• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI

DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN

GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK

KALIMANTAN BARAT

M A L T A

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kompetensi Petani Jagung dalam Berusahatani di Lahan Gambut: Kasus Petani Jagung di Lahan Gambut di Desa Limbung, Kabupaten Pontianak – Kalimantan Barat, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2008

Malta

(3)

ABSTRACT

MALTA. 2008. Competency of Corn Farmers in Growing Corn in Peatlands:

Case Study of Corn Farmers in Peatlands at Limbung Village in Pontianak District, Province of West Borneo. Under direction of RICHARD W.E.

LUMINTANG, and BASITA G. SUGIHEN.

Agricultural development is a series of efforts to increase farmers‟ income, to create employment, to alleviate poverty, to assure food security, and to encourage regional economic development. By increasing agricultural products, it is hoped that farmers will be able to improve their income. In line with this effort, the quality of human resources in the field of agriculture is one of the essential factors in increasing agricultural products.

The aims of this study were (1) to learn the competency level of corn farmers in peatlands, (2) to identify the factors related to the competency of corn farmers in peatlands, and (3) to find out the corn farmers‟ performance in peatlands and the relationship between the competency of corn farmers in peatlands and their performance. The research method used was descriptive-corelational. The research population consisted of 38 corn farmers in peatlands at Limbung village in Pontianak district, while the data collection was conducted on census basis from the 38 farmers. The data collection was carried out from August until September 2007. The analysis of the data was performed by using the correlation test of Rank Spearman.

The research results showed that (1) the competency of corn farmers was of average level, (2) the competency was closely related to the production support and farmers‟ interaction with the extension educator, (3) the farmers‟ performance was of low level and the competency was positively correlated with the performance level of corn farmers in peatlands.

Key words: corn farmer, competency, performance, peatlands

(4)

RINGKASAN

MALTA. 2008. Kompetensi Petani Jagung dalam Berusahatani Jagung di Lahan Gambut: Kasus Petani Jagung di Lahan Gambut di Desa Limbung Kabupaten Pontianak – Kalimantan Barat. Dibimbing oleh RICHARD W.E. LUMINTANG and BASITA G. SUGIHEN.

Pembangunan pertanian merupakan rangkaian upaya untuk meningkatkan pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, memantapkan ketahanan pangan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Melalui peningkatan produksi hasil pertanian dapat diupayakan peningkatan pendapatan petani.

Salah satu upaya untuk memacu produksi hasil pertanian adalah dengan program ekstensifikasi lahan gambut. Potensi gambut Indonesia mempunyai luasan sekitar 20 juta ha. Luas lahan gambut di Provinsi Kalimantan Barat mencapai 1.993.519 ha dan diperkirakan sekitar 15 persen (299.028 hektar) dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian.

Lahan gambut sudah sejak lama dijadikan sebagai lahan usahatani, terutama untuk komoditas jagung dan padi, namun teknologi yang diterapkan oleh petani masih bersifat tradisional, sehingga hasilnya relatif masih rendah yaitu sekitar 1 sampai 1,6 ton per hektar. Salah satu upaya peningkatan produksi jagung adalah dengan meningkatkan kompetensi petani.

Pengelolaan lahan gambut untuk usahatani jagung membutuhkan keseriusan dan harus menggunakan teknologi yang tepat, antara lain dalam pengolahan lahan dan teknis budidaya (penanaman, pemupukan, pemeliharaan, pengendalian hama dan penyakit, panen, dan pascapanen), disamping kompetensi petani dalam merencanakan kegiatan usahatani dan memasarkan hasil.

Kompetensi petani dalam berusahatani jagung di lahan gambut masih rendah karena belum memperhatikan keterkaitan faktor-faktor penentu yang berpengaruh. Upaya-upaya dalam mengembangkan kompetensi dapat dilakukan dengan mengetahui sejauhmana tingkat kompetensi yang telah dimiliki oleh petani dalam berusahatani jagung di lahan gambut dan mengkaji faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan tingkat kompetensi tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Sejauhmanakah tingkat kompetensi petani jagung di lahan gambut ? (2) Faktor – faktor apa sajakah yang berhubungan dengan kompetensi petani jagung di lahan gambut? (3) Sejauhmanakah tingkat kinerja petani dan hubungan kompetensi dengan kinerja petani jagung di lahan gambut?

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai September 2007 di desa Limbung kabupaten Pontianak. Populasi penelitian adalah 38 petani jagung di lahan gambut di desa Limbung kabupaten Pontianak, dan pengumpulan data dilakukan secara sensus kepada 38 petani tersebut. Data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari responden dan informan penelitian, melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif, serta untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank

(5)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kompetensi petani jagung di lahan gambut di desa Limbung termasuk kategori sedang, sedangkan tingkat kinerja petani termasuk kategori rendah; faktor yang penting diperhatikan untuk mengembangkan kompetensi petani adalah: umur, pendidikan formal, pengalaman berusahatani, interaksi dengan penyuluh, sarana produksi, dan keterlibatan dalam kelompoktani. Usaha meningkatkan kompetensi petani dapat dilakukan dengan meningkatkan interaksi penyuluh dengan petani; penyuluh dan petugas pertanian hendaknya memotivasi petani supaya terlibat aktif dalam kelompoktani dan mendorong pengembangan kelompoktani sebagai wadah belajar para petani dengan program-program yang dibutuhkan petani.

(6)

Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(7)

KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI

DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN

GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK

KALIMANTAN BARAT

M A L T A

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(8)

JUDUL TESIS : KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM

BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG, KABUPATEN PONTIANAK – KALIMANTAN BARAT

NAMA : MALTA

NIM : I 352060081

Disetujui Komisi Pembimbing

Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA Ketua

Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A. Anggota

Diketahui Ketua Program Studi/Mayor

Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(9)
(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan pertolongan-Nya karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian adalah “Kompetensi Petani Jagung dalam Berusahatani di Lahan Gambut: Kasus Petani Jagung di Lahan Gambut di Desa Limbung, Kabupaten Pontianak – Kalimantan Barat.”

Penyelesaian karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada komisi pembimbing yaitu: Bapak Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA dan Bapak Dr. Ir. Basita G. Sugihen, M.A. yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dengan sabar dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Rasa terima kasih juga ingin penulis sampaikan kepada :

(1) Ibu dan kakak-kakak yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis. (2) Sekretariat Badan Litbang Pertanian yang telah menyediakan sebagian dana

untuk penelitian, melalui program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) anggaran tahun 2007.

(3) Kepala UPTD Pertanian dan Peternakan Kecamatan Sungai Raya dan Penyuluh di desa Limbung Kabupaten Pontianak.

(4) Para enumerator yang telah membantu pengumpulan data.

(5) Semua responden/petani jagung di desa Limbung Kabupaten Pontianak yang telah berkenan diwawancarai dalam pengumpulan data penelitian.

(6) Ade‟ “Ume” atas segala curahan waktu, semangat, fikiran, serta tenaga yang didekasikan.

(7) Teman-teman mahasiswa S2 dan S3 PPN - SPs IPB: Pa‟ Lukman, Bu Anna, Pa‟ Sihab, Bu Syam, Bu Maria, Pa‟ Yo, Bu Riana, Pa‟ Hatta, Pa‟ Ayat, Bu Suci, mas Ba‟do, Pa‟ Eka, Pa‟ Oos, Pa‟ Eko, Pa‟ Dirlan, Pa‟ Mardin, dan Pa‟

Ikhsan, atas segala bantuan, masukan dan semangatnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Mei 2008

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Inderapura – Sumatera Barat pada tanggal 7 Agustus 1975 dari ayah H. Munir, B.A. (Alm) dan Ibu Hj. Sariani. Penulis merupakan putra kelima dari lima bersaudara.

Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 6 Padang dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknologi Industri Universitas Bung Hatta Padang. Penulis pernah bekerja sebagai Site Engineer di PT Uni Seraya Indonesia - Batam tahun 2000 - 2001, dan sebagai Supervisor di PT Oriental Electronics Indonesia – Bekasi tahun 2002 – 2005. Tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, dengan biaya sendiri.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Masalah Penelitian ... 3 Tujuan Penelitian ... 4 Manfaat Penelitan ... 4 TINJAUAN PUSTAKA Usahatani di Lahan Gambut ... 5

Faktor Internal Petani ... 6

Faktor Eksternal Petani ... 9

Kompetensi ... 13

Unsur-unsur Kompetensi ... 17

Perilaku ... 20

Kinerja ... 22

Kompetensi yang Perlu Dikuasai Petani dalam Usahatani Jagung di Lahan Gambut ... 23

Hubungan Faktor Internal dengan Kompetensi ... 29

Hubungan Faktor Eksternal dengan Kompetensi ... 32

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir ... 35

Hipotesis Penelitian ... 37

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

Populasi dan Sampel ... 38

Rancangan Penelitian ... 38

Definisi Operasional ... 38

Instrumentasi ... 45

Pengumpulan Data ... 46

Analisis Data ... 47

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian ... 48

Deskripsi Petani Jagung di Desa Limbung ... 49

Faktor Internal Petani Jagung di Lahan Gambut ... 51

Faktor Eksternal Petani Jagung di Lahan Gambut ... 56

Kompetensi Petani Jagung dalam Berusahatani Jagung di Lahan Gambut ... 63

(13)

Korelasi Faktor Eksternal dengan Kompetensi Petani ... 80

Kinerja Petani ... 85

Korelasi Kompetensi dengan Kinerja Petani ... 86

KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 90

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Peubah, Indikator dan Kategori ... 40

2. Deskripsi Faktor Internal Petani Jagung ...………...…... 51

3. Deskripsi Faktor Eksternal Petani Jagung ... 56 4. Skor Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Jagung di Lahan Gambut . 64 5. Skor Sikap Petani dalam Berusahatani Jagung di Lahan Gambut ... 67 6. Skor Keterampilan Petani dalam Berusahatani Jagung di Lahan Gambut 71 7. Korelasi Faktor Internal dengan Kompetensi Petani ... 76 8. Korelasi Faktor Eksternal dengan Kompetensi Petani ... 80 9. Korelasi Kompetensi dengan Kinerja Petani ... 86

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian ...………. 99 2. Kuesioner Penelitian ……...……….……… 100 3. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman ..………. 109

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan pertanian merupakan rangkaian upaya untuk meningkatkan pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, memantapkan ketahanan pangan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (Deptan, 2005a). Melalui peningkatan produksi hasil pertanian dapat diupayakan peningkatan pendapatan petani (Soekartawi, 1995).

Salah satu upaya untuk memacu produksi hasil pertanian adalah dengan program ekstensifikasi lahan gambut (Nursyamsi et al., 2000). Lahan gambut merupakan sumberdaya alam yang melengkapi keanekaragaman kekayaan alam Indonesia. Potensi lahan gambut Indonesia mempunyai luasan sekitar 20 juta hektar (Kristijono, 2003). Kalimantan Barat merupakan propinsi yang memiliki lahan gambut terluas di Indonesia. Luas lahan gambut di Kalimantan Barat mencapai 1.993.519 hektar dan diperkirakan sekitar 15 persen (299.028 ha) dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian (Harniati, 2000).

Subsektor tanaman pangan dan hortikultura menghadapi kendala penyusutan luas lahan pertanian (Rasahan, 2000). Hal ini disebabkan makin menyempitnya lahan subur akibat penggantian penggunaan ke sektor nonpertanian, seperti jalan, jembatan, bangunan-bangunan, industri dan lain-lain. Sejak tahun 1980-an, setiap tahun lahan pertanian di Indonesia selalu terjadi pengurangan antara 10.000 hingga 30.000 hektar (Utomo, 1989), sehingga kebutuhan akan lahan pengganti sudah dirasakan sangat mendesak dan salah satu solusinya adalah memanfaatkan lahan gambut untuk lahan pertanian.

Salah satu tanaman yang banyak dikembangkan di lahan gambut adalah tanaman jagung (Zea mays L). Jagung adalah salah satu komoditas pertanian yang dapat diusahakan dengan baik di lahan gambut. Jagung merupakan komoditas pangan utama nasional, di samping beras dan kedelai; sehingga memiliki nilai ekonomis yang strategis. Jagung digunakan sebagai makanan pokok kedua setelah beras dan dapat juga diproses lebih lanjut sebagai pakan ternak atau bahan baku industri sehingga mempunyai prospek pemasaran yang sangat baik (Harniati, 2000).

(17)

Peluang pasar hasil panen tanaman jagung di tingkat nasional maupun di Kalimantan Barat cukup besar. Kebutuhan jagung nasional mencapai 13,8 juta ton per tahun, sedangkan produksi jagung dalam negeri 13,2 juta ton; sehingga sekitar 600 ribu ton jagung diimpor dari negara lain (Prabowo, 2007). Kebutuhan jagung untuk Kalimantan Barat mencapai + 52.232 ton per tahun, sedangkan persediaan jagung yang dapat dihasilkan oleh produksi dalam daerah Kalimantan Barat hanya 38.246 ton; berarti masih kekurangan sebesar 13.986 ton setiap tahunnya yang didatangkan dari luar Kalimantan (Deptan, 2005b). Data ini menunjukkan bahwa peluang pasar jagung sangat cerah.

Lahan gambut sudah sejak lama dijadikan sebagai lahan usahatani, terutama untuk komoditas jagung dan padi, namun teknologi yang diterapkan oleh petani masih bersifat tradisional, sehingga hasilnya relatif masih rendah yaitu sekitar 1 sampai 1,6 ton jagung per hektar (Pasandaran dan Faisal, 2003); padahal penelitian Suastika dan Inu, melalui usahatani jagung di lahan gambut dapat menghasilkan jagung 4,5 ton/ha (Harniati, 2000).

Pengelolaan lahan gambut untuk usahatani jagung membutuhkan keseriusan dan harus menggunakan teknologi yang tepat, hal ini berkaitan dengan keahlian dalam pengolahan lahan dan teknis budidaya (penanaman, pemupukan, pemeliharaan, pengendalian hama dan penyakit, panen, dan pascapanen), disamping kompetensi petani dalam merencanakan kegiatan usahatani dan memasarkan hasil.

Kompetensi berusahatani adalah kemampuan petani untuk berpikir, bersikap, dan bertindak dalam merencanakan usahatani untuk memperoleh keuntungan berusahatani, membangun kerjasama antar subsistem pertanian, mengelola pascapanen pangan untuk meraih nilai tambah produk pertanian, serta mewujudkan kegiatan pertanian yang berkelanjutan. Kompetensi seseorang merupakan indikator yang dapat memperkirakan kinerjanya, yaitu segala sesuatu yang hendak dilakukan dan dicapai dalam kegiatannya (Spencer dan Spencer, 1993; Woolfolk, 1993; Ilyas, 2002).

Adi (2003) menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya memiliki kekuatan dari dalam diri (inner force) yang menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhannya; di dalam diri manusia terdapat potensi, namun potensi tersebut

(18)

terbatas sehingga perlu upaya-upaya untuk mengembangkannya. Manusia merupakan unsur penggerak utama untuk memanipulasi dan mengintervensi sumberdaya alam dan sosial, yaitu menggunakan kapasitas diri, tingkat kemampuan atau kompetensi yang dimiliki (Tjitropranoto, 2005). Tingkat kompetensi petani menentukan keputusan dan tindakan yang tepat serta kinerjanya, dalam rangka menghadapi permasalahan dan tuntutan kebutuhan dalam berusahatani.

Sejauhmana tingkat kompetensi petani jagung dalam berusahatani di lahan gambut dan faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kompetensi tersebut sangat penting dikaji, yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan kompetensi petani.

Masalah Penelitian

Petani jagung di lahan gambut di desa Limbung kabupaten Pontianak telah lama menggeluti usahatani jagung, namun tingkat keberhasilan masih kecil; ditunjukkan dengan masih rendahnya tingkat kesejahteraan petani. Berusahatani jagung di lahan gambut memerlukan pengolahan lahan yang tepat untuk menghasilkan produksi yang tinggi dan pertanian yang berkelanjutan.

Oleh karena itu perlu diupayakan pengembangan kompetensi petani dalam berusahatani jagung di lahan gambut. Upaya-upaya dalam mengembangkan kompetensi dapat dilakukan terlebih dahulu dengan mengetahui sejauhmana tingkat kompetensi yang telah dimiliki oleh petani dalam berusahatani jagung di lahan gambut dan mengkaji faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan tingkat kompetensi tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Sejauhmanakah tingkat kompetensi petani jagung di lahan gambut ?

2. Faktor – faktor apa sajakah yang berhubungan dengan kompetensi petani jagung di lahan gambut?

3. Sejauhmanakah tingkat kinerja petani dan hubungan kompetensi dengan kinerja petani jagung di lahan gambut?

(19)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah :

1. Mengetahui tingkat kompetensi petani jagung di lahan gambut.

2. Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kompetensi petani jagung di lahan gambut.

3. Mengetahui tingkat kinerja petani dan hubungan kompetensi dengan kinerja petani jagung di lahan gambut.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini mengarahkan perhatian utama pada petani jagung di lahan gambut sebagai pelaku usahatani, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi yang mendalam mengenai unsur-unsur kompetensi yang harus dimiliki dan dikuasai oleh petani jagung dalam berusahatani di lahan gambut serta faktor-faktor yang berhubungan dengan kompetensi tersebut.

Hasil penelitian ini secara akademis diharapkan akan memberikan perluasan wawasan tentang kompetensi petani jagung dalam berusahatani di lahan gambut melalui pemahaman yang tepat tentang hubungan berbagai faktor yang berhubungan dengan pengembangan kompetensi petani.

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan berguna bagi pemerintah dan instansi terkait lainnya sebagai masukan untuk pengembangan kompetensi petani jagung dalam berusahatani di lahan gambut.

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Usahatani di Lahan Gambut

Gambut adalah lahan yang mengandung bahan organik lebih dari 30 persen, yang terbentuk dari hasil dekomposisi bahan-bahan organik seperti daun, ranting, semak belukar, dll, yang berlangsung dalam kecepatan lambat dan dalam suasana anaerob. Berdasarkan ketebalannya, gambut dibagi menjadi empat tipe, yaitu: (1) gambut dangkal dengan ketebalan 0,5 – 1 m, (2) gambut sedang dengan ketebalan 1 – 2 m, (3) gambut dalam dengan ketebalan 2 – 3 m, dan (4) gambut sangat dalam dengan ketebalan > 3 m (Nakertrans, 2005).

Kesuburan alamiah lahan gambut sangat beragam tergantung pada beberapa faktor antara lain: (1) ketebalan lahan gambut, (2) komposisi tanaman penyusun gambut, dan (3) lahan mineral yang berada di bagian bawah lapisan lahan gambut. Lahan gambut mempunyai tingkat kemasaman yang sangat tinggi dan akan menurun bersamaan dengan kedalamannya. Sebagian besar lahan gambut bereaksi masam hingga sangat masam (pH < 4,0). Kapasitas Tukar Kation (KTK) gambut tinggi, dan kejenuhan basa (KB) rendah. Sehingga ketersediaan basa-basa pada lahan gambut rendah. Ketersediaan hara makro dan mikro juga rendah seperti N, P, Cu, Co, dan Mo (Hatta dan Dwi, 2002).

Lebih lanjut Hatta dan Dwi (2002) menyebutkan bahwa dengan keterbatasan yang dimiliki lahan gambut, diperlukan metode usahatani yang tepat supaya produktivitas sesuai harapan. Berusahatani di lahan gambut memerlukan perlakuan khusus oleh petani, sehingga diperlukan kompetensi tertentu dari petani.

Menurut Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat (2003), upaya konservasi lahan gambut dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:

(1) Pengelolaan drainase untuk pengaturan tata air dalam lahan gambut. Pengelolaan tata air perlu dilakukan untuk menghindari kering tidak balik dan penurunan permukaan gambut yang dipercepat.

(2) Pemberian amelioran, untuk menaikkan pH lahan dan penyediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Kapur sangat efektif untuk meningkatkan pH lahan dan kejenuhan basa, serta meningkatkan pertumbuhan tanaman (seperti kedelai dan jagung). Alternatif lain adalah dengan menambah abu (misalnya

(21)

dari sekam, kayu gergaji atau gunung api) dengan takaran 3-5 ton per hektar dalam larikan, atau menambah tanah mineral lempung dengan takaran 3-5 ton per hektar, atau dapat juga dengan mencampur lapisan gambut dengan lapisan tanah mineral yang ada dibawahnya, hal ini dapat dilaksanakan jika gambutnya cukup dangkal dengan memanfaatkan tanah mineral yang terangkat ke permukaan lahan ketika membuat parit.

(3) Pemupukan berimbang

(4) Tidak melakukan pembakaran vegetasi di lahan gambut yang dapat mengakibatkan terbakarnya gambut, sehingga dapat merusak lingkungan.

Faktor Internal Petani

Sampson (Rakhmat, 2001) menyatakan faktor internal individu merupakan ciri-ciri yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dengan lingkungannya. Faktor internal meliputi variabel seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial, ekonomi, bangsa, agama, dan sebagainya, yang saling berinteraksi satu sama lain dalam proses pemberdayaan. Faktor internal petani menentukan pemahaman petani terhadap informasi pertanian. Menurut Rogers dan Shoemaker (1986), faktor internal petani berpengaruh dalam penyebaran suatu ide baru. Adapun faktor internal petani adalah: umur, pendidikan formal, pengalaman berusahatani, dan motivasi.

Umur

Padmowihardjo (1994: 36) mengatakan umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi sesuatu yang diakibatkan oleh umur adalah faktor psikologis. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan dengan umur. Faktor pertama adalah mekanisme belajar dan kematangan otak, organ-organ sensual dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua adalah akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar lainnya. Wiraatmadja (1990: 13) mengemukakan bahwa umur petani akan mempengaruhi penerimaan petani terhadap hal-hal baru.

Umur merupakan suatu indikator umum tentang kapan suatu perubahan harus terjadi. Umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat keragaman tindakannya berdasarkan usia yang dimiliki (Bettinghaus,

(22)

1973: 84). Rakhmat (2001) mengatakan bahwa kelompok orangtua melahirkan pola tindakan yang pasti berbeda dengan anak-anak muda. Kemampuan mental tumbuh lebih cepat pada masa anak-anak sampai dengan pubertas, dan agak lambat sampai awal dua puluhan, dan merosot perlahan-lahan sampai tahun-tahun terakhir (Berelson dan Garry, 1973).

Umur merupakan aspek yang berhubungan terhadap kemampuan fisik, psikologis, dan biologis seseorang (Setiawan et al., 2006: 47). Umur dengan demikian merupakan aspek yang berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam belajar, baik dalam proses belajar maupun mengaktualisasikan hasil belajar dalam pengalaman hidup. Umur dalam penelitian ini adalah jumlah tahun hidup petani.

Pendidikan Formal

Menurut Soekartawi et al., (1986), salah satu faktor yang dapat mengubah pola pikir dan daya nalar petani adalah pendidikan. Pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan daya pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin luas pengetahuannya. Pendidikan merupakan proses pembentukan watak seseorang, sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku (Winkel, 1986: 19-20). Gonzales (Jahi, 1988) merangkum pendapat beberapa ilmuwan bahwa pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan. Pendidikan menggambarkan tingkat kemampuan kognitif dan derajat ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang.

Russel (1993: 39) mengatakan bahwa pendidikan senantiasa mempunyai dua sasaran, yaitu pengajaran dan pelatihan perilaku yang lebih baik. Pengertian secara sempit, pendidikan berarti perubahan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan. Pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga seseorang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan (Syah, 2002: 10). Salam (1997: 12) mengemukakan bahwa

pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha yang disadari untuk

mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.

(23)

Slamet (2003a) mendefinisikan pendidikan sebagai usaha untuk menghasilkan perubahan pada perilaku manusia. Soekanto (2002: 327-328) menyatakan bahwa pendidikan mengajarkan kepada individu aneka macam kemampuan. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikiran serta menerima hal-hal baru dan juga bagaimana cara berpikir secara ilmiah.

Pendidikan dengan demikian merupakan proses yang dijalani seseorang untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang kemudian menghasilkan perubahan perilaku. Pendidikan dalam penelitian ini dibatasi pada jumlah tahun pendidikan formal yang telah ditempuh oleh petani.

Pengalaman Berusahatani

Pengalaman seseorang bertambah sejalan dengan bertambahnya usia. Pengalaman dapat diukur secara kuantitatif berdasarkan jumlah tahun seseorang dalam bidang usahatani; serta pengalaman yang bersifat kualitatif. Konsekuensi masa depan ditentukan oleh pengalaman masa lalu, dampak dari pengalaman, serta pengamatan seseorang terhadap yang lain (Bandura, 1986).

Pengalaman berusahatani merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas petani dalam usahataninya. Cita-cita petani berdasarkan pangalaman yang baik, mengenai cara bercocok tanam yang baik dan menguntungkan akan mempengaruhi terlaksananya pembangunan pertanian (Mosher, 1987: 47).

Tohir (1983: 180) menyatakan bahwa dalam mengelola usahataninya, petani masih banyak menggunakan pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain dan perasaan (feeling). van den Ban dan Hawkins (1999: 314) mengemukakan bahwa seseorang yang belajar dapat memperoleh atau memperbaiki kemampuan untuk melaksanakan suatu pola sikap, melalui pengalaman dan praktek.

Pengalaman berusahatani dengan demikian dapat berupa pengalaman kuantitatif yaitu jumlah tahun berusahatani dan pengalaman kualitatif yaitu proses belajar yang dialami selama berusahatani yang mempengaruhi tindakan petani dalam usahataninya. Pengalaman berusahatani dalam penelitian ini adalah lamanya waktu dalam tahun yang telah dicurahkan oleh petani jagung dalam berusahatani di lahan gambut. Pengalaman petani jagung dalam berusahatani di

(24)

lahan gambut dapat berasal dari pengalaman sebagai petani jagung dan dapat juga dari pengalaman sebelumnya sebagai petani yang menanam komoditas selain jagung di lahan gambut (di lahan yang sama).

Motivasi

Morgan et al., (1963) mengemukakan bahwa konsep motivasi tidak bisa dilepaskan dari adanya motif (motive), dorongan (drive) dan kebutuhan (needs). Tindakan yang bermotif dapat dikatakan sebagai tindakan yang didorong oleh kebutuhan yang dirasakannya, sehingga tindakan tersebut tertuju ke arah suatu tujuan yang diidamkan.

Menurut Padmowihardjo (1994: 135), motivasi merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan. Sudjana (1991: 162) mengatakan motivasi belajar adalah motivasi insentif. Motivasi tersebut menggambarkan kecenderungan asli manusia untuk menggerakkan, mendominasi dan menguasai lingkungan di sekelilingnya.

Suparno (2000: 83-90) mengemukakan bahwa seseorang akan melakukan sesuatu jika mengharapkan akan melihat hasil, memiliki nilai (value) atau manfaat. Perasaan berhasil (the experience of success) akan menimbulkan motivasi seseorang untuk mempelajari dan melakukan sesuatu.

Motivasi dengan demikian merupakan dorongan yang berasal dari dalam maupun luar diri seseorang untuk melakukan tindakan dalam upaya mencapai suatu tujuan. Motivasi dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mendorong petani untuk berusahatani jagung di lahan gambut.

Faktor Eksternal Petani

Menurut Sampson (Rakhmat, 2001) faktor eksternal adalah ciri-ciri yang menekan seseorang yang berasal dari luar dirinya, yang merupakan salah satu faktor yang penting dalam rangka mengetahui upaya seseorang untuk melakukan suatu usaha. Pengertian faktor eksternal dalam penelitian ini adalah keadaan/peristiwa yang mempengaruhi petani yang berasal dari luar diri, seperti: lahan, interaksi dengan penyuluh, sarana produksi, keterlibatan dalam kelompoktani dan akses kredit.

(25)

Lahan

Lahan adalah lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi yang saling mempengaruhi potensi penggunaannya. Lahan garapan adalah lahan yang diusahakan, baik lahan milik sendiri maupun sewa (BPS, 2003). Menurut Hernanto (1993: 46), lahan merupakan unsur produksi asli.

Menurut Tjakrawiralaksana (1996) lahan merupakan manifestasi atau pencerminan dari faktor-faktor alam yang berada di atas dan di dalam permukaan bumi, dan berfungsi sebagai: (1) tempat diselenggarakan kegiatan pertanian, seperti bercocok tanam dan memelihara ternak atau ikan, (2) tempat pemukiman keluarga tani. Hernanto lebih lanjut menyatakan luas lahan usahatani dapat

digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu (1) sempit, dengan luas < 0,5 ha (2) sedang, dengan luas 0,5 – 2 ha (3) luas, jika lebih dari 2 ha.

Mardikanto (1993: 217) mengatakan bahwa luas lahan usahatani merupakan aset bagi petani dalam menghasilkan produksi total, dan sekaligus sumber pendapatan. Pada umumnya, petani dengan kepemilikan lahan usaha yang luas akan menempati posisi status sosial lebih tinggi di lingkungan sosialnya.

Lahan dengan demikian merupakan tempat diselenggarakan kegiatan pertanian untuk menghasilkan produk pertanian sebagai sumber pendapatan ataupun tempat pemukiman petani. Lahan dalam penelitian ini dibatasi pada luasan lahan gambut yang digunakan oleh petani untuk berusahatani jagung.

Interaksi dengan Penyuluh

Menurut Gerungan (1996: 57-58), interaksi adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya.

Hubungan antara petani dengan penyuluh terjadi karena adanya interaksi dengan penyuluh. Wiriaatmadja (1990: 29-30) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan penyuluhan, seorang penyuluh harus mengadakan hubungan dengan petani, hubungan tersebut pada akhirnya dapat menimbulkan komunikasi. Komunikasi yang baik akan berjalan timbal balik atau terjadi feedback. Hal ini penting bagi penyuluh, karena dapat mengambil tindakan-tindakan selanjutnya,

(26)

dengan demikian maka komunikasi tersebut dapat dilanjutkan dan dipelihara dengan baik.

Asngari (2001: 11) mengemukakan bahwa, dalam hal menyajikan atau menyampaikan informasi dari agen pembaruan ke klien, berupa pengetahuan, teknologi, gagasan, pengalaman, dan lainnya perlu adanya komunikasi yang bersifat: (1) prosesnya harus komunikatif, isi pesannya harus bermakna bagi klien, dengan anjuran/saran/alasan yang bermakna ini akan mengobarkan imajinasi, yang selanjutnya membuat orang tergerak baik mental maupun fisik, (2) cara penyampaiannya harus persuasif dan bukannya paksaan, (3) dapat diterima dengan menyenangkan.

Interaksi dengan penyuluh merupakan hubungan yang selanjutnya terjadi komunikasi untuk saling bertukar informasi antara petani dengan penyuluh. Interaksi dengan penyuluh dalam penelitian ini dibatasi pada tingkat kualitas dan kuantitas hubungan petani dengan penyuluh dalam upaya mendapatkan informasi/teknologi baru guna pengembangan kompetensi petani.

Sarana Produksi

Menurut Sudjati (1981: 83) sarana merupakan alat-alat yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. van den Ban (1999: 67) menyebutkan sarana usahatani meliputi: tanah atau lahan, pupuk, benih bersertifikat, alat penyemprot, bahan bangunan, mesin pertanian, dan subsidi produksi. Mosher (1987) menyatakan bahwa untuk meningkatkan produksi pertanian, memerlukan penggunaan bahan-bahan dan alat-alat produksi oleh petani, diantaranya: bibit, pupuk, pestisida, makanan dan obat ternak serta perkakas. Mosher lebih lanjut menyatakan bahwa tersedianya sarana merupakan syarat pokok dalam pembangunan pertanian. Ketersediaan sarana produksi mutlak diperlukan agar dapat menjadi pendukung dalam peningkatan produksi.

Lunandi (1993: 41) mengemukakan bahwa dalam hal tertentu penyediaan materi (peralatan dan sarana produksi) dibutuhkan dalam suatu proses belajar ke arah perubahan perilaku disamping pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam usaha atau kegiatan yang dilakukan.

Sarana produksi dengan demikian merupakan bahan-bahan dan alat-alat yang diperlukan dalam proses produksi untuk mencapai target yang telah

(27)

ditentukan. Sarana produksi dalam penelitian ini dibatasi pada tingkat kemudahan petani dalam mendapatkan benih, pupuk, obat-obatan dan kelengkapan penyediaannya untuk kegiatan proses produksi.

Keterlibatan dalam Kelompoktani

Menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani (Deptan, 2007), kelompoktani adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota.

Penumbuhan kelompoktani didasarkan atas faktor-faktor pengikat sebagai berikut : (a) adanya kepentingan bersama antara anggotanya, (b) adanya kesamaan kondisi sumber daya alam dalam berusahatani, (c) adanya kondisi masyarakat dan kondisi sosial yang sama, (d) adanya saling percaya mempercayai antara sesama anggota. Melalui pendekatan kelompok akan terjalin kerjasama antara individu anggota kelompok dalam proses belajar, proses berproduksi, pengolahan hasil dan pemasaran hasil untuk peningkatan pendapatan dan kehidupan yang layak (Abbas, 1995).

Slamet (2003b) mengemukakan bahwa pendekatan kelompok disarankan bukan hanya karena pendekatan ini lebih efisien, tetapi karena pendekatan ini menghasilkan interaksi antar petani dalam kelompok yang merupakan forum komunikasi yang demokratis. Forum itu juga sebagai forum belajar sekaligus forum pengambilan keputusan untuk memperbaiki nasib mereka sendiri. Melalui forum semacam inilah pemberdayaan ditumbuhkan yang akan berlanjut pada tumbuh dan berkembangnya kemandirian rakyat petani.

Keterlibatan dalam kelompoktani dengan demikian merupakan tindakan petani menjadi anggota, mengikuti kegiatan kelompoktani, dan bekerjasama antara sesama anggota untuk meningkatkan dan mengembangkan kegiatan usahatani. Keterlibatan dalam kelompoktani dalam penelitian ini adalah tingkat keaktifan petani dalam kegiatan kelompoktani sebagai wadah interaksi saling bertukar informasi dan pengalaman sesama petani.

(28)

Akses Kredit

Menurut Mosher (1987), untuk memproduksi lebih banyak, petani harus lebih banyak memerlukan uang untuk bibit unggul, pestisida, pupuk, dan alat-alat pertanian. Pengeluaran-pengeluaran tersebut harus dibiayai dari uang sendiri atau dengan meminjam selama jangka waktu antara saat pembelian sarana produksi dan saat penjualan hasil panen. Badan-badan efisien yang memberikan kredit produksi kepada petani dapat merupakan faktor pelancar penting bagi pembangunan pertanian.

Menurut Hernanto (1993: 84), akses kredit adalah kemampuan untuk mendapat barang atau jasa pada saat sekarang untuk dikembalikan di kemudian hari. Soekartawi, et al., (1986: 113) mengemukakan bahwa kebutuhan kredit tersedia pada pelepas uang atau bank dan petani dapat membayar bunga atau jumlah pinjaman pokok dari arus pendapatan yang diproyeksikan.

Akses kredit dengan demikian merupakan sumber modal yang dapat diakses dan dimanfaatkan petani dalam memperoleh uang, barang atau jasa untuk kelangsungan kegiatan usahatani, yang dikembalikan dengan jumlah dan pada waktu yang sesuai dengan perjanjian. Akses kredit dalam penelitian ini dibatasi pada kemudahan mengakses sumber modal/kredit untuk kelanjutan dan pengembangan usahatani jagung di lahan gambut.

Kompetensi

Menurut McAshan (Mulyasa, 2002: 38) “competency is a knowledge, skills,

and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor behaviours”. Syah (2002: 229) menyatakan bahwa

pengertian dasar kompetensi (competency) adalah kemampuan atau kecakapan. Istilah kompetensi diartikan sebagai “kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas” atau sebagai “memiliki keterampilan dan kecakapan yang disyaratkan”. Pengertian yang lebih luas ini jelas bahwa setiap cara yang digunakan dalam pelajaran yang ditujukan untuk mencapai kompetensi adalah mengembangkan manusia yang bermutu yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan sebagaimana disyaratkan. Kata kompetensi dipilih

(29)

untuk menunjukkan tekanan pada “kemampuan mendemonstrasikan pengetahuan” (Suparno, 2001: 14).

Menurut Lucia dan Lepsinger (1999: 6-7) kompetensi merupakan kombinasi dari pengetahuan, keterampilan dan karakteristik yang dibutuhkan secara efektif untuk berperan. Pada dasarnya kompetensi terdiri atas unsur-unsur personal karakteristik, bakat (aptitude), pengetahuan, keterampilan, dan berujung pada perilaku.

National Council of State Boards of Nursing Inc., (Shellabear, 2002: 1)

menyatakan bahwa kompetensi adalah penerapan dari pengetahuan yang bersifat interpersonal, pembuatan keputusan dan keterampilan (psychomotor skills) yang diharapkan dalam menjalankan suatu peran.

Lasmahadi (2002: 2) mengemukakan bahwa kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja superior. Aspek-aspek pribadi ini termasuk sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi akan mengarahkan tingkah laku, dan tingkah laku akan menghasilkan kinerja.

Kompetensi manusia adalah kemampuan berpikir, bersikap, dan bertindak yang mendasari dan merefleksikan wujud perilaku dan kinerja seseorang dalam aktivitas dan pergaulan hidupnya (Mangkuprawira, 2004). Kompetensi dapat diterjemahkan sebagai penerapan dari pengetahuan, kemampuan, dan karakteristik individu yang akan menghasilkan kinerja yang menonjol (Stone dan Bieber, 1997).

Terdapat berbagai pengertian ”kompetensi” yang dikembangkan oleh berbagai institusi. Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh

tanggungjawab/komitmen yang dimiliki seseorang sehingga mampu

melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu (Undang-undang nomor 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi). Elemen-elemen yang menentukan kompetensi seseorang, meliputi: (1) landasan kepribadian, (2) penguasaan ilmu dan keterampilan, (3) kemampuan berkarya, (4) sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai, dan (5) pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.

(30)

Menurut Spencer dan Spencer (1993), kompetensi merupakan karakteristik mendasar seseorang, yang menentukan terhadap hasil kerja yang terbaik dan efektif sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam suatu pekerjaan atau situasi tertentu. Kompetensi menentukan perilaku dan kinerja (hasil kerja) seseorang dalam situasi dan peran yang beragam. Tingkat kompetensi seseorang, dengan demikian dapat digunakan untuk memprediksi bahwa seseorang akan mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik atau tidak. Kompetensi juga menentukan cara-cara seseorang dalam berperilaku atau berpikir, menyesuaikan dalam berbagai situasi, dan bertahan lama dalam jangka panjang.

Kompetensi yang satu berbeda dengan kompetensi yang lain dalam hal jumlah bagian-bagiannya. Suparno lebih lanjut menyebutkan bahwa makin kompleks, kreatif, atau profesional suatu kompetensi, makin besar kemungkinan diterapkan dengan cara berbeda (different fashion) pada setiap kali dilakukan, bahkan oleh orang yang sama.

Menurut Willis dan Samuel (Puspadi, 2003: 120), kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas secara efektif. Klemp (Puspadi, 2003: 120) mengungkapkan “a job competency in an underlying characteristic of a

person which results in effective and or superior performance in a job. A job competency is an undelying characteristic of a person in that it may be a motive, trait, skill, aspect of one’s self image or social role, or a body of knowledge which he or she uses”. Kompetensi kerja adalah segala sesuatu pada individu yang

menyebabkan kinerja yang prima.

Mulyasa (2002: 40) mengemukakan bahwa dalam hubungannya dengan proses belajar, kompetensi menunjuk kepada perbuatan yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu dalam proses belajar. Kompetensi dikatakan perbuatan karena berbentuk perilaku yang dapat diamati, meskipun sering terlihat proses yang tidak nampak seperti pengambilan pilihan sebelum perbuatan dilakukan. Kompetensi dilandasi oleh rasionalitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran “mengapa dan bagaimana” perbuatan tersebut dilakukan. Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.

(31)

Menurut Widyarini (2004: 2) untuk bertahan (survive) dan meraih keberhasilan dalam hidup, manusia perlu mengembangkan kompetensi. Kompetensi lebih dari sekedar mengembangkan keterampilan, mencakup keberhasilan mengatasi tantangan-tantangan, sukses dalam berinteraksi dengan lingkungan, mampu menyusun tujuan-tujuan, dan memandang diri sendiri sebagai orang yang cakap (mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain). Seseorang perlu memiliki tiga hal berikut untuk mengembangkan kompetensi:

1. Sense of control adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya sendirilah yang

mengendalikan hidupnya atau peristiwa-peristiwa yang ia alami (bukan ditentukan oleh nasib/takdir atau orang lain yang berkuasa). Orang yang memiliki sense of control merasa bahwa sesuatu yang akan terjadi dalam hidupnya dapat diprediksi. Hal ini merupakan pemenuhan atas kebutuhan untuk kelangsungan hidup (survival).

2. Kebutuhan untuk berprestasi dan penguasaan. Kebutuhan untuk mencapai

tujuan dan menguasai keterampilan tertinggi ini merupakan dasar penting untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan seseorang untuk sukses dalam berinteraksi dengan lingkungan dan meraih yang diharapkan dalam hidup.

3. Self esteem, dalam psikologi sering diterjemahkan sebagai harga diri dan

didefinisikan sebagai penilaian seseorang terhadap diri sendiri, baik positif maupun negatif. Manusia yang mempunyai keyakinan akan kemampuan-kemampuan yang dimiliki dan merasa dirinya bernilai adalah orang yang harga dirinya positif. Sebaliknya, mereka yang harga dirinya negatif akan merasa lemah, tidak berdaya.

Kompetensi seseorang, dengan demikian dibentuk terutama oleh pengetahuan, keterampilan, sikap mentalnya dalam pelaksanaan pekerjaannya sesuai peran seseorang yang dilakukan secara optimal dalam kondisi normal ataupun situasi berbeda. Kompetensi petani adalah kemampuan yang dimiliki petani berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaannya sesuai ukuran yang ditentukan.

(32)

Unsur-unsur Kompetensi Pengetahuan

Menurut Padmowihardjo (1978: 83), pengetahuan adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan mengingat materi yang telah dipelajari dan kemampuan mengembangkan intelegensia.

Purwanto (2002: 158) menyebutkan bahwa kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dimiliki seseorang dan jenis pengetahuan apa yang telah dikuasainya memainkan peranan penting di dalam pekerjaannya. Syah (2002) menyebutkan bahwa pengetahuan adalah kemampuan seseorang mengingat-ingat sesuatu misal ide atau fenomena yang pernah diajarkan, dialami, dan dilakukan melalui proses belajar (hal-hal yang diketahui dan sesuatu yang ada di otak).

Menurut Bruner (Suparno, 2001: 84), pengetahuan selalu dapat diperbarui, dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan kematangan intelektual individu. Pengetahuan bukan produk, melainkan suatu proses. Proses tersebut menurut Brunner melibatkan tiga aspek, yaitu : (1) proses mendapatkan informasi baru yang seringkali merupakan pengganti pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya atau merupakan penyempurnaan informasi sebelumnya, (2) proses transformasi, yaitu proses memanipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas-tugas baru, (3) proses mengevaluasi, yaitu memeriksa/menilai cara pengolahan informasi, telah memadai atau belum.

Pengetahuan dengan demikian adalah pemahaman terhadap sesuatu yang pernah dipelajari, dialami atau dilakukan dan hal tersebut dapat mempengaruhi tindakan/hasil kerja. Pengetahuan petani dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang diketahui oleh petani berkenaan dengan perencanaan usahatani, pengolahan lahan gambut, teknis budidaya jagung, dan teknis pemasaran, yang didapatkan dari pendidikan, pengalaman, dan interaksi dengan pihak lain.

Sikap

Menurut van den Ban dan Hawkins (1999: 106), sikap adalah perasaan, pikiran dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Sikap merupakan kecondongan evaluatif terhadap suatu obyek atau subyek yang memiliki konsekwensi yakni cara seseorang berhadapan dengan obyek sikap. Meyers

(33)

(Sarwono, 2002) menyatakan bahwa sikap adalah suatu reaksi evaluasi yang menyenangkan terhadap sesuatu atau seseorang yang ditujukan dalam kepercayaan, perasaan atau perilaku seseorang.

Sikap didefinisikan sebagai keadaan internal seseorang yang mempengaruhi pilihan-pilihan atas tindakan-tindakan pribadi yang dilakukannya (Suparno, 2001). Beberapa ahli, seperti Meyers mendefinisikan sikap sebagai a favourable or

unfavourable evaluative reaction toward something or someone, exhibited in one’s belief, feelings or intended behavior, sedangkan Azjen mendefinisikan an attitude is a disposition to serpond favourably or unfavourably to an object, person, institution or event (Sarwono, 2002: 232). Menurut Thurstone (Mueller,

1992: 4) sikap adalah (1) pengaruh atau penolakan, (2) penilaian, (3) suka atau tidak suka, atau (4) kepositifan atau kenegatifan terhadap suatu obyek psikologis.

Menurut Suparno (2001: 9), sikap mempunyai tiga karakteristik, yaitu: (1) intensitas, yakni kekuatan perasaan terhadap objek, (2) arah terhadap objek, baik positif, negatif ataupun netral, (3) target, yakni sasaran sikap, terhadap apa sikap ditujukan.

Sikap dipandang mempunyai komponen afektif atau emosional, dan berakibat pada tingkah laku atau behavioral consequences (Suparno, 2001: 15). Gagne (Suparno, 2001: 5) menekankan pada efek sikap terhadap pilihan-pilihan tingkah laku individu. Keadaan internal yang mempengaruhi pilihan-pilihan ini mempunyai aspek intelektual maupun aspek emosional. Hal tersebut diperoleh individu sepanjang hidupnya melalui pergaulannya baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan ketiga. Perbuatan yang dipilih seseorang dipengaruhi kejadian-kejadian khusus pada waktu itu, tetapi kecenderungan-kecenderungan yang bersifat tetap mengakibatkan tingkah laku yang konsisten dalam situasi tertentu dan itulah yang dimaksud sikap.

Menurut Sarwono (2002: 251-252), sikap terbentuk dari pengalaman, melalui proses belajar. Pandangan ini mempunyai dampak terapan, yaitu bahwa berdasarkan pandangan ini dapat disusun berbagai upaya (penerangan, pendidikan, pelatihan, komunikasi, dan sebagainya) untuk mengubah sikap seseorang. Sebagaimana temuan penelitian Harijati (2007), bahwa peningkatan

(34)

pengetahuan petani berpengaruh langsung terhadap peningkatan sikap mental petani.

Sikap dengan demikian adalah penilaian seseorang terhadap suatu obyek atau subyek tertentu yang menghasilkan tingkah laku; penilaian tersebut sebagai hasil pengaruh lingkungan dari pengalaman hidup. Sikap petani dalam penelitian ini dibatasi pada penolakan atau penerimaan petani terhadap teknologi anjuran dalam aspek perencanaan usahatani, pengolahan lahan gambut, teknis budidaya jagung, dan teknis pemasaran.

Keterampilan

Keterampilan adalah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olah raga, dan sebagainya (Syah, 2002: 119). Keterampilan menekankan kemampuan motorik dalam kawasan psikomotor, yaitu bekerja dengan benda-benda atau aktivitas yang memerlukan koordinasi syaraf dan otot. Seseorang dikatakan menguasai kecakapan motoris bukan saja karena dapat melakukan hal-hal atau gerakan yang telah ditentukan, tetapi juga karena melakukannya dalam keseluruhan gerak yang lancar dan tepat waktu (Suparno, 2001: 11).

Pengetahuan tentang cara-cara menguasai keterampilan tertentu akan mengubah arah dan intensitas motivasi seseorang. Keterampilan yang kompleks dapat dipelajari secara bertahap. Analisis tugas yang kompleks menjadi keterampilan-keterampilan bagian (part-skills), memungkinkan dikuasainya keterampilan tersebut. Jika penguasaan atas keterampilan sudah tercapai, maka akan timbul rasa puas, yang pada gilirannya mendorong orang untuk mengulangi kegiatan tersebut atau melanjutkannya ke tahap yang lebih kompleks (Suparno, 2001: 22).

Menurut Reber (Syah, 2002: 119) keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Keterampilan bukan hanya meliputi gerakan motorik melainkan juga pengejawantahan fungsi mental yang bersifat kognitif. Konotasinya pun luas sehingga sampai pada mempengaruhi atau mendayagunakan orang lain. Hal ini berarti, orang yang mampu

(35)

mendayagunakan orang lain secara tepat juga dianggap sebagai orang yang terampil.

Kemampuan mengamati secara cermat gerakan, taktik, dan kiat-kiat orang yang menjadi contoh (model) baik secara langsung maupun melalui media gambar memungkinkan keterampilan bagian dapat ditiru dengan lebih mudah. Urutan langkah menjadi amat penting. Demikian pula frekuensi dan intensitas praktek akan memberi peluang dikuasainya keterampilan yang semula bersifat kaku, menjadi lancar, luwes, dan harmonis (Suparno, 2001: 23).

Keterampilan dengan demikian adalah kemampuan motorik seseorang berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya untuk mencapai hasil tertentu. Keterampilan petani dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh petani untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam usahataninya.

Perilaku

Perilaku merupakan segala sesuatu yang dilakukan manusia yang dapat diukur secara objektif (Hogg dan Vaughan, 2002), dan disebut perilaku tampak (overt behavior). Perasaan, pikiran, keyakinan/kepercayaan, sikap, maksud (intention), dan tujuan-tujuan individu (goals), merupakan komponen yang tidak bisa diukur/diamati secara langsung, tetapi dapat diduga/diprediksi dari perilaku. Proses yang tidak dapat diamati tersebut penting dipelajari, sebab proses-proses tersebut mungkin mempengaruhi atau mengatur langsung terhadap perilaku yang tampak, misal membantu memahami hubungan antara sikap dan perilaku. Proses yang tidak dapat diamati tersebut terjadinya di dalam otak manusia, yaitu proses-proses dan struktur-struktur kognitif yang mendasar.

Proses kognitif yang terjadi dalam otak manusia tidak dapat diabaikan, dalam mempelajari perilaku. Selain itu, perilaku ditentukan pula oleh kejadian-kejadian di sekitarnya. Perilaku merupakan hasil belajar yang dialami seseorang, yaitu akibat proses interaksi yang saling mempengaruhi antara kejadian-kejadian di lingkungan dengan faktor-faktor yang telah ada dalam individu (Bandura, 1986; Woolfolk, 1993). Perubahan perilaku dilakukan melalui proses belajar individu yang berinteraksi dengan lingkungannya yang menyediakan informasi, selanjutnya dalam diri individu terjadi proses kognitif atau pengolahan informasi

(36)

yang dipengaruhi faktor-faktor yang telah dimiliki individu, misal pengalaman, motivasi. Hasil belajar tersebut diwujudkan melalui perubahan perilaku yang tampak (Hogg dan Vaughan, 2002).

Bloom (Woolfolk, 1993), dalam konteks pendidikan, mengembangkan taksonomi perilaku untuk mengukur perubahan terencana sebagai hasil belajar, yaitu: kawasan kognitif (the cognitif domain) yang mempresentasikan hal-hal yang dipercayai berdasarkan pengetahuan yang dimiliki; kawasan keterampilan (the psychomotor domain) atau konatif (conative) yaitu aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki seseorang atau cara-cara tertentu; dan kawasan afektif (the affective domain) yang merupakan sikap mental atau perasaan yang menyangkut aspek emosional terhadap suatu objek (Hogg dan Vaughan, 2002; Makmun, 2000; Woolfolk, 1993).

Menurut Bloom (Woolfolk, 1993), kawasan pengetahuan berkaitan dengan kemampuan mengingat atau mengenal terhadap sesuatu pengetahuan, kemampuan intelektual, serta keterampilan berpikir atau memberikan komentar/alasan terhadap suatu objek. Proses pengetahuan diawali dari sesuatu (informasi) yang diajarkan, dilihat, atau dialami melalui proses pendidikan; kemudian melalui proses dalam otak, dan terbentuk suatu ide atau gagasan terhadap sesuatu yang dipelajarinya. Sekali gagasan itu telah terbentuk, maka akan menjadi dasar pengetahuan seseorang berhadapan dengan objek atau kejadian disekitarnya, misal memecahkan masalah. Makin sering suatu pengetahuan diberikan kepada seseorang, akan meningkatkan kemampuan berpikir seseorang.

Kawasan keterampilan, menurut Bloom (Woolfolk, 1993); Tesser dan Schwart (2003), berkaitan dengan kemampuan motorik atau menggerakkan anggota tubuh yang membutuhkan koordinasi; mulai dari tindakan yang bersifat reflek sampai dengan tindakan yang kreatif dan perlu keahlian tertentu (skilled). Seseorang akan makin terampil jika dalam gerakannya memenuhi kriteria kekuatan, kecepatan, kerapian, dan kecermatan, serta kemampuan melakukan keahlian tertentu. Keterampilan merupakan salah satu kawasan yang akan ditingkatkan dengan kegiatan penyuluhan, sehingga tingkat keterampilan seseorang harus diukur. Keterampilan dipengaruhi tingkat pengetahuan seseorang terhadap suatu objek.

(37)

Bloom (Woolfolk, 1993); Tesser dan Schwart (2003) lebih lanjut menerangkan tentang kawasan sikap, yang berkaitan dengan emosi subjektif, perasaan, minat, sikap, dan nilai serta pengembangan penghargaan dan penyesuaian diri, atau perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu, sehingga mempengaruhi responnya terhadap suatu objek atau situasi tertentu. Faktor yang diduga menentukan komponen afektif seseorang adalah kepercayaan atau apa yang dipercayai sebagai benar dan berlaku bagi objek yang dihadapi. Jadi, sikap seseorang ditentukan oleh pengetahuan.

Pengklasifikasian kawasan pengetahuan, keterampilan, dan sikap tersebut tidak dimaksudkan untuk memilah-milah, semata-mata untuk memudahkan kajian. Ketiganya harus selaras dan konsisten agar menghasilkan perilaku yang diharapkan sesuai stimulus atau kejadian di lingkungan (Woolfolk, 1993; Tesser & Schwart, 2003). Jika salah satu komponen tidak konsisten dengan yang lain, maka akan terjadi ketidakselarasan.

Perilaku, dengan demikian adalah segala sesuatu yang dilakukan manusia (ucapan, perbuatan, sikap) yang dapat diamati, didengar, dirasakan, dan diukur oleh orang lain; yang merupakan hasil proses belajar yang terjadi dalam diri seseorang. Penelitian ini adalah mengukur perilaku berdasarkan perilaku tampak. Menurut Bandura (1986), perubahan perilaku merupakan “production” atau “tujuan dihayati (perceived goals)”. Menurut Makmun (2000), perilaku tampak tersebut ditentukan oleh komponen tujuan belajar yaitu kawasan pengetahuan, keterampilan, dan sikap; sehingga ketiga kawasan penentu perubahan perilaku tersebut diukur dalam penelitian ini.

Kinerja

Setiap kegiatan usaha pasti ingin mencapai sasaran yang telah ditetapkan atau ingin mencapai “keberhasilan usaha”. Salah satu langkah untuk mengukur keberhasilan itu adalah melakukan penilaian kinerja (performance). Penilaian kinerja memang penting, sebab (1) merupakan ukuran keberhasilan suatu kegiatan usaha dalam kurun waktu tertentu, dan (2) merupakan masukan untuk perbaikan atau peningkatan kinerja kegiatan usaha selanjutnya (Riyanti, 2003). Rivai dan Ahmad (2005) mengatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai

(38)

seseorang atau kelompok orang dalam upaya pencapaian tujuan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral atau etika. Kinerja petani jagung di lahan gambut adalah keberhasilan usaha petani yang diukur berdasarkan tingkat kemajuan yang dicapai oleh kegiatan usahataninya.

Beberapa cara mengukur kinerja adalah: (1) produktivitas, (2) keuntungan usaha yang diperoleh; dan (3) kinerja administrasi, kinerja operasi, dan kinerja strategik (Riyanti, 2003). Penelitian ini mengukur kinerja atau hasil kerja petani jagung di lahan gambut berdasarkan keberhasilan fisik yaitu produktivitas/hasil panen jagung.

Penelitian Harijati (2007) menemukan bahwa peningkatan kinerja petani dipengaruhi oleh peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani. Petani dapat memiliki kinerja lebih baik, jika petani memiliki kompetensi yang tinggi. Kegiatan penyuluhan adalah sarana pemberdayaan petani, yaitu upaya peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani.

Kompetensi yang Perlu Dikuasai Petani dalam Usahatani Jagung di Lahan Gambut

Ismail (1996), secara umum menyatakan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai keberhasilan dalam budidaya jagung di lahan gambut adalah: (1) pengolahan lahan, (2) penanaman (3) pemeliharaan tanaman, (4) metode panen dan perlakuan pascapanen dan (5) pembinaan dan pendampingan secara kontiniu. Selanjutnya menurut Harniati (2000), kompetensi petani dalam mengelola usahatani jagung di lahan gambut adalah terletak pada kemampuan petani dalam budidaya dan pemasaran.

Warisno (1999), mengemukakan bahwa hal yang menentukan keberhasilan petani dalam usahatani tanaman jagung adalah jika memperhatikan pemeliharaan tanaman serta serius untuk mencegah dan memberantas hama dan penyakit tanaman jagung.

Departemen Pertanian (1977) mengemukakan bahwa kompetensi petani dalam berusahatani jagung sangat tergantung pada pengolahan lahan, pemeliharaan yang maksimal dan pengendalian hama penyakit. Selain pemeliharaan, petani juga harus melakukan pemupukan dengan dosis dan pada waktu yang tepat.

(39)

Menurut Mosher (1987), petani memegang dua peranan sebagai jurutani dan sekaligus sebagai manajer. Sebagai pengelola (manajer), petani dituntut untuk merencanakan tentang varietas yang ditanam, sarana produksi yang digunakan dan penggunaan kredit produksi. Selain itu menurut Mosher, petani harus lebih banyak mengembangkan kecakapan dalam pemasaran (marketing).

Mosher lebih lanjut menyebutkan bahwa sangat penting petani mengembangkan kemampuan sebagai manajer, sehingga dapat mengambil manfaat dari setiap kesempatan baik yang terbuka baginya, berusaha membuat usahataninya seproduktif mungkin dengan mendapat keuntungan yang terus bertambah, yaitu selisih positif antara output dan input usahataninya.

Dengan demikian, Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam usahatani jagung di lahan gambut adalah membuat rencana usahatani, pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, panen, penanganan pascapanen, dan pemasaran.

Membuat Rencana Usahatani

Kusnadi et al., (2002: 180) mendefinisikan bahwa perencanaan sebagai proses perumusan di muka tentang berbagai tindakan yang akan dilakukan di kemudian hari guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sedangkan rencana adalah setiap rincian dari perumusan di muka untuk mencapai tujuan tertentu. Perencanaan mempunyai dampak potensial dalam keberhasilan organisasi usaha. Menurut Stoner dan Wankel (1986: 134-138), perencanaan merupakan proses yang tidak berakhir pada waktu rencana disetujui, rencana tersebut harus dilaksanakan. Langkah pokok dalam perencanaan seperti: menetapkan sasaran atau tujuan, menentukan situasi sekarang, mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat serta mengembangkan perangkat tindakan untuk mencapai tujuan.

Perencanaan yang baik akan tampak pada perumusan tujuan dan sasaran yang spesifik dan membantu dalam memahami apa yang akan diharapkan. Waktu yang digunakan untuk merencanakan, mengembangkan, menerapkan dan menilai hasil-hasil perencanan akan ikut menentukan keberhasilan (Meredith et al., 2000: 70).

(40)

Iqbal dan Simanjuntak (2004) mengemukakan bahwa dalam kaitannya dengan suatu usaha, perencanaan adalah suatu set rangkaian dari rencana kegiatan yang akan dilakukan untuk menjalankan suatu usaha pada periode tertentu, mencakup: pengelolaan usaha, produk atau jasa yang dijual, pasar dan pemasaran, serta proyeksi keuangan.

Tjakrawiralaksana (1996: 119) mengatakan bahwa perencanaan pada dasarnya adalah suatu kegiatan penyusunan yang meliputi penentu: apa, bagaimana, kapan dan berapa banyaknya, usahatani yang akan diselenggarakan, serta penentuan unsur-unsur produksi yang akan dipakai.

Suatu rencana usaha mengandung unsur-unsur berikut: jenis dan nilai (jumlah) masukan (input), jumlah dan harga masuk (input) yang akan digunakan dan dibeli, jumlah uang/kredit yang diperlukan untuk pembiayaan pelaksanaan rencana, jumlah produksi yang akan diperoleh, pengembalian utang dan keuntungan bersih yang diharapkan (Tohir, 1983: 144).

Pengolahan Lahan

Lahan gambut memiliki kandungan organik yang sangat tinggi, miskin mineral, keasaman yang tinggi, dan kejenuhan basa yang rendah.

Lahan sebagai tempat tumbuhnya jagung memerlukan hara yang cukup dan pengolahan lahan yang baik. Didi (Harniati, 2000) menyebutkan pemberian amelioran yang berupa pengapuran atau pemberian abu dapat menurunkan kemasaman tanah. Jika kapur sulit didapat, maka dapat dimanfaatkan bahan alternatif lain yang murah dan mudah didapat, seperti serbuk gergajian, abu bakaran gambut, abu kotoran ayam, limbah kandang babi, bakaran sekam padi atau bahan rendaman ikan.

Lahan gambut secara alami berada dalam kondisi jenuh air atau bahkan tergenang, sehingga diperlukan pembuatan drainase untuk menurunkan permukaan atau kandungan air dalam gambut sehingga mencapai aras (level) yang tidak melebihi kedalaman air tanah sekitar 0,5 sampai 1,5 meter (Kristijono, 2003; Sabiham dan Syaiful, 2003; Hatta dan Dwi, 2002).

Akan tetapi harus dijaga agar tidak terjadi drainase berlebihan yang dapat mengakibatkan terjadinya gejala kering tak balik, sehingga lahan gambut berubah

(41)

sifat seperti arang dan kehilangan kemampuan menahan air dan menyerap hara yang diperlukan tanaman (Ismail, 1996).

Penanaman

Menurut Mawardi dan Syafei (1997), sebelum penanaman jagung di lahan gambut dilakukan perlakuan benih dengan mencampur benih yang akan ditanam dengan fungisida untuk mencegah penyakit bulai dan dengan insektisida untuk mencegah serangan lalat bibit. Penanaman dilakukan dengan cara ditugal sedalam 3 – 4 cm, jarak tanam 80 x 40 cm untuk 2 benih per lubang tanam atau 80 x 20 cm untuk satu benih per lubang tanam. Selanjutnya benih ditutup dengan tanah setipis mungkin (Adisarwanto dan Yustina, 2004).

Lebih lanjut Adisarwanto dan Yustina, mengemukakan bahwa perlu dilakukan penyulaman jika ada benih yang rusak atau tidak tumbuh. Kegiatan penyulaman dilakukan sekitar 7 – 10 hari setelah tanam.

Pemeliharaan dan Pemupukan

Penyiangan gulma

Penyiangan merupakan kegiatan mencabut serta membuang rumput dan gulma pada areal pertanaman. Penyiangan ini bertujuan agar tidak terjadi persaingan antara tanaman dengan gulma dalam perebutan unsur hara, sinar matahari, dan faktor pendukung tumbuh lain.

Penyiangan dilakukan dengan melihat perkembangan gulma, bila gulmanya sedikit cukup dilakukan secara manual, namun bila gulmanya banyak penyiangan dilakukan dengan menggunakan herbisida kontak dengan dosis 2 liter per hektar (Mawardi dan Syafei, 1997).

Pembumbunan

Pembumbunan merupakan kegiatan menaikkan atau menimbun tanah pada rumpun tanaman. Tujuannya adalah untuk menutupi akar tanaman yang terbuka serta agar tanaman dapat tumbuh tegak dan kokoh. Pembumbunan dilakukan bersamaan dengan penyiangan pertama, yaitu sekitar 21 hari setelah tanam (Adisarwanto dan Yustina, 2004).

Gambar

Gambar 1.   Kerangka Berpikir Kompetensi Petani Jagung dalam Berusahatani   di Lahan Gambut

Referensi

Dokumen terkait

Penilaian awal stabilitas untuk memperki- rakan letak titik berat kapal secara melintang dila- kukan berdasarkan rumusan dari Rawson and Tupper (1994) dengan berat kapal

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan

(1) Untuk membiayai penyelenggaraan urusan Pemerintahan yang menjadi tugas dan fungsi Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

Para siswa pada umumnya hanya tahu soal meminjam dan membaca buku perpustakaan saja dan itupun dilakukan dalam waktu yang teramat singkat, yaitu pada jam-jam

Pada gambar 9 hingga gambar 14 dapat dilihat perbandingan hasil keluaran respon mesin pada multi machine dengan kontrol LQR-GSO..

Perlindungan hukum para pihak dalam perjanjian anjak piutang meliputi perlindungan hokum bagi perusahaan anjak piutang yang memberikan jasa pembiayaan dengan cara

Ada dua belas orang pengintai yang pergi mengamat-amati tanah baru yang dijanjikan Allah.. Warnailah para pengintai yang baik dan tuliskanlah kata-kata “Percaya

Berdasar pada hasil eksplorasi kemampuan awal statistis mahasiswa pada topik statistika deskripsi dalam penelitian ini, maka indikator yang masih belum mendapat capaian maksimal