BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia tidak pernah lepas dari perilaku konsumsi untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam melakukan perilaku konsumsi, konsumen harus mampu untuk mengambil keputusan dalam membeli suatu produk. Mengambil keputusan untuk membeli suatu produk tidaklah semudah yang dipikirkan. Konsumen harus benar-benar mengetahui kebutuhan apa yang harus dikonsumsi agar konsumen tidak mengalami keraguan setelah melakukan pembelian. Sejumlah tahapan-tahapan harus dilalui konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk, antara lain pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan membeli, dan tahap akhirnya adalah pembelian (Schiffman & Kanuk, 1994). Tahapan ini harus dilalui agar konsumen puas dengan barang atau jasa yang dikonsumsi.
dissonance sebagai suatu keraguan atau kecemasan yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan relatif permanen. Keraguan dan kecemasan ini terjadi karena konsumen tersebut berada dalam suatu keadaan yang mengharuskannya membuat keputusan dari pilihan alternatif lainnya yang tidak jadi dipilih oleh konsumen tersebut. Semakin menarik alternatif yang diabaikan konsumen, maka semakin besar pula disonansi yang dialami konsumen (Stanton, 1996).
Fenomena Postpurchase dissonance merupakan perasaan psikologis yang tidak nyaman sebagai akibat dihadapkannya seseorang pada berbagai alternatif pilihan, di mana setiap alternatif mempunyai atribut yang diinginkan. Hal ini terjadi ketika konsumen dihadapkan pada situasi yang mengharuskan mereka mengambil sebuah keputusan untuk membeli suatu produk, sehingga konsumen akan mengalami keraguan setelah membeli produk tersebut. Saat pembelian terjadi, konsumen cenderung meragukan kebijakan yang telah dilakukan untuk membeli barang tersebut. Sehingga berdampak pada perilaku konsumen yang cenderung tidak membeli ulang produk tersebut karena merasa tidak puas (Hawkins, Mothersbaugh, Best 2007).
Postpurchase Dissonance memiliki tiga dimensi yaitu Emotional, Wisdom
of Purchase, dan Concern Over Deal. Emotional merupakan ketidaknyamanan
psikologis yang merupakan konsekuensi atas keputusan membeli setelah orang
tersebut membeli suatu produk yang dirasakan sebagai produk yang penting bagi
dirinya sendiri. Wisdom of purchase merupakan kesadaran individu setelah
membutuhkan produk tersebut. Concern over deal merupakan kesadaran individu
setelah proses pembelian telah dilakukan, apakah mereka telah dipengaruhi oleh
agen penjual terhadap keyakinan mereka sendiri atas produk yang mereka beli
(Sweeney, Hausknecht, dan Soutar, 2000).
Selain itu, ada juga faktor-faktor penyebab postpurchase dissonance yang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal individu. Faktor internal adalah kondisi kepribadian individu yang menyebabkan mereka mudah merasa cemas, sulit untuk memiliki komitmen pada produk yang telah dipilihnya, tingkat pengetahuan dan keberanian mengambil resiko. Sedangkan faktor eksternal adalah kondisi di luar individu, dalam hal ini misalnya adanya sejumlah pilihan dan alternatif produk, bujukan, dan ketersediaan informasi (Hawkins, Mothersbaugh & Best 2007; Halloway, dalam Loudon & Bitta, 1993). Kedua faktor tersebut sangat menarik untuk ditelaah karena faktor internal dan eksternal merupakan dua faktor yang dapat mempengaruhi seseorang dalam melakukan pembelian pada suatu produk.
memasarkan Brio di dalam negeri adalah sejalan dengan konsep Konfirmasi di era New Wave Marketing. Tim Honda masuk ke masyarakat untuk meminta masukan dan konfirmasi dari mereka, hal ini agar tim Honda mengetahui keinginan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sendiri (Marketeers, 2011).
Berdasarkan konfirmasi itulah Brio akan diedarkan di pasaran. Melalui konfirmasi, produsen berupaya mengajak konsumen berbicara sehingga terjadi komunikasi antara produsen dengan calon konsumen. Melalui konfirmasi perusahaan sebenarnya menguji kebenaran yang dianutnya. Perusahaan berupaya menghilangkan semua keraguan yang ada dengan mencari fakta-fakta yang kuat sehingga ketika produk hadir di pasar Honda Brio dapat diterima dengan baik di masyarakat dan menghilangkan kecemasan dan keraguan terhadap produk yang telah dipasarkan (Marketers, 2011).
Dari fenomena diatas bahwa konfirmasi yang dilakukan tim Honda kepada
masyarakat untuk melihat bagaimana kepribadian masyarakat Indonesia dapat
menerima kehadiran Brio untuk memenuhi kebutuhan konsumen sendiri.
Konsumen yang terlibat dalam proses pembelian juga memiliki karakteristik
kepribadian yang berbeda-beda dalam mengambil keputusan untuk melakukan
seorang konsumen itu sifatnya unik karena setiap konsumen tidak sama persis. Terdapat beberapa karakteristik penting yang berkaitan dengan definisi kepribadian, antara lain: (1) Kepribadian antarindividu berbeda; (2) Kepribadian terbentuk karena interaksi dengan lingkungan; (3) Kepribadian bersifat relatif permanen; dan (4) Kepribadian yang berubah (Suryani, 2008).
Meskipun disadari bahwa relatif sulit untuk mengukur kepribadian konsumen, bukan berarti bahwa hal ini menyulitkan pasar dan membuat pemasar tidak dapat membuat apapun. Pada hakekatnya kepribadian adalah suatu kondisi kenyataan yang melekat pada konsumen. Misalnya seorang pemasar mobil mengetahui bahwa dari aspek kepribadian ada konsumen yang memiliki kepribadian cenderung menyukai petualangan namun ada yang menyukai kelembutan. Kondisi ini dimanfaatkan untuk mendisain mobilnya sesuai dengan segmen yang dituju. Seorang pemasar telepon genggam yang menyadari bahwa ada konsumen yang tingkat inovasinya tinggi dan sebaliknya ada yang rendah dapat memilih segmen konsumen yang inovasinya tinggi atau sebaliknya dapat memilih segmen yang tingkat inovasinya rendah. Pemilihan segmen inilah yang nanti akan mempengaruhi strategi bersaing terutama dalam pengembangan produk, disain promosi dan lainnya (Suryani, 2008).
yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Hall & Lindzey (1985) mengatakan kepribadian merupakan konsep-konsep tertentu yang digunakan oleh para ahli dalam memahami perilaku manusia.
Kepribadian secara jelas akan sangat berpengaruh dalam kehidupan konsumen. Misalnya, individu sering bertemu dengan orang yang cocok dengan kepribadiannya, tetapi individu juga seringkali menjumpai orang yang berbeda kepribadiannya. Begitupun saat berusaha menjual sesuatu kepada konsumen, para produsen seringkali sulit untuk masuk ke hati para konsumen karena kurang mengetahui karakter dan kepribadian dari konsumen. Produsen yang mendekati konsumen pada suatu kondisi “direct response marketing” sangat perlu memahami karakter dan kepribadian konsumennya. Hal ini untuk mencegah suatu kondisi yang tidak nyaman dan akhirnya keberhasilan “marketing” menjadi taruhannya (Andri, 2011).
perasaan individu yang mengarah kepada diri mereka sebagai objek (Hawkins, Mothersbaugh, Best, 2007).
Konsep diri sangat terkait dengan karakter dan sifat-sifat dari kepribadian yang dapat merefleksikan perilaku konsumsinya. Misalnya, seorang konsumen dapat memandang dirinya sebagai orang yang modern dan dapat dengan mudah menerima inovasi. Menurut Loudon dan Bita (1993) teori utama tentang konsep diri dapat dibagi menjadi empat, yaitu: (1) Self-Appraisal merupakan diterima atau tidaknya perilaku seseorang di masyarakat; (2) Reflected-Appraisal merupakan konsep diri yang terbentuk karena menerima penghargaan dari orang lain dan cenderung menganggap seseorang pasif; (3) Social-Comparison merupakan seseorang sangat tergantung bagaimana dia memandang dirinya dalam kaitannya dengan orang lain; (4) Biased-Scanning merupakan bagaimana pandangan seseorang terhadap lingkungannya. Berdasarkan keempat uraian di atas diartikan bahwa pengembangan konsep diri sangat tergantung pada aspirasi dan motivasi seseorang untuk mencapai tujuan tertentu.
mengkonsumsi produk yang sesuai dengan konsep dirinya untuk dapat menunjukan siapa sebenarnya dirinya.
Menurut Abe, Bagozzi, & Sadarangani (dalam Hawkins, Mothersbaugh
dan Best, 2007) konsep diri dibagi ke dalam dua kategori, yaitu konsep diri yang
bersifat independent dan interdependent. Konsep diri independent didasarkan
pada budaya barat yang menganggap bahwa tiap individu benar-benar terpisah.
Konsep diri independent menekankan pada hal-hal seperti tujuan pribadi,
karakteristik, pencapaian dan keinginan. Mereka yang memiliki konsep diri
kategori ini akan cenderung individualistis, egosentris, dan mengandalkan pada
diri sendiri (Hirschman dalam Hawkins, Mothersbaugh dan Best, 2007). .
Di sisi yang lain terdapat konsep diri yang bersifat interdependent.
Kategori ini di dasarkan pada budaya Asia yang mempercayai adanya keterkaitan
antar manusia. Konsep diri ini menekankan pada hal-hal seperti keluarga, budaya,
hubungan sosial, dan sebagainya. Mereka yang memiliki konsep diri ini
cenderung taat terhadap peraturan, sociocentris, memiliki keterkaitan tinggi
dengan lingkungannya, dan berorientasi pada hubungan (Hirschman dalam
Hawkins, Mothersbaugh dan Best, 2007).
Perbedaan konsep diri telah terbukti mempengaruhi perilaku konsumen,
seperti pesan-pesan yang dapat dicerna oleh konsumen, konsumsi produk-produk
mewah, dan jenis maupun merek produk yang terpilih dan dibeli oleh konsumen.
Para pemasar sering menggunakan pemahaman akan peran konsep diri dalam
menampilkan kesan kebersamaan atau kekeluargaan akan lebih efektif bagi
konsumen yang memiliki konsep diri yang interdependent, sedangkan konsumen
dengan konsep diri yang independent cenderung akan melakukan pembelian tanpa melibatkan pendapat atau kehadiran orang lain dalam mengambil keputusan untuk membeli suatu produk (Hawkins, Mothersbaugh dan Best, 2007).
Konsumen yang memiliki konsep diri yang independent cenderung tidak mudah dipengaruhi oleh pemasar atau orang lain dalam membeli suatu produk karena konsumen yakin akan pilihannya sendiri dalam membeli suatu produk. Konsumen yang independent akan mengambil keputusan membeli dengan cepat atas dasar pertimbangannya sendiri dan mereka bebas dalam memutuskan pembelian terhadap suatu produk tanpa melibatkan informasi-informasi dari luar individu. Hal ini karena konsumen yang independent merasa pilihannya selalu benar dan tepat dan tidak membutuhkan informasi dari pihak luar mengenai produk yang hendak dibeli (Hawkins, Mothersbaugh dan Best, 2007).
Namun, individu yang interdependent akan sulit mengambil keputusan dalam pembelian kebutuhannya karena banyak alternatif-alternatif yang disediakan oleh pemasar ataupun pihak luar yang memberikan kelebihan masing-masing produk lainnya yang tidak ada pada produk yang hendak dipilih (Stanton, 1996).
Berdasarkan kondisi tersebut, peneliti tertarik untuk melihat apakah ada
“Perbedaan postpurchase dissonance ditinjau berdasarkan tipe konsep diri pada
konsumen.
B. RUMUSAN MASALAH
Apakah terdapat perbedaan postpurchase dissonance ditinjau berdasarkan
tipe konsep diri pada konsumen
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini untuk melihat perbedaan postpurchase
dissonance ditinjau berdasarkan tipe konsep diri pada konsumen.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat
untuk menambah ilmu pengetahuan dalam bidang Psikologi Industri dan
Organisasi, terlebih mengenai perilaku konsumen yang berkaitan dengan
postpurchase dissonance. Diantaranya tentang perbedaan Postpurchase
Dissonance ditinjau berdasarkan tipe konsep diri pada konsumen
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan sangat bermanfaat bagi:
a. Konsumen
a.1 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan
mengenai tipe konsep diri.
a.2 Konsumen mengetahui tipe konsep diri seperti apa yang mewakili
dirinya dalam membeli suatu produk.
b. Pemasar
b.1 Pemasar harus tanggap akan kebutuhan para konsumen dengan
menyediakan berbagai alternatif kebutuhan yang dapat memuaskan
konsumen
b.2 Pemasar mampu membaca karakteristik kepribadian konsumen untuk
dapat menciptakan kebutuhan sesuai kepribadian konsumen.
b.3 Pemasar mampu membaca tipe konsep diri setiap konsumen yang dapat
E. SISTEMATIKA PENELITIAN
Bab I Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penelitian. Bab ini menjelaskan mengenai
berbagai literatur serta beberapa hasil penelitian mengenai postpurchase
dissonance yang menjelaskan terjadinya keraguan setelah melakukan
pembelian karena alternatif produk sejenis lainnya yang tidak jadi dipilih
oleh konsumen.
Bab II Landasan Teori
Bab ini terdiri dari pembahasan mengenai teori-teori yang mendukung
masalah penelitian, yaitu mengenai teori postpurchase
dissonance,aspek-aspek postpurchase dissonance, dan faktor-faktor yang mempengaruhi
postpurchase dissonance dan bab ini juga menjelaskan definisi konsep
diri dan interdependent maupun independent. setelah itu, dijelaskan pula
mengenai hipotesa penelitian sebagai jawaban sementara terhadap masalah
penelitian yang menjelaskan perbedaan postpurchase dissonance antara
konsumen interdependent dan independent self concept
Bab III Metode Penelitian
Bab ini menjelaskan mengenai identifikasi variabel, definisi operasional
variabel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji
hasil penelitian. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tipe konsep
diri yaitu interdependent dan independent, dan variabel tergantungnya
adalah postpurchase dissonance. Alat ukur yang digunakan adalah skala
postpurchase dissonance dan skala interdependent/independent.
Bab IV Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini berisikasn uraian mengenai gambaran subjek penelitian
berdasarkan penggolongan, usia, jenis kelamin, rentang waktu disonansi,
alokasi dana, hasil penelitian utama, hasil tambahan serta pembahasan.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisikan kesimpulan yang mencakup hasil analisa dan interpretasi
data penelitian dan saran yang berupa saran metodologis dan saran praktis