49
Hanum Aprilia Wardoyo1, Trias Mahmudiono2
1Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya 2Departemen Gizi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya
ABSTRAK
Usia sekolah merupakan masa pertumbuhan bagi anak sehingga memerlukan gizi yang cukup dan seimbang. Defi siensi gizi pada usia sekolah dapat menyebabkan anak menjadi lemah dan cepat lelah dan berakibat meningkatnya angka absensi serta mengalami kesulitan dalam konsentrasi belajar sehingga menurunkan prestasi belajar. Penelitian
cross sectional ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kebiasaan sarapan dan asupan gizi dengan prestasi
belajar. Penelitian ini melibatkan 74 siswa sekolah dasar kelas 4 dan kelas 5 di SDN Wonocatur dan SDN Sumberejo I, Kabupaten Kediri. Sampel dipilih secara acak dengan metode stratifi ed random sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur, 24 hour food recall dan food frequency questionnaire. Pengolahan data dilakukan dengan program statistik SPSS for windows dan hubungan antar variabel dianalisis dengan menggunakan uji statistik Chi-square, Fisher’s Exact, Mann Whitney dan korelasi Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden terbiasa melakukan sarapan pagi (56,8%), mempunyai asupan kalori (51,4%), karbohidrat (62,2%), protein (66,2%), vitamin C (83,3%) dan zat besi (66,2%) yang rendah. Sebagian besar siswa juga mempunyai daya konsentrasi belajar yang rendah (68,9%). Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan signifi kan antara kebiasaan sarapan dengan daya konsentrasi belajar (p < 0,01) dan antara asupan zat gizi (kalori (p < 0,05), karbohidrat (p < 0,05), protein (p < 0,05) dan zat besi (p < 0,05)) dengan daya konsentrasi belajar. Kata kunci: sarapan, asupan gizi, konsentrasi
ABSTRACT
School age is the period of fast child growth so that children need sufi cient and balanced nutrition. Nutrition defi ciency during school age will cause children to be weak, get tired easily and ailing. Consequently, they are often absent from school and face diffi culties to concentrate in their study so that this affect their academic achievement. This cross sectional study was aimed to analyze the association of breakfast habits and nutrient intake with concentration. Sample as many as 74 students of grade 4 and 5 of SDN Wonocatur and SDN Sumberejo I, Kediri District were taken by stratifi ed random sampling. Data were collected through interview using structured questionnaire, 24 hours food recall and food frequency questionnaire. Data were processed with SPSS software, and association among variables was analyzed by using Chi-square test, Fisher’s Exact, Mann Whitney and Spearman correlation. The results showed that most of the respondents had habit of having breakfast (56.8%), low intake of calories (51.4%), carbohydrate (62.2%) protein (66.2%), vitamin C (83.3%) and iron (66.2%). Most of the students had low concentration power (68,9%). This research showed that there was association between breakfast habit and learning concentration (p < 0.01), as well as between calorie (p < 0.05), carbohydrate (p < 0.05), protein (p < 0.05), iron (0.05) and learning concentration.
Keywords: breakfast, nutrient intake, concentration PENDAHULUAN
Anak sekolah berada pada masa pertumbuhan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk menunjang kehidupannya di masa datang. Guna mendukung keadaan tersebut, anak sekolah memerlukan kondisi tubuh yang optimal dan bugar sehingga memerlukan status gizi yang baik (Ditjen Bina Kesehatan Direktorat Gizi Masyarakat, 2001 dalam Taufiqurrahman, 2003).
Status gizi yang buruk pada anak akan memberikan dampak anak menderita gangguan mental, sukar berkonsentrasi, rendah diri dan prestasi belajar menjadi rendah karena hambatan terhadap pertumbuhan otak dan tingkat kecerdasan (Moehji, 2003). Salah satu penyebab terjadinya status gizi yang buruk adalah rendahnya asupan zat gizi.
Rendahnya asupan zat gizi dapat disebabkan oleh karakteristik perilaku anak, salah satunya
kebiasaan makan. Sepertiga dari pemenuhan angka kecukupan gizi diperoleh dari makan pagi. Oleh karena itu makan pagi harus memiliki kualitas makanan serta pilihan sumber makanan yang terbaik serta memenuhi sebanyak 20–35% dari kecukupan energi harian (Giovannini, 2008) atau seperempat kalori sehari (Judarwanto, 2008), tepat komposisinya, jumlahnya serta waktu pemberian (Pollitt dan Mathews, 1998).
Makan pagi memberikan arti yang sangat penting yaitu menyediakan energi. Anak sekolah yang tidak pernah makan pagi akan mengalami kondisi menurunnya kadar gula darah sehingga pasokan energi kurang untuk kerja otak. Tubuh memecah simpanan glikogen untuk mempertahankan kadar gula normal. Apabila cadangan glikogen habis, tubuh akan kesulitan memasok energi dari gula darah ke otak yang akhirnya mengakibatkan badan gemetar, cepat lelah dan gairah belajar menurun (Sunarti dkk, 2006; Sintha, 2001) serta bisa membuat tubuh
loyo (Khomsan, 2002). Tujuan utama penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara makan pagi dan tingkat konsumsi zat gizi dengan daya konsentrasi siswa. Penelitian ini diharapkan akan mempunyai arti penting dalam perbaikan program kesehatan dan gizi bagi anak usia sekolah dalam meningkatkan kualitas generasi penerus bangsa. METODE
Penelitian cros ssectional ini dilakukan di SDN Wonocatur dan SDN Sumberejo I, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri, pada bulan April sampai dengan Mei 2010. Sampel sebesar 74, dipilih dengan metode stratified random
sampling. Data identitas pribadi, karakteristik
responden dan orang tua, serta kebiasaan makan pagi diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Tingkat konsumsi zat gizi harian dan makan pagi dikumpulkan melalui 24 hours food recall dan
food frequency questionnaire, status gizi dinilai
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Karakteristik
Responden
SDN Sumberejo I SDN Wonocatur Total
n % n % N % Jenis Kelamin - laki-laki - Perempuan Usia Responden - 10 tahun - 11 tahun - 12 tahun - 13 tahun - 14 tahun
Pendidikan Orang tua - SD/Sederajat - SMP/Sederajat - SMA/Sederajat - Akademi/PT Pekerjaan Orang Tua
- PNS - TNI/Polisi - Pegawai swasta - Pedagang/Wiraswasta - Petani - Buruh tani - Tidak bekerja - Lain-lain Besar Uang saku
- ≤ Rp1900,00 - >Rp1900,00–Rp3800,00 - > Rp3800,00 23 19 8 10 17 4 3 9 17 16 0 2 0 24 8 2 0 4 2 9 33 0 31,1 25,7 10,8 13,5 22,9 5,4 4,1 12,2 14,0 21,6 0 2,7 0 32,4 10,8 2,7 0 5,4 2,7 12,2 44,6 0 21 11 9 15 7 1 0 8 11 12 1 1 2 11 7 3 5 1 2 6 24 2 28,4 14,8 12,2 20,3 9,5 1,3 0 10,8 23,9 16,2 1,4 1,4 2,7 15,9 9,5 4,1 6,8 1,4 2,7 8,1 32,4 2,7 44 30 17 25 24 5 3 17 28 28 1 3 2 35 15 5 5 5 4 15 57 2 59,5 40,5 23 33,8 32,4 6,8 4,0 23,0 37,8 37,8 1,4 4,0 2,7 47,2 20,3 6,8 6,8 6,8 5,4 20,3 77,0 2,7
dengan antropometri, dan daya konsentrasi belajar diukur menggunakan test Kraepelin. Analisis data dilakukan menggunakan 2 cara yaitu analisis deskriptif untuk melihat gambaran distribusi, sedangkan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan menggunakan Korelasi Spearman,
Chi-Square Test dan Fisher’s Exact, tergantung
karakteristik data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebagian besar responden berusia 11 tahun (33,8%) dan 12 tahun (32,4%). Sebagian besar ayah responden memiliki tingkat pendidikan terakhir SMP/Sederajat dan SMA/Sederajat (37,8%) dan bekerja sebagai pegawai swasta (47,2%) dan pedagang atau wiraswasta (20,3%) sedangkan sebagian besar ibu responden memiliki pendidikan terakhir hingga SD/Sederajat (32,4%) dan SMP/Sederajat (35,1%), dan bekerja sebagai pegawai swasta (39,2%) maupun tidak bekerja (36,5%). Tabel 1 menunjukkan karakteristik umum responden dan orang tua responden.
Menurut Soediaoetama (2000) pendapatan keluarga, pendidikan orang tua terakhir dan pekerjaan keluarga sangat berperan dalam penyediaan bahan pangan yang dapat menentukan kualitas gizi dan status kesehatan keluarga.
Sebagian besar responden (68,9%) memiliki daya konsentrasi belajar yang kurang sedangkan mengenai kebiasaan sarapan pagi, sebagian besar responden telah terbiasa melakukan sarapan pagi (56,8%). Menurut Sunarti dkk (2006), kebiasaan makan pagi sangat penting bagi tubuh karena lambung akan terisi kembali setelah 8–10 jam kosong serta kadar gula akan menurun sehingga pasokan energi ke otak kurang ketika meninggalkan makan pagi. Tabel 2 menunjukkan kebiasaan sarapan pagi dan daya konsentrasi responden.
Dampak negatif meninggalkan makan pagi adalah ketidakseimbangan sistem syaraf pusat yang diikuti dengan rasa pusing, badan gemetar atau rasa lelah, dalam keadaan ini anak sulit menerima pelajaran dengan baik (Khomsan, 2002), konsentrasi belajar terganggu karena cadangan dari makan malam sudah menurun (Sunarti dkk, 2006), gangguan ingatan jangka pendek, tidak bisa menyelesaikan masalah, perhatian terganggu (Giovannini, 2008) dan penurunan hasil tes prestasi belajar (Phillips, 2005). Dalam penelitian ini, di antara responden yang tidak terbiasa sarapan pagi, sebagian besar (87,5%) memiliki konsentrasi yang rendah (Tabel 3). Dari hasil statistik Chi
Square Test diperoleh nilai p = 0,003, berarti ada
hubungan antara kebiasaan sarapan dengan daya konsentrasi.
Tabel 2. Kebiasaan Makan Pagi dan Daya Konsentrasi
Variabel SDN Sumberejo I SDN Wonocatur Total
n % n % N %
Kebiasaan makan pagi Terbiasa makan pagi Tidak terbiasa makan pagi
24 18 32,5 24,3 18 14 24,3 18,9 42 32 56,8 44,2 Daya konsentrasi Baik 10 13,5 13 17,6 23 31,1 Kurang 32 43,2 19 25,7 51 68,9
Tabel 3. Hubungan antara Makan pagi dengan Daya Konsentrasi
Kebiasaan Makan Pagi
Daya Konsentrasi
Total
P-value
Rendah Tinggi
n % n % N %
Terbiasa makan pagi Tidak terbiasa makan pagi
22 28 52,3 87,5 20 4 47,6 12,5 42 32 100 100 0,003
Simpanan glikogen yang berasal dari hidangan makan malam sudah akan habis 2–4 jam setelah anak bangun pagi, pada anak yang tidak makan pagi, menipisnya sediaan glikogen otot tidak tergantikan. Untuk menjaga agar kadar gula darah tetap normal, tubuh memecah simpanan glikogen dalam hati menjadi gula darah. Jika bantuan pasokan gula darah ini pun akhirnya habis juga, tubuh akan kesulitan memasok jatah gula darah ke otak (Sintha, 2001) yang akhirnya mengakibatkan badan gemetar, cepat lelah dan gairah belajar menurun (Sunarti, dkk, 2006) serta bisa membuat tubuh loyo (Khomsan, 2002).
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar (51,4%) responden memiliki tingkat konsumsi kalori yang kurang. Sebagian besar responden juga mengonsumsi karbohidrat, protein dan zat besi dalam tingkatan kurang (berturut-turut 62,2%, 66,2% dan 57,6%). Kurangnya tingkat kecukupan energi pada responden kemungkinan disebabkan karena kualitas makan pagi yang tidak memenuhi syarat. Sarapan pagi harus memiliki kualitas makanan serta pilihan sumber makanan yang terbaik serta memenuhi sebanyak 20–35% dari kecukupan energi harian (Giovannini, 2008) atau ¼ kalori sehari (Judarwanto, 2008) tepat komposisinya, jumlahnya serta waktu pemberian (Pollitt dan Mathews, 1998). Sumber zat besi yang baik adalah makanan hewani seperti daging, ayam dan ikan (Almatsier, 2002). Berdasarkan hasil food frequency, makanan sumber zat besi yang dikonsumsi secara harian oleh responden
memiliki kandungan zat besi yang rendah (tabel tidak ditunjukkan). Tabel 3 menunjukkan tingkat konsumsi zat gizi responden.
Di antara responden yang dengan asupan kalori kurang, sebagian besar (81,57%) memiliki daya konsentrasi yang rendah. Demikian dengan responden yang memiliki asupan karbohidrat, protein dan zat besi yang kurang, sebagian besar juga memiliki daya konsentrasi belajar yang kurang (berturut-turut 78,23%, 77,55%, dan 78,0%). Hasil analisis statistik menunjukkan adanya hubungan antara asupan kalori, karbohidrat, protein dan zat besi dengan daya konsentrasi pada siswa sekolah dasar (Tabel 5).
Penelitian Sunarti dkk (2006) menunjukkan bahwa konsentrasi dipengaruhi oleh asupan energi makan pagi dan energi snack pagi, protein makan pagi dan protein snack pagi dan skor konsentrasi pagi. Kondisi tersebut berkaitan dengan penggunaan glukosa sebagai sumber energi. Dalam keadaan normal, sistim saraf pusat hanya dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Dalam proses absorpsi, glukosa di absorpsi secara aktif menggunakan alat angkut protein dan energi sehingga jika kecukupan protein kurang maka proses pengangkutan glukosa sebagai nutrisi otak akan terganggu yang menyebabkan otak mengalami kekurangan glukosa yang akan memengaruhi daya konsentrasi. Zat besi juga berperan dalam perkembangan psikomotor anak. Defisiensi besi berpengaruh terhadap fungsi otak, terutama terhadap fungsi sistem neurotransmitter
Tabel 3. Tingkat Konsumsi Zat Gizi
Tingkat konsumsi zat gizi SDN Sumberejo I SDN Wonocatur Total
n % n % N % Kalori Cukup Kurang Karbohidrat Cukup Kurang Protein Cukup Kurang Zat Besi Cukup Kurang 21 21 14 28 12 30 13 29 28,4 28,4 18,9 37,8 16,2 40,5 17,6 39,2 15 17 14 18 13 19 11 21 20,3 23,0 18,9 24,3 17,6 25,7 14,9 28,4 36 38 28 46 25 49 24 50 48,6 51,4 37,8 62,2 33,8 66,2 32,4 67,6
(pengantar saraf), kerusakan struktur myelin, dan mengurangi metabolisme energi di otak Akibatnya, kepekaan reseptor saraf dopamin berkurang yang dapat berakhir dengan hilangnya reseptor tersebut. Daya konsentrasi, daya ingat dan kemampuan belajar terganggu, ambang batas rasa sakit meningkat, fungsi kelenjar tiroid dan kemampuan mengatur suhu tubuh menurun (Lozoff dan Youdim, 1988 dalam Almatsier, 2002). Kondisi tersebut berkaitan dengan proses pengaktifan enzim Mono Amin Oksidase (MAO). Zat besi (Fe) diperlukan sebagai kofaktor untuk mengaktifkan enzim Mono Amin Oksidse (MAO) diotak yang berperan untuk daya konsentrasi. KESIMPULAN
Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara makan pagi dengan daya konsentrasi serta antara tingkat konsumsi zat gizi (kalori, karbohidrat, protein, dan zat Besi) dengan daya konsentrasi pada siswa sekolah dasar.
SARAN
Hasil penelitian ini menunjukkan perlunya dilakukan promosi pentingnya sarapan pagi, terutama bagi siswa sekolah untuk membantu mereka lebih berkonsentrasi dalam menerima materi yang diberikan di sekolah, sehingga dapat lebih berprestasi.
Tabel 4. Hubungan Tingkat Konsumsi Zat Gizi dengan Daya Konsentrasi Tingkat Konsumsi Zat Gizi Daya Konsentrasi Total P-value Rendah Tinggi n % n % N % Kalori Cukup Kurang Karbohidrat Cukup Kurang Protein Cukup Kurang Zat Besi Cukup Kurang 19 31 14 36 12 38 11 39 52,77 81,57 50,0 78,23 48,0 77,55 45,83 78,0 17 7 14 10 13 11 13 11 47,23 18,43 50,0 21,77 52,0 22,45 54,17 22,0 36 38 28 46 25 49 24 50 100 100 100 100 100 100 100 100 0,017 0,024 0,021 0,012 DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia.
Giovannini M. 2008. Breakfast: a Good Habit, not a Repetitive Custo. Diakses dari https:// omegacookie.com/content/pdf/s1.pdf pada 15 Juni 2010.
Khomsan, Ali. 2002. Pangan dan Gizi untuk
Kesehatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Moehji, Shamien. 2003. Ilmu Gizi. Jakarta: Bathara Karya Aksara.
Phillips W, Gregory. 2005. Does Eating Breakfast
Affect the Performance College Students on Biology Exams? Diakses dari http://amcbt.
indstate.edu/volume_30/v30-4p15-19.pdf pada 15 Juni 2010.
Pollitt, Ernesto dan Mathews, Rebecca. 1998.
Breakfast and cognition: an integrative summary. Diakses dari http://www.ajcn.org/
cgi/reprint/67/4/804S.pdf pada 20 Juni 2010. Sintha, Ratnawati. 2001. Sehat Pangkal Cerdas.
Jakarta: Kompas.
Taufiqurrahman. 2003. Hubungan Kebiasaan
Sarapan dengan Status Gizi di SD Perkotaan.
Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga Soediaoetama AD. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa
dan Profesi. Jilid II. Jakarta Timur: Dian Rakyat. Sunarti, M, Julia, M.G, Adiyanti. 2006. Pengaruh
Pemberian Makanan Tambahan terhadap Konsentrasi belajar Siswa Sekolah Dasar.
Diakses dari http://www.frac.org/pdf/ breakfastforlearning.PDF pada 15 juni 2010