• Tidak ada hasil yang ditemukan

RINGKASAN NASKAH AKADEMIK SISTEM PERLINDUNGAN TERHADAP PELAPOR, SAKSI DAN KORBAN DALAM KONTEKS KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RINGKASAN NASKAH AKADEMIK SISTEM PERLINDUNGAN TERHADAP PELAPOR, SAKSI DAN KORBAN DALAM KONTEKS KORUPSI"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

RINGKASAN NASKAH AKADEMIK

SISTEM PERLINDUNGAN TERHADAP

PELAPOR, SAKSI DAN KORBAN

(2)

Jakarta, 20 Desember 2017

I. Pengungkap Korupsi: didendang

sekaligus ditendang

Naskah Akademis ini pada awalnya diprovokasi oleh suasana ‘badai kriminalisasi’ terhadap orang-orang yang gigih melawan korupsi, pada tahun 2015 yang lalu. Dimulai dari penangkapan Bambang Widjojanto pada bulan Januari 2015, disusul Novel Baswedan ditahan pada bulan Mei 2015, kemudian Abraham Samad, Johan Budi, Adnan Pandu Praja, Denny Indrayana, Suparman Marzuki, Taufiqurahman Sauri, Yunus Husein, Feri Amsari, Charles Simabura, hingga para aktivis yang mengajukan permohonan JR UU Kepolisian.

Di luar Jakarta, ada aktivis yang ditembak setelah melaporkan kasus korupsi Bupati Bangkalan. Ada polisi yang dikriminalkan karena gigih mengungkap keterlibatan petinggi Kepolisian dalam kasus trafficking. Bahkan lembaga-lembaga yang

RINGKASAN NASKAH AKADEMIK

SISTEM PERLINDUNGAN

TERHADAP PELAPOR, SAKSI

DAN KORBAN DALAM KONTEKS

KORUPSI

(3)

mengurusi kriminalisasi terhadap BW (seperti Komisi Yudisial, Komnas HAM dan Ombudsman) ikut diintimidasi.

Kasus-kasus tersebut bukan yang pertama dan terakhir. Kita masih ingat kasus seorang Pastor di Flores, Nusa Tenggara Timur, Romo Frans Amanue, yang dikriminaisasi dengan pasal pencemaran nama baik, karena melaporkan kasus korupsi yang melibatkan Bupatinya. Ia dihukum 2 bulan. Kita juga tentu ingat kasus Agus Condro, Khairiansyah Salman, Vincent. Kesemuanya dikriminalisasi karena terlibat mengungkap korupsi, dengan caranya masing-masing. Bahkan saat ini masih berlangsung pengobatan Novel Baswedan akibat siraman air keras pada bulan April lalu.

Di satu sisi, orang-orang tersebut didendang sebagai garda terdepan untuk memberantas korupsi. Di sisi lain, mereka ditendang bahkan dibuang. Kami menyebut orang-orang tersebut adalah ‘para pengungkap korupsi.’ Mereka tidak terbatas hanya aktivis, tapi juga aparat hukum, akademisi, pemuka agama, jurnalis, dll. Mereka mengungkap korupsi melalui perannya masing-masing, mulai melaporkan, memberitakan, menggugat, menjadi ahli di persidangan, menyidik hingga mengkampanyekannya.

Lalu kami mundur sejenak untuk merefleksikan fenomena ini, hingga melahirkan satu pertanyaan reflektif: Mengapa kasus-kasus ancaman dan/atau serangan terhadap ‘para pengungkap korupsi’ masih terus muncul dengan eskalasi dan resiko yang makin tinggi, walaupun sudah ada aturan dan lembaga tentang perlindungan? Jawaban atas pertanyaan ini, kami urai menjadi empat level, yaitu persoalan pada level norma hukum, penegakan hukum, kelembagaan hukum dan tataran para pengungkap korupsi itu sendiri.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami mengumpulkan data tentang kasus-kasus ancaman dan/atau serangan sejak tahun 2004 sampai 2017. Tidak ada jumlah yang pasti. Bahkan laporan jumlah permohonan perlindungan ke LPSK juga tidak bisa disimpulkan mewakili seluruh kasus ancaman, karena LPSK hanya melaporkan kasus yang dimohonkan perlindungan ke LPSK. Sehingga kami

(4)

memutuskan untuk mengambil sampel 100 kasus secara acak, karena yang ingin direfleksikan adalah pola ancaman dan penanganannya.

Selain itu, kami menyebar kuisioner dan melakukan wawancara secara mendalam beberapa orang yang pernah menjadi korban ancaman, menjadi pejabat/aktivis yang menangani ancaman dan pengamat. Kami juga mempelajari sistem perlindungan di tiga wilayah hukum, yaitu Amerika, Eropa dan Asia, meskipun baru melalui studi literatur. Semua data kami kelompokkan lalu dideskripsikan dan dianalisis.

II. Pokok-Pokok Temuan

Sedikitnya ada lima pokok temuan dalam penelitian ini. Pertama, pola ancaman dan/atau serangan. Kedua, persoalan pada tataran norma hukum. Ketiga, persoalan pada tataran penegakan hukum. Keempat, persoalan pada tataran kelembagaan hukum. Kelima, persoalan pada tataran ‘pengungkap korupsi’ sendiri. Berikut ringkasannya:

2.1 Ancaman dan/atau serangan meningkat dan brutal

Kami melihat pola ancaman dan/atau serangan berdasarkan latar belakang profesi, peran, dan bentuk ancaman.

a. Jumlah kasus meningkat dari waktu ke waktu

Kami membedakan periode waktu menjadi tiga. Pertama, periode 2004-2006, pertimbangannya adalah setelah KPK bekerja dan sebelum ada UU Perlindungan Saksi dan Korban. Pada periode ini, hanya KPK yang diperintahkan UU untuk memberikan perlindungan terhadap pelapor, saksi dan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Pada periode ini ada 19 kasus ancaman dan/atau serangan terhadap ‘pengungkap korupsi.’

Kedua, periode 2007-2011, pertimbangannya adalah setelah ada UU PSK dan sebelum ada SEMA 4/2011 tentang Whistleblower dan Justice Collaborator. Pada

(5)

periode ini, KPK tetap bertugas dan berwenang memberikan perlindungan terhadap pelapor, saksi dan peran serta masyarakat dalam kasus korupsi. Sedangkan LPSK bertugas dan berwenang memberikan perlindungan terhadap saksi, pelapor dan korban tindak pidana, termasuk korupsi. Pada periode ini ada 24 kasus ancaman dan/atau serangan terhadap ‘pengungkap korupsi.’

Ketiga, periode 2011-2017, pertimbangannya setelah WB dan JC disebut secara eksplisit, melalui SEMA 4/2011, UU 31/2014 dan Inpres 5/2015. Pada periode ini langkah-langkah perlindungan terhadap pelapor, saksi, JC dan WB semakin sistematis dan solid. LPSK bekerjasama dengan Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. MA memiliki instrumen hukum sendiri. Bahkan Presiden memerintahkan seluruh kementrian memiliki kanal WBS. Pada periode ini, ada 57 kasus ancaman dan/atau serangan terhadap ‘para pengungkap korupsi.’

Jumlah kasus yang terus meningkat sejalan dengan data laporan LPSK, kecuali pada tahun 2017 LPSK menerima permohonan lebih sedikit dibandingkan tahun 2016. Data jumlah kasus dapat dilihat pada Grafik 1 di bawah ini:

Grafik 1:

Jumlah kasus ancaman dan/atau serangan terhadap ‘pengungkap korupsi’ Tahun 2004-2017

(6)

b. Aktivis dan APH paling rentan menerima ancaman

dan/atau serangan

Sedikitnya ada delapan latar belakang profesi para pengungkap korupsi. Di antara profesi-profesi tersebut, aktivis merupakan subyek yang paling rentan menerima ancaman dan/atau serangan, yaitu 48 kasus. Profesi berikutnya yang paling rentan adalah aparat penegak hukum itu sendiri, baik KPK, Jaksa, hakim hingga polisi. Berikut datanya:

Grafik 2:

(7)

c. Pelapor dan aparat hukum paling rentan menerima

ancaman

Dilihat dari perannya, kasus ancaman dan/atau serangan paling banyak diarahkan kepada pelapor kasus korupsi (35 kasus) dan aparat hukum yang sedang menangani kasus korupsi (22 kasus). Berikut datanya:

Grafik 3:

(8)

d. Kriminalisasi dan Serangan Fisik merupakan ancaman

paling dominan

Dilihat dari bentuk ancamannya, kasus paling banyak adalah kriminalisasi melalui jalur hukum, mulai pelaporan dengan pasal pencemaran nama baik, pemalsuan dokumen, memberikan keterangan palsu, pembunuhan hingga korupsi. Berikut datanya:

Grafik 4:

Bentuk-bentuk ancaman dan/atau serangan terhadap pengungkap korupsi

2.2 Persoalan pada tataran norma hukum

Kami mencatata ada empat persoalan pada tataran norma hukum, yaitu:

a. Tidak ada standar pengaturan perlindungan terhadap ‘pengungkap korupsi.’ Ketiadaan standar tersebut diselesaikan secara pragmatis dan tambal-sulam, seperti membuat MoU, peraturan lebih rendah, revisi UU. Ketiadaan standar tersebut menyangkut kelembagaan dan level peraturan.

(9)

1) Lembaga mana yang seharusnya berwenang memberikan perlindungan terhadap pegiat anti-korupsi. Nyatanya KPK diberi tugas dan kewenangan untuk melindungi pelapor dan saksi dalam kasus korupsi, tetapi polisi dan jaksa yang juga menangani kasus korupsi tidak diberi tugas dan kewenangan tersebut. Walaupun sudah ada LPSK, tugas dan kewenangan KPK untuk melindungi pelapor dan saksi tetap.

2) Pada level apa seharusnya perlindungan terhadap pegiat anti-korupsi tersebut diatur. Nyatanya perlindungan terhadap pegiat anti-korupsi diatur di UU Tipikor, UU KPK, UU PSK, tetapi UU Pengadilan Tipikor tidak mengatur. Jika dibandingkan dengan perlindungan terhadap korban dan saksi dalam isu HAM, pengaturan tersebut bukan di UU HAM, melainkan UU Pengadilan HAM.

b. Ada ketidakkonsistenan UU terhadap putusan MK. MK sudah memperluas pengertian saksi, tetapi revisi UU PSK masih menggunakan definisi saksi sebelum putusan MK. Walaupun substansi saksi yang diperluas sudah diakomodasi melalui pasal lain, tetapi dari aspek legislasi, hal tersebut tidak boleh terjadi.

c. Pengaturan tentang perlindungan oleh negara mengandung keterbatasan: 1) Terbatas pada peran serta masyarakat pada peradilan pidana.

Nyatanya ancaman terjadi pada peradilan TUN, MK, dll.

2) Terbatas pada peran serta masyarakat secara hukum (sebagai pelapor, saksi, pelaku). Nyatanya ancaman terjadi pada pewarta, pelaku kampanye.

3) Terbatas setelah terjadi ancaman dan/atau serangan. Nyatanya ada peristiwa-peristiwa yang mendahului serangan, yang dapat dicegah. 4) Terbatas pada saksi yang memberatkan tersangka/terdakwa.

Nyatanya ancaman juga terjadi pada saksi yang meringankan terdakwa.

5) Terbatas pada perlindungan yang bersifat represif.

d. UU 31/2014 memberikan kewenangan kepada LPSK yang melebihi tugasnya, seperti memutuskan sifat pentingnya keterangan yang diberikan oleh saksi dan posisi saksi pelaku bukan sebagai pelaku utama. Keduanya merupakan kompetensi penyidik. Meskipun dalam praktik, LPSK berkoordinasi dengan

(10)

penyidik untuk menentukan kualifikasi pelaku, tetapi secara kaidah legislasi hal tersebut tidak tepat.

2.3 Persoalan pada tataran penegakan hukum

Kami melihat bahwa ada persoalan serius pada level politik penegakan hukum, yaitu ada diskriminasi penyelesaian kriminalisasi terhadap ‘pengungkap korupsi.’ Ada kriminalisasi yang diselesaikan secara tuntas. Tetapi jumlahnya sangat kecil, yaitu hanya kasus kriminalisasi terhadap pimpinan KPK.

Sebaliknya, kasus-kasus kriminalisasi lainnya diselesaikan secara mengambang. Pengambangan terjadi baik terhadap pelaku kekerasan fisik (misalnya pelaku penembakan, pembacok, penyiram air keras tidak ditemukan) maupun terhadap status tersangka para pengungkap korupsi. Pengambangan tersebut telah terbukti menimbulkan pengulangan, seperti kriminalisais terhadap Novel Baswedan. Lebih dari itu, pengambangan juga membunuh hak perdata seseorang, misalnya untuk menjadi pejabat publik, seperti Denny Indrayana dan Suparman Marzuki. Selain itu, pengambangan dapat berpotensi melahirkan impunitas dan imunitas. Para penembak, penyiram air keras, pembacok, dll akan merasa kebal hukum.

2.4 Persoalan pada tataran kelembagaan

Ada beberapa persoalan pada level kelembagaan, terutama LPSK dan KPK, antara lain: karena

a. KPK memiliki keterbatasan SDM dan peralatan untuk perlindungan.

b. KPK baru memiliki sistem perlindungan terhadap dirinya sendiri pada akhir tahun 2017.

c. KPK belum mengantisipasi kemungkinan ancaman pasca perlindungan. d. KPK belum memasukkan aspek perlindungan pelapor dan saksi kaus korupsi

dalam tugas koordinasi (vide pasal 6 huruf a dan pasal 7 UU 30/2002) dan tugas supervisi (vide pasal 6 huruf b dan pasal 8 UU 30/2002).

e. Potensi konflik antar lembaga negara, misalnya BPK dan Kementrian Keuangan. Konflik kepentingan juga dapat terjadi antar lembaga penegak

(11)

hukum, misalnya antara KPK dan LPSK yang melakukan perlindungan dan Kepolisian dan Kejaksaan yang menangani perkara pidana terhadap terlindung.

f. LPSK belum memiliki sistem perlindungan terhadap dirinya sendiri, baik pengamanan data maupun orang.

g. Pengawasan dan Koordinasi, misalnya pemberian remisi dengan alasan JC tanpa sepengetahuan LPSK.

2.5 Persoalan pada tataran pegiat anti-korupsi

Sedikitnya ada empat persoalan di level pegiat anti-korupsi sendiri, yaitu: a. Saksi menolak dilindungi

b. Pegiat anti-korupsi umumnya kurang peka terhadap resiko munculnya ancaman dan/atau serangan.

c. Saksi yang dilindungi KPK umumnya orang yang tidak berdaya dan tidak memiliki komitmen pemberantasan korupsi.

d. Pelapor dan saksi terlibat dalam kasus yang dilaporkannya atau memiliki kasus lainnya yang dapat digunakan untuk mengkriminalkannya.

III. Kesimpulan dan Rekomendasi

Bertolak dari pokok-pokok temuan di empat level tersebut, kami menganalisis lebih mendalam. Mengapa persoalan di empat level tersebut terjadi? Jawaban atas pertanyaan ini, kami rumusakan dalam kesimpulan. Selanjutnya, dari kesimpulan tersebut, kami merekomendasikan sebagai berikut:

(12)

Tabel

Kesimpulan dan Rekomendasi

Level Kesimpulan Rekomendasi

Legislasi Penyelesaian konflik di level peraturan diselesaikan secara pragmatis (problem solving), misalnya dengan revisi peraturan, MoU atau peraturan lebih rendah. Bahkan pasal 10 ayat (1) UU 12/2011 tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan

Perundangan hanya mengatur materi muatan UU secara formal.

a. Kesepakatan bersama LPSK, Kepolisian, Kejaksaan dan KPK harus memastikan ketentuan tentang substansi yang menjadi kewenangan LPSK dan kewenangan masing-masing penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, KPK). Hal ini diperlukan agar tidak terjadi

ketumpangtindihan maupun celah hukum. b. Perlu terobosan hukum yang menjangkau

perlindungan terhadap pelapor dan saksi di luar sistem peradilan pidana.

c. KPK dan LPSK perlu melakukan terobosan untuk mengembangkan perlindungan secara preventif. Penegakan

Hukum

a. Penyelesaian kasus-kasus kriminalisasi yang tidak tuntas cenderung dibiarkan.

b. Ketidaktuntasan penyelesaian tersebut tidak menjadi indikator penilaian kinerja lembaga penegak hukum.

a. Perlu komitmen Kapolri untuk

menyelesaikan tunggakan kasus-kasus kriminalisasi terhadap para pengungkap korupsi secara tuntas, baik terhadap status tersangka maupun pencarian para pelaku penyerangan fisik.

b. Perlu komitmen Presiden untuk

menjadikan penyelesaikan kasus-kasus kriminalisasi dan serangan fisik terhadap ‘para pengungkap korupsi’ sebagai indikator penilaian kinerja penegakan hukum. Caranya: presiden

memerintahkan Kapolri untuk menuntaskan penanganan kasus kriminalisasi dan pencarian pelaku serangan fisik dalam waktu satu tahun. Setelah itu Presiden melakukan evaluasi dan mengambil langkah-langkah yang perlu.

Kelembagaan a. Karena tidak ada tugas dan kewenangan secara tegas untuk melindungi pelapor dan saksi, maka Kepolisian dan Kejaksaan kurang

menggunakan perspektif perlindungan dalam penanganan kasus pidana. Akibatnya muncul persoalan penyalahgunaan kewenangan, pelanggaran hukum, konflik kepentingan dan konflik antar lembaga penegak hukum. b. Belum ada pedoman tentang

standar WBS, baik yang berlaku untuk semua

Kementrian/Lembaga maupun yang berwatak khusus sesuai

a. KPK dan LPSK (sebagai lembaga yang diperintah UU untuk melakukan

perlindungan) harus menjadi trigger yang memungkinkan Kepolisian dan Kejaksaan menangani kasus korupsi dengan

perspektif perlindungan.

b. KPK dan LPSK perlu mengeluarkan Panduan WBS yang berlaku lintas lembaga dan WBS yang disesuaikan dengan kewenangan

Kementrian/Lembaga. Panduan tersebut termasuk mengatur mekanisme

koordinasi dan pengawasan pelaksanaan WBS.

c. KPK dan LPSK perlu menyusun pedoman tentang JC yang berlaku untuk semua APH yang menangani kasus korupsi. Panduan tersebut termasuk mengatur

(13)

dengan kewenangan

Kementrian/Lembaga. Begitu pula belum ada pedoman tentang JC, sehingga berpotensi menimbulkan keraguan, kerancuan dan konflik antar lembaga penegak hukum.

mekanisme koordinasi dan pengawasan pemberian JC.

Pengungkap korupsi sendiri

Belum ada kesadaran dan

kepekaan baik di lembaga penegak hukum maupun pegiat anti-korupsi untuk melakukan pencegahan terhadap potensi ancaman dan/atau serangan balasan.

Perlu terobosan kerjasama antara lembaga negara dan lembaga non negara untuk mengembangkan model perlindungan secara preventif.

IV. Penutup

Rekomendasi-rekomendasi tersebut dapat diringkas sebagai berikut:

1. Surat Keputusan Bersama LPSK dan KPK tentang sistem perlindungan terhadap para pengungkap korupsi, yang mencakup antara lain:

a. Panduan WBS b. Panduan JC

c. Mekanisme supervisi dan koordinasi terhadap Perlindungan Pelapor dan saksi oleh Kepolisian dan Kejaksaan

d. Mekanisme pengawasan perlindungan oleh semua lembaga e. Instrumen Perlindungan secara preventif

2. Memasukkan materi perlindungan terhadap pengungkap korupsi dalam Inpres, yang mencakup antara lain:

a. Penilaian terhadap kinerja Kepolisian dalam menyelesaikan tunggakan perkara kriminalisasi dan pelaku serangan fisik terhadap para pengungkap korupsi.

b. Memberikan batas waktu penyelesaian tunggakan perkara kriminalisasi dan pelaku serangan fisik terhadap para pengungkap korupsi, yaitu selama 1 tahun.

c. Mengambil langkah-langkah strategis dalam hal Kepolisian tidak dapat menyelesaikan tunggakan perkara kriminalisasi dan pelaku serangan fisik terhadap para pengungkap korupsi sesuai batas waktu yang diterntukan.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil sidik ragam pada Tabel 6 menunjukkan bahwa dari 8 karakter morfologi daun, perbedaan lansekap hanya memberikan pengaruh yang nyata terhadap variabel NV

Oleh sebab itu jika pekerja atau salah satu dari operatror mesin sakit, maka barang yang seharusnya selesai pada hari yang ditentukan dan dapat dikirim, tertunda hanya karena

No Nomor Peserta Nama Asal Sekolah

Proses pembuatan logam baja metal mall tipe DZA 117 W terbagi dalam beberapa tahap pengerjaan yaitu tahap I menyetting semua mesin produksi metal mall, tahap II memasukan bahan

No Nomor Peserta Nama Asal Sekolah

SHQFHOXSDQXQLWNDELQNHGDODPEDNFDWWDKDSSHQJHF HNDQWDKDSSHPDVDQJDQSLQWX WDKDS SHQXWXSDQ VDPEXQJDQ SODW WDKDS SHQJHFDWDQ SULPHU WDKDS SHQJDPSODVDQ WDKDS SHPHULNVDDQ FDFDW SDGD

Maka dalam hal ini hipotesis yang menyatakan ada pengaruh strategi pembelajaran Preview, Question, Read, Reflect, Recite, Review (PQ4R) terhadap hasil belajar

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran KTSP dengan pendekatan kontekstual pada mata diklat kewirausahaan siswa kelas X Tata