STRATEGI PEMBERDAYAAN EKONOMI SOSIAL
MASYARAKAT NELAYAN BERBASIS KOMUNITAS IBU
RUMAH TANGGA
DI DESA PUSONG BARU KECAMATAN
BANDA SAKTI KOTA LHOKSEUMAWE
TESIS
Oleh
FATMA ZOHRA
067024031/SP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
STRATEGI PEMBERDAYAAN EKONOMI SOSIAL
MASYARAKAT NELAYAN BERBASIS KOMUNITAS IBU
RUMAH TANGGA DI DESA PUSONG BARU KECAMATAN
BANDA SAKTI KOTA LHOKSEUMAWE
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Studi Pembangunan pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
FATMA ZOHRA
067024031/SP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : STRATEGI PEMBERDAYAAN EKONOMI SOSIAL MASYARAKAT NELAYAN BERBASIS KOMUNITAS IBU RUMAH TANGGA DI DESA PUSONG BARU KECAMATAN BANDA SAKTI KOTA LHOKSEUMAWE
Nama Mahasiswa : Fatma Zohra
Nomor Pokok : 067024031
Program Studi : Studi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) (Drs. Henry Sitorus, MA) Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. M.Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal 25 Juli 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Badaruddin, M.Si Anggota : 1. Drs. Henry Sitorus, MA 2. Drs. Bengkel Ginting, M. Si
3. Drs. Agus Suriadi, M. Si
PERNYATAAN
STRATEGI PEMBERDAYAAN EKONOMI SOSIAL MASYARAKAT NELAYAN BERBASIS KOMUNITAS IBU RUMAH TANGGA
DI DESA PUSONG BARU KECAMATAN BANDA SAKTI KOTA LHOKSEUMAWE
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Juli 2008
ABSTRAK
Salah satu sasaran program pembangunan nasional di bidang kelautan adalah terciptanya peningkatan pendapatan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Perhatian terhadap kawasan pesisir tidak hanya didasari oleh pertimbangan pemikiran bahwa kawasan itu tidak hanya menyimpan potensi sumber daya alam yang cukup besar, tetapi juga potensi sosial masyarakat yang akan mengelola sumber daya alam tersebut secara berkelanjutan. Salah satu cara untuk mengatasi kemiskinan nelayan antara lain adalah dengan cara pemberdayaan komunitas nelayan yang harus dilakukan dengan tepat dan harus berangkat dari kultur yang ada. Penekanannya harus kepada peningkatan kesadaran akan masalah dan potensi yang ada di dalam dan sekitar komunitas. Keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, dan kemampuan cultural dan politis.
Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan mengenai bagaimana strategi yang harus ditempuh untuk dapat memberdayakan sosial ekonomi masyarakat nelayan di Kota Lhokseumawe dengan partisipasi ibu rumah tangga dan untuk dapat lebih memperhitungkan posisi ibu rumah tangga sebagai subjek (pelaku utama) pemberdayaan dan diperlakuan sebagai modal sosial pembangunan masyarakat pesisir, sehingga kesejahteraan masyarakat nelayan di Desa Pusong Baru khususnya dan di Kota Lhokseumawe pada umumnya menjadi semakin lebih baik. Sesuai dengan masalah yang diteliti, maka tipe/metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan data penelitian dengan cara survai, wawancara mendalam, observasi dan studi literatur. Populasi penelitian ini adalah 69 orang ibu rumah tangga nelayan yang bekerja dan 11 orang informan penelitian yaitu beberapa orang Nelayan dan Tokoh Adat/Desa di Desa Pusong Baru Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe.Teknik dan wawancara mendalam dilakukan terhadap Geuchik Desa Pusong Baru.
Diversifikasi pekerjaan di Desa Pusong Baru lebih tepat jika diterapkan dikalangan komunitas ibu rumah tangga nelayan daripada terhadap kaum nelayannya sendiri, hal ini dikarenakan ibu rumah nelayan lebih banyak melewatkan waktunya di darat sementara nelayan lebih banyak melewatkan waktunya di Laut.
ABSTRACT
One of the targets of the national development program is maritime is to reach increase income of the community who lived in coastal area and smaller islands. The attention to coastal area is not only based by a consideration that the area contains not only a considerably potential natural resources, but also by the social potency of the community who will manage the sustainable natural resources. One of the way to anticipate the poverty of fishermen is to empower the community of fishermen that should be carried out properly and has to rely on the existing culture. It has to emphasize on increasing the awareness of the problem and the potency contained in and around the community. The success in empowering the community can be indicated from their capability to involve economic capability, capability of accessing the benefit of welfare, and cultural and political capabilities.
This present study tries to respond the problem of the strategy that should be implemented to empower social economic of the fishermen community in Lhokseumawe by involving the households and more consider their positions as subjects of the empowerment and treated them as social modality of the coastal community development, thus, the welfare of the fishermen community at Pusong Baru village particularly in Lhokseumawe become better generally. According to the problem of study, the type/method used in the study included descriptive method using qualitative and quantitative approaches. The data were collected by survey, in- depth interview, observation and literature study. The population included 69 housewifes of the working fishermen and 11 informants consisting of some fisherman and public/traditional figures at Pusong Baru village of Banda Sakti subregency of Lhokseumawe. The in-depth interview was carried out for Geuchik of Pusong Baru village.
Based on the result of study, it can be found that there are strategies: firstly, strategy of growing and developing the awareness of the community of fishermen housewives to participate work to support their family social economic, especially for those smaller/traditional fishermen, secondly, strategy of making the community of housewives as a base and play central role in managing social economic resource potency of the household. Thirdly, strategy of using the position and role of housewives as the social modality to empower social economic of the fishermen community. And fourthly, strategy of implementing occupational diversification at Pusong Baru village in the community of the fishermen housewives. The occupational diversification of Pusong Baru Village is more proper if it is implemented in the community of fishermen housewives rather than in the community of fishermen itself due to the fishermen housewives more spend their time in land whereas the fishermen more spent their time in sea.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya, maka tesis ini dapat diselesaikan. Penulisan tesis ini merupakan persyaratan
dalam menyelesaikan pendidikan Magister Studi Pembangunan di Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Walikota Lhokseumawe, atas izin belajar yang diberikan kepada penulis.
2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T.
Chairun Nisa B, MSc
3. Ketua Program Magister Studi Pembangunan Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA.
4. Sekretaris Program Magister Studi Pembangunan Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si.
5. Dosen Pembimbing I Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, yang telah banyak
memberikan masukan dan saran dalam penyelesaian tulisan ini.
6. Dosen Pembimbing II Bapak Drs. Henry Sitorus, MA, yang telah banyak
memberikan masukan dan saran dalam penyelesaian tulisan ini.
7. Para Dosen Pembanding, Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si dan Drs. Bengkel
8. Bapak dan Ibu dosen serta Staf Pengajaran Magister Studi Pembangunan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bekal ilmu serta
kelancaran dalam proses penyusunan dan penyelesaian Tesis.
9. Ibunda tercinta Hj. Cut Nur Syamsiar dan Ayahanda Alm.Drs. H. Mahyiddin.
AR, yang telah membesarkan penulis dengan kasih sayang serta mendorong
penulis untuk berpendidikan setinggi-tingginya.
10.Keluarga kecilku, Suami dan ananda tercinta Muhammad Aulia Rezky dan
Muhammad Jihan Asy’ari yang dengan segala doa dan pengertiannya yang selalu
memberi dukungan moril dan materil.
11.Bapak Geuchik Pusong Baru T. Zulkifli Ilyas dan Sekretaris Desa serta
jajarannya.
12.Sutriani dan suaminya Bapak Jumadiah yang telah bersedia meluangkan waktu
untuk membantu proses penelitian di Desa Pusong Baru, serta bapak Bernard
yang telah membantu proses pengolahan data.
13.Seluruh keluarga dan kerabatku yang tidak dapat kusebutkan satu persatu, yang
telah memberikan perhatian dan kasih sayang sehingga penulis tetap bersemangat
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih
memerlukan koreksi serta lanjutan penelitian agar nantinya dapat memberikan
kontribusi yang berarti di bidang studi pembangunan.
Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan bapak, ibu dan
saudara-saudara dengan berlipat ganda. Amin.
Medan, Medio Juli 2008 Penulis,
DAFTAR ISI
2.2. Gender dalam Norma Sosial, Adat dan Pertumbuhan Ekonomi. 16 2.3. Nelayan...……… 19
2.3.1. Wanita Nelayan…...……… 22
2.4. Budaya Maritim di Indonesia…....………...….. 23
2.4.1. Kelembagaan dan Kedudukan Panglima Laot Dalam Hukum Positif di Indonesia : Kasus di Propinsi NAD.... 26
2.4.1.1.Keberadaan Panglima Laot Dahulu dan Sekarang. 27 2.4.1.1.1.Panglima Laot Sebelum Perda No.2
2.5. Kemiskinan Struktural Nelayan ...………. 36
2.6. Strategi Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir... 42
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 54
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 54
3.2. Rancangan ... 54
3.3. Pelaksanaan Penelitian... 56
3.3.1. Populasi dan Sampel... 56
3.3.2. Teknik Pengumpulan Data... 57
3.4. Variabel yang diamati... 57
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 61
4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian... 61
4.2. Kependudukan dan Ketenagakerjaan... 62
4.3. Analisa dan Pembahasan... 64
4.3.1. Identitas Responden... 64
4.3.2. Keterikatan Responden dengan Tempat Tinggal... 67
4.3.3. Kondisi Sosial Ekonomi Responden... 67
4.3.4. Hal yang Berkaitan dengan Gender... 83
4.3.5. Peran Panglima Laot... 84
4.3. Strategi Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat nelayan Berbasis Komunitas Ibu Rumah tangga... ... 85
BAB V. PENUTUP... 88
5.1. Kesimpulan... 88
5.2. Saran... 91
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin... 62
2. Usia/umur Responden Ibu Rumah Tangga... 65
3. Pendidikan Terakhir Responden Ibu Rumah Tangga...…… 66
4. Jumlah Tanggungan informan Nelayan dan Tokoh
Masyarakat/Bulan... 68
5. Pekerjaan Utama Responden Ibu Rumah Tangga... 70
6. Penghasilan Pekerjaan Utama Responden Ibu Rumah
Tangga... 70
7. Status Kepemilikan Rumah Responden Ibu Rumah Tangga. 72
8. Status Kepemilikan Tanah Responden Ibu Rumah Tangga.. 73
9. Kondisi Fisik Rumah Responden Ibu Rumah Tangga... 74
10. Luas Utama Bangunan Rumah Responden Ibu Rumah
Tangga... 74
11. Kepemilikan Kendaraan Responden Ibu Rumah Tangga... 75
12. Kepemilikan Peralatan Elektronik Responden Ibu Rumah
Tangga... 75
13. Jumlah Pengeluaran Biaya Sosial (Adat) Responden Ibu
Rumah Tangga... 76
14. Jumlah Pengeluaran Bulanan Pakaian Responden Ibu
Rumah Tangga... 77
16. Kebutuhan Infrastruktur Ekonomi Masyarakat di Desa Pusong Baru Menurut Responden Ibu Rumah Tangga... 79
17. Faktor Yang Dapat Merupakan Kekuatan Dalam
Peningkatan Ekonomi Masyarakat Di Desa Ini Menurut Responden Ibu Rumah Tangga... 80
18. Faktor Yang Dapat Merupakan Kelemahan Dalam
Peningkatan Ekonomi Masyarakat di Desa Pusong Baru Menurut Responden Ibu Rumah Tangga... 81
19. Faktor Yang Dapat Merupakan Peluang Dalam
Peningkatan Ekonomi Masyarakat di Desa Pusong Baru Menurut Responden Ibu Rumah Tangga... 81
20. Faktor Yang Dapat Merupakan Ancaman Dalam
Peningkatan Ekonomi Masyarakat di Desa Pusong Baru Menurut Responden Ibu Rumah Tangga... 82
21. Saran Responden Ibu Rumah Tangga Yang Berhubungan
dengan Peningkatan Ekonomi Masyarakat di Desa Pusong Baru atau Kecamatan ini... 82
22. Saran Responden Nelayan dan Tokoh Masyarakat yang
Berhubungan Dengan Peningkatan Ekonomi Masyarakat di
Desa atau Kecamatan Ini...……… 83
23. Menurut Informan Nelayan dan Tokoh Masyarakat Apakah
Kedudukan Perempuan dengan Laki-Laki Sama di dalam Keluarga... 84
24. Menurut Informan Nelayan dan Tokoh Masyarakat yang
Bertanggung Jawab dalam Membesarkan Anak dalam Keluarga... 84
25. Pandangan Informan Nelayan dan Tokoh Masyarakat
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Daftar Nama, Data dan Pertanyaan Informan... 95
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sejak tahun 2000, Pemerintah Indonesia lebih mencurahkan perhatiannya
terhadap sektor kelautan dan perikanan, seperti terlihat dalam Propenas 2000-2004
disebutkan bahwa sumber daya kelautan dan perikanan merupakan penopang system
kehidupan masyarakat kita, khususnya masyarakat pesisir (nelayan). Salah satu
sasaran program pembangunan nasional di bidang kelautan adalah terciptanya
peningkatan pendapatan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Perhatian terhadap kawasan pesisir tidak hanya didasari oleh pertimbangan
pemikiran bahwa kawasan itu tidak hanya menyimpan potensi sumber daya alam
yang cukup besar, tetapi juga potensi sosial masyarakat yang akan mengelola sumber
daya alam tersebut secara berkelanjutan. Potensi sosial masyarakat ini sangat penting
karena sebagian besar penduduk yang bermukim di pesisir dan hidup dari
pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan tergolong miskin.
Kebijakan-kebijakan pembangunan di bidang perikanan (revolusi biru) selama ini ternyata
belum mampu meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat pesisir, termasuk yang
berada di kawasan pesisir Selat Madura (Kusnadi, 2000).
Kusnadi, 2006: 2-4, Salah satu unsur potensi sosial tersebut adalah kaum
pesisir atau istri nelayan pada masyarakat pesisir sangat penting karena beberapa
pertimbangan pemikiran:
Pertama, dalam system pembagian kerja secara seksual pada masyarakat
nelayan, kaum perempuan pesisir atau istri nelayan mengambil peranan yang besar
dalam kegiatan sosial-ekonomi di darat, sementara laki-laki berperan di laut untuk
mencari nafkah dengan menangkap ikan. Dengan kata lain, darat adalah ranah
perempuan, sedangkan laut adalah ranah laki-laki (Kusnadi 2001: 151-152).
Kedua, dampak dari system pembagian kerja di atas mengharuskan kaum
perempuan pesisir untuk selalu terlibat dalam kegiatan publik, yaitu mencari nafkah
keluarga sebagai antisipasi jika suami mereka tidak memperoleh penghasilan.
Kegiatan melaut merupakan kegiatan yang spekulatif dan terikat oleh musim. Oleh
karena itu, nelayan yang melaut belum bisa dipastikan memperoleh penghasilan.
Ketiga, system pembagian kerja masyarakat pesisir dan tidak adanya
kepastian penghasilan setiap hari dalam rumah tangga nelayan telah menempatkan
perempuan sebagai salah satu pilar penyangga kebutuhan hidup rumah tangga.
Dengan demikian, dalam menghadapi kerentanan ekonomi dan kemiskinan
masyarakat nelayan, pihak yang paling terbebani dan bertanggung jawab untuk
mengatasi dan menjaga kelangsungan hidup rumah tangga adalah kaum perempuan,
istri nelayan (Kusnadi, 2003: 69-83).
Dibandingkan dengan masyarakat lain, kaum perempuan di desa-desa nelayan
maupun di sektor publik. Peranan publik istri nelayan diartikan sebagai keterlibatan
kaum perempuan dalam aktivitas sosial-ekonomi di lingkungannya dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga dan kebutuhan sekunder lainnya. Kaum
perempuan di desa nelayan merupakan potensi sosial yang sangat strategis untuk
mendukung kelangsungan hidup masyarakat nelayan secara keseluruhan. Oleh karena
itu, potensi sosial-ekonomi kaum perempuan ini tidak dapat diabaikan begitu saja.
Kemiskinan nelayan merupakan suatu ironi bagi sebuah negara maritim
seperti Indonesia, walau data yang valid tidak mudah diperoleh. Pengamatan
visual/langsung ke kampung-kampung nelayan dapat memberikan gambaran yang
jauh lebih gamblang tentang kemiskinan nelayan di tengah kekayaan laut yang begitu
besar.
Gambaran umum yang pertama kali bisa dilihat dari kondisi kemiskinan dan
kesenjangan sosial-ekonomi dalam kehidupan masyarakat nelayan adalah fakta-fakta
yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung nelayan miskin
akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah yang
sangat sederhana, berdinding anyaman bambu, berlantai papan yang terlihat usang,
beratap rumbia, dan keterbatasan pemilikan perabotan rumah tangga adalah tempat
tinggal para nelayan buruh dan nelayan tradisional. Sebaliknnya, rumah-rumah yang
megah dengan segenap fasilitas yang memadai akan mudah dikenali sebagai tempat
tinggal pemilik perahu, pedagang perantara (ikan) atau pedagang berskala besar, dan
Dalam kondisi yang secara multidimensi demikian miskin, akan sangat sulit
bagi para nelayan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan dan begitu saja bersaing
dalam pemanfaatan hasil laut di era keterbukaan sekarang ini. Mereka akan selalu
kalah bersaing dengan perusahaan penangkapan ikan, baik asing maupun nasional,
yang berperalatan modern. Oleh karena itu, pemberdayaan komunitas nelayan
merupakan langkah yang sangat krusial dalam mencapai tujuan pemanfaatan
kekayaan laut Indonesia (Bappenas, 2005).
Salah satu cara untuk mengatasi kemiskinan nelayan antara lain dengan cara
pemberdayaan komunitas nelayan yang harus dilakukan dengan tepat dan harus
berangkat dari kultur yang ada. Penekanannya harus kepada peningkatan kesadaran
akan masalah dan potensi yang ada di dalam dan sekitar komunitas. Kalaupun ada
bantuan dari luar komunitas (misalnya dari pemerintah, lembaga donor, atau LSM),
sebaiknya jangan berbentuk sumbangan cuma-cuma (charity), melainkan berupa
pancingan/stimulan bagi peningkatan kesadaran akan potensi sendiri serta
peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan potensi tersebut.
Bantuan dalam bentuk uang tidak boleh terlalu besar (karena akan ’memanjakan’).
Tetapi juga jangan terlalu kecil (karena bisa tidak efektif dalam upaya mengangkat
komunitas dari lingkaran kemiskinan). Besaran yang ’pas’ akan sangat tergantung
pada situasi dan kondisi setiap komunitas nelayan dan mungkin tidak bisa disama
Eliminasi faktor pendorong dan penekan (push-pull factor) buruknya kondisi
sosial ekonomi nelayan yang dilakukan berbagai pihak harus menempatkan
komunitas nelayan sebagai subyek dan obyek pembangunan. Dalam hal ini, nelayan
dirangsang supaya kreatif untuk menemukan strategi taktis untuk mengatasi kesulitan
hidupnya. Selain itu, kecenderungan nelayan yang hanya mengandalkan laki-laki
menjadi pemeran utama dalam struktur produksi masyarakat pantai yang berkarakter
out door dan padat karya harus diimbangi dengan pemberdayaan perempuan
menambah penghasilan keluarga di berbagai bidang pekerjaan kodrati (Sitorus,
2005).
Berkaitan dengan usulan konstruktif ini, dapat dirujuk hasil penelitian
Kusnadi (1997:71) yang membuktikan bahwa strategi diversifikasi pekerjaan yang
dilakukan oleh nelayan di pantai Utara jawa, ternyata dapat meningkatkan kehidupan
ekonomi masyarakat pantai karena semakin beragamnya sumber-sumber pendapatan
dan akses ke sumber daya ekonomi yang luas dan fleksibel.
Hal senada ditemukan dari penelitian Sitorus (1997), dimana semakin luas
bidang pekerjaan yang tersedia dalam struktur produksi yang dapat dimasuki oleh
perempuan seiring dengan modernisasi dan sosialisasi pergerakan kemitra sejajaran
gender. Diversifikasi mata pencaharian merupakan salah satu pilihan, yang dapat
dilakukan di masa paceklik (angin barat), ataupun berlangsung dengan melibatkan
anggota keluarga. Untuk nelayan yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini,
kegiatan menjemur ikan, merebus, mengasin, dan melakukan pengepakan paket ikan
asin. Selain itu, para wanita nelayan tersebut juga ada yang bertani, beternak ayam,
berjualan ke desa-desa lainnya, merajut jaring, mencari kerang-kerangan dan jamur
laut, serta membudidayakan rumput laut. Sedangkan anggota keluarga lainnya yang
telah dewasa, terlibat dalam perbaikan dan pembuatan kapal, bertani dan mengikuti
bisnis transportasi darat, serta buruh nelayan. Dalam konteks ini, temuan Sitorus
menunjukkan bahwa implikasi dari peranan perempuan yang bekerja secara nyata
mampu meningkatkan daya tahan ekonomi keluarga nelayan, tetapi tidak terdapat
perubahan posisi di mana penghargaan yang diterimanya dari lawan jenisnya tetap
menempatkannya dalam struktur yang sama dalam masyarakat pantai.
Desa Pusong Baru yang dijadikan lokasi penelitian berada di dalam wilayah
Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe. Desa Pusong Baru merupakan sebagian
kecil dari wilayah pesisir di Kota Lhokseumawe, dimana Kota Lhokseumawe ini
hampir 40 % dari luas wilayahnya terdiri dari wilayah pesisir, yang merupakan
kantong-kantong kemiskinan.
Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian terdahulu (Kusnadi, Sitorus) di
lokasi yang berbeda, didapatkan gambaran kehidupan ekonomi sosial masyarakat
nelayan di Desa Pusong Baru juga dalam kondisi kemiskinan, dimana terlihat
rumah-rumah yang sangat sederhana dan perabotan seadanya. Sebagian besar ibu rumah-rumah
tangga terlihat beraktifitas dalam pekerjaan menjemur, merebus dan mengasinkan
mereka dengan segala kesadaran penuh melakukan pekerjaan ini untuk dapat
membantu menunjang kebutuhan ekonomi sosial rumah tangganya. Ibu rumah tangga
nelayan harus pandai-pandai menyiasati bagaimana caranya agar sebagian kebutuhan
hidup rumah tangganya bisa terakomodir.
Pasca bencana alam gempa bumi dan Tsunami kondisi kehidupan sosial
ekonomi mereka kian memprihatinkan dan kini berangsur-angsur mulai membaik
kembali. Berbagai program dan kegiatan pasca Tsunami telah menyentuh Desa
tersebut untuk membantu mereka keluar dari kesulitan pasca Tsunami, baik dari
Pemerintah, Negara Asing maupun NGO. Namun sangat disayangkan kegiatan
tersebut menimbulkan side effect yang tidak kita harapkan, diantaranya masyarakat
jadi sangat tergantung dengan bantuan dan menyebabkan sebagian besar
masyarakatnya menjadi malas berusaha dan hanya berharap adanya bantuan dari
Pemerintah maupun NGO. Sewaktu peneliti masuk ke Desa untuk melakukan
penelitianpun penulis juga dicurigai sebagai LSM yang ingin mencari data untuk
memberikan bantuan.
Melihat lokasi Desa yang berada sangat dekat dengan pusat kota dan terlebih
lagi di Kota Lhokseumawe yang terkenal sebagai Kota Petro Dolar terdapat beberapa
Proyek Vital (PT. Arun LNG, PT. PIM dan PT. Asean Aceh Fertilizer) maka kondisi
kehidupan ekonomi sosial masyarakat nelayan di Desa Pusong Baru terlihat sangat
kontras dengan masyarakat di Desa lain dan hal ini menimbulkan kesenjangan sosial.
Ikan (PPI) dan di Desa sebelahnya yaitu Desa Pusong Lama terdapat sarana Tempat
Pendaratan Ikan (TPI) dan dengan tersedianya sarana dan prasarana ini seharusnya
masyarakat nelayan di Desa Pusong Baru bisa bangkit dari kemiskinan.
Dari sebagian banyak program kegiatan yang digulirkan, berdasarkan hasil
evaluasi ada satu program yang tingkat keberhasilannya mencapai 100%, yaitu
Pemberian dana bergulir untuk kaum perempuan yang dilakukan oleh Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Satker Pendidikan Kesehatan dan Gender yang
dalam pelaksanaan kegiatannya dibantu oleh lembaga PEUDAP. Keberhasilan
tersebut membuat penulis jadi tergerak untuk menjadikan strategi pemberdayaan
ekonomi masyarakat melalui pemanfaatan sdm ibu rumah tangganya, dimana
sebelumnya ada juga program dan kegiatan serupa, dimana dana bergulir dikucurkan
untuk kaum laki-laki dan didapatkan tingkat pengembaliannya tidak sampai 50 %.
Dan untuk komunitas masyarakat nelayan, dimana ibu rumah tangganya lebih banyak
melewatkan waktu di darat, strategi ini harus menjadi bahan pemikiran Pemerintah
Daerah.
1.2. Perumusan Masalah
Sesuai topik di atas, maka yang menjadi ruang lingkup masalah dalam kajian ini
adalah bagaimanakah strategi yang harus ditempuh untuk dapat memberdayakan
sosial ekonomi masyarakat nelayan di Kota Lhokseumawe dengan partisipasi ibu
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk merumuskan strategi yang harus ditempuh untuk dapat
memberdayakan sosial ekonomi masyarakat nelayan di Kota
Lhokseumawe dengan partisipasi ibu rumah tangga agar pemenuhan
kebutuhan sosial ekonomi rumah tangga nelayan tidak mengalami
hambatan dan ibu rumah tangga mengambil peranan yang cukup besar
sehingga penghidupan masyarakat nelayan di Desa Pusong Baru
khususnya dan di Kota Lhokseumawe pada umumnya menjadi semakin
lebih baik.
2. Untuk dapat lebih memperhitungkan posisi perempuan pesisir sebagai
subjek (pelaku utama) pemberdayaan dan diperlakuan sebagai modal
sosial pembangunan masyarakat pesisir agar kesejahteraan masyarakat
pesisir semakin meningkat, khususnya nelayan di Desa pusong Baru.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Dapat dijadikan sebagai langkah awal analisa tentang strategi
pemberdayaan masyarakat nelayan di Kota Lhokseumawe melalui
peranan ibu rumah tangga dalam kegiatan sosial ekonomi lokal sebagai
2. Dapat menjadi rekomendasi bagi perencanaan di masa yang akan datang,
sebagai dasar penajaman program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Pemberdayaan Masyarakat
Istilah pemberdayaan masyarakat mulai dibicarakan sekitar tahun 90-an.
Istilah tersebut kemudian menjadi pembicaraan tersendiri di dalam tubuh
pemerintahan dan mulai disosialisasikan di dalam program-program turunan dari
pemberdayaan masyarakat tersebut. Ir. Tatag Wiranto, MURP Direktur Kerjasama
Pembangunan Sektoral Bappenas mengatakan bahwa program pemberdayaan
masyarakat menghasilkan masyarakat yang berdaya bukan yang terpedaya, sehingga
mereka mampu mandiri dan tidak tergantung pada uluran tangan bantuan orang lain.
Banyak para ahli yang membahas tentang konsep pemberdayaan, antara lain
seperti yang dikemukakan oleh Payne (Simatupang Ichwan, 2006), yang
mengemukakan bahwa pemberdayaan (empowerment), pada intinya ditujukan guna
membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan
tindakan yang ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek
hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui
peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia
miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.
Bahwa dengan pemberdayaan diharapkan akan dapat meningkatkan akses
kelompok miskin dalam proses pengambilan keputusan, akses terhadap fasilitas dan
mengurangi peluang terjadinya eksploitasi oleh kelompok lain. Melalui pintu keluar
tersebut akan mengurangi isolasi dengan bertambahnya akses terhadap informasi,
peluang ekonomi dan tumbuhnya rasa percaya diri. Demikian juga halnya terhadap
faktor-faktor yang lain seperti kerentanan, kelemahan fisik dan pada akhirnya
terhadap kemiskinan. Dengan demikian, melalui proses yang bersifat kumulatif dan
saling memperlemah dari faktor-faktor perangkap kemiskinan tersebut, kemiskinan
akan semakin berkurang dengan terwujudnya pemberdayaan politik, sosial dan
ekonomi (Soetomo, 2006:408).
Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu
masyarakat, seperti masyarakat kelas sosial ekonomi rendah, kelompok minoritas
etnis, wanita, populasi lanjut usia, serta para penyandang cacat, adalah orang-orang
yang mengalami ketidakberdayaan. Keadaan dan perilaku mereka yang berbeda dari
‘keumuman’ kerapkali dipandang sebagai ‘deviant’ (penyimpangan). Mereka
seringkali kurang dihargai dan bahkan dicap sebagai orang yang malas, lemah, yang
disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal ketidakberdayaan mereka seringkali
merupakan akibat dari adanya kekurang adilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek
kehidupan tertentu.
Schuler, Hashemi dan riley (dalam Suharto, 2005: 63-66) mengembangkan
delapan indikator pemberdayaan, yang mereka sebut empowerement index atau
indeks pemberdayaan. Keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari
mengakses manfaat kesejahteraan, dan kemampuan cultural dan politis. Ketiga aspek
tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu: ‘kekuasaan di dalam’
(power within), ‘kekuasaan untuk’ (power to), ‘kekuasaan atas’ (power over) dan
‘kekuasaan dengan’ (power with). Adapun delapan indikator pemberdayaan sebagai
berikut:
1. Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi keluar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian.
2. Kemampuan membeli komoditas kecil: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, sampo). Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta izin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
3. Kemampuan membeli komoditas besar: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, Radio, Koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator di atas, poin tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta izin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
4. Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputusan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri maupun bersama suami/istri, mengenai keputusan-keputusan keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk diternak, memperoleh kredit usaha.
5. Kebebasan relative dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak-anak, mertua yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa izinnya; yang melarang mempunyai anak; atau melarang bekerja diluar rumah. 6. Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai
pemerintah desa/kelurahan; seorang anggota DPRD setempat; nama presiden; mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum ahli waris.
mengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan bantuan sosial; atau penyalah gunaan kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah.
8. Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya.
Pelaksanaan proses pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai melalui
penerapan pendekatan pemberdayaan yang dapat disingkat menjadi 5P, yaitu:
Pemungkinan, Penguatan, Perlindungan, Penyokongan dan pemeliharaan (Suharto,
1997:218-219) :
1. Pemungkinan: menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat cultural dan structural yang menghambat.
2. Penguatan : memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuh-kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian mereka.
3. Perlindungan : melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat keil.
4. Penyokongan : memberikan bimbingan dan dukngan agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan. 5. Pemeliharaan : memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi
2. 1.1. Pemberdayaan Sosial
Pemberdayaan Sosial adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses,
pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau
keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang
mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada
keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat
yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan
dalam memenuhi kebutuhan sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu
menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan
sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Suatu keadaan
realitas faktual (sosial) sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia
(minimal pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia yaitu : Tingkat
pendapatan, tingkat pendidikan, kondisi rumah, MCK, penerangan dan kebutuhan air
minum). Realitas membuktikan bahwa kehidupan nelayan tradisional tidak pernah
beranjak dari kemiskinan, kemelaratan dan ketertinggalan.
2. 1.2. Pemberdayaan Ekonomi
Pemberdayaan Ekonomi adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses,
pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau
keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang
mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada
masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan
kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersifat ekonomi,
mempunyai mata pencaharian, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas
kehidupannya, dan sejauh mana seseorang dapat mengurus aktivitas ekonominya
sendiri.
2.2. Gender dalam Norma Sosial, Adat dan Pertumbuhan Ekonomi
Narayan dan kawan-kawan (dalam Pembangunan Berspektif Gender, Laporan
Penelitian Kebijakan Bank Dunia,2005:109) menuliskan norma sosial dan adat
menentukan peran perempuan dan laki-laki di dalam keluarga dan masyarakat,
membentuk acuan individu dan hubungan kewenangan di antara jenis kelamin, dan
juga menetapkan jenis pekerjaan yang sesuai untuk perempuan dan laki-laki.
Laki-laki akan tampak janggal jika melakukan pekerjaan yang di-pantas-kan sebagai
pekerjaan perempuan, sementara perempuan dianggap tidak feminim atau
mengundang interaksi seksual bila bekerja di tempat terdominasi laki-laki. Dengan
cara demikian norma sosial menciptakan insentif kuat yang menuntun sikap
seseorang--sebagai suami/istri, orang tua, warga Negara dan pekerja—dan perilaku
di luar batas yang dianggap ‘layak’ akan memunculkan sanksi sosial dari sistem
formal maupun informal.
Senada dengan itu Bevan, Collier, dan Gunning 1989; Juster dan
Pembangunan Berspektif Gender, Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia
,2005:66) melaporkan bahwa di seluruh dunia, perempuan melakukan sebagian besar
tugas mengasuh anak dan mengurus rumah tangga. Pada umumnya perempuan
mengombinasi pekerjaan domestik dengan pekerjaan pasar dan non pasar untuk
menambah penghasilan atau menambah konsumsi rumah tangga, namun biasanya
tidak tercatat di statistik ketenagakerjaan tradisional. Perempuan juga cenderung
bekerja dengan jumlah jam kerja lebih tinggi daripada laki-laki bila pekerjaan di
pasar dan rumah tangga sama-sama dihitung.
Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana dampak pembebanan urusan
rumah tangga serta pekerjaan lainnya pada perempuan terhadap tingkat kesejahteraan
relatif perempuan terhadap laki-laki. Bila pembagian kerja berdasarkan gender di
keluarga berarti bahwa perempuan memikul tugas rumah tangga dengan
mengorbankan kegiatan menambah penghasilan (income generating activities), hal
ini akan melemahkan posisi tawar mereka dan kemampuan mengambil keputusan di
dalam keluarga. Hal ini juga membawa implikasi terhadap kesejahteraan mereka.
Selain itu, disparitas gender dalam jumlah jam kerja menunjukkan bahwa meskipun
tidak terjadi bias gender dalam konsumsi di sebuah rumah tangga, perempuan akan
menghabiskan lebih banyak jam kerja daripada laki-laki untuk mencapai tingkat
konsumsi yang sama seperti dipaparkan oleh Lipton dan Ravallion (dalam
Pembangunan Berspektif Gender, Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia,
Selain itu, hasil penelitian Sitorus (1999: 69) juga memperlihatkan kesimpulan yang lebih kuat bahwa masyarakat masih kurang adil memperlakukan perempuan, dimana dampak perluasan bidang kerja yang dapat dimasuki perempuan nelayan secara positif memperkuat daya tahan ekonomi masyarakat pantai, tetapi kontribusi ekonomi hasil kerja perempuan nelayan tidak cukup mampu untuk dirujuk oleh masyarakat pantai untuk mereposisi kedudukannya dalam konteks kesimbangan gender. Dalam hal ini, penghargaan yang diterima pekerja perempuan tetap berada dibawah rata-rata penerimaan pekerja laki-laki walaupun nilai kerjanya relatif berimbang.
Dalam Pembangunan Berspektif Gender, Laporan Penelitian Kebijakan Bank
Dunia (2005:183-184) dipaparkan teknologi, ketersedian pasar-kerja yang berfungsi,
serta norma pemilahan gender dalam pekerjaan; adalah tiga hal yang sangat berperan
dalam alokasi sumberdaya untuk kerja dan hiburan di sebuah masyarakat. Di
kebanyakan masyarakat, perempuan dibebani tanggung jawab domestik—memasak,
mengambil air, mencari bahan bakar, serta merawat anak atau anggota keluarga yang
sakit maupun lansia. Rata-rata waktu kerja perempuan lebih panjang daripada
laki-laki, apalagi bila juga harus bekerja mencari penghasilan . di lain pihak laki-laki
diharapkan menjadi pencari nafkah utama dan pelindung keluarga, dan martabat serta
statusnya dalam masyarakat terbentuk dari kemampuannya memenuhi harapan
tersebut. Semakin tegas ketentuan dan hirarki peran gender dalam masyarakat,
semakin kaku pula pemilahan peran gender dalam masyarakat. Pembangunan
ekonomi menciptakan insentif dan peluang yang dapat menghapus berakarnya
pemilahan gender dalam peran ekonomi—memungkinkan perempuan berpartisipasi
setara dengan laki-laki dalam pasar ekonomi (tidak hanya dikala resesi ekonomi saja)
dan laki-laki bisa ikut berbagi peran dalam urusan rumahtangga. Pertumbuhan
ekonomi bisa meringankan beban rumah tangga perempuan, memberi mereka waktu
juga memungkinkan laki-laki mengurangi beban pasar-kerja mereka dan
memungkinkan mereka lebih terlibat dalam kegiatan non-pasar.
2.3. Nelayan
Nelayan dapat didefinisikan sebagai orang atau komunitas orang yang secara
keseluruhan atau sebagian dari hidupnya tergantung dari kegiatan menangkap ikan.
Beberapa kelompok nelayan memiliki beberapa perbedaan dalam karakteristik sosial
dan kependudukan. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada kelompok umur,
pendidikan, status sosial, dan kepercayaan. Dalam satu kelompok nelayan juga sering
ditemukan perbedaan kohesi internal, dalam pengertian hubungan di antara sesama
nelayan maupun di dalam hubungan bermasyarakat seperti dipaparkan Townsley
(Dirjen Perikanan, Departemen Pertanian,1988) mendefinisikan, yang disebut
nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi
penangkapan binatang atau tanaman air dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya
untuk dijual. Orang yang melakukan pekerjaan, seperti membuat perahu/kapal, dan
juga mengangkut ikan, tidak termasuk sebagai nelayan. Demikian juga istri, anak dan
anggota keluarga yang lain tidak termasuk sebagai nelayan.
Charles (2001), membagi kelompok nelayan dalam empat kelompok yaitu :
(1). Nelayan subsisten (subsistence fisfers), yaitu nelayan yang menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
memiliki juga hak untuk melakukan aktivitas secara komersial walaupun dalam skala yang sangat kecil.
(3). Nelayan rekreasi (recreational/sport fishers), yaitu orang-orang yang secara prinsip melakukan kegiatan penangkapan hanya sekedar untuk kesenangan atau berolah raga, dan
(4). Nelayan komersial (commercial fishers), yaitu mereka yang menangkap ikan untuk tujuan komersial atau dipasarkan baik untuk pasar domestic maupun pasar ekspor. Kelompok nelayan ini dibagi dua, yaitu nelayan skala kecil dan skala besar.
Dari empat pengelompokan tersebut sudah sangat sulit menemukan dua
kelompok yang pertama. Sementara, kelompok ketiga walaupun di beberapa Negara
maju berbagai kegiatannya telah terdokumentasi dengan baik namun di beberapa
Negara berkembang seperti Indonesia misalnya, sangat sulit ditemukan. Disamping
pengelompokan tersebut, terdapat terminology yang sering digunakan untuk
menggambarkan kelompok nelayan, seperti nelayan penuh untuk mereka yang
menggantungkan keseluruhan hidupnya dari menangkap ikan; nelayan sambilan
untuk mereka yang hanya sebagian dari hidupnya tergantung dari menangkap ikan
(lainnya dari aktivitas seperti pertanian, buruh, dan tukang); juragan untuk mereka
yang memiliki sumberdaya ekonomi untuk usaha perikanan seperti kapal dan alat
tangkap; dan anak buah kapal (ABK/pandega) untuk mereka yang mengalokasikan
waktunya dan memperoleh pendapatan dari hasil mengoperasikan alat tangkap ikan,
seperti kapal milik juragan.
Sementara itu Kusnadi (2002), membagi masyarakat nelayan berdasarkan
penggolongan sosial dari tiga sudut pandang:
dalam kategori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi. Dalam kegiatan produksi sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas. Dalam masyarakat pertanian, nelayan buuh identik dengan buruh tani. Secara kuantitatif, jumlah nelayan buruh di suatu desa nelayan lebih besar dibandingkan dengan nelayan pemilik.
(2). Ditinjau dari skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Disebut nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relative baak, sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya.
(3). Dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan,
masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional. Jumlah nelayan modern relative lebih kecil dibandingkan dengan nelayan tradisional. Perbedaan-perbedaan tersebut membawa implikasi pada tingkat pendapatan dan kemampuan atau kesejahteraan sosial-ekonomi yang relative sama, dengan orientasi usaha dan perilaku yang berbeda-beda.
Disamping pembagian di atas, kita juga menemukan beberapa pembagian
lainnya seperti berdasarkan daya jangkau armada perikanan dan juga lokasi
penangkapan ikan. Dapat kita sebutkan misalnya nelayan pantai atau biasa disebut 1)
perikanan pantai untuk usaha perikanan skala kecil dengan armada yang didominasi
oleh perahu tanpa motor atau kapal motor tempel, 2) perikanan lepas pantai untuk
perikanan dengan kapasitas perahu rata-rata 30 GT, dan 3) perikanan samudera untuk
kapal-kapal ukuran besar misalnya 100 GT dengan target perikanan tunggal seperti
tuna.
2.3.1. Wanita Nelayan
Wanita nelayan sebagai salah satu komponen masyarakat pesisir selama ini
pembangunan dan pemberdayaan di wilayah pesisir. Isu-isu peran merekapun tidak
banyak terdokumentasi dalam berbagai media. Wanita nelayan seolah-olah hanya
menjadi bayangan dari nelayan yang dalam pikiran kita hanya kaum pria yang
sebagian atau seluruh hidupnya berjuang menghadapi gelombang besar atau angin
kencang untuk memperoleh hasil tangkapan ikan. Kondisi demikian telah lama kita
anggap sebagai hal yang lumrah, karena dalam budaya kita wanita dikonstruksikan
secara sosial maupun budaya untuk menjadi “kanca wingking” yang hanya berkutat
pada berbagai urusan rumah tangga bahkan seperti dikatakan Djohan (Widodo,
2006), geraknya pun dibatasi dalam lingkup rumah tangga.
Keterbatasan ekonomi keluarga menuntut wanita nelayan termasuk anak-anak
perempuan mereka bekerja di daerah pesisir. Wanita-wanita tersebut, jika dilihat dari
aspek ekonomi perikanan sebenarnya menempati posisi yang sangat strategis. Mereka
adalah pedagang pengecer, pengumpul ikan, pedagang besar, maupun pengolah hasil
perikanan, yang sangat menentukan berjalan atau tidaknya arus hasil perikanan dan
kelautan dari produsen ke konsumen.
Rumah tangga nelayan pada umumnya memiliki persoalan yang lebih
kompleks dibandingkan dengan rumah tangga pertanian. Rumah tangga nelayan
memiliki ciri-ciri khusus seperti penggunaan wilayah pesisir dan lautan (common
property) sebagai faktor produksi, jam kerja yang harus mengikuti siklus bulan yaitu
dalam 30 hari satu bulan yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari
adalah pekerjaan yang penuh resiko dan umumnya karena itu hanya dapat dikerjakan
oleh lelaki, hal ini mengandung arti keluarga yang lain tidak dapat membantu secara
penuh. Dengan persoalan yang demikian tentunya kita harus memahami bahwa
rumah tangga nelayan memerlukan perhatian yang multi dimensi. Tantangan yang
terbesar adalah bagaimana membangun sektor ini agar dapat mengangkat harkat dan
martabat kehidupan masyarakat nelayan maupun masyarakat lainnya yang terkait
dengan sumber daya kelautan dan pesisir (Bappenas RI, 2005).
2.4. Budaya Maritim di Indonesia
Menurut Boeke (1983), Desa tradisional merupakan sebuah rumah tangga
yang secara ekonomi ”berdaulat”, ”mandiri”. Desa tradisional juga merupakan
sebuah ”unit produksi” bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan konsumtif kalangan
kelas menengah dan atas (penguasa, bangsawan, pemilik tanah/modal, dll), sementara
bagi kalangan bawah, hal itu tidak lain merupakan ”kewajiban sosial dan ekonomis”
mereka atas perlindungan dan pimpinan yang diberikan oleh kalangan menengah dan
atas dan ini berarti pula sebagai bentuk pengabdian kepada penguasa alam yang Maha
kuasa. Desa tradisional merupakan manifestasi sederhana dari ’perkampungan
nelayan’ yang sebagian besar menunjukkan bahwa taraf hidup masyarakat memang
belum banyak beranjak dari ciri serta karakteristik dari desa tradisional. Sebuah
perkampungan nelayan merupakan bentuk desa sederhana dimana masyarakat yang
Norma tersebut terbentuk baik secara alamiah maupun diperkuat dengan aturan dan
bentuk perundangan sederhana yang membuat masyarakat tetap tunduk dibawahnya.
Pendek kata, setiap aktivitas mereka senantiasa ditundukkan pada dan dicampur
dengan berbagai macam motif yaitu, motif sosial, keagamaan, etis dan tradisional.
Dari sisi konsumsi, kehidupan ekonomi desa tradisional dibangun atas dasar ”prinsip
swasembada”, dimana hampir seluruh kebutuhan hidup kesehariannya
diproduksi/dipenuhi oleh desa tradisional sendiri.
Kemampuan desa tradisional membangun struktur ekonomi demikian, karena
didukung penuh oleh adanya ikatan-ikatan sosial yang asli dan organis, sistem
kesukuan tradisional, kebutuhan-kebutuhan yang tak terbatas dan bersahaja, prinsip
produksi pertanian semata-mata untuk keperluan keluarga, pengekangan pertukaran
sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan, serta tidak terlalu berorientasi kepada laba
(non profit oriented). Landasan struktur ekonomi desa tradisional diletakkan pada
prinsip ”hemat, ingat, dan istirahat (Boeke, 1983:22).
Seperti diungkapkan Bappenas RI (2005:1.3-10), Hampir di setiap wilayah
pesisir di Indonesia dijumpai adanya tengkulak yang mengambil beberapa fungsi
pengembangan di sektor perikanan dan kelautan secara informal. Fungsi-fungsi
pengembangan sektor perikanan dan kelautan yang dimasuki oleh tengkulak tidak
saja hanya pada fungsi finansial, tetapi banyak fungsi lainnya yang telah diambilnya,
yakni:
Pada fungsi produksi ini tengkulak mengambil peran sebagai penyedia faktor/sarana produksi penangkapan ikan, seperti ; menyediakan biaya-biaya bekal operasi penangkapan ikan, penyedia alat tangkap ikan dan bahkan penyedia mesin motor tempel serta kapal penangkap ikan.
2. Fungsi Pemasaran.
Ikan hasil tangkapan nelayan, pada lokasi-lokasi dimana tidak terdapat tempat pelelangan ikan (TPI) umumnya dibeli oleh tengkulak yang kemudian oleh tengkulak disalurkan ke perusahaan-perusahaan exportir atau disalurkan ke pasar-pasar lokal.
3. Fungsi Finansial.
Segala kebutuhan berupa finansial untuk terlaksananya kegiatan usaha penangkapan ikan senantiasa disediakan oleh tengkulak. Nelayan hampir dapat dikatakan bergantung pada tengkulak. Para tengkulak memberikan bantuan finansial tanpa syarat-syarat tertentu tidak seperti pada lembaga-lembaga keuangan (bank).
4. Fungsi Sosial.
Dikala terjadi musim paceklik, nelayan tidak melakukan operasi penangkapan ikan sama sekali. Oleh karenanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka banyak mengandalkan pada bantuan tengkulak. Bahkan untuk kepentingan biaya sekolah putera-puteri nelayan, kadang-kadang mereka juga memohon bantuan pada tengkulak.
Hal menarik yang perlu dikemukakan disini adalah mengapa nelayan tidak mau
memanfaatkan lembaga keuangan formal (bank) dan lembaga-lembaga keuangan
lainnya seperti yang telah disebutkan di atas, tetapi justru mengikatkan diri pada
sistem yang dilakukan oleh tengkulak?. Seolah-olah telah terjadi adanya ikatan
lahiriah dan batiniah diantara kedua belah pihak. Apabila diperhatikan dengan
sungguh-sungguh, maka peran yang dimainkan oleh lembaga keuangan formal (bank)
dan lembaga-lembaga keuangan lainnya seperti telah disebutkan di atas hanyalah
terbatas pada peran finansialnya saja; itupun menurut nelayan tradisional memerlukan
persyaratan yang memberatkan mereka. Di sisi lain, peran yang dimainkan oleh para
sosial) yang dibutuhkan oleh kelompok masyarakat nelayan tradisional yang
membuat mereka ’rela’ mengikatkan diri pada ikatan yang menimbulkan adanya
kebergantungan. Senada dengan itu Badaruddin (2005), mengatakan bahwa
polarisasi sosial ekonomi yang semakin tajam dalam komunitas nelayan, secara
teoritis akan memperkuat kelembagaan tradisional patron-klien, karena
ketergantungan nelayan miskin (nelayan buruh) terhadap nelayan kaya (nelayan
pemilik modal) semakin tinggi. Dalam prakteknya, kelembagaan patron-klien
cenderung eksploitatif terhadap nelayan miskin (klien). Dari hasil penelitiannya
terdahulu, menunjukkan bahwa secara sadar atau terpaksa, kelembagaan patron-klien
ini tetap diminati dan dipertahankan oleh komunitas nelayan, dan dijadikan sebagai
“katub pengaman” krisis subsistensi yang mereka hadapi. Upaya reduksi kemiskinan
(khususnya di kalangan nelayan) dapat dilakukan dengan pemanfaatan potensi modal
sosial yang ada di dalam masyarakat, namun yang menjadi persoalan adalah
bagaimana metode menumbuhkan dan mengembangkan potensi modal sosial yang
ada dalam komunitas yang saat ini sedang mengalami pelemahan bahkan
penghancuran.
2.4.1. Kelembagaan dan Kedudukan Panglima Laot Dalam Hukum Positif di
Indonesia : Kasus di Propinsi NAD
(Bappenas, 2005: 3.2-15 – 3.2-18), Panglima Laot merupakan lembaga adat
dan berfungsi sebagai ketuaadat bagi kehidupan nelayan di pantai, serta merupakan
unsur penghubung antara Pemerintah dengan rakyat (nelayan) di tepi pantai guna
Lembaga Panglima Laot telah berakar dalam masyarakat, khususnya
masyarakat nelayan di Aceh. Akan tetapi sejak Indonesia merdeka, lembaga
Panglima Laot tersebut seperti telah terlepas darin sistem hukum dalam negara.
Bahkan di dalam perda No.2 tahun 1990 sendiri masih menimbulkan permasalahan
tentang kedudukan Lembaga Panglima Laot dalam sistem hukum yang berlaku serta
kewenangannya dalam menjalankan fungsi sebagai Panglima Laot (Bappenas, 2005:
3.2-15 – 3.2-18).
2.4.1.1. Keberadaan Panglima Laot Dahulu dan Sekarang
2.4.1.1.1. Panglima Laot Sebelum Perda No.2 Tahun 1990
Lembaga Panglima Laot telah ada pada zaman kesultanan Iskandar Muda.
1). Ini menunjukkan betapa tuanya keberadaan lembaga tersebut dalam sistem hukum
di Indonesia, khususnya di Aceh. Namun tulisan yang ada tidak menjelaskan siapa
yang dimaksud dengan Panglima Laot pada waktu itu. Begitu juga tidak ada tulisan
yang menjelaskan fungsi dan tugasnya.
Namun menurut C. Van Vollen Hoven 2). Panglima Laot sejak zaman dahulu
sudah menjadi salah satu lembaga resmi yang diatur oleh negara. Dikatakannya sejak
zaman dahulu di Aceh sudah ada peraturan sampai seberapa jauh nelayan dapat
beroperasi untuk menangkap ikan di lautan. Pengaturan itu atas dasar surat yang
diberikan oleh Sultan kepada pembesar wilayahnya. Dari kutipan diatas, tampak
bahwa kedudukan Hukum Adat Laot yang kuat pada masa itu dan jelas dasar
Identifikasi Panglima Laot mulai tampak pada masa kolonial, Hoesein
Djajadiningrat yang mengatakan Panglima Laot disebut Panglima Lhok. Yang
dimaksud dengan Panglima Lhok adalah panglima laot kepala sebuah Lhok atau
kuala atau teluk yang mengepalai sejumlah pukat dengan persetujuan kepala
kenegerian.
Dari tulisan Hoesein Djadjadiningrat tersebut dapat dipertegas bahwa
Panglima Laot itu adalah penguasa sebuah kuala dan karena itu juga pemimpin pukat
ikan. Kepemimpinan itu diperoleh karena dipilih dan diangkat oleh pawang poekat
pemilihnya serta diakui oleh kepala kenegrian. Kepala kenegrian dimaksud bila
ditempatkan dalam sistem pemerintahan sekarang ini, ditinjau dari luas wilayah dan
kekuasaannya dapat disamakan dengan camat sebagai kepala wilayah.
Persetujuan pengangkatan dari kepala kenegrian menunjukkan Panglima Laot
dan lembaganya, keberadaannya diakui secara resmi oleh penguasa dan karena itu
berada dalam sistem hukum yang berlaku. Ini berarti pula pada waktu itu keberadaan
Panglima Laot diakui dan dilindungi oleh hukum dalam negara.
Dalam perkembangan selanjutnya setelah Indonesia merdeka, perhatian
pemerintah terhadap lembaga Panglima Laot, tampak terabaikan sama sekali,
meskipun keberadaan lembaga itu tetap terpelihara didalam masyarakat Indonesia
yang baru merdeka termasuk pemerintahnya ingin meninggalkan tradisi lama untuk
cepat-cepat meraih kemajuan disegala bidang. Pandangan seperti ini setelah teruji
Untuk mencapai kemajuan tetap diperlukan kerangka sosial dalam masyarakat
yang telah ada. Kerangka sosial tersebut antara lain terbentuk lembaga-lembaga adat.
Lembaga adat tetap dibutuhkan masyarakat, sebab tanpa lembaga adat masyarakat
akan kacau balau dan bergerak maju dengan ada tempat berpijak. Disadari atau tidak,
masyarakat terus berkembang hingga menyababkan perubahan nilai budayanya.
Perubahan nilai menyebabkan ditinggalkan (tidak cocok lagi) ketentuan adat yang
ada dalam lembaga. Untuk menyesuaikan kebutuhan masyarakat yang telah berubah
ini diperlukan ketentuan-ketentuan adat yang baru. Hal tersebut di atas perlu
ditekankan sebab untuk mempertahankan (melestarikan) adat yang ditinggalkan
masyarakat sama halnya dengan memasukkan adat itu dalam mesium, dimana adat
istiadat itu hanya untuk dibaca dan dikagumi, bukan sebagai alat untuk mengatur
masyarakat.
Perhatian terhadap lembaga Panglima Laot secara samar-samar mulai
dilakukan kembali pada sekitar tahun 1972, oleh Dinas Perikanan Propinsi NAD.
Perhatian itu tampak dengan dikeluarkan monografi Perikanan Propinsi NAD yang di
dalamnya tersebut dibicarakan tentang kelembagaan Panglima Laot. Atas dasar
perkembangan di atas Dinas Perikanan memberi batasan. Panglima Laot ialah orang
yang mengkoordinasikan satu atau lebih daerah perikanan, minimal satu
perkampungan nelayan. Batasan makna Panglima Laot seperti itu meskipun ditinjau
dengan batasan tersebut telah menghilangkan fungsi Panglima Laot yang lainnya,
khususnya sebagai penguasa wilayah kelautan.
Atas dasar makna Panglima Laot seperti itu dalam praktek Panglima Laot
tersebut setelah dipilih oleh para pawang dikukuhkan oleh Dinas Perikanan Propinsi
NAD. Pengukuhan tersebut mengandung arti adanya pengakuan bahwa Panglima
Laot tersebut adalah koordinator dibidang penangkapan ikan dilaut dalam wilayah
laut tersebut.
Pertanyaannya sekarang, apakah dengan pengukuhan oleh Dinas Perikanan,
secara yuridis telah melahirkan kewenangan perintah dan larangan terhadap para
nelayan dalam wilayahnya. Secara yuridis jelas tidak, sebab perintah dan larangan
terhadap orang banyak/masyarakat hanya dapat dikeluarkan oleh orang/badan yang
diberi wewenang oleh hukum. Menurut sistem hukum dinegara kita hanya
pemerintahlah yang dapat memberikan kekuasaan dan melimpahkan wewenang
kenegaraan kepada seseorang/badan.
2.4.1.1.2. Panglima Laot Setelah Perda No. 2 Tahun 1990
Perda No.2 Tahun 1990, telah mengangkat kembali keberadaan lembaga
Panglima Laot yang telah sekian lama (semenjak kemerdekaan) hilang dari kerangka
sistem hukum dalam negara. Dengan dikeluarkan Perda No.2 Tahun 1990, maka
lembaga Panglima Laot menjadi lembaga resmi dalam negara c/q Propinsi NAD.
Didalam pasal 1 dikatakan Panglima Laot adalah orang yang memimpin adat
termasuk dalam hal ini mengatur tempat/areal penangkapan, penambatan perahu dan
menyelesaikan sengketa bagi hasil. Penjabaran pasal diatas mengandung makna,
pertama-tama menegaskan Panglima Laot adalah orang yang memimpin adat istiadat
dan kebiasaan yang berlaku dibidang penangkapan ikan di lautan. Perkataan
memimpin disini dalam arti hukum adalah memelihara, menjaga atas dasar
wewenang yang diberikan oleh hukum artinya bila ada yang bertindak melawan
hukum maka orang tersebut harus diberi ganjaran/sangsi hukum yang telah
ditetapkan.
Karena telah diberikan hak memimpin hukum adat dan kebiasaan-kebiasaan
di laut serta dalam hukum adat laut, Panglima Laot dipandang sebagai penguasa
tunggal di lautan (lhok). Selanjutnya karena adat laot dan kebiasaan lainnya telah
diakui keberadaannya, maka kedudukan Panglima Laot menurut hukum adat laot,
juga tetap dipertahankan oleh pasal 1 Perda No. 2 Tahun 1990 tersebut. Sebagai
wewenang dan tugas Panglima Laot tetap seperti sebelumnya (pasal 13) yaitu:
a. Memimpin wilayah kelautan
b. Memimpin persoalaan sosial orang nelayan
c. Memimpin penyelesaian perselisihan di laut
d. Memimpin pelestarian lingkungan.
2.4.2. Wewenang dan Fungsi Panglima Laot
Dalam hal ini, maksud dari wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk
melakukan sesuatu, jadi kalau dikatakan Panglima Laot mempunyai wewenang untuk
mempertahankan adat laot, jadi kalau dikatakan Panglima Laot mempunyai
wewenang untuk mempertahankan adat laot, jadi kalau dikatakan Panglima Laot
mempunyai wewenang untuk mempertahankan adat laot, mengandung arti Panglima
Laot mempunyai hak dan kekuasaan untuk mempertahankan adat laot menurut
hukum negara. Dalam Perda No. 2 Tahun 1990, persoalan kewenangan Panglima laot
tidak diatur secara tegas, tidak ada satu pasal pun dari Perda No. 2 Tahun 1990
tersebut yang membicarakan kewenangan Panglima Laot. Satu-satunya pasal yang
dapat dijadikan acuan dalam membahas kewenangan Panglima Laot adalah pasal 1
(m). Dalam pasal tersebut Panglima Laot ditetapkan sebagai pemimpin:
a. Adat istiadat
b. Kebiasaan-kebiasaan dalam penangkapan ikan dilaut
c. Pengaturan daerah penangkapan ikan.
d. Pengaturan tempat penambatan perahu
e. Menyelesaikan sengketa bagi hasil.
Dengan diakuinya oleh Panglima laot mendapat legalitas (keabsahan) dari
segi hukum, dengan pengakuan itu pula Panglima Laot mempunyai kekuasaan.
Pengesahan Panglima Laot dalam mempertahankan hukum adat laot, adat dan
Pengertian Adat Istiadat yang dimaksudkan itu tidak lain dari adat istiadat
yang telah dilakukan. Sebagai contoh Adat Laot yang sudah baku, pada garis
besarnya meliputi :
1. Adat perjanjian bagi hasil ikan.
2. Adat dalam penangkapan ikan.
3. Adat penyelesaian sengketa antar nelayan.
4. Adat dalam musibah di laut.
5. Adat kenduri Laot.
6. Adat dalam membantu pemerintahan.
7. Adat lingkungan
Adat 1 s/d 7 sudah jelas, karena sudah biasa dilaksanakan pada semua daerah.
Hanya saja disana-sini ada perbedaan yang tidak prinsipil, perbedaan seperti itu
sebaiknya dibiarkan saja supaya adat tidak kaku. Akan tetapi mengenai pantangan
perlu dipikirkan lagi kegunaannya dari segi ekonomis, bila telah tidak cocok
sebaiknya ditiadakan saja. Misalnya di Bakongan (Aceh Selatan), atas dasar
keputusan camat para nelayan pantang turun ke laut pada hari hari raya haji (Idul
Adha) selama 7 hari.
2.4.2.2. Fungsi Panglima Laot
Fungsi atau peran Panglima laot dalam hal ini merupakan tugas yang harus
dikerjakan, dalam Perda No. 2 Tahun 1990 pasal 6 telah dirincikan dan diatur tentang
1. Membantu Pemerintah dalam memperlancar pelaksanaan pembangunan.
2. Melestarikan hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat.
3. Memberi kedudukan hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut
keperdataan adat.
4. Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat.
Dalam hal ini, fungsi Panglima Laot akan memberi kedudukan hukum
menurut hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut keperdataan adat. Fungsi ini
secara yuridis memberi kekuasaan kepada lembaga Panglima Laot (sebagai hasil
kesepakatan bersama), untuk mengangkat hal-hal yang telah ada dalam kebiasaan
menjadi hukum adat. Dari ketentuan pasal 6 Perda No.2 Tahun 1990 tersebut dapat
diketahui pula bahwa ketentuan-ketentuan adat itu tidak bersifat tertutup. Artinya
yang dikatakan adat itu bukan hanya adat yang telah ada sejak dahulu kala akan tetapi
pada adat yang telah ada itu selalu dapat ditambah dengan adat-adat baru, apabila
dalam pelaksanaan adat laot itu dibutuhkan. Karena pada dasarnya adat laot itu tidak
bersifat tertutup, maka dapat diartikan pula menurut pasal 6 perda No. 2 tahun 1990,
menghendaki agar adat laot itu selalu diperbaharui sesuai dengan perkembangan
kebutuhan masyarakat nelayan serta pembangunan nasional secara keseluruhan.
2.4.3.Lembaga Panglima Laot dalam Struktur Pemerintahan Daerah
Pembicaraan tentang tempat keberadaan lembaga Panglima Laot setelah
diundangkan Perda No. 2 Tahun 1990 perlu dilakukan, sebab dengan dimasukkannya
maka lembaga Panglima Laot bukan lagi lembaga swasta yang bersifat liar. Dengan
telah ditetapkannya pasal 2 Perda No. 2 tahun 1990, maka kedudukan Lembaga
Hukum Adat Laot/Panglima Laot menjadi lembaga resmi yang keberadaannya diakui
negara. Namun demikian lembaga Panglima Laot bukanlah lembaga negara, lembaga
Panglima Laot begitu juga lembaga-lembaga adat lainnya tidak termasuk kedalam
struktur pemerintahan seperti Desa, Kecamatan, kabupaten, propinsi dan seterusnya.
Dalam pasal 6(a) Perda No. 2 tahun 1990 tersebut dikatakan ”Lembaga Adat
mempunyai fungsi membantu pemerintah”, hal ini menunjukkan bahwa lembaga
hukum adat c/q lembaga Panglima laot, bukanlah bagian dari struktur pemerintahan
melainkan lembaga diluarnya sebagai mitra yang membantu tugas-tugas
pemerintahan dibidang pembangunan kelautan dan perikanan.
Walaupun lembaga Panglima laot tersebut berada diluar struktur
pemerintahan akan tetapi lembaga itu dari ketentuan pasal 9(1) Perda No.2 tahun
1990 tersebut dapat disimpulkan bahwa Panglima laot dalam melaksanakan tugasnya
harus bertanggung jawab kepada pemerintah, yaitu kepada Gubernur,
Bupati/Walikota dan Camat, karena merekalah yang membinanya.
Hal lain yang penting dibahas disini adalah tempat berkedudukannya
Panglima Laot. Dewasa ini menurut Hukum Adat laot, panglima laot berkedudukan
ditingkat kecamatan dan disetiap lhok/kuala/desa nelayan yang ada pelabuhan pukat.
Untuk menjalankan fungsinya. Panglima Laot mengangkat seorang pembantu/wakil
kepada Panglima Laot sebagai pemimpin dilaut dalam wilayah panglima laot
bersangkutan. Adat seperti itu terdapat pada semua daerah tingkat II di Provinsi
NAD.
2.5. Kemiskinan Struktural Nelayan
Kemiskinan dan tekanan-tekanan sosial-ekonomi yang dihadapi oleh rumah
tangga nelayan buruh berakar pada faktor-faktor kompleks yang saling terkait.
Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam faktor alamiah dan non
alamiah. Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi musim-musim penangkapan dan
struktur alamiah sumber daya ekonomi desa. Faktor nonalamiah berhubungan dengan
keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam system bagi
hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan
jaringan pemasaran dan belum berfungsinya koperasi nelayan yang ada, serta dampak
negative kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat
abad terakhir ini (Kusnadi, 2002).
Gambaran umum yang pertama kali bisa dilihat dari kondisi kemiskinan dan
kesenjangan sosial-ekonomi dalam kehidupan masyarakat nelayan adalah fakta-fakta
yang bersifat fisik, berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung nelayan miskin
akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka . Selain gambaran fisik
di atas, untuk mengidentifikasi kehidupan nelayan miskin dapat dilihat dari tingkat