• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III BIOGRAFI SYEKH BUYUNG MUDO PULUIK-PULUIK. A. Riwayat Hidup Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III BIOGRAFI SYEKH BUYUNG MUDO PULUIK-PULUIK. A. Riwayat Hidup Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

31

Jaringan pendidikan Islam melalui Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik. Dari kisah Syekh Burhanuddin dan sejarah Syekh Muhammad Nasir yang ditulis oleh Imam Maulana Abd al-Manaf al-Khatib, bahwa ada lima orang Minangkabau pergi menuntut ilmu kepada syekh Abdu al-Rauf Singkel di Aceh. Pertama Pono dari Ulakan Pariaman, kedua Muhammad Nasir dari koto Tangah Padang, ketiga Tarapang dari Solok, keempat Buyung Mudo dari Puluik-puluik Bayang Pesisir Selatan, kelima Datuk Maruhum Panjang dari Padang Ganting. Dari kelima orang Minangkabau ini, hanya Pono yang diangkat menjadi khalifah dari Syekh Abdul al-Rauf Singkel dan bergelar Syekh Burhanuddin, sedangkan yang empat orang lagi pulang ke Minangkabau tanpa memperoleh gelar khalifah. Mereka dianjurkan oleh Syekh Abd al-Rauf untuk menuntut ilmu kepada Syekh Burhanuddin di Ulakan.

Akhirnya mereka berempat pergi berguru kepada Syekh Burhanuddin di Ulakan Pariaman, setelah Syekh Burhanuddin mendirikan surau di Tanjung Medan Ulakan Pariaman. Setelah mereka diangkat menjadi khalifah dari Syekh Burhanuddin, baru mereka kembali ke kampung mereka

(2)

masing-masing untuk mendirikan surau serta mengembangkan ilmu agama di surau tersebut.1

Dari empat orang ini hanya Buyung Mudo, (yang bergelar Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik) Bayang, Pesisir Selatan yang tidak begitu terdengar namanya sampai sekarang. Selebihnya masih terdengar dan murid-muridnya masih pergi berziarah ke makamnya. Sementara ke makam Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik tidak ada murid-muridnya yang pergi berziarah dan sepertinya sudah di lupakan orang. Bahkan masyarakat Pesisir Selatan tidak banyak mengenal makam Syekh Buyung Modo Puluik-puluik ini, padahal dia adalah murid Syekh Abd al-Rauf Singkel dan Syekh Burhanuddin serta pengembang agama Islam yang sangat berjasa di Pesisir Selatan.

Nama kecil Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik adalah Buyung Laman. Buyung Laman adalah kemenakan dari Imam Mangkudum yang berasal dari Koto Nan Tigo Kinali, Muara Panas, Koto Anau yang ditugaskan untuk mengembangkan agama Islam ke Nagari Bayang Nan Tujuh Pesisir Selatan, yang bertempat di Puluik-puluik. “dalam buku Yulizal Yunus yang berjudul Kerajaan Minangkabau dalam Pusaran Badai Zaman, mengatakan bahwa sebenarnya Syekh Buyung Mudo bukan berasal dari Koto Nan Tigo Kinali, Muara Panas, Koto Anau, tetapi dalam buku Yulizal Yunus mengatakan bahwa dari laporan Controleur Belanda Bruins di Painan, 1936 disebutkan pendiri Kerajaan Puluit-puluit ialah raja Tuanku Gadang Bahan dan kemenakannya Khatib Sari dan Khatib Sari Maharajo Lelo dari suku

1Firdaus, Sejarah Pendidkan Islam di Minangkabau Abad XVII-XVII M, (Padang: Imam

(3)

Melayu. Justru sejak awal Tuanku Gadang Bahan inilah yang disebut Bruins yang membawa rombongan migrasi disebut koloni pertama datang dari Koto Anau Solok melalui simpang Alahan Panjang dan Bukit Kampuik, dari Bukit ini terus ke Dayaran sebuah tempat di Puluik-puluik sekarang ini untuk menetap.

Perjalanan Tuanku Gadang Bahan segera tercium oleh masyarakat lainnya di Solok. Tidak lama kemudian menyusul rombongan kolonis kedua, mereka juga disebut dalam Tambo Tinggi dan Tambo Adat Bayang nan Tujuh dan natulensi7 sidang Kerapatan Adat Nagari Bayang nan-7 Koto dan Nagari Koto nan-8, 18-20 Mei 1915, ialah ninik yang datang dari kawasan Kubang Tigo Baleh yakni dari Kinali dipimpin Datuk nan Bagajabiang dari suku Melayu, dari Muara Paneh dipimpin oleh Datuk nan Bakupiah Ameh suku Tanjung, dari Koto Anau dipimpin oleh Datuk Nan Kiramaik suku Jambak, jadi dalam buku Firdaus yang berjudul Sejarah Pendidikan Islam di Minangkabau Abad XVII-XVIII M yang terdapat pada halaman 58 yang mengatakan bahwa Syekh Buyung Mudo ditugaskan oleh mamaknya yaitu Imam Mangkudum untuk mengembangkan agama Islam ke Nagari Bayang Nan Tujuh Pesisir Selatan, seakan-akan Syekh Buyung Mudo hanya diberi tugas oleh mamaknya untuk mengembangakan Islam di Nagari Bayang dan tidak berasal dari Nagari Bayang asli, sedangkan Menurut Yulizar Yunus dan buku yang dibuatnya yang berjudul Kerajaan Minangkabau dalam Pusaran Badai Zaman, mengatakan bahwa kalau yang datang dari Koto Nan Tigo Kinali, Muara Panas, Koto Anau, itu merupakan masyarakat yang pertama

(4)

kali datang di Nagari Bayang yang sejak awal dibuka oleh raja Puluik-puluik yaitu Tuanku Gadang Bahan.

Setelah wilayah pemukiman sudah bertambah luas dan penduduk sudah berkembang, maka Puluik-puluik menyusun tata pemerintahan. Masa ninik Datuk nan Bagajabing itu, didudukkan Datuk nan Bakupiah Ameh daru Suku Tanjung Sikumbang sebagai panglima, berkedudukan sebagai Pemuncak Alam Nagari Bayang. Di posisi lain dukukuhkan pula sebagai raja

ibadat Datuk nan Keramat digelari Mangkudum dari suku Caniago”.2

Riwayat hidup Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik secara lengkap memang tidak ditemukan oleh penulis, tetapi menurut Yulizal Yunus kalau kelahiran Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik bisa kita perkiran, karena Syekh Buyung Mudo merupakan teman yang paling tertua dari empat sahabat Syekh Burhanuddin yang pergi menuntut ilmu ke Aceh. Dalam buku Firdaus yang berjudul Sejarah Pendidikan Islam di Minangkabau Abad XVII-XVIII M Syekh Buyung Mudo lahir pada 1026 H atau 1606 M. Nama ibu dan ayah Syekh Buyung Mudo, penulis tidak menemuinya kareana tidak dituliskan dalam buku sejarah, sedangakan Suku Syekh Buyung Mudo yaitu Suku Caniago, suku ini diketahui oleh penulis di dalam buku Yulizal Yunus yang berjudul Kerajaan Minangkabau dalam Pusaran Badai Zaman, mengatakan kalau mamak dari Syekh Buyung Mudo yaitu Imam Mangkudum dari Suku

Caniago.3

2Yulizar Yunus dkk, Kerajaan Minangkabau dalam Pusaran Badai Zaman, (Padang:

2015), h.212-214

(5)

Buyung Mudo ingin melanjutkan pendidikan agama Islam lebih lanjut lagi. Imam Mangkudum mamak dari Syekh Buyung Mudo mendengar ada ulama besar di Aceh yang bernama Syekh Abd al-Rauf Singkel murid dari Abd al-Qasyasyi di Mekkah, maka dia menganjurkan pada Buyung Mudo untuk belajar dengan Syekh Abd al-Rauf Singkel di Aceh.

Buyung Mudo memberanikan diri untuk pergi ke Singkel, Aceh dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan di Rimbo Panti menuju Medan, dia bertemu dengan tiga orang yang sedang duduk di tepi jalan. Pada awalnya dia merasa ketakutan melihat tiga orang tersebut, dia berfikir bahwa orang tersebut adalah gerombolan penyamun. Buyung Mudo memberanikan dirinya untuk menyapa mereka dengan Assalamu’alaikum, ternyata mereka membalas salam Buyung Mudo. Baru senang hati Buyung Mudo dan dia memperkenalkan dirinya kepada tiga orang pemuda tersebut. Sebaliknya pemuda tadi juga memperkenalkan namanya masing-masing yang pertama yaitu: Muhammad Nasir dari Koto Tangah Padang, Tarapang dari Solok dan Datuk Maruhum dari Padang Ganting. Ternyata mereka sama-sama punya niat untuk menuntut ilmu agama kepada Syekh Abd al-Rauf Singkel di Aceh. Kemudian setelah itu datang Pono yang juga bermaksud hendak pergi ke Aceh. Setelah mereka beristirahat sejenak, maka berangkatlah mereka

berlima ke Aceh pada tahun 1040 H/1620 M.4

Sampai mereka di Aceh, mereka belajar ilmu agama kepada Syekh Abd al-Rauf Singkel. Selama lebih kurang 30 tahun Buyung Mudo belajar

(6)

mengaji sama Syekh Abd al-Rauf Singkel beserta empat orang temannya. Dari yang lima orang tersebut hanya Syekh Burhanuddin yang diangkat menjadi khalifah dari Syekh Abd al-Rauf Singkel. Selebihnya tidak diangkat menjadi khalifah dan belum diizinkan meninggalkan surau, tetapi mereka berempat berangkat juga pulang ke kampung halaman mereka tanpa mendapat restu dari guru mereka Syekh Abd al-Rauf Singkel. Sesampai mereka di kampung masing-masing, mereka mengajarkan agama Islam yang telah dipelajarinya di Aceh, tetapi masyarakat tidak mau mengikuti ajaran mereka bahkan mereka dibenci oleh masyarakat, sedangkan Syekh Burhanuddin mendapat sambutan baik oleh masyarakat Pariaman.

Melihat kenyataan di atas, berangkatlah Buyung Mudo Puluik-puluik menemui temannya Muhammad Nasir di Koto Tangah Padang untuk melihat keadaannnya. Ternyata Muhammad Nasir juga mengalami hal yang sama, dia juga dibenci oleh masyarakat. Melihat kenyataan ini, maka Buyung Mudo dan Muhammad Nasir pergi melihat temannya yang berdua lagi yakni Datuk Maruhun di Padang Ganting dan Tarapang di Kubang Tiga Belas. Ternyata teman-temanya yang dua ini juga mengalami kejadian yang sama dengan Buyung Mudo dan Muhammad Nasir. Oleh karena itu sepakat mereka pergi menemui guru mereka Syekh Abd al-Rauf Singkel di Aceh untuk minta maaf dan menambah ilmu yang mereka perdapat selama ini pada tahun 1071 H.

Syekh Abd al-Rauf Singkel memaafkan mereka, tetapi untuk menuntut ilmu mereka tidak diterima lagi dan mereka dianjurkan untuk menuntut ilmu kepada Syekh Burhanuddin di Ulakan dengan alasan: (a)

(7)

Syekh Burhanuddin telah diangkat menjadi khalifah oleh Syekh Abd al-Rauf Singkel untuk daerah Mingkabau, (b) Semua kitab telah diberikan kepada Syekh Burhanuddin, (c) Ilmu yang diterima Syekh Burhanuddin dari Syekh Abd al-Rauf Singkel telah mencukupi, mulai dari ilmu fiqh, tafsir, hadits, ilmu tauhid dan ilmu tasawuf, menurut syekh tersebut itu telah sempurna.

Pada awalnya keempat orang tersebut ragu dengan Syekh Burhanuddin, karena walaupun muridnya sudah banyak tetapi masyarakat masih dibiarkan memakan babi, tikus dan ular. Pada waktu itu Syekh Abd al-Rauf Singkel menasehati keempat orang tersebut, setelah menerima nasehat dan amanah dari guru mereka Syekh Abd al-Rauf Singkel maka berangkatlah mereka menemui Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan Pariaman. Mereka disambut dengan baik oleh Syekh Burhanuddin dan ia memerintahkan kepada murid-muridnya untuk mendirikan 4 buah surau di Padang Sigalundi. Mereka masing-masing menempati surau tersebut dan Syekh Burhanuddin menyerahkan murid-muridnya kepada mereka. Malam hari mereka mengajar murid-murid Syekh Burhanuddin dan siang hari mereka belajar kepada

Syekh Burhanuddin.5

Oleh karena Padang Sigalundi itu telah ada empat buah surau yang dihuni oleh beratus-ratus murid yang belajar di sana, maka orang kampung berdatangan pula ke sana. Sejak itu, Padang Sigalundi dimasyhurkan orang sebagai tempat orang ulakan, artinya tempat orang yang ditolak oleh Syekh Abd al-Rauf Singkel dan diserahkan kepada Syekh Burhanuddin. Oleh karena

(8)

itu, bertukarlah nama Padang Sigalundi dengan kampung Ulakan, artinya kampung tempat orang-orang yang ditolak oleh Syekh Abd al-Rauf Singkel dan diserahkan kepada Syekh Burhanuddin. Sejak itu banyak orang kampung berdatangan ke Ulakan. Ada yang membuat pondok dan berladang di situ dan ada pula yang membuat kedai-kedai kecil buat berjualan kebutuhan sehari-hari.

Berkat kesungguhan mereka mengajar murid-murid Syekh

Burhanuddin dan belajar dengan sungguh-sungguh kepada Syekh tersebut, akhirnya mereka menjadi alim. Akan tetapi keahliannya berlain-lain, seperti Datuk Maruhun ahli fiqh, Tarapang ahli ilmu nahu, Muhammad Nasir ahli tafsir dan Buyung Mudo ahli dalam ilmu saraf. Setelah mereka menamatkan ilmu nahu, saraf, fiqh, tafsir, tauhid dan ilmu Tasawuf atas jalan tarekat Syathariyah, maka dilakukan khatam kaji kepada empat orang teman Syekh Burhanuddin yang dihadiri oleh semua murid dan pemimpin-pemimpin surau dan orang-orang terkemuka di Ulakan, Tanjung Medan. Setelah itu diumumkanlah di hadapan umum bahwa mereka adalah khalifah dari Syekh Burhanuddin untuk nagari mereka masing-masing. Sejak itu mereka diberi gelar syekh di depan nama mereka.

Buyung Mudo setelah menuntut ilmu kepada Syekh Burhanuddin diangkat menjadi khalifah dan bergelar Syekh Buyung Modo. Kemudian namanya lebih akrab dengan Syekh Buyung Modo Puluik-puluik Bayang Pesisr Selatan. Dengan datangnya agama Islam yang dibawa Syekh Burhanuddin dan dikembangkan oleh kawan-kawanya dan murid-muridnya

(9)

maka terjadilah perubahan besar di alam Minangkabau walaupun agama Islam telah masuk ke Minagkabau beratus tahun sebelum Syekh Burhanuddin, tetapi itu tidak kekal, karena kuatnya pengaruh Hindhu dan Budha serta adat jahiliyah, sehingga apabila pembawanya sudah tidak ada lagi, maka agama yang dibawanya juga lenyap. Syekh Burhanuddin dengan jalan berangsur-angsur, dengan lemah lembut memberikan kepada rakyat dan juga oleh kawan-kawan dan pengikut-pengikutnya, meratalah agama Islam ke seluruh Minangkabau dan berkembang sampai sekarang.

Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik di samping teman seperguruan, juga murid dari Syekh Burhanuddin. Apabila kita lihat dari pola jaringan melalui Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik ini dapat dikatakan memakai pola horizontal dan vertikal. Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik merupakan teman seperguruan dengan Syekh Burhanuddin, artinya memakai pola jaringan horizontal (mendatar). Disamping itu Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik juga berguru kepada Syekh Burhanuddin artinya memakai pola

vartikal (tegak lurus dari bawah ke atas atau sebaliknya).6

Setelah sampai di Kapujan, Bayang Pesisir Selatan, Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik mendirikan Surau yang disebut surau gadang. Kemudian surau ini berubah menjadi mesjid yang dibuat dari kayu di tepi sungai. Syekh Buyung Mudo kawin dengan perempuan dari suku tanjung gadang di Kapujan, kemanakan dari Datuk Rajo alam penghulu pucuk. Akan tetapi penulis belum menemukan nama istrinya. Penambahan Puluik-puluik di

(10)

belakang namanya karena dia sewaktu berangkat ke Aceh berasal dari dari kampung Puluik-puluik Bayang.

Syekh Buyung Mudo ikut bersama Syekh Burhanuddin membuat keputusan dibukit marapalam dengan kaum adat yang menghasilkan kesepakatan” Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” hal ini memang masih menjadi perdebatan sampai sekarang. Menurut penulis, pada masa Syekh Burhanuddin baru ada kesepakatan antara Syekh Burhanuddin dengan kaum adat dengan melahirkan kesepakatan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Adat. Setelah perang padri berakhir tahun 1838 maka dibuat kesepakatan antara kaum agama dengan kaum adat di bukit marapalam yang

berbunyi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.7

B. Perkembangan Islam setelah Syekh Buyung Mudo Puluik-Puluik

Adapun sebelum agama Islam masuk ke Minagkabau orang banyak menyembah dewa yaitu agama Budha dan Hindu, maka segala doa dipanjatkan kepada dewa itulah diserukan yang menjadi kebiasaan dan kesukaan orang pada waktu itu adalah berjudi, menyambung ayam, minum tuak dan mengisap madat ( candu) juga menjadi kebiasaan sihir menyihir. Adapun babi, tikus, ular, dan anak tabuhan menjadi makanan utama dalam perhelatan. Siapa yang berani itu yang berkuasa, siapa yang penakut itu yang tertindas, yang cerdik menjual dan yang bodoh terjual, sehingga banyaklah anak-anak yang dijual orang untuk dijadikan budak.

(11)

Dengan datangnya agama Islam yang dibawa oleh Syekh Burhanuddin dan dikembangkan oleh murid-muridnya, maka terjadilah perubahan besar di alam Minangkabau. Sebelum kedatangan Syekh Burhanuddin agama Islam sudah datang berulang-ulang kali ke Minangkabau, tetapi selalu menghadapi kendala disebabkan oleh kuatnya agama Hindu dan Jahiliyah, sehingga apabila pembawanya sudah wafat maka agama Islam ikut fakum.

Dengan jalan berangsur-angsur dengan lemah lembut yang digerakkan oleh Syekh Burhanuddin dan kawan beliau berempat itu serta pengikut-pengikut beliau dapatlah diganti peradaapan lama dengan yang baru yang diatur oleh agama Islam. Tidak pada rakyat saja perubahan itu terjadinya tetapi juga sampai ke dalam susunan adat dan pemerintahan. Sehingga tiap-tiap nagari di samping penghulu-penghulu diadakan pula jabatan agama seperti Imam, Khatib, Labai, dan Bilal yaitu orang-orang yang paham dalam agama, sehingga disebut orang adat nan basandi sarak, syrak basandi kitabullah.

Segala pekerjaan yang mungkar-mungkar seperti judi, menyambung ayam, minum tuak, menghisap madat dan sihir menyihir dilarang oleh peraturan agama Islam yang berpedoman kepada kitab Allah dan sunnah rasul-nya seperti firman Allah SWT dalam surat Ali-Imran ayat 104.

(12)































Artinya: dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.(Qs. Ali-Imran 104)

Dengan aturan ajaran Islam ini maka jadilah masyarakat bersaudara yang dirasakan di dalam hati yaitu melihat saudaranya seagama ditimpa kecelakaan. Dan mereka juga merasakan pula pada dirinya apabila ditimpa musibah, mereka juga saling tolong-menorong sehingga merasakan persaudaraan yang sesuai dengan ajaran Al-qur’an dan sunnah. Maka jadilah masyarakat yang bertolong-tolongan, sehina, semalu, sesakit, sepedih, yang berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, kalau datang pekerjaan buruk sama berhamburan memberikan pertolongan, kalau datang pekerjaan baik seperti pernikahan sama diserukan dan sama bersuka-suka saling membantu. Itulah yang dinamakan ukhuwah islamiyah yang dirasakan bersaudara kandung dalam agama walaupun berlainan warna, suku dan bangsa.

Asal di bawah naungan dua kalimat syahadat, peraturan ini yang menjadikan pepatah adat yaitu saciok bak ayam, sekabat bak sirih, sebungkus bak nasi. Oleh karena itu didirikan orang disamping balai adat berdiri mesjid

(13)

untuk tempat membicarakan urusan agama dan tempat mengerjakan ibadah

kepada Allah.8

C. Perjuangan Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik di Pantai Barat Minangkabau

Dengan bekal ilmu dari guru yang punya pengetahuan, Buyung Mudo mengajar di Surau yang dia dirikan di Puluik-puluik, juga di Asam Kumbang, di Kapunjan (Bayang). Surau ini merupakan sentra pengembangan Islam di gerbang selatan Sumatera Barat (Pesisir Selatan). Banyak orang datang ke pusat pengajian di Bayang ini. Sampai pertengahan abad ke-20 Bayang masih merupakan sentra (pusat) pendidikan Islam.

Gerakan surau dalam perintisan dan gerakan kemerdekaan, fungsi surau sebagai basis perjuangan perintis, pergerakan dan pertahanan kemerdekaan. Misalnya Surau Syekh Buyung Mudo Puluik-puluik Bayang, menjadi basis perjuangan Perang Bayang melibatkan Pauh Padang di Pantai Barat Sumatera abad ke-17 yang berlangsung hampir satu abad setelah

perjanjian Bayang.9

Khusus surau yang didirikan oleh Syekh Buyung Mudo Puluik-Puluik merupakan sentra pengembangan dan penyiaran Islam di Gerbang Selatan Sumatera Barat, sekaligus berfungsi sebagai pusat perdagangan seperti lada. Seperti itu pula Surau yang didirikan di Koto Tangah Syeikh Surau Baru yang didirikan oleh (Muhammad Nasir), Surau Ulakan Pariaman,

8Imam Maulana Abdul Manaf, Sejarah Masuk Agama Islam ke Minangkabau, ( Padang:

Alih Tulis Buku, Muballigh al- Islam, 2001 ), h. 97-99

9Ramayulis, Sistem Pendidikan Surau Analisis Karakteristik Isi dan Literatur Keagamaan dari Perspektif Sejarah Sosial Pendidikan Islam 1, Di unduh pada tanggal 4 mai 2017

(14)

merupakan sentra penting dalam penyiaran Islam. Bayang, Koto Tangah dan Pariaman merupakan segi tiga santri, sekaligus transito bandar penting dalam menyalurkan komoditi dan hasil tanaman komersial seperti lada sebagai bahan dagang di Minangkabau ke Pesisir.

Dalam perdagangan jalur maritim (perairan laut) ketika itu yang menjadi rebutan adalah lada di samping emas. Bayang termasuk penghasil lada terbesar, menjadi rebutan Aceh dan Belanda bahkan saling memonopoli dalam perdagangan. Faktor ini pulalah yang merupakan indikator pemicu proses sengketa antara Aceh dan Belanda berebut pengaruh dan saling hendak menguasai pantai barat Sumatera umumnya, termasuk Minangkabau mengambil peran di Bandar-X (wilayah perairan Pesisir Selatan) yang juga merupakan rantau Minangkabau.

Melihat gejala ini Minangkabau mengkonsolidasi diri dan membuat taktik dan strategis baru. Sri Maharaja Alam Alif yang dipertuan Pagaruyung ketika itu menghubungi Panglima Aceh di Ulakan, karena pantai timur dan pantai barat Sumatera telah dikepung oleh pengaruh Islam termasuk luhak nan tigo (Agam, 50 Kota dan tanah datar) atau Daerah Minangkabau yang dipertuan Pagaruyung memeluk Islam dan menyusun pemerintahan sesuai dengan sistem pemerintah yang dinaungi pengaruh Islam, sehingga terbentuklah pimpinan yang kuat dengan sistim tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin, yakni Pemerintah Tri Sila (Tigo Selo). Ketiga pemimpin itu Rajo Alam di Pagaruyung mengurus soal administrasi pemerintah, Rajo Ibadat di Sumpur Kudus, mengurus masalah-masalah keagamaan (Islam) dan

(15)

Rajo Adat di Buo menegakkan hukum adat dan mengurus masyarakat adat. Pemerintah mereka dijiwai dengan filsafat adatnya, adat basandi syara’ syara’ basandi Kitabullah, syara’ mengato adat mamakai.

Dengan sistem pemerintah tigo selo dan pelaksanaan adat mengikuti ajaran Islam, maka kerajaan Pagaruyung menjadi kerajaan Islam, berdiri kokoh selama 3 abad (abad ke-16 – abad ke-18). Sebagai kerajaan yang kuat, selalu mendapat ancaman dari luar dan dalam, terutama sekali ancaman Aceh dan Belanda. Terbukti betapapun kuatnya Kerajaan Islam Pagaruyung, namun Aceh sejak mencapai puncaknya pada masa Iskandar Muda sekitar tahun 1607-1639, memegang dominasi kekuasaan di pantai barat Sumatera, termasuk Minangkabau. Dominasi kekuasaan Aceh ini lambat laun tidak disenangi oleh masyarakat pantai Pesisir. Sebagai konpensasi mereka mebuat taktik pura-pura bermain mata dan pura-pura ingin berdamai dengan

Belanda.10

Belanda terpancing, serta merta tertarik dengan sikap masyarakat ingin berdamai. Sebetulnya keadaan seperti itu yang diharapkan Belanda. Sebaliknya Belanda tidak pula tahu, itu hanya sekedar taktik dan main mata, yang pada perinsipnya masyarakat benci kepada Belanda. Belanda diperlukan untuk menghadapi Aceh yang sudah tidak menyenangkan lagi. Antara Aceh dan Belanda sering prontal baik dalam kepentingan ekonomi dagang lada, maupun kepentingan politik saling ingin berkuasa.

10Yulizal Yunus, Wawasan Islam, di unduh melalui website pada 11 April 2017 (10.03):

(16)

Dalam upaya mengambil hati rakyat Belanda melalui tokohnya Groenewegen politisi dan diplomat muda hebat VOC, banyak mengambil prakarsa, pura-pura menguntungkan rakyat, tetapi sebetulnya menguntungkan dagang lada monopoli Belanda. Di Bayang ketika itu pengaruh dagang dan pengaruh penyiaran Islam berpangkal di Surau Buyung Mudo. Sentra pendidikan Islam dan dagang ini disegani Belanda. Selain itu Bayang adalah daerah harapan Belanda sebagai produsen lada terbesar. Hasil pasokan Belanda, Bayang melever lada antara 5000- dan 6000 bahar ke negeri Belanda. Produksi dan ekspor lada ini Belanda ingin meningkatkannya.

Prakarsa ini diambil oleh Groenewengen melaksanakan strategi

pengembangan kawasan tanaman andalan lada di Bayang. Kredit lunak bahkan tanpa bunga diturunkan Groenewengen kepada rakyat. Kredit ini dibagikan tanpa setahu atasannya di Batavia. Namun betapapun cerdiknya diplomat muda VOC ini, nasibnya bisa seperti bajing, sekali waktu gawa juga, ia terpeleset dan jatuh, pun dimakan rakyat. Kredit yang dibagikan untuk peningkatan tanaman lada gagal total. Kredit yang diterima rakyat tidak digunakan sepenuhnya untuk peremajaan dan pembuatan baru kebun lada, tetapi sebaliknya kapas yang dilarang Belanda, justru itu pula yang mereka tanam. Bahkan yang lebih pedih pula, uang kredit itu digunakan untuk berdagang, sekaligus biaya menentang Belanda secara diam-diam, di samping menentang Aceh dengan menggunakan jasa Belanda. Akibatnya lada yang diharapkan Belanda tidak jadi bahkan gagal total. VOC merasa hati terluka perih diberi lada. Kapas yang tidak diharapkan, kenyataannya itu yang

(17)

menjadi (diproduk) dan hasilnya melimpah. Akibatnya, mempunyai dampak terhadap pemasaran tekstil Belanda dan kandas di pasar sehingga menumpuk di pulau Cingkuk, sebuah pulau di mulut teluk Painan itu seperti yang telah dijelaskan dalam pembicaraan sebelumnya.

Groenewegen marah sekali, kreditnya gagal. Kredit ditagih dengan keras kepada rakyat. Jangankan lada yang dapat sebagai pembayar kredit, bahkan setiap kali ditagih yang dapat hanya jawaban, tinggi gunung seribu janji / memang lidah tidak bertulang. Bahkan yang sangat menyakitkan pula, rakyat tidak mau lagi sejak itu berdagang menjual ladanya kepada Belanda, tetapi beralih kepada orang Jawa dan Cina, karena kalau lada dijual kepada Belanda, pasti uang tidak akan dapat, diduga lada dibawa Belanda, uang tidak dibayar tetapi langsung dipotong untuk penutupi/ pembayar kredit. Tetapi hanya satu yang masih melegakan Belanda, rakyat seperti tidak bersikap bermusuhan dengan Belanda, meskipun sikap itu pura-pura, sebagai kekuatan bawah tanah, memikat prihatin Belanda untuk melumpuhkan Aceh.

Aceh ketika itu masih memperkuat kekuasaan di pantai pesisir. Maka rasa tidak puas rakyat berada pada puncaknya. Rakyat membuat perjanjian yang dipimpin raja-raja pesisir dengan Belanda, secara rahasia. Perjanjian rahasia ini diadakan di sebuah tempat agak tersembunyi berbentuk sebuah pulau kecil di muka pantai Batangkapas, tahun 1662, ada yang menyebut di Taluk Kasai dan ada yang menyebut di Taluk Tempurung. Hadir tokoh masyarakat Bandar-X, berhimpun di Batangkapas yang dikenal kekuasaan Sidi Rajo yang digelari Belanda dengan Rajo Rampok . Rupanya perjanjian

(18)

rahasia itu bocor dan sampai di Tiku ketika Panglima Belanda datang ke sana. Sebagai tindak lanjut hasil perjanjian itu dibicarakan kembali di Painan dihadiri wakil Salido, Painan, Inderapura, Tiku dan Padang. Sialnya perjanjian itu bocor lagi. Isinya diketahui Panglima Aceh di Pariaman, sehingga pantai pesisir dikawal ketat oleh Aceh. Bahkan Aceh membuat strategi ingin memutus jalur dagang pelabuhan penting Inderapura, Tiku dan Pulau Cingkuk, dan mengalihkan ke Pelabuhan di Aceh.

Sungguh pun perjanjian Batangkapas yang kemudian dikukuhkan di Painan yang kemudian dikenal dengan kontrak Painan hasilnya tetap dibawa ke Batavia (Jakarta), oleh wakil pesisir selatan dan utara bersama pimpinan VOC Groenewegen. Isi perjanjian itu secara essensial : pertama, perdagangan lada dan emas hak monopoli VOC (seuah kepura-puraan yang memicu kemarahan Aceh). Tetapi kepura-puraan itu dikhawatiri jadi preseden buruk, tidak banyak dipahami sebagai taktik dan strategi memancing kemarahan Aceh. Sehingga terjadinya pro dan kontra terhadap perjanjian yang kontroversial itu. Bahkan ada yang menuduh Painan (Pesisir Selatan) benar-benar memihak dan menjual bangsa kepada Belanda, yang kontra (menentang) perjanjian beraksi mendekati Panglima Aceh dan yang menyetujui perjanjian seperti memihak Belanda.

Intinya ketika itu bagaimana bisa menggunting Belanda di kelipatan sendiri. Ternyata secerdik-cerdik Belanda melaksanakan politik adu dombannya secerdik itu pula rakyat pantai pesisir mengadu Belanda dengan kekuasaan Aceh di pantai pesisir ini. Tipu Aceh pun dilumpuhkan strategi

(19)

rakyat pesisir. Dari fenomena perjanjian itu, Belanda seperti dapat angin, lalu Yacob Groenewengen berpeluang membangun kantor dagang kayu di Painan dan Salido. Dari pulau Cingkuk, pimpinan VOC ini memilih tinggal di Salido. Melihat keadaan ini, menurut Agus Yusuf, Panglima Aceh mundur dari Salido pertanda keadaan genting.

Saat Aceh mundur itu, rakyat yang terkonsentrasi di Bayang segera berbalik arah menentang Belanda terang-terangan. Sidi Naro yang digelari Belanda Rajo Rampok (kemudian mendapat kuasa di Batangkapas, makamnya masih terdapat di tengah pasar dari Pasar Kuok ibu negeri Batangkapas. Tidak banyak informasi Sidi Naro berkuasa setelah raja Batang Kapas Raja Lele Garam, yang seangkatan dengan masa pemerintahan Muhammad Syah di Inderapura), ikut mengempur Belanda dan berpihak kepada Bayang. Mendengar Bayang siap-siap menggempur Salido yang diperkuat Sidi Naro, penduduk ketakutan dan mengungsi ke pulau-pulau sekitar termasuk kepulau Cingkuk dekat benteng Belanda. Benar saja tanggal 7 Juni 1663, Bayang yang mempunyai sense of bolonging serta kuat memiliki solidaritas primordialis yang berbobot wawasan kebangsaan dan dibakar oleh semangat jihad Islam, mencintai tanah air bagian dari iman, yang digerakan dari pusat pendidikan surau Tuanku Bayang, tidak lagi mengasih ampun Belanda. Bayang menyerang Salido tempat kedudukan Groenewengen pimpinan VOC itu. Perang Bayang pertama meletus, pasca perjanjian Painan.

Di pihak lain seperti di Batang kapas yang tadinya berpura-pura berteman dengan Belanda (disebut Sandiwara Batangkapas) dengan indikasi

(20)

adanya perjanjian dengan Belanda sebagai cikal bakal Perjanjian Painan, serta merta orang Batangkapas berontak ikut membantu Raja Adil dari Majunto dekat Indrapura, menyerang kerajaan Inderapura yang dipimpin Muhammad Syah. Raja Adil yang tadinya tidak tahu lalu menentang perjanjian Batangkapas, meningkatkan aksinya menyerang Muhammad Syah yang memihak Belanda. Kekuatan Raja Adil selain di bantu Raja Batangkapas Raja Lela Garam, diperkuat pula barisan Raja Kambang. Tetapi seperti perang Bayang 1663, Raja Adil, meskipun semua daerah yang baru saja takluk di bawah Inderapura berpihak kepadanya, namun Raja Adil akhirnya tidak berkutik. Karena tadinya Sultan Muhammad Syah di Inderapura seperti duduk di atas bara meminta bantuan VOC di pulau Cingkuk.

Ketika Belanda repot mempertahankan kepentingannya bidang ekonomi (dagang) dan politik, kompeni seperti tidak ditakuti lagi. Pimpinan VOC hilir mudik dari pulau Cingkuk ke Padang, terus ke Koto Tangah. Dari Koto Tangah tergopoh-gopoh pula ke Padang terus ke Pulau Cingkuk. Orang ketika itu sudah boleh ketawa, Belanda seperti singa ompong tak bertaring, piutang tak bakal berbayar. Apabila ketika itu Padang bergolak pula, terpaksa pimpinan VOC mengambil hati rakyat, supaya jangan berpaling haluan. Yang lebih berbahaya pula tersiar berita Utara dan Selatan akan segera menyerang, yakni dari Bayang dan pantai pesisir utara (mulai dari Padang dan Pariaman), yang lebih menakutkan pula berita bahwa Pauh akan menggempur. Benar saja dari selatan meletus lagi Perang Bayang 1678, hampir saja Bayang merebut Salido, kalau tidak dibantu kekuatan meriam Belanda di sana. Tapi 1703

(21)

Bayang kembali menggempur dan berhasil merebut Salido dan memukul Belanda mundur ke pulau Cingkuk. Demikianlah selanjutnya perang Pauh yang dapat melumpuhkan Belanda dan hancur berantakan. Perang Bayang (gerakan dari Selatan), Perang Pauh (gerakan dari utara dan timur), jelas-jelas dimotori semangat juang jihad fi sabilillah (di dalam jalan Allah) dan diyakini bahwa membela tanah air adalah bagian dari iman. Semangat seperti ini dihembuskan dari kekuatan tiga tungku sejarangan dan tali tiga sepilin, yang melancarkan jurus ekonomi (dagang) politik (membela negara), agama (menyiarkan Islam) dari tiga sentra pendidikan yakni surau Buyung Muda di Puluik-puluik, Surau Baru Koto Panjang Koto Tangah dipimpin Syeikh Muhammad Nashir menjdi basis Pauh serta surau yang paling besar adalah surau Ulakan dipimpin oleh Syeikh Burhanuddin. Tiga tokoh ini dahulunya seperjuangan juga sama-sama mengaji dengan Syeikh Abdul Rauf Aceh, Perjuangan mengembangkan Islam dan membela tanah kelahiran, merupakan kerja mulia, yang tidak ringan berbasis di Surau Buyung Muda di Bayang, Pesisir Selatan. Dengan demikian surau ini membentuk barisan yang kokoh pula dari satu surau.

Surau Buyung Mudo mempunyai jaringan hubungan tungku tiga sajarangan dengan surau Syeikh Supayang (Syeikh Muhsin, Supayang, Solok) dan Surau Baru Koto Tangah dengan Surau Tarantang membawahi 60 surau kecil-kecil. Pada sisi lain dengan surau Ulakan dan Surau Buyung Muda ini, tiga Surau: Buyung Mudo (Bayang), Tarantang Koto Tangah (Padang) dan Supayang (Solok) saling berhubungan. Masing-masing daerah

(22)

itu menjadi basis strategis. Koto Tangah dan Pauh merupakan pelabuhan transito Minangkabau, khususnya dari Kubung Tigo Baleh. Bayang (Puluik-puluik, Asam Kumbang, Kapunjan dan lain-lain) merupakan pusat perdagangan di pesisir dan merupakan pusat penyiaran Islam terbesar seperti Ulakan dan Koto Tangah, terutama penyebaran Islam ke Kubung Tigo Baleh (Solok). Karena Bayang lewat Asam Kumbang merupakan jalur pedalaman dalam perdagangan dan tempat transito pedagang ke Kubung Tigo Baleh yakni memintas di Alahan Panjang (Solok), insya Allah sebagai tapak sejarah jalan ini sekarang sedang digerakan pembangunannya kembali.

Jaringan Surau Buyung Muda di Bayang ini bercabang ke Supayang (Solok) dan Syekh Supayang sering berulang ke Surau Bayang ini. Selain itu Surau Baru dengan Surau Tarantang di Koto tangah yang membawahi 60 surau kecil mempunyai cabang pula di Bayang dan di Supayang. Surau Terantang yang merupakan surau tarekat dan induk dari 60 surau Minangkabau dan diperkuat Surau Bayang yang bercabang ke Supayang, banyak melahirkan para ulama dan muballigh. Dari sini memancar cahaya agama tidak saja di Minangkabau tetapi juga ke daerah lain di Nusantara, bahkan keluar negeri. Daerah lain di Nusantara seperti Sulawesi dan Ambon. Ke Sulawesi ada tiga Muballigh, yakni Abdul Makmur Khatib Tunggal dikenal dengan Datuk Ri Bandang (wafat di Makasar), Khatib Sulaiman disebut Datuk Ri Patimang (menyebarkan Islam ketanah Lawu dan meninggal di Patimang/ Lawu) dan khatib Bungsu dikenal dengan Datuk Ri Tiro mengajar di Tiro Bulu Kumba. Ketiga Ulama ini berasal dari Koto

(23)

Tangah. Peranannya besar terutama Datuk Ri Bandang, meletakkan sendi syari’at Islam dalam masyarakat Bugis. Makasar yakni di Goa, Bone, Wajo dan Soppeng. Tidak saja di Sulawesi dan Ambon saja, tetapi Islam menyebar ke Brunai Darussalam setelah Serawak (Malaysia Timur) bahkan sampai ke Mindano (Philipina), karena orang Minangkabau dan dibantu Bugis kuat menjadi pelopor pegembangan Islam.

Di Sumatera Barat sendiri pengaruh Surau Puluik-puluik Bayang dan Koto Tangah serta Supayang ini tidak sedikit pula melahirkan ulama besar dan mengembangkan Islam sekaligus mendirikan sentral pendidikan terutama di daerah mereka masing-masing. Demikian pula tiga tungku sejarangan Surau Buyung Mudo, Syekh Ulakan dan Surau Baru Koto Tangah, merupakan pusat penyiaran Islam ke seluruh wilayah Minangkabau dari pantai barat Sumatera. Buyung Mudo dari Gerbang Selatan dan Ulakan dari

Gerbang Utara, Surau Baru dari Utara dan Timur, Sumatera Barat.11

Referensi

Dokumen terkait

Tingginya prevalensi infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) serta timbulnya kasus-kasus tentang efek buruk penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dengan standar terapi

Di tingkat Petani-1 yang memiliki umur tanaman 8-9 tahun hanya memperoleh nilai tambah yang masih rendah dibanding dengan pelaku pasar lainnya seperti pedagang besar

Sesuai dengan Kurikulum 2013, buku siswa kelas X ini memuat lima pelajaran yang terdiri atas dua jenis teks faktual, yaitu laporan hasil observasi dan prosedur kompleks; dua

Pada analisis spektroskopi FTIR dilakukan pada membran selulosa asetat yang sebelum dan sesudah didop dengan logam dopan Cu(II) yang dapat dilihat pada gambar 4

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu hamil primigravida di Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertiwi Makassar memiliki pengetahuan yang baik tentang

Tujuan dengan adanya pengabdian ini, diharapkan bisa memperkenalkan produk-produk olahan nanas mereka lebih luas lagi melalui web dan dapat meningkatkan Omzet UMKM

What’s My Line untuk meningkatkan pemahaman konsep kesejarahan dalam pembelajaran sejarah di kelas XI IIS 1 SMAN 12 Bandung. Melaksanakan dan mengkajiPembelajaran Aktif

Penulis juga menggunakan sarung tangan sebagai alat perlindungan diri pada penulis, tindakan pertama kali yang penulis lakukan terhadap pasien yaitu mengukur suhu