• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN dan KESETARAAN GENDER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN dan KESETARAAN GENDER"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Observasi lapangan pada 16-23 Mei 2018

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN dan KESETARAAN

GENDER

Tim Penyusun:

Herman Teturan : (15520094)

Marliana : (15520206)

Fransiskus Dirgantara Pantas : (15520046)

Paulus Kristianto Syukur : (15520045)

Abstrak

Laporan ini menyoroti maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan di kota Yogyakarta. Tribunjogja.com, pada 11 Maret 2018 melaporkan bahwa kekerasan terhadap perempuan di DIY sangatlah marak, dan dominan terjadi di kota Yogyakarta. Dalam tiga tahun terakhir, jumlahnya mencapai 1.520 kasus. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan empat kabupaten di DIY. Focus kasus ini kemudian memandu kelompok untuk menyasar Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan Dan Perlindungan Anak Kota Yogyakarta; khususnya bidang pemberdayaan perempuan yang menaungi seksi pengaruutamaan gender dan perlindungan perempuan sebagai lokus observasi. Dari observasi ini ditemukan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan implikasi dari diskursus patriarkis yang sangat kuat. Solusi dari dinas tidak mampu menyelesaikan persoalan,bahkan berpotensi menciptakan ketimpangan baru. Konsepsi kesetaraan gender dari dinas pun, sangat memungkinkan untuk menciptakan ketimpangan baru.

(2)

Observasi lapangan pada 16-23 Mei 2018

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA

DATA KEKERASAN BERDASARKAN JENIS KELAMIN KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2013-2017

JENIS KELAMIN UMUR

Tahun L P J 0-17 <18 J 2011 21 121 142 27 115 142 2012 34 231 265 55 210 265 2013 43 648 691 103 588 591 2014 65 577 642 142 500 642 2015 38 588 626 86 540 626 2016 35 508 544 88 456 544 2017 45 209 254 58 196 254

Sumber: Profil Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan Dan Perlindungan Anak Kota Yogyakarta 2017

DATA KEKERASAN BERDASARKAN JENIS KEKERASAN KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2013-2017 TAHU N JU M LAH F IS IK P S IKIS P ERKOSAAN PEL ECE HA N S ES UA L P ENCABU LAN P ENEL AN TARAN EKS P LOIT ASI TRAF F ICKIN G JML DA TA LE NG KA P 2013 691 169 322 52 34 17 81 4 1 680 2014 642 213 183 26 83 40 52 0 0 597 2015 626 200 258 27 43 28 67 1 0 624 2016 544 191 234 32 29 9 48 0 0 543 2017 254 104 69 9 17 8 36 9 2 254

Sumber: Profil Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan Dan Perlindungan Anak Kota Yogyakarta 2017

(3)

Observasi lapangan pada 16-23 Mei 2018

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA

ANGGARAN PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN DINAS

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK KOTA YOGYAKARTA UNTUK TAHUN 2017

URAIAN APBD 2017 (RP)

ANGGARAN 6.943.046.331

BELANJA TIDAK LANGSUNG 1.911.078.461

BELANJA LANGSUNG 5.031.967.870

Sumber: Dokumen Laporan Kinerja Instansi Pemerintahan 2017 Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan Dan Perlindungan Anak Kota Yogyakarta

KEGIATAN PEMBINAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER

a. Pendampingan anggaran respinsif gender 45 SKPD

b. Pendampingan kelompok sadar gender 1 gugus tugas

c. Penyusunan data terpilah 1 dokumen

d. Pendampingan kelembagaan organisasi perempuan

(GOW, DWP, TPA Prabhadarma) 14 organisasi

Sumber: Dokumen Laporan Kinerja Instansi Pemerintahan 2017 Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan Dan Perlindungan Anak Kota Yogyakarta

KEGIATAN PEMBINAAN PARTISIPASI DAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN

a. Pembentukkan dan pendampingan kelompok rintisan usaha 27 kelompok

b. Pendampingan P2WKSS 6 kelurahan

c. Pendampingan UP2K-PKK 45 kelurahan

d. Pendampingan usaha perempuan kepala korban kekerasan 20 KK

e. Pendampingan GSI 1 pokjatap

f. Pendampingan FPKK 1 forum

g. Pendampingan gugus tugas PTPPO 1 gugus tugas

Sumber: Dokumen Laporan Kinerja Instansi Pemerintahan 2017 Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan Dan Perlindungan Anak Kota Yogyakarta

(4)

Observasi lapangan pada 16-23 Mei 2018

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA Latar Belakang Masalah

Di kota Yogyakarta, tindak kekerasan terhadap perempuan sudah menjadi momok yang menakutkan. Sebuah kota yang dilabeli sebagai kota pendidikan yang dipercaya menyumbangkan sebagai besar amunisi untuk memotori peradaban bangsa ini, ternyata juga tidak luput dari praktik-praktik misoginis seperti ini. Berbagai bentuk tindak kekerasan yang menyasar kaum perempuan adalah persoalan yang nyata di bumi istimewa ini. Di lingkup kota yang terkenal dengan slogan “Jogja Berhati Nyaman” ini, kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah persoalan tersendiri yang belum terselesaikan secara maksimal. Merujuk pada berita yang dilansir dari Tribunjogja.com1, berdasarkan data yang dilansir Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) DIY, setiap tahunnya, lebih dari 1.200 kasus kekerasan terhadap perempuan, terjadi di wilayah DIY. Jika dibandingkan dengan total penduduk, jumlah itu tentu masih cukup tinggi. Meski terjadi penurunan dalam tiga tahun terakhir, namun selisihnya tidak terlalu signifikan. Benar saja, pada 2015 silam, angka kekerasan terhadap perempuan di DIY mencapai 1.328 kasus. Kemudian, jumlahnya berangsur menurun, pada 2016 (1.268) dan 2017 (1.227). Ironisnya, sebagian besar kekerasan terhadap perempuan, terjadi di kawasan perkotaan, atau dalam hal ini Kota Yogyakarta. Dalam tiga tahun terakhir, jumlahnya mencapai 1.520 kasus. Angka tersebut, jauh lebih tinggi dibandingkan empat kabupaten di DIY (Minggu, 11 Maret 2018). Jumlah kasus dengan angka yang sangat fantastis di atas sudah barangtentu menjadi beban tersendiri serta menjadi sebuah pekerjaan rumah yang besar bagi Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan Dan Perlindungan Anak Kota Yogyakarta (DPMPPA), khusus yang membidangi pemberdayaan perempuan (beserta seksi terkait di dalamnya).

Namun, yang sangat disayangkan dari keseluruhan isi berita yang disajikan oleh Tribunjogja adalah komentar dari Kepala Bidang Perlindungan Hak-Hak Perempuan BPPM DIY, Waty Maliawati, mengatakan bahwa tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di kawasan perkotaan, sangat erat kaitannya dengan tuntutan, atau tekanan ekonomi keluarga yang begitu tinggi. "Faktor gaya hidup sangat berpengaruh di sini. Saat gaji suami terbatas, tuntutan dari istri begitu tinggi. Kemudian, yang terjadi adalah pertengkaran yang berujung

1 Angka Kekerasan Perempuan di DIY Tinggi, Mayoritas Terjadi di Perkotaan, dalam:

http://jogja.tribunnews.com/2018/03/11/angka-kekerasan-perempuan-di-diy-tinggi-mayoritas-terjadi-di-perkotaan (diakses pada 21 Maret 2018).

(5)

Observasi lapangan pada 16-23 Mei 2018

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA

pada kekerasan. Sedangkan di pedesaan kan masyarakatnya lebih nerima," katanya.2 Wacana yang dibangun oleh sang kabid sangat jelas, yakni sekali lagi memposisikan perempuan sebagai akar persoalan dalam masyarakat; sekalipun pada saat yang sama ia justeru adalah korban. Kita patut mencurigai pengaruh dari wacana patriarkis yang turut membangun struktur pemikiran sang kabid hingga beliau (sebagai public figure) memberikan statement demikian. Pertama, sang kabid tampak mengsimplifikasi persoalan kekerasan terhadap perempuan sebatas mengakar pada persoalan tuntutan ekonomi semata. Cara pandang ini mengesampingkan diskursus ketimpangan gender kontemporer yang justeru menukik akar persoalannya dalam wacana public yang hadir dalam bentuk bangunan pengetahuan modern serta berbagai statement yang dilontarkan oleh public figure yang menyumbangkan legitimasi kuat bagi ketimpangan gender.3 Sebagaimana yang dijelaskan pula oleh Rifka Annisa, Women’s Crisis Center Yogyakarta, bahwa wacana yang dibangun oleh sang kabid ini juga meripakan kondisi social atau lingkugan yang dibutuhkan dalam melahirkan kekerasan-kekerasan baru terhadap perempuan.4 Kedua, pernyataan dari sang kabid juga tampak menodai perjuangan keadilan gender yang telah lama digagas pada masa Kongres Perempuan Indonesia yang (bahkan) secara tersurat dalam pidato Djami dari organisasi Darmo Laksmi berjudul “Iboe”.5 Pidato ini

menyiratkan sebuah upaya keras dari perempuan Indonesia pada masa itu untuk menangkal dominasi pandangan patriarkis yang selalu menempatkan perempuan untuk mengurusi urusan internal rumah sebagai penentu dari makna keberadaannya, sedangkan laki-laki adalah pihak yang bertanggungjawab mencari nafkah di luar rumah. Namun, sang kabid berkata lain. Melalui narasi yang ia bangun,

“Saat gaji suami terbatas, tuntutan dari istri begitu tinggi . . .”

tampak mengisyaratkan sebuah pemahaman tersirat bahwa perempuan memang adalah pihak yang berada di rumah yang menunggu sang suami untuk pulang dari tempat kerja karena

2 Ibid . . .

3 Adji, Muhamad, Dkk, 2009, “Konstruksi Relasi Laki-Laki Dan Perempuan Dalam System Patriarki: Kajian Terhadap Karya Djenar Maesa Ayu Dengan Pendekatan Feminisme”, Universitas Padjajajran, Bandung. Hal

20-21

4 Kasus Kekerasan terhadap Perempuaan di Yogyakarta Tinggi, dalam:

https://nasional.tempo.co/read/767246/kasus-kekerasan-terhadap-perempuaan-di-yogyakarta-tinggi (diakses pada 21 Maret 2018)

5 Sejarah Hari Ibu 22 Desember Berawal dari Yogyakarta, dalam:

(6)

Observasi lapangan pada 16-23 Mei 2018

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA

suamilah yang bertanggungjawab untuk itu, sedangkan isteri hanya berada di rumah dan menunggu hasil kerja dari sang suami. Tidak lebih.

Komposisi pemahaman gender seperti ini lah yang justeru hendak ditumbangan oleh berbagai rupa gerakan menuntut kesetaraan gender yang juga semestinya menjadi gerakan dari sang kabid. Sejumlah upaya perlawanan terhadap dominasi cara pandang patriarkis seperti ini telah banyak dilakukan, yang paling banter adalah upaya dari Judith Butler dalam merumuskan performativitas untuk membuktikkan tuduhannya bahwa seks dan gender tidak lah lebih dari sekedar pertunjukkan drag. Perumusan sex dan gender selalu bergerak dalam ranah relasi kuasa.6 Namun menjadi sebuah persoalan yang amat besar tatkala keberadaan sebuah lembaga (dinas) yang pada intinya berupaya memperjuangkan kesetaraan gender antar laki-laki dan perempuan, sebuah lembaga yang pada esensi keberadaannya bertujuan membebaskan perempuan dari segala bentuk tindak kekerasan dan ketidakadilan justeru malah terjebak dalam pandangan yang (patriarkis) menjadi akar segala ketidakadilan yang terjadi pada perempuan itu sendiri.

Selain itu, dengan lokus serta focus persoalan yang sama, sejumlah penelitian yang mengkaji persoalan kekerasan terhadap perempuan di kota Yogyakarta juga tidak mampu menunjukkan akar kekerasan itu sendiri sehingga menyajikan sejumlah rekomendasi yang cenderung tidak menjawab persoalan tersebut. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Bidari Christy Tarakanita pada 20137 sekedar memotret pucuk dari kasus kekerasan ini sehingga kemudian mengusulkan proposal konstitutif yakni: penguatan regulasi dalam mengatasi terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan. Hal ini menjadi sangat rentan karena, dengan tidak menunjukkan akar kekerasan terhadap perempuan, rekomendasi Bidari tergolong kuratif sehingga tetap meninggalkan ruang bagi terjadinya pengulangan kasus yang sama. Selain itu,

6 Butler, Judith Dalam Moh Yasir Alimi, Dkk, 2013, “Manusia, Perempuan, Laki-Laki (Judith Butler: Gender

Dan Sex Sebagai Pertunjukkan)”, Komunitas Salihara, Jakarta.

“…bagi Butler, Gender, bahkan seks, bagi Butler adalah “pertunjukan”, bukan esensi, atau ekspansi seks yang ada pada tubuh. Bagi Butler, gender adalah drag, atau seperti drag, yaitu pertunjukan waria untuk menguji dan membuktikan mereka telah menghasilkan femininitas yang sebenarnya. Dalam pertunjukan itu, para juri telah mengetes dan mengesahkan kehalusan kulit, kegemulaian gerak, kelembutan suara. Gender kita semua adalah “pertunjukan” atau hasil pertunjukan seperti itu. Para jurinya adalah teman kita, orang tua kita, media dan sebagainya.” Hal 63-68

7 Karatanita, Bidari Christy, 2013, “Perlindungan Hukum Oleh Badan Pemberdayaan Perempuan Dan Masyarakat Kepada Korban Kekerasa Dalam Rumah Tangga (Studi Di Badan Pemberdayaan Perempuan Dan Masyarakat)”, Jurnal Ilmiah, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang

(7)

Observasi lapangan pada 16-23 Mei 2018

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA

salah satu studi yang dilakukan oleh Nur Djazifah ER pada 20018 juga memaparkan sebuah narasi serta rekomendasi yang bagi kelompok tampak melenceng jauh dari persoalan yang ada. Dalam studi yang dilakukannya, Nur mengajukan sebuah simpulan yang sungguh naif yakni; memperketat aturan terkait pelarangan bagi pedagang untuk menginap di pasar kota demi menghindari terjadinya tinadak kekerasan. Simpulan ini bagi kelompok tampak tidak menjawab persoalan yang sedang Nur teliti. Kelompok melihat bahwa Nur menampik atau bahkan mengabaikan potensi lain yang mengakibatkan tindakan kekerasan tersebut terjadi, misalnya terkait lemahnya keamanan atau penjagaan di pasar kota, akses lokasi antara pasar kota dan tempat asal pedagang yang jauh dan memakan biaya, sampai pada ketiadaan sumber daya ekonomi dan politik yang dimiliki oleh si pedagang untuk mengakses jenis pekerjaan yang mampu menghindarinya dari tindak kekerasan serupa. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Faisal,9 dkk juga bagi kelompok belum mampu atau gagal menunjukkn gugatan yang serius terhadap wacana patriarkis yang bagi kelompok merupakan salah satu akar ketimpangan gender yang melahirkan tindak kekerasan terhadap perempuan. Kelompok melihat kegagalan ini bertumpu pada pembacaan atau analisis data yang digunakan oleh Faisal, dkk yang tidak berusaha menempatkan budaya patrarkis dalam bingkai wacana (discourse); sehingga alih-alih menggunakan discourse analysis, budaya patriarki ini oleh Faisal justeru dinarasikan melalui pendekatan deskriptif.

Atas dasar segala persoalan yang telah dipaparkan diatas, maka kelompok kemudian tertarik untuk mencoba menggali serta memperlajari sejumlah program kerja bidang pemberdayaan perempuan terkait pengarusutamaan gender, pemberdayaan dan prlindungan perempuan; yang tampak belum menjadi jawaban akan segala persoalan terkait kekerasab terhadap perempuan atau dengan kata lain keberadaan DPMPPA Kota Yogyakarta yang membawahi bidang pemberdayaan perempuan masih belum mampu mengatasi persoalan kekerasan terhadap perempuan. Secara garis besar, penelitian ini merupakan upaya kelompok untuk meninjau atau menelusuri potret dari fenomena tindak kekerasan yang terjadi pada

8 ER, Nur, Djazifah, 2001, “Tindak Kekerasan Terhadap Wanita Pedagang Menginap Di Pasar Kota Yogyakarta”, Jurnal Penelitian Humaniora, Nomor I/VI, Tahun Ke-6, 2001. Hlm: 47-67

9Faisal, Muhammad, dkk “Pemahaman Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Terhadap Kekerasan

Pada Perempuan Dan Anak”, dalam:

http://www.academia.edu/26693512/Pemahaman_Masyarakat_Daerah_Istimewa_Yogyakarta_DIY_terha dap_Kekerasan_pada_Perempuan_dan_Anak (diakses pada 21 Mei 2018).

(8)

Observasi lapangan pada 16-23 Mei 2018

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA

perempuan yang ada di kota Yogyakarta serta mencoba memahaminya dari segi kesetaraan gender.

Rumusan Masalah

Mengacu pada bentuk persoalan yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, maka kelompok hendak menelusuri potret dari fenomena tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan yang ada di kota Yogyakarta serta mencoba memahaminya dari segi kesetaraan gender pada dua pertanyaan pokok:

“Apa yang melatarbelakangi tindakan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di kota Yogyakarta serta bagaimana upaya dari DPMPPA Kota Yogyakarta mencegah terjadinya tindakan kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari upaya mewujudkan kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki di kota Yogyakarta?”

Tujuan Laporan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi-potensi terjadinya tindakan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di kota Yogyakarta, serta meninjau upaya dari DPMPPA Kota Yogyakarta mencegah terjadinya tindakan kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari upaya mewujudkan kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki di kota Yogyakarta.

Metode Pengumpulan Data

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (1975) dalam Moleong (2011)10 Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Melalui cara ini, peneliti akan berusaha untuk mencari dan menemukan data-data yang dapat menunjukkan potensi-potensi yang melatarbelakang terjadinya tindak

(9)

Observasi lapangan pada 16-23 Mei 2018

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA

kekerasan terhadap perempuan di kota Yogyakarta serta menarasikan berbagai bentuk upaya yang telah dilakukan oleh DPMPPA Kota Yogyakarta mencegah terjadinya tindakan kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari upaya mewujudkan kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki di kota Yogyakarta.

2. Unit Analisis

Unit analisis dari sebuah penelitian meliputi obyek dan subyek dari penelitian tersebut. Penelitian ini mengambil obyek tentang kekerasan terhadap perempuan di kota Yogyakarta serta upaya mengatasinya dari DPMPPA Kota Yogyakarta dan subyeknya yaitu, warga masyarakat kota Yogyakarta, DPMPPA Kota Yogyakarta khususnya bidang pemberdayaan perempuan, beserta seksi terkait di dalamnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Husaini dan Purnomo (2006),11 ada empat tekhnik pengumpulan data yaitu observasi, wawancara, angket, dan dokumentasi.

a. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi merupakan proses yang kompleks, yang tersusun dari proses biologis dan psikologis. Dalam menggunakan tekhnik observasi yang terpenting adalah mengandalkan pengamatan dan ingatan si peneliti. Melalui tekhnik ini, peneliti akan berusaha lebih banyak untuk menemukan data dengan cara mendengar dan mengamati berbagai fenomena tindak kekerasan terhadap perempuan di kota Yogyakarta beserta dengan sejumlah upaya dari upaya mengatasinya dari DPMPPA Kota Yogyakarta untuk mengatasinya.

b. Wawancara

Wawancara adalah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung. Dengan tekhink ini, peneliti akan berusaha untuk menemukan data atau informasi melalui tanya jawab secara langsung dengan subyek penelitian yang ada. Wawancara ini akan menyasar 4 orang narasumber dari pihak DPMPPA Kota Yogyakarta untuk mengatasinya, yang terdiri dari kepala dinas, kepala bidang pemberdayaan perempuan, kepala seksi pengarusutamaan gender serta kepala seksi perlindungan perempuan. Selain itu, peneliti juga akan berusaha untuk melakukan

(10)

Observasi lapangan pada 16-23 Mei 2018

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA

wawancara dengan 3 orang warga masyarakat dalam upaya mendalami persoalan yang sedang diteliti.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah tekhnik pengambilan data melalui dokumen-dokumen. Data-data yang dikumpulkan melalui tekhnik dokumentasi cenderung merupakan data sekunder, sedangkan data yang dikumpulkan dengan tekhinik observasi, wawancara, dan angket cenderung merupakan data primer atau data yang langsung didapati dari pihak pertama. Melalaui tekhnik ini, peneliti akan berupaya untuk mengumpulkan profil DPMPPA Anak Kota Yogyakarta, LAKIP DPMPPA Kota Yogyakarta, serta sejumlah tupoksi dari bidang pelaksana yang ada demi menambah data untuk memperkaya analisis terkait persoalan yang sedang diteliti.

Hasil Lapangan

a. Profil Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan Dan Perlindungan Anak (DPMPPA) Kota Yogyakarta

Dibawah ini merupakan struktur DPMPPA kota Yogyakarta:

(11)

Observasi lapangan pada 16-23 Mei 2018

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA

DPMPPA kota Yogyakarta menjabarkannya dalam visi misi tujuan dan sasaran sebegai berikut:

Visi:

“ terwujudnya kemandirian ,keadilan dan kesetaraan gender serta perlindungan anak” Misi:

1. Meningkatkan partisipasi masyarakat dan kelembagaan maasyrakat dalam pembangunan

2. Mewujudkan kebijakan yang responsif gender berkesetaraan dan berkeadilan gender

3. Mewujudkan kebijakan perlindungann dan pemenuhan hak anak Tujuan:

1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat

2. Meningkatkan perlindungan perempuan dan anak Sasaran:

1. Pemberdayaan masyarakat meningkat

2. Perlindungan perempuan dan anak meningkat Strategi:

1. Peningkatan pemberdayaan masyarakat

2. Peningkatan pemberdayaan dan perlindungan perempuan 3. Peningkatan perlindungan anak

Kebijakan:

1. mengoptimalkan fungsi kelembagaan kemasyarakatan 2. meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan 3. meningkatkan pemberdayaan mayarakat berbasis kampong 4. mengoptimalkan organisasi perempuan

5. meningkatkan penangganan terhadap perempuan korban kekerasan

6. meningkatkan layanan pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (P2TP2A)

(12)

Observasi lapangan pada 16-23 Mei 2018

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA

8. meningkatkan penanganan terhadap anak korban kekerasan 9. fsilitasi taman pendidikan anak

Melanjutkan benang merah kebijakan di atas, maka bidang pemberdayaan dan perlindungan perempuan melalui Program pemberdayaan dan perlindungan perempuan dengan sejumlah Kegiatan, seperti:

1. Pembinaan pengarusutamaan gender 2. Pembinaan partipasi

3. Operasional UPT P2TP2A

Secara lebih spesifik lagi Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2016 Tentang Susunan Organisasi, Kedudukan, Tugas, Fungsi Dan Tata Kerja Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan Dan Perlindungan Anak Kota Yogyakarta, dalam pasal 14 dijelaskan bahwa Bidang Pemberdayaan Perempuan dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang mempunyai tugas membantu Kepala Dinas dalam merumuskan kebijakan, mengkoordinasikan, membina, mengawasi dan mengendalikan program di bidang pemberdayaan perempuan. Untuk melaksanakan tugas tersebut, ketentuan ketentuan lebih lanjut terkait fungsi bidang ini diantaranya adalah: pelaksanaan kebijakan dan penyiapan bahan koordinasi penyusunan program kerja di bidang pengarusutamaan gender , pemberdayaan dan Perlindungan perempuan; perencanaan kegiatan, penyusunan petunjuk teknis dan naskah dinas di bidang bidang pengarusutamaan gender, pemberdayaan dan Perlindungan perempuan; pengkoordinasian, pengembangan dan fasilitasi program di bidang bidang pengarusutamaan gender, pemberdayaan dan Perlindungan perempuan; pembinaan, pengawasan dan pengendalian program di bidang bidang pengarusutamaan gender, pemberdayaan dan Perlindungan perempuan; pelaksanaan monitoring, evaluasi, dan pelaporan program di bidang pengarusutamaan gender, pemberdayaan dan perlindungan perempuan.

Untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut, maka bidang ini dibagi kedalam dua seksi yang diatur pada pasal 15 dan pasal 16 tentang seksi pengarusutamaan gender dan seksi perlindungan perempuan. Ketentuan ini menyatakan bahwa Seksi Pengarusutamaan Gender dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan, koordinasi, pembinaan, pengawasan, pengendalian dan pemberian bimbingan kegiatan di bidang pengarusutamaan gender. Sedangkan Seksi Perlindungan Perempuan dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang

(13)

Observasi lapangan pada 16-23 Mei 2018

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA

mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan, koordinasi, pembinaan, pengawasan, pengendalian dan pemberian bimbingan kegiatan di bidang perlindungan perempuan.

b. Uraian Spesifik Analisis Program (Lakip)

Dengan berfokus pada pelaksanaan kebijakan dalam hal perlindungan perempuan serta pengentasan kasus tindakan kekerasan terhadap perempuan serta pelaksaan kebijakan yang menopang kesetaraan gender, maka kelompok secara spesifik menyasar keberdaan dari bidang pemberdayaan perempuan beserta kedua seksi terkait: seksi pengarusutamaan gender dan seksi perlindungan perempuan. Merujuk pada laporan yang dicantumkan pada dokumen Lakip 2017, program pembedayaan dan perlindungan perempuan dari DPMPPA kota Yogyakata, dilaksanakan melalui dua kegiatan yakni kegiatan pembinaan pengarusutamaan gender dan kegiatan pembinaan partisipasi dan perlindungan perempuan. Melalui kegiatan pembinaan pengarusutamaan gender sendiri, anggaran yang dialokasikan sejumlah Rp 668.816.076,00 dan yang terserap atau terrealisasi adalah Rp 624.401.257,48. Hal ini kemudian menjadi dasar bagi laporan dinas yang mencantumkan pencapaian target dari kegitan ini sebesar 93, 36%. Laporan yang tidak jauh berbeda juga menjadi dasar bagi laporan kesuksesan kegiatan pembinaan partsipasi dan perlindungan perempuan sebesar 96,51%.

Meskipun demikian, kelompok justeru melihat lebih jauh bahwasannya prosentase pencapaian target yang dilaporkan oleh dinas dalam menilai kinerjanya sekedar dilihat dari segi jumlah atau kuantitas realisasi anggaran atau alokasi dana yang dikucurkan untuk sebuah program atau masing-masing kegiatan. Logika yang diamini oleh dinas dalam hal ini adalah bahwa “semakin banyak kegiatan maka semakin banyak anggaran yang akan diserap. Semakin banyak anggaran yang terserap oleh dinas, maka semakin meningkat pula kualitas kinerja dari dinas tersebut”. Pola pikir seperti ini, bagi kelompok sangatlah rentan untuk terjadinya berbagai penyimpangan. Penyimpangan yang kelompok maksudkan di sini misalkan terkait potensi adanya program-progam atau kegiatan-kegiatan fiktif. Selain itu, dalam banyak kasus sejumlah program dan kegiatan juga kebanyakan muncul secara tiba-tiba tanpa pernah disepekati bersama dengan warga masyarakat yang menjadi sasaran dari pelaksanaannya. Hal ini kemudian diperparah lagi dengan pelaksanaan program yang dilaksanakan seadanya saja.

(14)

Observasi lapangan pada 16-23 Mei 2018

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA

Hanya sekedar untuk bisa memberi bukti sahihnya sebuah laporah kegiatan. Synopsis pelayaan public kita masih berkutat pada pertunjukkan tuyul-tuyul SKPD12 seperti ini.

c. Uraian Hasil dan Pembahasan Data

Sebagaimana yang dijelaskan dalam “Profil Gender Dan Anak Kota Yogyakarta 2012 (2014)”13 bahwa kekerasan terhadap perempuan diidentifikasikan melalui segala bentuk

kekerasan yang mengakibatkan atau mungkin akan mengakibatkan penderitaan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk tindakan mengancam, memaksa atau membatasi kebebasan, baik yang terjadi di ranah public mau pun domestic. Penjelasan ini juga diamnini oleh kepala bidang pemberdayaan perempuan DPMPPA Kota Yogyakarta, Bebasari Sitarini. Melalui wawancara yang dilakukan oleh kelompok, beliau juga berusaha memperlebar domain potret kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan itu tidak melulu soal gesekan fisik, namun juga psikis. Beberapa contoh yang dikemukakan, diantaranya adalah kasus penelantaran dan juga human trafficking yang dalam sebagaian besar kasus memang ditemukan banyak perempuan yang dijadikan korban.

Indrawati yang adalah kepala Seksi Perlindungan Perempuan juga menambahkan bahwa contoh kekerasan terhadap perempuan adalah eksploitasi dan pelecehan seksual (fisik pun psikis) yang tejadi di lingkungan kerja atau pun lingkungan sekolah. Retnosari yang adalah kepala seksi pengarusutamaan gender sendiri melihat maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan terutama dikarenakan oleh kepadatan penduduk, kemiskinan, relasi keluarga yang renggang serta individualitas masyarakat perkotaan sendiri. Sementara Octo Noor Arafat yang adalah kepala DPMPPA lebih menitikberatkan pada budaya (patriarkis) sebagai akar persoalan kekerasan terhadap perempuan sendiri. Sedangkan sebagai strategi yang dilakukan oleh pihak dinas sendiri dalam merespon kasus ini diantanya melalui pelatihan, pembinaan, seminar, sosialisasi, pedampingan korban, mengadvokasi anggaran responsive gender di tingkat SKPD, pembentukkan kelompok sadar gender dan lain sebagainya.

12 Istilah tuyul-tuyul SKPD ini sendiri merupakan plesetan yang disepakati oleh kelompok untuk

mendeskripsikan berbagai manuver-manuver yang dilakukan oleh pihak dinas atau pun oleh berbagai instansi pemerintahan lainnya yang pada intinya betujuan untuk mengais dan menggeruk keuntungan ekonomis sebesar-besarnya demi mengisi kantong-kantong pribadi melalui wacana-wacana pelayanan publik.

13 Rahayu, Ninik Sri, 2014 “Profil Gender Dan Anak Kota Yogyakarta 2012”, Samartania Publishing,

(15)

Observasi lapangan pada 16-23 Mei 2018

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA

Kelompok sendiri sepakat dengan sejulah tipologi kekerasan yang diuraikan oleh sejumlah responden di atas. Tipologi di atas memang sesuai dengan usaha kelompok untuk menelusuri jejak-jejak kekerasan pada domain yang lebih luas untuk bisa mengkorelasikannya dengan konsep kesetaraan gender itu sendiri. Namun kelompok tidak sepakat dengan konsepsi sex dan gender yang dinarasikan oleh pihak dinas dalam salah satu materi kampanye (leaflet)-nya. Dalam leaflet yang bertemakan “Mencapai Kesetaraan Gender Dan Memberdayakan Kaum Perempuan Tahun 2017”, ada dikotomi yang sangat jelas antara sex dan gender. Sex adalah biologis, sedangkan gender bergerak dalam kontinuitas kultural. Sex adalah kodrati, sedangkan gender adalah produk sosialisasi atau internalisasi.

Kelompok menolak konsepsi ini karena dengan demikian, maka konsepsi ini akan mengamini adanya stable point of reference antara sex dan gender.14 Konsekwensinya adalah, konsepsi ini akan berpotensi memenjarakan perempuan dalam sebuah domestifikasi yang akan melihat fungsi produksi (hamil, menyusui, dll) sebagai konwekwensi logis dari keberadaan seorang perempuan. Padahal tidak semua perempuan bisa melahirkan, yang dalam banyak kasus bisa disebabkan karena kecelakaan, panyakit, pun karena kondisi bawaan. Pada titik ini, konsepsi sex dan gender ala DPMPPA tidak mampu menjawab persoalan ini. Lutfi, salah seorang ibu rumah tangga di kecamatan Jetis menceritakan masalah KDRT yang menimpa tetangganya. Beliau menceritakan sebuah potret kehidupan suami isteri yang selalu ribut, yang berpangkal pada ketidakpuasan sang suami dengan kondisi kekurangan sang isteri; yakni tidak bisa memberinya keturunan. Dalam kasus lain, konsepsi yang memproklamir adanya adanya stable point of reference antara sex dan gender juga menjadi benih-benih pemahaman bagi pembakuan peran serta beban ganda bagi seorang perempuan; yang sekali lagi akan menyeret seorang perempuan pada emperan subordinasi.

Selain itu, kelompok belum menemukan jawaban yang memadai dari pihak dinas dalam merespon kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, khususnya yang turut dipelihara akibat individualitas masyarakat. Di sisi lain, saat ditanyai terkait keterlibatan perempuan dalam forum Musrenbang di tingkat RT atau pun kelurahan Sri Rizki yang adalah seorang pemilik angkringan di kelurahan Baciro, Gondokusuman mengaku tidak pernah terlibat karena memang tidak perah diundang dan bahkan tidak pernah mendapat informasi soal terkait

14Seks adalah semacam bibit sedangkan gender dan desire adalah pohon, batang dan daun yang tumbuh

darinya. Inilah yang dimaksud dengan stable point of reference. Ulasan lebih jauh tentang ini dapat dibaca dalam: Moh Yasir Alimi, op,.cit, .. hlm. 64

(16)

Observasi lapangan pada 16-23 Mei 2018

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA

diadaknnya Musrenbang. Ketika disinggung soal keberadaan kelompok-kelompok sadar gender dan kelompok perempuan yang dibentuk oleh DPMPPA sebagai kanal politik perempuan; Sri berpendapat bahwa kelompok tersebut tidak ada dalam posisi untuk bersuara bagi kepentingan politik perempuan. Lebih lanjut, beliau juga menceritakan bahwa perempuan yang tergabung dalam kelompok tersebut adalah orang-orang yang memang memiliki akses secara ekonomi mau pun politik. Sehingga Sri mengakui bahwa, sungguh sangat naif sekiranya warga masyarakat (perempuan) golongan menengah kebawah berharap untuk didengar oleh pemangku kuasa melalui suara kelompok perempuan yang ada.

Sampai di sini, tidak bisa kita pungkiri bahwa upaya untuk mengintegrasikan kesetaraan gender dalam konsepsi pembangunan masih jauh panggang dari api. Formasi artikulasi politik perempuan yang digawangi oleh DPMPPA dalam berbagai bentuk pembinaan atau pun pelatihan terhadap kelompok-kelompok perempuan belum mampu menjawab ketimpangan gender di dalam struktur warga masyarakat kota Yoyakarta.

Kesimpulan

Bertolak pada ulasan yang telah dipaparkan di atas, yang juga disertakan dengan beberapa kritik melalui analisis dari kelompok; maka kelompok kemudian sampai pada bagian simpulan akhir bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan dilatarbelakangi oleh situasi ketimpangan yang direproduksi oleh diskursus kebudayaan patriarkis. Situasi ketimpangan ini akan mencapai puncaknya ditengah-tengah situasi kemiskinan, ketiadaan jaminan bagi akses sumberdaya ekonomi-politik, masyarakat yang individualist, dan lain sebagainya. Kekerasan juga dalam sejumlah kasus dapat dipicu oleh kekuatan yang berusaha melawan struktur ketimpangan, namun terjebak atau bahkan justeru terkooptasi oleh struktur itu sendiri. Hal ini misalnya seperti yang telah kelompok jelaskan dalam menanggapi konsepsi sex dan gender dari DPMPPA.

Kekerasan ini tidak sekedar mengacu pada scope kekerasan fisik, tapi juga psikis. Sejumlah upaya yang dilakukan oleh DPMPPA untuk merespon kekerasan seperti ini diantaranya adalah melalui pelatihan, sosialisasi, seminar, kampanye anti kekerasan, promosi kesetaraan gender, pembentukan serta pembinaan kelompok perempuan sebagai bagian dari upaya pemberdayaan, serta pembentukkan kelompok sadar gender, forum perlindungan perempuan advokasi anggaran responsive gender yang melibatkan sejumlah SKPD terkait.

(17)

Observasi lapangan pada 16-23 Mei 2018

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA

Kenyataannya upaya tersebut masih jauh panggang dari api sehingga tidak menjawab persoalan.

Untuk itu, kelompok menyertakan sejumlah rekomendasi; pertama, pembentukkan dan perekrutan kelompok perempuan harus melibatkan mantan korban kekerasan serta warga masyarakat yang kesulitan mendapatkan akses sumberdaya ekonomi-politik. Kondisi ini dibutuhkan, karena pola militansi bersumber dari sana. Kedua, konsepsi DPMPPA tentang sex dan gender perlu ditinjau kembali, dengan sejumlah alasan yang tertera pada bagian terdahulu. Kelompok lebih bersepakat dengan ide Butler yang melihat sex dan gender sebagai prouduk performativitas (internalisasi) dan menghindari stable point of reference untuk memutus tali subordinasi dan kekerasan terhadap perempuan.

(18)

Observasi lapangan pada 16-23 Mei 2018

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku/Jurnal:

Adji, Muhamad, Dkk, 2009, “Konstruksi Relasi Laki-Laki Dan Perempuan Dalam System Patriarki: Kajian Terhadap Karya Djenar Maesa Ayu Dengan Pendekatan Feminisme”, Universitas Padjajajran, Bandung.

Akbar, Purnomo Setiady dan Husaini Usman, 2006, “Metode Penelitian Sosial”, Bumi Aksara, Jakarta.

ER, Nur, Djazifah, 2001, “Tindak Kekerasan Terhadap Wanita Pedagang Menginap Di Pasar Kota Yogyakarta”, Jurnal Penelitian Humaniora, Nomor I/VI, Tahun Ke-6, 2001

Faisal, Muhammad, dkk “Pemahaman Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

Terhadap Kekerasan Pada Perempuan Dan Anak”, dalam:

http://www.academia.edu/26693512/Pemahaman_Masyarakat_Daerah_Istim ewa_Yogyakarta_DIY_terhadap_Kekerasan_pada_Perempuan_dan_Anak (diakses pada 21 Mei 2018).

Moh Yasir Alimi, Dkk, 2013, “Manusia, Perempuan, Laki-Laki (Judith Butler: Gender Dan Sex Sebagai Pertunjukkan)”, Komunitas Salihara, Jakarta.

Karatanita, Bidari Christy, 2013, “Perlindungan Hukum Oleh Badan Pemberdayaan Perempuan Dan Masyarakat Kepada Korban Kekerasa Dalam Rumah Tangga (Studi Di Badan Pemberdayaan Perempuan Dan Masyarakat)”, Jurnal Ilmiah, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang

Moleong, Lexy J. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Rosda, Bandung

Rahayu, Ninik Sri, 2014 “Profil Gender Dan Anak Kota Yogyakarta 2012”, Samartania Publishing, Yogyakarta

(19)

Observasi lapangan pada 16-23 Mei 2018

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA Sumber Berita:

Angka Kekerasan Perempuan di DIY Tinggi, Mayoritas Terjadi di Perkotaan, dalam: http://jogja.tribunnews.com/2018/03/11/angka-kekerasan-perempuan-di-diy-tinggi-mayoritas-terjadi-di-perkotaan (diakses pada 21 Maret 2018).

Kasus Kekerasan terhadap Perempuaan di Yogyakarta Tinggi, dalam:

https://nasional.tempo.co/read/767246/kasus-kekerasan-terhadap-perempuaan-di-yogyakarta-tinggi (diakses pada 21 Maret 2018)

Sejarah Hari Ibu 22 Desember Berawal dari Yogyakarta, dalam: https://tirto.id/sejarah-hari-ibu-22-desember-berawal-dari-yogyakarta-cB5P (diakses pada 27 Maret 2018)

Referensi

Dokumen terkait

Aspek terpenting untuk mengetahui dampak suatu komunikasi pemasaran adalah pemahaman terhadap proses respon ( response process ) dari penerima yang mungkin mengarah pada

Aluminium merupakan salah satu bahan logam non ferro yang banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia, baik untuk keperluan umum seperti untuk

Pengaruh Perbedaan Kecenderungan Gaya Kepemimpinan Orang Tua (Berdasarkan Persepsi Siswa) terhadap Hasil Bela , jar Biologi Siswa.. Kelas 1 Cawu I Di SMU Negeri 1 Arjasa Tahun

Kemudian terdapat beberapa pengujian diantaranya unit testing dilakukan untuk mencari kesalahan yang timbul karena kesalahan dalam kode program, integration

Penelitian Ini Dilaksanakan Pada Bulan Juni 2015 Di Usaha Pembuatan Pellet Ikan Mina Sentosa Yang Terletak Di Desa Lenggadai Hulu Kecamatan Rimba Melintang

Subjek dan terapis masuk dalam sesi selanjutnya untuk kembali melakukan roleplay pada situasi yang sama dan juga situasi lain, dimana subjek akan dipindahkan ke blok lain

Rancang Bangun ARD (Automatic Rescue Device) Pada Lift Dengan Tampilan LCD Berbasis Mikrokontroller adalah sebuah sistem yang dirancang pada lift yang berfungsi

Dari hasil uji paired sample t-test yang dilakukan, diperoleh nilai t- hitung yang lebih besar dari t-tabel dan nilai signifikan yang lebih kecil dari 0.05, hal ini menunjukkan