BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam kasus atau perkara pidana yang merupakan perkara publik, yang
dilibatkan adalah orang atau subyek hukum yang melawan Negara yang dalam hal
ini dijalankan oleh lembaga penegak hukum baik kepolisian dan kejaksaan
sekaligus hakim sebagai tonggak keadilan dalam penyelesaian kasus pidana. Ada
beberapa tahap yang harus dilalui dalam proses penyelesaian perkara
pidanatersebut sebagaimana kita kenal dengan istilah hukum acara pidana yang
diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Tujuan hukum acara pidana antara lain dapat dibaca pada Pedoman
Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut.1
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”
Lembaga peradilan sebagai lembaga penegakan hukum pidana yang
merupakan tumpuan dari para pencari keadilan selalu menghendaki peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana yang diatur dalam pasal 2
ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
1
Kehakiman.Keadilan yang dihasilkan melalui proses peradilan yang tertuang di
dalam putusan hakim adalah merupakan syarat utama untuk menjaga wibawa
hukum sebagai panglima yang menjaga kelangsungan hidup masyarakat.
Putusan-putusan hakim yang kurang adil akan membuat kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga peradilan berkurang, sehingga akan membawa masyarakat ke dalam
suatu pemikiran yang enggan menempuh jalur hukum dalam mengatasi
permasalahan hukum yang mereka hadapi. Oleh karena itu, hakim sebagai pejabat
Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili di dalam
proses peradilan pidana, memiliki peran vital dalam penegakan hukum acara
pidana untuk tercapainya kebenaran yang hakiki.
Penyelenggaraan peradilan pidana sebenarnya tidak hanya dijalankan oleh
hakim saja.Komponen struktur dalam Sistem Peradilan Pidana sebagai aparat
penegak hukum yang mengemban tugas dan fungsi mekanisme proses peradilan
pidana melibatkan berbagai unsur seperti: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,
Lembaga Pemasyarakatan serta Advokat yang bekerja mulai dari proses
penyelidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan sampai akhirnya pada
pemeriksaan di sidang pengadilan hingga pada pemidanaan. Namun, institusi
komponen sub sistem Peradilan Pidana yang dipandang sebagai titik kunci
lahirnya embrio keadilan itu, adalah Pengadilan yang selama ini dianggap oleh
publik terutama pencari keadilan sebagai tempat lahirnya sebuah keadilan melalui
putusan (vonis) hakim yang secara teoritikal dikenal dengan putusan pengadilan
Ketika seorang hakim sedang menangani perkara maka diharapkan dapat
bertindak arif dan bijaksana, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran
material, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum
positif, melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktek,
sehingga kesemuanya itu bermuara kepada putusan yang akan dijatuhkannya yang
dapat dipertanggungjawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi
terdakwa, masyarakat dan Negara, diri sendiri serta Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.2
Putusan hakim yang merupakan putusan peradilan merupakan aspek
penting dalam menyelesaikan perkara pidana.Dapat dikatakan bahwa putusan
hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa untuk memperoleh kepastian hukum
(rechts zekerheids) tentang statusnya. Sedangkan di lain pihak hakim diharapkan
dapat memberikan putusan yang mencerminkan nilai-nilai keadilan dengan
mempertimbangkan sifat baik ataupun sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan
yang dijatuhkan memang sesuai dengan kesalahannya.
KUHAP telah menjelaskan proses peradilan pidana yang harus dilalui
sampai kepada acara penjatuhan keputusan oleh hakim. Sebelum sampai pada
acara pengambilan keputusan oleh hakim maka terlebih dahulu Jaksa Penuntut
Umum harus melengkapi berkas dengan surat dakwaan yang telah dibuat setelah
menerima berkas dari penyidik.
Putusan pengadilan yang dijatuhkan oleh hakim harus berdasarkan kepada
surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umumyang berisi fakta-fakta
2
yang terjadi dalam suatu tindak pidana (delik) beserta aturan-aturan hukum yang
dilanggar oleh terdakwa. Penuntut Umum harus teliti dan cermat dalam membuat
isi daripada surat dakwaan, dimana harus memenuhi baik syarat formil maupun
materil surat dakwaan tersebut seperti yang disebutkan di dalam Pasal 184 ayat
(2) KUHAP. Surat dakwaan akan menjadi dasar bagi pemeriksaan di persidangan
dan pengambilan keputusan oleh hakim. Dengan kata lain, putusan hakim di
dalam perkara pidana dibatasi oleh apa yang didakwakan jaksa penuntut umum,
sama dengan perkara perdata dibatasi pula oleh apa yang digugat.
Pada tahap penuntutan, dapat terjadi kemungkinan Penuntut Umum
kurang teliti dan cermat dalam mendakwakan tindak pidana terhadap terdakwa.
Kelalaian Penuntut Umum tersebut dapat mengakibatkan terdakwa bebas dari
jeratan hukum sebagaimana amanah Pasal 184 ayat (3) KUHAP yang menyatakan
bahwa surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan akan batal demi hukum.
Tugas Hakim dalam menyelenggarakan peradilan adalah menegakkan
hukum yang didalamnya mengandung makna bahwa Hakim dalam memutus
perkara harusnya berdasar hukum, artinya tidak boleh bertentangan dengan
hukum. Sebab Hakim bertugas mempertahankan tertib hukum, menetapkan apa
yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara yang diajukan kepadanya.
Pendapat tersebut apabila dihubungkan dengan yang tersurat di dalam
Undang-Undang Dasar 1945 mengenai "Kebebasan Hakim" atau kebebasan
Peradilan yang secara konstitusional dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945,
untuk berbuat dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus dimaknai dengan
kebebasan yang terikat atau terbatas.
Meskipun telah secara jelas kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya
dibatasi oleh undang-undang, namun di sisi lain Hakim sebagai penegak hukum
dan keadilan dituntut pula wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana isi Pasal 5
ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat itu
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri atau bersifat
dinamis, sementara hukum berkembang dengan sangat lambat atau cenderung
statis. Seiring dengan bergulirnya waktu maka kedua hal tersebut akan
bertentangan. Hal ini tentunya akan menyulitkan bagi Hakim dalam memutus
suatu perkara yang diadilinya.
Di lain pihak, juga terdapat kemungkinan bahwa surat dakwaan yang
sudah dibuat oleh Penuntut Umum secara cermat dan teliti tersebut memberikan
hasil yang diharapkan. Pemeriksaan Pengadilan mungkin saja tidak dapat
meyakinkan hakim bahwa dakwaan atas tindak pidana terhadap terdakwa memang
benar adanya.Hal tersebut dapat lebih jelas dilihat secara tersirat pada Pasal 191
ayat (1) KUHAP yang menyatakan "Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus
bebas."Secara formal ketentuan ini sebenarnya membatasi ruang gerak Hakim
Hal ini dengan jelas memberitahu kita bahwa Hukum Acara Pidana
Indonesia mengakui dakwaan daripada Jaksa Penuntut Umum yang ada dalam
Surat Dakwaannya merupakan landasan daripada pemeriksaan di persidangan dan
juga sebagai dasar putusan yang akan dijatuhkan hakim. Jika ternyata apa yang
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya tidak terbukti,
maka terdakwa mau tidak mau harus dibebaskan.
Meskipun sudah ada ketentuan larangan bagi Hakim untuk tidak boleh
menjatuhkan hukuman kepada terdakwa apabila perbuatan tersebut tidak terbukti
atau tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya, namun
ternyata dalam praktek peradilan pidanamasih ada Hakim yang menjatuhkan
putusan di luar dakwaan Penuntut Umum.
Hakim dengan segala kekuasaan yang melekat padanya, menjatuhkan
pidana terhadap terdakwa meskipun tindak pidana yang dilakukan terdakwa tidak
tertulis di dalam surat dakwaan, yang pada pokoknya hal ini sebenarnya tidak
dibenarkan secara hukum dan tidak sesuai dengan isi Pasal 182 ayat (4) KUHAP
yaitu "Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan
dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang." Hal ini dapat
dilihat melalui putusan majelis hakim pada kasus yang terdapat dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011.
Melalui kedua putusan atas kasus narkotika pada tingkat kasasi ini pula,
dapat dilihat penyelesaian oleh judex jurist yang berbeda terhadap dua
permasalahan yang serupa, yaitu judex factie yang menjatuhkan vonis atas tindak
Dengan adanya perbedaan pertimbangan yang terjadi dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011
yang menjatuhkan putusan di luar dakwaan tersebut menimbulkan kegamangan
akan hukum acara pidana sehingga dipandang perlu dicarikan solusi hukumnya
demi tegaknya wibawa Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas
suatu tulisan yang berjudul "ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
MENGENAI PUTUSAN YANG DIJATUHKAN DI LUAR PASAL YANG
DIDAKWAKAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012
Dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)."
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dijelaskan bahwa KUHAP
mewajibkan hakim untuk memutus suatu perkara pidana sesuai dengan surat
dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum.
Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang hendak dibahas dalam
penulisan skripsi ini, yaitu:
1. Bagaimana dasar hukum putusan hakim terhadap perbuatan yang tidak
didakwakan dalam surat dakwaan?
2. Bagaimana perbedaan putusan Mahkamah Agung mengenai putusan yang
dijatuhkan di luar pasal yang didakwakan dalam perkara tindak pidana
narkotika pada putusan Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Nomor 2497
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui dasar
hukum yang digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak
pidana yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut
Umum.
2. Untuk mengetahui
pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan
terhadap tindak pidana yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan Jaksa
Penuntut Umum.
Adapun manfaat dalam penulisan skripsi ini adalah:
a. Manfaat teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat memberi masukan terhadap
perkembangan Ilmu Hukum Pidana, sekaligus pengetahuan yang lebih
mendalam mengenai ketentuan-ketentuan yang memberikan landasan bagi
hakim dalam menjatuhkan putusan yang tidak didakwakan dalamsurat
dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
b. Manfaat praktis
Penulisan ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dan kajian bagi
semua kalangan termasuk kalangan akademisi dan penegak hukum untuk
dengan putusan terhadap tindak pidana yang tidak didakwakan oleh Jaksa
Penuntut Umum dalam surat dakwaannya.
D. Tinjauan Pustaka
1. Narkotika dan Lingkup Tindak Pidana Narkotika
Narkotika berasal dari Bahasa Inggris “narcotics” yang artinya obat bius.
Narkotika adalah bahan yang berasal dari 3 jenis tanaman Papaper somniferum
(candu), Erythroxyion coca (kokain), Cannabis sativa (ganja) baik murni maupun
bentuk campuran. Cara kerjanya mempengaruhi susunan syaraf yang dapat
membuat kita tida merasakan apa-apa, bahkan bila bagian tubuh kita disakiti
sekalipun.3
Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang
dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang
menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkan ke dalam tubuh.
Definisi narkotika sendiri telah diatur secara khusus di dalam Pasal 1
angka 1Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang
merupakan pembaharuan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997.
Pasal 1 angka 1 UU Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
3
Jenis-jenis narkotika di di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
pada Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa narkotika digolongkan menjadi:
a. Narkotika golongan I
Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
terapi.Serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
b. Narkotika golongan II
Narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan.
c. Narkotika golongan III
Narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan.
Narkotika di sisi lain merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan
diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau
digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat
yang sangat merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap
nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan
nasional.4
Narkotika apabila digunakan secara benar, yaitu digunakan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi,5 maka hal tersebut bukan merupakan penyalahgunaan narkotika. Akan
tetapi, apabila digunakan untuk maksud yang lain dari hal tersebut, maka dapat
dikatakan perbuatan tersebut merupakan penyalahgunaan narkotika dan dapat
diklasifikasikan sebagai tindak pidana narkotika menurut Undang-Undang
Narkotika.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah
menentukan beberapa ruang lingkup tindak pidana narkotika, yaitu yang terdapat
dalam Bab XV mengenai Ketentuan Pidana di Pasal 111 sampai Pasal 148. Ruang
lingkup tindak pidana narkotika tersebut antara lain:
a. Tindak Pidana menyangkut Penguasaan Narkotika
Pasal 111 mengatur setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasao, atau
menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman dan Pasal 112
mengklasifikasikannya untuk yang bukan tanaman. Pasal 117 mengatur
mengenai setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II dan
Pasal 122 untuk Narkotika Golongan III.
4
Lihat Penjeleasan Umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
5
b. Tindak Pidana menyangkut Produksi Narkotika
Pasal 113 mengatur setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika
Golongan I. Pasal 118 untuk Narkotika Golongan II dan Pasal 123 untuk
Narkotika Golongan III.
c. Tindak Pidana menyangkut Jual Beli Narkotika
Pasal 114 mengatur setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I. Pasal
119 untuk Narkotika Golongan II dan Pasal 124 untuk Narkotika
Golongan III.
d. Tindak Pidana menyangkut Pengangkutan Narkotika
Pasal 115 mengatur setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit Narkotika Golongan I.
Pasal 120 untuk Narkotika Golongan II dan Pasal 125 untuk Narkotika
Golongan III.
Pasal 139 juga mengatur tentang nahkoda atau kapten penerbang yang
secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 27 dan Pasal
28, yaitu ketentuan mengenai prosedur pengangkutan narkotika.
e. Tindak Pidana menyangkut Penyalahgunaan Narkotika
Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau
melawan hukum.6
6
Pasal 116 mengatur setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan
Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain. Pasal 121 untuk
Narkotika Golongan II dan Pasal 126 untuk Narkotika Golongan III.
Pasal 127 juga mengatur tentang penyalah guna narkotika bagi diri sendiri
sebagai berikut:
Pasal 127 UU Narkotika
1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun.
2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ,
hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
f. Tindak Pidana menyangkut Tidak Melapor Pecandu Narkotika
UU Narkotika di dalam Pasal 55 mengatur mengenai pelaksanaan wajib
lapor pecandu narkotika kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit,
dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk
pemerintah agar mendapat pengobatan dan/atau perawatan.
Pasal 128 mengatur setiap orang tua atau wali dari pecandu yang belum
cukup umur yang sengaja tidak melapor.
Pasal 134 mengatur pecandu narkotika yang sudah cukup umur dan
Sedangkan Pasal 131 mewajibkan setiap orang untuk melaporkan adanya
tindak pidana sebagaimana yang termasuk dalam Pasal 111, 112, 113, 114,
115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127 ayat (1),
128 ayat (1), dan 129.
g. Tindak Pidana menyangkut Prekursor Narkotika
Prekursor merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang
digunakan dalam pembuatan narkotika.7 Pasal 129 mengatur setiap orang
yang tanpa hak atau melawan hukum:
1) Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
2) Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
3) Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
4) Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
Pasal 145 juga mengatur setiap orang yang melakukan tindak pidana
Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di luar wilayah
Negara Republik Indonesia.Sedangkan Pasal 146 mengaturnya terhadap
Warga Negara Asing.
7
h. Tindak Pidana yang dilakukan oleh Korporasi
Pasal 130 mengatur tentang tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123,
124, 125, 126, dan 129 yang dilakukan oleh korporasi.
i. Tindak Pidana Percobaan, Permufakatan, Pengulangan Tindak Pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika
Pasal 132 mengatur tentang percobaan atau permufakatan jahat untuk
melakukan kejahatan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117,
118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, dan 129, baik secara
terorganisasi atau tidak.
Pasal 144 mengatur setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 111,
112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126,
127 ayat (1), 128 ayat (1), dan 129.
j. Tindak Pidana menyangkut Pemanfaatan Anak Di Bawah Umur
Pasal 133 ayat (1) mengatur setiap orang yang menyuruh, memberi atau
menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan,
memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan
kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum
Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123,
124, 125, 126, dan 129.Sedangkan ayat (2) mengatur dalam hal anak yang
belum cukup umur menggunakan Narkotika tersebut.
k. Tindak Pidana menyangkut Labeldan Publikasi Narkotika
Pasal 135 mengatur tentang Pengurus Industri Farmasi yang tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, yaitu
kewajiban untuk mencantumkan label pada kemasan Narkotika.
l. Tindak Pidana menyangkut Hasil Tindak Pidana Narkotika
Pasal 136 mengatur tentang Narkotika dan Prekursor Narkotika serta
hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana Narkotika dan/atau Prekursor
Narkotika, baik berupa asset dalam bentuk benda bergerak maupun tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan
yang digunakan untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika.
Pasal 137 mengatur setiap orang baik yang melakukan ataupun menerima
penempatan, pembayaran atau pembelanjaan, penitipan, penukaran,
penyembunyian atau penyamaran investasi, simpanan atau transfer, hibah,
waris, harta atau uang, benda atau asset baik dalam bentuk bergerak
maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang diketahuinya
berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau Prekursor Narkotika.
m. Tindak Pidana menyangkut Jalannya Peradilan
Pasal 138 mengatur setiap orang yang menghalang-halangi atau
pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di muka
sidang pengadilan.
n. Tindak Pidana menyangkut Penyitaan dan Pemusnahan Narkotika
Pasal 140 ayat (1) mengatur setiap penyidik PNS yang secara melawan
hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 88 dan 89, yaitu prosedur
penyimpanan, pengamanan, dan pengawasan Narkotika dan Prekursor
Narkotika yang disita. Sedangkan ayat (2) mengatur setiap penyidik
kepolisian RI dan penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan yang
termasuk dalam Pasal 87, 89, 90, 91 ayat (2) dan (3), 92 ayat (1), (2), (3),
dan (4), yaitu prosedur penyimpanan, pengamanan, dan pemusnahan
barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 141 mengatur kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum
tidak melaksanakan ketentuan Pasal 91 ayat (1), yaitu ketentuan untuk
menetapkan status barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk
kepentingan pembuktian perkara, pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, pendidikan dan pelatihan, dan/atau dimusnahkan.
o. Tindak Pidana menyangkut Penyimpangan Fungsi Lembaga
Pasal 142 mengatur petugas laboratorium yang memalsukan hasil
pengujian atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban
melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum.
Pasal 147 memberi ketentuan bagi:
1) Pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
dan apotek yang mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan
untuk kepentingan pelayanan kesehatan;
2) Pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli,
menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika bukan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;
3) Pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika
Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan; dan
4) Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika
Golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan atau mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan
untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
p. Tindak Pidana menyangkut Keterangan Palsu
Pasal 143 mengatur saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam
pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di
muka sidang pengadilan.
2. Surat Dakwaan dan Syarat-Syarat Membuat Dakwaan
Istilah “Surat Dakwaan” merupakan kata yang diperkenalkan melalui
ketentuan Pasal 140 ayat (1) KUHAP. Sebelum itu, dalam Het Herziene Inlandsch
Reglement (HIR, Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dengan istilah “Surat
Tuduhan” atau “Acte van beschuldiging.” Selain itu mengenai surat dakwaan
dengan istilah “Acte van verwijzing” atau pada istilah hukum Inggris dalam
rumpun Anglo Saxon dikenal dengan istilah “imputation.”8
Dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya tidak
dijumpai batasan tentang apa yang dimaksud dengan surat dakwaan. Oleh karena
itu, dapatlah beberapa batasan ataupun definisi tentang “Surat Dakwaan” yang
telah dikemukakan oleh para pakar di bidang hukum pidana/hukum acara pidana,
antara lain:
a. A. Karim Nasution, menyatakan bahwa:
“tuduhan (dakwaan) adalah suatu surat atau akta yang memuat suatu perumusan dari tindak pidana yang dituduhkan, yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan, yang bila ternyata cukup
terbukti, terdakwa dapat dijatuhi hukuman.”9
b. M. Yahya Harahap, menyatakan bahwa:
“surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan
bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan.”10
c. A. Soetomo, menyatakan bahwa:
“surat dakwaan adalah surat yang dibuat atau disiapkan oleh Penuntut Umum yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara ke pengadilan yang memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan di mana perbuatan dilakukan serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan tersebut yang didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasal-pasal tertentu dari undang-undang yang tertentu pula yang nantinya merupakan dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di Sidang Pengadilan untuk dibuktikan apakah benar perbuatan yang didakwakan itu betul dilakukan
8
Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 37.
9
A. Karim Nasution, Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana, Jakarta: P.N. Percetakan Negara R.I, 1972, hal. 75.
10
dan apakah betul terdakwa adalah pelakunya yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk perbuatan tersebut.”11
Dari beberapa batasan tersebut, dapat disebutkan bahwa dakwaan
merupakan dasar dari hukum acara pidana dan berdasarkan dakwaan ini
pemeriksaan persidangan dilakukan.Surat dakwaan dibuat oleh Penuntut Umum
berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pendahuluan oleh penyidik.Hakim
pada prinsipnya tidak dapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa apabila
perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam
suratdakwaannya sebagaimana ketentuan putusan Mahkamah Agung RI Nomor
321 K/Pid/1983 tanggal 26 Mei 1984.12
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa dalam mengadili terdakwa,
pembuktian dan fakta-fakta di persidangan yang akan menentukan terbukti
tidaknya seseorang bersalah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana
disebutkan dalam surat dakwaan dari Penuntut Umum.13
Surat dakwaan adalah dasar bagi pemeriksaan perkara selanjutnya, baik
pemeriksaan di persidangan Pengadilan Negeri maupun pada pemeriksaan tingkat
banding dan pemeriksaan kasasi serta pemeriksaan peninjauan kembali (PK),
bahkan surat dakwaan merupakan pembatasan tuntutan. Terdakwa tidak dapat
dituntut atau dinyatakan bersalah dan dihukum untuk perbuatan-perbuatan yang
tidak tercantum dalam surat dakwaan.14
11
A. Soetomo, Pedoman Dasar Pembuatan Surat Dakwaan Dan Suplemen, Jakarta: Pradnya Paramitam, 1989, hal. 4.
12
Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 39.
13Ibid. 14
Surat dakwaan sangat berguna untuk hakim, penuntut umum, bahkan
terdakwa. Fungsi surat dakwaan dalam pemeriksaan suatu perkara adalah:15
a. Bagi hakim:
1. Merupakan dasar dan sekaligus menentukan ruang lingkup
pemeriksaan sidang;
2. Merupakan dasar penilaian/pertimbangan dan musyawarah majelis
hakim dalam rangka mengambil keputusan tentang perbuatan dan
kesalahan terdakwa.
b. Bagi penuntut umum:
1. Merupakan dasar pelimpahan perkara;
2. Merupakan dasar pembuktian/pembahasan yuridis;
3. Merupakan dasar tuntutan pidana;
4. Merupakan dasar pengajuan upaya hukum.
c. Bagi terdakwa/penasihat hukumnya:
1. Merupakan dasar pengajuan eksepsi;
2. Merupakan dasar pembelaan diri, karena itu dakwaan harus cermat,
jelas, dan lengkap agar dapat dimengerti oleh terdakwa.
Dalam membuat isi surat dakwaannya, Penuntut Umum harus
memperhatikan syarat-syarat yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 143 ayat (2)
KUHAP agar surat dakwaan tersebut tidak batal demi hukum. Syarat-syarat
tersebut yaitu bahwa surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:
15
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindakan pidana
yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak
pidana itu dilakukan.
Ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP ini
dapat dikatakan sebagai syarat formal surat dakwaan. Identitas ini dimaksudkan
agar orang yang didakwa dan diperiksa di persidangan itu adalah terdakwa yang
sebenarnya bukan orang lain. Apabila syarat formal tidak seluruhnya dipenuhi
dapat dibatalkan oleh hakim, karena dakwaan tidak jelas kepada siapa
ditujukan.Hal ini untuk mencegah terjadinya kekeliruan mengenai orangnya atau
pelaku tindak pidana yang sebenarnya.16
Sedangkan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b
KUHAP ini merupakan syarat material dari surat dakwaan. Surat dakwaan memut
uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.17Namun,
KUHAP tidak memberikan pengertian yang jelas terhadap unsur cermat, jelas,
dan lengkap tersebut.Oleh karena itu, dapat dilihat pengertiannya di dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia yaitu:
a. Cermat = penuh minat (perhatian); saksama; teliti
b. Jelas = terang; nyata; gambling; tegas; tidak ragu-ragu atau bimbang
16
Ratna Sari, Penyidikan Dan Penuntutan Dalam Hukum Acara Pidana, Medan: Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1995, hal. 113.
17
c. Lengkap = tidak ada kurangnya; genap
Dengan menguraikan tindak pidana secara teliti, terang, tegas, dan komplit
dimaksudkan akan memberi gambaran yang mudah bagi hakim maupun terdakwa.
Penguraian tersebut Penuntut Umum wajib menyebutkan waktu dan tempat tindak
pidana dilakukan. Mengenai pentingnya waktu disebutkan dalam surat dakwaan
adalah dalam hubungannya dengan kejelasan tentang ketepatan pelaksanaan
tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Di samping itu juga dalam hubungannya
dengan gugurnya hak menuntut sebagaimana ketentuan Pasal 78 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).Sedangkan pentingnya penyebutan tempat tindak
pidana yang dilakukan terdakwa dalam hubungannya dengan kompetensi relatif
(wewenang nisbi) pengadilan negeri.18
Menyadari betapa pentingnya peranan surat dakwaan dalam pemeriksaan
perkara pidana di pengadilan, Jaksa Agung mengeluarkan Surat Edaran Jaksa
Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan. Surat
Edaran tersebut ditujukan agar dapat keseragaman para Penuntut Umum dalam
membuat surat dakwaan. Dalam Surat Edaran ini, disebutkan tentang
bentuk-bentuk surat dakwaan antara lain:
a. Dakwaan Tunggal
Dalam surat dakwaan ini hanya satu Tindak Pidana saja yang
didakwakan, karena tidak terdapat kemungkinan untuk mengajukan
alternatif atau dakwaan pengganti lainnya;
18
b. Dakwaan Alternatif
Dalam surat dakwaan ini terdapat beberapa dakwaan yang disusun
secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat
mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini
digunakan bila belum didapat kepastian tentang Tindak Pidana
mana yang paling tepat dapat dibuktikan.Dalam dakwaan alternatif,
meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, hanya satu
dakwaan saja yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan
urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan pada
lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam bentuk surat
dakwaan ini, antara lapisan satu dengan yang lainnya
menggunakan kata sambung atau.
Contoh dakwaan alternatif:
Pertama: Pencurian (Pasal 362 KUHP)
Atau
Kedua : Penadahan (Pasal 480 KUHP)
c. Dakwaan Subsidair
Sama halnya dengan dakwaan alternative, dakwaan subsidair juga
terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis
dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti
lapisan sebelumnya.Sistematik lapisan disusun secara berurut
sampai dengan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana
terendah.
Pembuktian dalam surat dakwaan ini harus dilakukan secara
berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan lapisan
selanjutnya. Lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara
tegas dan dituntut agar terdakwa dibebaskan dari lapisan dakwaan
yang bersangkutan.
Contoh dakwaan subsidair:
Primair: Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP)
Subsidair: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP)
d. Dakwaan Kumulatif
Dalam surat dakwaan ini, didakwakan beberapa Tindak Pidana
sekaligus, ke semua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu.
Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan
dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut.Dakwaan ini
dipergunakan dalam hal terdakwa melakukan beberapa Tindak
Pidana yang masing-masing berdiri sendiri.
Contoh dakwaan kumulatif:
Kesatu: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP)
dan
Kedua: Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP)
dan
e. Dakwaan Kombinasi
Disebut dakwaan kombinasi, karena di dalam bentuk ini
dikombinasikan atau digabungkan antara dakwaan kumulatif
dengan dakwaan alternatif atau subsidair.
Contoh dakwaan kombinasi:
Kesatu: Primair: Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP);
Subsidair: Pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP);
dan
Kedua: Primair: Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP);
Subsidair: Pencurian (Pasal 362 KUHP)
Apabila dalam pembuktian di persidangan, kesalahan terdakwa terbukti
secara sah dan meyakinkan menurut hukum sesuai rumusan surat dakwaan, maka
pengadilan akan menghukumnya. Sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, atau perbuatan tersebut tidak
dirumuskan dalam surat dakwaan, maka pengadilan akan membebaskan terdakwa.
3. Hakim, Penemuan Hukum, dan Putusan Hakim
Tugas merealisir hukum oleh kekuasaan kehakiman, yang secara nyata
dibebankan kepada para hakim, meliputi dua hal yaitu:19
a. Pertama ialah melakukan peradilan yaitu menentukan penyelesaian
perkara konflik oleh hakim sebagai pihak ketiga dalam kualitasnya sebagai
instansi yang tidak memihak antara para pihak yang berperkara dalam
19
kasus konflik yang konkret individual yang dihadapkan kepada badan
kehakiman;
b. Kedua ialah mengeluarkan suatu ketetapan pengadilan berujud di dalam
pernyataan pengadilan terhadap permohonan seseorang atau sejumlah
orang-orang yang menghendaki untuk memperoleh kepastian tentang
bagaimana bunyi kaidah kasus konkret yang menjadi pertanyaan yang
dihadapi oleh orang atau sekelompok orang yang bersangkutan menurut
ketentuan hukum dasar.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, di
dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.” Selanjutnya di dalam penjelasannya dikatakan bahwa
“Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai
dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.”
Dalam praktek pengadilan, ada 3 (tiga) istilah yang sering dipergunakan
oleh hakim yaitu penemuan hukum, pembentukan hukum atau menciptakan
hukum, dan penerapan hukum.Di antara tiga istilah ini, istilah penemuan hukum
paling sering dipergunakan oleh hakim, sedangkan istilah pembentukan hukum
biasanya dipergunakan oleh lembaga pembentuk undang-undang (DPR).Dalam
perkembangan lebih lanjut, penggunaan ketiga istilah itu saling bercampur baur,
tetapi ketiga istilah itu berujung kepada pemahaman bahwa aturan hukum yang
hukum atau pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam memutus
suatu perkara.20
Seorang hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum dalam hal
peraturan perundang-undangan tidak menyebutkan ketentuan untuk
menyelesaikan suatu perkara yang terjadi. Dengan perkataan lain, dapatlah
dikatakan bahwa hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal
konkrit, oleh karena peraturan-peraturan tidak dapat mencakup segala peristiwa
hukum yang timbul dalam masyarakat.21
Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili”
mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila terjadi suatu peraturan
perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak berdasar
inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal
menyelesaikan perkara, hakim harus berperan untuk menentukan apa yang
merupakan hukum, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat
membantunya. Tindakan hakim inilah yang dinamakan penemuan
hukum.Ketentuan Pasal 10 ini menjelaskan bahwa hakim sebagai organ
pengadilan dianggap memahami hukum.Pencari keadilan datang kepadanya untuk
20
H. Abdul Manan, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama”, Mahkamah Agung Direktorat Jenderal Badan PeradilaN Agama, diakses dari http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/PENEMUAN%20HUKUMOLEH%20HAKIM-AM.pdf, pada tanggal 7 Mei 2014 pukul 14.45 WIB.
21
mohon keadilan. Apabila ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali
hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang
bijaksana dan bertanggung jawab.22
Apa yang dimaksud dengan penemuan hukum lazimnya adalah proses
pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan
untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit. Hakim
selalu dihadapkan pada peristiwa konkrit, konflik atau kasus yang harus
diselesaikan atau dipecahkannya dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya.Jadi
dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau
menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit.23
Ada dua unsur penting dalam penemuan hukum.Pertama, hukum/sumber
hukum dan kedua adalah fakta.Pada awalnya, unsur hukum/sumber hukum dalam
penemuan hukum adalah undang-undang. Hal ini berkaitan dengan suatu postulat
yang dikenal dengan istilah “De wet is onschendbaar” (undang-undang tidak
dapat diganggu gugat) yang dalam hukum Belanda tertuang secara eksplisit dalam
Pasal 120 Grondwet. Akan tetapi dalam perkembangannya, tidak semua hukum
ditemukan dalam undang-undang.24Oleh karena itu, unsur hukum/sumber hukum
dalam penemuan hukum tidak hanya meliputi undang-undang semata, tetapi juga
meliputi sumber hukum lainnya, yaitu doktrin, yurisprudensi, perjanjian, dan
kebiasaan.
22
H. Boy Nurdin, Kedudukan Dan Fungsi Hakim Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia, Bandung: Alumni, 2012, hal. 87.
23
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cetakan keenam, Yogyakarta: Liberty, 2009, hal 37-38.
24
Asas-asas umum hukum sebagaimana yang diajarkan oleh ilmu
pengetahuan atau doktrin memegang peranan yang cukup penting dalam
penemuan hukum di pengadilan.Hal ini disebabkan karena asas hukum biasanya
melandasi suatu peraturan hukum konkret.Demikian pula yurisprudensi
merupakan sumber hukum mandiri, kendatipun yurisprudensi bukan merupakan
peraturan hukum yang mengikat umum, tetapi hanya mengikat para pihak dalam
sengketa konkret yang diajukan padanya. Hakim memang tidak terikat pada
putusan-putusan hakim yang lebih tinggi atau pada putusan-putusan hakim
sebelumnya, akan tetapi, berdasarkan asas similia similibus dan tuntutan kepastian
hukum, secara bersyarat hakim terikat pada putusan sebelumnya.25
Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum pada umumnya
dipusatkan sekitar hakim dan pembentuk undang-undang. Yang profesinya
melakukan penemuan hukum terutama adalah hakim, karena tiap harinya ia
dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikannya, jadi
sifatnya konfliktif. Hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan hukum
karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena dituangkan dalam
bentuk putusan.Di samping itu hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan
sumber hukum juga.26
Hukum di Indonesia mengenal penemuan hukum heteronom sepanjang
hakim terikat pada undang-undang, tetapi penemuan hukum ini juga mempunyai
25
Ibid., hal. 57.
26
unsur-unsur otonom yang kuat, karena hakim seringkali harus menjelaskan atau
melengkapi undang-undang menurut pandangannya sendiri.27
Dalam konteks hukum pidana, yang selalu menjadi persoalan adalah
bagaimana cara menerapkan peraturan hukum yang umum sifatnya terhadap
peristiwa konkret. Dengan kata lain, persoalan terbesar penemuan hukum dalam
hukum pidana adalah cara menemukan penafsiran hukum tersebut baik dengan
cara penafsiran ataupun analogi.
Tugas penting dari hakim ialah menyesuaikan undang-undang dengan
kejadian-kejadian konkrit dalam masyarakat. Apabila undang-undang tidak dapat
diterapkan hakim secara tepat menurut kata-kata undang-undang itu, maka harus
ia menafsirkan undang-undang itu. Apabila undang-undang tidak jelas, wajiblah
hakim menafsirkannya sehingga dapat dibuat suatu keputusan hukum yang
sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yaitu mencapai
kepastian hukum.Orang dapat mengatakan bahwa penafsiran undang-undang
adalah kewajiban hukum dari hakim.28
Penafsiran atau interpretasi merupakan cara penemuan hukum yang
memberi penjelasan terhadap teks undang-undang dalam hal peraturannya ada
tetapi tidak jelas dapat diterapkan pada peristiwanya atau tidak. Menurut Sudikno,
interpretasi dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu secara:29
a. Gramatikal, yaitu penafsiran menurut bahasa sehari-hari;
27
Ibid., hal. 45.
28
E. Utrecht,Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan kesebelas, Jakarta: Ichtiar Baru, 1989, hal. 205.
29
b. Historis, yaitu penafsiran berdasarkan sejarah hukum;
c. Sistimatis, yaitu menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari
keseluruhan sistem perundang-undangan;
d. Teleologis, yaitu penafsiran menurut makna/tujuan
kemasyarakatan;
e. Perbandingan hukum, yaitu penafsiran dengan cara
membandingkan dengan kaedah hukum di tempat lain;
f. Futuristis, yaitu penafsiran antisipatif yang berpedoman pada
undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.
Selanjutnya mengenai analogi, secara garis besar dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu argumentum peranalogiam atau sering disebut analogi dan argumentum
a contrario.Perihal analogi, di sini suatu peraturan khusus dalam undang-undang
dijadikan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang, kemudian digali asas
yang terdapat di dalamnya dan disimpulkan dari ketentuan umum itu suatu
peristiwa yang khusus.Peraturan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang
itu diterapkan terhadap peristiwa tertentu yang tidak diatur dalam undang-undang
tersebut, tetapi mirip atau serupa dengan peristiwa yang diatur dalam
undang-undang.Sedangkan argumentum a contrario adalah penafsiran yang didasarkan
pada pengertian sebaliknya dari peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa
yang diatur dalam undang-undang.30
Jika antara penafsiran hukum dan pembuatan hukum tidak dilakukan
pemisahan secara ketat dan tajam, maka penafsiran hukum akan ditempatkan pada
30
kedudukan di atas pembuatan hukum. Dalam hal ini, hukum hanya dianggap
sebagai pedoman yang terkadang bisa ditepis.
Tujuan peradilan pidana adalah untuk memutuskan apakah seseorang
bersalah atau tidak. Proses berjalannya peradilan pidana dilakukan dengan
prosedur yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mencakup
semua batas-batas konstitusional dan berakhir pada putusan yang dijatuhkan oleh
hakim terhadap kasus pidana.
Mengenai putusan yang dijatuhkan oleh hakim ini, KUHAP telah diatur
tentang definisi putusan yang terdapat pada ketentuan Pasal 1 angka 11.
Pasal 1 angka 11 KUHAP
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Ada juga yang mengartikan putusan (vonnis) sebagai vonnis tetap
(definitief) (Kamus istilah Hukum Fockema Andreae).Rumusan-rumusan yang
kurang tepat terjadi sebagai akibat penerjemah ahli bahasa yang bukan ahli
hukum.Sebaliknya, dalam pembangunan hukum yang sedang berlangsung
diperlukan kecermatan dalam penggunaan istilah-istilah.Mengenai kata putusan
yang diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di
sidang pengadilan.Ada juga yang disebut interlocutoire yang diterjemahkan
dengan keputusan antara atau keputusan sela dan preparatoire yang
diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan/keputusan persiapan serta
keputusan provisionale yang diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara.31
31
Yang harus terbukti adalah kenyataan-kenyataan yang dituduhkan dalam
surat tuduhan (acte van verwijzing). Kenyataan-kenyataan yang dituduhkan itu
merupakan unsur-unsur dari tindak pidana yang dituduhkan.32
Putusan yang dijatuhkan hakim dimaksudkan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.Untuk memutus suatu perkara
pidana, maka terlebih dahulu hakim harus memeriksa perkaranya.33Bagian yang
amat penting dari suatu surat putusan hakim ialah bagian yang memuat
pertimbangan-pertimbangan hakim, yang mengalirkan pikiran hakim ke arah
bunyi putusan.34
Bentuk dari suatu putusan tidak diatur pada KUHAP.Namun jika
diperhatikan bentuk-bentuk putusan, maka bentuknya hampir bersamaan dan tidak
pernah dipermasalahkan karenanya sebaiknya bentuk-bentuk putusan yang telah
ada tidak keliru jika diikuti.35
Sementara untuk isi yang dimuat di dalam suatu putusan, dapat dilihat
secara rinci dan limitatif di dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang menyatakan
bahwa putusan harus memuat:
a. Kepala putusan yang ditulis berbunyi: DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA;
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa;
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
32
Ibid. hal. 106.
33
Lilik Mulyadi, op.cit.,hal. 123.
34
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1983, hal. 145.
35
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara
diperiksa oleh hakim tunggal;
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur
dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana
letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik dianggap palsu;
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan;
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang
memutus, dan nama panitera.
Jika hakim lalai atau keliru dalam memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1)
KUHAP di dalam putusannya maka akan mengakibatkan putusan yang telah
dijatuhkan tersebut akan batal demi hukum sesuai dengan amanah pasal 197 ayat
(2) KUHAP yang menyatakan tidak dipenuhinya ketentuan huruf a, b, c, d, e, f, h,
k, dan l mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (1) dan (2) serta Pasal 193 ayat (1)
KUHAP, maka setidaknya dapat diketahui sifat putusan hakim.
Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP berbunyi:
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
Pasal 193 ayat (1) KUHAP menentukan :
Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Dari ketentuan tersebut di atas maka ada 2 (dua) sifat putusan hakim
yaitu:36
a. Putusan pemidanaan, apabila ada yang didakwakan oleh Penuntut Umum
dalam surat dakwaannya telah terbukti secara sah dan meyakinkan
menurut hukum; dan
b. Putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa putusan bebas (vrijspraak)
dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van recht
vervolging).
Putusan hakim merupakan aspek penting dalam penyelesaian perkara
pidana.Di satu pihak, putusan hakim berguna bagi terdakwa untuk memperoleh
kepastian hukum (rechts zekerheid) tentang statusnya dan sekaligus dapat
mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian berupa
menerima putusan ataupun melakukan upaya hukum banding, kasasi, dan
sebagainya. Sedangkan di lain pihak, putusan hakim merupakan mahkota
sekaligus puncak pencerminan nilai-nilai keadilan serta penguasaan hukum atau
fakta dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.Oleh karena itu, tentu saja
hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya,
mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan,
sampai dengan kecakapan teknik membuatnya.
36
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan
adalah penelitian hukum Yuridis Normatif dinamakan juga dengan penelitian
hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal.Dalam hal penelitian hukum
normatif, penulis melakukan terhadap perundang-undangan dan bahan hukum
yang berhubungan dengan judul skripsi penulis.
2. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data
sekunder diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang
mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yaitu
berupa peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan
informasi atau hasil kajian tentang putusan hakim yang dijatuhkan
terhadap tindak pidana yang tidak didakwakan Penuntut Umum dalam
surat dakwaannya meliputi kasus dari Mahkamah Agung (Putusan
Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 dan Putusan
ilmiah dan beberapa sumber ilmiah serta sumber internet yang
berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.
c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi
konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan
sebagainya.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data-data yang diperlukan oleh penulis yang berkaitan
dengan penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui penelitian terhadap
literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai
dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini. Tujuan penelitian
kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder
yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar
maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research).
Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara
kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam
pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka
kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan
F. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan (library research) khususnya
di lingkungan Universitas Sumatera Utara yang membahas tentang “Analisis
Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan Yang Dijatuhkan Di Luar Pasal
Yang Didakwakan Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika (Kajian Terhadap
Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 Dan Putusan Mahkamah
Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)” ini belum pernah dilakukan dalam judul
dan permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitian ini asli serta dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dan penjabaran penulisan, penelitian
ini akan dibagi menjadi 4 bab dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat
latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan
kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II merupakan bab yang menguraikan mengenai tinjauan terhadap
independensi hakim dalam melakukan penemuan hukum, putusan hakim,
mekanisme hakim dalam menjatuhkan putusan menurut hukum acara pidana di
Indonesia serta dasar hukum putusan hakim terhadap tindak pidana yang tidak
didakwakan Penuntut Umum dalam surat dakwaannya.
Bab III merupakan bab yang menguraikan secara mendetail mengenai
KUHAP dan analisis perbedaan putusan Mahkamah Agung mengenai putusan
yang dijatuhkan di luar pasal yang didakwakan dalam kasus Putusan Mahkamah
Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497
K/Pid.Sus/2011.
Bab IV merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi
kesimpulan dan saran yang berfungsi memberikan masukan bagi perkembangan