BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep-Konsep dan Definisi 2.1.1 Pengelolaan Keuangan Daerah
Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Pengelolaaan keuangan yang baik yaitu: 1) pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu (efisien), 2) perolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga terendah (ekonomis), 3) pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil (efektif), 4) prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui/mengakses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah (transparan), 5) perwujudan kewajiban setiap orang atau satuan kerja untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan (bertanggung jawab),
6) keseimbangan distribusi alokasi pendanaan (keadilan), dan 7) tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional (kepatutan).
Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan keuangan daerah dalam pelaksanaannya ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tanggal 23 Mei 2011 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006.
Dari pengertian pengelolaan keuangan daerah tersebut, maka tahapan yang harus dilakukan dalam pengelolaan keuangan daerah adalah sebagai berikut: 1) Perencanaan Pengelolaan Keuangan Daerah
Yang harus diperhatikan dalam perencanaan adalah penetapan secara jelas tujuan dan sasaran, hasil dan manfaat, serta indikator kinerja yang ingin dicapai. Selain itu, harus diperhatikan penetapan prioritas kegiatan dan perhitungan beban kerja, serta penetapan harga satuan yang rasional.
2) Pelaksanaan dan Penatausahaan Keuangan Daerah
Kepala daerah selaku pemegang kekuasaan penyelenggaraan pemerintah daerah adalah juga pemegang kekuasaan dalam pengelolaan
keuangan daerah. Selanjutnya kekuasaan tersebut dilaksanakan oleh Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah dan dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pejabat Pengguna Anggaran/Barang daerah di bawah koordinasi Sekretaris Daerah. Pemisahan ini akan memberikan kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggungjawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintah.
3) Pelaporan dan Pertanggungjawaban
Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel dan transparan, pemerintah daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban berupa Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Operasional, Laporan Arus Kas, Laporan Perubahan Ekuitas, Neraca, Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan keuangan dimaksud disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah.
4) Pengawasan
Pengawasan pengelolaan keuangan daerah berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebelum dilaporkan kepada masyarakat melalui DPRD, laporan keuangan perlu diperiksa terlebih dahulu oleh BPK.
Kepala daerah untuk mengelola keuangan berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian
dari kekuasaan pemerintahan daerah. Dalam melaksanakan kekuasaannya, kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaan keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah. Dengan demikian pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah dapat berjalan dengan baik sesuai dengan fungsi perangkat daerah. Pimpinan perangkat daerah selaku Pengguna Anggaran dalam mengelola keuangan daerah di masing-masing organisasi perangkat daerah dibantu oleh satuan Pengelola Keuangan yang terdiri dari Pejabat Penatausahaan Keuangan dan Bendahara.
Pengelolaan keuangan daerah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tanggal 15 Mei 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tanggal 23 Mei 2011 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006. Adapun azas pengelolaan keuangan daerah yaitu keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, bertanggungjawab, keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
Secara tertib artinya bahwa keuangan daerah dikelola secara tepat waktu dan tepat guna yang didukung dengan bukti-bukti administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Taat pada peraturan perundang-undangan artinya bahwa pengelolaan keuangan daerah harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Efektif merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil. Efisien
merupakan pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu. Ekonomis merupakan pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah. Transparan merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah. Bertanggung jawab merupakan perwujudan kewajiban seseorang untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Keadilan adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang obyektif. Kepatutan adalah tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional. Manfaat untuk masyarakat adalah bahwa keuangan daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Menurut Dedi Kusmayadi (2009) dalam Boekorsjom, pengelolaan keuangan daerah berpengaruh terhadap good governance. Semakin efisien dan efektifnya penatausahaan keuangan daerah yang merupakan bagian dari siklus pengelolaan keuangan daerah yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pemeriksaan keuangan daerah akan memberikan dampak yang baik terhadap pencapaian good
governance yakni terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan
pemerintahan yang bersih, efisien, efektif, transparan, profesional dan akuntabel. Menurut Nurlan Darise (2009) dalam Boekorsjom keberhasilan pengelolaan
keuangan daerah mempunyai dampak langsung terhadap keberhasilan otonomi daerah dan sumbangan yang besar dalam upaya mewujudkan good governance.
Menurut Auditya (2013), SAKIP adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi dan strategi instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan. Tingkat keberhasilan tersebut dipengaruhi oleh pengelolaan keuangan daerah. Setelah suatu sistem pengelolaan keuangan terbentuk, perlu disiapkan suatu alat untuk mengukur kinerja dan mengendalikan pemerintahan agar tidak terjadi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tidak adanya kepastian hukum dan stabilitas politik, dan ketidakjelasan arah dan kebijakan pembangunan.
2.1.2 Sistem Pengendalian Internal Pemerintah
Sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008, Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dilaksanakan dengan berpedoman pada SPIP.
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah sistem pengendalian intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pengawasan intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik. Indikator sistem pengendalian intern pemerintah terdiri dari.
1) Lingkungan pengendalian (control environment)
Terdiri dari tindakan, kebijakan dan prosedur yang mencerminkan sikap menyeluruh manajemen puncak, direktur dan pemilik suatu entitas terhadap pengendalian intern dan pentingnya pengendalian tersebut. Pimpinan instansi pemerintah wajib menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan sistem pengendalian intern dalam lingkungan kerjanya, melalui: penegakan integritas dan nilai etika, komitmen terhadap kompetensi, kepemimpinan yang kondusif, pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan, pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat, penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia, perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif, dan hubungan kerja yang baik dengan instansi pemerintah terkait.
2) Penilaian risiko (risk assessment)
Adalah sebagai suatu proses untuk mengidentifikasikan, menaksir, mengelola dan mengendalikan situai atau kejadian-kejadian potensial untuk memberikan keyakinan memadai bahwa tujuan organisasi tercapai. Dalam rangka penilaian risiko, pimpinan instansi pemerintah menetapkan tujuan instansi pemerintah dan tujuan pada tingkatan kegiatan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Tujuan instansi pemerintah memuat pernyataan dan arahan yang spesifik, terukur, dapat dicapai, realistis, dan terikat waktu. Penetapan tujuan pada tingkatan kegiatan dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut: berdasarkan pada tujuan dan rencana strategis instansi pemerintah, saling melengkapi, saling menunjang, dan tidak bertentangan satu dengan lainnya, relevan dengan seluruh kegiatan utama instansi pemerintah, mengandung unsur kriteria pengukuran, didukung sumber daya instansi pemerintah yang cukup, dan melibatkan seluruh tingkat pejabat dalam proses penetapannya.
3) Kegiatan pengendalian (control activity)
Adalah kebijakan dan prosedur yang membantu meyakinkan bahwa tindakan yang diperlukan telah dilaksanakan untuk menghadapi risiko dalam pencapaian tujuan entitas. Pimpinan instansi pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi instansi pemerintah yang bersangkutan. Penyelenggaraan kegiatan pengendalian sekurang-kurangnya memiliki karakteristik sebagai berikut: kegiatan pengendalian diutamakan
pada kegiatan pokok instansi pemerintah, kegiatan pengendalian harus dikaitkan dengan proses penilaian risiko, kegiatan pengendalian yang dipilih disesuaikan dengan sifat khusus instansi pemerintah, kebijakan dan prosedur harus ditetapkan secara tertulis, prosedur yang telah ditetapkan harus dilaksanakan sesuai yang ditetapkan secara tertulis, dan kegiatan pengendalian dievaluasi secara teratur untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut masih sesuai dan berfungsi seperti yang diharapkan.
4) Informasi dan komunikasi (information and communication)
Tujuan terselenggarakannya sistem informasi dan komunikasi adalah untuk mengidentifikasi, mencatat, memproses, dan melaporkan transaksi entitas dan untuk memelihara akuntabilitas organisasi. Pimpinan instansi pemerintah wajib mengidentifikasi, mencatat, dan mengkomunikasikan informasi dalam bentuk dan waktu yang tepat. Untuk menyelenggarakan komunikasi yang efektif, pimpinan instansi pemerintah harus sekurang-kurangnya menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi dan mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi secara terus menerus.
5) Pemantauan (monitoring)
Merupakan proses penilaian kualitas kinerja pengendalian intern sepanjang waktu. Pimpinan instansi pemerintah wajib melakukan pemantauan sistem pengendalian intern. Pemantauan sistem pengendalian intern dilaksanakan melalui pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya. Pemantauan berkelanjutan
diselenggarakan melalui kegiatan pengelolaan rutin, supervisi, pembandingan, rekonsiliasi, dan tindakan lain yang terkait dalam pelaksanaan tugas. Evaluasi terpisah diselenggarakan melalui penilaian sendiri, reviu, dan pengujian efektivitas sistem pengendalian intern. Evaluasi terpisah dapat dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah atau pihak eksternal pemerintah. Evaluasi terpisah dapat dilakukan dengan menggunakan daftar uji pengendalian intern.
Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) merupakan suatu cara untuk mengarahkan, mengawasi, dan mengukur sumber daya suatu organisasi, serta berperan penting dalam pencegahan dan pendeteksian penggelapan (fraud). Pengendalian intern terdiri atas kebijakan dan prosedur yang digunakan dalam mencapai sasaran dan menjamin atau menyediakan informasi keuangan yang andal, serta menjamin ditaatinya hukum dan peraturan yang berlaku. Dilihat dari tujuan tersebut, maka sistem pengendalian intern dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pengendalian intern akuntansi dan pengendalian administratif. Pengendalian intern akuntansi dibuat untuk mencegah terjadinya inefisiensi yang tujuannya adalah menjaga kekayaan organisasi dan memeriksa keakuratan data akuntansi. Sebagai contoh, adanya pemisahan fungsi dan tanggung jawab antar unit organisasi. Pengendalian administratif dibuat untuk mendorong dilakukannya efisiensi dan mendorong dipatuhinya kebijakan manajemen. Contohnya adalah adanya pemeriksaan laporan untuk mencari penyimpangan yang ada, untuk kemudian diambil tindakan.
Menurut Abdul Rohman (2009) dalam Kuswandari, SPIP berpengaruh terhadap SAKIP, dan membantu para anggota organisasi dalam melaksanakan tanggung jawab secara efektif dan mencapai kinerja yang lebih baik. Fungsi pengawasan intern memonitor apakah perilaku sudah berorientasi pada pencapaian kinerja yang baik, dan melakukan koreksi atau perilaku dan hasil yang menyimpang dari kinerja yang diinginkan. Sukmaningrum (2012) dalam Yusniar (2016) mengemukakan bahwa, sistem pengendalian intern meliputi berbagai alat manajemen yang bertujuan mencapai berbagai tujuan yang luas. Dengan demikian, pengendalian intern merupakan pondasi good governance dan garis pertama dalam melawan ketidakabsahan data dan informasi kinerja, sehingga pengendalian intern pemerintah berhubungan dengan good governance.
2.1.3 Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, yang selanjutnya disingkat AKIP, adalah rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat, dan prosedur yang dirancang untuk tujuan penetapan dan pengukuran, pengumpulan data, pengklasifikasian, pengikhtisaran, dan pelaporan kinerja pada instansi pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja instansi pemerintah. LAKIP merupakan dokumen yang berisi gambaran perwujudan AKIP yang disusun dan disampaikan secara sistematik dan melembaga sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 239/IX/6/8/2003 Tahun 2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Setiap instansi pemerintah
berkewajiban untuk menyiapkan, menyusun dan menyampaikan laporan kinerja secara tertulis, periodik dan melembaga. Pelaporan kinerja ini dimaksudkan untuk mengkomunikasikan capaian kinerja instansi pemerintah dalam suatu tahun anggaran yang dikaitkan dengan proses pencapaian tujuan dan sasaran instansi pemerintah. Instansi pemerintah yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkan dan menjelaskan keberhasilan dan kegagalan tingkat kinerja yang dicapainya.
Pelaporan kinerja oleh instansi pemerintah ini kemudian dituangkan dalam dokumen LAKIP. LAKIP dapat dikategorikan sebagai laporan rutin, karena paling tidak disusun dan disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan setahun sekali. Dalam rangka memenuhi tujuan tersebut perlu diatur prinsip-prinsip dalam penyusunan LAKIP agar LAKIP yang disusun tersebut berkualitas, sehingga dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada para stakeholders/pemangku kepentingan terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan.
Penguatan akuntabilitas kinerja merupakan salah satu program yang dilaksanakan dalam rangka reformasi birokrasi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN, meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, dan meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Penguatan akuntabilitas ini dilaksanakan dengan penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang SAKIP.
Untuk mengetahui sejauh mana instansi pemerintah mengimplementasikan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP)-nya, serta sekaligus untuk mendorong adanya peningkatan kinerja instansi pemerintah, maka perlu dilakukan suatu evaluasi implementasi SAKIP. Evaluasi ini dapat mendorong instansi pemerintah di pusat dan daerah untuk secara konsisten meningkatkan implementasi SAKIP-nya dan mewujudkan capaian kinerja (hasil) instansinya sesuai yang diamanahkan dalam RPJMN/RPJMD.
Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pedoman Evaluasi Atas Implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, indikator yang digunakan yaitu:
1) Perencanaan Kinerja
Untuk mengukur perencanaan kinerja instansi pemerintah, dilakukan penilaian atas tujuan yang ditetapkan harus dilengkapi dengan ukuran keberhasilan yang memrepresentasikan tercapai/terwujud atau tidaknya tujuan yang ditetapkan. RPJMD/Renstra harus menyajikan Indikator Kinerja Utama (IKU). RPJMD/Renstra dikatakan menyajikan/memanfaatkan IKU jika tujuan dan atau sasaran yang ada dapat direpresentasikan/relevan dengan IKU yang sudah diformalkan. Tujuan yang ditetapkan harus berorientasi hasil. Maksudnya, berkualitas outcome atau output penting, bukan merupakan proses/kegiatan, menggambarkan kondisi atau output penting yang ingin diwujudkan atau seharusnya terwujud, terkait dengan isu strategis organisasi, dan sesuai dengan tugas dan fungsi organisasi.
Ukuran keberhasilan (indikator) tujuan (outcome) telah memenuhi kriteria ukuran keberhasilan yang baik yaitu specific (tidak berdwimakna),
measureable (dapat diukur, dapat diidentifikasi satuan atau parameternya), achievable (dapat dicapai, relevan dengan tugas fungsinya dan dalam
kendalinya), relevance (terkait langsung dengan apa yang akan diukur),
timebound (mengacu atau menggambarkan kurun waktu tertentu).
2) Pengukuran Kinerja
Untuk mengukur perencanaan kinerja instansi pemerintah, dilakukan penilaian atas pemenuhan pengukuran yaitu: terdapat pedoman atau SOP tentang pengumpulan data kinerja yang up to date, ada kemudahan untuk menelusuri sumber datanya yang valid, ada kemudahan untuk mengakses data bagi pihak yang berkepentingan, terdapat penanggungjawab yang jelas, jelas waktu deliverynya, dan terdapat SOP yang jelas jika terjadi kesalahan data. Indikator kinerja utama harus memenuhi kriteria indikator yang baik. Indikator dikategorikan relevan apabila terkait langsung dengan kinerja (sasaran) utama atau kondisi yang akan diukur, mewakili (representative) kinerja (sasaran) utama atau kondisi yang akan diwujudkan.
3) Pelaporan Kinerja
Untuk mengukur perencanaan kinerja instansi pemerintah, dilakukan penilaian atas pemenuhan pelaporan serta penyajian informasi kinerja. Laporan kinerja harus menyajikan informasi pencapaian sasaran yang berorientasi outcome. Artinya, informasi yang disajikan dalam laporan kinerja menggambarkan hasil-hasil termasuk output-output penting yang telah dicapai
dan seharusnya tercapai sampai dengan saat ini. Laporan kinerja tidak hanya berfokus pada informasi tentang kegiatan atau proses yang telah dilaksanakan pada tahun yang bersangkutan. Laporan kinerja tidak berorientasi hanya pada informasi tentang realisasi seluruh anggaran yang telah digunakan. Laporan kinerja menguraikan hasil evaluasi dan analisis tentang capaian-capaian kinerja outcome atau output penting, bukan hanya proses atau realisasi kegiatan-kegiatan yang ada di dokumen anggaran.
Informasi yang disajikan harus digunakan dalam perbaikan perencanaan. Artinya laporan kinerja yang disusun sampai dengan saat ini telah berdampak kepada perbaikan perencanaan, baik perencanaan jangka menengah, tahunan maupun dalam penetapan atau perjanjian kinerja yang disusun. Dengan memanfaatkan informasi kinerja akan mengakibatkan perbaikan dalam pengelolaan program dan kegiatan dan dapat menyimpulkan keberhasilan atau kegagalan program secara terukur.
4) Evaluasi Kinerja
Terdapat pemantauan kemajuan terhadap pencapaian kinerja beserta hambatannya dengan cara mengidentifikasi, mencatat, mencari tahu, mengadministrasikan kemajuan (progress) kinerja, dapat menjawab atau menyimpulkan posisi (prestasi atau capaian) kinerja terakhir, mengambil langkah yang diperlukan untuk mengatasi hambatan pencapaian kinerja, serta melaporkan hasil pemantauan tersebut kepada pimpinan. Evaluasi atas pelaksanaan rencana aksi harus dilakukan. Adapun kriteria pelaksanaan rencana aksi yaitu terdapat informasi tentang capaian hasil-hasil rencana atau
agenda, simpulan keberhasilan atau ketidakberhasilan rencana atau agenda, analisis dan simpulan tentang kondisi sebelum dan sesudah dilaksanakannya suatu rencana atau agenda, serta terdapat ukuran yang memadai tentang keberhasilan rencana atau agenda.
5) Capaian Kinerja
Menilai dan menganalisis capaian kinerja organisasi sangatlah penting, Hal ini untuk meyakinkan bahwa kinerja dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan dalam rangka menuju tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis. Dengan demikian hasil pengukuran akan memudahkan untuk menilai apakah berhasil atau tidak berhasil. Menilai capaian kinerja perlu diciptakan dan dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan dan dalam mengukur kinerja.
Komponen capaian kinerja yaitu target yang telah ditetapkan dapat dicapai, capaian kinerja lebih baik dari tahun sebelumnya, serta informasi mengenai kinerja dapat diandalkan. Kriteria informasi kinerja dapat diandalkan adalah sebagai berikut: diperoleh dari dasar perhitungan (formulasi) yang valid, dihasilkan dari sumber-sumber atau basis data yang dapat dipercaya (kompeten), dapat ditelusuri sumber datanya, dapat diverifikasi, dan up to date.
Evaluasi penerapan AKIP diukur melalui laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP). Evaluasi LAKIP bertujuan untuk memperoleh informasi tentang implementasi AKIP dan saran perbaikan dalam meningkatkan
kinerja serta penguatan akuntabilitas instansi pemerintah sesuai dengan prioritas program pemerintah. Adapun kategori penilaian adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1
Kategori Hasil Evaluasi LAKIP
No Kategori Nilai Angka Interpretasi
1 2 3 4
1 AA >90-100 Sangat Memuaskan
2 A >80-90 Memuaskan, memimpin perubahan, berkinerja tinggi, dan sangat akuntabel
3 BB >70-80 Sangat Baik, akuntabel, berkinerja baik, memiliki sistem manajemen kinerja yang andal
4 B >60-70 Baik, akuntabilitas kinerjanya sudah baik, memiliki sistem yang dapat digunakan untuk manajemen kinerja, dan perlu sedikit perbaikan
5 CC >50-60 Cukup, memadai, akuntabilitas kinerjanya cukup baik, taat kebijakan, memiliki sistem yang dapat digunakan untuk memproduksi informasi kinerja untuk pertanggungjawaban, perlu banyak perbaikan tidak mendasar
6 C >30-50 Kurang, sistem dan tatanan kurang dapat diandalkan, memiliki sistem untuk manajemen kinerja tapi perlu banyak perbaikan minor dan perbaikan yang mendasar.
7 D 0-30 Sangat Kurang, sistem dan tatanan tidak dapat diandalkan untuk penerapan manajemen kinerja, perlu perbaikan, yang sangat mendasar
Sumber: Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia, 2015
Sebagaimana diamanatkan oleh Presiden Republik Indonesia tertanggal 14 Maret 2000, terwujudnya good governance merupakan tuntutan bagi terselenggaranya manajemen pemerintahan dan pembangunan yang berdaya guna, berhasil guna, dan bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Dalam rangka itu diperlukan sistem akuntabilitas yang baik pada keseluruhan jajaran aparatur negara. Implementasi SAKIP dan penerapan good governance memiliki keterkaitan yang sangat erat berdasarkan pertimbangan bahwa pelaporan SAKIP
merupakan metode reformasi yang tipikal, SAKIP sebagai instrumen pertanggungjawaban (LAN dan BPKP, 2000).
Menurut Badrusaman, akuntabilitas suatu instansi yang diwujudkan melalui implementasi SAKIP sangat penting terhadap penerapan prinsip-prinsip
good governance, yaitu untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa tujuan
suatu usaha atau kegiatan yang spesifik akan dapat dicapai dan dapat mencegah hilangnya sumber daya. Mengingat dewasa ini good governance merupakan salah satu topik pembahasan atau isu penting, maka hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kapasitas good governance di instansi pemerintah. Hal tersebut dapat dicapai salah satunya dengan mengimplementasikan SAKIP pada instansi pemerintah. Dengan demikian, tidak hanya memastikan peningkatan kinerja, tetapi juga menciptakan suatu lingkungan akuntabilitas yang didorong dan dimonitor.
2.1.4 Good Governance
Definisi good governance menurut LAN dan BPKP adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Menurut LAN dan BPKP, proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam menyediakan barang dan jasa umum di sebut governance (pemerintah atau kepemerintahan), sedang praktek terbaiknya disebut good governance (kepemerintahan yang baik). Dituntut dalam pelaksanaan yaitu; koordinasi
(aligment) yang baik dan integrasi, profesionalisme, serta etos kerja dan moral yang tinggi.
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Dari prinsip-prinsip tersebut akan didapat tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Namun tolak ukur itu dapat dilihat apabila kinerja suatu pemerintahan telah bersinggungan dengan semua unsur good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagai mana tertera di bawah ini:
1) Partisipasi masyarakat (participation)
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. Sebagai pemilik kedaulatan, setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk mengambil bagian dalam proses bernegara, berpemerintahan, serta bermasyarakat. Partisipasi tersebut dapat dilakukan secara langsung ataupun melalui institusi intermediasi, seperti DPRD, LSM, dan lainnya. Partisipasi yang diberikan dapat berbentuk buah pikiran, dana, tenaga, ataupun bentuk-bentuk lainnya yang bermanfaat. Partisipasi warga negara dilakukan tidak hanya pada tahapan implementasi, tetapi secara menyeluruh, mulai tahapan penyusunan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi, serta pemanfaatan hasil-hasilnya. Syarat utama warga negara disebut berpartisipasi dalam kegiatan
berbangsa, bernegara, dan berpemerintahan, yaitu: ada rasa kesukarelaan, ada keterlibatan secara emosional, dan memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari keterlibatannya.
2) Penegakan hukum (rule of law)
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia. Good governance dilaksanakan dalam rangka demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu syarat kehidupan demokrasi adalah adanya penegakan hukum yang adil dan tidak pandang bulu. Tanpa penegakan hukum yang tegas, tidak akan tercipta kehidupan yang demokratis, tetapi anarki. Tanpa penegakan hukum, orang secara bebas berupaya mencapai tujuannya sendiri tanpa mengindahkan kepentingan orang lain dengan menghalalkan segala cara. Oleh karena itu, langkah awal penciptaan good governance adalah membangun sistem hukum yang sehat, baik perangkat lunaknya, perangkat kerasnya maupun sumber daya manusia yang menjalankan sistemnya.
3) Transparansi (transparancy)
Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. Salah satu karakteristik good governance adalah keterbukaan. Karakteristik ini sesuai dengan semangat zaman yang serba terbuka adanya revolusi informasi. Keterbukaan tersebut mencakup
semua aspek aktivitas yang menyangkut kepentingan publik, dari proses pengambilan keputusan, penggunaan dana-dana publik, sampai pada tahapan evaluasi.
4) Daya tanggap (responsiveness)
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan baik itu dari pihak swasta maupun masyarakat. Sebagai konsekuensi logis dari keterbukaan, setiap komponen yang terlibat dalam proses pembangunan good governance harus memiliki daya tanggap terhadap keinginan atau keluhan para pemegang saham (stake
holder). Upaya peningkatan daya tanggap tersebut, terutama ditujukan pada
sektor publik yang selama ini cenderung tertutup, arogan, serta berorientasi pada kekuasaan. Untuk mengetahui kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh sektor publik, secara periodik perlu dilakukan survei untuk mengetahui tingkat kepuasan konsumen (customer satisfaction).
5) Berorientasi pada konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur. Kegiatan bernegara, berpemerintahan, dan bermasyarakat pada dasarnya merupakan aktivitas politik, yang berisi dua hal utama, yaitu konflik dan konsensus. Dalam good governance, pengambilan keputusan ataupun pemecahan masalah bersama lebih diutamakan berdasarkan konsensus, yang dilanjutkan dengan
kesediaan untuk konsisten melaksanakan konsensus yang telah diputuskan bersama. Konsensus bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru, karena nilai dasar dalam memecahkan persoalan bangsa adalah melalui musyawarah untuk mufakat.
6) Keadilan (equity)
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. Melalui prinsip good governance, setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan. Akan tetapi, karena kemampuan masing-masing warga negara berbeda-beda, sektor publik harus memainkan peranan agar kesejahteraan dan keadilan dapat berjalan seiring sejalan.
7) Efektif dan efisien (efectiveness and efficiency)
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin. Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam percaturan dunia, kegiatan ketiga domain dan governance harus mengutamakan efektivitas dan efisiensi dalam setiap kegiatan. Tekanan perlunya efektivitas dan efisiensi terutama ditujukan pada sektor publik karena sektor ini menjalankan aktivitasnya secara monopolistik. Tanpa kompetisi, tidak akan ada efisiensi.
8) Akuntabilitas (accountability)
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggungjawab baik kepada masyarakat maupun
kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan. Setiap aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik perlu mempertanggungjawabkan kepada publik. Tanggung gugat dan tanggung jawab tidak hanya diberikan kepada atasan saja, tetapi juga pada para pemegang saham yaitu masyarakat luas.
9) Visi strategis (strategic vision)
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut. Dalam era yang berubah secara dinamis, setiap domain dalam good
governance harus memiliki visi yang strategis. Tanpa visi semacam itu, suatu
bangsa dan negara akan mengalami ketertinggalan. Visi itu, dapat dibedakan antara visi jangka panjang (long time vision) antara 20 sampai 25 tahun serta visi jangka pendek (short time vision) sekitar 5 tahun.
Selain prinsip-prinsip good governance sebagaimana terurai di atas, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi good governance antara lain pengelolaan keuangan daerah, Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP), Sistem Pengendalian Internal Instansi Pemerintah (SPIP), dan pemberdayaan sumber daya manusia.
Secara teori good governance dikatakan menekankan pada proses pengelolaan pemerintahan dengan adanya stakeholders yang terlibat dalam bidang sosial, ekonomi dan juga politik serta ikut juga terlibat dalam pendayaan sumber daya yang ada, manusia atau pun keuangan yang dilaksanakan menurut keperluan masing-masing. Sehingga diadakannya pengelolaan keuangan daerah dimaksudkan agar pengelolaan keuangan rakyat yang dipegang oleh pemerintah dilakukan dengan transparan baik dari proses penyusunan hingga pertanggung jawabannya sehingga akan tercipta akuntabilitas didalam pengelolaannya. Pengelolaan keuangan yang efektif dan efisien adalah salah satu wujud tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang merupakan salah satu prinsip dari good governance (Ristanti, 2014).
Implementasi SAKIP dan penerapan good governance memiliki keterkaitan yang sangat erat berdasarkan pertimbangan bahwa pelaporan SAKIP merupakan metode reformasi yang tipikal, SAKIP sebagai instrumen pertanggungjawaban/tanggung gugat/kewajiban memberikan jawaban (LAN dan BPKP, 2000). SAKIP sebagai salah satu sarana untuk perwujudan good
governance. SAKIP sebagai jawaban atas tantangan sektor publik dalam
mewujudkan akuntabilitas publik serta good governance merupakan tujuan akhir SAKIP (LAN dan BPKP, 2000). Menurut Badrusaman, untuk mengetahui penerapan good governance dapat diukur sesuai dengan komponen-komponen yang mendasari SAKIP.
Sistem pengendalian intern meliputi berbagai alat manajemen yang bertujuan mencapai berbagai tujuan yang luas. Dengan demikian, pengendalian
intern merupakan pondasi good governance dan garis pertama dalam melawan ketidakabsahan data dalam penyelenggaraan pemerintahan sehingga pengendalian intern pemerintah berhubungan dengan good governance (Yusniyar, 2016).
Pemberdayaan sumber daya manusia dapat diterapkan pada sumber daya manusia aparatur pemerintah yang mempunyai peran sangat penting mengingat tugas-tugas pemerintah yang makin kompleks dimasa mendatang (Harahap, 2012). Tugas-tugas tersebut bermuara pada pencapaian tujuan pemerintah dalam rangka mewujudkan good governance. Pada umumnya, tuntutan dan harapan masyarakat terhadap sumber daya manusia aparaturnya sangat besar.
2.2. Teori-Teori yang Relevan 2.2.1 Teori Good Governance
Kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan isu yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik. Tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintahan untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat, di samping adanya pengaruh globalisasi. Pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan tidak sesuai lagi bagi tatanan masyarakat yang telah berubah. Oleh karena itu, tuntutan itu merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Negara, sebagai satu unsur kepemerintahan, di dalamnya termasuk lembaga-lembaga politik dan lembaga-lembaga sektor publik. Sektor swasta meliputi perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di berbagai bidang dan sektor informal lain di pasar. Ada anggapan bahwa sektor swasta adalah bagian dari masyarakat. Namun demikian sektor swasta dapat dibedakan dengan masyarakat karena sektor swasta mempunyai pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan sosial, politik, dan ekonomi yang dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pasar dan perusahaan-perusahaan itu sendiri. Sedangkan masyarakat (society) terdiri dari individual maupun kelompok (baik yang terorganisasi maupun tidak) yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi dengan aturan formal maupun tidak formal. Society meliputi lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain.
Arti good dalam good governance sendiri mengandung dua pengertian: pertama, nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial; kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Berdasarkan pengertian ini, good governance berorientasi pada, yaitu: pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional; kedua pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional.
Atas dasar uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wujud good
governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan
bertanggungjawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Oleh karena good governance meliputi sistem administrasi negara, maka upaya mewujudkan good governance juga merupakan upaya melakukan penyempurnaan pada sistem administrasi negara yang berlaku pada suatu negara secara menyeluruh.
Jika dilihat dari ketiga domain dalam governance, tampaknya domain pemerintah menjadi domain yang paling memegang peranan penting dalam mewujudkan good governance karena fungsi pengaturan yang memfasilitasi domain sektor dunia usaha swasta dan masyarakat, serta fungsi administratif penyelenggaraan pemerintahan melekat pada domain ini. Peran pemerintah melalui kebijakan-kebijakan publiknya sangat penting dalam memfasilitasi terjadinya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari. Oleh karena itu, upaya-upaya perwujudan ke arah good governance dapat dimulai dengan membangun landasan demokratisasi penyelenggaraan negara dan bersamaan dengan itu dilakukan upaya pembenahan penyelenggara pemerintahan sehingga dapat terwujud good
government.
Prinsip-prinsip good governance dalam praktik penyelenggaraan negara dituangkan dalam tujuh asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Berih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Prinsip atau asas umum dalam penyelenggaraan negara yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 meliputi sebagai berikut:
1) Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara.
2) Asas tertib penyelenggaraan negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
3) Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4) Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif, tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
5) Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggaraan negara.
6) Asas profersionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7) Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Good governance hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh
lembaga yang melibatkan kepentingan publik. Jenis lembaga tersebut adalah negara, sektor swasta, dan masyarakat. Negara berperan menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil; membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan; menyediakan publik servis yang efektif dan accountable; menegakkan hak asasi manusia; melindungi lingkungan hidup; dan mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik. Sektor swasta berperan menjalankan industri; menciptakan lapangan kerja; menyediakan insentif bagi karyawan; meningkatkan standar hidup masyarakat; memelihara lingkungan hidup; menaati peraturan; transfer ilmu pengetahuan dan tehnologi kepada masyarakat; dan menyediakan kredit bagi pengembangan usaha kecil dan menengah. Masyarakat berperan menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi; mempengaruhi kebijakan publik; sebagai sarana checks and balances pemerintah; mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah; mengembangkan suumber daya manusia; dan sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat.
Terwujudnya good governance merupakan tuntutan bagi terselenggaranya manajemen pemerintahan dan pembangunan yang berdaya guna, berhasil guna, dan bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Dalam rangka itu diperlukan sistem akuntabilitas yang baik pada keseluruhan jajaran aparatur negara.
2.2.2 Teori Akuntabilitas
Keberadaan akuntabilitas sebagai suatu sistem sudah cukup lama, karena sejarah akuntabilitas sudah dimulai sejak jaman Mesopotamia pada tahun 4000 SM, dimana pada saat itu sudah dikenal adanya Hukum Hammurabi yang mewajibkan seseorang (raja) untuk mempertanggungjawabkan segala tindakan-tindakannya kepada pihak yang memberi wewenang atau wangsit kepadanya. Untuk menyatakan keberadaan akuntabilitas sebagai suatu sistem dan agar dapat memahami secara utuh, perlu memperhatikan beberapa hal yaitu: perkembangan, jenis, tantangan dan hambatan, lingkungan yang mempengaruhi terselenggaranya akuntabilitas, hal-hal yang perlu diperhatikan untuk keberhasilan akuntabilitas serta media akuntabilitas.
Dalam akuntabilitas terkandung kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala tindak tanduk dan kegiatannya terutama di bidang administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi/atasannya. Dalam hal ini, terminologi akuntabilitas dilihat dari sudut pandang pengendalian tindakan pada pencapaian tujuan. Tolok ukur atau indikator pengukuran kinerja adalah kewajiban individu dan organisasi untuk mempertanggungjawabkan capaian kinerjanya melalui pengukuran yang seobyektif mungkin. Media pertanggungjawaban dalam konsep akuntabilitas tidak terbatas pada laporan pertanggungjawaban saja, tetapi mencakup juga praktek-praktek kemudahan si pemberi mandat mendapatkan informasi, baik langsung maupun tidak langsung secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian, akuntabilitas akan tumbuh subur pada lingkungan yang mengutamakan keterbukaan sebagai landasan pertanggungjawabannya.
Menurut J.B. Ghartey, akuntabilitas ditujukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan pelayanan apa, siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Pertanyaan yang memerlukan jawaban tersebut antara lain, apa yang harus dipertanggungjawabkan, mengapa pertanggungjawaban harus diserahkan, kepada siapa pertanggungjawaban tersebut diserahkan, siapa yang bertanggungjawab terhadap berbagai bagian kegiatan dalam masyarakat, apakah pertanggungjawaban berjalan seiring dengan kewenangan yang memadai, dan lain sebagainya. Akuntabilitas juga merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam pencapaian hasil pada pelayanan publik. Evaluasi kinerja dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pencapaian hasil serta cara-cara bagaimana untuk mencapai semua itu. Sedangkan menurut Ledvina V. Carino mengatakan akuntabilitas merupakan suatu evolusi kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh seorang petugas baik masih berada pada jalur otoritasnya atau sudah berada jauh di luar tanggung jawab dan kewenangannya. Dengan demikian, setiap orang harus betul-betul menyadari bahwa setiap tindakannya bukan hanya akan memberi pengaruh pada dirinya sendiri saja akan tetapi membawa dampak yang tidak kecil pada orang lain. Dengan demikian, dalam setiap tingkah lakunya seorang pejabat pemerintah mutlak harus memperhatikan lingkungan. Akuntabilitas dapat hidup dan berkembang dalam suasana yang transparan dan demokratis dan adanya kebebasan dalam mengemukakan pendapat. Sehingga dalam negara yang otokratik dan tidak transparan, akuntabilitas akan hilang dan tidak berlaku. Ada 4 (empat) dimensi yang membedakan akuntabilitas dengan yang lain yaitu: siapa
yang harus melaksanakan akuntabilitas, kepada siapa dia berakuntabilitas, apa standar yang dia gunakan untuk penilaian akuntabilitasnya, nilai akuntabilitas itu sendiri.
Deklarasi Tokyo tahun 1985 mengenai petunjuk akuntabilitas publik menetapkan definisi sebagai berikut, bahwa akuntabilitas merupakan kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial, dan program. Dalam pengertian yang lebih luas, akuntabilitas pelayanan publik berarti pertanggungjawaban pegawai pemerintah kepada publik yang menjadi konsumen pelayanannya. Konsep ini timbul seiring dengan perkembangan proses demokrasi. Dimulai dari era masa pemerintahan raja-raja yang diktator, dimana saat itu kekuasaan sebagai turunan dari Tuhan sehingga seorang raja tidak mempunyai kewajiban akuntabilitas kepada rakyatnya. Semakin bertambah majunya pola pemikiran manusia, maka di dalam kehidupan bermasyarakatnya timbul pemikiran baru bahwa kekuasaan merupakan kumpulan amanat yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang untuk mengatur kehidupan bermasyarakatnya. Oleh sebab itu seseorang yang mendapatkan amanat harus mempertanggungjawabkannya kepada orang-orang yang memberinya kepercayaan. Efektivitas akuntabilitas publik dalam situasi ini akan banyak tergantung kepada apakah pengaruh dari pihak-pihak yang berkepentingan direfleksikan dalam sistem monitoring dan insentif dari pelayanan publik. Dengan demikian, secara absolut akuntabilitas memvisualisasikan suatu ketaatan kepada
peraturan dan prosedur yang berlaku, kemampuan untuk melakukan evaluasi kinerja, keterbukaan dalam pembuatan keputusan, mengacu pada jadwal yang telah ditetapkan dan menerapkan efisiensi dan efektivitas biaya pelaksanaan tugas-tugasnya.
Pengendalian (control) sebagai bagian penting manajemen yang baik, adalah saling menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa pengendalian tidak dapat berjalan dengan efisien dan efektif bila tidak ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik pula demikian sebaliknya. Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban secara periodik.
Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerapkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Berdasarkan pada pengertian tersebut di atas, maka semua instansi pemerintah, badan, dan lembaga negara di pusat dan daerah sesuai dengan tugas pokok masing-masing, karena akuntabilitas yang diminta meliputi keberhasilan dan juga kegagalan pelaksanaan misi instansi yang bersangkutan.
Di samping itu, akuntabilitas dapat diinterpretasikan mencakup keseluruhan aspek tingkah laku seseorang yang mencakup baik perilaku bersifat
probadi dan disebut dengan akuntabilitas spiritual, maupun perilaku yang bersifat eksternal terhadap lingkungan dan orang sekeliling.
Dalam pelaksanaan akuntabilitas di lingkungan instansi pemerintah, perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Harus ada komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi untuk melakukan pengelolaan pelaksanaan misi agar akuntabel.
2) Harus merupakan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan sumber-sumber daya secara konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Harus dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
4) Harus berorientasi pada pencapaian visi dan misi serta hasil dan manfaat yang diperoleh.
5) Harus jujur, obyektif, transparan, dan inovatif sebagai katalisator perubahan manajemen instansi pemerintah dalam bentuk pemutakhiran metode dan teknik pengukuran kinerja dan penyusunan laporan akuntabilitas.
Di samping itu, akuntabilitas kinerja harus pula menyajikan penjelasan tentang deviasi antara realisasi kegiatan dengan rencana serta keberhasilan dan kegagalan dalam pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, dalam pengukuran kinerja yang dimulai dari perencanaan strategis dan berakhir dengan penyerahan laporan akuntabilitas kepada pemberi mandat (wewenang). Dalam pelaksanaan akuntabilitas ini diperlukan pula perhatian dan komitmen yang kuat dari atasan langsung intansi memberikan akuntabilitasnya,
lembaga perwakilan dan lembaga pengawasan, untuk mengevaluasi akuntabilitas kinerja instansi yang bersangkutan.
2.2.3 Teori Ekonomi Publik
Sebuah kelompok tidak hanya harus mencapai keputusan tentang kepentingan umum, mereka juga harus mengetahui bagaimana keputusan mereka harus disepakati dan dilaksanakan juga oleh kelompok-kelompok kecil. Kesepakatan ini sering didapat dengan cara informal, seperti diskusi, tanpa perlu untuk mengembangkan atau melalui prosedur khusus untuk pengambilan keputusan. Dan mereka dapat membuat sebuah perjanjian yang bersifat
self-executing, yaitu mereka yang membuat keputusan dan mempraktekkannya sendiri.
Namun, mekanisme yang sederhana ini tidak bersifat praktis untuk kelompok besar, yang harus mengembangkan lembaga khusus untuk membuat dan menegakkan keputusan secara kolektif. Lembaga tersebut adalah pemerintah.
Menurut definisi, pemerintah merupakan badan-badan untuk menyelesaikan masalah pada arena politik melalui sebuah keputusan. Setelah pemerintah membuat sebuah keputusan, maka harus diberlakukan. Di sini ada konsep otoritas publik yang mengacu pada sebuah kekuatan yang digunakan untuk melaksanakan sebuah keputusan. Jika seorang individu melanggar aturan, maka pemerintah mungkin menempatkannya di penjara. Pada tingkat apapun, pemerintah adalah satu-satunya badan dengan kewenangan untuk melakukannya. Selanjutnya pemerintah mempunyai kewenangan untuk meminta setiap individu untuk mematuhi hukum, seperti membayar pajak.
Pemerintah terdiri dari lembaga-lembaga yang bertanggung jawab untuk membuat keputusan kolektif bagi masyarakat. Lebih sempit lagi pengertian pemerintah mengacu pada tingkatan atas dalam lembaga-lembaga tersebut. Dalam penggunaan populer, pemerintah mengacu hanya untuk tingkat tertinggi janji politik seperti untuk presiden, perdana menteri dan anggota kabinet. Tetapi dalam pemerintahan arti luas, pemerintah terdiri dari semua organisasi yang dibebankan untuk mencapai dan melaksanakan keputusan untuk masyarakat atau melayani kepentingan publik. Jadi dengan definisi pemerintah sebagai pelayan publik, bisa dikatakan bahwa hakim dan polisi merupakan bagian dari pemerintah, bahkan meskipun orang-orang tersebut biasanya tidak ditunjuk oleh metode politik seperti pemilu. Dari definisi di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa pengertian pemerintah adalah lembaga-lembaga yang bertanggung jawab untuk membuat keputusan kolektif bagi masyarakat. Lebih sempit, pemerintah mengacu ke atas politik tingkat tertinggi dalam lembaga-lembaga tersebut.
Pemerintah merupakan suatu bentuk organisasi yang bekerja dan menjalankan tugas untuk mengelola sistem pemerintah dan menetapkan kebijakan dalam mencapai tujuan negara. Dalam menyelenggarakan tugasnya, pemerintah memiliki beberapa fungsi seperti yang dijelaskan oleh beberapa tokoh. Menurut Adam Smith (1976), pemerintah suatu negara mempunyai tiga fungsi pokok yaitu: memelihara keamanan dan pertahanan dalam negeri, menyelenggarakan peradilan, dan menyediakan barang-barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta. Sedangkan menurut Richard A. Musgrave dibedakan menjadi tiga fungsi dan tujuan kebijakan anggaran belanja pemerintah, yaitu: 1) Fungsi Alokasi
(Allocation Branch) yaitu fungsi pemerintah untuk menyediakan pemenuhan untuk kebutuhan publik (public needs), 2) Fungsi Distribusi (Distribution Branch) yaitu fungsi yang dilandasi dengan mempertimbangkan pengaruh sosial ekonomis; yaitu pertimbangan tentang kekayaan dan distribusi pendapatan, kesempatan memperoleh pendidikan, mobilitas sosial, struktur pasar. Macam-ragam warga negara dengan berbagai bakatnya termasuk tugas fungsi tersebut, 3) Fungsi Stabilisasi (Stabilizaton Branch) yaitu fungsi menyangkut usaha untuk mempertahankan kestabilan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada. Disamping itu, fungsi ini bertujuan untuk mempertahankan kestabilan perekonomian (stabilisator perekonomian).
Berdasarkan dua pendapat diatas, pemerintah diantaranya memiliki fungsi sebagai berikut.
1) Fungsi Pelayanan
Perbedaan pelaksanaan fungsi pelayanan yang dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah terletak pada kewenangan masing-masing. Kewenangan pemerintah pusat mencakup urusan pertahanan keamanan, agama, hubungan luar negeri, moneter dan peradilan. Secara umum pelayanan pemerintah mencakup pelayanan publik (public service) dan pelayanan sipil (civil service) yang menghargai kesetaraan.
2) Fungsi Pengaturan
Fungsi ini dilaksanakan pemerintah dengan membuat peraturan perundang-undangan untuk mengatur hubungan manusia dalam masyarakat. Pemerintah adalah pihak yang mampu menerapkan peraturan agar kehidupan
dapat berjalan secara baik dan dinamis. Seperti halnya fungsi pemerintah pusat, pemerintah daerah juga mempunyai fungsi pengaturan terhadap masyarakat yang ada di daerahnya. Perbedaannya, yang diatur oleh pemerintah daerah lebih khusus, yaitu urusan yang telah diserahkan kepada daerah. Untuk mengatur urusan tersebut diperlukan peraturan daerah yang dibuat bersama antara DPRD dengan eksekutif.
3) Fungsi Pembangunan
Pemerintah harus berfungsi sebagai pemacu pembangunan di wilayahnya, dimana pembangunan ini mencakup segala aspek kehidupan tidak hanya fisik tapi juga mental spriritual. Pembangunan akan berkurang apabila keadaan masyarakat membaik, artinya masyarakat sejahtera. Jadi, fungsi pembangunan akan lebih dilakukan oleh pemerintah atau negara berkembang dan terbelakang, sedangkan negara maju akan melaksanakan fungsi ini seperlunya.
4) Fungsi Pemberdayaan (Empowerment)
Fungsi ini untuk mendukung terselenggaranya otonomi daerah, fungsi ini menuntut pemberdayaan pemerintah daerah dengan kewenangan yang cukup dalam pengelolaan sumber daya daerah guna melaksanakan berbagai urusan yang didesentralisasikan. Untuk itu pemerintah daerah perlu meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam kegiatan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan. Kebijakan pemerintah, pusat dan daerah, diarahkan untuk meningkatkan aktifitas ekonomi masyarakat, yang pada jangka panjang dapat menunjang pendanaan
pemerintah daerah. Dalam fungsi ini pemerintah harus memberikan ruang yang cukup bagi aktifitas mandiri masyarakat, sehingga dengan demikian partisipasi masyarakat di daerah dapat ditingkatkan. Lebih-lebih apabila kepentingan masyarakat diperhatikan, baik dalam peraturan maupun dalam tindakan nyata pemerintah.
2.3 Keaslian Penelitian
Penelitian tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi good
governance pada Pemerintah Provinsi Bali belum pernah ada yang melakukannya,
sehingga hasil penelitian ini merupakan penelitian baru, namun tidak menutup kemungkinan bahwa hasil penelitian serupa yang berkaitan dengan pemerintahan telah banyak yang melakukannya.
Penelitian mengenai pengaruh implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) terhadap good governance dilakukan oleh Jajang Badrusaman dan Irna Chairunnisa pada Pemerintah Kabupaten Ciamis. Berdasarkan hasil perhitungan koefisien korelasi, diketahui bahwa implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan good governance memiliki hubungan kuat. Selain itu berdasarkan perhitungan koefisien determinasi diketahui bahwa 61% dari good governance dipengaruhi oleh implementasi SAKIP, sedangkan sisanya dipengaruhi faktor lain yang tidak diteliti. Persamaan dengan penelitian ini yaitu menggunakan variabel Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan good governance namun tidak menggunakan
variabel pengelolaan keuangan daerah dan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP).
Penelitian tentang pengaruh penatausahaan keuangan daerah terhadap
good governance dan implikasinya terhadap kualitas laporan keuangan pada
Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Juliante Farrah Boekorsjom dan Ony Widilestaringtyas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis yang menggunakan software Smart PLS didapatkan hasil verifikatif yaitu koefisien standardized antara pengaruh penatausahaan keuangan daerah terhadap good governance adalah sebesar 0,703 artinya terdapat hubungan kuat antara variabel penatausahaan keuangan daerah terhadap good governance. Karena nilai kontribusi lebih besar dari 0, artinya terjadi hubungan linear positif. Kemudian untuk nilai koefisien determinasi adalah sebesar 49,42% yang artinya terdapat pengaruh yang cukup kuat antara penatausahaan keuangan daerah terhadap good governance. Persamaan dengan penelitian ini yaitu menggunakan variabel pengelolaan keuangan daerah dan good governance namun tidak menggunakan variabel Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP).
Penelitian tentang pengaruh pengawasan intern dan pengelolaan keuangan daerah terhadap kinerja pemerintah daerah dilakukan oleh Astri Kuswandari. Hasil penelitian menyimpulkan pengawasan intern berpengaruh terhadap kinerja pemerintah daerah. Pengawasan Intern pada Dinas SKPD Pemerintah Kota Bandung sudah baik, namun masih terdapat masalah dalam pengawasan intern sehingga kinerja pemerintah daerah kurang optimal yaitu masih adanya sistem
pengendalian akuntansi dan pelaporan dan kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja pada Dinas SKPD Pemerintah Kota Bandung. Persamaan dengan penelitian ini yaitu menggunakan variabel pengelolaan keuangan daerah, Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) dan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) namun tidak menggunakan variabel good governance.
Penelitian tentang pengaruh pengelolaan keuangan daerah terhadap kinerja pemerintah dilakukan oleh Auditya Lucy pada tahun 2013. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dapat disimpulkan bahwa variabel transparansi pengelolaan keuangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja SKPD Provinsi Bengkulu. Hal ini berarti bahwa semakin transparan pengelolaan keuangan dan pelaporan keuangan dalam SKPD Pemerintah Provinsi Bengkulu maka akan semakin meningkatkan kinerja pemerintah daerah secara keseluruhan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Garini (2011), Ismiarti (2013) bahwa transparansi dalam pengelolaan keuangan berhubungan positif dan signifikan terhadap kinerja pemerintah daerah. Secara teoritis pemerintah harus menangani dengan baik kinerjanya dengan memperhatikan dua aspek transparansi, yaitu (1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (2) hak masyarakat terhadap akses informasi. Transparansi harus seimbang, juga menyangkut kebutuhan akan kerahasiaan lembaga maupun informasi-informasi yang mempengaruhi hak privasi individu. Dengan memperluas saluran transparansi yang ada selama ini di pemerintahan Provinsi Bengkulu maka pengawasan akan lebih baik dari pemberi amanah dalam hal ini
Dewan Perwakilan Daerah dan masyarakat sehingga tingkat pencapaian kinerja pemerintah Provinsi Bengkulu dapat lebih baik. Semua kegiatan pengelolaan keuangan mulai dari perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, pertanggungjawaban maupun hasil pemeriksaan dilakukan dengan terbuka dan dipublikasikan ke masyarakat melalui papan pengumuman maupun media masa yang ada di Provinsi Bengkulu. Namun tidak dapat dipungkiri ada beberapa SKPD yang belum melakukan prinsip-prinsip tersebut. Persamaan dengan penelitian ini yaitu menggunakan variabel pengelolaan keuangan daerah dan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) namun tidak menggunakan variabel Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) dan good
governance.
Penelitian tentang pengaruh penerapan sistem akuntansi pemerintahan dan pengendalian intern terhadap good governance dilakukan oleh Yusniar, Darwanis, dan Syukriy Abdullah pada tahun 2016 studi pada SKPD Pemerintah Aceh. Metode analisis data penelitian menggunakan analisi jalur (path analysis) untuk menguji pengaruh variabel-variabel eksogen terhadap variabel endogen dan juga variabel intervening. Koefisien jalur dari path analysis tersebut dilihat pada
standardized coefficient dari analisis regresi linear berganda. Pengendalian intern
secara parsial berpengaruh positif terhadap good governance. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pengendalian intern yang dilakukan pada setiap SKPD di Pemerintah Aceh, maka semakin tinggi pula terciptanya prinsip-prinsip good governance. Persamaan dengan penelitian ini yaitu menggunakan variabel Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) dan good governance
namun tidak menggunakan variabel Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan pengelolaan keuangan daerah.