• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

E A: Jasa/komersil

3. Pendekatan morfologi kota (urban morphological approach)

Menurut Pontoh dan Setiawan (2009), pendekatan morfologi kota memfokuskan perhatian pada bentuk-bentuk fisikal kawasan perkotaan yang tercermin dari jenis penggunaan lahan, sistem jaringan jalan, dan blok-blok bangunan, townscape, urban sprawl, dan pola jaringan jalan sebagai indikator morfologi kota. Selanjutnya Smailes (1955) dalam Yunus (2005), telah memperkenalkan lebih dulu 3 unsur morfologi kota yaitu (1) unsur-unsur penggunaan lahan, (2) pola-pola jalan dan (3) tipe bangunan

.

Pola-pola Jalan

Pola-pola jaringan jalan akan membentuk sistem transportasi. Kaitannya dengan tata guna lahan, pergerakan lalu lintas merupakan fungsi dari tata guna lahan yang menghasilkan bangkitan lalu lintas. Bangkitan lalu lintas ini mencakup (1) lalu lintas yang meninggalkan suatu lokasi, dan (2) lalu lintas yang menuju atau tiba ke suatu lokasi, seperti diilustrasikan pada Gambar 8 (Tamin, 2000).

Gambar 8. Bangkitan dan Tarikan Pergerakan (Tamin, 2000)

Jenis tata guna lahan yang berbeda (permukiman, pendidikan, dan komersial) mempunyai bangkitan lalu lintas yang berbeda dalam jumlah arus lalu lintas, jenis lalu lintas (pejalan kaki, truk, mobil), serta lalu lintas pada waktu tertentu. Jumlah dan jenis lalu lintas yang dihasilkan oleh setiap tata guna lahan merupakan hasil dari fungsi parameter sosial dan ekonomi, seperti contoh di Amerika Serikat (Black, 1978 dalam Tamin, 2000):

 1 ha perumahan menghasilkan 60 – 70 pergerakan per minggu

 1 ha perkantoran menghasilkan 700 pergerakan kendaraan per hari, dan  1 ha tempat parkir umum menghasilkan 12 pergerakan kendaraan per hari. Contoh lain (juga di Amerika Serikat) sebagaimana Tabel 3.

Tabel 3. Bangkitan dan tarikan pergerakan dari beberapa aktivitas tata guna lahan Deskripsi aktivitas tata guna

lahan

Rata-rata jumlah pergerakan

kendaraan per 100 m2 Jumlah kajian Pasar swalayan

Pertokoan lokal Pusat pertokoan Restoran siap saji Restoran Gedung perkantoran Rumah sakit Perpustakaan Daerah industri 136 85 38 595 60 13 18 45 5 3 21 38 6 3 22 12 2 98 Sumber: Black (1978) dalam Tamin (2000)

i

d

Bangkitan pergerakan bukan saja beragam dalam jenis tata guna lahan, tetapi juga tingkat aktivitasnya. Semakin tinggi tingkat penggunaan sebidang tanah, semakin tinggi pergerakan arus lalulintas yang dihasilkannya. Salah satu ukuran intensitas aktivitas sebidang tanah adalah kepadatannya. Tabel 4 memperlihatkan bangkitan lalulintas dari suatu daerah permukiman yang mempunyai tingkat kepadatan berbeda di Inggris (Black, 1978 dalam Tamin, 2000).

Tabel 4. Bangkitan lalulintas, jenis perumahan dan kepadatannya Jenis perumahan Kepadatan permukiman (keluarga/ha) Pergerakan per hari Bangkitan pergerakan per ha

Permukiman di luar kota Permukiman di batas kota Unit rumah Flat tinggi 15 45 80 100 10 7 5 5 150 315 400 500 Sumber: Black (1978) dalam Tamin (2000)

Berdasarkan data di atas, walaupun arus lalu lintas terbesar yang dibangkitkan dari daerah permukiman di luar kota, bangkitan lalulintasnya terkecil karena intensitas aktivitasnya (dihitung dari tingkat kepadatan permukiman) paling rendah. Karena bangkitan lalu lintas berkaitan dengan jenis dan intensitas perumahan, maka hubungan antara bangkitan lalulintas dan kepadatan permukiman menjadi tidak linear (Tamin, 2000).

Pola sebaran arus lalulintas antara zona i ke zona tujuan d adalah hasil dari dua hal yang terjadi secara bersamaan, yaitu lokasi dan intensitas tata guna lahan yang akan menghasilkan arus lalulintas, dan pemisahan ruang, interaksi antara dua buah tata guna lahan yang akan menghasilkan pergerakan manusia dan/atau barang. Daya tarik suatu tata guna lahan akan berkurang dengan meningkatnya jarak (dampak pemisahan ruang). Tata guna lahan cenderung menarik pergerakan lalu lintas dari tempat yang lebih dekat dibandingkan dengan dari tempat yang lebih jauh. Pergerakan lalu lintas yang dihasilkan juga akan lebih banyak yang berjarak pendek daripada jarak yang berjarak jauh. Interaksi antar daerah sebagai fungsi dari intensitas setiap daerah dan jarak antar kedua daerah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5. Interaksi Antar Daerah

Jarak

Jauh Interaksi dapat

diabaikan Interaksi rendah

Intensitas menengah Dekat Interaksi rendah Interaksi

menengah

Interaksi sangat tinggi

Intensitas tata guna lahan antara

dua zona Kecil – kecil Kecil – besar Besar - besar Sumber: Black (1978) dalam Tamin (2000)

Berdasarkan uraian di atas, maka untuk mengetahui jenis tata guna lahan dapat diketahui dari hasil analisis lalu lintas yang ada di suatu wilayah terutama dari komponen bangkitan dan tarikan pergerakan lalu lintas.

Penggunaan lahan sebagai deferensiator tata ruang regional

Bentuk dasar morfologi kota di atas lebih ditekankan pada struktur keruangan kota lokal dalam artian bahwa struktur keruangan yang ditinjau terbatas pada areal kekotaan yang secara morfologis kompak dan bentuk penggunaan lahan seluruhnya berorientasi non-agraris. Kaitannya dengan penggunaan lahan untuk lahan kota dan desa, dilakukan melalui analisis “regional city” (kota regional). Menurut Pontoh dan Setiawan (2009), untuk membedakan jenis penggunaan lahan kekotaan dan penggunaan lahan kedesaan, pada umumnya berkaitan dengan lahan pertanian, karena sebagian besar jenis (dominansi) penggunaan tanah kedesaan selalu berorientasi dengan kegiatan pertanian, sebaliknya di kota adalah berkaitan dengan penggunaan lahan non-pertanian. Permasalahan utama sebenarnya terletak pada daerah peralihan dari kenampakan “real urban” ke kenampakan “real rural”. Di daerah peralihan inilah masalah dominansi seakan-akan menjadi kabur. Proses perubahan penggunaan lahan kota ke penggunaan lahan di desa atau sebaliknya dinamakan diferensiasi penggunaan lahan. Selanjutnya dikatakan bahwa salah satu cara perhitungan dominansi jenis penggunaan lahan kekotaan maupun kedesaan menggunakan metode segitiga penggunaan lahan desa-kota (rural-urban land use triangle) yang dikembangkan oleh Robin Pryor pada tahun 1971. Dalam teknik ini, dihitung persentase penggunan lahan kekotaan, persentase penggunaan lahan kedesaan dan persentase jarak dari lahan kekotaan utama (built-up-land) ke lahan kedesaan utama.

Subzone yang terbentuk terdiri dari (1) urban area, (2) urban fringe, (3) rural fringe dan (4) rural area.

Kemudian Yunus (2005) mengembangkannya menjadi 5 subzone dengan subzona baru untuk diferensiasi subzone pada daerah yang terletak antara “urban fringe” dan “rural fringe”, yaitu menjadi (1) urban area, (2) urban fringe, (3) urral fringe, (4) rural fringe dan (5) rural area (Gambar 9).

Gambar 9. Segitiga Penggunaan Lahan Desa – Kota (Yunus, 2005)

Untuk memudahkan penetapan secara kuantitatif, maka batasan masing-masing subzone sebagai berikut (Yunus, 2005):

Tabel 6. Ciri Zona Guna lahan

Zona Guna lahan Penjelasan

(1) (2)

Urban area Daerah dimana 100% penggunaan lahannya berorientasi kekotaan. Urban fringe area Daerah yang sebagian besar guna lahan didominasi oleh bentuk bentuk guna lahan kekotaan atau > 60% penggunaan lahannya urban land use, dan <40% penggunaan lahannya rural land use. Tereltak dari titik perbatasan “urban built up land) sampai ke jarak 40% dari titik tersebut (jarak dihitung dari urban real sampai rural real). Terjadi perubahan transformasi struktural penggunaan lahan walau tidak secepat urban area.

Urral fringe area Daerah yang persentase guna lahan kota seimbang dengan guna lahan desa berkisar antara 40 – 60%, dan dalam jangka pendek transformasi struktural penggunaan lahan akan terjadi walaupun tidak secepat pada subzone urban fringe.

A : Persentase jarak lahan kota ke desa B : Persentase guna lahan kota C : Persentas guna lahan desa D : Batas areal built-up kota E : Batas areal desa

0 25 50 75 100 100 100 75 75 50 50 25 25 0

Urban Fringe Rural Fringe Rural - Urban Fringe

A

B C

D E

Tabel 6 (lanjutan)

(1) (2)

Rural fringe area Daerah yang sebagian besar guna lahan didominasi oleh bentuk bentuk guna lahan kedesaan atau > 60% penggunaan

lahannya rural land use, dan <40% penggunaan lahannya urban land use. Tereltak dari titik perbatasan rural sampai ke jarak 40% dari titik tersebut (jarak dihitung dari urban real sampai rural real). Terjadi perubahan transformasi struktural penggunaan lahan meskipun cukup lambat.

Rural area Daerah dimana 100% penggunaan lahannya berorientasi agraris.

Pontoh dan Setiawan (2009) menyatakan urban area adalah daerah yang bentuk penggunaan lahannya betul-betul berorientasi non pertanian, sedangkan rural area adalah daerah yang bentuk penggunaan lahannya berorientasi pertanian. Sementara itu rurral-urban fringe adalah zone transisi dalam penggunaan lahan, karakteristik dan sosial dan demografi, terteletak diantara (a) lingkungan terbangun perkotaan dan kawasan subperkotaan dari pusat kota; dan (b) kawasan penyangga kedesaan, dicirikan oleh hampir tidak ditemuinya permukiman tanpa lahan pertanian. Sedangkan Rustiadi et al (2009) menamakan daerah transisi tersebut sebagai kawasan spekulasi (Sinclair urban fringe), yang mana penggunaan lahan jangka pendek tergantung pada rencana pembangunan yang akan datang.

Berdasarkan kondisi di atas, menurut Sinclair (2002) terkait dengan keberlanjutan pembangunan secara ekologi, rural area adalah sebagai sumber makanan dan serat (ekonomi), fitur keanekaragaman hayati dan alam (lingkungan), dan tempat tinggal dan bekerja (modal sosial). Menurut Pontoh dan Setiawan (2009) dan Russwurm (1980) dalam Yunus (2005) membagi zona antar real urban dan real rural ke dalam 3 subzona yaitu (1) inner fringe, (2) outer fringe, dan (3) urban shadow zone, seperti diilustrasikan pada Gambar 10.