. Tatalaksana kasus TB resistan obat yang bermutu mengacu kepada strategi DOTS dan ISTC (International Standard for TB Care)

d. Pengurangan risiko penularan dan

(16)

Komponen dalam program Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat adalah :

1. Komitmen politik yang berkesinambungan

Komitmen politis yang berkesinambungan sangat penting untukmenerapkan dan mempertahankan komponen DOTS lainnya.Dibutuhkan investasi dan komitmen yang berkesinambungan untuk menjamin kondisi yang mendukung terintegrasinya manajemen kasusTB Resistan Obat ke dalam program TB nasional. Kondisi yang mendukung tersebut diantaranya adalah pengembangan infrastruktur, pengembangan Sumber Daya Manusia, kerja sama lintas program dan lintas sektor, dukungan dari kebijakan-kebijakan pengendalian TB untuk pelaksanaan program secara rasional, termasuk tersedianya OAT lini kedua dan sarana pendukung lainnya.Selain itu, Program Pengendalian TB Nasional harus diperkuat untuk mencegah meningkatnya kejadian TB MDR dan timbulnya TB XDR.

2. Strategi penemuan pasien TB Resistan Obat yang rasional melalui pemeriksaan biakan dan uji kepekaan.

Diagnosis yang akurat dan tepat waktu adalah landasan utama dalam Program Pengendalian TB Nasional, termasuk mempertimbangkan perkembangan teknologi yang sudah ada maupun baru. Resistansi obat harus didiagnosis secara tepat sebelum dapat diobati secara efektif. Proses penegakan diagnosis TB Resistan Obat adalah pemeriksaan apusan dahak secara mikroskopis, biakan, dan uji kepekaan yang dilakukan di laboratorium rujukan yang sudah tersertifikasi oleh laboratorium supra nasional.

(17)

3. Pengelolaan pasien TB Resistan Obat yang baik menggunakan strategi pengobatan yang tepat dengan OAT lini kedua.Untuk mengobati pasien TB Resistan Obat, diperlukan paduan OAT lini kedua dan lini satu yang masih sensitif dan berkualitas dengan panduan pengobatan yang tepat. OAT lini kedua lebih rumit dalam pengelolaannya antara lain penentuan paduan obat, dosis, cara pemberian, lama pemberian, perhitungan kebutuhan, penyimpanan dan sebagainya. Selain itu, harga OAT lini dua jauh lebih mahal, potensi yang dimiliki lebih rendah, efek samping lebih banyak dan lebih berat daripada OAT lini pertama. Strategi pengobatan yang tepat adalah pemakaian OAT secara rasional, pengobatan didampingi pengawas menelan obat yang terlatih yaitu petugas kesehatan. Pengobatan didukung oleh pelayanan TB MDR dengan keberpihakan kepada pasien, serta adanya prosedur tetap untuk mengawasi dan mengatasi kejadian efek samping obat.

4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua berkualitas yang tidak terputus.

Pengelolaan OAT lini kedua lebih rumit daripada OAT lini pertama. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : waktu kadaluarsa yang lebih singkat, cara penghitungan kebutuhan pemakaian yang berdasar kebutuhan per individual pasien, jangka waktu pemberian yang berbeda sesuai respons pengobatan, beberapa obat memerlukan cara penyimpanan khusus yang tidak memungkinkan untuk dikemas dalam sistem paket. Kerumitan tersebut memerlukan upaya tambahan dari petugas farmasi/ petugas kesehatan yang terlibat dalam pengelolaan

(18)

OAT lini kedua di setiap jenjang, dimulai dari perhitungan kebutuhan, penyimpanan, sampai persiapan pemberian OAT kepada pasien.

Untuk menjamin tidak terputusnya pemberian OAT, maka stok OAT harus tersedia dalam jumlah cukup untuk minimal 6 bulan sebelum obat diperkirakan habis. OAT lini kedua yang digunakan harus berkualitas dan sesuai standar WHO. 5. Pencatatan dan pelaporan secara baku

Prosedur penegakan diagnosis TB Resistan Obat memerlukan waktu yang bervariasi (tergantung metode yang dipakai), masa pengobatan yang panjang dan tidak sama lamanya, banyaknya jumlah OAT yang ditelan, efek samping yang mungkin ditimbulkan, merupakan hal-hal yang menyebabkan perbedaan antara pencatatan pelaporan program. Hasil pencatatan dan pelaporan diperlukan untuk analisis kohort, untuk menghitung indikator antara dan laporan hasil pengobatan.

Sejak tahun 2012 RSUP H.Adam Malik telah menjadi Rumah Sakit rujukan TB MDR dan telah menemukan suspek sebanyak 556 orang dan 79 penderita TB MDR. Namun dalam masa pengobatan banyak pasien yang droup out, gagal dan meninggal. Dan saat ini yang sedang menjalani pengobatan sebanyak 52 orang. Pasien tersebut berasal dari beberapa kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara.

2.2. Perilaku

2.2.1. Konsep Perilaku

Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).Perilaku juga dapat dikatakan sebagai totalitas penghayatan

(19)

dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara beberapa faktor. Sebagian besar perilaku manusia adalah operant response yang berarti respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus tertentu yang disebut reinforcing stimulation atau dengan adanya stimulasi akan memperkuat respons. Oleh karena itu untuk membentuk perilaku perlu adanya suatu kondisi tertentu yang dapat memperkuat pembentukan perilaku.

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan.Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas, antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2003), bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini maka perilaku dapat dibedakan menjadi 2 (dua) :

(20)

Respon atau reaksi terhadap stimulus ini terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

2. Perilaku Terbuka (Overt Behavior)

Respons terhadap stimulus ini sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain (Notoatmodjo, 2003).

2.2.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku

Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut juga determinan perilaku, yang dapat dibedakan menjadi dua yakni :

a) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik individu yang bersangkutan yang bersifat bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan lain-lain.

b) Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

Menurut WHO (World Health Organisation) dalam Notoatmodjo (2005), alasan seseorang berperilaku tertentu adalah karena pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian seseorang terhadap objek.

2.2.3. Aspek-aspek Perilaku

(21)

a. Pengetahuan, adalah aspek perilaku yang merupakan hasil tahu, dimana ini terjadi bila seseorang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu.

Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003), dari hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam dirinya orang tersebut terjadi proses berurutan, yaitu:

a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

b. Interest, dimana orang mulai tertarik kepada stimulus.

c. Evaluation, orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

d. Trial, dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru.

e. Adoption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

b. Sikap, merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap belum merupakan tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku.Sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan seperti menerima, merespon, menghargai dan bertanggungjawab.

Menurut Fishbein dan Ajzen dalam Dayakisni dan Hudaniah (2003), sikap sebagai predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten dalam cara tertentu berkenaan dengan objek tertentu. Sherif & Sherif dalam Dayakisni & Hudaniah (2003) menyatakan bahwa sikap menentukan keadaan dan kekhasan perilaku

(22)

seseorang dalam hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadian-kejadian tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku.

Azwar (2007), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran: a. Kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis

Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood dalam Azwar (2007). Menurut mereka sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut.

b. Kerangka pemikiran ini diwakili oleh ahli seperti Chave, Bogardus, LaPierre, Mead dan Gordon Allport dalam Azwar (2007),. Menurut kelompok pemikiran ini sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan yang potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon.

c. Kelompok pemikiran ini adalah kelompok yang berorientasi pada skema triadik (triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi di dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.

Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif, (1) sikap positif adalah apabila timbul persepsi yang positif terhadap stimulus yang diberikan dapat

(23)

berkembang sebaik-baiknya karena orang tersebut memiliki pandangan yang positif terhadap stimulus yang telah diberikan. (2) sikap negatif apabila terbentuk persepsi negatif terhadap stimulus yang telah diberikan. Struktur sikap menurut Kothandapani (dalam Azwar, 2007) dibagi menjadi 3 komponen yang saling menunjang. Ketiga komponen tersebut pembentukan sikap, yaitu sebagai komponen kognitif (kepercayaan), emosional (perasaan) dan komponen konatif (tindakan).

c. Tindakan, adalah sesuatu yang dilakukan. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk terwujudnya sikap agar menjadi perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain adalah fasilitas. Tindakan ini juga memiliki beberapa tingkatan yaitu : persepsi (perception), respon terpimpin (guided respons), mekanisme (mecanism), adaptasi (adaptation). Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau buan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.

Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, berpikir, sifat, motivasi, reaksi dan sebagainya, namun demikian sulit dibedakan refleksi dan gejala kejiwaan yang mana seseorang itu berperilaku tertentu. Apabila kita telusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan

(24)

yang tercermin dalam perilaku manusia itu adalah pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosio masyarakat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005).

2.2.4. Perilaku Kesehatan

Dalam hal perilaku kesehatan, respons atau reaksi manusia yang bersifat pasif, yaitu meliputi pengetahuan, persepsi dan sikap dan yang bersifat aktif adalah tindakan yang nyata atau practice. Sedangkan aspek stimulusnya meliputi 4 unsur pokok, yaitu sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan (Notoatmodjo, 2003).

Becker,(1979) mengklarifikasikan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (health related behaviour)sebagai berikut :

- Perilaku kesehatan (health behaviour), yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya.

- Perilaku sakit (the sick role behaviour) yaitu segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang yang merasa sakit, untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit, termasuk kemampuan atau pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab penyakit, serta usaha-usaha mencegah penyakit tersebut.

Green (1980) mengindentifikasi bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor sebagai berikut :

- Faktor presdisposisi (Presdisposing factors), yaitu : pengetahuan, sikap, nilai dan persepsi

(25)

- Faktor kemungkinan (Enabling factors), yaitu : ketersediaan sumber daya, keterjangkauan, keterampilan petugas.

- Faktor penguat (Reinforcing factors), yaitu : sikap dan perilaku petugas kesehatan, dan petugas lain (keluarga), teman sebaya/sejawat, orang tua dan lain-lain.

Dari teori Green di atas dapat diperkirakan bahwa salah satu cara untuk merubah perilaku adalah dengan melakukan intervensi terhadap faktor predisposisi, yaitu dengan merubah pengetahuan, sikap, nilai dan persepsi terhadap masalah kesehatan melalui kegiatan pendidikan kesehatan.

2.3. Faktor Intrinsik dan Ekstrinsik yang Memengaruhi terjadinya TB MDR Kajian epidemiologi untuk masalah kesehatan memusatkan perhatian dalam tiga hal yaitu penyakit atau efek suatu kejadian, faktor resiko dan agent penyakit (Murti,1995). Faktor risiko adalah faktor-faktor atau keadaan yang memengaruhi perkembangan suatu penyakit atau status kesehatan. Istilah memengaruhi disini adalah menimbulkan resiko lebih besar pada individu untuk terjadi suatu status kesehatan/penyakit pada masyarakat. Menurut paratiknya (2003) faktor risiko pada tingkat individu dikenal dua macam, yaitu :

a. Faktor risiko yang berasal dari dalam organisme (faktor risiko intrinsik). b. Faktor resiko yang berasal dari luar/lingkungan (faktor risiko ekstrinsik)

Skema berikut dapat menjelaskan hubungan faktor risiko dengan organisme dan efek.

(26)

Gambar 2.2. Skema Faktor Risiko pada Individu

Faktor risiko intrinsik adalah tingkat kepekaan individu terhadap suatu penyakit atau kepekaan/respon individu terhadap perubahan perilaku, seperti perilaku berobat penderita TB dapat mencakup pengetahuan, sikap dan persepsinya terhadap sakit dan penyakit TB tersebut. Faktor risiko ekstrinsik adalah faktor – faktor lingkungan yang memudahkan individu terjangkit suatu penyakit atau perubahan perilaku.

Dari uraian di atas memungkinkan pengelompokkan faktor – faktor yang dapat menyebabkan seseorang untuk berperilaku tertentu di masyarakat. Begitu juga halnya dengan faktor yang memengaruhi perilaku penderita TB menjadi resisten terhadap isoniazid dan rifampicin yaitu :

2.3.1. Faktor Risiko Intrinsik

Beberapa faktor yang diduga dapat memengaruhi kepatuhan penderita tuberkulosis di dalam menjalani pengobatan bahkan menghentikan pengobatan sebelum waktunya antara lain:

(27)

a. Umur

Di Negara berkembang, mayoritas yang terinfeksi TB adalah golongan usia dibawah 50 tahun, namun dinegara maju prevalensi justru tinggi pada usia yang lebih tua. Pada usia tua, TB mempunyai gejala dan tanda yang tidak spesifik sehingga sulit terdiagnosis, sering terjadi reaktivasi fokus dorman, selain itu berkaitan dengan perkembangan faktor komorbid yang dihubungkan dengan penurunan cell mediated immunity seperti pada keganasan, penggunaan obat immunosupresif dan faktor ketuaan. Umur merupakan faktor predisposisi terjadinya perubahan perilaku yang dikaitkan dengan kematangan fisik dan psikis dari penderita TB paru. Pada usia tua angka ketidakteraturan berobat lebih tinggi disebabkan karena lupa dan kepasrahan mereka terhadap sakit yang diderita (Ratnawati, 2000). Akibat dari ketidakteraturan berobat inilah yang menjadi pemicu terjadinya resistan terhadap obat TB.

b. Jenis Kelamin

Secara epidemiologi dibuktikan terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal prevalensi infeksi, progresivity penyakit, insidens dan kematian akibat TB, perkembangan penyakit juga mempunyai perbedaan antara laki-laki dan perempuan yaitu perempuan mempunyai penyakit yang lebih berat pada saat datang ke rumah sakit, perempuan lebih sering datang terlambat datang ke pelayanan kesehatan, hal ini mungkin berhubungan dengan aib dan rasa malu lebih dirasakan pada perempuan dibanding laki-laki. Selain itu dalam hal pengobatan laki-laki cenderung teratur berobat dibanding dengan wanita, ini mungkin didasari rasa tanggung jawab terhadap keluarga sehingga dia dapat menyelesaikan pengobatannya.

(28)

c. Pendidikan

Pendidikan berkaitan dengan pengetahuan penderita. Pendidikan rendah mengakibatkan pengetahuan rendah. Rendahnya pendidikan seorang penderita TB dapat memengaruhi seseorang untuk mencari pelayanan kesehatan. Masih banyak penderita TB berhenti berobat karena keluhan sakit sudah hilang, padahal penyakitnya belum sembuh. Ini terjadi karena kurangnya pemahaman tentang apa yang telah disampaikan oleh petugas kesehatan sehingga mengakibatkan kuman TB resisten terhadap obat TB. Faktor pendidikan erat kaitannya dengan kepatuhan penderita TB berobat dan minum obat secara teratur (Wirdani, 2000).

d. Pekerjaan

Jenis pekerjaan tertentu berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat penderita TB. Hal ini disebabkan oleh kesibukan dan keadaan ekonomi dan lebih diperparah oleh pekerjaan diluar kota (jauh) sehingga penderita tidak sempat untuk mengambil OAT ke fasilitan pelayanan kesehatan yang mengakibatkan penderita tidak teratur menelan OAT sehingga mengakibatkan kuman TB kebal terhadap OAT. e. Pengetahuan

Akibat dari rendahnya pengetahuan pasien TB yang disebabkan oleh pendidikan rendah atau bila berpendidikan tinggi mungkin disebabkan oleh pengetahuan penderita tentang tuberkulosis masih kurang sehingga sering seorang penderita tuberkulosis menghentikan pengobatannya karena merasa penyakitnya sudah sembuh karena sudah tidak ada batuk, nafsu makan meningkat serta berat badan sudah bertambah sehingga penderita menghentikan pengobatannya sebelum

(29)

sampai waktunya. Pengetahuan masyarakat tentang TB yang masih rendah ini tentu saja diperlukan upaya promosi dan advokasi yang lebih intens untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktek masyarakat terhadapat TB (Litbangkes SPTBC 2004).

f. Sikap

Lamanya waktu pengobatan TB dapat menimbulkan perasaan bosan, kecemasan, depresi, terisolasi, penolakan dan perasaan tidak berguna karena kehilangan pekerjaan serta tidak dapat aktif lagi secara sosial, merasa dikucilkan hal ini dapat mengakibatkan penderita TB tidak teratur menelan OAT, tidak mematuhi anjuran dokter bahkan menghentikan pengobatan secara sepihak hal ini juga dapat menyebabkan terjadinya TB MDR

g. Efek Samping Obat

Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping ringan dan berat. (Depkes, 2011). Penderita TB yang mengeluhkan efek samping obat dari OAT cendrung untuk tidak patuh dalam rangkaian pengobatannya yaitu tiga kali lipat bila dibanding dengan mereka yang tidak mengeluhkan efek samping, (Syaumaryadi, 2000). Akibat efek samping tersebut penderita TB menghentikan pengobatannya secara sepihak.

(30)

2.3.2. Faktor Risiko Ekstrinsik a. Pengawas Menelan Obat ( PMO).

Menurut Depkes RI (2006) agar kesembuhan penderita dapat dicapai dengan baik, perlu dilakukan pengawasan langsung menelan obat, terutama pada pengobatan tahap awal (intensif). Untuk melakukan pengawasan tersebut perlu ditunjuk PMO bagi setiap penderita. Penunjukan PMO ini perlu didiskusikan dengan penderita dengan penjelasan bahwa PMO itu penting. Penunjukan PMO harus dengan persetujuan penderita agar pelaksanaan pengawasan menelan obat dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Bagi PMO yang menjalankan perannya dengan baik akan membuat penderita menjadi teratur dalam pengobatan dan sebaliknya jika PMO tidak menjalankan perannya dengan baik penderita menjadi tidak teratur dalam pengobatannya.

Tugas PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban penderita mengambil obat ke fasilitas pelayanan kesehatan tetapi peran PMO mencakup :

1) Memastikan pasien menelan obat sesuai aturan sejak awal pengobatan sampai sembuh

2) Mendampingi pasien pada saat kunjungan konsultasi ke fasyankes dan memberikan dukungan moral kepada pasien agar dapat menjalani pengobatan secara lengkap dan teratur

3) Mengingatkan pasien TB datang ke fasyankes untuk mendapatkan obat dan periksa ulang dahak sesuai jadwal

(31)

4) Menemukan dan mengenali gejala-gejala efek samping OAT dan menghubungi fasyankes

5) Memberikan penyuluhan tentang TB kepada keluarga pasien atau orang yang tinggal serumah

6) Mengidentifikasi adanya kontak erat dengan pasien TB dan apa yang harus dilakukan terhadap kontak erat tersebut

b. Kualitas OAT

Kualitas dan mutu OAT yang baik akan memperoleh efek yang baik terhadap hasil pengobatan dibanding dengan mutu yang kurang baik. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlahcukup dan dosis tepat selama 6 – 8 bulan sesuai dengan kategori pengobatan dan hindari penggunaan monoterapi sehingga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin ketersediaan obat sampai pengobatan selesai. WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease ( IUATLD) merekomendasikan OAT standar dalam strategi DOTS dimana diharuskan adanya komponen kesinambungan persedian OAT jangka pendek dengan mutu yang terjamin ( Kemenkes RI,2011).

c. Keterlambatan Diagnosis

Elemen penting dalam program penanggulangan tuberkulosis (TB) adalah diagnosis dini dan pemberian terapi yang cepat dan tepat. Hal ini terutama penting pada kasus-kasus dengan basil tahan asam (BTA) positif, karena bila terlambat

(32)

mendiagnosis dan memberi terapi, dapat menjadi sumber penularan dan meningkatkan periode penularan dalam masyarakat. Disamping itu, dapat menyebabkan penyakit lebih berat, komplikasi lebih banyak dan angka kematian meningkat.Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis juga akan menyebabkan penyebaran galur resistensi obat. Penyebaran ini tidak hanya pada pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan keluarga pasien

d. Perilaku Petugas Kesehatan

Kegiatan petugas kesehatan dalam program TB meliputi mulai penemuanm penderita, pemeriksaan laboratorium, pengobatan dan pencatatan & pelaporan (Kemenkes RI, 2011). Apabila perilaku petugas itu dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab, ramah tamah, penderita segera diobati tanpa menunggu berlama-lama, diperiksa oleh dokter, penderita merasa dihargai, penderita diberi penyelasan/penyuluhan pentingnya berobat teratur dan aktif dalam berbagai masalah yang mungkin timbul dalam masa pengobatan penderita, maka penderita merasa puas sehingga memungkinkan penderita untuk berobat teratur. Sikab bersahabat petugas kesehatan akan cenderung membuat pasien merasa nyaman untuk datang kembali sehingga penderita tetap melanjutkan pengobatan sampai selesai.

e. Jarak ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Jarak rumah penderita yang jauh dengan fasilitas pelayanan kesehatan sering menjadi masalah kelangsungan keteraturan pengobatan, juga kemampuan orang untuk berjalan menuju ke tempat pelayanan. Jarak tempat tinggal yang jauh dengan

(33)

fasilitas pelayanan kesehatan berhubungan dengan biaya yang dikeluarkan untuk ongkos dan waktu yang digunakan, hal ini akan mempengaruhi ketidak teraturan berobat penderita, (Armaidi Darmawan, 2002).

f. Pendapatan

Walaupun sarana kesehatan yang disediakan pemerintah biayanya relatih murah, namun masih banyak diantara penduduk Indonesia terutama yang bermukim di pedesaan tidak dapat menjangkau biaya tersebut. Biasanya mereka akan pergi ke rumah sakit atau puskesmas kalau sudah dalam keadaan gawat. Mereka yang berobat ke rumah sakit ini tidak jarang terjadi ketidaksanggupan menembus obat karena ketiadaan dana (Gani, 1999).

g. Ketersediaan OAT

Ketersediaan OAT yang bermutu sangat diperlukan untuk menjamin penderita dapat menyelesaikan pengobatan sampai selesai. “satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan”. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang berhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan akan menyebabkan terjadinya resistensi kuman TB.

h. Ketidakteraturan Berobat

Ketidakteraturan berobat merupakan penyebab utama kegagalan pengobatan, kekambuhan dan resistensi obat. Untuk memastikan kepatuhan penderita terhadap paket pengobatan dan untuk menekan risiko efek samping strategi DOTS perlu dilaksanakan pada semua penderita TB.

(34)

2.4. Landasan Teori

Berdasarkan kemenkes RI dan Priyanti Z Soepandi faktor yang memengaruhi terjadinya TB MDR adalah :

(35)

2.5. Kerangka Konsep Variabel Bebas

Variabel Terikat

Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian Faktor ekstrinsik :

- PMO

- Kualitas OAT

- Keterlambatan diagnosis - Perilaku Petugas Kesehatan - Jarak ke Fasyankes - Pendapatan - Ketersediaan OAT - Ketidakteraturan berobat TB MDR Faktor intrinsik : - Pendidikan - Pekerjaan - Pengetahuan - Sikap

Gambar

Gambar 2.1. Alur Penegakan Diagnosis TB Resistan Obat
Gambar 2.2. Skema Faktor Risiko pada Individu
Gambar 2.3. Kerangka Teori
Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian Faktor ekstrinsik :

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai ketua PKL Basudewo yang memiliki pengaruh besar terhadap para anggotanya, pak Achmad memiliki jaringan relasi sosial yang cukup luas, tidak hanya dengan sesama

(1) Kepala surat edaran yang ditandatangani sendiri atau atas nama Ketua Ombudsman RI, berisi lambang negara dan tulisan Ombudsman Republik Indonesia, ditulis dengan

Tugas kelompok (dilakukan di hari H): Mengenal lingkungan tempat perkuliahan Dalam upaya mengenalkan mahasiswa mengenai lingkungan kampus Semanggi Unika Atma Jaya, maka

Dengan terbentuknya Kabupaten Mimika, maka untuk mencapai daya-guna dan hasilguna dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan serta

b. Studi Lapangan adalah untuk mengetahui dan mempelajari bagaimana gitar elektrik senar 8 dengan kombinasi smartphone ini agar bisa direalisasikan. Studi Lapangan adalah teknik

Menganalisis perbedaan status pemberian ASI eksklusif, umur ibu tingkat pengetahuan ibu, tingkat pendidikan ibu, tingkat pendapatan ibu, jenis pekerjaan, paritas,

Pembuatan sistem informasi bimbingan konseling (BK) diharapkan dapat membantu dan mempermudah guru BK dalam pencatatan data pribadi siswa, tindakan bimbingan

Perhitungan kondisi keseluruhan merupakan perhitungan gabungan dari performa DGA, kualitas minyak, furan, dan tap changer yang telah didapatkan. Perhitung keseluruhan health