• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Keraton Yogyakarta dibangun pada tahun 1756 M. Sebelum keraton

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Keraton Yogyakarta dibangun pada tahun 1756 M. Sebelum keraton"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keraton Yogyakarta dibangun pada tahun 1756 M. Sebelum keraton Yogyakarta selesai dibangun, Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama

keluarganya untuk sementara bertempat tinggal di Pesanggrahan

Ambarketawang Gamping. Selain mendirikan keraton Yogyakarta Sri Sultan juga mendirikan Pesanggrahan Tamansari yang didirikan pada tahun 1758 M.

Sebagaimana kota-kota di Jawa yang berasal dari kerajaan, pembangunan keraton biasanya menggunakan konsep mandala yaitu sejenis

maket kosmos yang umumnya berpedoman ke empat arah mata angin.1 Sesuai

dengan konsep kebudayaan tradisional Jawa tata ruang pembangunan keraton membentuk garis lurus selatan-utara yang disebut dengan “poros imaginer" yang merupakan simbolisme pandangan dunia kraton dan menjadi awal arah pertumbuhan kota.

Kronologi pembentukan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta tidak dapat

dipisahkan dengan sejarah Kampung Kauman Yogyakarta.2 Kauman

mempunyai peran dalam sejarah lahirnya Kasultanan Yogyakarta, karena mempunyai hubungan erat dengan birokrasi kerajaan. Kampung Kauman

1

Denys Lombard. Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan-Kerajan

Kosentris. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005): 111.

(2)

2

Yogyakarta berada di sekitar Masjid Gedhe, berdiri bersamaan dengan berdirinya Masjid Gedhe yaitu tahun 1773, sementara kota Yogyakarta

dibangun pada tahun 1755 setelah perjanjian Giyanti. Setelah masjid berdiri

kemudian dibentuk lembaga Pengulon yang bertindak sebagai Penghulu Kerajaan dan berfungsi sebagai penasehat Dewan Daerah. Penghulu dan abdi

dalem Pamethakan berserta keluarganya, merupakan kelompok masyarakat

yang pertama kali tinggal di sekitar Masjid Agung (Masjid Gedhe), yang

sekarang disebut sebagai kampung Kauman.3

Kauman adalah nama dari sebuah Kampung di Yogyakarta yang mempunyai ciri-ciri khusus. Ciri-ciri khusus ini nampak dalam masyarakatnya, pergerakan dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Masyarakat Kauman merupakan masyarakat yang anggotanya mempunyai pertalian darah. Masyarakat yang demikian ini terjadi dari keluarga-keluarga. Antar keluarga itu kemudian terjadi pertalian darah, hubungan pertalian darah antar keluarga yang berkumpul pada suatu tempat tertentu, kemudian membentuk masyarakat yang mempunyai karakteristik tersendiri. Bentuk masyarakat demikian itu mempunyai ikatan yang pekat dan tertutup. Setiap warganya menegakkan ikatan kebersamaan baik di dalam upacara keagamaan, perkawinan dan di samping itu juga sukar untuk bisa menerima pengaruh serta perpindahan

2

Chatarina Dwi Astuti Depari. Transformasi Ruang Kampung Kauman Yogyakarta Sebagai Produk Sinkretisme Budaya. (Jurnal Arsitektur Komposisi, 2012, Vol.10 (1)): 11-26

3

Suastiwi Triatmodjo. Dua Ragam Makna Pada “Ruang dari Masa Lalu” di Permukiman Kauman Yogyakarta. (Jurnal Kajian Seni Budaya Tsaqafa, 2012, Vol. 1(1)): 19-37

(3)

3

penduduk dari luar. Kauman juga menjadi tempat lahirnya organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah yang telah menghasilkan pemimpin, ulama, dan

ilmuan. Terdapat pula pergerakan-pergerakan sosial, keagamaan serta

kelaskaran di dalamnya.4

Dalam struktur tata ruang perkotaan pada masyarakat Jawa tradisional, kehadiran wilayah hunian yang disebut Kauman adalah menjadi sangat penting dan bahkan semacam keharusan. Wilayah hunian yang terletak di sebelah alun-alun ini sebenarnya merupakan bagian yang menyatu dan tidak dapat dilepaskan dari struktur pemerintahan tradisional Jawa. Penguasa Jawa yang menjadikan agama Islam sebagai agama negara, dengan membangun sebuah masjid di sebelah barat alun-alun yang terhampar di depan keraton, seperti yang

dapat disaksikan di Surakarta dan Yogyakarta.5

Kampung Kauman sendiri saat itu ada “gerbangnya” yang menghadap ke Alun-Alun Utara di depan Siti Hinggil. Dibalik gerbang ada pelataran di depan Masjid Gedhe, Pangulon (rumah dan kantor penghulu) di sebelah utara masjid. Di belakang Pangulon terdapat perumahan orang yang ngindung (menumpang) kepada Pangulon, sehingga disebut kampung Ngindungan. Batas antara Kauman dengan Ngindungan adalah sebuah selokan besar, yang airnya masuk ke Masjid Gedhe. Air ini setelah keluar dari Masjid Gedhe lalu mengalir

4

Sairin Syafri. Kauman: A Moslem Neighbor hood of Yogyakarta. (Humaniora, 1998, No. 9): 67-71.

5

(4)

4

ke selatan Kampung Kauman, masuk ke “Jagang” yang mengelilingi tembok

Kraton.6

Proses terjadinya masyarakat Ngindungan berbeda dengan proses terjadinya masyarakat Kauman. Terjadinya masyarakat Ngindungan melalui beberapa perkembangan. Penduduk wilayah Ngindungan merupakan masyarakat pendatang di Kampung Kauman. Pendatang baru itu mula-mula adalah orang-orang yang ngenger di Dalem Pengulon dan para buruh batik yang letak rumahnya jauh dari kota Yogyakarta. Kemudian, orang-orang tersebut diperkenankan bertempat tinggal di atas tanah kosong Pengulon yang masih luas, yang terletak di sebelah timur laut Dalem Pengulon. Pada mulanya penduduk tanah Ngindungan itu hanya sedikit, kemudian bertambah banyak.

Terbentuknya Ngindungan sebagai suatu masyarakat tidak dapat diketahui secara pasti, tetapi dapat diperkirakan sekitar tahun 1900, yang bersamaan dengan perkembangan industri batik yang pesat sehingga para pengusaha batik menyerap banyak tenaga kerja. Masyarakat Kampung Kauman banyak yang bermata pencaharian sebagai abdi dalem, karena dengan menjadi abdi dalem mereka mendapat penghasilan dari tanah pelungguh yang diberikan oleh keraton. Tidak melulu memandang pekerjaan sebagai abdi dalem, masyarakat Kauman juga bekerja sebagai pengrajin batik. Usaha batik yang dijalankan oleh masyarakat Kauman akhirnya berkembang dengan pesat, sehingga menghasilkan para pengusaha-pengusaha batik yang kemudian

6

Muhammad Syoedja‟. Cerita Tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan:

(5)

5

disebut sebagai batik handel. Pesatnya industri batik di Kauman menjadi daya tarik bagi tenaga kerja yang datang dari berbagai daerah di luar Kampung Kauman maupun Yogyakarta. Tenaga kerja atau buruh kerajinan batik tersebut kemudian banyak yang menetap (ngindung) di atas tanah Pangulon. Hal inilah

yang dianggap sebagai awal mula terbentuknya masyarakat Ngindungan. 7

Meskipun termasuk dalam wilayah kampung Kauman, masyarakat Ngindungan berbeda dengan masyarakat Kauman yang sudah ada. Perbedaan tersebut antara lain penduduk Ngindungan bukan berasal dari golongan abdi

dalem Kerjaan Yogyakarta, tetapi dari rakyat biasa yang datang dari pedesaan

untuk bekerja di kota. Masyarakat Ngindungan bukan merupakan masyarakat yang tercipta dari hubungan pertalian darah dengan masyarakat Kauman, sehingga hubungan antar keluarga tidak seerat masyarakat Kauman. Dalam perkawinan, masyarakat Ngindungan dapat lebih bebas untuk mengambil jodoh dari luar kampung. Perbedaan lainnya adalah tingkat penghayatan dan pengamalan agama Islam dari masyarakat Ngindungan masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan masyarakat Kauman yang terdiri dari para ahli agama, sedangkan masyarakat Ngindungan berasal dari para buruh yang tidak secara khusus berasal berkecimpung dalam bidang keagamaan. Perbedaan terakhir yaitu dalam hal ekonomi. Faktor ekonomi berperan menentukan perbedaan antara masyarakat Kauman dengan Ngindungan. Masyarakat Kauman umumnya adalah abdi dalem dan pengusaha/pedagang batik,

7

Ahmad Adaby Darban. Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung

(6)

6

sedangkan masyarakat Ngindungan pada mulanya terdiri dari orang-orang

ngengger, buruh batik dan orang-orang yang mencari pekerjaan ke kota.8

Pada mulanya, masyarakat Ngindungan belum terbentuk sebagai masyarakat yang utuh, hal ini disebabkan masih banyak diantara masyarakat Ngindungan yang belum benar-benar menetap, sebab mereka masih mempunyai rumah di desa yang secara rutin dikunjungi. Setelah mendapat pekerjaan tetap mulailah mereka berpindah secara menetap di wilayah Ngindungan bersama keluarga. Masyarakat yang menempati wilayah Ngindungan hanya berinteraksi dengan orang yang sama-sama ngindung di Pangulon dan bekerja sebagai buruh industri batik.

Industri batik di Yogyakarta terutama di Kampung Kauman berkembang cukup pesat sebelum terjadinya krisis Malaise. Krisis tersebut melanda perekonomian dunia termasuk di Kampung Kauman pada tahun 1939. Selain itu juga ada pengaruh penjajahan Jepang. Hal ini menyebabkan mata pencaharian masyarakat Kampung Kauman dan Ngindungan mengalami perubahan, yaitu tidak lagi berpusat pada pembatikan maupun abdi dalem,

tetapi terpecah dalam banyak bidang9. Dengan adanya perubahan bidang

pekerjaan tersebut maka lingkungan sosial masyarakat Ngindungan semakin luas. Berdasarkan observasi, perubahan kondisi masyarakat Ngindungan berubah hingga keturunannya bahkan generasi-generasi berikutnya hingga saat

8

Ibid.: 27-28.

9

(7)

7

ini. Hal ini juga mempengaruhi sosial masyarakat masyarakat Ngindungan yang tidak lepas dari peran masyarakat Kauman Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, muncul beberapa permasalahan pokok penelitian berupa:

1. Bagaimana gambaran perubahan kehidupan ekonomi masyarakat

Ngindungan di Kampung Kauman?

2. Bagaimana cara masyarakat Ngindungan bersosialisasi/berhubungan sehingga dapat diterima dan berbaur dengan masyarakat Kauman?

C. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengambil ruang lingkup antara tahun 1950-1980. Tahun ini merupakan generasi masyarakat Ngindungan yang masih hidup di Kauman setelah terjadi krisis perekonomian yang melanda dunia tahun 1939 termasuk di kalangan pengusaha batik di kampung Kauman, sedangkan generasi pertama masyarakat sudah tidak bisa ditemukan lagi. Krisis tersebut menyebabkan industri batik di Kauman mengalami kebangkrutan, dan menyebabkan masyarakat Ngindungan yang masih bertahan di Kauman untuk mencari pekerjaan di bidang lainnya yang menuntut masyarakat Ngindungan bersosialisasi dengan masyarakat Kauman sebagai lokasi ngindung.

Merosotnya usaha batik menyebabkan perubahan dalam bidang ekonomi dari masyarakat Kauman yang mempengaruhi mata pencaharian masyarakat Ngindungan. Mereka berusaha mencari pekerjaan dengan cara menjadi pegawai, guru atau pedagang. Masyarakat Kauman yang masih

(8)

8

menjabat sebagai abdi dalem kasultanan tetap menekuni jabatan mereka. Sama halnya dengan masyarakat Ngindungan yang mencoba mencari pekerjaan lain yang bisa dilakukan untuk mempertahankan hidup.

Dengan adanya kondisi tersebut, menuntut masyarakat Ngindungan untuk lebih aktif dalam hubungan sosial dengan masyarakat Kauman. Bahkan hubungan ini tetap berlanjut hingga generasi-generasi berikutnya hingga saat ini.

D. Tujuan Penelitian

Selama ini belum ada kajian yang membahas tentang perkampungan khususnya di wilayah keraton. Kebanyakan studi yang banyak menulis tentang kampung merupakan studi arkeologi karna berkaitan dengan bangunan, sedangkan studi sejarah belum ada yang menulis tentang masyarakat Ngindungan di Kampung Kauman. Penelitian ini bertujuan untuk mencari penjelasan tentang masyarakat Ngindungan di Kampung Kauman Yogyakarta yang telah mengalami perubahan.

1. Tujuan umum adalah mendeskripsikan mengenai perubahan kondisi ekonomi dan perubahan sosial masyarakat Ngindungan di Kampung Kauman pada kurun waktu 1950-1980.

2. Tujuan khusus:

a. Untuk mengetahui gambaran terjadinya perubahan perekonomian masyarakat Ngindungan di Kampung Kauman.

b. Untuk mengetahui cara masyarakat Ngindungan bersosialisasi dan berhubungan dengan masyarakat sekitar terutama masyarakat Kauman.

(9)

9

E. Tinjauan Pustaka

Selain menggunakan sumber pustaka penelitian ini juga melakukan wawancara. Literatur yang khusus membahas tentang sejarah masyarakat Ngindungan di Kampung Kauman dari segi historis sejauh ini belum ditemukan oleh penulis. Kebanyakan peneliti menulis tentang Kampung Kauman di kota Yogyakarta. Dalam tulisannya Ahmad Adaby Darban yang

berjudul Sejarah Kauman Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah10

menjelaskan tentang Kauman yang merupakan sebuah kampung di Kotamadya Yogyakarta yang mempunyai ciri-ciri khusus. Ciri khusus ini nampak dalam masyarakatnya, pergerakan dan perubahanperubahan yang terjadi didalamnya. Masyarakat Kauman merupakan masyarakat yang anggotanya mempunyai pertalian darah. Masyarakat yang demikian ini terjadi dari keluarga-keluarga.

Dalam kajiannya, Selo Soemardjan yang berjudul Perubahan Sosial di

Yogyakarta11 menjelaskan tentang perubahan sosial masyarakat yang terjadi

sojak zaman pemerintahan Hindia Belanda, hingga zaman kemerdekaan di Yogyakarta. Kajian ini juga membahas mengenai perubahan disemua bidang baik ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan. Contohnya kekuasaan pemerintahan Belanda, diganti oleh kekuasaan Jepang kemudian pemerintahan nasional. Buku ini memberikan informasi penting dalam penyusunan laporan penelitian ini karena data-data yang ada di dalamnya menjelaskan tentang perubahan pada masyarakat yang mencakup, aspek sosial ekonomi.

10

(10)

10

Pada waktu ibukota Kesultanan dijadikan Republik Indonesia perubahan sosial terjadi di kalangan masyarakat Yogyakarta. Selain dijadikan sebagai ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta juga dijadikan sebagai markas besar revolusi. Selama berlangsungnya revolusi terdapat dua masyarakat yang tinggal di Yogyakarta yaitu masyarakat asli Yogyakarta dengan kehidupan tradisionalnya dan masyarakat pendatang yang membawa semangat revolusi. Buku yang berjudul Kota Baru: Sejarah Kota: Kota di Indonesia Sebelum dan

Sesudah Kemerdekaan merupakan sejarah kota-kota yang ada di Indonesia.

Artikel yang diambil Djoko Suryo yang berjudul Penduduk dan Perkembangan

Kota Yogyakarta 1900-194012, menyebutkan bahwa penulis ini mendapatkan informasi yang dapat mendukung topik yang penulis ambil. Buku ini juga memberikan gambaran kepada penulis mengenai perkembangan penduduk dan perkembangan kota di daerah Istimewa Yogyakarta di tahun 1900-1990an. Keadaan kota mengalami perubahan akibat dari perkembangan penduduk, yaitu terlahimya para kaum urban baru dari pelajar, priyayi, pengusaha dan orang-orang asing, yang mengakibatkan perubahan tata ruang Yogyakarta.

Abdurrachman Suryomihardjo, dalam tulisannya yang berjudul Sejarah

Sosial Kota Yogyakarta 1880-193013 membahas tentang perubahan sosial

masyarakat Yogyakarta, mulai dari kehidupan sehari-hari hingga, adat istiadat

11

Selo Sumarjan. Perubahan Sosial di Yogyakarta. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981).

12

Djoko Suryo. Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900 -

1930", dalarn Freek Colombiin (eds) Kota Larna Kota Baru Sejarah Kota-Kota di

(11)

11

dan mengenai pendidikan di kalangan bangsawan hingga munculnya elit organisasi modern di kota Yogyakarta. Buku ini banyak memberikan informasi mengenai perubahan sosial yang terjadi sejak tahun 1880 sampai tahun 1930.

Karya tulisan yang terakhir milik Nur Aini Setyawati yang masih berbentuk laporan penelitian yang berjudul Sengketa Tanah Kasultanan

Yogyakarta Setelah Reorganisasi Agraria14 dalam tulisannya membahas

tentang tanah yang masih berada di wilayah Kraton Yogyakarta dan hak kepemilikan tanah masyarakat setelah terjadi pelaksanaan reorganisasi tanah. Karya tulis ini sangat penting di dalam penyusunan laporan penelitian ini karna data-data yang ada di dalamnya berisi mengenai permasalahan tentang tanah khususnya pada waktu terjadinya reorganisasi.

F. Metode dan Sumber Penulisan

Metode dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara jelas sesuai dengan kenyataan empiris yang terjadi di lapangan serta menuangkannya

ke dalam pernyataan-pernyataan sesuai dengan fenomena yang terjadi.15

Penelitian ini merupakan deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen)

13

Abdurrachman Surjoernihardjo. Sejarah Sosial Kota Yogyakarta

1880-1930. (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 2002).

14

Nur Aini Setyawati. Sengkeld Tanah Kasultanan Yogyakarta Setelah

Reorganisasi Agraria", (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2002).

15

Lexy J. Moleong. Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006,): 11

(12)

12

tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan antara satu variabel dengan

variabel yang lain.16

Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan beberapa tahap. Seperti apa yang dijelaskan oleh Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul

Pengantar Ilmu Sejarah. Tahap pertama, pemilihan topik atau heuristik, topik

penelitian ini adalah Sejarah Masyarakat Ngindungan di Kampung Kauman. Penulis menulis topik tersebut karena sejarah terbentuknya Masyarakat Ngindungan di kampung Kauman belum banyak yang mengangkatnya ke dalam tulisan ilmiah sangat menarik untuk diteliti.

Tahapan selanjutnya adalah pengumpulan sumber. Sebagai tulisan sejarah, penelitian ini mengandalkan data kepustakaan dan wawancara. Data kepustakaan berupa sumber primer maupun sekunder. Sumber primer yaitu berupa data-data Arsip dari kraton Yogyakarta yang didapat di kantor perpustakaan dan Arsip Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Data ini diperkuat dengan wawancara kepada masyarakat yang berada di wilayah Ngindungan kampung Kauman.

Wawancara ini difokuskan pada masyarakat Ngindungan di Kampung Kauman yang sudah sejak lama tinggal di Kampung Kauman dan status tanahnya berupa hak milik. Wawancara dilakukan secara langsung dan pribadi agar informasi didapatkan dengan mudah. Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan data juga sebagai kritik sumber untuk menguatkan data tertulis.

16

Sugiyono. Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). (Bandung: CV.Alfa Beta, 2012): 86

(13)

13

Kendala yang dihadapi selama penelitian adalah sulitnya mencari data statistik masyarakat Ngindungan di Kampung Kauman dalam kurun waktu tersebut karena data yang ada sudah banyak mengalami kerusakan. Selain itu, informasi dari masa awal terbentuknya sebuah Masyarakat di Kampung Kauman yang masih hidup jumlahnya terbatas. Informan yang ada sulit untuk diwawancarai karena faktor kesehatan dan usia.

Selain sumber primer, penulis juga menggunakan sumber sekunder berupa buku, skripsi, laporan penelitian, majalah, jurnal dan internet. Sumber sekunder ini diakses di perpustakaan-perpustakaan Yogyakarta yaitu perpustakaan UGM unit I dan unit 11, Perpustakaan Pasca Sadana UGM, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM, Perpustakaan Jurusan Arkeologi UGM, Perpustakaan Kependudukan, Perpustakaan Pedesaan, Perpustakaan Wilayah dan Sasonobudoyo, Perpustakaan Ignasius, Perpustakaan Jogja Library, Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Perpustakaan Penghageng Widya Budoyo Kraton, Perpustakaan Badan Penelitian Sejarah, dan Perpustakaan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.

Setelah proses pengumpulan sumber, tahapan selanjutnya adalah verifikasi. Tahapan ini dikenal juga dengan sebutan kritik sejarah atau keabsahan sumber. Verifikasi terbagi menjadi dua macam yaitu otentisitas dan kredibilitas. Otentisitas disebut juga keaslian sumber atau kritik ekstern.

(14)

14

Adapun kredibilitas merupakan proses meneliti apakah sumber tersebut bisa

dipercaya dan dilakukan setelah diputuskan bahwa sumber tersebut otentik.17

Tahap selanjutnya adalah interpretasi. Interpretasi atau penafsiran dibagi menjadi dua yaitu analisis dan sintesis. Analisis berarti menguraikan beberapa kemungkinan yang didapatkan dari sebuah sumber. Hasil analisis itu adalah fakta. Sintesis merupakan proses menyatukan beberapa data menjadi satu. Hasilnya adalah fakta yang diperoleh berdasarkan konsep secara umum

yang kita tangkap dari pembacaan data-data tersebut.18

Penyajian dalam tulisan merupakan akhir dari semua proses yang telah dilakukan. Penulisan menurut Taufik Abdullah, adalah usaha rekonstruksi masa lampau untuk menjawab pertanyaan pokok yang telah dirumuskan. Dalam proses ini disusun fakta-fakta hasil penelitian yang masih bersifat fragmentaris

menjadi suatu uraian yang sisternatis, utuh dan komunikatif.19

G. Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini dibagi menjadi 4 bab yaitu Pendahuluan, Kampung Kauman dan Kehidupan Masyarakat Tahun 1950-1980, Masyarakat

Ngindungan Di Kauman, dan Penutup.

17

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995): 99.

18

Ibid.: 100-102.

19

Taufik Abdullah dan Abdurachman Suryomihardjo. Ilmu Sejarah dan

(15)

15

Pendahuluan berisi latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Pembahasan mengenai Kampung Kauman dan Kehidupan Masyarakat Tahun 1950-1980 mengupas tentang segala hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Kauman sebagai lokasi ngindung, mulai dari lahirnya kampung Kauman, Karakteristik Masyarakat Kauman Yogyakarta, dan Kondisi Fisik Wilayah Kauman.

Bab berikutnya adalah pembahasan mengenai Masyarakat Ngindungan Di Kauman yang mengupas tentang Kehidupan Masyarakat Kampung Kauman dan Masyarakat Ngindungan di Kauman.

Bab Penutup merupakan bab terakhir dari naskah penelitian ini. Bab ini berisi kesimpulan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh kerana umat Islam biasanya tidak mampu memahami ajaran agama Islam dengan hanya membaca al-Quran atau Hadith sendiri sama ada dalam bahasa Arab atau bahasa lain, maka

Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-test dalam bentuk essay dan oral sesuai dengan tingkat masa pendidikan, yang bertujuan untuk menilai kinerja awal yang dimiliki peserta didik

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036) sebagaimana telah diubah

Pendahuluan berisi latar belakang yang menerangkan mengenai pentingnya penelitian ini dilakukan, perumusan masalah yang berisi pernyataan masalah yang akan di cari

Baru bekerja 95 hari, Lembaga Pengelola Investasi atau Indonesia Investment Authority (INA) sudah berhasil mengajak tiga investor asing untuk berkomitmen menanamkan

Berdasarkan definisi-definisi self-image dari beberapa tokoh diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan self-image adalah gambaran dalam fikiran individu

Memberikan pembebasan dan pelunasan tanggung jawab sepenuhnya ( ) kepada Dewan Komisaris dan Direksi Perseroan atas tindakan pengawasan dan pengurusan yang telah dilakukan selama

Upaya peningkatan kemampuan membaca mahasiswa diawali dengan langkah membaca, serta menguasai teknik membaca cepat dan efektif (Nurhadi .2005). Setelah mahasiswa