• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

IV KAWASAN BANDUNG UTARA DI KOTA BANDUNG

E. Metode Analisis

2. Sistem Penggunaan Lahan Kota

a. Penetapan Zona Perkotaan dan Zona Perumahan

Untuk mengetahui kegiatan dominan di masing-masing pusat pertumbuhan dalam SWP Bandung secara lokal di wilayah KBU, maka diperlukan suatu analisis pergerakan orang dalam sistem transportasi. Elemen-elemen sistem transportasi yang terkait dalam penetapan zona perkotaan dan perumahan, meliputi:

(1) Pelaku perjalanan yang menyangkut perilaku, jumlah, fluktuasi perjalanan yang diakibatkan oleh aktivitas terhadap kegiatan ruang kota. Terkait dengan sistem penggunaan lahan, kajian tentang bangkitan perjalanan baik kondisi eksisting maupun tahun perencanaan dapat digunakan untuk menganalisis struktur ruang yang dibentuk, terutama dari sistem perumahan maupun perkotaan.

(2) Prasarana transportasi, baik berupa sistem jaringan jalan (road system), jaringan bebas hambatan (toll system), sistem jaringan kereta api dengan kajian secara menyeluruh, dan yang terkait. Terkait dengan sistem penggunaan lahan, kajian ini dapat digunakan untuk melihat penyebaran kegiatan perkotaan dan perumahan serta perubahannya.

(3) Sistem sarana transportasi, meliputi jenis moda, fasilitas pendukung diperlukan untuk menganalisis pergeseran permukiman dari pusat perkotaan ke luar kota berdasarkan tingkat kelajuan para pekerja.

(4) Manajemen tranportasi yang terkait dengan pengaturan terminal, rute angkutan umum, jenis moda angkutan umum, arah pergerakan kendaraan umum, pribadi dan barang; digunaan untuk menganalisis penyebaran aglomerasi penduduk/ permukiman.

Dalam kaitan dengan penetapan identifikasi pemanfaatan untuk kegiatan perkotaan (perkantoran, perdagangan, jasa, pendidikan dll) dan untuk kegiatan perumahan, akan digunakan analisis pola bangkitan perjalanan dan sistem jaringan jalan untuk wilayah Kabupaten Bandung dan Kota Bandung yang masuk wilayah KBU.

Bangkitan dan Tarikan Pergerakan

Bangkitan pergerakan (trip generation) merupakan perkiraan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan yang dicirikan oleh jumlah arus lalu lintas, jenis lalulintas (pejalan kaki, truk, mobil) dan lalu lintas pada waktu tertentu (Tamin, 2000). Satuan jumlah dari jenis lalulintas disimbulkan SMP. Tingginya angka produksi perjalanan dibandingkan tarikan di suatu zona menandakan pemanfaatan lahan lebih dominan untuk kegiatan perumahan, sebaliknya angka tarikan perjalanan yang tinggi menunjukkan kegiatan perkotaan lebih dominan sehingga menarik perjalanan dari beberapa zona lainnya.

Analisis produksi dan tarikan secara internal/lokal untuk Kota Bandung dan Kabupaten Bandung menggunakan hasil analisis sekunder hasil penelitian LPM-ITB (1997) dan proyeksi dari Bappeda Prop. Jabar (1998), kemudian ditetapkan aktivitas tata guna lahannya seperti terlihat pada Tebel 28 dan Tabel 29.

Penggunaan angka relatif dalam penentuan tata guna lahan perumahan dan perkotaan secara internal/lokal, hanya menunjukkan aktivitas yang mendominasi pada tata guna lahan tersebut, artinya jika di suatu lokasi mempunyai dominasi aktivitas kegiatan perumahan bukan berarti bahwa di lokasi tersebut tidak terdapat kegiatan

perkotaan atau sebaliknya. Angka relatif tersebut digunakan untuk melihat perubahan penggunaan lahan secara internal. Untuk memberikan gambaran angka absolut bangkitan (asal) dan tarikan (tujuan) pada guna lahan perkotaan dan perumahan di Amerika Serikat dan Inggris seperti tersaji pada Tabel 30.

Tabel 28. Produksi dan Tarikan Perjalanan di KBU Pada Wilayah Kota Bandung

No Zona/ Kota Kecamatan 1997 2010 Asal Tujuan Aktivitas Tata Guna Lahan Asal Tujuan Aktivitas Tata Guna Lahan 1 Isola 2748 2457 Perumahan 2880 3750 Perkotaan 2 Ledeng 2748 2457 Perumahan 2745 3560 Perkotaan 3 Ciumbuleuit 2256 2181 Perumahan 2478 3535 Perkotaan 4 Dago 5325 5439 Perkotaan 5715 11054 Perkotaan 5 Hegarmanah 1968 2181 Perkotaan 1874 3070 Perkotaan 6 Gegerkalong 2730 2355 Perumahan 2757 3548 Perkotaan 7 Sukarasa 2472 2529 Perkotaan 2975 4526 Perkotaan 8 Sarijadi 4368 4521 Perkotaan 5226 7947 Perkotaan 9 Sukawarna 5268 5409 Perkotaan 6456 13514 Perkotaan 10 Sukagalih 2559 6240 Perkotaan 3164 8047 Perkotaan 11 Cipedes 1959 2745 Perkotaan 1994 5808 Perkotaan 12 Sukaraja 7608 8028 Perkotaan 10248 15372 Perkotaan 13 Husein

Sastranegara

2604 2373 Perumahan 2311 3286 Perkotaan 14 Sukabungah 1677 1383 Perumahan 1707 2978 Perkotaan 15 Pasteur 2130 1644 Perumahan 1952 2708 Perkotaan 16 Cipaganti 2703 1686 Perumahan 2502 2782 Perkotaan 17 Lebaksiliwangi 4377 2337 Perumahan 3914 3875 Perumahan 18 Sekeloa 5526 5532 Perkotaan 6017 9086 Perkotaan 19 Lebakgede 4326 2262 Perumahan 3875 3714 Perumahan 20 Cigadung 4284 1872 Perumahan 4686 3024 Perumahan 21 Sadangserang 4257 1485 Perumahan 4668 2079 Perumahan 22 Sukaluyu 4341 2010 Perumahan 3927 3331 Perumahan 23 Neglasari 4341 1920 Perumahan 4155 3322 Perumahan 24 Sukapada 2460 3330 Perkotaan 2629 5295 Perkotaan 25 Pasirlayung 2295 3912 Perkotaan 2773 6833 Perkotaan 26 Padasuka 2448 3267 Perkotaan 2606 5091 Perkotaan 27 Cikutra 2460 3330 Perkotaan 2358 5863 Perkotaan 28 Cicadas 2430 5049 Perkotaan 2115 7921 Perkotaan 29 Ujungberung 5157 5769 Perkotaan 11268 10412 Perumahan 30 Cisurupan 4989 5820 Perkotaan 10461 8270 Perumahan 31 Cigending 4233 5427 Perkotaan 11382 6380 Perumahan 32 Pasirendah 2295 3912 Perkotaan 3122 7412 Perkotaan

Jumlah Asal & Tujuan 111342 110862 Perumahan 136940 187393 Perkotaan Jumlah Total Perjalanan 222204 324333

Tabel 29. Produksi dan Tarikan Perjalanan di KBU Kab. Bandung (SMP/jam)

No Zona/Kecamatan

1997 2010

Asal Tujuan Aktivitas

Tata Guna Lahan Asal Tujuan

Aktivitas Tata Guna Lahan 1 Cikalong Wetan 1422 1443 Pasar 11841 5715 Perumahan 2 Padalarang 1290 1431 Perkotaan 14034 18224 Perkotaan 3 Ngamprah 1290 1431 Perkotaan 14034 4358 Perumahan 4 Cisarua 1359 1509 Pasar pertanian 33805 7040 Perumahan 5 Lembang 1359 1509 Pasar pertanian 19082 8786 Perumahan 6 Cimenyan 4923 4890 Pasar pertanian 8579 1940 Perumahan 7 Cilengkrang 4923 4890 Pasar pertanian 3125 3249 Pasar pertanian 8 Cileunyi 4287 4695 Perkotaan 19456 26707 Perkotaan 9 Parompong 1998 1899 Perumahan 12548 9497 Perumahan 10 Cimahi Tengah 8292 8508 Perkotaan 55793 84292 Perkotaan 11 Cimahi Utara 4503 4392 Perumahan 8774 8554 Perumahan Jumlah asal dan

tujuan 35646 36597 Pasar Pertanian 201071 178362 Perumahan Jumlah total

perjalanan 72243 379433

Sumber: BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a dan Hasil Pengecekan Tabel 30. Tarikan dan Bangkitan Aktivitas Guna Lahan di AS dan Inggris Deskripsi aktivitas tata guna

lahan Tarikan pergerakan per ha

Bangkitan pergerakan per ha

Perkotaan

1. Pasar Swalayan 13600 -

2. Pertokoan 8500 -

3. Pusat pertokoan 3800 -

4. Restoran siap santap 59500 -

5. Restoran 6000 - 6. Gedung perkantoran 1300 - 7. Rumah sakit 1800 - 8. Perpustakaan 4500 - 9. Daerah industri 500 Perumahan

1. Permukiman di luar kota - 150

2. Permukiman di batas kota - 315

3. Unit rumah - 400

4. Flat tinggi - 500

Sumber: Tamin (2000)

Berdasarkan data pada Tabel 28 dan Tabel 29 di atas, menunjukkan untuk wilayah Kota Bandung, pada tahun 1997 dari 32 zona/kecamatan terdapat 14 zona/kecamatan yang merupakan zona asal perjalanan dengan dominasi aktivitas kegiatan perumahan dan 28 zona sebagai tujuan perjalanan dengan dominasi aktivitas

kegiatan perkotaan. Ke-empat belas zona kegiatan permukiman tersebut merupakan zona wilayah Kota Bandung yang berada di bagian Utara atau berbatasan dengan Kabupaten Bandung. Namun pada tahun 2010, KBU diindikasikan telah mengalami perubahan, dimana dari 32 zona yang ada di KBU sebanyak 23 zona merupakan zona tujuan perjalanan dengan dominasi aktivitas perkotaaan, sisanya sebanyak 9 zona dominasi oleh aktivitas perumahan. Zona yang mengalami perubahan dari perumahan menjadi perkotaan adalah Isola, Ledeng, Ciumbuleuit, Gegerkalong, Husen Sastranegara, Sukabungah, Pasteur, Cipaganti. Zona yang tetap didominasi aktivitas perkotaan adalah Dago, Hegarmanah, Sukarasa, Sarijadi, Sukawarna, Sukagalih, Cipedes, Sukaraja, Sekeloa, Sukapada, Pasirlayung, Padasuka, Cikutra, Cicadas, dan Pasirendah. Sementara dari dominasi aktivitas perkotaan yang berubah didominasi aktivitas perumahan adalah Ujungberung, Cisurupan dan Cigending. Zona yang tetap didominasi aktivitas perumahan adalah Lebakgede, Cigadung, Sadangserang, Sukaluyu, dan Neglasari.

Sementara itu keseluruhan Zona/Kecamatan KBU pada wilayah Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi pada tahun 1997, dari 11 kecamatan sebanyak 9 kota kecamatan di KBU merupakan tujuan perjalanan yang diindikasikan oleh dominasi aktivitas pasar lokal, pusat koleksi dan distribusi hasil-hasil pertanian, serta kawasan perkotaan dan perkantoran; sedangkan yang merupakan asal mobilitas hanya kecamatan Parongpong dan Kecamatan Cimahi Utara. Kemudian berdasarkan prediksi dan pengecekan tahun 2008, aktivitas di KBU diindikasikan telah mengalami perubahan dimana dari 11 kota kecamatan sebanyak 8 kota kecamatan telah menjadi kawasan asal perjalanan atau dominasi kegiatannya berubah menjadi perumahan. Adapun kecamatan yang mengalami perubahan dari tujuan perjalanan menjadi asal perjalanan adalah Kecamatan Cikalong Wetan, Ngamprah, Cisarua, Lembang, dan Cimenyan. Hal ini berarti bahwa perkembangan pusat-pusat pertumbuhan tersebut lebih lambat dibanding dengan perkembangan perumahan baik yang dibangun oleh pengembang (melalui perijinan) maupun dilakukan secara alami oleh masing-masing keluarga.

Dengan adanya perubahan penggunaan lahan di Kota Bandung dan Kota Cimahi yang semakin didominasi oleh aktivitas perkotaan, maka wilayah KBU yang masuk Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat mendapatkan limpahan penduduk dengan tumbuhnya penggunaan lahan perumahan. Perubahan-perubahan penggunaan lahan tersebut umumnya terjadi di dekat pusat pertumbuhan yakni di kota kecamatan. Aktivitas beberapa kota kecamatan yang semula didominasi oleh aktivitas penggunaan lahan perkotaan, pada saat sekarang telah didominasi perumahan, sehingga struktur kawasan kota kecamatan tersebut sebagian besar merupakan kawasan perumahan. Sedangkan perubahan zona perumahan menjadi perkotaan pada umumnya terjadi di Kota Bandung, seiring dengan berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan di Kota Bandung sebagai subdistrik, sehingga subdistrik tersebut mendapatkan limpahan pertumbuhan kota dari pusat pertumbuhan sekitarnya dengan tumbuhnya industri jasa. Ringkasan pergeseran perubahan penggunaan lahan perumahan dan perkotaan di Kota Bandung ke Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat seperti tersaji pada tabel berikut.

Tabel 31. Perubahan Aktivitas Guna Lahan Perumahan dan Perkotaan di KBU Aktivitas

Utama Guna Lahan

Kota Bandung Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat dan Kota Cimahi

Tahun 1997 Tahun 2010 Tahun 1997 Tahun 2010 Jml Zona/kec % Jml Zona/kec % Jml Zona/kec % Jml Zona/kec % Perumahan 18 44 9 28 2 18 7 64 Perkotaan 14 56 23 72 4 36 3 27 Pasar Lokal - - - - 1 9 0 0 Pasar Pertanian - - - - 4 36 1 9

Sebagai gambaran perkembangan perumahan dan pertumbuhan kota dapat dilihat dari perkembangan ijin lokasi sebagaimana rekapitulasi berikut.

Tabel 32. Rekapitulasi Izin Lokasi di Kawasan Bandung Utara (ha) Kabupaten/ Kota Perumahan Industri Jasa Resort Pariwisata Villa Real Estate Bangunan gedung Jumlah (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Kota Bandung 174 32 - - - 206 Cibiru 50 - - - - 50 Sukajadi - 24 - - - 24 Sukasari 6 0 - - - 7

Tabel 32 (lanjutan) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Cidadap 85 3 - - - 88 Coblong 33 3 - - - 36 Cicendo - 1 - - - 1 Kab. Bandung 2475 - 593 540 55 3,663 Cimenyan 68 - 323 - - 391 Lembang 10 - 269 412 10 701 Parongpong 476 - 1 128 23 628 Cisarua - - - - 21 21 Ngamprah 1.511 - - - - 1.511 Cileunyi 146 - - - - 146 Cilengkrang 30 - - - - 30 Cikalong Wetan 200 - - - - 200 Cimahi Utara 35 - - - - 35 KBU 2649 32 593 540 55 3,869

Sumber: BPN Kota Bandung (2001), BPN Kabupaten Bandung (2001), dan Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat (2004)

Gambar 20. Luas Izin Lokasi di KBU Wilayah Kota Bandung

R R R R R R I I I I I I P V G P V G PV G P V G PV G P VG -10 20 30 40 50 60 70 80 90

Cibiru Sukajadi Sukasari Cidadap Coblong Cicendo

Ju m la h ij in kecamatan

Gambar 21. Luas Izin Lokasi di KBU Wilayah Kabupaten Bandung Sistem Jaringan Jalan

Sistem jaringan jalan sangat menentukan perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian dan kawasan lindung menjadi areal perumahan dan perkotaan. Kapasitas jaringan jalan utama merupakan faktor yang menjadi bahan pertimbangan orang untuk melakukan pilihan dalam penggunaan lahan ke arah yang lebih intensif. Kepadatan lalu lintas jaringan jalan tersebut dihitung dalam nilai VCR (Volume – Capacity Ratio). Tingkat kepadatan berhubungan dengan jenis kegiatan di sepanjang jalan tersebut, dimana nilai VCR-nya masuk kategori kritis, menunjukkan bahwa aktivitas perkotaan dan perumahan yang mendominasi lintasan jalan tersebut, sebaliknya nilai VCR-nya rendah menunjukkan lintas sepanjang jalan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian atau guna lahannya berupa guna lahan pertanian dan kehutanan.

Berdasarkan hasil perhitungan estimasi Bappeda Propinsi Jawa Barat (1998) untuk kurun waktu 2010, dengan asumsi tidak ada penambahan jaringan jalan baru, kapasitas jalan utama di KBU yakni ruas jalan Setiabudi, Surya Sumantri, Sukajadi, Cihampelas, Ir.H.Juanda, Dipati Ukur, Terusan Pateur, Pasteur, KPH Mustopa

R R R R R R R R R P P P P P P P P P V V V V V V V V V G G G G G G G G G 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 Ju m la h ij in kecamatan

sampai Cileunyi akan melebihi kapasitas jalan dengan nilai VCR di atas 1. Kegiatan-kegiatan yang dominan di sepanjang jalan tersebut adalah perkotaan dan perumahan kota. Sedangkan untuk kabupaten Bandung yakni Jalan Cikalong Wetan – Cipeundeuy, Cimahi – Cisarua, Cisarua – Lembang, Panorama (Setiabudi) – Grand Hotel (Lembang), dan Cihanjuang – Ciwaruga telah melebihi kapasitas yang ada, dimana kegiatan dominan di sepanjang jalan tersebut adalah pasar lokal dan perumahan. Secara rinci estimasi VCR Jaringan Jalan Utama KBU di Kabupaten Bandung dan Kota Bandung dapat dilihat pada Tabel 33.

Kegiatan dominan di sepanjang jalan utama tersebut yakni aktivitas perkotaan dan perumahan mencerminkan salah satu unsur morfologi kota di KBU sebagaimana yang disampaikan Hebert (1973) dalam Yunus (2005) bahwa morfologi kota tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada, blok-blok bangunan baik daerah hunian ataupun perdagangan/industri dan juga bangunan-bangunan individual. Sementara itu Smailes (1955) dalam Yunus (2005) memperkenalkan 3 unsur morfologi kota yaitu (1) unsur-unsur penggunaan lahan, (2) pola-pola jalan dan (3) tipe-tipe bangunan.

Penyebaran penggunaan lahan di KBU di atas, dimana pada KBU di luar Kota Bandung, telah menunjukkan kenampakkan kekotaan dan areal batas kota (built up area) jauh melampaui batas administrasi kota Bandung. Berdasarkan eksistensi batas fisik kota berada jauh dari batas administrasi kota (spill urban area) tersebut, maka kondisi Kota Bandung sebagai pusat Kota KBU dinamakan “under bounded city”. Pada kondisi kenampakan kekotaan dan areal batas kota yang jauh melampaui batas administrasi kota memungkinkan munculnya beberapa permasalahan d pengaturan wilayah. Wewenang pemerintah Kota Bandung untuk merencanakan wilayahnya hanya terbatas pada daerah yang terletak di dalam batas administrasi pemerintahan kota. Sementara itu untuk daerah kekotaan yang terletak di luar batas Kota Bandung menjadi wewenang pemerintah daerah yang lain yakni Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi. Perbedaan ini terlihat dari arah kebijakan tata ruang yang telah dikemukakan dalam sub bab sebelumnya.

Tabel 33. Estimasi Nilai VCR Jaringan Jalan Utama KBU

No. Nama Jalan VCR Tahun 2010 Kategori Zona Kegiatan Utama

(1) (2) (3) (4) (5)

I Kb Bandung Barat dan Kb Bandung

1. Cikalong Wetan – Cipeundeuy ≥ 1.0 Kritis Perumahan perdesaan/pasar 2. Cimahi – Cisarua ≥ 1.0 Kritis Perumahan kota/pasar/industri 3. Cisarua – Lembang ≥ 1.0 Kritis Perumahan/Pasar/ pemerintahan 4. Lembang – Maribaya 0 – 0.5 Stabil Pertanian/wisata

5. Panorama – Grand Hotel ≥ 1.0 Kritis Perumahan/perhotelan

6. Cisarua – Situ Lembang 0 – 0.5 Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 7. Patrol – Palintang 0 – 0.5 Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 8. Sentral – Ciwaruga 0 – 0.5 Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 9. Padalarang – Sp Cisarua 0.5 – 0.8 Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 10. Cihanjuang – Cisarua 0.5 – 0.8 Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 11. Cihideung – Ciwaruga 0 – 0.5 Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 12. Cihanjuang – Ciwaruga ≥ 1.0 Kritis Perumahan

13. Cileunyi – Palintang 0 – 0.5 Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 14. Padasuka – Cimenyan 0 – 0.5 Stabil Pertanian/perumahan perdesaan II Kota Bandung

1. Setiabudi (UPI ke atas) > 2.0 Kritis Perumahan 2. Setiabudi (UPI ke bawah 1.0 - 2.0 Kritis Perkotaan 3. Gegerkalong 0.8 – 1.0 Tidak stabil Perumahan

4. Surya Sumantri > 2.0 Kritis Perkotaan

5. Sukajadi > 2.0 Kritis Perkotaan

6. Cipaganti 0.8 – 1.0 Tidak stabil Perkotaan

7. Cihampelas > 2.0 Kritis Perkotaan

8. Ciumbuleuit 0.8 – 1.0 Tidak stabil Perumahan kota/perkotaan

9. Siliwangi > 2.0 Kritis Perumahan kota/perkotaan

10. Tamansari 0 – 0.8 Tidak stabil Perumahan kota/perkotaan 11. Ir. H. Juanda (bawah simpang) > 2.0 Kritis Perkotaan

12. Ir.H. Juanda (atas simpang) 0.8 – 1.0 Tidak stabil Perumahan/perkotaan

Tabel 33 (lanjutan)

No. Nama Jalan VCR Tahun 2010 Kategori Zona Kegiatan Utama

(1) (2) (3) (4) (5)

14. Terusan Pasteur >2.0 Kritis Perkotaan

15. Pasteur 1.0 – 2.0 Kritis Perumahan/perkotaan

16. Surapati 0.8 – 1.0 Tidak stabil Perkotaan

17. KPH Mustopa > 2.0 Kritis Perkotaan/perumahan

18. Raya Sindanglaya > 2.0 Kritis Perumahan/perkotaan 19. Raya Ujungberung > 2.0 Kritis Perumahan/perkotaan

20. Raya Cibiru > 2.0 Kritis Perumahan/perkotaan

Keterangan:

VCR = Volume – Capacity Ratio

Nilai VCR < 0.85: stabil; 0.85 < VCR < 1.0: tidak stabil; VCR > 1.0 kritis *) asumsi tanpa penambahan perubahan sistem jaringan jalan

Perembetan kenampakkan kekotaan (urban sprawl) dari Kota Bandung yang masuk KBU ke wilayah KBU Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi disebabkan meningkatnya penduduk kota Bandung maupun aktivitasnya. Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota dengan cara pengambil alih lahan non urban oleh penggunaan lahan urban (invasion) di daerah pinggiran kota atau telah terjadi pengusiran (explusion) guna lahan non-urban oleh guna lahan urban.

Melihat gejala perembetan kenampakan kota di KBU yang mengikuti jalur utama transportasi seperti di atas, maka perluasan areal kekotaan (urban sprawl) di KBU masuk kategori perembetan memanjang (ribbon development/lineair development/ axial development). Menurut Yunus (2005), pada kondisi ini daerah sepanjang rute transportasi utama merupakan tekanan paling berat dari perkembangan. Membumbungnya harga lahan pada kawasan ini telah memojokkan pemilik lahan pertanian pada posisi yang sangat sulit. Karakteristiknya adalah makin banyaknya konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian, makin banyaknya penduduk melakukan kegiatan non-pertanian, serta makin padatnya bangunan, sehingga mempengaruhi kegatan pertanian.

Dengan adanya pusat-pusat pertumbuhan yang menyebar di KBU yang dihubungkan satu sama lain oleh jalan utama seperti yang diuraikan pada sub bab di atas dan jenis perembetan yang masuk kategori “ribbon development”, maka model bentuk kota di KBU dengan pusatnya Kota Bandung adalah model stellar atau radial dengan jalur yang tidak merata ke semua arah. Pada masing-masing lidah terbentuk pusat-pusat pertumbuhan subdistrik (subsidiary centers) yang berfungsi memberi pelayanan pada areal kekotaan yang letaknya agak jauh dari pusat kegiatan utama (Kota Bandung). Pada bagian-bagian yang menjorok ke dalam tumbuh permukiman yang dibangun mandiri oleh masyarakat atau oleh pengembang. Di luar permukiman tersebut, pada kondisi topografis adalah curam pada umumnya ditanami tanaman menahun (pohon-pohonan), tetapi pada kondisi tanahnya relatif datar ditanami oleh tanaman semusim berupa sayuran dan palawija.

b. Deferensiasi Zona Guna Lahan KBU

Dengan kondisi perembetan yang masuk kategori “ribbon development” dan bentuk kotanya adalah stellar, maka deferensiasi penggunaan lahan di KBU bertitik tolak dari dua pusat pertumbuhan di masing-masing jalan utama. Hal ini sesuai karakteristik kota yang berbentuk stellar, pada masing-masing lidah akan terbentuk pusat-pusat pertumbuhan subdistrik (subsidiary centers) yang berfungsi memberi pelayanan pada areal kekotaan yang letaknya agak jauh dari pusat kegiatan utama (Kota Bandung).

Dalam kondisi kota berbentuk stelar, maka model konseptual deferensiasi penggunaan lahan tidak sepenuhnya berlaku, dan model segitiga penggunaan lahan desa-kota (rural-urban land use triangle) tidak tunggal lagi melainkan triple yaitu model segitiga penggunaan lahan kota-desa, model segitiga penggunaan lahan desa-kota dan berlanjut menjadi model penggunaan desa-kota-desa, di setiap jalan utama. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Yunus (2005) bahwa keberadaan jalur transportasi, titik pertumbuhan, peraturan-peraturan zoning, spekuliasi lahan adalah beberapa contoh unsur-unsur penyebab terjadinya distorsi model ideal tersebut.

Adapun kondisi struktural deferensiasi zona guna lahan berdasarkan ciri penggunaan lahan kekotaan dan kedesaan di setiap kabupaten yang desa-desanya masuk KBU, sebagaimana tabel berikut.

Tabel.34. Deferensiasi Zona Guna Lahan Setiap Kabupaten/Kota KBU Kabupaten/Kota Rural Area Rural Fringe Urral Fringe Urban Fringe Urban Area Jml Desa/Kel Kab. Bandung Barat 23,91% 43,48% 13,04% 15,22% 4,35% 46 Kab. Bandung 11,11% 44,44% 33,33% 11,11% 0,00% 9

Kota Cimahi 0,00% 0,00% 25,00% 62,50% 12,50% 8

Kota Bandung 0,00% 12,90% 35,48% 22,58% 29,03% 31 Berdasarkan data pada tabel di atas, dari 46 desa di Kabupaten Bandung Barat yang masuk wilayah KBU didominasi desa kategori Rural Fringe yakni sebanyak 23 desa (43%), kemudian Rural Area sebanyak 11 desa (24%), Urban Fringe sebanyak 7 desa (15%) dan Urban Area sebanyak 2 desa (4%). Untuk Kabupaten Bandung dari 9 desa yang masuk KBU didominasi kategori Rural Fringe sebanyak 4 desa (44%), Urral Fringe 3 desa (33%), Urban Fringe 1 desa (11%), dan Rural Area 1 desa (11%).

Untuk Kota Cimahi dari 8 kelurahan yang masuk KBU didominasi Urban Fringe 5 kelurahan (62,5%), kemudian Urral Fringe 2 desa (25%), dan Urban Area 1 kelurahan (12,5%). Sedangkan untuk Kota Bandung dari 31 kelurahan yang masuk KBU didominasi oleh Urral Fringe 11 kelurahan (35,5%), Urban Area 9 kelurahan (29%), Urban Fringe 7 kelurahan (22,6%), dan Rurral Fringe 4 kelurahan (12,9%).

c. Transformasi Penggunan Lahan di KBU

Berdasarkan struktur diferensial zona penggunaan lahan di atas, penggunaan lahan di KBU memiliki tingkat transformasi lahan atau baik lambat maupun cepat akan mengalami perubahan penggunaan lahan menjadi lahan permukiman. Kondisi tingkat transformasi lahan tersebut semakin mengkhawatirkan mengingat bahwa penggunaan lahan di KBU diarahkan sebagai kawasan lindung. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 181.1/SK.1624-Bapp/1982, Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat pada tahun 2004 telah melakukan evaluasi arahan penggunaan lahan yang menunjukkan kesesuaian mulai dari sawah irigasi teknis, tegalan/ladang, kebun campuran, tanaman sayuran, hingga hutan sejenis dan hutan lebat. Namun penggunaan lahan tersebut memiliki tingkat transformasi yang berbeda tergantung keberadaanya di zona guna lahan. Maka berdasarkan keberadaan guna lahan dalam zona guna lahan, dimana tingkat ransformasi struktur penggunaan lahan untuk masing-masing zona guna lahan sangat lambat jika berada di rural area dan sangat cepat jika berada di urban area, maka tingkat transformasi penggunaan lahan dii KBU seperti tabel berikut:

Tabel 35. Tingkat Transformasi Struktur Penggunaan Lahan di KBU Penggunaan lahan Sangat

lambat Lambat Sedang Cepat

Sangat Cepat Jml desa/kel Sawah Irigasi 5,56% 27,78% 27,78% 31,48% 7,41% 54 Tegalan/ Ladang 7,14% 57,14% 21,43% 14,29% 0,00% 14 Kebun Campuran 9,09% 27,27% 36,36% 22,73% 4,55% 22 Tanaman sayuran 18,18% 45,45% 22,73% 9,09% 4,55% 22 Perkebunan (Kina dan

Karet)

75,00% 25,00% 0,00% 0,00% 0,00% 4 Hutan campuran 25,00% 37,50% 37,50% 0,00% 0,00% 8 Hutan Sejenis 28,57% 57,14% 14,29% 0,00% 0,00% 14

Berdasarkan tabel di atas, desa/kelurahan yang masih memiliki penggunaan lahan sawah irigasi berada di 54 desa/kelurahan, tegalan/ladang berada di 14 desa/kelurahan, kebun sayuran di 22 desa/kelurahan, tanaman sayuran di 22 desa/kelurahan, perkebunan (kina dan karet) di 4 desa, hutan campuran di 8 desa dan hutan sejenis (produksi) di 14 desa/kelurahan. Keberadaan penggunaan lahan tersebut akan menentukan tingkat transformasi penggunaan lahan atau perubahan penggunaan lahan sangat cepat apabila berada di zona urban area dan sangat lambat jika penggunaan lahan tersebut berada di zona ural area.

Penggunaan lahan sawah irigasi yang berada di 54 desa memiliki tingkat transformasi struktur penggunaan lahan sangat cepat sebesar 7,41%, cepat 31,48%, sedang 27,78%, lambat 27,78% dan sangat lambat 5,56%. Kemudian lahan tegalan/ladang yang berada di 14 desa/kelurahan memiliki tingkat transformasi struktur penggunahan lahan cepat sebanyak 42,9%, sedang 36,36%, lambat 27,27%, dan sangat lambat 7,14%. Sementara itu penggunaan lahan kebun campuran, yang berada di 22 desa/kelurahan, memiliki tingkat transformasi strktur penggunaan sangat cepat 4,55%, cepat 22,73%, sedang 36,36%, lambat 27,27% dan sangat lambat 9,09%. Penggunaan lahan tanaman sayuran yang berada di 22 desa/kelurahan memiliki tingkat stransformasi struktur penggunaan lahan yang sangat cepat 4,55%, cepat 9,09%, sedang 27,73%, lambat 45,45% dan sangat lambat 18,18%. Untuk penggunaan lahan perkebunan (karet dan kina) masih cukup aman yakni berada di 4 desa yang memiliki tingkat transformasi struktur penggunaan lahan lambat 25% dan sangat lambat 75%. Sedangkan hutan campuran berada di 8 desa dengan tingkat transformasi struktur penggunaan lahan sedang. Dan untuk penggunaan hutan sejenis (tanaman) yang berada di 14 desa memiliki tingkat struktur penggunaan lahan sedang 14,29%, lambat 57,14% dan sangat lambat 28,57%.

Berdasarkan uraian di atas, maka penggunaan lahan di KBU berada di zona yang memiliki tingkat transpormasi guna lahan sedang sampai sangat cepat. Dalam kondisi tingkat transformasi tersebut, maka transformasi struktur penggunaan lahan KBU akan terjadi, baik dalam waktu cepat maupun lambat. Menurut Sadyohutomo (2008), terjadinya transformasi penggunaan lahan di kawasan lindung tersebut