A. LATAR BELAKANG
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar dan berkembang serta
memiliki cita-cita yang luhur untuk mewujudkan rakyat yang maju dan makmur.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut Indonesia dalam menyelenggarakan
pemerintahan mempunyai kewajiban untuk melakukan Pembangunan Nasional,
baik dalam kesejahteraan, keamanan dan pertahanan maupun kecerdasan
kehidupan rakyatnya. Untuk dapat merealisasikan pembangunan nasional tersebut
negara memerlukan dana untuk memenuhi kepentingan rakyatnya. Dana tersebut
diperoleh dari rakyat itu sendiri melalui pemungutan yang disebut pajak. Menurut
Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, defenisi pajak adalah iuran rakyat kepada kas
negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksa) dengan tiada mendapat
jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukkan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum. (Mardiasmo,2002: 1) .
Sektor pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang paling
dominan sehinga pemerintah berupaya bagaimana agar penerimaan dari pajak
tersebut dari tahun ke tahun mengalami peningkatan sebagaimana telah di
rencanakan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN).
Diantara usaha pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah
melakukan usaha-usaha seperti ekstensifikasi pajak yakni mengoptimalkan
penerimaan pajak dengan meningkatkan faktor-faktor penunjang dari luar yaitu
daerah, dan intensifikasi pajak yakni mengoptimalkan penerimaan pajak dengan
meningkatkan faktor-faktor penunjang dari dalam yaitu adil dalam arti pengenaan
pajak secara adil dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing dan atas azas kepastian hukum yakni adanya jaminan hukum pasti dalam
pemungutan pajak bagi para pembayar pajak (wajib pajak).
Indonesia mempunyai banyak pengusaha, baik pengusaha kecil maupun
pengusaha besar. Sehingga pemerintah berupaya meningkatkan penerimaan pajak
tersebut diperoleh salah satunya dari pengusaha yang ada di Indonesia. Dalam hal
pengusaha, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.6 tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah
terakhir kali menjadi Undang-Undang No.28 tahun 2007 pasal 1 ayat 4 disebutkan
bahwa Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang
dalam kegiatan usaha atau kegiatannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa
dari luar daerah pabean.
Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah Pajak yang dikenakan
terhadap pertambahan nilai yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor produksi
disetiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan
memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen.
Sedangkan pajak penjualan dikenakan terhadap nilai jual serta perpindahan/
pertukaran barang dan jasa, sehingga menimbulkan adanya pajak berganda. Untuk
barang yang tergolong mewah, pajak berganda ini masih diberlakukan dengan
pada saat penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) mewah oleh pabrikan
(Pengusaha yang menghasilkan) pada saat impor BKP mewah.
Adapun pengertian Pengusaha Kena Pajak (PKP) menurut
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007 Pasal
1 ayat 5 adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
(BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) Tahun 1984
dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan
Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Berdasarkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dikenakan atas
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam
daerah pabean yang dilakukan oleh Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan pengusaha yang memenuhi syarat Pengusaha
Kena Pajak (PKP) namun belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP). Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.03/2003,
berlaku 1 Januari mengatakan bahwa Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang
selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan
atau Jasa Kena Pajak (JKP) dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan
bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Apabila
Pengusaha yang jumlah peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun memperoeh
penghasilan melebihi Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) harus
melaporkan usahanya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pengusaha
Kesadaran dan kepedulian sukarela Wajib Pajak sangat sulit untuk
diwujudkan seandainya defenisi pajak tidak menggunakan kata “memaksa”. Dan
yang bersifat memaksa. Bertitik tolak dari kata ini menunjukkan membayar pajak
bukan semata-mata perbuatan sukarela atau suatu kesadaraan. Kata ini
memberikan pemahaman dan pengertian bahwa masyarakat dituntut untuk
melaksanakan kewajiban kenegaraan dengan membayar pajak secara sukarela dan
penuh kesadaran sebagai aktualisasi solidaritas nasional untk membangun
perekonomian nasional.
Sampai sekarang kesadaran masyarakat membayar pajak masih belum
mencapai tingkat sebagaimana yang diharapkan. Umumnya masyarakat masih
sinis dan kurang percaya diri terhadap keberadaan pajak karena masih merasa
sama dengan upeti, memberatkan, pembayarannya sering mengalami kesulitan,
ketidakmengertian pengusaha tentang apa dan bagaimana pajak dan ribet dalam
menghitung dan melaporknnya serta memakan waktu yang cukup lama. Sehingga
banyak Wajib Pajak yang tidak mau mendaftarkan dirinya sebagai Pengusaha
Kena Pajak (PKP). Hal-hal seperti ini dapat menyebabkan terhambatnya
penyelenggaran pajak dalam hal pelaporan dan penyetoran pajaknya sehingga
nantinya akan berpengaruh pada penerimaan pajak.
Dari data yang tersedia dapat disimpulkan bahwa Wajib Pajak yang
mendaftarkan diri sendiri ke Kantor Pelayanan Pajak sekitar 60%, dan sisanya
sekitar 40% terdaftar melalui pengukuhan secara Jabatan yang dilakukan oleh
Kantor Pelayanan Pajak. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan pendapat
Pengusaha tentang Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, bagi yang mendaftarkan
mereka keluarkan sedangkan bagi yang dikukuhkan secara jabatan menurut
mereka itu hal yang merepotkan sehingga terkadang mereka menunggu untuk
dikukuhkan secara jabatan oleh Kantor Pelayanan Pajak tersebut.
Selain bertindak untuk mengkukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak,
Kantor Pelayanan Pajak juga dapat melakukan pencabutan dan menerima
permohonan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak apabila tidak
memenuhi syarat yang berlaku seperti pindah alamat tempat tinggal atau tempat
kedudukan atau tempat kegiatan usaha ke wilayah Kantor Pelayanan Pajak
lainnya, bubar resmi, wajib pajak meninggal dunia, dan jika jumlah peredaran
brutonya dalam satu tahun buku penuh ternyata tidak melebihi nilai batas
penyerahan yang ditetapkan sebagai pengusaha kecil. Apabila PKP tidak
melakukan permohonan pencabutan maka pengusaha tersebut dianggap telah
memilih menjadi PKP.
Sebenarnya dalam hal pelaporan pengukuhan dan pencabutan pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak (PKP) tidaklah sulit jika Wajib Pajak dalam pelaporan
pengukuhan dan permohonan pencabutannya sesuai dengan mekanisme yang
sudah ada. Dan jika Wajib Pajak masih mengalami kesulitan dalam pengisian
formulir permohonan pengukuhan PKP dapat ditanyakan langsung kepada
petugas pajak. Untuk itu, setiap KPP mempunyai seksi Pelayanan Pajak yang
berguna untuk membantu Wajib Pajak untuk menyelesaikan masalah
Berdasarkan uraian diatas tersebut menjadi latar belakang Penulis
membuat Laporan Tugas Akhir dengan Judul : “MEKANISME
PENDAFTARAN DAN PENCABUTAN NOMOR PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK (NPPKP) PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK MADYA MEDAN” ,sehingga apabila seorang Wajib Pajak yang ingin melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dapat mengetahui dengan
jelas syarat-syarat yang harus dipenuhinya.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas yang menjadi permasalahan dari penulisan Tugas
Akhir ini adalah untuk mengetahui “Bagaimana mekanisme Pendaftaran dan
Pencabutan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak?”.
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui mekanisme pendaftaran dan pencabutan Nomor
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
2. Untuk mengetahui perkembangan mekanisme pendaftaran dan
pencabutan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam proses
D. MANFAAT PENELITIAN
Adapun Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1. Dapat memahami Mekanisme pendaftaran dan pencabutan Nomor
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan Undang-undang,
Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak
2. Dapat membantu Wajib Pajak dalam memahami mekanisme
pendaftaran dan pencabutan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak
3. Dapat digunakan sebagai sumber masukan kepada petugas pajak
dalam melaksanakan tugasnya
4. Dapat meningkatkan mutu dan memperluas wawasan serta
memantapkan pengetahuan tentang Pengukuhan Pengusaha Kena