• Tidak ada hasil yang ditemukan

hutan tetap lestari, tetapi dari aspek ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan akan kayu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "hutan tetap lestari, tetapi dari aspek ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan akan kayu"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

Hutan Indonesia seluas 120 juta hektar, kondisinya sangat memprihatinkan, laju deforestasi relatif masih tinggi meskipun ada penurunan. Pada periode tahun 1998-2000 laju deforestasi sebesar 2,83 juta ha/tahun dan pada tahun 2000-2005 laju deforestasi menurun menjadi 1,18 juta ha/tahun. Pembalakan liar bukan hanya terjadi di lokasi bekas areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH), tetapi sudah meluas ke hampir semua kawasan konservasi yang ada (Departemen Kehutanan, 2007). Fakta lain menunjukkan hingga kini perdagangan ilegal masih belum bisa dihentikan, konversi lahan hutan untuk perkebunan besar, kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun serta kebutuhan industri perkayuan dan kayu pertukangan yang tidak seimbang dengan persediaan kayu menyebabkan kayu mulai langka. Kondisi hutan di Jawa juga tidak jauh berbeda, dampak situasi euforia reformasi yang berlebihan juga menyentuh kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani. Situasi tersebut sebenarnya sudah terjadi sebelum era reformasi, namun tidak separah saat ini. Ditambah lagi dalam kurun waktu beberapa dasa warsa terakhir, hutan hanya sebagai produksi kayu (timber

management), akibatnya fungsi hutan seperti ekologi, ekonomi dan sosial menjadi

terganggu.

Upaya yang dapat dilakukan guna tetap menjaga kelestarian hutan, adalah melakukan moratorium penebangan, namun hal ini kurang bijaksana untuk kawasan hutan produksi karena hanya menyentuh aspek ekologi, sedangkan aspek ekonomi dan sosial terabaikan. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah agar dari aspek ekologi, hutan tetap lestari, tetapi dari aspek ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan akan kayu

(2)

dan aspek sosial masih tetap berjalan. Beberapa cara yang dapat ditempuh di antaranya adalah dengan kegiatan reboisasi, mengurangi hasil hutan kayu dengan memaksimalkan hasil hutan non kayu. Hasil hutan non kayu yang dapat dikembangkan serta ditingkatkan produktivitas dan penggunaannya banyak jenisnya, seperti rotan, bambu, minyak kayu putih, nilam, madu, jasa wisata dan hasil getah. Salah satu hasil hutan non-kayu yang mempunyai nilai ekonomis tinggi adalah getah tusam (pinus). Pinus merkusii Jungh. et de Vriese merupakan tanaman asli Indonesia yang sebaran alaminya berada di Sumatera yaitu Aceh, Tapanuli dan Kerinci. Sejak tahun 1924 P. merkusii diintroduksi ke Jawa, kemudian Sulawesi pada tahun 1927 (Hardiyanto, 2003). Luas hutan tusam di Jawa 476.126 ha, merupakan urutan kedua setelah hutan jati (1.074.270 ha), yang dapat disadap sekitar 125.000 ha terdiri dari 50.000 pohon. Secara menyeluruh potensi hutan tusam tersedia diproyeksikan ke depan akan terus ditingkatan (Handhadari, 2006).

Peran hutan tusam baik dari hasil kayu maupun non kayu (getah) dari tahun ke tahun semakin penting, sehingga pada tahun 2006 oleh Direksi Perum Perhutani daurnya diperpanjang dari 30 tahun menjadi 50 tahun. Getah yang dihasilkan saat ini bukan lagi produk sampingan, namun telah menjadi produk unggulan yang mempunyai prospek ekonomi cukup baik. Produksi getah tusam Perum Perhutani 90 000 ton/tahun, dari jumlah tersebut setelah diolah menjadi gondorukem 62.380 ton dan terpentin 12.460 ton. Harga gondorukem US$ 1.300 per ton dan harga terpentin US$ 2.200 per ton (Hasniawati, 2010). Peluang ekspor masih sangat terbuka lebar karena produsen terbesar dunia hanya didominasi oleh tiga negara yaitu Cina, Brazil dan Indonesia. Pasar ekspor gondorukem dan terpentin Indonesia adalah India, Amerika

(3)

Serikat, Perancis, Kamerun, Belanda dan itupun baru mampu memenuhi kurang dari 10% permintaan pasar tersebut (Perum Perhutani, 2006b).

Gondorukem (calopilum) merupakan bahan baku untuk industri batik, kertas, sabun, vernis, pelapis, bahan solder, dan tinta cetak. Di Cina penggunaan gondorukem untuk tinta cetak (24%), adesif dan sealants (22%), kertas (21%), emulsifiers (11%), pelapis (4%), permen karet (2%), bahan pencampur karet (1%) dan lain-lain 15% (Jagers, 2006). Li Yi (2006) menambahkan Cina merupakan pengguna dan pengekspor rosin terbesar ke empat dunia, sebagai bahan untuk industri cat, obat bius, antiseptik dan vernis. Terpentin digunakan sebagai pelarut minyak organik dan industri semir, minyak cat, dan pembuatan kamfer sintetis. Apabila Indonesia memproduksi dalam bentuk derivat dari gondorukem dan terpentin, maka akan memiliki nilai tambah jauh lebih tinggi.

Berdasarkan fakta tersebut tampak bahwa nilai ekonomi dan manfaat getah tusam cukup potensial, sehingga perlu adanya perhatian serius guna memperoleh hasil maksimal baik dari segi produktivitas maupun kualitas getah. Produksi getah tusam Perum Perhutani di beberapa Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) dengan penyadapan metode quare menunjukkan produksi yang bervariasi, seperti di KPH Malang sebesar 5,4 g/pohon/hari (Perum Perhutani, 2008a); KPH Jombang 4,4 g/pohon/hari (Perum Perhutani, 2008c) dan KPH Kediri 6,2 g/pohon/hari (Perum Perhutani, 2008b).

Hasil penelitian pendahuluan tahun 2007 yang telah dilakukan pada tusam provenans Aceh di Jember pada penyadapan getah menggunakan metode bor menghasilkan getah berkisar antara 0,47 g/pohon/3 hari sampai 90,6 g/pohon/3 hari (Sukarno, dkk., 2008, laporan tak dipublikasi). Perum Perhutani juga telah melakukan

(4)

uji coba penyadapan getah dengan metode bor di KPH Malang dengan hasil rerata adalah 2,5 g/pohon/hari, terendah 0 g dan tertinggi 9 g/pohon/hari; sedangkan di KPH Kediri adalah rerata 8,6 g/pohon/hari, terendah 5,5 g/pohon/hari dan tertinggi 10,3 g/pohon/hari (Perum Perhutani, 2006c).

Penelitian tentang produksi getah tusam yang telah dilakukan selama ini adalah di Jember dan Sumedang dengan hasil produksi getah rerata 21,8 g/ 7 hari/pohon (Leksono, 1994). Rodriques dkk. (2007) melakukan penelitian pada P. elliotii di Brazil dengan kisaran produksi getah 1,8-2,1 kg/th/pohon. Sementara Departemen Kehutanan menyebutkan produksi getah tusam dapat mencapai 30-60 kg/tahun (Departemen Kehutanan, 2001). Penelitian tentang cara penyadapan getah yang pernah dilakukan adalah dengan metode quare dan ril, pemberian stimulan untuk melancarkan keluarnya getah, dan teknik pembaruan luka sadap alternatif (Soenarno, 1999). Penelitian tentang gondorukem dan terpentin yang pernah dilakukan adalah tentang komponen kimia terpentin tusam yang berasal dari tanaman Inhutani III yang berlokasi di Kalimantan Barat (Dahlian dan Hartoyo, 1997). Penelitian fraksionasi-distilasi minyak terpentin (Wiyono dan Silitonga, 1989). Pengaruh konsentrasi bahan kimia maleat anhidrida terhadap gondorukem (Wiyono, 2007). Komposisi kimia terpentin dan gondorukem yang berasal dari Pabrik Pengolahan Getah di Sumatera dan Jawa (Wiyono dkk., 2006).

Uraian tersebut di atas memperlihatkan bahwa masih terdapat banyak hal yang perlu diteliti yang berkaitan dengan produksi getah tusam. Pertama, tentang cara penyadapan. Cara penyadapan dengan metode quare yang selama ini dilakukan meninggalkan kerusakan kayu bekas luka sadap yang lebar sehingga membuat harga

(5)

jual kayu tusam di akhir daur menjadi rendah. Pohon tusam yang disadap dengan metode quare, mudah roboh disaat terjadi angin puting beliung yang akhir-akhir ini intensitasnya cukup tinggi, untuk itu perlu dicari alternatif lain tentang cara penyadapan. Cara penyadapan dengan bor merupakan salah satu pilihan guna mengurangi kerusakan kayu. Penyadapan metode bor memerlukan mata bor dan talang penyalur getah, untuk itu perlu dikaji ukuran mata bor berapa yang tidak merusak kayu tetapi menghasilkan getah yang tinggi.

Kedua, penelitian tentang penyadapan getah dengan metode bor pada berbagai kelas umur belum pernah dilakukan. Apakah terdapat perbedaan dalam produksi getah di antara kelas umur, apabila penyadapan dilakukan dengan metode bor?. Di Jember terdapat tegakan tusam provenans Aceh dari tiga subpopulasi yaitu Takengon, Blangkejeren dan Jantho yang hingga kini belum pernah diketahui produksi getahnya, terutama dalam kaitannya dengan penyadapan dengan metode bor. Apakah produksi getah dari tiga subpopulasi tusam provenans Aceh ini berbeda dan sejauh mana produksi getah ini dalam kendali faktor genetik? .

Ketiga, pemungutan getah oleh penyadap selama ini dilakukan setiap 10 hari sekali, getah selanjutnya dikirim ke tempat pengumpulan getah sementara (TPGS). Getah yang terkumpul di TPGS kemudian dikirim ke tempat pengumpulan getah (TPG), setelah terpenuhinya daya angkut, getah dikirim ke Pabrik Pengolahan Getah (PGT) yang jaraknya cukup jauh. Di Jawa Timur, misalnya hanya terdapat tiga PGT yaitu Ponorogo, Trenggalek dan Jember. Apakah penyimpanan getah dalam waktu yang lama, mulai dari pengumpulan getah di pohon sampai dengan perjalanan ke pabrik ini dapat menurunkan rendemen gondorukem dan terpentin?. Rendemen

(6)

gondorukem dan terpentin tusam provenans Aceh hingga saat ini juga belum pernah diketahui. Apakah terdapat perbedaan rendemennya dibandingkan dengan tusam ras lahan Jawa?. Pertanyaan-pertanyan ini menjadi fokus penelitian dari disertasi ini.

Keempat, kualitas getah sangat berpengaruh terhadap kualitas gondorukem dan terpentin. Kualitas gondorukem dan terpentin merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh pabrik dalam rangka memenuhi permintaan konsumen. Aspek yang harus dipenuhi mengenai kualitas gondorukem dan terpentin terdiri dari sifat fisik dan kandungan kimianya. Guna keperluan konsumen dalam negeri standar tersebut telah ditetapkan berdasarkan standar nasional Indonesia (SNI). Perbedaan kualitas gondurukem dan terpentin dari bahan baku getah yang berasal dari tusam provenans Aceh dan ras lahan Jawa hingga kini belum diketahui dan belum pernah diteliti.

Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian-penelitian sebelumnya terletak pada cara penyadapan, materi penelitian dan lokasi. Pertama, sejauh ini cara penyadapan yang pernah dilakukan adalah menggunakan metode quare dengan tambahan penggunaan stimulan bahan kimia. Pada penelitian kali ini penyadapan getah dilakukan dengan menggunakan metode bor tanpa stimulan bahan kimia. Kedua, getah yang dipergunakan dalam penelitian sebelumnya untuk diolah menjadi gondorukem dan terpentin diambil dari pabrik pengolahan getah yang bahan bakunya berasal dari beberapa daerah dan berbagai kelas umur tercampur. Pada penelitian kali ini getah berasal dari hasil sadapan menggunakan metode bor yang terpilah menurut kelas umur, dan tegakan. Ketiga, materi penelitian provenans Aceh merupakan populasi dasar untuk keperluan memperluas basic genetic. Populasi dasar yang berasal dari sebaran alaminya di Aceh tersebut telah ditanam di Jember pada

(7)

tahun 1996, perlu diketahui produksi getahnya. Perhutani telah memulai melaksanakan program pemuliaan tusam untuk peningkatan produksi getah sejak tahun 2002. Salah satu kegiatannya adalah melakukan eksplorasi pohon plus getah ke daerah Tapanuli, Kerinci dan Toraja. Potensi getah diprediksi dengan cara pelukaan batang. Pohon-pohon yang menghasilkan getah di atas 100 g, selanjutnya dipanjat untuk diunduh buahnya. Pohon-pohon tersebut selanjutnya dipergunakan sebagai bagian dari konservasi genetik tusam ex-situ. Pada saat ini Perum Perhutani telah menyusun pedoman kegiatan pemuliaan tusam produksi getah tinggi dalam jangka waktu tahun 2012-2036 seperti disajika pada Gambar 1.1.

(8)

Gambar 1.1. Skema program pemuliaan tusam produksi getah tinggi tahun 2012-2036 (Perum Perhutani, 2012)

Skema program pemuliaan tusam produksi getah tinggi seperti disajikan pada Gambar 1.1 merupakan program jangka panjang, diperlukan waktu dan biaya yang cukup besar. Kegiatan yang sudah dilakukan pada saat ini adalah seleksi pohon plus produksi getah tinggi dari tanaman tusam di Jawa dan kemudian berkembang dari luar

HUTAN ALAM POPULASI DASAR: Tusam Jawa & Luar Jawa HUTAN TANAMAN

POHON PLUS KBS GENERATIF VEGETATIF UJI KETURUNAN F-1 KEBUN PANGKAS - Cangkok - Grafting - Stek pucuk - Kultur jaringan UJI KLON PERHUTANAN KLON UJI KLON LANJUTAN PERHUTANAN KLON PERHUTANAN KLON UJI KETURUNAN F-2 KBS F-1 KBS F-2 PERHUTANAN SEMAI (F-2) PERHUTANAN SEMAI (F-1) PERTANAMAN MASSAL (BENIH ASAL POHON PLUS)

KBK

PERHUTANAN KLON

(9)

Perum Perhutani, dengan koleksi yang berasal dari Sumatera (Blangkejeren, Jantho, Takengon, Rikit, Arul-Rengit, Kendawi dan Uring) dan Sulawesi Selatan (Toraja, Bone, Malino dan Benteng). Apabila merujuk pada program pemuliaan tusam Perum Perhutani, materi penelitian merupakan populasi dasar, yaitu tusam provenans Aceh yang ada di Jember. Uraian tersebut menunjukkan bahwa kajian tentang produktivitas getah, rendemen dan kandungan gondorukem-terpentin Pinus merkusii Jungh. et de Vriese provenans Aceh dan ras lahan Jawa melalui penyadapan metode bor perlu untuk dilakukan.

1.2. Tujuan penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui produktivitas getah, rendemen dan kandungan gondorukem-terpentin P. merkusii provenans Aceh dan ras lahan Jawa melalui penyadapan getah metode bor. Tujuan khusus penelitian ini secara rinci diuraikan di masing-masing bab pada masing-masing tahapan penelitian.

1.3. Manfaat penelitian

Manfaat penelitian diharapkan berguna bagi:

a. Para peneliti yang tertarik dengan getah tusam, dari aspek cara penyadapan getah, produksi getah, serta kuantitas dan kualitas gondorukem - terpentin. b. Kalangan industri yang bahan bakunya memerlukan tambahan gondorukem

(10)

c. Penentu kebijakan, sebagai masukan dalam menentukan kebijakan terkait dengan produksi dan kualitas getah, gondorukem dan terpentin yang hasil akhirnya sebagai produk ekspor.

Gambar

Gambar 1.1.  Skema program pemuliaan tusam produksi getah tinggi tahun 2012-2036                        (Perum Perhutani, 2012)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, serta hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa Tingkat minat siswa terhadap ekstrakurikuler permainan hoki di SMA Negeri

[r]

diperlukan  untuk  menjalankan  algoritma  sebagai  fungsi  dari  ukuran  masukan   n...  Validating  Digital  Evidence  for  Legal

Bapak I Ketut Kodi, SSP., M.Si., dosen jurusan Seni Pedalangan ISI Denpasar, yang banyak meberikan ide menggarap garapan lakon carangan agar lakon carangan tidak

Jurnal Studi Agama dan Masyarakat Volume 9, Nomor 2, Desember 2015 membangun peradaban yang tidak ada duanya, bahkan Eropa sendiri jauh tertinggal pada zaman

Metamorfosis pada Drosophila termasuk metamorfosis sempurna, yaitu dari telur – larva instar I – larva instar II – larva instar III – pupa – imago.Perkembangan dimulai

Penelitian ini dilakukan di Perkebunan Teh Wisata Agro Wonosari Lawang dan Laboratorium Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana

Menurut Al-Bahra Bin Ladjamudin dalam bukunya yang berjudul Analisis & Desain Sistem Informasi (2005 : 39), menyebutkan bahwa : “Perancangan adalah suatu kegiatan yang