• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA HUKUM ISLAM MASA MODERN DAN PRO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DINAMIKA HUKUM ISLAM MASA MODERN DAN PRO"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA HUKUM ISLAM MASA MODERN DAN PROBLEMATIKANYA: SYARI’AH DAN DASAR-DASAR HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Herfin Fahri1

Abstract: The concept of human rights contained in the Universal Declaration is the product of an era that is inseparable from the influence of the historical, ideological, post-second world war intellectual background. Therefore, the concept of human rights, more or less, is the result of cultural fusion after the Western secular Enlightenment that is not grounded in religious principles. Regarding the concept of human rights as expressed in the Universal Declaration, some have accepted without reservation on the ground that the concept of human rights they have is in accordance with religious teachings. Conversely, some have considered that the basic principles of the Declaration is from the Western secular cultures that tend to put aside religious values. The third is the position of the moderates who take a cautious stance for accepting it with some changes and modifications.

Keywords: Islamic Law, Human Rights (HAM)

Pendahuluan

Seperti biasanya, tanggal 10 Desember diperingati orang sebagai hari HAM. Seperti biasanya pula, peringatan HAM salalu penuh kontroversi. Memperingati HAM menurut pendukungnya dianggap sebgai peringatan munculnya perdasban manusia yang adil dan terlepas dari berbagai penindasan dan exploitasi. Tetapi banyak kalangan yang menganggap sebaliknya. Mahathir Muhammad PM Malysia, menyebut HAM sebagai propaganda Human Right Imperialisme (penjajahan dengan kedok HAM), bahkan menteri Menlu Ali Alatas menyatakan tidak satupun negara berhak mendiktekan HAM. Maka munculllah dua kutub berlawanan. Sebagaian menganggap HAM sebagai sumber keadilan, tetapi kutub yang lain menganggap HAM sebagai biang kerok berbagai kedzaliman dan penindasan.2

Hak Asasi Manusia (HAM) sesungguhnya ada sejak manusia dilahirkan. Dasn kesadaran masyarakat dunia tentang hak-hak dasar manusia telah muncul sejak lama. Pada zaman Yunani kuno, Plato (428-348 SM) telah memaklumkan kepada warganya, bahwa kesejahteraan bersama baru tercapai kalau setiap warganya melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Juga Aristoteles (384-322 SM) seringkali memberi wejangan kepada para pengikutnya bahwa negara yang baik adalah negara yang sering memperhatikan kepentingan dasn kesejahteraan mensyarakat banyak.3

Ide peri-kemanusiaan HAM adalah sesuatu yang lahir dan berkembang secara historis di Eropa. Pertama kali timbul pada abad ke 17 dan 18 M, kelihatannya sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja dasn feodal di zaman itu terhadapa rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan. Manusia di zaman silam terdiri dari dua lapisan besar, lapisan atas, minoritas yang mempunyai hak-hak; dan lapisan bawah, mayoritas, yang mempunyai kewajiban-kewajiban.4

1Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hikmah Tuban, Email : herfinfahrierfan@gmail.com

2 Eggi Sudjana, HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup Perpektif Islam (Bogor : Yayasan as-Syahidah, 1998), 1.

3 Cholil Nafis, ‚Fiqih HAM‛, dalam ‚Fiqih Progresif: Menjawab Ttantangan Modernitas‛ Thabieb al-Asyhar, ed. (Jakarta: FKKU Press, 2003), 144.

(2)

Ketika HAM sudah menjadi perbincangan internasional, maka perlu kita perhatikan makin eratnya hubungan antar bangsa di dunia, sehingga setiap negara terbebaskan dari belenggu diskriminasi dan keluar dari keterasingannya. Pada tahap selanjutnya mereka melakukan kerjasama dengan lainnya secara formal dan non-formal atas dasar kesepakatan dalam piagam internasional. Hal ini tanpa membedakan satu negara dengan negara lainnya dan satu penganut agama dengan penganut agama lainnya (antara Islam dengan non-Islam). Nah disinilah pentingnya melakukan studi komparatif tentang Hak Asasi Manusia antara prinsip-prinsip Sharī ’ah Islam dengan perundang-undangan modern, dalam konteks maqā shid.

HAM yang telah ada pada diri manusia sejak lahir, Akhir-akhir ini merupakan masalah yang sangat penting untuk dibicarakan. Baik yang mempertahankannya, mempertanyakan ulang, membantahnya ataupun yang ingin meratifikasi substansinya, agar bisa diaktualisasikan dalam masyarakat. Semua itu berangkat dari sebuah obsesi untuk menciptakan keharmonisan dan kedinamisan dalam kehidupan serta untuk menjaga prinsip-prinsip dasar kemanusiaan. Semula HAM merupakan isu intern masing-masing negara, namun dalam perkembangannya, kini menjadi pembicaraan internasional, sejalan dengan pemikiran kemanusiaan tentang HAM itu sendiri. Sejarah HAM berjalan dengan terputus-putus karena dipengaruhi oleh aliran pemikiran, kepercayaan, adat istiadat serta kondisi dan situasi.

Sudah berkali-kali orang orang mengatakan al-Qur’an memerintahkan umat Islam membunuh non-Islam. Ketakuatan non-Islam perlu diluruskan, karena penganut beberapa bentuk ideologi Islam agresif melakukan kekerasan sewenang-wenang, dan karena media, orang-orang politik dan/ atau agamatertentu mempunyai maksud tersembunyi, sedangkan yang lain membesar-besarkan prasangka negatif terhadap Islam dan Umat Islam.5

Maka dari itu semua, dalam makalah kali ini, pemakalah memberi rumusan sebagai gambaran, diantaranya: Pendahulau, Pembahasan; Shari>’ah, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM); Universalitas HAM, Naskah DUHAM Deklarasi HAM di Kairo; HAM dalam Deklarasi Kiaro, Respon Umat Islam Terhadap Deklarasi HAM, Pemahaman HAM dalam Islam dan Barat dan apakah relevansi hak-hak manusia universal diberi kriteria dengan ukuran syari’ah khususnya di era modern? Dan selanjutnya apakah kolerasi prinsip islam (maqasid al-syariah) dengan HAM? Kemudian mengangkat beberapa permasalahan standar hak asasi manusia diantaranya larangan perbudakan dan diskriminasi gender dan agama, penutup, daftar pustaka.

Definisi al-shari>’ah

Kata syariah berasal dari kata al-shari>’ah dan al-shir’ah yang berarti tempat atau jalan jalan menuju air yang tidak ada habis-habisnya, atau diambil dari shara’a al-shay’a yang berarti menjelaskan atau menyatakan sesuatu. Orang Arab menggunakan istilah ini untuk menyebut jalan setapak menuju palung air yang tetap dan terlihat mata, atau jalan yang jelas kelihatan (Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, t.t.:13). Dalam perkembangannya, kata ini diartikan dengan cara atau pedoman hidup manusia berdasarkan ketentuan Allah SWT. (Hasan, 1984:7).

Di dalam al-Qur’an kata shari>’ah disebut lima kali dalam berbagai bentuk. Dalam bentuk kata benda (isim), terdapat pada surat:6

Al-Ja>thiyah 45: 18 yang secara eksplisit menyebut kata shari>’ah, dan lazim diartikan jalan atau peraturan.

5 Hassaballa, Hesham A ...., Sejarah Islam (Jogjakarta: Diglosia, 2007), 147.

(3)



‚Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.‛

Dengan yang sama, terdapat kata al-shir’ah pada al-Ma>’idah 5: 48.

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian7 terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu8, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja ), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”

Sedangkan kata shurra’an dalam al-A’ra>f 7: 163, diartikan terapung di permukaan air. 

“Dan Tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri9

yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar atura n pada hari Sabtu10, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka Berlaku fasik.”

Dalam bentuk kata kerja (fi’il) terdapat kata shara’a pada surat al-shura’ 42:13, dan shara’u dalam surat al-shura’ 42:21, yang berarti membuat syariah atau mensyariatkan (Mujamma’ Kha> dim H}aramain al-Shari> fain al-Ma>lik Fahd, 1411 H: 817,248, 785 dan 786).

7 Maksudnya: Al Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam Kitab-Kitab sebelumnya.

8 Maksudnya: umat Nabi Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang sebelumnya.

9 Yaitu kota Eliah yang terletak di pantai laut merah antara kota Mad-yan dan bukit Thur.

(4)

“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama11dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”



“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang Amat pedih.”

Kata shari’ah dan shir’ah di dalam ayat-ayat tersebut secara umum berarti di> n (agama), yaitu jalan yang telah ditentukan Tuhan kepada manusia.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Historis DUHAM12

Munculnya Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa Bangsa sebenarnya terilhami oleh gerakan emansipatorik dan revolusi kemansiaan yang terjadi di Inggris pada abd 17, ketika berkembang ‚negara teritorial‛. Negara yang menjadikan kekuasaan raja menjadi otoritas menyeluruh, yang mutlak. Negara adalah raja itu sendiri. Maka sebagai reaksi terhadap kekuasaan raja yang tidak terbatas itu, berkembanglah pemikiran mengenai hak-hak setiap individu yang harus dilindungi. Dokumen yang dapat mendukung terhadap ide hak-hak asasi manusia adalah Magna Carta Libertum (1215 M) yang mamaksa raja untuk menolak penahanan, menyitaan harta benda dan penghancuran lain-lain dengan sewenang-wenang. Kemudian pada tahun 1689 disahkan oleh parlemen Inggris sebuah undang-undang hak (Bill of Right), mengakui hak parlemen atas pemerintah.

Kemudian gerakan emansipatorik dan revolusi kemanusiaan yang terjadi di Inggris menjadi inspirasi timbulnya gerakan revolusioner di Perancis dan Amerika yang terjadi hampir bersamaan. Pada tahun 1789, di Perancis Deklarasi Hak-Hak Manusia dan kewarganegaraan dicetuskan (Declaration of the Right of Men dnd Citizen), sebuah Deklarasi yang menjamin persamaan hak dan penghormatan harkat dan martabat kemanusiaan. Perancin dapat dipahami sebagi konkretitasi kemauan masyarakat (volente generale) untuk membentuk peraturan hukum yang secara formal daspat menajmin dan melindungi hak-hak asasi manusia agar para penguasa tidak sewenang-wenang, represif, otoriter terhadap yang lemah dan tidak berkuasa.

11 Yang dimaksud: agama di sini ialah meng-Esakan Allah s.w.t., beriman kepada-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta mentaati segala perintah dan larangan-Nya.

(5)

Pada tahun yang hampir bersamaan Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of Independen) Amerika Serikat tahun 1776 dan disahkan sebuah undang-undang hak (The Bill of Right) yang kemudian menjadi bagian utama dari Undang-undang Dasar Amerika pada tahun 1791, adalah tonggak penting dalam perjuangan manusia melawan tirani. Bahkan sebelum perumusan penting hak-hak manusia tersebut, martabat manusia serta kebebasan telah diputuskan dalam ajaran-ajaran semua agama terutama dalam ajaran-ajaran semua agama, terutama dalam tradisi Islam, yahudi dan Kristen.

Oleh karenanya, tidak mengherankan, bahwa deklarasi kemerdekaan Amerikan dan deklarasi Perancis tentang hak-hak manusia menyebut nama Tuhan. Deklarasi Amerika berbunyi: ‚Semua orang diciptakan sama, dan dianugerahi oleh penciptanya, dengan hak-hak tertentu yang tidak dapat dihapuskan‛. Bangsa Perancis menyusun Deklarasinya: ‚Di hadirat dan di bawah perlindungan Tuhan Yang Maha Tinggi‛. Meskipun dapat perbedaan dalam penekana dalam doktrin Islam, Yahudi dan Kristen, namun pada prinsipnya semua agama lazim menaruh perhatian terhadap martabat manusia dan keadilam sosial.

Gerakan revolusi diantara kedua Negara tersebut banyak terinspirasi dari gagasan-gagasan hukum alam (natural law) sebagaiman diintrodusir oleh John Locke (1632-1704 M) dan Jwa Jacques Rousseau (1722-1778 M). Dalam madzhab hukum alam kensepsi dasar hak-hak manusia hanya meliputi The rigth ti life, the right to liverty, dasn the right to proprti.

Dalam perkembangan selanjutnya, konsepsi HAM terus menerus mengalami perubahan. Tidask hanya yurdik-politik saja yang dilindungi melainkan juga hak-hak dalam bidang kehidupan lainnya, seperti hak dalam bidang ekonomi, sisial dan budaya. Dalam konseptualisasi dan reinterpretasi terhadap HAM yang mencakup lebih luar, Franklin D. Rosevelt, Presiden Amerika, pada permulaan abad ke- 20 memformulasikan empat macam hak-hak asasi manusia yang kemudian kita kenal dengan ‚The Four Freedoms‛ yaitu freedom to speech, freedom of Religion, freedom fear and freedom for Want.

Dimensi baru hak-hak asasi manusia yang dirumuskan oleh D. Roosevelt itu kemudian menjadi inspirasi dn bagian yang tidak dipisahkan dari Declaration of Human 1948 M. Dimana seluruh umat manusia melalui wakil-wakilnya yang tergabung dalam organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) setia sekata bertekad untuk memberikan pengakuan dan perlindungan secara yuridis formal terhadap hak-hak asasi manusia dan merealisasikannya. Dari perspektif sosial dam kultural barangkali pernyataan se-dunia tentang HAM itu kita pandang sebagai puncak perdaban umat manusia dan merupakan titik temu antara dua dunia Timur dan Barat, dua dunia yang saling kontroversial.

Universalitas Hak-hak Asasi Manusia

Berawal dari Piagam PBB pasal 13, yang mana memwajibkan kerja sama bagi seluruh anggota PBB untuk mepromosikan dan memperjuangkan hak asasi dan kebebasan bagi seluruh umat manusia, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa maupun agama. Tetapi piagam itu mendefinisikan term-term hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar. Tugas itu dilaksanakan oleh PBB dalam rangkaian deklarasi, konvensi, perjajanjian dan digunakan sejak tahun 1948.13

Hak Asasi Manusia, sebagai nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki dan harus dijunjung tinggi oleh setiap individu dan kelompok manusia, terdapat kesulitan untuk melacak sejak kapan dan dimana dilahirkannya. Namun, sebagai suatu sistem yang mengikat secara normatif dan formal, banyak yang menyatakan bahwa kelahiran HAM dimulai Magna Charta (1215), Bill of Rights (1689), The American Declaration (1776), The French Declaration

(6)

(1789), kemudian The Four Freedoms (1941), dan barulah Universal Declaration of Human Rights (1948).

Deklarasi Universal HAM (The Universal Declaration Of Human Rights), yang disahkan oleh majelis umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, berisi konsesus paling luas tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 1.3 piagam PBB, mewajibkan kerja sama bagi seluruh anggota PBB untuk mempromosikan dan memperjuangkan hak-hak asasi dan kebebasan bagi seluruh umat manusia, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa maupun agama. Tetapi piagam ini tiadak mendefinisikan term-term hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar.14

Dokumen-dokumen hak-hak asasi manusia PBB dan dokumen-dokumen regional eropa, Amerika dan Afrika seluruhnya memiliki premis yang sama –bahwa ada standar universal tentang hak-hak asasi manusia yang harus ditaati oleh seluruh negara di dunia, atau negara-negara regional dalam hubungannya dengan dokumen regional.15

Standar universal tetentu tentang hak-hak asasi manusia yang mengikat sesuai dengan hukum international dan bahwa setiap upaya harus diarahkan pada penerapan dalam praktik. Sehingga prinsip yang menghormati dan melingdungi hak-hak asasi manusia digambarakan sebagai jus cogens. Yaitu, suatu prinsip hukum internasional dasar bahwa negara-negara tidak dapat menolak karena kesepakatan mereka. Tentu saja prinsip benar selama menyangkut penghormatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.16

Kesulitan utama membangun standar universal, yang melindungi batas kultural, khususnya agama, adalah bahwa masing-masing tradisi menjabarkan validitas ajara dan norma-normanya dari sumber-sumbernya sendiri. Jika suatu tradisi kultural, khususnya agama, berhubungan tradisi-tradisi yang lain, maka kemungkinan yang terjadi adalah hubungan secara negatif dan bahkan dengan cara permusuhan.

Akan tetapi ada suatu prinsip normatif yang umum yang dimiliki oleh semua tradisi kebudayaan besar, yang mampu menopang stadar unversal hak-hak asasi manusia. Yakni, bahwa seseorang harus memperlakukan orang lain sama seperti ia mengharapakan diperlakukan orang lain. Aturana ini mengacu pada prinsip resiprositas yang sesungguhnya dimiliki semua tradisi agama besar dunia. Selain itu, kekuatan moral dan logika dari proposisi yang sederhana ini dapat dengan mudah diapresiasi oleh semua umat manusia, baik tradisi kultural maupun persuasi filosofis.

Prisnsip resiprositas itu bersifat saling menguntungkan, sehingga ketika seseorang mengidentifikasi dengan orang lain, maka seseorang hendaknya menggunakan prinsip timbul balik yang sama terhadap sistem kepercayaan orang lain.

Problem berkenaan dengan penggunaan prinsip reprositas dalam konteks ini adalah kecenderungan tradisi kultural, khususnya agama, untuk membatasi penerapan prinsip terhadap keanggotaan tradisi kultural dan agama lain, bahkan pada kelompok tertentu dalam tradisi atau agama itu sendiri. Konsepsi prinsip resiprositas historis berdasarkan Syari’ah tidak berlaku bagi perempuan dan non-Muslim sebagaimana berlaku pada Muslim. Dengan kata lain, dengan memberikan status yang lebih rendah kepada perempuan dan non-Muslim dan mendukung perlakuan diskriminatif terhadap mereka, maka syari’ah menolak perempuan dan non-Muslim mendapat penghormatan dan martabat yang sejajar dengan apa yang diberikan kapada lelaki Muslim.17

14Abdullahi Ahmed an-Nai’im, Toward and Islamic Refomation: Civil Liberties, Human Right, and Internation Law, alih Bahasa: A. Suaedy dan A. ar-Rany, (Yogyakarta: LKiS, 2001), 308.

15 Abdullah Ahmad al-Na’im, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights and International Law;Dekonstruksi Syariah, alih Bahasa: A. Suaedy dan A. ar-Rany (Yogyakarta: LKIS, 2001), 308.

(7)

Dengan kata lain, standar hak-hak asasi manusia universal secara definitif diapresiasi oleh berbagai tradisi budaya yang luas karena menyangkut harkat dan kesejahteraan yang inhern pada setiap umat manusia, dengan mengabaikan ras, jenis kelamin, bahasa maupun agama.18

Selanjutnya dari beberapa interpretasi tentang hak-hak asasi manusia berpendapat bahwa HAM didasarkan pada dua kekuatan utama yang memotivasi seluruh tingkah laku manusia, kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas.19 Melalui kehendak hidup, umat manusia selalu berusaha keras untuk menjamin kebutuhan makan, perumahan, kesehatan, dan apa saja yang berkaitan dengan pemelirahaan hidup. Selain itu, orang senantiasa berusaha keras untuk memperbaiki kualitas kehidupan mereka melalui pembangunan dan pembangunan sumberdaya yang ada, serta melalui perjuangan politik untuk mencapai distribusi kesejahteraan dan kekuasaan dengan adil dan jujur di antara anggota-anggota komunitas tertentu. Pada taraf tertentu, kehendak untuk bebas tumpang tindih dengan kehendak untuk hidup. Karena, ia merupakan kehendak untuk bebas dari keterbatasan fisik dan jaminan makanan, tempat itnggal dan kesehatan, serta kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Pada level yang lain, kehendak untuk bebas melampaui kehendak hidup, karena ia merupakan kekuatan yang menggerakkan di balik pencarian kesejahteraan dan kemuliaan spiritualm moral dan seni.

Naskah DUHAM

Ringkasan dari naskah Bahasa Inggris dan terjemahan Komnas HAM Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB (Disahkan Majelis Umum PBB, 10 Desember 1948):20

Pasal:

1. Hak atas persamaan, tanpa memandang perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau status apapun, (tiap orang terlahir merdeka dan memiliki persamaan martabat dan hak).

2. Hak atas kebebasan dari diskriminasi dan pembedaan perlakuan dalam bentuk apapun. 3. Hak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai indivindu.

4. Hak untuk bebas dari perbudakan dan perhambaan.

5. Hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan dan penghukuman secara keji yang merendahkan martabat kemanusiaan.

6. Hak diakui sebagai manusia pribadi di depan hukum. 7. Hak atas persamaan di depan hukum.

8. Hak atas pemulihan hak yang efektif oleh pengadilan yang kompeten.

9. Kebebasan dari penangkapan, penahanan, atau pengasingan sewenang-wenang.

10. Hak atas pemeriksaan yang adil dan peradilan yang terbuka oleh pengadilan yang independen serta tidak berpihak.

11. Hak atas praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah.

18 Oscar Schachter, dalam komentar editorialnya, ‚Human Dignity as a Normative Concept,‛ American Journal

of International Law 77 (1993): 853, telah menguraikan bahwa mungkin secara filosofis penting untuk

menunjukkan hak-hak asasi manusia dari mertabat umat manusia yang inhern. Tetapi seperti schachter sendiri menunjukkan term martabat manusia (human dignity) memiliki problem definisionalnya sendiri.

19 Mahnoud Mohammad Toha, The Second Message of Islam, 80.

(8)

12. Hak untuk bebas dari intervensi sewenang-wenang atas kebebasan pribadi, keluarga, rumah, dan hubungan surat-menyurat serta dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik.

13. Hak untuk bebas bergerak dan bertempat tinggal dalam batas-batas setiap negara, meninggalkan negaranya termasuk kembali ke negaranya sendiri.

14. Hak atas suaka di negeri lain.

15. Hak atas kewarganegaraan dan hak menggantinya. 16. Hak untuk menikah dan membangun keluarga. 17. Hak memilik harta.

18. Hak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan beragama atau kepercayaan. 19. Hak untuk bebas menyatakan pendapat, informasi, dan ekspresi.

20. Hak berkumpul dan berserikat secara damai.

21. Hak berpartisipasi dalam pemerintahan dan pemilihan umum serta hak atas pelayanan umum.

22. Hak atas jaminan sosial.

23. Hak atas pekerjaan, pemilihan pekerjaan, syarat-syarat kerja, perlindungan dari pengangguran, upah yang adil dan layak, serta pendirian dan keanggotaan serikat pekerja.

24. Hak atas istirahat dan liburan.

25. Hak atas standar hidup yang layak, termasuk makanan, pakaian, perumahan, pelayanan kesehatan, dan pelayanan sosial yang perlu, hak atas jaminan saat menganggur, sakit, menyandang ketunaan, menjadi janda, lanjut usia, atau kekurangan penghasilan, hak ibu dan anak mendapatkan perawatan dan bantuan khusus.

26. Hak mendapatkan pendidikan; orang tua memiliki hak pertama untuk memilih jenis pendidikan untuk anaknya.

27. Hak berpartisipasi dalam kehidupan budaya masyarakat setempat, menikmati seni serta mengenyam kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan.

28. Hak atas ketertiban dan tatanan sosial dan internasional yang menjamin hak dan kebebasan dalam deklarasi ini.

29. Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat setempat yang memungkinkan ia untuk mengembangkan kepribadiannya secara bebas dan penuh.

30. Hak untuk bebas dari: keterlibatan negara, kelompok, atau seseorang yang dapat merusak hak dan kebebasan dalam deklarasi ini.

Demikianlah secara garis besar substansi HAM dalam Universal Declaration of Human Rights yang berlaku sejak tanggal dideklarasikanya tanggal 10 desember 1948.

Pernyataan sedunia tentang hak asasi manusia yang disahkan oleh PBB terdiri dari 30 pasal dan sangat sarat dengan ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia. Secara teoritis hak-hak yang terdapat dalam deklarasi tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga tahapan: Pertama, menyangkut hak-hak politik dan yuridik. Kedua, menyangkut hak-hak atas martabat dan integritas manusia. Ketiga, menyangkut hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya.21

HAM dalam Deklarasi Kiaro

Dalam dunia Islam untuk menegakkan HAM, sekaligus merespons sinyalemen barat yang merendahkan dan mendiskreditkan Islam sebagai agama yang memiliki ajaran yang berlawanan dengan HAM versi barat, dan menuduh kamunitas muslim sebagai yang rendah aspresiasinya terhadap HAM, telah melatarbelakangi di adakannya kongres Negara Isalam

(9)

Yang bergabung dalam organization of the Islamic conference (organisasi konferensi Islam, OKI), yang dilaksanakan pada 15 Agustus 1990, kongres ini melahirkan deklarasi yang belakangan ini dikenal dengan deklarasi Kairo (the cairo declaration of human rights in islamic).22

Deklarasi ini dengan tegas mengakspresiasikan keinginan dunia Islam untuk memberikan sumbangan terhadap upaya Islam untuk memberikan sumbangan terhadap upaya penegakkan HAM dan melindungi manusia dari pemerasan dan menindasan, serta haknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak sesuai dengan syari’ah Islam.

Dukungan Penegakkan HAM juga didapatkan dari sabda Nabi Muhammad saw. Ketika pada waktu Haji Wada’, saat itu Nabi dengan tegas menyatakan bahwa ‚sesungguhnya darahmu (hidupmu), hartamu, dan kehormatanmu itu suci, seperti sucinya hari ini, dibulan ini, dan dinegerimu ini sampai kamu bertemu Tuhanmu di hari kiamat‛. Kata (darahmu, hartamu, dan kehormatamu) mempengaruhi John Lock mengajukan konsep life, liberty, dan property.23

Deklarasi kairo memuat 25 pasal. Secara garis besar, hal-hal pokok yang terdapat dalam deklarasi ini adalah sebagai berikut:24

a. (Pasal 1) Hak persamaan tanpa ada diskriminasi ras, warna kulit bahasa, status sosial, atau pertimbangan lainnya.

b. (Pasal 2) Hak hidup.

c. (Pasal 3) Hak mendapatkan perlindungan d. (Pasal 4) Hak kehormatan pribadi.

e. (Pasal 5) Hak menikah dan berkeluarga. f. (Pasal 6) Hak wanita sederajat dengan pria. g. (Pasal 7) Hak anak

h. (Pasal 9) Hak memperoleh pendidikan dan ilmu pengetahuan i. (Pasal 10) Hak kebebasan memilih agama.

j. (Pasal 11) Hak kemedekaan dan memperoleh suaka.

k. (Pasal 13 Dan 14) Hak bekerja dan memperoleh keuntungan. l. (Pasal 15) Hak Milik pribadi.

m.(Pasal 16) Hak menikmati produk ilmu.

n. (Pasal 17) Hak memperoleh lingkungan yang bersih. o. (Pasal 18) Hak memperoleh keamanan.

p. (Pasal 19) Hak sederajat dalam Hukum dan keadilan. q. (Pasal 20) Hak tahanan dan narapidana.

r. (Pasal 22) Hak Berpendapat. Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas dalam berbagai cara sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip shari’ah.

s. (Pasal 24 dan 25) menyatakan bahwa semua hak dan kemerdekaan yang ditetapkan dalam Deklarasi ini sesuai dengan syariah Islam, yang menjadi sumber acuan untuk penjelasan atau uraian berbagai pasal dalam Deklarasi ini.

Pasal-pasal tersebut bila ditinjau dari perspektif Islam secara subtansial tidak ada yang krusial karena pasal-pasal tersebut dielaborasi dari sumber syariah, al-Qur’an dan sunnah.

Sementara HAM dilihat dari sudut pandang maqa>s}id al-shar’iyyah, kelima aspek tujuan syariah tersebut dapat dimaknai sebagai berikut:

22 Adang Djumhur Salikin, Reformasi Syariah dan HAM Dalam Islam, cet. I (Yogyakarta: Gama Media, 2004), 157.

(10)

1) H}ifdh al-Di>n, berarti hak untuk beragama dan kepercayaan, serta mengamalkan ajaran sesuai dengan agama dan kepercayaannya, selain itu, setiap orang berkewajiban memelihara dan melindungi hak orang lain untuk beragama sesuai dengan pilihannya. 2) H}ifdh al-‘Aql berarti hak untuk memelihara dan mengembangkan akal pemikiran.

Termasuk dalam pengertian ini adalah hak memperoleh pendidikan, hak berpendapat dan hak mendapatkan perlindungan atas berbagai hasil karya.

3) H}ifdh al-Nafs, adalah hak mendapatkan perlindungan keselamatan jiwa. Ini menunjukkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan mendapat kehidupan yang layak, mendapat jaminan kesehatan, keamanan, dan kesejahteraan.

4) H}ifdh al-Nasl, hak untuk berkeluarga, hak memperoleh keturunan, bertempat tinggal yang layak.

5) H}ifdh al-Ma>l, adalah hak untuk memperoleh usaha dan upah yang layak, memperoleh jaminan perlindunGan atas seluruh hak miliknya.25

Demikian aspek HAM dilihat dari maqa>si}d al-Shar’i. oleh karena itu, segala sesuatu yang mengarah pada terpeliharanya kelima aspek tujuan syari’ah harus dikembangkan. Sebaliknya, hal yang berlawanan dengan itu harus dihindari dan dilarang.

Respon Umat Islam Terhadap Deklarasi HAM

Isyu HAM sampai saat ini masih menjadi perdebatan yang tidak pernah selesai antara perspektif Barat dengan perspektif Islam. Umat Islam menanggapinya secara beragam. Faktor perbedaan pandangan mengenai pasal-pasal dalam deklarasi tidak terlepas dari perbedaan latar belakang dan interpretasi terhadap teks-teks agama dan sejarah di masa keemasan sejarah Islam. Di antara sikap kaum Islamis terhadap Deklarasi HAM, sebagai berikut:26

Pertama,menolak Deklarasi HAM; ada beberapa alasan klasik yang menjadi faktor dan melatarbelakangi mengapa kalangan Islamis menolaknya. Di antaranya, adalah kondisi sosio-kultural yang sangat berbeda antara Barat dan Islam. Acuan nilainya yang berbeda, di Barat menganut nilai liberal atau melepaskan nilai-nilai agama Kristen yang menganggap otoritas sepenuhnya ada ditagan manusia tanpa mengikut sertakan kedaulatan Tuhan. Adapun paradigma sebagian umat Islam sampai saat ini masih manganggap bahwa agama mempunyai cakupan universal, sedangkan HAM hanya mempunyai bagian dari ke-universal-an agama bukke-universal-an sebaliknya.

Kedua. Menerima sepenuhnya, karena melihat ajaran dan nilai Islam secara substansif. Kelompok ini berpendapat bahwa Deklarasi Hak Asasi Manusia telah sesuai dengan ajaran Islam, baik secara substansi maupun misi yang diperjuangkan. Prinsip-prinsip dalam deklarasi PBB tentang HAM telah seiring dengan ilmu prinsip dalam kaidah yurisprudensi Islam (kulliya>t al-khams).

Ketiga. Kelompok yang menerima Deklarasi PBB tentang HAM dengan catatan. Artinya kelompok ini menerima isi piagam PBB yang sesuia dengan ajaran Islam serta menambahkan pasal-pasal yang dianggap perlu untuk menyempurnakan dalam deklarasi HAM. Seperti inisiatif rancangan yang dikoreksi oelh Liga Muslim sedunia melalui beberapa konferensi dan pertemuan yang disponsori oleh lembaga Arab Saudi untuk mengkritisi pasal demi pasal dari undang-undang internasional yang tidak sejalan dengan Syari’ah, khususnya yang berhubungan dengan status pribadi dan pesamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Demikian pula tanggapan terhadap klausal pasal 18 tentang kebebasan beragama.

25 Ibid., 170.

(11)

Standar Hak Asasi Manusia yang Berkembang Pada Masyarakat

Sesuai dengan konteks historinya sendiri, Syari’ah membatasi penerapan prinsip resiprositas dalam hubungannya dengan perempuan dan non-Muslim. Seperti berkali-kali disinggung, ketidakmemadaian hukum publik syariah hanya dapat dipahami dan dilengkapi melalui pertimbangan pengaruh konteks historis saat syariah disusun oleh para hukum perintis pada abad VIII dan IX dari sumber-sumber Islam yang asli. Dalam konteks historis tersebut, wajar bagi ahli hukum Muslim membatasi ‚orang lain‛ dalam prinsip resiprositas untuk mengatur lelaki Muslim yang lain. Maka prinsip ini dapat menopang hak-hak asasi manusia universal. Dan disini ditafsirkan mencakup ‚orang lain‛ dari seluruh umat manusia dengan mengabaikan jenis kelamin, agama, ras, atau bahasa.27

Jika tafsiran itu ingin efektif dalam mengubah sikap dan kebijakan umat Islam maka dua kondisi harus dipenuhi. Pertama, tafsiran yang diusulkan untuk ‚orang lain‛ itu harus valid dan dapat dipercaya dari sudut pandang Islam. Ini hanya dapat dilakukan melalui argumen-argumen Islam yang menolak tafsiran historis yang bersifat membatasi itu mendukung tafsiran alternatif yang lebih luas. Kedua. Tradisi-tradisi budaya dan agama yang yang lain harus menjalankan proses penafsiran serupa. Maka sangat jelas bahwa batasan historis terhadap ‚orang lain‛ pada anggota lelaki dalam kebuyaan seseorang tidak dapat dielakkan ketika tradisi budaya yang lain mempraktikkan penyingkiran yang sama terhadap perempuan dan orang yang bukan anggota budaya tertentu.28

Masalah Perbudakan

Perbudakan adalah salah satu rintangan yang paling serius menyangkut kedua tuntutan pokok manusia, kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas. Walaupun ia telah dipraktikkan oleh setiap peradaban manusia yang besar dalam seluruh sejarah, dalam pengertian dilembagakan dan pemilikan legal terhadap manusia sebagai barang bergerak, perbudakan pada akhirnya secara universal dikutuk dan dicabut, baik oleh hukum internasional maupun domestik. Upaya yang lebih lanjut diperlukan untuk menghapus seluruh tirai dan bentuk-bentuk ekonomi yang eksploitatif dan kebobrokan yang merendahkan derajat kemanusiaan. Gerakan anti perbudakan dibangun sebagai preseden untuk mengakui prinsip yang melanggar hak-hak asasi manusia universal oleh suatu negara merupakan kepedulian sah negara-negara lain. Sebagai hasil gerakan ini, serangkaian kesepakatan internasional dihasilkan, puncaknya pada salah satu konvensi yang diratifikasi secara luas yang mengutuk dan melarang perbudakan sesuai dengan hukum internasional; "konvensi perbudakan utama yang mutakhir ditandatangani pada 25 September 1926, dan diberlakukan pada 9 Maret 1927 (60 L.T.N.S 256). Kesepakatan internasional yang lebih mutakhir tentang tersebut memasukkan konvensi tambahan tentang penghapusan Perbudakkan, Perdagangan Budak dan Institusi-Institusi dan Prakte-Praktek Sejenis terhadap perbudakan, yang ditandatangani pada tanggal 7 September 1956, dan diperlakukan pada tanggal 7 April 1957.

Kebebasan Beragama

Contoh lain kerja sama internasional awal dalam bidang hak-hak asasi manusia adalah gerakan menghapuskan penganiayaan dan diskriminasi terhadap minoritas agama.29 Di samping kebencian moral terhadap praktik tersebut, penganiayaan dan diskriminasi yang

27 Abdullah Ahmad al-Na’im, Dekonstruksi Syariah..., 314-315. 28 Ibid., 315.

(12)

didasarkan agama dirasakan menjadi sebab di antara berbagai sebab utama konflik dan perang internasional.30 Akhirnya, sejumlah kesepakatan internsional menyatakan bahwa penganiayaan dan diskriminasi merupakan suatu pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.

Lebih jauh an-Naim berargumen, syariah memiliki masa depan yang cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam, karena dapat berperan dalam menyiapkan anak-anak untuk hidup beragama, bermasyarakat; membina lembaga dan hubungan sosial. Syariah akan terus memainkan peran penting dalam membentuk dan mengembangkan norma dan nilai etika yang direfleksikan dalam perundangan dan kebijakan publik melalui politik demokratis. Tapi penting dicatat, dengan tarikan napas yang sama, an-Naim berpendapat, prinsip dan aturan syariah tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh negara sebagai hukum dan kebijakan publik hanya karena alasan bahwa prinsip dan aturan syariah itu merupakan bagian daripada syariah. Apabila pemberlakuan syariah seperti itu diusahakan, hal itu merupakan kehendak politik negara dan bukan hukum Islam. Menurut an-Naim, adanya klaim elite penguasa yang kadang-kadang melegitimasi kekuasaan negara atas nama syariah tidak lantas berarti bahwa klaim itu benar atau mungkin dilaksanakan.

Namun, menurut an-Naim, ini tidak berarti bahwa Islam -yang merupakan induk syariah-- harus dikeluarkan dari kebijakan publik umumnya. Sebaliknya, negara tidak perlu berusaha menerapkan syariah secara formal agar umat Islam benar-benar dapat menjalankan keyakinan Islamnya secara sungguh-sungguh, sebagai bagian daripada kewajiban beragama, bukan karena paksaan negara.

Alasan an-Naim ini berangkat dari asumsi, umat Islam di manapun --baik sebagai mayoritas maupun minoritas-- dituntut menjalankan syariah Islam sebagai bagian daripada kewajiban keagamaan. Tuntutan ini dapat diwujudkan sebaik-baiknya manakala negara bersikap netral terhadap semua doktrin keagamaan; dan tidak berusaha menerapkan prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan atau perundangan negara.

Namun, ini tidak berarti negara tidak dapat atau harus sepenuhnya bersikap netral, karena ia merupakan lembaga politik yang sudah tentu dipengaruhi kepentingan warga negara. Perundangan dan kebijakan publik memang seharusnya mencerminkan keyakinan dan nilai-nilai warga negara, termasuk nilai-nilai agama. Tapi penting digarisbawahi, tulis an-Naim, bahwa hal itu tidak dilakukan atas nama agama tertentu. Sebab, jika negara melakukan hal itu, maka dapat membahayakan perdamaian, stabilitas, dan perkembangan yang sehat seluruh masyarakat. Karena, mereka yang terabaikan haknya memperoleh pelayanan dan perlindungan negara serta berpartisipasi aktif dalam politik dan kehidupan publik akan menarik diri; bahkan terdorong melakukan tindakan kekerasan karena merasa tidak ada cara-cara lain untuk menyelesaikan masalah.

Dalam konteks Indonesia yang pada dasarnya 'netral' terhadap semua agama, pemikiran an-Naim sangat relevan dan kontekstual. Karena itu, tidak ragu lagi, pemikiran an-Naim merupakan kontribusi penting bagi negara-bangsa Indonesia. Bagi kelompok-kelompok di Tanah Air yang sampai hari ini memandang syariah sebagai satu-satunya solusi; dan memperlakukan syariah sebagai 'obat cespleng' untuk menyelesaikan masalah, buku an-Naim ini patut dipertimbangkan dengan pikiran yang tenang dan jernih

Dan permasalahan selanjutnya yang muncul dari hak-hak asasi manusia adalah larangan diskriminasi atas dasar jenis kelamin. Walaupun hak ini tidak menjadi perhatian internasional sedekat hal dua hal di atas, namun sekarang telah diakui sebagai hak-hak asasi

(13)

manusia menurut berbagai konvensi internasional.31 Yang mana prinsip non-diskriminasi tidak menghalangi semua perlakuan yang berbeda berdasarkan ras, jenis kelamin, maupun agama.32

Kehadiran Profesor Abdullahi an-Naim di Indonesia seolah menggarisbawahi jalan tengah bahwa syariat Islam tidak usah dipertentangkan secara diametral dengan sekularisme. Syariat Islam punya masa depan yang cerah ketika negara menganut paham sekuler. Sekuler bukan berarti menyingkirkan agama sama sekali, justru agama dilindungi sebagai bagian dari hak asasi yang harus dilindungi. Negara tidak usah mengatur-atur hal-ihwal ibadah dan detail urusan keagamaan, tapi negara memberikan situasi yang kondusif bagi agama.

Profesor An-Naim dari Emory School of Law, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, punya otoritas tinggi untuk mengupas hubungan antara agama (Islam) dan negara, karena buku yang ia terbitkan, Islam dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Mizan, 2007), membedah secara jeli isu tersebut di berbagai negara, termasuk Indonesia. An-Naim juga punya pandangan bahwa syariat Islam sendiri tidak dapat optimal justru kalau agama terlampau diurus oleh negara. Atau bahasa populernya di sini, tatkala syariat Islam diformalisasikan. Formalisasi syariat secara total justru akan membatasi kenyamanan umat Islam dalam menjalankan syariat itu sendiri. Keikhlasan dan ketulusan menjalankan syariat justru akan terganggu karena didesakkan oleh negara, dan bukan atas kesadaran sendiri. Bisa terjadi kemunafikan massal.

Di sisi lain, An-Naim mengecam praktek sekularisme otoriter sebagaimana dianut oleh Turki. Justru ketika negara tidak memberikan ruang bagi agama secara bebas, termasuk dalam politiknya. Arus politik Islam dibendung betul. Militer adalah penjaga ideologi sekularisme. Simbol-simbol keagamaan (Islam) diketati. Para perempuan berjilab dilarang masuk ke gedung-gedung pemerintah dan menjadi siswa di sekolah-sekolah negeri. Ironis memang, karena mayoritas penduduk Turki adalah muslim.33

Syariah dan HAM

Pandangan syariah yang membatasi hak-hak asasi manusia dibenarkan oleh konteks historis dan bahwa ia merupakan suatu perbaikan atas situasi yang ada tidak untuk mengatakan bahwa pandangan ini masih dibenarkan. Syariah sebagai sistem hukum yang praktis tidak dapat mengesampingkan konsepsi hak-hak asasi manusia yang berlaku yang berlaku pada suatu waktu yang diusahakan untuk dierapkan pada abad ke delapan, hukum Islam modern tidak dapat mengesampingkan konsep hak-hak asasi manusia mutakhir jika ia harus diterapkan sekarang.

Khadduri menyatakan: ‚hak-hak asasi manusia dalam Islam, seperti dinyatakan oleh hukum Ilahiyah (Syariah) hanya merupakan hak istimewa orang-orang dengan kapasitas hukum yang penuh. Seseorang dengan kapasitas hukum penuh adalah manusia dewasa, bebas dan muslim. Jadi, akibatnya non-Muslim dan budak yang hidup di negara Islam hanya dilindungi secara parsial oleh hukum atau tidak memiliki kapasitas hukum sama sekali.34

31 Prinsip non-diskriminasi diberikan dalam pasal-pasal yang disebut dalam catatan terdahulu ini merupakan secara sama diskriminasi berdasarkan pada jenis kelamin. Selain itu, sejumlah konvensi yang di khususkan tentang Hak-hak Politik Perempuan (193 U.N.T.S. 135). Yang paling konprehensip dari kelas dari perjanjian internasional ini adalah perjanjian tentang penghapusan seluruh bentuk diskriminasi terhadap perempuan tahun 1979.

32 Azyumardi Azra, ‚Sumber: Republika‛, (26 Juli 2007).

33 M. Alfan Alfian, ‚Abdullahi an-Naim, Islam, dan Negara‛, Koran Tempo, ( 9 Agustus 2007).

(14)

Pemahaman HAM dalam Islam dan Barat

Dalam istilah modern, yakni dari sudut pandang Barat yang dimaksud dengan hak adalah wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atas sesuatu tertentu dan nilai tertentu. Dan dalam wacana modern ini, hak asasi dibagi menjadi dua:35

1. Hak asasi alamiah manusia sebagai manusia, yaitu menurut kelahirannya, seperti: hak hidup, hak kebebasan pribadi dan hak bekerja.

2. Hak asasi yang diperoleh manusia sebagai bagian dari masyarakat sebagai anggota keluarga dan sebagai individu masyarakat, seperti: hak memiliki, hak berumah-tangga, hak mendapat keamanan, hak mendapat keadilan dan hak persamaan dalam hak.

Terdapat berbagai klasifikasi yang berbeda mengenai hak asasi manusia menurut pemikiran barat, diantaranya :

1. Pembagian hak menurut hak materiil yang termasuk di dalamnya; hak keamanan, kehormatan dan pemilihan serta tempat tinggal, dan hak moril, yang termasuk di dalamnya: hak beragama, hak sosial dan berserikat.

2. Pembagian hak menjadi tiga: hak kebebasan kehidupan pribadi, hak kebebasan kehidupan rohani, dan hak kebebasan membentuk perkumpulan dan perserikatan.

3. Pembagian hak menjadi dua: kebebasan negatif yang memebentuk ikatan-ikatan terhadap negara untuk kepentingan warga; kebebasan positif yang meliputi pelayanan negara kepada warganya.

Dapat dimengerti bahwa pembagian-pembagian ini hanya melihat dari sisi larangan negara menyentuh hak-hak ini. Sebab hak asasi dalam pandangan barat tidak dengan sendirinya mengharuskan negara memberi jaminan keamanan atau pendidikan, dan lain sebagainya. Akan tetapi untuk membendung pengaruh Sosialisme dan Komunisme, partai-partai politik di Barat mendesak agar negara ikut campur-tangan dalam memberi jaminan hak-hak asasi seperti untuk bekerja dan jaminan sosial.

Hak asasi manusia dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal.36 Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah bersabda: "Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." (HR. Bukhari dan Muslim). Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.

Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, tidak juga perbedaan muslim dan non-muslim. Islam tidak hanya menjadikan itu kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini. Dari sinilah kaum muslimin di bawah Abu Bakar memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.

Negara juga menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak individu. Sebab pemerintah mempunyai tugas sosial yang apabila tidak dilaksanakan berarti tidak berhak untuk tetap memerintah. Allah berfirman: "Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di muka bumi, niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar. Dan kepada Allah-lah kembali semua urusan." (QS. 22: 4).

Jaminan Hak Pribadi

Jaminan pertama hak-hak pribadi dalam sejarah umat manusia adalah dijelaskan Al-Qur’an: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan

(15)

rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya... dst." (QS. 24: 27-28).

Dalam menjelaskan ayat ini, Ibnu Hanbal dalam Syarah Tsulatsiyah Musnad Imam Ahmad menjelaskan bahwa orang yang melihat melalui celah-celah ointu atau melalui lubang tembok atau sejenisnya selain membuka pintu, lalu tuan rumah melempar atau memukul hingga mencederai matanya, maka tidak ada hukuman apapun baginya, walaupun ia mampu membayar denda.

Jika mencari aib orang dilarang kepada individu, maka itu dilarang pula kepada negara. Penguasa tidak dibenarkan mencari-cari kesalahan rakyat atau individu masyarakat. Rasulullah saw bersabda: "Apabila pemimpin mencari keraguan di tengah manusia, maka ia telah merusak mereka." Imam Nawawi dalam Riyadus-Shalihin menceritakan ucapan Umar: "Orang-orang dihukumi dengan wahyu pada masa rasulullah saw. Akan tetapi wahyu telah terhenti. Oleh karenanya kami hanya menghukumi apa yang kami lihat secara lahiriah dari amal perbuatan kalian."

Muhammad Ad-Daghmi dalam At-Tajassus wa Ahkamuhu fi Syari’ah Islamiyah mengungkapkan bahwa para ulama berpendapat bahwa tindakan penguasa mencari-cari kesalahan untuk mengungkap kasus kejahatan dan kemunkaran, menggugurkan upayanya dalam mengungkap kemunkaran itu. Para ulama menetapkan bahwa pengungkapan kemunkaran bukan hasil dari upaya mencari-cari kesalahan yang dilarang agama.

Perbuatan mencari-cari kesalahan sudah dilakukan manakala muhtasib telah berupaya menyelidiki gejala-gejala kemunkaran pada diri seseorang, atau dia telah berupaya mencari-cari bukti yang mengarah kepada adanya perbuatan kemunkaran. Para ulama menyatakan bahwa setiap kemunkaran yang berlum tampak bukti-buktinya secara nyata, maka kemunkaran itu dianggap kemunkaran tertutup yang tidak dibenarkan bagi pihak lain untuk mengungkapkannya. Jika tidak, maka upaya pengungkapan ini termasuk tajassus yang dilarang agama.

Hak Asasi Universal dalam Islam

Sesuai dengan logika prinsip evolusioner yang diajukan Ustadh Mahmoud Mohamed Taha, teks-teks al-Qur’an yang menekankan solidaritas umat Islam secara eksklusif diwahyukan selama masa Madinah untuk memberikan kepada masyarakat Musim yang sedang menumbuhkan kepercayaan psikologis dalam berhadapandengan serangan non-Muslim. Kebalikan dari ayat-ayat tersebut, pesan Islam yang fundamental dan abadi, seperti diwahyukan dalam al-Qur’an periode Makkah, mengajarkan solidaritas seluruh umat manusia. Dalam pandangan kebutuhan vital bagi prinsip hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat manusia global sekarang ini, umat Islam harus menekankan pesan-pesan abadi solidaritas universal pesan Makkah daripada semangat solidaritas eksklusif non-Muslim, jika memang tidak ingin bekerjasama secara damai dan kerjasama dalam memperjuangkan dan melindungi hak-hak asasi manusia.

(16)

‚Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri37 ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)38. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya39, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya40. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar‛.

Sebagai akibat ketergantungan perempuan terhadap laki-laki daslam bidang ekonomi dan keamanan. Kerana ketergantungan itu tidak lagi ada, Ustadh Mahmoud menjelaskan, perwalian lelaki terhadap perempuan pun selesailah. Baik laki-laki maupun perempuan sekarang memiliki kebebasan dan kemampuan yang sama di depan hukum, yang menjamin kesempatan ekonomi dan keamanan bagi seluruh anggota masyarakat.

Melihat dari pemaparan diatas, penulis menyimpulkan bahwa HAM yang didekalarasikan oleh perserikatan Bangsa-bangsa ada problematik dengan HAM yang dideklarasikan di Kairo yakni pada persoalan hak perempuan, hak non muslim, hukum jinayat, dan perbudakan. Keempat persoalan tersebut sampai saat ini belum dapat dikompromikan.

Pernyataan se-dunia tentang Hak Asasi Manusia – The Universal Declaration of Human Right yang disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa terdiri dari 30 pasal dan sangat sarat dengan ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia. Secara teoritis, hak-hak yang terdapat deklarasi tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga bagian. Bagian pertama, menyangkut ha-hak politik dan yuridik; kedua, menyangkut hak-hak atas mrtabat dan integritas manusia; dan bagian ketiga, menyangkut hak-hak sosial, ekonomi dan hak-hak budaya.

Penutup

Bila ditelusuri, Human Rights atau Hak-hak Asasi Manusia (HAM) adalah istilah yang relatif baru, namun ia telah menjadi kepedulian etis utama masa kini. Deklarasi HAM, pada prinsipnya diterima oleh hampir seluruh anggota PBB. Namun konsesus dunia tentang deklarasi ini tidak berarti bahwa sifat dasar, definisi serta lingkup hak-hak asasi yang dimaksud telah tuntas disepakati.

Masih tertinggal beberapa masalah dasr yang terkait dengan hak-hak asasi manusia yang menunggu penjelasan. Antara lain adalah kejelasan tentang sifat hak-hak manusia ini: apakah merupakan anugrah dari Tuhan, atau hak yang diperoleh dari negara, ataukah hak yang melekat pada diri tiap manusia sejak ia lahir sebagai ketentuan alam? Apakah hak-hak ini dapat dicabut (dikorbankan)? Dan siapakah yang bisa mencabutnya? Hal-hal ini masih terus menjadi bahan perdebatan yang tak berujung.41

Tidak dapat disangkal bahwa konsep HAM yang tertuang dalam Deklaarsi Universal adalah produk sebuah masa yang tidak terlepas dari pengaruh latar belakang historis, ideologis, dan intelektual yang berkembang pasca perang dunia kedua. Oleh karena itu

37 Maksudnya: tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.

38 Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.

39 Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.

40 Maksudnya: untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.

(17)

konsep HAM, kurang lebih adalah hasil ramuan budaya pasca masa pencerahan sekuler Barat yang tidak berpijak pada prinsip agama.42

Mengenai konsep HAM sebagaimana tersurat dalam Deklarasi Universal tersebut. Sebagian menerima tanpa reserve dengan alasan bahwa konsep HAM yang mereka miliki sejalan dengan ajaran agama. Sebaliknya, sebagian lagi menilai bahwa prinsip dasar Deklarasi tersebut bersumber dari budaya Barat sekuler yang tidak megindahkan nilai-nilai agama. Ketiga adalah posisi kelompok moderat yang mengambil sikap hati-hati menerimanya dengan beberapa perubahan dan modifikasi.

Dengan adanya upaya-upaya mutakhir untuk mengimplementasikan hukum publik Syariah akan menemui jalan buntu karena membahayakan kepentingan Islam dan umat Islam. Upaya-upaya tersebut akan menemui jalan buntu karena hukum publik Syariah secara fundamental tidak sesuai dengan realitas hukum modern. Hal ini untuk menghindari penderitaan umat manusia yang mungkin disebabkan oleh usaha yang mengundang malapetaka. Alla>hu A’lam bi al-S}awa>b.

Kalau kita melihat konsep HAM Modern, yang mana generasi awal HAM yang secara khas dirancang untuk melindungi kehidupan perseorangan dari kekuasaan yang sewenang-wenang dari negara modern yang birokratis. Sejak itu, HAM telah mengalami kemajuan hak-hak generasi kedua dan ketiga yang mencakup hak-hak-hak-hak ekonomi, politik dan lingkungan hidup.43

Daftar Rujukan

Hassaballa, Hesham A. Sejarah Islam, Jogjakarta: Diglosia, 2007; Guide to Islam, Doubleday a Divisin of Random House, Inc, 2006.

Maududi, Maulana Abul A’la. Human Rights in Islam, Alih Bahasa: Bambang Iriana D. Jakarta: Bumi Askara, 1995.

Moosa, Ebrahim, Islam Progresif: Refleksi Dilematis tentang HAM, Modernitas dan Hak-Hak Perempuan di dalam Hukum Islam. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2004. Munir, Lily Zakiyah, Memposisikan Kodrat:Perempuann dan Perubahan dalam Perspektif

Islam. Bnadung , Mizan, 1999.

Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Siakp Terbuka dalam Baragama. Bandung: Mizan, 1999.

Al-Asyhar, Thobieb, Fiqih Progresif: Menjawab Tantangan Modernitas, Jakarta: FKKU Press, 2003.

Al-Na’im, Abdullah Ahmad. Dekonstruksi Syariah, terj. Yogyakarta: LKIS, 2001; Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, human Rights and International Law.

http://www.angelfire.com/id/sidikfound/ham.html

http://www.pendidikandamai.org/files/Daftar%20atau%20Ringkasan%20Hak%20Asasi%20 Manusia%20dan%20Deklarasi.../7/f%20Isi%20instrumen.pdf.

42 Ibid., 177.

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa dengan demikian Terdakkwa telah meninggalkan Dinas tanpa ijin Dansat atau atasan lain yang berwenang sejak 16 Oktober 2011 sampai dengan dibuatkannya Berita

Kami berharap semoga laporan kegiatan ini dapat menjadi bahan pembelajaran dan evaluasi bagi kami dan juga menjadi acuan dalam penyelenggaraan kegiatan serupa

Dari hasil penelitian dukungan informasi yang banyak diterima lansia dari keluarga adalah keluarga selalu mencari informasi tentang masalah kesehatan melalui

Alim, Muhammad (2006) Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim Bandung: PT Remaja Rosdakarya.. Al- Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sinar

Multimedia Bertajuk 'Sistem Perundangan di Malaysia". Bangi: Fakulti Pendidikan, UKM. Evaluation vs Assessment. Reasearch in Learning and Technology. Mexico: College of

Dalam tulisan ini dibahas mengenai jumlah dan sebaran hotspot pada bulan Agustus- November 2015 di Provinsi Sumatra Selatan serta kualitas udara di Palembang

Gagasan kami untuk mengatasi permasalahan energi adalah dengan beralih pada sumber energi terbarukan tak terbatas yang berasal dari energi matahari yang

Kemunculan alternatif budaya stratejik disebabkan karena perspektif yang dominan digunakan pada era Perang Dingin, yaitu neorealisme, dianggap tidak lagi