• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSENTIF EKONOMI DALAM PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) KAWASAN LINDUNG DI JAWA BARAT (Studi Kasus Kawasan Bandung Utara) ENDANG HERNAWAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INSENTIF EKONOMI DALAM PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) KAWASAN LINDUNG DI JAWA BARAT (Studi Kasus Kawasan Bandung Utara) ENDANG HERNAWAN"

Copied!
274
0
0

Teks penuh

(1)

INSENTIF EKONOMI DALAM PENGGUNAAN

LAHAN (LAND USE) KAWASAN LINDUNG

DI JAWA BARAT

(Studi Kasus Kawasan Bandung Utara)

ENDANG HERNAWAN

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi dengan judul: “Insentif Ekonomi Dalam Penggunaan Lahan (Land Use) Kawasan Lindung di Jawa Barat (Studi Kasus Kawasan Bandung Utara)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA dan Dr. Ir. Sudarsono Soedomo yang belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

(3)

ABSTRACT

ENDANG HERNAWAN. Insentive of Economy for Land Use in West Java Province (Case Staudy in The North Bandung Area). Under supervisions of HARIADI KARTODIHARDJO, DUDUNG DARUSMAN, and SUDARSONO SOEDOMO.

West Java Province Government has decided to provide 45% of their territory as protected and conservation areas. One is the area north of Bandung which is a protected area that already has the structure of the city. The purpose of this study is to formulate the concept of PDR, and PES in an effort to restrain the occurrence of changes in land use and encourage conservation behavior in the country. This study was conducted in April 2007 to December 2008. Total PDR (purcharse of development right) is the difference between the selling price of agricultural land of the expectation value of agricultural land. While the services value of tree growers is the difference between the expected value of the forest land lease with the expectation value of the forest land on which the optimum cycle. Feasiblity of Implementation PDR is a hydrological benefit that has been discounted (NARTHAd), and therefore allowed to buy the rights to build if NARTHAd> DR. While rental tree (SP) is allowed if NARTHAd> SP.

The results showed that the PDR at KBU is only feasible in rural areas and rural fringe. Feasibility of PDR in KBU is farmland in the Kabupaten Bandung Barat and the Kabupaten Bandung. Because the value hydrological benefits from both districts are also used by the downstream area of Bandung City and Cimahi City, need to share the cost of buying the rights to development a farm. While PES is set at the proper planting of trees in the 26-year lease gives the highest value of hydrological benefits. Compensation for farmers trees can be used in protected areas not forests and forest. Feasibility of implementation of the PDR and PES in four districts of the aspects of the policy has a promising future. While aspects of Local Government financing, still did not show support, so it needs to continue to promote the four districts in the unit so that the direction of financial policies in support of environmental protection and agricultural land (the budget pro-environmental policies). While public support reflected the public perception of the loss of hydrological function and production of foodstuffs, especially vegetables and fruits in the unit is still far from expectations.

Key words : conservation area, landuse, incentive of economy, PDR'S and PES model’s

(4)

RINGKASAN

ENDANG HERNAWAN. Insentif Ekonomi Dalam Penggunaan Lahan (Land Use) Kawasan Lindung di Jawa Barat (Studi Kasus Kawasan Bandung Utara) Dibimbing

oleh HARIADI KARTODIHARDJO selaku Ketua, DUDUNG DARUSMAN dan SUDARSONO SOEDOMO sebagai anggota.

Berdasarkan kedudukan KBU berada pada ketinggian 750 m dpl ke atas dan merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dan merupakan daerah resapan air untuk daerah bawahannya khususnya Kota Bandung, maka sejak tahun 1982 melalui SK Gubernur Jawa Barat No. 181/1982 tentang Peruntukan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara, dari seluas 38.800 ha telah ditetapkan sebesar 68,69% sebagai kawasan lindung dan sisanya 31,31% sebagai kawasan budidaya. Kemudian berdasarkan RUTR Kawasan Bandung Utara Tahun 1998 telah ditetapkan kawasan lindung sebesar 72,44% dan sisanya sebesar 17,56% sebagai kawasan budidaya. Sedangkan berdasarkan kajian oleh Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat (2004) dalam menyesuaikan dengan Perda No.2 Tahun 2003, menunjukkan bahwa kawasan konservasi potensial sangat tinggi dan tinggi mencapai 87% dari luas KBU.

Karena kondisi dewasa ini di KBU telah berkembang pusat-pusat pertumbuhan, maka dalam mencegah terjadinya perubahan guna lahan di KBU, selain penegakan peraturan (law enforcement), juga memerlukan mekanisme ekonomi melalui pemberian kompensasi atas perbedaan harga jual tanah dengan nilai harapan tanahnya atau mengganti atas hilangnya keuntungan akibat mempertahankan lahannya ditanami pohon. Model insentif yang menjadi alternatif pilihan adalah model PDR melalui pembelian hak membangun senilai selisih harga jual tanah pertanian setempat dengan NHT lahan pertanian, dan model PES melalui pemberian sewa penanaman pohon dalam jangka waktu tertentu sebesar perbedaan NHT lahan hutan dengan NHT optimumnya. Sebagai ukuran efektivitas penerapan PDR dan PES adalah surplus manfaat hidrologis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas penerapan PDR di KBU hanya jika diterapkan di zona rural area dan rural fringe. Dari seluas 7.452 ha lahan pertanian di zona rural fringe memerlukan PDR sebesar Rp2T dengan perolehan manfaat hidrologis sebesar Rp2,3T, sehingga secara efektif

(5)

mendapatkan kelebihan surplus manfaat hidrologis atas PDR yang dikeluarkan sebesar Rp320M. Kemudian dari 6.565 ha lahan pertanian di zona rural area memerlukan PDR sebesar Rp457M, dengan perolehan manfaat hidrologis sebesar Rp2,7T, secara efektif mendapatkan kelebihan surplus manfaat hidrologis sebesar Rp2,2T. Sementara penerapan PDR dan PES di zona urban area, urban fringe dan urral fringe, menunjukkan sudah tidak efektif.

Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, maka tingkat efektivitas apabila diterapkan PDR, hanya efektif di wilayah KBU yang masuk Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung dengan kelebihan surplus manfaat hidrologis bagi rumah tangga masing-masing sebesar Rp1,7T dan Rp407M, sedangkan untuk Kota Cimahi dan Kota Bandung tidak efektif bila digunakan PDR dalam mencegah perubahan guna lahan. Hal ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung masih didominasi oleh zona rural area, yang mana nilai jual lahan pertanian tidak berbeda jauh dari NHT nya, atau dengan kata lain tingkat perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung yang masuk wilayah KBU relatif lebih kecil dibanding Kota Bandung dan Kota Cimahi yang masuk KBU, sehingga fungsi hidrologisnya masih cukup tinggi. Mengingat bahwa Kota Cimahi dan Kota Bandung menerima surplus manfaat hidrologi dari Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung di KBU, maka perlu dilakukan cost-sharing yakni dengan membantu pemberian insentif dengan membeli hak membangun lahan pertanian yakni Pemerintah Kota Bandung atas PDR di wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung, dan Pemerintah Kota Cimahi atas PDR di Kabupaten Bandung Barat.

Besarnya insentif berupa sewa lahan ditanami pohon dengan memberikan kompensasi atas kehilangan keuntungan bersih saat sekarang dari daur optimumnya yakni 21 tahun. Besarnya insentif ini atas kompensasi atas kehilangan tersebut semakin lama semakin mahal yakni pada sewa 22 tahun sebesar Rp9,3M per ha kemudian meningkan sampai akhir daur 35 tahun dengan nilai sewa sebesar Rp202,8M per ha.

Efektivitas penerapan PES pada 28.452,5 ha kawasan lindung tertinggi pada jangka waktu sewa 26 tahun atau 5 tahun setelah daur optimumnya (21 tahun) dengan nilai total sewa sebesar Rp864 M, akan efektif memperoleh jasa

(6)

hidrologis sebesar Rp11T. Setelah tahun sewa 26 tahun, PES masih efektif diterapkan di kawasan lindung non hutan tetapi terus menurun surplus manfaat hidrologisnya.

Sedangkan efektivitas penerapan PES pada hutan produksi seluas 127,41 ha yang dikelola KPH Bandung Utara, jika tidak boleh menebang di kawasan hutan produksi tersebut, tertinggi berada di tahun sewa 26 tahun dengan PES sebesar Rp3,9M dan perolehan surplus manfaat hidrologi sebesar Rp49M. Setelah tahun sewa 26 tahun sampai 35 tahun, PES masih efektif diterapkan di kawasan hutan produksi KPH Bandung Utara tetapi surplus manfaat hidrologisnya semakin menurun.

Penerapan PDR atau PES di KBU dari aspek arah kebijakan yang terkait KBU sampai saat sekarang masih belum mendukung, namun dengan telah terbitnya UU No.26/2007 dan PP No.15/2010 yang mana dalam pengendalian pemanfaatan ruang salahsatunya dilakukan menggunakan mekanisme insentif/disinsentif, maka penerapan PDR atau PES memiliki prospek dapat diterapkan di masa yang akan datang. Sedangkan dari aspek pembiayaan dari Pemerintah Daerah, masih belum menunjukkan dukungan, sehingga perlu terus mendorong empat kabupaten/kota di KBU agar dapat mengalihkan dari pos pembiayaannya untuk kegiatan pertanian dan lingkungan kedalam pembiayaan PDR dan PES secara bertahap dan cost-sharing. Sedangkan dukungan masyarakat yang dicerminkan oleh persepsi masyarakat yang masih rendah atas kehilangan fungsi hidrologis dan produksi bahan makanan terutama sayur dan buah-buahan di KBU masih jauh dari harapan, sehingga perlu dilakukan sosialisasi dan kampanye yang berkelanjutan tentang kehilangan sumber pangan dan kawasan lindung.

____________________________

Kata kunci: kawasan lindung, guna lahan, insentif ekonomi, model PDR dan model PES

(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010

Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber:

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar Institut Pertanian Bogor.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh larya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.

(8)

INSENTIF EKONOMI DALAM PENGGUNAAN

LAHAN (LAND USE) KAWASAN LINDUNG

DI JAWA BARAT

(Studi Kasus Kawasan Bandung Utara)

ENDANG HERNAWAN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup 1. Prof. Dr. Ir. Ahmad Fauji

2. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurochmat

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka 1. Dr. Ir. Firmansyah, MT

(10)

Judul : Insentif Ekonomi Dalam Penggunaan Lahan (Land Use) Kawasan Lindung di Jawa Barat (Studi Kasus Kawasan Bandung Utara)

Nama : Endang Hernawan

NIM : E.061020041

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr.Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS. Ketua

Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA. Anggota

Dr.Ir. Sudarsono Soedomo Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr.Ir. Imam Wahyudi, MS Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 05 Agustus 2010 Tanggal Lulus : ...

(11)

“Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan mengalir sungai-sungai daripadanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan. Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (Quran Surat Ar Ra’d (Guruh) (13): Ayat 3).

(12)

KATA PENGANTAR

Perjalanan yang cukup panjang dalam penyelesaian penelitian dan penulisan disertasi ini, bukan hanya sekedar hasil jerih payah semata, namun merupakan anugerah yang tiada bandingnya dari Allah SWT, karena tanpa bimbingan dan RhidloNya perjalanan yang panjang tersebut tanpa berkesudahan dengan selesainya penulisan disertasi ini. Untuk itu dengan ucapan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan, karena atas rahmat dan karunia Nya, maka disertasi berjudul: Insentif Ekonomi Dalam Penggunaan Lahan (Land Use) Kawasan Lindung di Jawa Barat (Studi Kasus Kawasan Bandung Utara) telah penulis selesaikan. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dalam kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan kesabarannya telah membimbing dan mengarahkan serta memberi dorongan bagi penulis mulai dari penyusunan proposal, selama penelitian dan analisis hingga selesainya penulisan disertasi. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA selaku Anggota Komisi Pembimbing atas sumbangan tenaga, pikiran, arahan dan bimbingan serta memberikan semangat sejak dari awal rencana penelitian, tahap analisis hingga selesainya penulisan disertasi. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Dr.Ir. Sudarsono Soedomo selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan kesabarannya telah membimbing, memberi masukan serta memberi dorongan bagi penulis mulai dari penulisan proposal, analisis hingga penulisan disertasi. Semoga Allah SWT membalas dan melimpahkan balasan yang setimpal. Amin.

Pada kesempatan ini juga penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB Prof.Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS, dan Dekan Fakultas Kehutanan IPB yang selalu mendorong dalam penyelesaian disertasi ini. Selanjutnya kepada Dekan Fakultas Kehutanan UNWIM, Pujo Utomo, S.Hut, MSi beserta rakan-rakan dosen Fakultas Kehutanan UNWIM yang telah memberikan dukungan dalam penelitian dan penulisan

(13)

disertasi ini. Juga kepada para pihak yang tidak bisa disebut satu persatu yang telah membantu dan mendorong sehingga dapat diselesaikannya penelitian dan penulisan disertasi. Khusus kepada Istriku tercinta, Nani Rosna, terima kasih atas segala dorongan serta doa’nya, juga kesabarannya dalam mendampingi penulis. Demikian juga kepada anak-anakku, Lupita, Zein, Zia dan Pasya yang selalu mendoakan dan dukunganya; kalianlah sumber semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan disertasinya.

Semoga disertasi yang telah disusun memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan praktek dalam mencegah perubahan penggunaan lahan pertanian dan kawasan lindung serta membantu pengendalian implementasi tata ruang melalui model PDR dan PES.

Bogor, Agustus 2010 Penulis Endang Hernawan

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Desa Leuwiseeng, Kecamatan Panyingkiran, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat pada tanggal 3 Maret 1963, sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara keluarga Bapak H. E. Armidi, BA (alm) dan Ibu Hj. Ening (alm). Penulis menikah dengan Nani Rosna, SE pada tahun 1991 dan telah dikaruniai dua putri dan dua putra: Lupita Aisyah Hernawan, Zein Witriandani Hernawan, Muhammad Zia Pratama Hernawan, dan Muhammad Pasya Wiratama Hernawan.

Pendidikan dasar diselesaikan di Desa Leuwiseeng, di SDN Leuwiseeng, Kecamatan Panyingkiran, Kabupaten Majalengka. Pendidikan SMP di tempuh penulis di SMPN Kadipaten, dan menyelesaikan pendidikan SMA di SMAN Majalengka pada tahun 1981. Penulis menyelesaikan S-1 pada Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada tahun 1987. Pada tahun 1994 penulis menyelesaikan studi S-2 pada program studi Magister Teknik Geodesi Institut Teknologi Bandung. Kemudian pada tahun 2002 penulis juga menyelesaikan studi S-2 pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2002, penulis mendapat beasiswa BPPS melanjutkan studi S-3 pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK), Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengawali karir sebagai dosen di Akademi Ilmu Kehutanan (AIK) Provinsi Jawa Barat pada tahun 1988, kemudian pada tahun 1992 AIK Provinsi Jawa Barat berubah menjadi Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti Jatinangor Sumedang, dan penulis menjadi dosen pada Jurusan manajemen Hutan Fakultas Kehutanan tersebut hingga sekarang. Pada 30 April 2010 penulis mendapatkan jabatan akademik/fungsional dosen sebagai Lektor Kepala dengan mata kuliah Manajemen Hutan. Selain sebagai dosen, sejak tahun 1999 sampai sekarang penulis terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan melalui Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan dan PNPM Mandiri Perdesaan.

(15)

Selama mengikuti program Doktoral, penulis telah menulis karya ilmiah yang telah dan akan diterbitkan; yaitu (1) Insentif Ekonomi Dalam Penggunaan Lahan (Land Use) Kawasan Lindung di Kawasan Bandung Utara, yang dipublikasikan pada Jurnal Manajemen Hutan JMHT Vol.XV, (1) 45 – 54, Agustus 2009; (2) Analisis Kemungkinan Penerapan Cost-Benefit Sharing Pronciples Antar Pemerintah Kabupaten Menggunakan Model Purchase of Development Right (PDR) yang akan diterbitkan oleh Jurnal Manajemen Hutan JMHT pada edisi Agustus 2010, dan (3) Kompensasi Perubahan Fungsi Hutan Produksi menjadi Hutan Lindung di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan banten yang akan diterbitkan pada Winaya Mukti Forestry Research Journal Vol. 10 No. 2 Oktober 2010.

(16)

hal

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ... xxiv

I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Maksud dan Tujuan Penelitian ... 6

C. Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Penelitian ... 7

E. Kebaruan (Novelty) ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Konsep Guna Lahan ... 12

B. Hirarki dan Sistem Perkotaan ... ... 13

C. Pola Guna Lahan Kota ... ... 17

D. Pasar Lahan ... 29

E. Tata Ruang Kota (Urban Spatial Structure) ... 33

F. Kerjasama dan Koordinasi Pengelolaan DAS ... 35

G. Insentif Ekonomi dalam Pengendalian Guna Lahan ... 38

H. Contoh Penerapan Insentif Dalam Mendorong Mempertahankan Guna Lahan dan Adopsi Upaya Konservasi ... 43

III. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 59

A. Batasan Fisik ... 59

B. Batasan Administrasi ... 60

C. Kondisi Fisik Dasar... 63

D. Kondisi Penggunaan Lahan ... 72

(17)

F. Kondisi Jaringan Jalan ... 77

G. Karakteristik Biofisik Kawasan Bandung Utara ... 77

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 81

A. Lokasi Penelitian... 81

B. Metode Penelitian... 81

C. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data ... 81

D. Alur Penelitian ... 83

E. Metode Analisis ... 85

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 97

A. Struktur Ruang Kawasan Bandung Utara ... 97

B. Nilai Jasa Lingkungan di Kawasan Bandung Utara ... 124

C. Nilai Lahan Milik di KBU ... 128

D. Nilai Lahan Hutan di KBU... 136

E. Penetapan Harga Insentif PDR dan PES di KBU ... 147

F. Kemungkinan Implementasi PDR dan PES di KBU... 162

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 199

A. Rangkuman (Sintesa) Temuan ... 199

B. Kesimpulan ... 205

C. Saran ... 206

D. Saran untuk Penelitian Lanjutan ... 207

DAFTAR PUSTAKA ... 208

(18)

1. Penyebaran Luas Kawasan Lindung Dalam Memenuhi Perda No.2

Tahun 2003 Propinsi Jawa Barat ... 1

2. Ciri-ciri Orde Kota ... ... 16

3. Bangkitan dan tarikan pergerakan dari beberapa aktivitas tata guna lahan ... 25

4. Bangkitan lalulintas, jenis perumahan dan kepadatannya ... 26

5. Interaksi Antar Daerah ... 27

6. Ciri Zoma Guna Lahan... 28

7. Pengelompokkan Barang Pribadi dan Barang Publik ... 32

8. Pembedaan Insentif Variabel dari Insentif Enabling ... 40

9. Jenis Insentif dan Disinsentif ... 41

10. Biaya Dan Manfaat Kawasan Lindung di Lahan Milik dan Lahan Publik... 43

11. Sumberdaya Federal Untuk PDR Pada Peternak Private, Pertanian dan Hutan ... 47

12. Pengembangan Program PDR Di AS Bagian Timur... 50

13. Contoh Jenis-Jenis Program Beberpa Negara Bagian dalam Konservasi Lahan Pertanian ... 51

14. Dukungan Bank Dunia Untuk PES... 56

15. Kecamatan dan Kelurahan/Desa Yang Termasuk KBU ... 60

16. Luas Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Ketinggian ... 63

17. Luas Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Kemiringan ... 64

18. Luas Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Jenis Batuan ... 65

19. Zona Konservasi Air Tanah di Kawasan Bandung Utara ... 68

20. Luas Sub DAS Hulu Citarum di Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Wilayah Administrasi dan Status Kawasan Hutan ... 69

21. Distribusi Penggunaan Lahan di Kawasan Bandung Utara ... 72

22. Perbandingan Karakteristik Faktor Biofisik Antara DAS di Bagian Hulu dan Hilir Menurut Ramdlan et al (2003) dengan Kondisi KBU ... 78

23. Kriteria Penetapan Orde Kota di KBU ... 86

24. Klasifikasi Kelas Rumah berdasarkan Kondisi Fisik Bangunan ... 94

25. Hirarki Struktur Kota-Kota Kabupaten Bandung Di Wilayah KBU Berdasarkan RUTR Kab. Bandung ... 99

26. Alasan Pemerintah Propinsi Jawa Barat Dalam Menentapkan Hirarki Kota-Kota di KBU... 101

27. Orde Kota di KBU Berdasarkan Perkembangan Fasilitas Pelayanan dan Infrastruktur ... 104

28. Produksi dan Tarikan Perjalanan di KBU Pada Wilayah Kota Bandung ... 111

29. Produksi dan Tarikan Perjalanan di KBU Pada Wilayah Kabupaten Bandung ... 112

30. Tarikan dan Bangkitan Aktivitas Guna Lahan di AS dan Inggris... 112

31. Perubahan Aktivitas Guna Lahan Perumahan dan Perkotaan di KBU..., 114

32. Rekapitulasi Izin Lokasi di Kawasan Bandung Utara (ha)... 114

33. Estimasi Nilai VCR Jaringan Jalan Utama KBU... 118

(19)

35. Tingkat Transformasi Penggunaan Lahan di KBU ... 122

36. Nilai Surplus konsumen dan nilai jasa hidrologis KBU ... 126

37. NPV jasa hidrologis setiap guna lahan di KBU ... 127

38. NJOP Beberapa Pusat Pertumbuhan dan Daerah Hinterland-nya di KBU ... 130

39. Nilai Tanah Berdasarkan Nilai Jual Setempat di KBU ... 131

40. Luas Tanam dan Re-rata Produksi Pertanian dan Ladang/Kebun di Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi dalam KBU ... 132

41. Nilai Tanah Pertanian Berdasarkan Nilai Harapan Tanah (NHT) di KBU ... 133

42. Nilai Bangunan Rumah di KBU Berdasarkan Zona Guna Lahan 135 43. Luas Kawasan Hutan di KBU ... 136

44. Rencana Produksi Getah Pinus Setiap Daur Per ha di Hutan Produksi di KBU Berdasarkan Rencana Sadapan tahun 2006... 137

45. Re-rata Produksi Getah Setiap Daur Per ha di Hutan Lindung KBU Berdasarkan Rencana Sadapan Tahun 2006 ... 138

46. Re-rata Produksi Kayu Setiap Daur Per ha di Hutan Produksi KBU .... 140

47. Pendapatan Bersih dan Nilai Harapan Tanah (NHT) Hutan Pinus di Kawasan Hutan Produksi KBU ... 143

48. Komposisi Satus Penggunaan Lahan di Kawasan Bandung Utara ... 148

49. Nilai PDR Atas Dasar Harga Jual Lahan Pertanian dan Lahan Permukiman Per m2 di KBU ... 149

50. Rasio Land Rent yang Diperoleh dengan Mengusahakan Lahan untuk Sawah dan Penggunaan lain di Jawa, Tahun 1990 – 1992 ... 151

51. Efektivitas PDR di setiap Zona Guna Lahan di KBU... 152

52. Efektivitas Penerapan PDR di Setiap Kabupaten/Kota di KBU ... 154

53. Besarnya PES Penanaman Pohon ... 155

54. Efektivitas Penerapa PES di Kawasan Lindung di KBU... 157

55. Efektivitas Penerapan PES di Kawasan Hutan Produksi Perhutani di KBU di KBU ... 159

56. Profitabilitas perlindungan hutan ketika PES tertinggi diberikan dalam melawan profitabilitas pembalakan kayu pada harga kayu tahun 2005.. 160

57. Beberapa contoh kontrak provisi jasa air di Costa Rica melalui program PSA... 160

58. Perkembangan Kebijaksanaan Terkait Dengan Pemanfaatan Lahan di Kawasan Bandung Utara dan Tingkat Efektivitas Implementasinya ... 172

59. Program Kegiatan dan Pagu Indikasi Pada APBD Kota Bandung TA 2008 ... 190

60. Program Kegiatan dan Pagu Indikasi Pada APBD Kota Cimah TA 2008 ... 193

61. Program Kegiatan dan Pagu Indikasi Pada APBD Kabupaten Bandung TA 2008 ... 196

(20)

DAFTAR GAMBAR

1. Kurva Bid-Rent Lands Use Sampai Batas Pusat Pertumbuhan ... 9

2. Kerangka Penelitian ... 11

3. Susunan Orde Kota Dalam Suatau Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) ... 17

4. Dua Pola Penggunaan Lahan Konsentris ... 18

5. Konsep Segitiga Dalam Menentukan Minimasi Biaya Friksi Ruang .... 21

6. Model “Bid-Rent” dan Zone Penggunaan Lahan Kota (Menurut Rustiadi et al, 2009)... 22

7. Perbandingan Model Thunen dan Model Generalized Thunen ... 23

8. Bangkitan dan Tarikan Pergerakan ... 25

9. Segitiga Penggunaan Lahan Desa – Kota Model Robin Pryer (1971) . 28 10. Model Struktur Keruangan dari Regional City (Pontoh dan Kustiawan, 2009) ... 30

11. Tipologi Insentif ... 40

12. Logika Pembayaran Jasa Lingkungan (PES) ... 56

13. Hubungan pertukaran jasa dan barang antar kota dan desa ... 58

14. Peta Wilayah Kawasan Bandung Utara ... 59

15. Alur Penelitian ... 84

16. Metode Segitiga Penentuan Penggunaan lahan Kota – Desa ... 88

17. Hirarki kota-kota yang ada di KBU Berdasarkan Kebijaksanaan Pemerintah Kota Bandung (1993) dan Kab. Bandung (1992) ... 100

18. Hirarki kota-kota yang ada di Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Kebijaksanaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat (1998) ... 102

19. Hirarki kota-kota yang ada di Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Perkembangan Fasilitas Pelayanan dan Infrastruktur ... 107

20. Luas Izin Lokasi di KBU Wilayah Kota Bandung ... 115

21. Luas Izin Lokasi di KBU Wilayah Kabupaten Bandung ... 116

22. Proporsi Jasa Hidrologis Dari Berbagai Guna Lahan di KBU... 127

23. Curva Bid-Rent Nilai Tanah Berdasarkan Harga Jual Tanah di KBU.. 131

24. Curva Nilai Harapan Tanah Pertanian di KBU ... 134

25. Komoditas pertanian pada berbagai guna lahan di KBU ... 135

26. Curva Bid-Rent Bangunan Rumah di KBU ... 136

27. Taksiran Produksi Getah pada setiap daur di Hutan Produksi KBU .... 139

28. Taksiran Produksi Kayu Pinus pada setiap daur di Hutan Produksi KBU... 141

29. Pendapatan Bersih Produk Kayu dan Getah Pinus di Hutan Produk di KBU... 146

(21)

31. Perbedaan Nilai Lahan Pertanian Atas dasar Harga Jual dan NHT .... 149

32. Proses Konversi Lahan Pertanian Menjadi Permukin di KBU ... 156

33. Efektivitas Penerapan PES di Kawasan Lindung KBU... 156

34. Efektivitas Penerapan PES di Kawasan Hutan Produksi di KBU... 158

35. Kerangka Kerja Untuk Menganalisis Efisiensi PES... 161

36. Total area di program PSA di Costa Rica (Pagiola, 2008)... 163

37. Konsep PES and hasil dari interaksi komunitas – perusahaan ... 163

38. Mekanisme Pelaksanaan PDR ... 165

39. Mekanisme Pelaksanaan PES... 166

40. Peta Rencana Pemanfaatan Ruang Wilayah Kawasan Bandung Utara Menurut RTRW Propinsi Jawa Barat ... 170

41. Peta Rencana Pemanfaatan Ruang Wilayah Kawasan Bandung Utara Menurut RTRW Kabupaten Bandung (sebelum pemekaran menjadi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat) ... 171

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Perhitungan Nilai Manfaat Hidrologi KBU Atas Dasar Nilai Ekonomi Manfaat Air Untuk Rumah Tangga ...

218 2. Perhitungan Penyebaran Nilai Jual Tanah Pertanian di Zona Guna

Lahan KBU ...

224 3. Perhitungan penyebaran harga lahan permukiman setiap zona guna

lahan ... 226 4. Pehitungan penyebaran harga bangunan rumah setiap zona guna lahan 229 5. Perhitungan penyebaran NHT pertanian berdasarkan NPV setiap zona

lahan ... 232 6. Penentuan nilai PDR ... 236 7. Perhitungan PDR setiap Zona Guna Lahan dan Wilayah Administratif... 237 8. Hitungan daur finanasial (nilai harapan tanah hutan) ... 240

(23)

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAPPEDA : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

BPLHD : Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah

Built up area : Areal perbatasan kota dengan bukan kota Built up area land : Areal penggunaan lahan kekotaan utama

CBD : Central Busines District

CPT : Central Place Theory

CVM : Contongent Valuation Method

DAS : Daerah Aliran Sungai

GTM : Generelaized Thunen Model

Hinterland : Daerah pinggiran kota

KBU : Kawasan Bandung Utara

Monocentric : Kota dengan satu pusat kota

NART : Nilai Air untuk Rumah Tangga

NARTHA : Nilai Air per satuan luas

NARTHAd : Nilai Air per satuan luas yang telah didiscounting

NHT : Nilai Harapan Tanah

NHTH : Nilai Harapan Tanah hutan

NHTHS : Nilai Harapan Tanah hutan pada tahun sewa NHTHS : Nilai Harapan Tanah hutan pada tahun sewa

NHTHOP : Nilai Harapan Tanah hutan optimum

NHTp : Nilai Harapan Tanah pertanian

NJOP : Nilai Jual Objek Pajak

NPV : Net present value

Over bounded city : Sebagian besar batas fisik ciri kekotaan berada di dalam batas administrasi kota.

PDR : Purchase of Development Right

PES : Payment for Environmental Services

Proverty rights : Hak kepemilikan lahan

RKPD : Rencana Kerja Pemerintah Daerah

RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menengah

RTRWN : Rencana Tata Ruang Nasional

RTRWP : Rencana Tata Ruang Propinsi

RTRW Kab/Kota : Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota

Rural area : Daerah dimana 100% penggunaan lahannya berorientasi agraris.

Rural fringe area : Daerah yang sebagian besar guna lahan didominasi oleh bentuk bentuk guna lahan kedesaan atau > 60% penggunaan lahannya rural land use, dan <40% penggunaan lahannya urban land use. Tereltak dari titik perbatasan rural sampai ke jarak 40% dari titik tersebut (jarak dihitung dari urban real sampai rural real). Terjadi perubahan transformasi struktural penggunaan lahan meskipun cukup lambat.

(24)

SKPD : Satuan Kerja Pengembangan Daerah

SWP : Satuan Pengembangan Wilayah

TDR : Transfer of Development Rights

Townscape : Lingkungan kekotaan

True Bounded City : Batas fisik kota koinsiden dengan batas administrasi kota.

Under bounded city : Sebagian besar batas fisik ciri kekotaan berada jauh di luar batas administrasi kota

Urban area : Daerah dimana 100% penggunaan lahannya berorientasi kekotaan.

Urban fringe area : Daerah yang sebagian besar guna lahan didominasi oleh bentuk bentuk guna lahan kekotaan atau > 60% penggunaan lahannya urban land use, dan <40% penggunaan lahannya rural land use. Tereltak dari titik perbatasan “urban built up land) sampai ke jarak 40% dari titik tersebut (jarak dihitung dari urban real sampai rural real). Terjadi perubahan transformasi struktural penggunaan lahan walau tidak secepat urban area.

Urral fringe area : Daerah yang persentase guna lahan kota seimbang dengan guna lahan desa berkisar antara 40 – 60%, dan dalam jangka pendek transformasi struktural penggunaan lahan akan terjadi walaupun tidak secepat pada subzone urban fringe.

(25)

A. Latar Belakang

Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki kebijakan untuk mengalokasikan wilayah daratannya seluas 45% sebagai kawasan berfungsi lindung pada tahun 2010 melalui Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003 (Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2003). Kebijakan tersebut ditandaskan kembali pada RPJM Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 – 2013 melalui Peraturan Gubernur Nomor 54 Tahun 2008. Berdasarkan kebijakan tersebut maka setiap RTRW Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat harus menyesuaikan dengan arahan RTRWP Jawa Barat dengan mengalokasikan sebagian kawasannya untuk kawasan berfungsi lindung, sesuai dengan persyaratan. Berdasarkan hasil kajian Bappeda Propinsi Jawa Barat (2003), dalam penyesuaian dengan Perda tersebut, alokasi kawasan berfungsi lindung di setiap kabupaten/wilayah seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Penyebaran Luas Kawasan Lindung Dalam Memenuhi Perda No.2/ 2003 Propinsi Jawa Barat

No. Kabupaten/Wilayah Luas Daratan (ha) Luas Kws Lindung (ha) Persentase (%) 1 Bogor 309041 131838 43 2 Bekasi 128282 13481 11 3 Sukabumi 422507 295541 70 4 Cianjur 358609 232073 65 5 Bandung 328086 177359 54 6 Purwakarta 96842 39306 41 7 Karawang 191036 25212 13 8 Subang 215657 56026 26 9 Sumedang 156057 106625 68 10 Garut 308989 261837 85 11 Tasikmalaya 288615 193379 67 12 Ciamis 295668 63467 21 13 Kuningan 122417 63818 52 14 Majalengka 131903 40269 31 15 Cirebon 105078 4814 5 16 Indramayu 210156 6478 3 Jumlah 3668943 1711523 47

Sumber: Bappeda Propinsi Jawa Barat (2003) dalam Setiobudi (2005)

Berdasarkan hasil evaluasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun 2008 atas pencapaian kebijakan kawasan lindung 45%, kawasan lindung yang sesuai

(26)

sebesar 27,5% (11,3% dari kawasan hutan dan 16,2% dari luar kawasan hutan), yang kurang sesuai sebesar 14,8% dan yang tidak sesuai sebesar 6,6%. Penyimpangan pemanfaatan ruang tersebut ditunjukan dengan tingginya alih fungsi lahan produktif yang disebabkan oleh pengaruh kegiatan ekonomi, perkembangan penduduk maupun kondisi sosisal budaya. Alih fungsi yang terjadi umumnya mengabaikan rencana tata ruang yang telah direncanakan.

Penyimpangan pemanfaatan ruang tersebut disebabkan juga oleh tidak jelasnya bentuk kompensasi atas dampak perubahan penggunaan lahan budidaya menjadi kawasan lindung. Dengan pengalokasian kawasan berfungsi lindung dalam memenuhi ketentuan Perda No. 2/2003 sebesar 45%, maka di setiap kabupaten memerlukan perubahan guna lahan dari guna lahan budidaya menjadi kawasan yang berfungsi lindung. Dampak bagi kabupaten yang sebagian besar wilayahnya menjadi kawasan berfungsi lindung adalah upaya pembangunan ekonominya menjadi terbatas. Selain itu, juga berdampak bagi pemilik lahan yakni apabila ada kerugian akibat pengaturan rencana tata ruang maka akan ditanggung oleh pemilik lahan itu sendiri. Hal ini didasarkan aturan bahwa rencana tat ruang yang sudah diundangkan memiliki kekuatan hukum untuk ditaati bagi warga negaranya.

Dengan terbitnya UU No. 26 Tahun 2007 kompensasi atas kerugian tersebut telah diakomodasi. Menurut Pasal 60 huruf c dari undang-undang tersebut, setiap orang berhak untuk memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. Oleh karena itu menurut Sadyohutomo (2008), untuk menuju azas keadilan sesama warga negara maka (1) setiap kerugian akibat rencana tata ruang harus ada kompensasi. Kompensasi dapat berbentuk uang tunai, insentif, subsidi, tranfer of development right/bentuk pembangunan lain, atau bentuk-bentuk kompensasi lainnya, dan (2) yang membayar kompensasi adalah publik yang diuntungkan oleh adanya rencana, sedangkan pemerintah bertindak sebagai agen/pengelola/mediator. Prosedur penentuan, bentuk dan perhitungan besarnya kompensasi perlu dituangkan dalam kebijaksanaan pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan hal ini, maka dalam menentukan bentuk dan besaran kompensasi akibat pengaturan tata ruang perlu dikaji model insentif sebagai

(27)

model kompensasi atas perubahan penggunaan lahan, dengan mengadopsi model

cost-benefit sharing principles. Dalam mengkaji prinsip tersebut akan dilakukan

melalui studi kasus di Kawasan Bandung Utara (KBU).

KBU ini yang secara resmi disebut sebagai Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara terletak di Bagian Utara Kota Bandung, dimana secara administratif pemerintahan mencakup Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat (pecahan Kabupaten Bandung sejak tahun 2008) dan Kota Cimahi. Mengingat kawasan ini berada pada ketinggian 750 m dpl ke atas dan merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dan merupakan daerah resapan air untuk daerah bawahannya khususnya Kota Bandung, maka sejak tahun 1982 melalui SK Gubernur Jawa Barat No. 181/1982 tentang Peruntukan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara, dari seluas 38.800 ha telah ditetapkan sebesar 68,69% sebagai kawasan lindung dan sisanya 31,31% sebagai kawasan budidaya. Kemudian berdasarkan RUTR KBU Tahun 1998 telah ditetapkan kawasan lindung sebesar 72,44% dan sisanya sebesar 17,56% sebagai kawasan budidaya. Sedangkan berdasarkan kajian oleh Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat (2004) dalam menyesuaikan dengan Perda No.2 Tahun 2003, menunjukkan bahwa kawasan konservasi potensial sangat tinggi dan tinggi mencapai 87% dari luas KBU.

Namun disisi lain, KBU memiliki karakter alamnya yang cukup nyaman dengan suasana desa pertanian pegunungan dan landscape yang indah sehingga banyak diminati para pemukim dari Kota Bandung. Selain telah berkembangnya permukiman, di KBU juga telah berkembang prasarana dan sarana kegiatan pariwisata dan pendidikan seperti perhotelan dan sekolah kedinasan dan tempat penelitian. Permintaan akan permukiman, sarana dan prasarana pariwisata dan pendidikan tersebut telah meningkatkan harga lahan, yang mendorong terjadinya penjualan lahan pertanian (sawah maupun lahan kering) untuk dibangun perumahan, perhotelan dan tempat pendidikan. Perubahan penggunaan lahan tersebut pada akhirnya menyebabkan terjadinya fragmentasi landscape pertanian dan kawasan lindung yang luas yang dibutuhkan untuk mendukung usaha pertanian, DAS Citarum yang sehat, maupun tanaman dan hewan asli setempat.

Perkembangan yang terjadi di KBU tersebut telah menimbulkan dampak terhadap kondisi kawasan yang mempunyai fungsi lindung ini, khususnya

(28)

keseimbangan sistem air bumi cekungan Bandung. Menurut Sugiarto (1995), di Kota Bandung, dimana air bumi telah terabstraksi sebesar 161,10 juta m3/tahun, sedangkan estimasi masukan dari air hujan hanya sekitar 54,59 juta m3/tahun ditambah masukan dari samping, maka keseimbangan airbumi lokal di Kota Bandung pada tahun 1995 defisit sebesar 16,98 juta m3/tahun, dengan nisbah masukan/keluaran sebesar 89,46%. Dengan demikian kondisi keseimbangan airbumi khususnya Kota Bandung sangat kritis.

Berdasarkan phenomena di atas, di KBU telah terjadi ketidak-konsistenan dalam implementasi rencana tata ruang yang disebabkan oleh produk rencana tata ruang yang belum dipakai sebagai acuan dalam penyusunan program pembangunan daerah. Kondisi ini lebih disebabkan oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 (sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan tata ruang KBU di atas) yang belum ditunjang oleh perangkat-perangkat penunjang operasional Implementasi RTRW diantaranya perangkat pemanfaatan dan pengendalian ruang yang meliputi zoning regulation, insentif dan disinsentif, mekanisme perijinan yang efektif, serta sistem informasi tata ruang. Kurang efektifnya pengendalian pemanfaatan ruang KBU melalui mekanisme perijinan pembangunan dewasa ini disebabkan lahan KBU sebagian besar merupakan lahan milik (54%), sehingga implementasi regulasi khususnya dalam mengarahkan pengguna lahan (land user) untuk tidak melakukan konversi guna lahan berfungsi lindung maupun untuk berperilaku konservasi dalam pengelolaan lahannya, tidak berjalan.

Menurut Zhang dan Laband (2004), seperti halnya upaya-upaya reforestasi lahan milik di Amerika Serikat, tidak efektifnya pengendalian pemanfaata ruang lebih disebabkan karena regulasi yang terkait dengan upaya-upaya konservasi di lahan milik (seperti menanam pohon) seringkaili hanya berupa proses administrasi dan penegakan yang legalistik. Regulasi kawasan lindung cenderung berbentuk

command and control dalam mengarahkan perilaku pengguna lahan, sehingga

siapa yang diatur harus mengikuti regulasi dan sekaligus ia membayar pengeluaran (biaya transaksi seperti kertas kerja dan inspeksi, dan biaya penghijauan). Pada akhirnya regulasi tersebut berimplikasi pada pemilik lahan dalam mempertimbangkan kelayakan finansial dalam penggunaan lahannya.

Dampak ekonomi dari regulasi kawasan lindung ini terutama terkait dengan perubahan keuntungan ekonomi bagi pemilik lahan baik margin intensif

(29)

maupun margin extensif pada operasi penggunaan lahannya. Kedua margin inilah yang sebenarnya mendorong keputusan pengguna lahan untuk merubah penggunaan lahannya. Margin extensive akan mengarahkan lahan ditransfer dari penggunaan lahan dengan nilai terendah ke penggunaan lahan dengan nilai tertinggi. Sementara margin intensive akan mengarahkan penggunaan lahan ke penggunaan yang memiliki biaya terendah. Akibatnya implementasi regulasi kawasan lindung ini menjadi tidak efektif.

Kedua konsep margin tersebut mengarahkan pada konsep rente lahan., yang mana perbedaan kapasitas rent-paying atau perbedaan kelas lahan seringkali digambarkan dalam terma perbedaan lokasi atau perbedaan kualitas lahan. Hal pertama yang menjadi ukurannya adalah kedekatannya terhadap air, infrastruktur, fasilitas-fasilitas, dan pusat budaya; berikutnya adalah tipe tanah atau faktor yang berkaitan dengan iklim dan buatan manusia. Oleh karena itu sumberdaya lahan biasanya dibayar pada harga tertinggi ketika digunakan untuk tujuan komersil atau industri dibanding penggunaan lainnya. Dalam daftar urutan sederhana berikutnya mulai dari yang tertinggi sampai terendah adalah permukiman, lahan pertanian, perumputan atau tujuan kehutanan (Barlowe, 1986, dalam Hubacek dan Vazquez, 2002) dan kawasan konservasi. Nilai yang lebih tinggi dan penggunaan lebih produktif secara ekonomi mengambil lahan terbaik untuk tujuannya; sedangkan sisa areal prioritas terendah untuk penggunaan lainnya.

Berdasarkan konsep di atas, maka persoalan ketidak-konsistenan penggunaan lahan di KBU, lebih disebabkan oleh faktor lokasi KBU sendiri yang memiliki kedekatan terhadap pusat-pusat pertumbuhan, sehingga keputusan penggunaan lahan oleh pemilik lahan milik cenderung pada harga tertinggi yakni permukiman. Dari struktur kota, KBU merupakan bagian dari zona penggunaan lahan kota, dengan orde pertama yakni Kota Bandung. Konsekwensi sebagai bagian zona penggunaan lahan kota, maka berkembang pusat-pusat pertumbuhan.

Karena kedekatan lokasi KBU dengan pusat perekonomian, maka mekanisme insentif bagi pemilik lahan harus menggunakan pendekatan yang bersifat voluntary (sukarela). Model yang mulai banyak diterapkan di berbagai negara adalah model Purchace of Development Right (PDR) dan model Payment

Environment Service (PES). Model ini didasarkan pada prinsip kesukarelaan

(30)

sebagai tempat bekerja maupun dalam upaya-upaya konservasi, melalui mekanisme penjualan hak membangun maupun penjualan jasa lingkungan lahan di lahan tempat mereka bekerja. Model ini pada akhirnya juga dapat digunakan untuk mengatasi keseimbangan dan guna mengurangi konflik antara masyarakat di upland - yang dituduh penyebab mahalnya biaya eksternalitas – dan masyarakat di lowland – yang memikul biaya.

B. Maksud dan Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk menentukan nilai besaran insentif dan disinsentif ekonomi dalam upaya peningkatan efektivitas pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya terkait dengan mengendalian penggunaan lahan berfungsi lindung di KBU. Model yang digunakan adalah PDR dan PES.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merumuskan konsep PDR dan PES dalam mengarahkan pemilik lahan dalam menggunakan lahannya, dengan mempertimbangkan hirarki kota dan sistem perkotaan di KBU. Secara khusus, penelitian ini dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan berikut

1. Mengetahui struktur ruang KBU terutama terkait dengan hirarki kota dan sistem perkotaan, sistem penggunaan lahan kota dan diferensiasi perubahan penggunaan lahan dari guna lahan kota sampai ke guna lahan kedesaan. 2. Mengatahui tingkat transformasi struktur penggunaan lahan sebagai dasar

pemberian insentif dan disinsentif.

3. Menghitung besaran nilai lahan menggunakan pendekatan NJOP, harga jual setempat dan nilai harapan tanah.

4. Menghitung besaran PDR dan PES, dengan mempertimbangkan tingkat transformasi struktur penggunaan lahan, khususnya untuk penggunaan lahan pertanian dan kehutanan.

5. Merumuskan konsep penerapan PES dan PDR dalam mencegah terjadinya perubahan penggunaan lahan akibat perbedaan rente lahan antara penggunaan lahan untuk kawasan berfungsi lindung dan hutan dengan penggunaan lahan lainnya.

(31)

C. Kegunaan Penelitian

Perancangan kota (urban design) merupakan suatu hasil perpaduan kegiatan antara profesi perencana kota, arsitektur, rekayasa sipil, dan transportasi dalam wujud fisik dalam dua bentuk umum yaitu ruang kota (urban space) dan ruang terbuka (open space). Ruang kota disediakan untuk melayani jasa bagi kehidupan manusia dan ruang terbuka sebagai pelengkap dan pengontras bentuk urban, serta menyediakan tanah untuk penggunaan di masa depan. Akibatnya kota menjadi suatu utilitas eksklusif dan tidak merasa perlu terkait dengan ruang tidak produktif dan di luar kota, khususnya daerah hinterland dan desa di sekitarnya. Dipihak lain, perencanaan dan pengelolaan kawasan lindung, khususnya hutan lindung dan konservasi, lebih memperhatikan bagaimana perlindungan dan pengelolaan habitat dan kawasan dapat berjalan tanpa memperhatikan perkembangan kebutuhan lahan akibat pertumbuhan demografi dan ekonomi di masa depan.

Persoalan kawasan ini muncul ketika permintaan lahan menjadi tinggi untuk kegiatan perumahan dan kegiatan perkotaan lainnya, dan menjadi persoalan yang serius ketika pertimbangan produktivitas menjadi ukuran, yang pada akhirnya mendorong perubahan penggunaan lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan produktif. Sejalan dengan itu, terjadi persoalan lingkungan di daerah kota yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan di luar ruang kota akibat terjadi pengusiran lahan (expulsing) berfungsi lindung menjadi kawasan budidaya.

Melalui penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dalam dua kubu perencana di atas, yakni perencana kota dan perencana kawasan lindung dan kawasan konservasi, agar dapat mewujudkan sebuah kota dan kehidupan berkelanjutan. Mekanisme insentif dan disinsentif ekonomi ini diharapkan mengatasi keseimbangan dan guna mengurangi konflik antara masyarakat di perdesaan yang dituduh menghambat perkembangan kota – dan masyarakat kota – yang memikul biaya.

D. Kerangka Penelitian

Menurut Bappeda Provinsi Jawa Barat (1998), perkembangan KBU tidak dapat dilepaskan dari perkembangan Kota Bandung. Kota Bandung lahir tahun 1906, dengan konsep “Garden City” yang pertama kali diformulasikan oleh

(32)

Ebenezer Howard kemudian diterapkan oleh Thomas Karsten dalam mendesain Kota Bandung. Sebagai Kota awal abad 20-an, yang dipengaruhi oleh konsep Kota di Eropa dan Amerika abad 19, Kota Bandung memiliki satu pusat kota (monocentric). Permukiman berada di luar zona pusat kota, dan di luar zona permukiman adalah zona pertanian, perkebunan dan kemudian diikuti zona lahan hutan sebagai pen-supply makanan dan serat ke kota. Zona pertanian dan kawasan hutan merupakan KBU dewasa ini.

Sejalan dengan pertumbuhan kota, maka zona permukiman dan pusat-pusat pertumbuhan kota berkembang ke luar dan bergerak ke arah KBU. Kecenderungan ini mulanya diawali pembangunan hotel-restoran Bumi Sangkuriang serta perluasan Kampus ITB, kemudian diikuti oleh perkembangan kawasan-kawasan permukiman berskala cukup besar dan fasilitas perkotaan lainnya. Kemudian kondisi ini secara legal formal didukung oleh penataan ruang yang mengarahkan beberapa kawasan menjadi pusat pertumbuhan di KBU.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka Kota Bandung tidak lagi monocentric yang berpusat di Kota Bandung (sekitar Alun-Alun Bandung), namun telah berkembang menjadi multicentric, termasuk di KBU yang dalam konsep kota lama sebagai lahan pertanian dan lahan hutan, yang mana dewasa ini di KBU telah berkembang pusat-pusat pertumbuhan. Berdasarkan model Von Thünen’s, penggunaan lahan (land use) akan tergantung jarak dari pusat kota (pertumbuhan). Jarak ini mencerminkan biaya transportasi, semakin jauh dari pusat-pusat pertumbuhan (kota), maka akan semakin mahal biayanya. Jarak dari pusat kota juga akan mempengaruhi harga sewa tanah atau harga tanah, semakin dekat dengan pusat kota, maka harga sewa tanah atau harga tanah akan semakin mahal.

Berdasarkan karakter kekotaannya, maka kurva bid-rent di setiap pusat pertumbuhan KBU diperkirakan akan mengikuti kurva pada Gambar 1 (bagian 1). Berdasarkan gambar tersebut, guna lahan ditentukan oleh kemampuan pengguna lahan membayar sewa lahan pada fungsi ekonomi yang berbeda seperti pasar eceran, industri dan permukiman. Lokasi optimal berada di distrik pusat bisnis (CBD) karena memiliki aksesibilitas tertinggi. Dengan asumsi kondisi ruang adalah isotropik, maka penggabungan (overlapping) kurva bid rent (bagian 2 Gambar 1) dari semua aktivitas ekonomi perkotaan dalam suatu pola guna lahan memusat (concentric) menghasilkan peruntukan lahan bagi pasar eceran di CBD,

(33)

industri/ komersil pada ring berikutnya, apartemen dan kemudian rumah tunggal biasa di ring terakhir. Pada dunia nyata keadaan seperti psiografi (perbukitan), sejarah dan sosial akan mempengaruhi kurva bid rent tersebut.

Gambar 1. Kurva Bid-Rent Penggunaan Lahan Sampai Batas Pusat Pertumbuhan Ketika kota tumbuh dan berkembang, lokasi yang lebih jauh dari pusat kota akan digunakan, membuat biaya sewa untuk lahan yang memiliki aksesibilitas tinggi menjadi meningkat, sehingga terjadi peningkatan kepadatan dan produktivitas. Keadaan ini secara umum menggambarkan di wilayah tersebut terjadi pengusiran (expulsing) berbagai aktivitas yang kurang produktif ke luar pusat kota oleh aktivitas yang lebih produktif. Hal ini diperkirakan terjadi di setiap pusat pertumbuhan KBU, sehingga secara agregat akan mendorong permukiman meng-okupasi guna lahan pertanian dan kawasan lindung di seluruh KBU. Pergeseran penggunaan lahan tersebut disebabkan karena terjadi pergeseran margin intensif dan margin extensive lahan.

Bentuk regulasi arahan pengendalian penggunaan lahan berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 terdiri atas peraturan zonasi, perizinan, insentif dan disinsentif, dan pemberian sanksi. Mekanisme insentif dan disinsentif dimaksudkan sebagai bentuk pengaturan untuk mendorong pemanfaatan ruang yang sejalan dengan tata ruang dan pengendalian pembangunan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang. Namun demikian pengaturan tersebut sering bersifat

Rente Lahan

A-Pasar eceran

Jarak dari pusat Kota Pusat kota Rente Lahan B- Industri C-Apartemen D- Rumah tinggal biasa

(34)

command and control, sehingga sering terjebak pada mekanisme administratif

yang pada akhirnya juga menjadi tidak efektif.

Dalam menahan pergeseran margin intensif dan ekstensif tersebut melalui mekanisme kompensasi yakni mekanisme transfer of development right/bentuk pembangunan lain atau melalui dengan peniadaan hak membangun melalui pembelian hak membangun dari pemilik atau pengguna lahan (model PDR), atau menjual jasa lingkungan dari lahannya (model PES.) Dalam konsep PDR dan PES, maka pemilik lahan dapat menjual hak membangunnya secara sukarela baik dari segi luas arealnya maupun lamanya, sehingga pada luasan dan waktu tertentu dia atas lahan tersebut tidak dilakukan pembangunan atau konversi menjadi areal permukiman atau menjual jasa lingkungan dari aktivitas konservasi di lahannya.

Berdasarkan mekanisme tersebut, diharapkan RTRWP Jawa Barat dapat diimplementasikan di KBU yakni dengan mengalokasikan kawasan KBU sebagai kawasan lindung 87%. Sebagai ukuran kinerja implementasi tata ruang di KBU tersebut adalah terjaminnya fungsi lindung KBU terutama dalam pengaturan tata air dan hidrologi. Oleh karena itu tingkat efektivitas penerapan PDR dan PES diukur dari nilai manfaat hidrologi. Secara skematis kerangka penelitian yang direncanakan sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2.

E. Kebaruan (Novelty)

1. Kebaruan (fokus penelitian) dalam mengungkap besarnya nilai PDR dan PES sebagai model pemberian insentif dalam mencegah terjadinya perubahan penggunaan lahan dan mendorong terjadinya perilaku konservasi dari pengguna lahan sesuai dengan arahan RTRW Provinsi sebagai kawasan lindung dengan mempertimbangkan struktur ruang kota yang meliputi hirarki, sistem penggunaan lahan kota, diferensiasi penggunaan lahan dan tingkat transformasi penggunaan lahan.

2. Kebaruan keilmuan terkini (advance) karena fokus penelitian, berdasarkan review hasil-hasil penelitian sebelumnya, menghasilkan fakta belum adanya penelitian mengenai penentuan besarnya nilai hak membangun (development

right) dalam mekanisme PDR dan besarnya harga sewa bagi penanam pohon

dalam mekanisme PES dengan mempertimbangkan struktur ruang kota dalam konteks penentuan besarnya insentif pengendalian pemanfaatan ruang.

(35)

Gambar 2. Kerangka Penelitian BARAT TAHUN 2003: - 45 % KL - 55 % KB PENYESUAIAN RTRW KBU DENGAN RTRW P JAWA BARAT Zona Guna Lahan Kajian Nilai Lahan di KBU Milik Penetapan Nilai PDR Kajian Struktur Ruang KBU Hirarki Kota KBU Pola Ruang KBU Diferensiasi Guna Lahan Kawasan Lindung Kawasan Hutan produksi Kajian Manfaat Hidrologia di KBU Lahan Publik Nilai Harapan Tanah Pertanian Nilai Harapan Tanah Hutan Daur Optimum Penetapan Nilai PES Surplus

konsumen Nilai Jasa hidrologi

NPV Jasa Hidrologi Efektivitas Implementasi RTRWP Jawa Barat di KBU

(36)

A. Konsep Guna Lahan

Sumberdaya lahan didefinisikan sebagai lahan dimana ekstraksi sumberdaya alam terjadi (dapat terjadi) seperti hutan, bahan tambang, atau pertanian (Lovering et al, 2001). Dengan demikian pengertian sumberdaya lahan lebih luas daripada tanah, yaitu suatu lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, topografi, tanah, hidrologi dan vegetasi dimana pada batas-batas tertentu mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan. Menurut Jayadinata (1999), konsep lahan atau tanah setidaknya mancakup (1) konsep ruang, (2) konsep tanah, (3) konsep faktor produksi, (4) konsep situasi, (5) konsep properti dan (6) konsep modal. Selanjutnya menurut Sutawijaya (2004), tanah merupakan sumber daya yang menyediakan ruangan (space) yang dapat mendukung semua kebutuhan makhluk hidup. Dikatakannya pula bahwa ruangan yang disediakan tersebut sangat terbatas, sedangkan kebutuhan akan tanah mempunyai kecenderungan terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam memenuhi kebutuhan perumahan, pertanian, industri dan lain lain. Hal inilah yang menuntut perkembangan teoritis nilai tanah.

Guna lahan atau penggunaan lahan adalah segala macam campur tangan manusia baik secara permanen ataupun secara siklus terhadap sekumpulan sumberdaya lahan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat dari lahan, guna mencukupi kebutuhan hidupnya, baik berupa kebendaan maupun spiritual ataupun keduanya (Sugiharto, 2006). Menurut Hubacek dan Jose Vazquez (2002), guna lahan dipengaruhi oleh tiga kelompok faktor. Kelompok pertama, terdiri dari faktor fisik, biologi dan teknik mencakup kuantitas, alam, ketersediaan dan karakteristik sumberdaya lahan, yang limit pastinya ditetapkan oleh apa yang dapat dilakukan operator dalam menggunakan sumber daya lahannya. Kelompok kedua, institusi, sebagai the “rules of the game” di masyarakat, membatasi orang dan secara tidak sadar menentukan kebiasaan orang dalam berinteraksi. Dan kelompok ketiga, secara terbatas merupakan kekuatan ekonomi, supply dan demand, sebagai pembentuk guna

(37)

lahan dewasa ini. Sedangkan Jayadinata (1999) menyatakan bahwa faktor yang menjadi penentu dalam pola guna lahan adalah (1) perilaku masyarakat (social behavior) dan (2) faktor ekonomi.

Supply lahan dalam pandangan fisik selalu dipertimbangkan sebagai hal yang tetap dan terbatas. Namun supply lahan secara ekonomi tergantung pada supply fisik, faktor kelembagaan, ketersediaan teknologi, dan lokasinya. Supply ekonomi mungkin dibatasi sebagai unit lahan yang memasukan kekhususan dalam merespon terhadap rangsangan, seperti harga dan kelembagaan. Pemilik lahan dalam menentukan tipe dan intensitas penggunaan lahannya tergantung pada harga lahan yang akan diperoleh per hektar. Dewasa ini supply lahan menggambarkan praktek utilisasi, ketersediaan ekonomi sekarang, dan kemampuan beradaptasi terhadap kebutuhan demand (Hubacek dan Jose Vazquez, 2002).

Berdasarkan kondisi tersebut, pada saat supply masih cukup luas, maka demand menjadi tidak terbatas. Menurut Hubacek dan Jose Vazquez (2002), demand lahan dibedakan atas dua kategori yang berbeda yakni direct demand dan derived demand. Direct demand lahan dikatakannya sebagai demand lahan yang digunakan langsung untuk konsumsi lahan, diarahkan oleh sinyal pasar bahwa konsumer menjadi land user, seperti petani, yang memberikan kepuasan terhadap demand bagi barang dan jasa sekarang. Namun demand kedua yakni derived demand, yang merupakan demand secara umum dimana konsumen meminta produk, sementara produser men-supply lahan sebagai faktor produksi. Mekanisme supply dan demand tersebut akan menentukan pola penggunaan lahan. Menurut Sugiharto (2006), pola guna lahan secara fisik yang dimaksud adalah upaya dalam meningkatkan pemanfaatan, mutu, dan penggunaan lahan untuk kepentingan penempatan suatu atau beberapa kegiatan fungsional sehingga dapat memenuhi kebutuhan kehidupan dan kegiatan usaha secara optimal ditinjau dari segi sosial ekonomi, sosial budaya, fisik, dan secara hukum.

B. Hirarki dan Sistem Perkotaan

Pembentukan kota, hirarki dan sistem perkotaan diawali dengan terbentuknya wilayah pasar. Konsep dan model dasarnya merupakan perkembangan dari

(38)

pengorganisasian spasial dari wilayah pasar satu produk satu produsen (monopoli) sampai organisasi spasial dari produksi bermacam barang dan banyak produsen sehingga membentuk susunan hirarki spasial di suatu tempat terpusat (Dicken dan Lloyd, 1990). Kerangka konsep sederhana dalam menjelaskan proses terbentuknya wilayah pasar tersebut dikenal dengan Central Place Theory (CPT).

Dasar memahami CPT sesungguhnya berasal dari konsep tentang aglomerasi ekonomi yang pengertian umumnya yang menurut Nugroho dan Dahuri (2004) sebagai perolehan keuntungan ekonomi akibat dua atau lebih produsen bergabung dan berdekatan secara spasial, dan menurut Nuryadin et al (2007), ekonomi aglomerasi merupakan daerah-daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonomi terjadi. Selanjutnya dikatakan Nugroho dan Dahuri (2004) bahwa setidaknya ditemukan dua gejala besar didalam aglomerasi berkaitan dengan wilayah pasar, yaitu (1) bertemunya dua atau lebih aktivitas ekonomi yang berbeda, sehingga wilayah pasar setiap produsen cenderung menyatu, dan (2) bertemuanya dua atau lebih aktivitas ekonomi yang sama, sehingga memungkinkan terbentuknya pasar baru yang lebih besar. Kedua keadaan ini secara umum berimplikasi terhadap pembatasan tumbuhnya jumlah kota, penekanan kebutuhan infrastruktur, dan identifikasi dan pencarian mekanisme aglomerasi terhadap aktivitas ekonomi yang lain. Konsekwensi dari aglomerasi ini adalah terbentuknya hirarki yang tediri dari kota besar, kota sedang dan kota kecil. Sementara Dicken dan Llyod (1990) menyebutkan tipe aglomerasi dibedakan dalam dua hal yakni lokalisasi ekonomi dan urbanisasi ekonomi.

Menurut Nugroho dan Dahuri (2004), yang harus dicatat bahwa teori ini baru memperhitungkan tentang kegiatan dari industri tersier (pelayanan jasa) untuk menempatkan lokasi dari tempat sentral tersebut. Asumsi teori ini melalui penyederhanaan suatu dunia nyata, dimana wilayah pasar adalah datar (flat plane) dan sumberdaya alam dan penduduk tersebar dengan merata dan pekerjaan penduduk adalah semua petani (homogen). Dengan demikian menurutnya, CPT ini sulit diterapkan di wilayah dengan sistem perkotaan karena faktor-faktor yang mempengaruhinya lebih kompleks dari asumsi yang dijelaskan CPT, tetapi keadaan wilayah dan ekonomi perdesaan yang belum banyak tersentuh sektor modern (tipe wilayah homogen) tampaknya dapat dijelaskan oleh CPT. Adapun wilayah dengan

(39)

sektor modern yang dapat dianalisis oleh CPT adalah distribusi sektor jasa atau pusat perbelanjaan di kota. Selanjutnya Nuryadin et al (2007), mengatakan aglomerasi menghasilkan perbedaan spasial dalam tingkat pendapatan, semakin teraglomerasi secara spasial suatu perekonomian maka akan semakin meningkat pertumbuhannya, sehingga daerah-daerah yang banyak industri pengolahan tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah yang hanya mempunyai sedikit industri pengolahan Menurut Sinulingga (2005), CPT dapat digunakan untuk merumuskan bagaimana hubungan antara tempat sentral dengan wilayah pengaruhnya (hinterland) serta merumuskan bagaimana hirarki dari tempat sentral. Dengan menggunakan CPT, menurut Sinulingga, Walter Christaler telah menentukan hirarki kota-kota dalam suatu wilayah dengan cara meninjau jumlah pelayanan yang dapat diemban oleh sebuah kota.

Untuk melakukan analisis sistem perkotaan dewasa ini yang lebih kompleks telah berkembang berbagai metode diantaranya metode survei, metode gravitasi, metode peringkat dan metode gugus. Yang membedakan keempat metode ini adalah cara pengamatan dan variabel yang diamati (Nugroho dan Dahuri, 2004). Selain keempat metode tersebut juga terdapat metode Purnomosidi yang dikembangkan oleh Dr. Purnomosidi yang menurut Sinulingga (2005) telah melakukan penelitian hirarki perkotaan di Indonesia dengan mengamati aliran barang dari kota ke kota. Dalam pembahasannya dinyatakan bahwa pada satuan wilayah pengembangan (SWP) terdapat hirarki kota-kota dengan sebutan orde kota yaitu orde 1, orde 2, dan seterusnya. Kota orde 1 adalah kota yang tidak berada dibawah subordinansi kota-kota lainnya. Disamping itu kota-kota orde 1 perlu menguasai fasilitas distribusi yang lengkap termasuk pelabuhan. Orde 2 berada dalam subordinasi orde 1, sedangkan orde 3 berada dalam subordinasi orde 2, demikian selanjutnya.

Untuk kepentingan di Indonesia, ciri masing-masing orde kota dapat dijelaskan pada Tabel 2, susunan orde kota dalam satu SWP terdapat pada Gambar 3. Menurut Sinulingga (2005), manfaat mengetahui hirarki perkotaan ialah untuk deliniasi wilayah menjadi SWP-SWP yang mana dalam satu SWP kota orde I mempunyai wilayah pengaruh seluas SWP, sedangkan kota orde II mempunyai

(40)

wilayah pengaruh pada sebagian dari satu SWP yang dinamakan wilayah pengembangan partier (WPP).

Tabel 2. Ciri-Ciri Orde Kota

Orde Kota Ciri-Ciri

(1) (2)

Kota Orde I 1. Kedudukan sebagai ibukota negara atau pusat-pusat pembangunan nasional atau ibukota provinsi

2. Jangkauan pelayanan 100 – 500 km 3. Jumlah penduduk 250 ribu sampai 5 juta 4. Terletak pada jalan nasional

5. Mempunyai fasilitas pelayanan yang lengkap termasuk pelabuhan laut 6. Terdapat kegiatan perindustrian yang besar dan modern, jasa

perdagangan termasuk ekspor dan impor, perbankan internasional 7. Terdapat pelayanan-pelayanan lainnnya dalam sakala nasional seperti

universitas, rumah sakit besar, dan sekaligus bandara nasional maupun internasional.

Kota Orde II 1. Ibukota propinsi, atau dan pusat pengembangan wilayah, atau kota besar 2. Jangkauan pelayanan 50 – 100 km

3. Jumlah penduduk 100 – 500 ribu

4. Berorientasi ke kota orde I dengan fasilitas yang kurang lengkap dibanding orde I

5. Terletak pada jalan nasional atau jalan provinsi

6. Memiliki terminal penumpang, memiliki perusahaan industri terutama agro industri

7. penyedia tenaga kerja, serta fasilitas jasa seperti perbankan dan pasar 8. memiliki pelayanan rumah sakit, dan sekolah-sekolah menengah umum,

ataupun kadang-kadang universitas. Kota Orde III 1. Ibukota kabupaten atau kota administratif

2. Jangkauan pelayanan 15 – 50 km 3. Jumlah penduduk 20 – 100 ribu 4. berorientasi ke kota ode II

5. terletak pada jalan propinsi atau jalan kabupaten sebagai kota

6. berfungsi penghubung perdesaan dan perkotaan, melayani kebutuhan perdesaan dan merupakan pusat wilayah perdesaan yang terbesar

7. memiliki beberapa pelayanan yang sering dilakukan walaupun tidak tiap hari seperti pasar, penyimpanan produksi, penyortiran produksi pertanian, juga termasuk jasa keuangan, perdagangan, pertukaran barang, jasa pengangkutan.

8. Jasa lain ialah pendidikan, kesehatan, sosial, dan administrasi Kota Oede IV 1. Ibukota kecamatan

2. Jangkauan pelayanan 7,5 – 15 km 3. Jumlah penduduk 5 – 20 ribu 4. berorientasi ke kota orde III 5. terletak pada jalan kabupaten

(41)

Tabel 2 (lanjutan)

(1) (2)

6. berfungsi sebagai pelayanan langsung jasa distribusi barang-barang kebutuhan perdesaan yang diperoleh dari kota orde di atasnya, dan tempat mengumpulkan hasil-hasil dari daerah perdesaan dan membawanya ke kota orde di atasnya

7. tersedia pasar kecil dan fasilitas penyimpanan sementara hasil-hasil pertanian.

8. terdapat fasilitas pendidikan formal ataupun informasl. Sumber: Sinulingga, 2005

Gambar 3. Susunan Orde Kota Dalam Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) (Sinulingga, 2005)

C. Pola Guna Lahan Kota

Keberadaan orde kota, disamping kekuatan lainnya, mempunyai pengaruh pada pola persebaran jenis penggunaan lahan di kota. Interaksi yang berjalan antar berbagai elemen lingkungan telah menciptakan kekhasan pola. Yunus (2005) telah mengklasifikasikan 5 model pendekatan untuk melakukan kajian terhadap keadan

Orde pertama

Orde kedua

Orde ketiga Orde keempat

(42)

penggunaan lahan kota, yaitu (1) pendekatan ekologi, (2) pendekatan ekonomi, (3) pendekatan morfologi, (4) pendekatan sistem kegiatan dan (5) pendekatan ekologi faktorial. Keterkaitan dengan disertasi, maka akan dibahas 3 pendekatan saja yaitu pendekatan ekologi, pendekatan ekonomi dan pendekatan morfologi.

Menurut Jayadinata (1999), penggunaan lahan kota didasarkan pada teori konsentrik, teori sektoral, dan teori pusat lipatganda. Selanjutnya dikatakan bahwa teori konsentrik dikembangkan oleh E.W. Burgess yang membagi kota kedalam pusat kota, jalur transisi, jalur perumahan buruh, jalur permukiman kaum menengah dan lajur penglaju. Sedangkan menurut Rustiadi et al (2009), teori konsentrik ini kemudian dikembangkan dan dimodifikasi oleh Sinclair seperti yang diilustrasikan pada Gambar 4.

Gambar 3. Dua pola penggunaan lahan konsentris (Rustiadi et al, 2009) Menurut Jayadinata (1999) dan Rustiadi et al (2009), teori sektoral dikembangkan oleh Homer Hoyt dari hasil pengamatannya di kota-kota di Amerika Serikat yang menggambarkan bahwa kota dapat tersusun dengan urutan (1) aktivitas pusat kota (CBD), (2) pada sektor tertentu terdapat kawasan industri ringan dan

1 2 2 3 3 4 4 5 5

a. Konsep Zona Konsentris Burgess 1925

1 2 2 3 3 4 4 5 5

b. Konsep Zona Konsentris Sinclair 1967 1. Zona Bisnis

2. Zona Transisi

3. Zona Permukiman Pekerja

4. Zona Permukiman yang lebih baik 5. Zona Penglaju

1 Dikuasai para spekulator 2 Petani masa pendek/spekulan 3 Petani peralihan

4 Pemerahan susu 5 Lain-lain

Gambar

Gambar 2. Kerangka Penelitian BARAT  TAHUN 2003: -  45 % KL -  55 % KB PENYESUAIAN RTRW KBU DENGAN  RTRW P JAWA BARAT  Zona  Guna  Lahan Kajian Nilai Lahan di KBU Milik  Penetapan  Nilai PDR   Kajian Struktur Ruang KBU Hirarki Kota KBU Pola Ruang KBU Difer
Tabel 9. Jenis Insentif dan Disinsentif  Kelompok Perangkat/
Tabel 12. Pengembangan Program PDR Di AS Bagian Timur  Lokasi
Tabel 15 (lanjutan)  (1)  (2)  (3)  (4)  (5)  2.3  Ngamprah               72.381                  2.347                           31   19  Bojongkoneng               10.185                     463                           22   20  Cimanggu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Diabetes melitus (DM) tipe 1 merupakan penyakit akibat destruksi autoimun yang merusak sel beta pankreas secara progresif. Destruksi itu berlangsung dalam waktu

Pada kesempatan ini, kami mohon kepada kebesaran dan kehebatan- Mu ya Allah sudilah kiranya Engkau mengurniakan kepada kami sifat yang mulia dan akhlak yang luhur, mudah-mudahan

Melalui konsep free culture dan keterbukaannya, dokumen yang ada di Aural Archipelago dapat diakses untuk berbagai kepentingan sehingga salah satu misi dari Aural Archipelago

Pengaruh dosis iradiasi tehadap tegangan putus arah potong sejajar dan tegak lurus setelah penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 5, Gambar 6, Gambar 7 dan Gambar 8. Pada

NIM Nama

Setelah dilakukan proses penyidikan dan pembuatan berita acara pemeriksaan terhadap tersangka A selanjutnya pihak Kepolisian melimpahkan berkas perkara

Rancangan update data kucing ini digunakan untuk memasukkan data kucing yang telah diverifikasi oleh user admin dan merekam data ke dalam tabel produk. Rancangan

Bawaslu Provinsi untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL dan atau Pengawas TPS untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati