BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses
pembuatan kebijakan dan pelaksanaan keputusan politik. Dimana terdapat interaksi
antara pemerintah dan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antara kelompok
dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan
penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Perilaku
politik merupakan salah satu aspek dari perilaku secara umum karena disamping
perilaku politik masih ada perilaku yang lain seperti perilaku ekonomi, perilaku
budaya, perilaku keagamaan dan sebagainya. Dalam hal ini dapat dikatakan perilaku
politik merupakan perilaku yang menyangkut persoalan politik.1
Pembahasan mengenai perilaku bisa saja terbatas pada perilaku perorangan
saja, tetapi disisi lain dapat juga mencakup kesatuan-kesatuan yang lebih besar seperti
organisasi kemasyarakatan, kelompok elit, gerakan nasional, atau suatu masyarakat
politik. Pendekatan perilaku tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai
kerangka bagi kegiatan manusia. Jika penganut pendekatan perilaku mempelajari
parlemen, maka yang dibahas antara lain perilaku anggota parlemen seperti pola
pemberian suaranya (voting behavior) terhadap rancangan undang-undang tertentu (apakah pro atau anti, dan mengapa demikian), pidato-pidatonya, cara berinteraksi
dengan teman sejawat, kegiatan lobbying, dan latar belakang sosialnya.2
Dalam perilaku politik ketika ruang bertarung dibuka, maka bagaimana cara
menarik perhatian dan mendapatkan suara pemilih menjadi suatu hal yang signifikan.
Karenanya mengenal perilaku dan sosio kultur pemilih adalah hal yang pasti dan
harus dilakukan jika ingin memenangkan pertarungan. Perilaku politik dirumuskan
1
Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, Semarang : IKIP Semarang Press, 1995, hlm. 2.
2
sebagai kegiatan yang berkenan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan
kekuasaan politik. Keikutsertaan seseorang dalam hal ini sebagai warga negara biasa
maupun sebagai pengambil keputusan.3
Dilihat dari kegiatannya, partisipasi politik dapat dibedakan menjadi
partisipasi politik aktif dan partisipasi politik pasif. Partisipasi politik aktif dapat
dilakukan melalui pengajuan alternatif mengenai kebijakan umum menyangkut kritik,
membayar pajak, dan sebagainya. Partisipasi politik pasif ditunjukkan melalui
kegiatan yang mencerminkan ketaatan dan penerimaan atas hal-hal yang telah
menjadi keputusan pemerintah. Partisipasi aktif lebih berorientasi pada segi masukan
dan keluaran dari suatu sistem politik. Sedangkan, orientasi partisipasi pasif hanya
pada aspek keluaran dari sistem politik. Di samping itu, terdapat sejumlah warga
negara tidak menunjukkan partisipasinya baik aktif maupun pasif karena beranggapan
bahwa sistem politik yang ada tidak memenuhi harapan mereka. Kelompok itu biasa
disebut sebagai golongan putih (golput).
Dalam struktur kehidupan bernegara, perempuan sebagai warga negara biasa
dalam hal ini ikut berpartisipasi dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan
politik. Partisipasi perempuan sangatlah penting karena teori demokrasi menyebutkan
bahwa perlunya partisipasi politik masyarakat pada dasarnya disebabkan bahwa
masyarakat tersebut sangat mengetahui apa yang mereka kehendaki.4
Berdasarkan fakta keikutsertaan perempuan dalam pemilihan umum tahun
1955, pada masa Orde Lama, jumlah perempuan di DPR mencapai 17 orang, empat
diantaranya dari organisasi Gerwani dan lima dari Muslimat NU. Pemilihan umum Secara nasional
perempuan sebenarnya adalah bagian masyarakat yang lebih besar jika dibandingkan
dengan laki-laki, namun perhatian dan pembicaraan tentang masalah-masalah
perempuan masih sedikit atau terbatas. Persoalan politik dipahami sangat sempit
yaitu masalah-masalah yang berhubungan dengan kekuasaan publik, terutama
kekuasaan di tingkat elit dan cenderung mengesampingkan persoalan perempuan.
3
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Widya Saran, 1992, hlm. 131.
4
pertama dinilai sebagai demokratis, dengan partisipasi perempuan dalam politik
didasarkan pada kemampuan mereka sebagai pemimpin dari unit-unit yang ada dalam
organisasi-organisasi partai.5
Berbeda dengan periode Orde Lama (Era Soekarno), pada masa Orde Baru
(era Soeharto) dengan konsep partai mayoritas tunggal, representasi perempuan
dalam lembaga legislatif dan dalam institusi-institusi kenegaraan, ditetapkan oleh
para pemimpin partai di tingkat pusat. Akibatnya, sebagian perempuan yang
menempati posisi penting memiliki hubungan keluarga/kekerabatan dengan para
pejabat dan pemegang kekuasaan di tingkat pusat. Hal ini dimungkinkan karena
dalam sistem pemilu proporsional pemilih tidak memilih kandidat (orang), tetapi
simbol partai, untuk berbagai tingkatan pemerintahan, yaitu tingkat kabupaten,
propinsi dan nasional. Akibatnya, sebagian dari mereka tidak melewati tahapan dalam
proses pencalonan/pemilihan, dan mungkin tidak memiliki kemampuan
mengartikulasikan kepentingan konstituennya.
Dalam konteks ketidakadilan gender, maka secara terstruktur, perempuan
akan selalu menjadi korban. Ideologi patriarkhi sangat melekat dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan. Kata patriarkhi secara haraffiah berarti aturan (rule) bapak atau “patriarkh” dan pada mulanya digunakan untuk menunjukkan jenis tertentu
rumah tangga besar (large household). Patriarkhi yang meliputi perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak dan pembantu rumah tangga yang kesemuanya berada di
bawah aturan laki-laki yang dominan ini. Patriarkhi adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan sistem sosial dimana kaum laki-laki sebagai kelompok dominan
yang mengendalikan kaum perempuan.6
5
Pada akhirnya, sistem yang cenderung
patriarkhi menempatkan laki-laki dalam posisi dominan, dan juga mempengaruhi
pandangan negara dan masyarakat bahwa arena politik tidak sesuai dengan stereotipe
perempuan yang halus, lemah lembut, penyabar, dan jauh dari kompetisi.
tanggal 17 Juni 2012, pukul. 17:30 Wib.
6
Dalam pandangan Islam, perempuan ditempatkan sejajar dengan laki-laki.
Dimana perempuan dan laki-laki memiliki nilai manusiawi dan nilai amal yang sama
dengan hak dan kewajiban yang seimbang sesuai fitrah dan kodratnya
masing-masing. Dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, keduanya bagai sayap
kanan dan sayap kiri yang bisa terbang bersama sesuai dengan fungsi dan posisi
masing-masing dengan dibatasi oleh hukum dan ketentuan syariat Islam.7
“Wahai manusia, Sungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Penyayang.”
Perempuan
Islam harus memiliki kesadaran dan pengertian politik agar aktif terlibat dalam
kehidupan politik, salah satu caranya adalah dengan ikut berpartisipasi dalam
pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah, dan pemilihan presiden. Allah
Swt berfirman:
8
Dalam skripsi ini saya lebih memfokuskan penelitian terhadap perilaku
pemilih perempuan terkhusus perempuan Islam karena menurut saya perempuan
Islam memiliki keunikan tersendiri dimana ajaran agama Islam pada dasarnya
menempatkan posisi mereka dengan sangat baik yaitu mereka memiliki kesetaraan
dengan laki-laki. Namun disisi lain, sistem sosial yang cenderung patriarkhi mengikis
kesempatan perempuan untuk terlibat aktif dalam kegiatan politik. Dimana seringkali
pilihan perempuan dipengaruhi oleh suami maupun pihak keluarga.
Dalam penelitian ini, peneliti memilih Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan
Timur Kota Medan karena sangat relevan dengan penelitian yang dilakukan. Secara
umum daftar pemilih yang terdaftar di Kecamatan Medan Timur Kota Medan
berjumlah 140.633 orang. Terdiri dari 70.512 laki-laki dan 70.121 perempuan.9
7
St. Rogayah Buchorie, Wanita Islam: Sejarah Perjuangan dan Peranannya, Bandung: Baitul Hikmah, 2006, hlm. 4.
8
QS. Al-Hujarat [49]: 13.
9
Kecamatan ini memiliki 11 Kelurahan, dimana salah satu kelurahan yang saya teliti
adalah Kelurahan Perintis dengan jumlah penduduk di kelurahan tersebut 5.768 orang
yang terdiri dari laki-laki berjumlah 2.672 orang dan perempuan berjumlah 3.096
orang. Kelurahan Perintis memiliki 9 tempat pemungutan suara (TPS). Karena
penelitian ini berfokus pada pemilih perempuan Islam maka berdasarkan data yang
peneliti peroleh di Kelurahan Perintis terdapat 1.557 perempuan Islam yang terdaftar
dalam DPT Kota Medan. Dan angka inilah yang akan digunakan peneliti untuk
mencari sampel dalam melengkapi penelitian ini.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana perilaku
perempuan islam pemilih di Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur dalam
menetapkan pilihannya terhadap pasangan calon Rahudman Harahap-Dzulmi
Eldin pada Pemilukada Kota Medan 2010 ?”
C. Pembatasan Masalah
Dalam melakukan penelitian penulis perlu membuat pembatasan masalah tehadap
masalah yang akan dibahas, agar hasil yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan
yang diinginkan, dan agar penelitian ini mencapai tujuan dan tidak mempengaruhi
kefokusan peneliti dalam melakukan penelitian dilapangan. Pada penelitian ini
penulis hanya membahas masalah :
1. Bagaimana fenomena perilaku perempuan Islam pemilih di Kelurahan Perintis
dalam Pemilihan Walikota Medan putaran kedua tahun 2010 ?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pilihan perempuan Islam, di
Kelurahan Perintis Kecamatan Medan Timur pada Pemilukada Putaran II
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana perilaku perempuan Islam pemilih di Kelurahan
Perintis dalam Pemilihan Walikota Medan putaran kedua 2010.
2. Untuk mengetahui serta menganalisis apakah faktor yang paling dominan
yang mempengaruhi perempuan Islam dalam memberikan suaranya pada
calon Walikota Kota Medan pada Pemilihan Kepala Daerah putaran kedua di
Kelurahan Perintis Kota Medan 2010.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi pribadi, penelitian ini bermanfaat untuk mengasah kemampuan berpikir,
menulis, dan menganalisa fenomena politik yang terjadi di masyarakat.
2. Bagi lembaga, penelitian ini dapat menambah referensi ilmu pengetahuan dan
karya ilmiah di Departemen Ilmu Politik, khususnya mengenai perilaku
pemilih.
3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat menjadi sarana pendidikan politik
dan menjadi sarana pembelajaran dalam memberikan pilihan pada
pemilukada.
F. Kerangka Teori
F.1. Pendekatan Perilaku
Pendekatan perilaku sesungguhnya telah berkembang sejak awal di Negara
adikuasa seperti Amerika Serikat seusai Perang Dunia II. Adapun hal yang
menyebabkan pendekatan perilaku ini muncul karena pertama, sifat deskriptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena tidak relaistis dan sangat-sangat
berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Kedua, ada kekhawatiran bahwa ilmu politik jika tidak berkembang dengan pesat akan ketinggalan dengan ilmu-ilmu lainnya,
menjawab keraguan mengenai kemampuan para sarjana ilmu politik dalam
menerangkan fenomena ilmu politik.10
Secara teori pendekatan perilaku ini dipelopori oleh begitu banyak para ahli
politik dari negara Barat seperti David Easton, Heinz Eulou, Gabriel Almond, Robert
Dahl, dan David Apter. Akan tetapi dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan
teori-teori dari 3 (tiga) ahli seperti David Easteon, Heinz Eulou dan Gabriel Almond
karena ketiga ahli ini dirasa peneliti sudah cukup untuk memenuhi argumentasi dalam
penelitiannya.
Dalam sejarahnya David Easton merupakan pemikir politik yang tidak
terpisahkan dari teorinya tentang pendekatan perilaku. Dapat dikatakan bahwa
pemikir seperti David Easton mengemukakan bahwa pendekatan perilaku adalah
dalam sistem politik terdapat input (masukkan) yang berasal dari permintaan
(demand) dan dorongan (support) yang dipengaruhi oleh lingkungan (environment)
sehingga sistem politik tersebut menghasilkan sebuah keputusan (decision) dan aksi-aksi (actions) tetapi tetap ada pengaruh lingkungan didalamnya, sehingga secara nyata dikatakan bahwa dalam pendeketan perilaku sistem politi terbentuk tanpa harus
ada lembaga formal didalamnya tetapi yang terpenting ialah bagaimana membangun
dan membuata keputusan yang dapat menjadi suatu titik tolak dalam mempelajari
pola perilaku.11
Menurut Heinz Eulou pendekatan Perilaku Politik merupakan ilmu modern
yang sesungguhnya bukan hanya memenuhi kebutuhan dengan tindakan manusia
tetapi juga dengan proses-prosesnya seperti proses kognitif, efektif dan evealuasi.
Perilaku dalam bidang politik merujuk bukan hanya untuk aksi politik langsung atau
tidak langsung yang hanya diamati, tetapi juga kepada mereka komponen persepsi,
motivasi dan sikap perilaku yang membuat untuk identifikasi politik manusia,
permintaan dan sistem nya manfaat politik dan manfaat sistem politiknya serta nilai
dan tujuan.
10
Miriam, Budiardjo, Jakarta. Loc. Cit hlm. 74.
11
Heinz Eulou juga mengemukakam empat karakteristik pendekatan perilaku
seperti yang diberikan di bawah ini:
1. Berkonsentrasi pada analisis teoritis dan empiris dari perilaku
orang dan kelompok sosial tentang asal-usul serta, fungsi institusi
pemerintah dan politik seperti tradisional
2. Mengintegrasikan teori dan penelitian dalam kaitannya dengan
sosiologi-psikologi sosial dan antropologi budaya
3. Menekankan ketergantungan dari teori dan penelitian. Pertanyaan
teoritis harus dipelajari dari sudut pandang pengalaman dan
penelitian empiris harus diterapkan pada pertanyaan teoritis.
4. Mencoba untuk mengembangkan metodologi penelitian empiris
dan diberlakukannya metodologi ini untuk masalah politik yang
muncul dari perilaku individu.12
Begitupun menurut Gabriel Almond bahwa secara teori pendekatan perilaku
merupakan pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem sosial,
dan engara sebagai suatu sisem politik yang menjadi subsistem dari suatu sistem
sosial dalam suatu sistem, bagian-bagiannya saling berinteraksi, saling bergantungan,
dan semua bagian bekerja sama untuk menunjang terselenggaranya sistem itu. Sistem
mengalami stress dari lingkungan, tetapi berusaha mengatasinya dengan memelihara keseimbangan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Gabriel Almond
mengungkapkan bahwa seuma sistem mempunyai struktur (institusi atau lembaga),
dan unsur-unsur dari struktur ini menyelenggarakan beberapa fungsi. Funtsi ini
bergantung pada sistem dan juga bergantung pada fungsi-fungs lainnya, dan Gabriel
mengatakan bahwa pandangan ini disebut sebagai structural-functional.13
Salah satu pemikiran pokok dari pendekatan perilaku ialah bahwa tidak ada
gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak
12
R.C.Agarwal, Political Theory (Principles of Political Science), 2002, Rajendar Ravindra Printers (Pvt) : India. hlm. 37.
13
banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya,
lebih bermanfaat untuk mempelajari perilaku (behavior) manusia karena merupakan gejala yang benar-benar dapat diamati. Pembahasan mengenai perilaku bisa saja
terbatas pada perilaku perorangan saja, tetapi dapat juga mencakup kesatuan-kesatuan
yang lebih besar seperti organisasi kemasyarakatan, kelompok elit, gerakan nasional,
atau suatu masyarakat politik.
Pendekatan perilaku tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai titik
sentral atau sebagai aktor yang independen, tetapi hanya sebagai kerangka bagi
kegiatan manusia. Jika penganut Pendekatan Perilaku mempelajari parlemen, maka
yang dibahas antara lain perilaku anggota parlemen seperti pola pemberian suaranya
(voting behavior) terhadap rancangan undang-undang tertentu (apakah pro atau anti, dan mengapa demikian), pidato-pidatonya, giat tidaknya memprakarsai rancangan
undang-undang, cara berinteraksi dengan teman sejawat, kegiatan lobbying, dan latar belakang sosialnya.
Para ahli pada umumnya meneliti tidak hanya perilaku dan kegiatan menusia,
melainkan juga orientasi terhadap kegiatan tertentu seperti sikap, motivasi, persepsi,
evaluasi, tuntutan, harapan, dan sebagainya. Berdasarkan anggapan bahwa perilaku
politik hanya salah satu dari keseluruhan perilaku, maka pendekatan ini cenderung
untuk bersifat interdisipliner. Ia tidak saja mempelajari faktor pribadi, tetapi juga
faktor-faktor lainnya seperti sosiologis, psikologis, rasional.
Para penganut pendekatan ini tidak hanya mempelajari institusi-institusi,
tetapi juga manusia di dalamnya, seperti perilaku presiden dan anggota parlemen,
bagaimana mereka menjalankan tugas, dan bagaimana mereka memandang perilaku
mereka sendiri. Dalam rangka itu pula muncul penelitian mengenai rekrutmen politik,
kepemimpinan, masalah keterwakilan, sosialisasi politik, struktur kekuasaan dalam
suatu komunitas, kebudayaan politik, konsensus dan konflik, komposisi sosial dan
elite politik. Salah satu ciri khas pendekatan perilaku ini ialah pandangan bahwa
politik yang menjadi subsistem dari sistem sosial. Dalam suatu sistem,
bagian-bagiannya saling berinteraksi, saling bergantungan, dan semua bagian bekerja sama
untuk menunjang terselenggaranya sistem itu.14
F.1.1. Perilaku Politik
Menurut Jack C. Plato dkk: 15
“Perilaku politik adalah tindakan manusia yang berkaitan dengan proses memerintah. Yang termasuk perilaku politik adalah tanggapan-tanggapan internal (pikiran, persepsi, sikap dan keyakinan) dan juga tindakan-tindakan yang nampak (pemungutan suara, gerak protes, lobbying, kampanye dan demokrasi)”.
Yang dimaksud dengan perilaku politik adalah tindakan atau kegiatan
seseorang atau kelompok dalam kegiatan politik. Ramlan Surbakti mengemukakan
bahwa perilaku politik adalah sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses
pembuatan dan keputusan politik. Perilaku politik merupakan salah unsur atau aspek
perilaku secara umum, disamping perilaku politik, masih terdapat perilaku-perilaku
lain seperti perilaku organisasi, perilaku budaya, perilaku konsumen/ekonomi,
perilaku keagamaan dan lain sebagainya16
Perilaku politik meliputi tanggapan internal seperti persepsi, sikap, orientasi
dan keyakinan serta tindakan-tindakan nyata seperti pemberian suara, protes, lobi dan
sebagainya. Persepsi politik berkaitan dengan gambaran suatu obyek tertentu, baik
mengenai keterangan, informasi dari sesuatu hal, maupun gambaran tentang obyek
atau situasi politik dengan cara tertentu Sedangkan sikap politik yang dikemukan oleh
Fadillah Putra adalah merupakan hubungan atau pertalian diantara keyakinan yang
telah melekat dan mendorong seseorang untuk menanggapi suatu obyek atau situasi
politik dengan cara tertentu. Sikap dan perilaku masyarakat dipengaruhi oleh proses .
14
Miriam Budirardjo, Op.Cit, hlm. 74-76.
15
Jack C. Plato dkk, dalam Moh. Ridwan,1997 (skripsi Maria Bellina Silitonga,2011,USU), Perilaku Politik NU Pasca Pernyataan Kembali Ke Khittah1992,
16
dan peristiwa historis masa lalu dan merupakan kesinambungan yang dinamis.17
Secara bebas perilaku politik dapat diartikan sebagai keseluruhan tingkah laku
politik para aktor politik dan warga negara yang dalam manifestasi konkritnya telah
saling memiliki hubungan dengan kultur politik. Sebagaimana dijelaskan bahwa
lingkup budaya politik meliputi pola orientasi individu yang diperoleh dari
pengetahuan yang luas dan sempitnya orientasinya dipengaruhi oleh perasaan
keterlibatan, keterlekatan maupun penolakan, serta orientasinya yang bersifat menilai
terhadap obyek dan peristiwa politik.
Peristiwa atau kejadian politik secara umum maupun yang menimpa pada individu
atau kelompok masyarakat, baik yang menyangkut sistem politik atau ketidak-
stabilan politik, janji politik dari calon pemimpin atau calon wakil rakyat yang tidak
pernah ditepati dapat mempengaruhi perilaku politik masyarakat.
18
Jika dikaitkan dengan Pemilu, warga negara biasa memiliki andil dalam
proses pembuatan keputusan yang berpengaruh terhadap masa depan negaranya dan
warga negara lainnya. Perilaku politik dalam pemilu selanjutnya disebut perilaku
memilih. Karena warga negara biasa memiliki hak untuk memilih dan hak untuk tidak
menjatuhkan pilihan politiknya.
Dalam melakukan kajian terhadap perilaku politik dapat dipilih tiga
kemungkinan unit analisis, yakni individu aktor politik, agregasi politik, dan tipologi
kepribadian politik.19 Warga negara biasa, aktifis politik elit politik, dan aktor politik itu sendiri merupakan model perilaku dengan unit analisis individu aktor politik.
Agregasi adalah individu aktor politik secara kolektif, seperti kelompok kepentingan
dan lembaga-lembaga pemerintahan dan tipologi kepribadian politik adalah tipe-tipe
kepribadian pemimpin politik yang bersifat otoriter dan demokrasi.
17
18
Arifin Rahman , Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC, 1998, hlm. 50.
19
Terdapat empat faktor yang mempengaruhi perilaku politik yakni :
Pertama, Lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan media massa.
Kedua, Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor, seperti keluarga, agama, sekolah, dan kelompok
pergaulan. Dari sini aktor mengalami sosialisasi dan internalisasi nilai dan norma
masyarakat, termasuk nilai dan norma kehidupan bernegara dan
pengalaman-pengalaman hidup pada umumnya.
Ketiga, Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Dalam hal ini terdapat tiga basis fungsional sikap, yaitu kepentingan, penyesuaian diri,
eksternalisasi dan pertahanan diri. Basis pertama merupakan sikap yang menjadi
fungsi kepentingan. Artinya, penilaian seseorang terhadap suatu obyek ditentukan
oleh minat dan kebutuhan atas obyek tertentu. Basis kedua merupakan sikap yang
menjadi fungsi penyesuaian diri. Artinya, penilaian terhadap suatu obyek dipengaruhi
oleh keinginan untuk sesuai dan selaras dengan obyek tersebut. Basis yang ketiga
merupakan sikap yang menjadi fungsi eksternalisasi diri dan pertahanan diri. Artinya,
penilaian seseorang terhadap suatu obyek dipengaruhi oleh keinginan untuk
mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang berwujud mekanisme pertahanan
diri dan eksternalisasi diri, seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi, dan identifikasi
dengan aggressor.
Keempat, Faktor lingkungan sosial politik langsung berupa situasi, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan sesuatu
kegiatan, seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruangan, kehadiran orang lain,
suasana kelompok, dan ancaman dengan segala bentuknya. Faktor sosial politik tak
langsung mempengaruhi lingkungan sosial politik langsung yang berupa sosialisasi,
internalisasi dan politisasi. Selain itu, mempengaruhi lingkungan sosial politik
langsung berupa situasi. Perilaku seorang aktor akan dipengaruhi secara langsung
terhadap objek kegiatan itu, dan situasi ketika kegiatan itu hendak dilakukan.
Hubungan kedua aktor ini terhadap perilaku akan bersifat zero sum, apabila faktor sikap yang menonjol maka faktor situasi kurang mengedepan, sebaliknya sikap
kurang menonjol.20
Berbicara tentang perilaku politik, satu hal yang perlu dibahas adalah apa
yang disebut dengan sikap politik. Walaupun antara sikap dan perilaku terdapat
kaitan yang sangat erat, keduanya perlu dibedakan. Sikap merupakan kesiapan untuk
beraksi terhadap objek lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek
tersebut.21
Berangkat dari pemahaman sifat seperti yang telah diuraikan diatas, sikap
politik dapat dinyatakan sebagai kesiapan untuk beraksi terhadap objek tertentu yang
bersifat politik. Dengan munculnya sikap tertentu, akan dapat diperkirakan perilaku
politik apa yang sekiranya akan muncul. Ketidaksetujuan terhadap kebijakan
pemerintah misalnya menaikkan pajak pendapatan, merupakan suatu sikap politik.
Dengan adanya ketidaksetujuan tersebut, perilaku yang diperkirakan akan muncul
adalah peninjauan pernyataan keberatan, protes, atau unjuk rasa. Walaupun dalam
kenyataan, bisa saja perilaku semacam itu muncul, akan tetapi sekurang-kurangnya
ada kecenderungan menuju kearah tersebut dan merupakan suatu alasan yang tepat
dalam faktor dalam menggunakan hak pilih dalam suatu pemilihan
faktor-faktor diatas akan menjadi alasan yang tepat jika seseorang akan melakukan suatu
perbuatan yang memang harus diletarbelakangi oleh sesuatu yang membuat seseorang
dalam berprilaku.
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi baru
merupakan kecenderungan. Dari suatu sikap tertentu dapat diperkirakan tindakan apa
yang akan dilakukan berkenaan dengan objek yang dimaksud.
Bentuk keikutsertaan merupakan proses yang melibatkan seluruh warga
negara baik laki-laki maupun perempuan termasuk melibatkan pihak-pihak dari
20
Arifin Rahman, Op. Cit, hlm. 124-125.
21
kelompok sosial manapun. Dalam kelompok-kelompok sosial tersebut terdapat
seperangkat norma dan nilai yang berlaku dan tersosialisasikan melalui proses yang
panjang. Hal inilah yang nantinya berpengaruh terhadap preferansi dan perilaku
politik.
F.2 Perilaku Pemilih
Dalam mengetahui tingkah laku pemilih harus dilakukan beberapa pendekatan
terkait dengan perilaku politik seseorang dalam menggunakan hak pilihnya karena
pendekatan tersebut akan menentukan bagaimana seseorang dalam menentukan
pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok. Secara umum teori tentang
perilaku memilih dikategorikan kedalam dua kubu yaitu ; Mazhab Colombia dan Mazhab Michigan. Mazhab Colombia menekankan pada faktor sosiologis dalam membentuk perilaku masyarakat dalam menentukan pilihan di pemilu. Model ini
melihat masyarakat sebagai satu kesatuan kelompok yang bersifat vertikal dari
tingkat yang terbawah hingga yang teratas. Dalam kegiatannya Affan Gafar yang
merupakan penganut pendekatan ini mengungkapkan bahwa masyarakat terstruktur
oleh norma-norma dasar sosial yang berdasarkan atas pengelompokan sosiologis
seperti agama, kelas (status sosial), pekerjaan, umur, jenis kelamin dianggap
mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku memilih.
Oleh karena itu preferensi pilihan terhadap suatu partai politik merupakan suatu
produk dari karakteristik sosial individu yang bersangkutan22
Para ahli ilmu politik menyebutkan bahwa tingkah laku individu dalam
pemugutan suara pada kegiatan pemilu disebut dengan konsep perilaku pemilih pada
kegiatan pemilu disebut dengan konsep perilaku pemilih (Voting Behavior). Menurut
Harold F. Gosnell, Pemungutan suara adalah proses dimana seorang anggota masyarakat dari suatu kelompok menyatakan pendapatnya dan dengan demikian ikut
serta dalam menentukan konsensus diantara anggota-anggota kelompok itu dalam
22
pemilihan seorang pejabat maupun keputusan yang diusulkan.23
Perilaku pemilih dan partisipasi politik merupakan dua hal tidak dapat
dipisahkan. Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Salah satu
wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan pemilihan yang mencakup suara,
sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari
dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk
mempengaruhi hasil proses pemilihan.
Dengan demikian,
konsep voting berkaitan dengan pemberian suara dari seorang individu dalam rangka
ikut berpartisipasi politik.
24
Dalam menganalisis perilaku pemilih dan untuk menjelaskan
pertimbangan-pertimbangan yang digunakan sebagai alasan oleh para pemilih dalam menjatuhkan
pilihannya, dikenal dua macam pendekatan yaitu, Mahzab Columbia yang
menggunakan pendekatan sosiologis dan Mahzab Michigan yang dikenal dengan
pendekatan Psikologis.25 Selain itu terdapat pendekatan rational choice yang melihat perilaku seseorang melalui kalkulasi untung rugi yang dilihat oleh individu tersebut.26
1. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan ini biasa juga disebut dengan mazhab Colombia. Cikal bakalnya
berasal dari Eropa, model ini kemudian dikembangkan oleh para sosiolog Amerika
Serikat yang mempunyai latar belakang Eropa. Menurut mazhab ini, pendekatan
sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan
usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang keluarga, kegiatan-kegiatan
23
Harol. F. Gosnell, dalam Edwin R.A Salignan dan Alvin Johnson, Encyclopedia of Social Science.
Vol. 15. New York The Macmillan Co 1934, hlm. 287.
24
Jack C. plano, Robert E. Ringgs dan Helenan S. Robin, Kamus Analisa Politik, Jakarta. C.V. Rajawali Press, 1985, hlm. 280.
25
Afan Gaffar, Javanese Voters: A Case Study of Election under a Hegemonic Party System.
Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1992, hlm. 4-9.
26
dalam kegiatan formal dan informal lainnya memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap pembentukan pilihan-pilihan politik.27
Interaksi yang terjadi di dalam kelompok-kelompok sosial seperti usia, jenis
kelamin, agama, pekerjaan dan sebagainya akan menjadi pengetahuan yang akan
membangun preferensi dan perilaku memilih seseorang sehingga kemudian akan
mempengaruhi pilihan politiknya.
Bonne dan Ranney membagi tipe utama pengelompokkan sosial seperti berikut:28
1. Kelompok Kategorial yang terdiri dari orang-orang yang memiliki satu atau beberapa karakter khas, tapi tidak mengorganisasikan aktifitas politik dan tidak menyadari identifikasi dan tujuan kelompoknya. Pengelompokan kategorial terbentuk berdasarkan perbedaan jenis kelamin, perbedaan usia, dan perbedaan pendidikan.
2. Kelompok Sekunder yang terdiri dari orang-orang yang memiliki ciri yang sama yang menyadari tujuan dan identifikasi kelompoknya dan bahkan sebagian membentuk organisasi untuk memajukan kepentingan kelompoknya. Kelompok skunder mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan kelompok kategorial. Kelompok sekunder dapat diklasifikasikan seperti : pekerjaan, status sosial, ekonomi, dan kelas sosial, dan kelompok-kelompok etnis yang meliputi ras, agama, dan daerah asal.
3. Kelompok Primer yang terdiri dari orang-orang yang sering dan secara teratur melakukan kontak dan interaksi langsung. Kelompok primer memiliki pengaruh yang paling kuat dan langsung terhadap perilaku politik seseorang. Yang termasuk kelompok primer adalah pasangan suami-istri, orang tua dan anak-anak, dan kelompok bermain.
2. Pendekatan Psikologis
Pendekatan ini juga disebut sebagai mazhab Michigan dan pelopor utama
mazhab ini adalah August Cambell. Munculnya pendekatan ini merupakan reaksi atas
ketidakpuasan terhadap pendekatan sosiologis.29
27
Adman Nursal, Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum, 2004, hlm. 55.
Pendekatan sosiologis dianggap
28
Ibid, hlm. 56.
29
sangat sulit diukur, tidak jelasnya indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama
dan sebagainya merupakan sesuatu hal yang sangat sulit diukur. Disamping itu secara
materi diungkapkan bahwa variabel-variabel sosiologis seperti kelompok primer dan
sekunder memberikan pengaruh pada perilaku pemilih dan pilihan politik. Tidaklah
variabel-variabel itu dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih dan pilihan politik
jika ada proses sosialisasi. Oleh sebab itu pada pendekatan ini, sosialisasilah yang
menentukan perilaku memilih dan orientasi pada pilihan-pilihan politik seseorang
bukan karakter sosiologis.30
Dalam pendekatan ini, sikaplah yang paling menentukan dan hal itu berawal
dari informasi-informasi yang diterima seseorang. Menurut Asfar, sikap tidaklah
terjadi secara begitu saja melainkan melalui proses yang panjang, yang dimulai dari
kanak-kanak saat seseorang pertama kali mendapat pengaruh politik dari orangtua
atau kerabat dekat.31
Seperti yang telah diungkapkan oleh Nursal dan Asfar sebelumnya, bahwa
proses sosialisasi yang panjang akan membuat seseorang untuk membentuk ikatan
yang kuat dengan kelompok sosial ataupun organisasi kemasyarakatan. Sehingga hal
ini menjadi sesuatu yang sangat berpengaruh terhadap pilihan-pilihan politiknya
kelak. Pemilih perempuan yang berada dalam suatu kelompok sosial tertentu akan
menerima proses internalisasi berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam kelompok sosial
tersebut. Perilakunya secara umum akan berkaitan dengan nilai dan kebiasaan yang
secara psikologi sangat mempengaruhi perempuan.
4. Pendekatan Rasional
Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik
pemilih, yaitu orientasi isu dan orientasi kandidat. Orientasi isu berpusat pada
pertanyaan : apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan-persoalan
30
Ibid, hlm. 141.
31
yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara ? Sementara orientasi kandidat
mengacu kepada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa memperdulikan
label partainya. Meski demikian, katertarikan para pemilih terhadap isu-isu yang
ditawarkan oleh partai ataupun kandidat bersifat situasional.32
Pendekatan rasional mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa para pemilih
benar-benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi
program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, perinsip,
pengetahuan dan informasi yang cukup.
F.2.1. Konfigurasi Pemilih
Perilaku pemilih merupakan sebuah studi yang memusatkan pemilih sebagai
objek dari masalah yang diteliti. Berikut ini merupakan empat konfigurasi pemilih.33
1. Pemilih Rasional
Pemilih rasional adalah pemilih yang lebih mengutamakan kemampuan partai
politik atau calon kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau flatform
partai bisa dianalisis dalam dua hal: (1) kinerja partai dimasa lampau dan tawaran
program untuk menyelesaikan permasalahan nasional yang ada. Pemilih tidak hanya
melihat program kerja partai yang berorientasi ke masa depan tetapi juga
menganalisis apa saja yang telah dilakukan oleh partai tersebut dimasa lampau. (2)
kinerja partai atau calon kontestan biasanya termanisfestasikan pada reputasi dan citra
(image) yang berkembang di masyarakat.
Pemilih rasional memiliki ciri khas yaitu tidak begitu mementingkan ikatan
ideologi suatu partai politik atau calon yang diusungnya. Hal yang penting bagi
32
Asep Ridwan, Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004 di Indonesia, Jurnal Demokrasi dan Ham. Volume 4 No 1. Jakarta 2004, hlm. 38-39.
33
pemilih jenis ini adalah apa yang bisa dan telah dilakukan oleh suatu partai maupun
calon yang diusungnya.
2. Pemilih Kritis
Untuk menjadi pemilih kritis, seseorang melalui dua hal yaitu: Pertama, Jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada
partai politik mana mereka akan berpihak dan selanjutnya akan mengkritisi kebijakan
yang akan atau yang telah dilakukan. Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya, pemilih tertarik dulu dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partai/kontestan baru
kemudian mencoba untuk memahami nilai-nilai yang melatarbelakangi pembuatan
sebuah kebijakan. Pemilih jenis ini adalah pemilih kritis artinya mereka akan selalu
menganalisis kaitan antara ideologi partai dengan kebijakan yang akan dibuat.
3. Pemilih Tradisional
Jenis pemilih ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak
terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai suatu yang
penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan
kedekatan sosial-budayanya, nilai, asal-usul, paham, dan agama sebagai ukuran untuk
memilih suatu partai politik maupun seorang kontestan. Biasanya pemilih jenis ini
lebih mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah
partai politik atau seorang kontestan. Salah satu karakteristik mendasar jenis pemilih
ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam memegang
nilai serta paham yang dianut. Pemilih jenis ini sangat mudah untuk dimobilisasi
4. Pemilih Skeptis
Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi terhadap
sebuah partai politik atau seorang kontestan. Pemilih ini juga tidak menjadikan
sebuah kebijakan menjadi suatu hal yang penting. Kalaupun mereka berpartisipasi
dalam pemilu, mereka berkeyakinan bahwa siapapun yang memenangkan pemilu,
hasilnya akan sama saja dan tidak ada perubahan yang berarti yang dapat terjadi bagi
daerah, masyarakat, maupun negara.
Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para
kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian
memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini
dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah
kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang
kemudian termanifestasi dalam institusi politik seperti partai politik. Di samping itu,
pemilih merupakan bagian masyarakat luas yang bisa saja tidak menjadi konsituen
partai politik tertentu. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok, terdapat kelompok
masyarakat yang memang non-partisan dimana ideologi dan tujuan politik mereka
tidak dikatakan kepada suatu partai politik tertentu. Mereka menunggu sampai ada
suatu partai politik yang bisa menawarkan program kerja terbaik menurut mereka,
sehingga partai tersebutlah yang akan mereka pilih.34
Selain penjelasan diatas Firmanzah juga membagi 3 kelompok yang dianggap
sebagai faktor-faktor determinan pemilih yang menggunakan hak pilih dalam
menentukan pasangan calon yaitu :
1. Kondisi awal yang meliputi : keadaan sosial budaya pemilih, nilai
tradisional pemilih, level pendidikan, serta ekonomi pemilih. . Seperti
pada awal yang merupakan tolak ukur pemilih menggunakan hak pilihnya
yaitu dimulai dari kondisi awal, dalam hal ini yang akan berkaitan dengan
kondisi sosial budaya yaitu bagaimana pemilih tersebut dilihat dari
34
kondisi sekitar lingkungannya seperti tingkat pendidikan, kondisi
lingkungan sekitar, dan nilai-nilai dalam budaya pemilih dalam
menjatuhkan pilihannya terhadap kandidat yang mencalonkan ataupun
yang dicalonkan. Ekonomi juga dilihat sebagai kondisi awal pemilih
dalam menentukan pilihannya karena faktor ekonomi juga merupakan
salah satu alasan apa yang melaterbelakangi seorang pemilih menjatuhkan
pilihannya kepada calon tersebut. Dalam terjun kelapangan peneliti harus
melihat beberapa kondisi awal yang terkait dengan kuisioner yang akan
dibagikan.
2. Massa yang meliputi : data, informasi dan berita dari media masa, ulasan
ahli, permasalahan kini, serta perkembangan media dan trend situasi.
Setelah pada kondisi awal lalu peneliti menggunakan indikator media
massa dalam mengumpulkan data untuk dimasukkan kedalam kuisioner,
tidak dapat ditepiskan bahwa media massa juga mengambil alih dalam
memobilisasi suara pemilih, yang meliputi data, ataupun informasi yang
diperoleh pemilih seputar pemilihan kepala daerah dilingkungannya,
begitupun media juga terlibat dalam mobilisasi pemilih karena media juga
mengulas pendapat para ahli dalam mengemukakan pendapatnya terkait
dengan kondisi politik saat ini, bukan hanya itu saja media massa juga
merupakan indikator dalam melihat situasi dan permasalahan yang ada di
masyarakat yang di angkat kekondisi publik sehingga masyarakat juga
dapat dipengaruhi oleh pemberitaan oleh media massa baik media cetak,
elektronik ataupun media sosial lainnya.
3. Serta bagian terakhir yaitu partai politik/kontestan yang meliputi
performance record dan reputasi, marketing politik, serta program kerja dari kandidat yang mengikuti pemilihan calon kepala daerah. Dalam
mengusung calon juga tidak dapat terpisahkan dalam menentukan pilihan
pemilih, hal tersebut terlihat dari kondisi kontestan dalam mencalonkan
diri yaitu penampilannya, trek record (reputasi serta pengalamannya) dibidang politik, bagaimana proses marketing politik dalam hal ini untuk
dapat memperoleh suara dan mobilisasi diperlukan merketing politik,
yaitu manajemen untuk dapat memperoleh suara dari pemilih
sebanyak-banyaknya serta program kerja yang dapat diterima oleh semua
masyarakat tidak yang berlebihan dan yang dapat terjadi secara nyata
tanpa harus ada yang berlebihan dalam penyusunan program kerja. Hal
tersebut dapat mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya
terlihat dari iklan, baliho, ataupun spanduk yang dipasang dimana saja
sehingga masyarakat lebih mengenal calon yang ingin dipilih dalam
pemilihan kepala daerah.
Ketika pemilih menilai partai atau seorang kontestan dari kaca mata policy problem-solving maka yang terpenting bagi mereka adalah sejauh mana para kontestan mampu menawarkan program kerja atau solusi suatu permasalahan yang
ada. Sementara pemilih yang lebih mementingkan ikatan ideologi suatu partai atau
seorang kontestan akan lebih menekankan pada aspek-aspek subjektifitas seperti
kedekatan nilai, budaya, agama, moralitas, norma, emosi, dan psikografis. Semakin
dekat kesamaan partai politik atau calon kontestan, maka pemilih akan cenderung
memberikan suaranya ke partai dan kontestan tersebut.
Penjelasan bagian faktor-faktor determinan tersebut tergambar dalam bagan
dibawah ini :35
35
Bagan 1
Meskipun tampak relatif, pola pengelompokkan pemilih mencerminkan
kecenderungan saling terkait dan mempengaruhi. Lingkup pengelompokkan atau
segmentasi itu dapat didasarkan pada : 36
36
Agung Wibawanto,dkk. Memenangkan Hati dan Pikiran Rakyat. Yogyakarta : Pembaruan 2005, hlm. 24-26.
Pemilih
Ideologi Policy-problem-solving
1. Lingkup agama (keluarga)
Diantara beberapa jenis pengelompokan sosial lainnya, lingkup agama
merupakan salah satu faktor pembentukan perilaku memilih. Setiap orang
yang mengaku beragama akan mengidentifikasi dirinya sebagai bagian
dari kelompok agamanya dan pilihan politiknya biasanya disejalankan
dengan agama yang dianutnya. Misalnya pemilih yang beragama Islam
akan memiliki kecenderungan memilih kontestan beragama Islam juga.
2. Lingkup gender
Lingkup gender mengidentifikasikan bahwa perbedaan jenis kelamin
antara perempuan dan laki-laki turut mempengaruhi perbedaan perilaku
politik yang dilakukan.
3. Lingkup kelas sosial
Individu yang berasal dari kelas sosial yang berbeda biasanya memiliki
perilaku yang berbeda, hal ini disebabkan karena faktor ekonomi dan
pendidikan.
4. Lingkup geografi
Lingkup geografi berkaitan dengan pengelompokan pemilih berdasarkan
aspek geografi atau lingkungan.
5. Lingkup usia
Lingkup usia pada dasarnya mampu mengelompokkan individu. Dimana
usia seringkali mempengaruhi pilihan atau tindakan yang diambil oleh
seseorang dalam menjatuhkan pilihannya terhadap calon-calon kandidat
yang ikut dalam pemilihan. Ruang lingkup usia yang berdasarkan pada
6. Lingkup demografi
Lingkup demografi mengelompokkan masyarakat terkait dinamika
kependudukan meliputi ukuran, struktur, dan distribusi penduduk.
7. Lingkup psikografis
Lingkup psikografis dapat diartikan sebagai segmentasi pemilih
berdasarkan gaya hidup yaitu bagaimana pola hidup seseorang yang
diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya.
8. Lingkup perilaku
Lingkup perilaku adalah tindakan atau aktivitas manusia itu sendiri
sebagai respon terhadap sesuatu yang terjadi. Perilaku seseorang dapat
mempengaruhi perilaku individu lainnya.
F.3. Pengertian Perempuan
Para femenisme berpendapat bahwa ‘Wanita’ dalam kosakata jawa berarti
“Wani ditoto=berani ditata (oleh laki-laki). Sedangkan berkaitan dengan istilah
perempuan, dalam prasasti Gundasulli ditemukan bahwa Ia berasal dari serapan kata
‘Parpuanta’ yang artinta ‘dipertuan atau dihormati’ (empu = gelar kehormatan yang
berarti tuan). Oleh karena itu, kaum feminis tidak mau menggunakan istilah wanita,
tetapi lebih memilih istilah perempuan. Mereka memilih persepsi bahwa kata wanita
mengandung makna yang bias patriarhki. Mereka juga berpendapat bahwa pola hidup
perempuan lebih sempurna dari pada laki-laki, karena menurut pandang mereka:
“perempuan = laki-laki + kemampuan melahirkan dan menyusui”, artinya:
perempuan sebenarnya sama dengan laki-laki, tetapi perempuan diberikan potensi
untuk mengandung, dan menyusui anak, potensi ini tidak dimiliki oleh laki-laki.37
37
Perempuan adalah manusia, bahkan manusia yang agung. Ia adalah pendidik
masyarakat, yang dari pengasuhan perempuan lahirlah laki-laki. Mula-mula lahirlah
laki-laki dan perempuan yang sehat dari pengasuhan perempuan. Perempuan adalah
pendidik laki-laki. Oleh karena itu, kebahagiaan dan kesengsaraan suatu negeri
tergantung pada perempuan. Karena pendidikan yang benar akan mampu mencetak
manusia, dengan pendidikannya yang sehat maka ia akan memakmurkan negeri.
Pengasuhan perempuan merupakan jalan seluruh kebahagiaan, dan perempuan harus
menjadi jalan pertama seluruh kebahagiaan.
Perempuan adalah refleksi dari terwujudnya harapan menusia, dan ia adalah
pendidik kaum Hawa dan kaum Adam yang mulia. Dari pengasuhan perempuan,
laki-laki mampu mencapai ketinggian spiritual. Perempuan adalah buaian pendidikan
perempuan dan laki-laki yang agung.38
Di bawah pendidikan perempuan dan di bawah dekapannya, lahirlah laki-laki
yang pemberani. Sesungguhnya Al-Qur’an Al-Karim mendidik manusia, dan
perempuan juga mendidik manusia. Tugas perempuan adalah mendidik manusia.
Seandainya bangsa dihilangkan dari perempuan yang memiliki kemampuan mendidik
manusia, niscaya bangsa itu akan kalah dan menuju kehancuran serta kehinaan.
F.4. Perempuan Dalam Pandangan Islam
Dalam Islam sebagaimana halnya yang pernah di sabdahkan oleh Rasullullah
Saw bahwa ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah secara etimologis,
kata-kata muslim itu mencakup laki-laki dan perempuan. Islam mempersiapkan agar
perempuan dapat berperan dalam segala bidang.
Kaum perempuan Islam digambarkan sebagai perempuan yang aktif, sopan
dan terpelihara akhlaknya. Bahkan dalam Al-Qur’an, figur ideal seseorang Muslimah
disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian politik (al-istiqlal al-siyasa),
Allah Swt berfirman:
38
“Wahai Nabi! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang kepadamu untuk mengadakan bai’at (janji setia), bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”39
Seperti figur Ratu Bulgis yang memimpin kerajaan superpower (‘arsyun ‘azhim) Allah Swt berfirman:
“Sungguh, kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar.”40
Memiliki kemandirian ekonomi, (al-istiqlal al-iqtishadi) Allah Swt berfirman:
“Tidak diragukan lagi bahwa Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang yang sombong.”41
Seperti figur-figur perempuan mengelola perternakan dalam kisah Nabi Musa
di Madyan, Allah Swt berfirman:
“Dan ketika dia sampai di sumber air negeri Madyan, dia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang memberi minum (ternaknya), dan dia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang perempuan sedang menghambat (ternaknya). Dia (Musa) berkata, “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua (perempuan) itu menjawab, “Kami tidak dapat memberi minum (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya.”42
Bagi perempuan yang sudah menikah, memiliki kemandirian dalam
menentukan pilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshi) yang diyakini kebenarannya sekalipun berhadapan dengan suami. Allah Swt berfirman:
“Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir’aun, ketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surge dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannta, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.”43
Atau menentang pendapat orang banyak (public opinion) bagi perempuan belum menikah. Allah Swt berfirman:
“Dan Maryam putrid Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami ; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya; dan dia termasuk orang-orang yang taat.”44
Al-Qur’an mengizinkan kaum perempuan melakukan gerakan “oposisi”
terhadap segala bentuk sistem yang bersifat tirani demi tegaknya kebenaran. Allah
Swt berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh Mahaperkasa, Mahabijaksana.”45
Perempuan dalam pandangan Islam sejajar dengan laki-laki. Islam diyakini
oleh para pemeluknya sebagai rahmatan lil’alami (agama yang menebarkan rahmat bagi alam semesta). Salah satu bentuk rahmat itu adalah pengakuan terhadap
keutuhan kemanusiaan perempuan yang setara dengan laki-laki. Ukuran kemuliaan
seorang manusia disisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas taqwanya, tanpa
membedakan ras, etnik dan jenis kelamin.
Sebelum Islam datang, perempuan dipandang tidak memiliki kemanusiaan
yang utuh dan oleh karenanya tidak berhak bersuara, berkarya dan berharta. Bahkan,
ia dianggap tidak memiliki dirinya sendiri. Islam secara bertahap mengembalikan
hak-hak perempuan sebagai manusia yang merdeka. Bahkan menyuarakan keyakinan,
berhak mengaktualisasikan karya, dan berhak memiliki harta yang memungkinkan
mereka dianggap sebagai warga masyarakat. Ini merupakan gerakan emansipatif yang
tiada tara di masanya, saat saudara-saudara perempuan mereka di belahan bumi Barat
terpuruk dalam kegelapan dan kehancuran yang mendalam, dimana setiap umat harus
44
QS. Al- Tahrim, [66]: 12
45
dapat mempertanggungjawabkan apa yang telah ia perbuat dalam kehidupan dan
manfaat bagi orang sekitar dalam berbagai segi kehidupan.
F.5. Peranan Perempuan Dalam Politik
Berkaitan dalam hal berpolitik terdapat dua aliran yang berbeda mengenai
posisi perempuan sebagai pemimpin dalam pandangan Islam. Pertama, aliran yang mengklim bahwa Islam tidak mengakui hak-hak politik bagi perempuan. Kedua,
aliran yang berpendapat bahwa Islam mengakui hak-hak politik perempuan, sama
seperti yang diberikan kepada laki-laki. Kelompok ini menegaskan bahwa Islam
menetapkan dan mengakui hak-hak politik bagi perempuan termasuk menjadi
pemimipin negara.
Ada 3 alasan yang sering dikemukakan oleh aliran pertama yaitu:46
1. Tempat yang paling cocok bagi perempuan adalah rumah. Pandangan ini
diperkuat hadis yang menyebutkan bahwa Allah telah menetapkan empat rumah
bagi seorang perempuan: rahim ibunya, rumah orang tuanya yang menjadi
tempat tinggalnya sampai dia menikah, rumah suaminya yang tidak boleh dia
tinggalkan tanpa izin yang bersangkutan, dan yang terakhir adalah kuburnya.
Dengan demikian, ruang publik adalah ruang yang sejak awal “ditetapkan”
sebagai wilayah asing bagi perempuan. Allah Swt berfirman:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias (dan bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”47
46
November 2012, pukul 13.20 Wib.
47
2. Para ulama, seperti Ibnu Abbas, menegaskan bahwa masalah kepemimpinan
diambil dari ayat tersebut. Secara khusus masalah ini dirujukkan pada kalimat al-rijal qawwamuna ‘ala al-nisa’ (laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan). Berdasarkan ayat ini, Ibnu Abbas mengatakan bahwa laki-laki
memiliki kekuasaan atas perempuan. Rasyid Ridlah malah menganalogikan
kekuasaan tersebut seperti kekuasaan raja terhadap rakyatnya. Allah Swt
berfirman:
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.”48
3. Abu Bakrah yang mengatakan bahwa: La yaflaha qaum wallau amrahum imra’at (Tidak akan berbahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan).49
Ayat-ayat dan hadis-hadis yang disebutkan itu, bagi aliran pertama merupakan
justifikasi bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum laki-laki dan perempuan harus
mengakui kepemimpinan laki-laki. Implikasi dari pemahaman dari itu adalah
perempuan tidak memiliki hak-hak politik seperti yang dimiliki oleh laki-laki.
Memang ada satu hadist yang menyebutkan bahwa jangan sekali-kali perempuan menjadi imam sholat untuk laki-laki. Akan tetapi, sejumlah pakar melakukan tahrij terhadap hadist tersebut dan memperoleh kesimpulan bahwa status
48
QS. An-Nisa [4]: 34
49Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang amat popular dalam Kongres Umat Islam
hadist itu adalah daif karena dalam rentetan perawinya terdapat Abdullah bin Muhammad al-Adawi yang diduga oleh waqi’ telah melakukan pemalsuan hadist.
Itulah sebabnya, mengapa ulama, seperti Abu Tsaur dan al-Thabari, menganggap
syah imam perempuan dalam sholat. Keabsahan tersebut didasarkan pada sebuah
hadist syahih riwayat Abu Daud tentang Ummu Waraqa yang meminta oleh Nabi
Saw menjadi imam di rumahnya dengan muazin laki-laki dewasa.
Kuatnya kultural masyarakat mengenai perempuan, sangat berkaitan dengan
wajah Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini. Ruang
jalan dan peranan perempuan senantiasa terbatas akibat benturan norma agama. Dan
ini paling tidak memunculkan pemahaman dan sikap bahwa perempuan memang
tidak penting untuk terjun kedalam aspek yang bertentangan dengan yang ditetapkan
oleh agama.
Sedangkan pandangan aliran kedua, melihat bahwa kewajiban berpolitik sebenarnya merupakan sebagian dari dakwah Islam. Islam mewajibkan seluruh kaum
Muslim baik laki-laki maupun perempuan untuk berdakwah mengajak kepada yang
ma’ruf dan menjauhi yang mungkar. Amar maaruf nahi mungkar ini bermaksud
menyeru untuk bertakwa kepada Allah Swt dengan menerapkan seluruh hukum
syariat-Nya. Allah Swt berfirman :
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”50
Perlu kita ketahui, ayat ini diturunkan di Madinah yang merupakan negara
Islam dan hukum-hukum yang diturunkan di Madinah bukan hanya mengatur
bagaimana cara beribadah kepada Allah Swt dalam hal sholat, zakat dsb, tetapi juga
yang mengatur dalam sistem kehidupan. Pada saat itu, hukum-hukum yang mengatur
masyarakat seperti politik luar negeri, uqubat, sistem sosial (pergaulan), sistem
ekonomi, pemerintahan dan pendidikan telah diturunkan. Oleh karena itu, agar kaum
50
Muslimin dapat menjalankan kewajibannya untuk melakukan amar ma’ruf nahi
mungkar mereka harus memiliki kesadaran berpolitik. Maka, baik laki-laki maupun
perempuan, mereka mempunyai hak yang sama untuk berdakwah amar ma’ruf nahi
mungkar.
Dalam hal ini, menurut pendapat Alkaf Hussein bahwa Allah telah
menetapkan rambu-rambu bagi perempuan dalam beraktivitas politik. Islam telah
memberikan batasan dengan jelas dan tuntas mengenai aktivitas politik perempuan.
Diantaranya :51
1. Hak dan kewajiban Baiat. Ummu Athiyah berkata: ”Kami berbaiat kepada
Rasulullah Saw lalu beliau membacakan kepada kami agara jangan
menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dan melarang kami untuk
niyahah (meratapi mayat). Karena itulah salah seorang perempuan dari kami
menarik tangannya (dari berjabat tangan), lalu ia berkata,”Seseorang telah
membuatku bahagia dan aku ingin membalas jasanya.”Rasulullah tidak
berkata apa-apa, lalu perempuan itu pergi kemudian kembali lagi.” (HR.
Bukhari).
2. Hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat. Perlu dijelaskan,
bahwa Majelis Umat adalah suatu badan negara Islam yang terdiri atas
wakil-wakil rakyat yang bertugas memberikan nasihat dari umat kepada khalifah,
mengajukan apa saja yang dibutuhkan rakyat dan memberikan saran
bagaimana kebutuhan rakyat tersebut terpenuhi, mengoreksi dan menasehati
penguasa apabila cara yang ditetapkan oleh khalifah bertentangan dengan apa
yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
51
3. Kewajiban menasehati dan mengoreksi penguasa. Nasihat tersebut bisa
langsung disampaikan kepada penguasa atau melalui majelis umat atau
melalui partai.
4. Kewajiban menjadi anggota partai politik. Keberadaan partai politik
merupakan pemenuhan kewajiban dari Allah Swt, sebagaimana Allah
berfirman dalam QS. Ali-Imran ayat 104 yang artinya: ”Hendaklah (wajib)
ada segolongan umat yang menyerukan kepada kebaikan (Islam);
memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran.52
Kesetaraan (equality) dalam perspektif Islam kondisi yang dialami para wanita di Barat sangat berbeda dengan yang dihadapi oleh para Muslimah di dunia Islam.
Dalam dunia Islam, para perempuan diperlakukan dan dilayani sebagai manusia,
yaitu mereka (perempuan) dan lelaki adalah makhluk Allah Swt. Selain itu, dalam
dunia umum, perempuan diberi kesempatan dan peluang untuk menimba ilmu dan
berpolitik. Hal ini dapat kita lihat pada masa Rasulullah Saw dan Umar bin
Al-Khatab Radiallahu Anhu, yang mana Nabi Saw mengajarkan Al-Quran kepada kaum
perempuan dan juga menerima baiat dari dua orang perempuan pada masa Baiat
Al-Aqabah II. Selain itu, pada masa Umar bin Al-Khattab Radiallahu Anhu ada seorang
perempuan yang menegur Umar karena ingin menetapkan jumlah mahar perkawinan. Mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” Partai politik ada untuk menjaga agar semua
hukum-hukum Allah tetap diterapkan secara keseluruhan oleh manusia dalam
kehidupannya sepanjang masa. Keberadaannya wajib bagi kaum muslimin,
baik di dunia ini diterapkan sistem Islam atau tidak. Jika sistem Islam telah
tegak, menjadi bagian dari parpol Islam adalah fardu kifayah, sedangkan jika
belum ada, maka hukumnya menjadi wajib bagi seluruh kaum
muslimin-termasuk para muslimah untuk menegakkan Syariat Islam bersama sebuah
partai.
52
Akan tetapi dari semua kesetaraan yang ada, kesamaan yang paling mendesak
yang perlu kita sadari adalah adanya persamaan hak dan kewajiban untuk bertakwa
kepada Allah Swt, Allah Swt berfirman :
”Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam.”53
Allah Swt tidak membedakan kemuliaan seseorang berdasarkan jenis
kelaminnya tetapi menjadikan ketakwaan sebagai tolok ukur atau ‘standard’
kemuliaan seseorang. Jadi, inilah persamaan yang semestinya para permpuan
perjuangkan. Persamaan untuk menerapkan syariat Islam, untuk menjadi manusia
yang bertakwa, serta manusia yang mulia di dunia dan akhirat. Justru, seandainya
wujud perbedaan peranan dan cara mengatur urusan perempuan dalam Islam, itu
bukanlah suatu masalah karena yang menentukannya adalah Sang Pencipta lelaki dan
perempuan yaitu Allah Swt. Jadi, apa pun peranan yang Allah Swt berikan, pasti akan
mendapatkan pahala di sisi-Nya.
54
F.6. Defenisi Konsep
Defenisi konsep adalah kata-kata yang merupakan unsur-unsur umum abstrak
yang ditarik dari berbagai fenomena berbeda. Definisi konsep dalam penelitian ini
adalah:
1. Perilaku Pemilih
Perilaku pemilih adalah tingkah laku individu dalam pemungutan suara pada
kegiatan pemilu.
2. Perempuan Islam
Perempuan Islam adalah seorang individu berjenis kelamin perempuan dan
memeluk agama Islam yang dapat ditandai melalui Kartu Tanda Penduduk
(KTP).
53
QS. Ali-Imran :102
54
F.7. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah penjelasan bagaimana variabel-variabel akan
diukur secara empiris. Adapun yang menjadi definisi operasional pada penelitian ini
ialah:
1. Perilaku Pemilih
a. Pendekatan sosiologis
Pendekatan sosiologis memiliki indikator seperti pendidikan, agama,
dan pekerjaan.
b. Pendekatan psikologis
Pendekatan psikologis memiliki indikator seperti kedekatan emosional
dengan kandidat dan keterlibatan dengan partai pendukung kandidat.
c. Pendekatan rasional
Pendekatan rasional memiliki indikator seperti kepercayaan terhadap
visi dan misi yang ditawarkan kandidat, adanya unsur materi/jabatan
yang diperoleh jika memilih kandidat, dan rekam jejak dari kandidat.
2. Perempuan Islam
Indikator perempuan Islam adalah:
a. Berjenis kelamin perempuan.
b. Memeluk agama Islam ditandai melalui Kartu Tanda Penduduk
G. Metodologi Penelitian
G.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian korelasional, yaitu
penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antar variabel, dan
dianalisa secara kuantitatif dengan menggunakan rumus statistik.55
G.2. Lokasi Penelitian
Untuk mendapatkan informasi yang mencakup masalah maka saya melakukan
studi lapangan pada lokasi penelitian di Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur
Kota Medan.
G.3. Populasi dan Sampel
G.3.1. Populasi
Populasi penelitian adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang
ciri-cirinya dapat diduga dan paling sedikit mempunyai sifat yang sama. Populasi
penelitian ini adalah seluruh Perempuan Islam yang terdaftar dalam Daftar Pemilih
Tetap (DPT) di Kelurahan Perintis Kecamatan Medan Timur pada Pemilihan
Walikota Medan 2010 di Kota Medan sebanyak 1.557 orang.
G.3.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang nantinya akan digunakan sebagai
responden penelitian. Dalam menentukan jumlah sampel dapat digunakan rumus
Taro Yamane.56dengan presisi 10%, yakni:
55
Suharsimi Arikunto. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta 2005, hlm. 326.
56
Di mana :
n : Jumlah sampel
N : Jumlah populasi
d : Presisi 10% dengan derajat kepercayaan 90%
Berdasarkan rumusan di atas, maka dapat diketahui bahwa jumlah sampel dari
penelitian ini dengan total perempuan Islamnya adalah :
n = 93,96 responden (94 orang responden)
Berdasarkan pendapat diatas, maka besar sampel yang diambil dalam
penelitian ini adalah 94 responden.
G.4 Teknik Penarikan Sampling
Penelitian ini dalam melakukan penarikan sampel menggunakan teknik
G.5 Data dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini saya menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu
ada dua jenis data yang saya peroleh untuk dapat menyempurnakan argumentasi serta
teori dalam penelitian ini.
1. Data Primer
Data primer diperoleh dari penelitian ke lapangan untuk mengumpulkan data
melalui:
a. Penyebaran kuisioner, yaitu alat mengumpulkan data dengan
menyebarkan kuisioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang harus
dijawab oleh responden. Kuesioner yang digunakan adalah kuisioner
tertutup sehingga responden hanya memberi jawaban sesuai pilihan
jawaban yang disediakan.
b. Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara memberikan pertanyaan
langsung kepada responden guna memperoleh keterangan dalam
menyimpulkan data yang terkumpul.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dengan metode penelitian keperpustakaan (Library research methods) yaitu dengan membuka, mencatat, mengutip data dari buku-buku, majalah, surat kabar, dan literatur yang berhubungan dengan judul
skripsi.
G.6 Teknik Analisa Data
Teknik analisa data pada penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif,
sehingga nantinya peneliti dapat mendeskripsikan informasi dan data yang diperoleh
kemudian ditabulasikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan dianalisa maka
akan ditarik kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas dan lebih terperinci serta
untuk mempermudah isi, maka penelitian ini terdiri kedalam 4 (empat) bab, yakni :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini menguraikan dan menjelaskan mengenai latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka
teori, metodologi penelitian serta sistematika penulisan yang
digunakan peneliti dalam penelitiannya.
BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Dalam bab ini menggambarkan segala sesuatu mengenai objek
penelitian yaitu gambaran umum wilayah Kelurahan Perintis yang
melihat dari geografis dan luas wilayah, komposisi penduduk,
perekonomian masyarakat, sarana dan prasarana serta struktur
organisasi dan personalia di Kecamatan yang menjadi lokasi peneliti
melakukan penelitian. Dalam bab ini dijelaskan secara rinci demografi
dan kondisi penelitian oleh peneliti.
BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA
Bab ini nantinya akan berisikan tentang penyajian data dan fakta yang
diperoleh dari lapangan dan juga akan menyajikan pembahasan dan
BAB IV : PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan yang
diperoleh dari hasil analisis data pada bab-bab sebelumnya serta berisi