• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

IV KAWASAN BANDUNG UTARA DI KOTA BANDUNG

D. Nilai Lahan Hutan di KBU

1. Pembelian Hak Membangun (PDR) di Lahan Pertanian Milik

Langkah awal dalam penerapan PDR adalah menentukan nilai hak membangun. Menurut Wright and Skaggs (2002), nilai hak membangun adalah perbedaan antara nilai jual lahan pertanian jika penjualannya digunakan untuk membangun dan nilai penggunaan untuk kegiatan pertanian. Nilai penggunaan pertanian dan nilai pembangunan ditentukan melalui proses penilaian tradisional. Nilai hak membangun dapat berkisar dari 10% sampai lebih dari 90% dari harga pasar, tergantung pada tekanan pembangunan.

Besarnya nilai PDR merupakan nilai insentif untuk menahan pemilik lahan dalam mengkonversi lahan tempat usahanya (lahan pertanian) menjadi perumahan atau bangunan lainnya atau dijual dan akan dijadikan permukiman baik bersifat perorangan maupun dibangun oleh pengembang. Pencegahan perubahan lahan pertanian selain untuk mempertahankan sumber pangan tetapi juga ditujukan guna mencegah terganggunya fungsi lindung dan konservasi. Dalam penelitian ini fungsi lindung dimaksud adalah manfaat hidrologis. Keuntungan yang diberikan dalam pembelian hak membangun adalah selain tetap terjaganya lahan pertanian sebagai produsen hasil pertanian, juga tetap terjaganya manfaat hidrologis.

Dalam penelitian ini, besaran nilai hak membangun, dilakukan dengan menghitung selisih nilai jual lahan pertanian dengan NHT berdasarkan NPV. Tingkat tekanan pembangunan dicerminkan oleh zona penggunaan lahan. Dasar penentuan nilai insentif menggunakan NPV di lahan pertanian telah dilakukan banyak peneliti diantaranya yang dilaporkan Stocking dan Tengberg (1999) yakni

dengan cara membandingkan NPV atas biaya erosi dalam penerapan sistem penanaman dengan dan tanpa upaya konservasi, yang mana besarnya nilai insentif adalah besarnya selisih NPV atas biaya konservasi. Hal ini untuk melihat biaya erosi sebagai kehilangan “hasil”, atau keuntungan upaya konservasi sebagai yang “disimpan”. Adapun besarnya nilai hak membangun (PDR) di setiap zona guna lahan atas dasar nilai jual lahan pertanian dan lahan permukiman seperti terlihat pada Tabel 49 dan Gambar 31.

Tabel 49. Nilai PDR Atas Dasar Harga Jual Lahan Pertanian dan Lahan Permukiman Per m2 di KBU Zona Guna Lahan % Rural Harga Jual Lahan Pertanian (Rp/m2) Harga Jual Lahan Permukiman (Rp/m2) NHT (Rp/m2) Nilai PDR (Rp/m2) Atas Harga Lahan Pertanian Atas Harga Jual Lahan Permukiman Urban Area 0 232.765 486.162 84.411 148.354 401.751 Urban Area 10 214.460 454.061 81.000 133.461 373.061 Urban Fringe 20 196.155 421.960 77.588 118.567 344.372 Urban Fringe 30 177.850 389.859 74.176 103.674 315.683 Urral Fringe 40 159.545 357.758 70.765 88.781 286.993 Urral Fringe 50 141.240 325.658 67.353 73.887 258.305 Urral Fringe 60 122.935 293.557 63.941 58.994 229.616 Rural Fringe 70 104.630 261.456 60.530 44.101 200.926 Rural Fringe 80 86.326 229.355 57.118 29.208 172.237 Rural Area 90 68.021 197.254 53.706 14.314 143.548 Rural Area 100 49.716 165.153 50.295 (579) 114.858

Gambar 31. Perbedaan Nilai Lahan Pertanian Atas dasar Harga Jual dan NHT Berdasarkan data pada Tabel 49 dan Gambar 31 tersebut, nilai PDR untuk mencegah terjadinya penjualan lahan pertanian dan dikonversi menjadi lahan

-50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 N ila i L ah an (R p /m 2 ) x 1 0 0 0

Persen Guna Lahan Rural (%)

permukiman semakin berada di zona urban area dibutuhkan PDR yang semakin besar dan kemudian mengecil ke arah zona rural area. Besarnya nilai PDR atas dasar harga jual lahan pertanian di zona urban area sebesar Rp148 354/m2, kemudian menurun ke zona rural area sampai nilai PDR nol, sedangkan atas harga jual lahan permukiman nilai PDR di zona urban area sebesar Rp401 751/m2 menurun ke zona rural areal dengan nilai PDR di zona rural area sebesar Rp114 858/m2.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penjualan lahan pertanian di zona kekotaan, pemilik lahan memiliki perkiraan bahwa lahannya akan digunakan untuk perumahan, perkantoran dan perhotelan atau tempat bisnis lainnya sehingga menjual lahannya dengan harga lebih besar dari NPV komoditas pertanian apabila dikelola secara terus menerus. Kemudian apabila lahan pertanian tersebut dikonversi menjadi lahan permukiman, maka nilai PDR semakin membesar. Kondisi tersebut menurut Nelson dan Duncan (1995) dalam Lovering at al (2001), di lahan pertanian yang ada di zona kota, pemilik lahan mengalami apa yang disebut impermanence syndrome yakni pemilik lahan mulai percaya bahwa di tempat tersebut sangat kecil aktivitas sumberdaya di masa depan.

Secara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik melalui transaksi penjualan ke pihak lain ataupun melalui penggantian pada usaha non padi merupakan keputusan yang rasional. Sebab dengan keputusan tersebut petani berekspektasi pendapatan totalnya, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti, menunjukkan bahwa penggunaan lahan sawah untuk penanaman padi sangat

inferior dibanding penggunaan untuk turisme, perumahan dan industri.

Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 50. Penelitian Syafa’at et al. (2001) pada sentra produksi padi utama di Jawa dan Luar Jawa, menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menetukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian lain dan non pertanian adalah (1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; dan (2) respon petani terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usahatani meningkat.

Penelitian Sumaryanto dan Pasandaran (1996) di Jawa menunjukkan bahwa alih fungsi lahan sawah ke non pertanian (63%) lebih tinggi dibandingkan ke pertanian non sawah (37%). Dari 63% tersebut, 33% untuk pemukiman, 6%

untuk industri, 11% untuk prasarana dan 13% untuk lainnya. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kedekatan lokasi sawah dengan pusat ekonomi sangat nyata mempengaruhi laju konversi lahan.

Tabel 50. Rasio Land Rent yang Diperoleh dengan Mengusahakan Lahan untuk Sawah dan Penggunaan lain di Jawa, Tahun 1990 – 1992.

Perbandingan Penggunaan Lahan Rasio Land Rent Peneliti 1. Sawah : Industri 1 : 500 Iriadi (1990) 2. Sawah : Perumahan 1 : 622 Riyani (1992) 3. Sawah : Pariwisata 1 : 14 Kartika (1990) 4. sawah : Hutan Produksi 1 : 2,6 Lubis (1991)

Sumber: Nasoetion dan Winoto, 1996.

Konversi lahan sawah ke pertanian lain dan ke pemukiman dapat terjadi tanpa melalui transaksi. Namun kasus di Jawa menunjukkan bahwa kasus konversi seperti itu jauh lebih sedikit dibandingkan yang melalui transaksi. Ini menunjukkan bahwa harga lahan sawah sangat mempengaruhi konversi lahan sawah (Sumaryanto et al, 1996). Hal ini sejalan dengan hasil temuan Rusastra et al. (1997) di Kalimantan Selatan, bahwa alasan utama petani melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan dan harga lahan yang tinggi, dan skala usaha yang kurang efisien untuk diusahakan. Pada tahun yang sama penelitian Syafa’at et al. (1995) di Jawa menemukan bahwa alasan utama petani melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan, lahannya berada dalam kawasan industri, serta harga lahan. Pajak lahan yang tinggi cenderung mendorong petani untuk melakukan konversi dan rasio pendapatan non pertanian terhadap pendapatan total yang tinggi cenderung menghambat petani untuk melakukan konversi. Sementara menurut Witjaksono (1996) ada lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat.

Sebagai ukuran efektivitas penerapan PDR adalah kelebihan surplus manfaat hidrologis atas PDR nya. Berdasarkan data pada Tabel 49, nilai NPV jasa hidrologi bagi RT adalah sebesar Rp423 398 459 per ha (lihat sub bab Nilai Jasa Lingkungan di KBU), maka tingkat efektivitas penggunaan PDR di setiap zona guna lahan dapat dilihat pada Tabel 51.

Dari data pada Tabel 51, penerapan PDR di KBU hanya efektif jika diterapkan di zona rural area dan rural fringe. Dari seluas 7452 ha lahan pertanian di zona rural fringe memerlukan PDR sebesar Rp2 068 259 059 188 dengan perolehan surplus manfaat hidrologis sebesar Rp2 389 079 586 332, secara efektif

mendapatkan kelebihan surplus manfaat hidrologis atas PDR yang dikeluarkan sebesar Rp320 820 527 145. Kemudian dari 6 565 ha lahan pertanian di zona rural area memerlukan PDR sebesar Rp457 687 904 893, dengan perolehan surplus manfaat hidrologis sebesar Rp2 707 569 361 186, akan efektif mendapatkan kelebihan surplus manfaat hidrologis sebesar Rp2 249 881 456 293. Sementara penerapan PDR dan PES di zona urban area, urban fringe dan urral fringe menunjukkan sudah tidak efektif.

Tabel 51. Efektivitas PDR di Setiap Zona Guna Lahan di KBU Zona Guna Lahan Luas (ha) Total PDR (Rp) Total Manfaat Hodrologis (Rp) Efektivitas PDR (Rp) urban area 840 41 758 725 422 12 547 681 494 (29 211 043 929) urban fringe 2.566 669 126 441 001 273 267 404 603 (395 859 036 398) urral fringe 3.502 1 183 991 283 555 754 506 997 514 (429 484 286 040) rural fringe 7.452 2 068 259 059 188 2 389 079 586 332 320 820 527 145 rural area 6.565 457 687 904 893 2 707 569 361 186 2 249 881 456 293 Total 20.926 4 420 823 414 059 6 136 971 031 129 1 716 147 617 070 Keterangan: *) luas x Rp423 398 459.

Kondisi tidak efektifnya penerapan PDR dan PES di zona urban area, urban fringe dan urral fringe disebabkan dua hal yakni terjadinya penilaian berlebihan (overvaluation) atas harga lahan dan masih rendahnya persepsi masyarakat atas manfaat hidrologi. Terjadinya overvaluation atas harga lahan di KBU yang jauh melampaui NHT nya, akan menyulitkan implementasi PDR. Menurut Nelson dan Duncan (1995), dalam kondisi overvaluation ini memerlukan kebijakan pemerintah pusat dan lokal melalui konsesi pajak dan utilisasi. Dalam kaitannya dengan menahan konversi lahan, maka diperlukan pengenaan pajak dan pembebanan disinsentif atas pembangunan perumahan di lahan pertanian atau lahan konservasi untuk menutupi kehilangan manfaat hidrologi akibat didirikan bangunan di atas lahan tersebut.

Rendahnya persepsi masyarakat diindikasikan oleh rendahnya kesediaan membayar rumah tangga terhadap manfaat horologi yang diperolehnya. Dengan nilai manfaat sebesar Rp423 398 459 per ha, atau untuk setiap KK per tahun hanya menghargai Rp2 790 845 dengan korbanan sebesar Rp765 695, maka setiap hari setiap KK hanya menghargai air sebesar Rp7 646 (re-rata anggota KK 4,8 orang) atau Rp1 593 per orang, dengan hanya mau berkorban setiap hari sebesar Rp2 098 per KK atau Rp437 per orang. Padahal penggunaannya digunakan untuk

kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat yakni untuk air minum, masak, dan MCK.

Selain rendahnya persepsi atas manfaat hidrologi, persepsi masyarakat juga rendah terhadap hasil pertanian, yang sepenuhnya menyerahkan harga hasil pertanian pada mekanisme pasar, sehingga pada saat panen raya harga jual hasil pertanian berupa sayur-sayuran dan padi menjadi jatuh, akibatnya petani terdorong menjual lahan tempat bekerjanya dan lahan tersebut umumnya dikonversi menjadi permukiman atau guna lahan lain. Rendahnya persepsi tersebut mencerminkan publik belum memiliki kesadaran terhadap kemungkinan kehilangan sumberdaya air dan sumber makanan dan buah-buahan, sehingga menilai harga air dan makanan sangat rendah. Rendahnya kesadaran publik tersebut, penyebab utama kesulitan implementasi PDR ke depan.

Menurut Rielly (2000) berdasarkan pengalaman penggunaan PDR di Suffolk County AS, program PDR telah berkontribusi terhadap keberlanjutan pertanian melalui peningkatan daya tahan petani terhadap the “impermanence syndrome”, melalui peningkatan jumlah lahan yang dapat dilindungi, sehingga lahan terfragmentasi dapat dikurangi. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa PDR telah mengubah cara pandang petani terkait dengan pembangunan, khususnya dalam menahan gangguan atas meningkatnya pembangunan permukiman di sekitar lahannya.

Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, penerapan PDR di KBU hanya efektif di lahan pertanian dan kawasan lindung di wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung dengan surplus manfaat hidrologis masing-masing sebesar Rp1 711 091 222 123 dan Rp407 681 197 151. Sedangkan untuk Kota Cimahi dan Kota Bandung penerapan PDR sudah tidak efektif lagi dalam mencegah perubahan guna lahan pertanian dan kawasan lindung menjadi lahan permukiman (lihat Tabel 52). Efektifnya penerapan PDR di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung disebabkan penggunaan lahan di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung masih didominasi oleh zona rural, sehingga nilai jual lahan pertanian tidak berbeda jauh dari NHTp nya, atau dengan kata lain perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung yang masuk wilayah KBU relatif lebih kecil dibanding Kota

Bandung dan Kota Cimahi yang masuk KBU, sehingga fungsi hidrologisnya masih cukup tinggi.

Tabel 52. Efektivitas Penerapan PDR di Setiap Kabupaten/Kota di KBU

Kabupaten/Kota Luas Zona (ha) Total Insentif (Rp) Total Manfaat Hidrologis (Rp) Efektivitas PDR (Rp) Kab. Bandung Barat 14686 3020 705 394 940 4731 796 617 063 1 711 091 222 123 Kab. Bandung 2184 338 842 229 459 746 523 426 610 407 681 197 151 Kota Cimahi 1111 288 026 193 149 159 252 569 182 -128 773 623 968 Kota Bandung 2945 773 249 596.510 499 398 418 274 -273 851 178 236 Total 20926 4 420 823 414 059 6 136 971 031 129 1 716 147 617 070

Keuntungan penerapan program PDR yang lain adalah PDR menunjang keberadaan lahan pertanian secara permanen atas peningkatan pembangunan dan dengan dipertahankannya lahan pertanian maka dapat menyelamatkan ketahanan pangan, nilai habitat hidupan liar, serta nilai hidrologis (Rielly, 2000). Dalam mendukung kepermanenan lahan pertanian tersebut, maka dalam pendanaan PDR perlu didorong terjadinya cost-benefit sharing antar pemerintah yang ada di kabupaten/kota di KBU.

Mengingat bahwa penduduk di wilayah Kota Cimahi dan Kota Bandung menerima surplus manfaat hidrologi dari Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung di KBU, maka perlu dilakukan cost sharing dengan membantu pemberian insentif melalui pembelian hak membangun lahan pertanian yakni Kota Bandung atas PDR di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi atas PDR di Kabupaten Bandung Barat, sehingga lahan pertanian dan kawasan lindung milik guna mempertahankan ketahanan pangan dan nilai hodrologis di KBU.