• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - Perilaku Perempuan Islam Pemilih Pada Pemilukada Putaran II Kota Medan 2010 (Studi Kasus: Kemenangan Rahudman Harahap dan Dzulmi Eldin di Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - Perilaku Perempuan Islam Pemilih Pada Pemilukada Putaran II Kota Medan 2010 (Studi Kasus: Kemenangan Rahudman Harahap dan Dzulmi Eldin di Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur)"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses

pembuatan kebijakan dan pelaksanaan keputusan politik. Dimana terdapat interaksi

antara pemerintah dan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antara kelompok

dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan

penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Perilaku

politik merupakan salah satu aspek dari perilaku secara umum karena disamping

perilaku politik masih ada perilaku yang lain seperti perilaku ekonomi, perilaku

budaya, perilaku keagamaan dan sebagainya. Dalam hal ini dapat dikatakan perilaku

politik merupakan perilaku yang menyangkut persoalan politik.1

Pembahasan mengenai perilaku bisa saja terbatas pada perilaku perorangan

saja, tetapi disisi lain dapat juga mencakup kesatuan-kesatuan yang lebih besar seperti

organisasi kemasyarakatan, kelompok elit, gerakan nasional, atau suatu masyarakat

politik. Pendekatan perilaku tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai

kerangka bagi kegiatan manusia. Jika penganut pendekatan perilaku mempelajari

parlemen, maka yang dibahas antara lain perilaku anggota parlemen seperti pola

pemberian suaranya (voting behavior) terhadap rancangan undang-undang tertentu (apakah pro atau anti, dan mengapa demikian), pidato-pidatonya, cara berinteraksi

dengan teman sejawat, kegiatan lobbying, dan latar belakang sosialnya.2

Dalam perilaku politik ketika ruang bertarung dibuka, maka bagaimana cara

menarik perhatian dan mendapatkan suara pemilih menjadi suatu hal yang signifikan.

Karenanya mengenal perilaku dan sosio kultur pemilih adalah hal yang pasti dan

harus dilakukan jika ingin memenangkan pertarungan. Perilaku politik dirumuskan

1

Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, Semarang : IKIP Semarang Press, 1995, hlm. 2.

2

(2)

sebagai kegiatan yang berkenan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan

kekuasaan politik. Keikutsertaan seseorang dalam hal ini sebagai warga negara biasa

maupun sebagai pengambil keputusan.3

Dilihat dari kegiatannya, partisipasi politik dapat dibedakan menjadi

partisipasi politik aktif dan partisipasi politik pasif. Partisipasi politik aktif dapat

dilakukan melalui pengajuan alternatif mengenai kebijakan umum menyangkut kritik,

membayar pajak, dan sebagainya. Partisipasi politik pasif ditunjukkan melalui

kegiatan yang mencerminkan ketaatan dan penerimaan atas hal-hal yang telah

menjadi keputusan pemerintah. Partisipasi aktif lebih berorientasi pada segi masukan

dan keluaran dari suatu sistem politik. Sedangkan, orientasi partisipasi pasif hanya

pada aspek keluaran dari sistem politik. Di samping itu, terdapat sejumlah warga

negara tidak menunjukkan partisipasinya baik aktif maupun pasif karena beranggapan

bahwa sistem politik yang ada tidak memenuhi harapan mereka. Kelompok itu biasa

disebut sebagai golongan putih (golput).

Dalam struktur kehidupan bernegara, perempuan sebagai warga negara biasa

dalam hal ini ikut berpartisipasi dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan

politik. Partisipasi perempuan sangatlah penting karena teori demokrasi menyebutkan

bahwa perlunya partisipasi politik masyarakat pada dasarnya disebabkan bahwa

masyarakat tersebut sangat mengetahui apa yang mereka kehendaki.4

Berdasarkan fakta keikutsertaan perempuan dalam pemilihan umum tahun

1955, pada masa Orde Lama, jumlah perempuan di DPR mencapai 17 orang, empat

diantaranya dari organisasi Gerwani dan lima dari Muslimat NU. Pemilihan umum Secara nasional

perempuan sebenarnya adalah bagian masyarakat yang lebih besar jika dibandingkan

dengan laki-laki, namun perhatian dan pembicaraan tentang masalah-masalah

perempuan masih sedikit atau terbatas. Persoalan politik dipahami sangat sempit

yaitu masalah-masalah yang berhubungan dengan kekuasaan publik, terutama

kekuasaan di tingkat elit dan cenderung mengesampingkan persoalan perempuan.

3

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Widya Saran, 1992, hlm. 131.

4

(3)

pertama dinilai sebagai demokratis, dengan partisipasi perempuan dalam politik

didasarkan pada kemampuan mereka sebagai pemimpin dari unit-unit yang ada dalam

organisasi-organisasi partai.5

Berbeda dengan periode Orde Lama (Era Soekarno), pada masa Orde Baru

(era Soeharto) dengan konsep partai mayoritas tunggal, representasi perempuan

dalam lembaga legislatif dan dalam institusi-institusi kenegaraan, ditetapkan oleh

para pemimpin partai di tingkat pusat. Akibatnya, sebagian perempuan yang

menempati posisi penting memiliki hubungan keluarga/kekerabatan dengan para

pejabat dan pemegang kekuasaan di tingkat pusat. Hal ini dimungkinkan karena

dalam sistem pemilu proporsional pemilih tidak memilih kandidat (orang), tetapi

simbol partai, untuk berbagai tingkatan pemerintahan, yaitu tingkat kabupaten,

propinsi dan nasional. Akibatnya, sebagian dari mereka tidak melewati tahapan dalam

proses pencalonan/pemilihan, dan mungkin tidak memiliki kemampuan

mengartikulasikan kepentingan konstituennya.

Dalam konteks ketidakadilan gender, maka secara terstruktur, perempuan

akan selalu menjadi korban. Ideologi patriarkhi sangat melekat dalam kehidupan

sosial kemasyarakatan. Kata patriarkhi secara haraffiah berarti aturan (rule) bapak atau “patriarkh” dan pada mulanya digunakan untuk menunjukkan jenis tertentu

rumah tangga besar (large household). Patriarkhi yang meliputi perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak dan pembantu rumah tangga yang kesemuanya berada di

bawah aturan laki-laki yang dominan ini. Patriarkhi adalah istilah yang dipakai untuk

menggambarkan sistem sosial dimana kaum laki-laki sebagai kelompok dominan

yang mengendalikan kaum perempuan.6

5

Pada akhirnya, sistem yang cenderung

patriarkhi menempatkan laki-laki dalam posisi dominan, dan juga mempengaruhi

pandangan negara dan masyarakat bahwa arena politik tidak sesuai dengan stereotipe

perempuan yang halus, lemah lembut, penyabar, dan jauh dari kompetisi.

tanggal 17 Juni 2012, pukul. 17:30 Wib.

6

(4)

Dalam pandangan Islam, perempuan ditempatkan sejajar dengan laki-laki.

Dimana perempuan dan laki-laki memiliki nilai manusiawi dan nilai amal yang sama

dengan hak dan kewajiban yang seimbang sesuai fitrah dan kodratnya

masing-masing. Dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, keduanya bagai sayap

kanan dan sayap kiri yang bisa terbang bersama sesuai dengan fungsi dan posisi

masing-masing dengan dibatasi oleh hukum dan ketentuan syariat Islam.7

“Wahai manusia, Sungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Penyayang.”

Perempuan

Islam harus memiliki kesadaran dan pengertian politik agar aktif terlibat dalam

kehidupan politik, salah satu caranya adalah dengan ikut berpartisipasi dalam

pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah, dan pemilihan presiden. Allah

Swt berfirman:

8

Dalam skripsi ini saya lebih memfokuskan penelitian terhadap perilaku

pemilih perempuan terkhusus perempuan Islam karena menurut saya perempuan

Islam memiliki keunikan tersendiri dimana ajaran agama Islam pada dasarnya

menempatkan posisi mereka dengan sangat baik yaitu mereka memiliki kesetaraan

dengan laki-laki. Namun disisi lain, sistem sosial yang cenderung patriarkhi mengikis

kesempatan perempuan untuk terlibat aktif dalam kegiatan politik. Dimana seringkali

pilihan perempuan dipengaruhi oleh suami maupun pihak keluarga.

Dalam penelitian ini, peneliti memilih Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan

Timur Kota Medan karena sangat relevan dengan penelitian yang dilakukan. Secara

umum daftar pemilih yang terdaftar di Kecamatan Medan Timur Kota Medan

berjumlah 140.633 orang. Terdiri dari 70.512 laki-laki dan 70.121 perempuan.9

7

St. Rogayah Buchorie, Wanita Islam: Sejarah Perjuangan dan Peranannya, Bandung: Baitul Hikmah, 2006, hlm. 4.

8

QS. Al-Hujarat [49]: 13.

9

(5)

Kecamatan ini memiliki 11 Kelurahan, dimana salah satu kelurahan yang saya teliti

adalah Kelurahan Perintis dengan jumlah penduduk di kelurahan tersebut 5.768 orang

yang terdiri dari laki-laki berjumlah 2.672 orang dan perempuan berjumlah 3.096

orang. Kelurahan Perintis memiliki 9 tempat pemungutan suara (TPS). Karena

penelitian ini berfokus pada pemilih perempuan Islam maka berdasarkan data yang

peneliti peroleh di Kelurahan Perintis terdapat 1.557 perempuan Islam yang terdaftar

dalam DPT Kota Medan. Dan angka inilah yang akan digunakan peneliti untuk

mencari sampel dalam melengkapi penelitian ini.

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana perilaku

perempuan islam pemilih di Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur dalam

menetapkan pilihannya terhadap pasangan calon Rahudman Harahap-Dzulmi

Eldin pada Pemilukada Kota Medan 2010 ?”

C. Pembatasan Masalah

Dalam melakukan penelitian penulis perlu membuat pembatasan masalah tehadap

masalah yang akan dibahas, agar hasil yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan

yang diinginkan, dan agar penelitian ini mencapai tujuan dan tidak mempengaruhi

kefokusan peneliti dalam melakukan penelitian dilapangan. Pada penelitian ini

penulis hanya membahas masalah :

1. Bagaimana fenomena perilaku perempuan Islam pemilih di Kelurahan Perintis

dalam Pemilihan Walikota Medan putaran kedua tahun 2010 ?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pilihan perempuan Islam, di

Kelurahan Perintis Kecamatan Medan Timur pada Pemilukada Putaran II

(6)

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana perilaku perempuan Islam pemilih di Kelurahan

Perintis dalam Pemilihan Walikota Medan putaran kedua 2010.

2. Untuk mengetahui serta menganalisis apakah faktor yang paling dominan

yang mempengaruhi perempuan Islam dalam memberikan suaranya pada

calon Walikota Kota Medan pada Pemilihan Kepala Daerah putaran kedua di

Kelurahan Perintis Kota Medan 2010.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi pribadi, penelitian ini bermanfaat untuk mengasah kemampuan berpikir,

menulis, dan menganalisa fenomena politik yang terjadi di masyarakat.

2. Bagi lembaga, penelitian ini dapat menambah referensi ilmu pengetahuan dan

karya ilmiah di Departemen Ilmu Politik, khususnya mengenai perilaku

pemilih.

3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat menjadi sarana pendidikan politik

dan menjadi sarana pembelajaran dalam memberikan pilihan pada

pemilukada.

F. Kerangka Teori

F.1. Pendekatan Perilaku

Pendekatan perilaku sesungguhnya telah berkembang sejak awal di Negara

adikuasa seperti Amerika Serikat seusai Perang Dunia II. Adapun hal yang

menyebabkan pendekatan perilaku ini muncul karena pertama, sifat deskriptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena tidak relaistis dan sangat-sangat

berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Kedua, ada kekhawatiran bahwa ilmu politik jika tidak berkembang dengan pesat akan ketinggalan dengan ilmu-ilmu lainnya,

(7)

menjawab keraguan mengenai kemampuan para sarjana ilmu politik dalam

menerangkan fenomena ilmu politik.10

Secara teori pendekatan perilaku ini dipelopori oleh begitu banyak para ahli

politik dari negara Barat seperti David Easton, Heinz Eulou, Gabriel Almond, Robert

Dahl, dan David Apter. Akan tetapi dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan

teori-teori dari 3 (tiga) ahli seperti David Easteon, Heinz Eulou dan Gabriel Almond

karena ketiga ahli ini dirasa peneliti sudah cukup untuk memenuhi argumentasi dalam

penelitiannya.

Dalam sejarahnya David Easton merupakan pemikir politik yang tidak

terpisahkan dari teorinya tentang pendekatan perilaku. Dapat dikatakan bahwa

pemikir seperti David Easton mengemukakan bahwa pendekatan perilaku adalah

dalam sistem politik terdapat input (masukkan) yang berasal dari permintaan

(demand) dan dorongan (support) yang dipengaruhi oleh lingkungan (environment)

sehingga sistem politik tersebut menghasilkan sebuah keputusan (decision) dan aksi-aksi (actions) tetapi tetap ada pengaruh lingkungan didalamnya, sehingga secara nyata dikatakan bahwa dalam pendeketan perilaku sistem politi terbentuk tanpa harus

ada lembaga formal didalamnya tetapi yang terpenting ialah bagaimana membangun

dan membuata keputusan yang dapat menjadi suatu titik tolak dalam mempelajari

pola perilaku.11

Menurut Heinz Eulou pendekatan Perilaku Politik merupakan ilmu modern

yang sesungguhnya bukan hanya memenuhi kebutuhan dengan tindakan manusia

tetapi juga dengan proses-prosesnya seperti proses kognitif, efektif dan evealuasi.

Perilaku dalam bidang politik merujuk bukan hanya untuk aksi politik langsung atau

tidak langsung yang hanya diamati, tetapi juga kepada mereka komponen persepsi,

motivasi dan sikap perilaku yang membuat untuk identifikasi politik manusia,

permintaan dan sistem nya manfaat politik dan manfaat sistem politiknya serta nilai

dan tujuan.

10

Miriam, Budiardjo, Jakarta. Loc. Cit hlm. 74.

11

(8)

Heinz Eulou juga mengemukakam empat karakteristik pendekatan perilaku

seperti yang diberikan di bawah ini:

1. Berkonsentrasi pada analisis teoritis dan empiris dari perilaku

orang dan kelompok sosial tentang asal-usul serta, fungsi institusi

pemerintah dan politik seperti tradisional

2. Mengintegrasikan teori dan penelitian dalam kaitannya dengan

sosiologi-psikologi sosial dan antropologi budaya

3. Menekankan ketergantungan dari teori dan penelitian. Pertanyaan

teoritis harus dipelajari dari sudut pandang pengalaman dan

penelitian empiris harus diterapkan pada pertanyaan teoritis.

4. Mencoba untuk mengembangkan metodologi penelitian empiris

dan diberlakukannya metodologi ini untuk masalah politik yang

muncul dari perilaku individu.12

Begitupun menurut Gabriel Almond bahwa secara teori pendekatan perilaku

merupakan pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem sosial,

dan engara sebagai suatu sisem politik yang menjadi subsistem dari suatu sistem

sosial dalam suatu sistem, bagian-bagiannya saling berinteraksi, saling bergantungan,

dan semua bagian bekerja sama untuk menunjang terselenggaranya sistem itu. Sistem

mengalami stress dari lingkungan, tetapi berusaha mengatasinya dengan memelihara keseimbangan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Gabriel Almond

mengungkapkan bahwa seuma sistem mempunyai struktur (institusi atau lembaga),

dan unsur-unsur dari struktur ini menyelenggarakan beberapa fungsi. Funtsi ini

bergantung pada sistem dan juga bergantung pada fungsi-fungs lainnya, dan Gabriel

mengatakan bahwa pandangan ini disebut sebagai structural-functional.13

Salah satu pemikiran pokok dari pendekatan perilaku ialah bahwa tidak ada

gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak

12

R.C.Agarwal, Political Theory (Principles of Political Science), 2002, Rajendar Ravindra Printers (Pvt) : India. hlm. 37.

13

(9)

banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya,

lebih bermanfaat untuk mempelajari perilaku (behavior) manusia karena merupakan gejala yang benar-benar dapat diamati. Pembahasan mengenai perilaku bisa saja

terbatas pada perilaku perorangan saja, tetapi dapat juga mencakup kesatuan-kesatuan

yang lebih besar seperti organisasi kemasyarakatan, kelompok elit, gerakan nasional,

atau suatu masyarakat politik.

Pendekatan perilaku tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai titik

sentral atau sebagai aktor yang independen, tetapi hanya sebagai kerangka bagi

kegiatan manusia. Jika penganut Pendekatan Perilaku mempelajari parlemen, maka

yang dibahas antara lain perilaku anggota parlemen seperti pola pemberian suaranya

(voting behavior) terhadap rancangan undang-undang tertentu (apakah pro atau anti, dan mengapa demikian), pidato-pidatonya, giat tidaknya memprakarsai rancangan

undang-undang, cara berinteraksi dengan teman sejawat, kegiatan lobbying, dan latar belakang sosialnya.

Para ahli pada umumnya meneliti tidak hanya perilaku dan kegiatan menusia,

melainkan juga orientasi terhadap kegiatan tertentu seperti sikap, motivasi, persepsi,

evaluasi, tuntutan, harapan, dan sebagainya. Berdasarkan anggapan bahwa perilaku

politik hanya salah satu dari keseluruhan perilaku, maka pendekatan ini cenderung

untuk bersifat interdisipliner. Ia tidak saja mempelajari faktor pribadi, tetapi juga

faktor-faktor lainnya seperti sosiologis, psikologis, rasional.

Para penganut pendekatan ini tidak hanya mempelajari institusi-institusi,

tetapi juga manusia di dalamnya, seperti perilaku presiden dan anggota parlemen,

bagaimana mereka menjalankan tugas, dan bagaimana mereka memandang perilaku

mereka sendiri. Dalam rangka itu pula muncul penelitian mengenai rekrutmen politik,

kepemimpinan, masalah keterwakilan, sosialisasi politik, struktur kekuasaan dalam

suatu komunitas, kebudayaan politik, konsensus dan konflik, komposisi sosial dan

elite politik. Salah satu ciri khas pendekatan perilaku ini ialah pandangan bahwa

(10)

politik yang menjadi subsistem dari sistem sosial. Dalam suatu sistem,

bagian-bagiannya saling berinteraksi, saling bergantungan, dan semua bagian bekerja sama

untuk menunjang terselenggaranya sistem itu.14

F.1.1. Perilaku Politik

Menurut Jack C. Plato dkk: 15

“Perilaku politik adalah tindakan manusia yang berkaitan dengan proses memerintah. Yang termasuk perilaku politik adalah tanggapan-tanggapan internal (pikiran, persepsi, sikap dan keyakinan) dan juga tindakan-tindakan yang nampak (pemungutan suara, gerak protes, lobbying, kampanye dan demokrasi)”.

Yang dimaksud dengan perilaku politik adalah tindakan atau kegiatan

seseorang atau kelompok dalam kegiatan politik. Ramlan Surbakti mengemukakan

bahwa perilaku politik adalah sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses

pembuatan dan keputusan politik. Perilaku politik merupakan salah unsur atau aspek

perilaku secara umum, disamping perilaku politik, masih terdapat perilaku-perilaku

lain seperti perilaku organisasi, perilaku budaya, perilaku konsumen/ekonomi,

perilaku keagamaan dan lain sebagainya16

Perilaku politik meliputi tanggapan internal seperti persepsi, sikap, orientasi

dan keyakinan serta tindakan-tindakan nyata seperti pemberian suara, protes, lobi dan

sebagainya. Persepsi politik berkaitan dengan gambaran suatu obyek tertentu, baik

mengenai keterangan, informasi dari sesuatu hal, maupun gambaran tentang obyek

atau situasi politik dengan cara tertentu Sedangkan sikap politik yang dikemukan oleh

Fadillah Putra adalah merupakan hubungan atau pertalian diantara keyakinan yang

telah melekat dan mendorong seseorang untuk menanggapi suatu obyek atau situasi

politik dengan cara tertentu. Sikap dan perilaku masyarakat dipengaruhi oleh proses .

14

Miriam Budirardjo, Op.Cit, hlm. 74-76.

15

Jack C. Plato dkk, dalam Moh. Ridwan,1997 (skripsi Maria Bellina Silitonga,2011,USU), Perilaku Politik NU Pasca Pernyataan Kembali Ke Khittah1992,

16

(11)

dan peristiwa historis masa lalu dan merupakan kesinambungan yang dinamis.17

Secara bebas perilaku politik dapat diartikan sebagai keseluruhan tingkah laku

politik para aktor politik dan warga negara yang dalam manifestasi konkritnya telah

saling memiliki hubungan dengan kultur politik. Sebagaimana dijelaskan bahwa

lingkup budaya politik meliputi pola orientasi individu yang diperoleh dari

pengetahuan yang luas dan sempitnya orientasinya dipengaruhi oleh perasaan

keterlibatan, keterlekatan maupun penolakan, serta orientasinya yang bersifat menilai

terhadap obyek dan peristiwa politik.

Peristiwa atau kejadian politik secara umum maupun yang menimpa pada individu

atau kelompok masyarakat, baik yang menyangkut sistem politik atau ketidak-

stabilan politik, janji politik dari calon pemimpin atau calon wakil rakyat yang tidak

pernah ditepati dapat mempengaruhi perilaku politik masyarakat.

18

Jika dikaitkan dengan Pemilu, warga negara biasa memiliki andil dalam

proses pembuatan keputusan yang berpengaruh terhadap masa depan negaranya dan

warga negara lainnya. Perilaku politik dalam pemilu selanjutnya disebut perilaku

memilih. Karena warga negara biasa memiliki hak untuk memilih dan hak untuk tidak

menjatuhkan pilihan politiknya.

Dalam melakukan kajian terhadap perilaku politik dapat dipilih tiga

kemungkinan unit analisis, yakni individu aktor politik, agregasi politik, dan tipologi

kepribadian politik.19 Warga negara biasa, aktifis politik elit politik, dan aktor politik itu sendiri merupakan model perilaku dengan unit analisis individu aktor politik.

Agregasi adalah individu aktor politik secara kolektif, seperti kelompok kepentingan

dan lembaga-lembaga pemerintahan dan tipologi kepribadian politik adalah tipe-tipe

kepribadian pemimpin politik yang bersifat otoriter dan demokrasi.

17

18

Arifin Rahman , Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC, 1998, hlm. 50.

19

(12)

Terdapat empat faktor yang mempengaruhi perilaku politik yakni :

Pertama, Lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan media massa.

Kedua, Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor, seperti keluarga, agama, sekolah, dan kelompok

pergaulan. Dari sini aktor mengalami sosialisasi dan internalisasi nilai dan norma

masyarakat, termasuk nilai dan norma kehidupan bernegara dan

pengalaman-pengalaman hidup pada umumnya.

Ketiga, Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Dalam hal ini terdapat tiga basis fungsional sikap, yaitu kepentingan, penyesuaian diri,

eksternalisasi dan pertahanan diri. Basis pertama merupakan sikap yang menjadi

fungsi kepentingan. Artinya, penilaian seseorang terhadap suatu obyek ditentukan

oleh minat dan kebutuhan atas obyek tertentu. Basis kedua merupakan sikap yang

menjadi fungsi penyesuaian diri. Artinya, penilaian terhadap suatu obyek dipengaruhi

oleh keinginan untuk sesuai dan selaras dengan obyek tersebut. Basis yang ketiga

merupakan sikap yang menjadi fungsi eksternalisasi diri dan pertahanan diri. Artinya,

penilaian seseorang terhadap suatu obyek dipengaruhi oleh keinginan untuk

mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang berwujud mekanisme pertahanan

diri dan eksternalisasi diri, seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi, dan identifikasi

dengan aggressor.

Keempat, Faktor lingkungan sosial politik langsung berupa situasi, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan sesuatu

kegiatan, seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruangan, kehadiran orang lain,

suasana kelompok, dan ancaman dengan segala bentuknya. Faktor sosial politik tak

langsung mempengaruhi lingkungan sosial politik langsung yang berupa sosialisasi,

internalisasi dan politisasi. Selain itu, mempengaruhi lingkungan sosial politik

langsung berupa situasi. Perilaku seorang aktor akan dipengaruhi secara langsung

(13)

terhadap objek kegiatan itu, dan situasi ketika kegiatan itu hendak dilakukan.

Hubungan kedua aktor ini terhadap perilaku akan bersifat zero sum, apabila faktor sikap yang menonjol maka faktor situasi kurang mengedepan, sebaliknya sikap

kurang menonjol.20

Berbicara tentang perilaku politik, satu hal yang perlu dibahas adalah apa

yang disebut dengan sikap politik. Walaupun antara sikap dan perilaku terdapat

kaitan yang sangat erat, keduanya perlu dibedakan. Sikap merupakan kesiapan untuk

beraksi terhadap objek lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek

tersebut.21

Berangkat dari pemahaman sifat seperti yang telah diuraikan diatas, sikap

politik dapat dinyatakan sebagai kesiapan untuk beraksi terhadap objek tertentu yang

bersifat politik. Dengan munculnya sikap tertentu, akan dapat diperkirakan perilaku

politik apa yang sekiranya akan muncul. Ketidaksetujuan terhadap kebijakan

pemerintah misalnya menaikkan pajak pendapatan, merupakan suatu sikap politik.

Dengan adanya ketidaksetujuan tersebut, perilaku yang diperkirakan akan muncul

adalah peninjauan pernyataan keberatan, protes, atau unjuk rasa. Walaupun dalam

kenyataan, bisa saja perilaku semacam itu muncul, akan tetapi sekurang-kurangnya

ada kecenderungan menuju kearah tersebut dan merupakan suatu alasan yang tepat

dalam faktor dalam menggunakan hak pilih dalam suatu pemilihan

faktor-faktor diatas akan menjadi alasan yang tepat jika seseorang akan melakukan suatu

perbuatan yang memang harus diletarbelakangi oleh sesuatu yang membuat seseorang

dalam berprilaku.

Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi baru

merupakan kecenderungan. Dari suatu sikap tertentu dapat diperkirakan tindakan apa

yang akan dilakukan berkenaan dengan objek yang dimaksud.

Bentuk keikutsertaan merupakan proses yang melibatkan seluruh warga

negara baik laki-laki maupun perempuan termasuk melibatkan pihak-pihak dari

20

Arifin Rahman, Op. Cit, hlm. 124-125.

21

(14)

kelompok sosial manapun. Dalam kelompok-kelompok sosial tersebut terdapat

seperangkat norma dan nilai yang berlaku dan tersosialisasikan melalui proses yang

panjang. Hal inilah yang nantinya berpengaruh terhadap preferansi dan perilaku

politik.

F.2 Perilaku Pemilih

Dalam mengetahui tingkah laku pemilih harus dilakukan beberapa pendekatan

terkait dengan perilaku politik seseorang dalam menggunakan hak pilihnya karena

pendekatan tersebut akan menentukan bagaimana seseorang dalam menentukan

pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok. Secara umum teori tentang

perilaku memilih dikategorikan kedalam dua kubu yaitu ; Mazhab Colombia dan Mazhab Michigan. Mazhab Colombia menekankan pada faktor sosiologis dalam membentuk perilaku masyarakat dalam menentukan pilihan di pemilu. Model ini

melihat masyarakat sebagai satu kesatuan kelompok yang bersifat vertikal dari

tingkat yang terbawah hingga yang teratas. Dalam kegiatannya Affan Gafar yang

merupakan penganut pendekatan ini mengungkapkan bahwa masyarakat terstruktur

oleh norma-norma dasar sosial yang berdasarkan atas pengelompokan sosiologis

seperti agama, kelas (status sosial), pekerjaan, umur, jenis kelamin dianggap

mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku memilih.

Oleh karena itu preferensi pilihan terhadap suatu partai politik merupakan suatu

produk dari karakteristik sosial individu yang bersangkutan22

Para ahli ilmu politik menyebutkan bahwa tingkah laku individu dalam

pemugutan suara pada kegiatan pemilu disebut dengan konsep perilaku pemilih pada

kegiatan pemilu disebut dengan konsep perilaku pemilih (Voting Behavior). Menurut

Harold F. Gosnell, Pemungutan suara adalah proses dimana seorang anggota masyarakat dari suatu kelompok menyatakan pendapatnya dan dengan demikian ikut

serta dalam menentukan konsensus diantara anggota-anggota kelompok itu dalam

22

(15)

pemilihan seorang pejabat maupun keputusan yang diusulkan.23

Perilaku pemilih dan partisipasi politik merupakan dua hal tidak dapat

dipisahkan. Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Salah satu

wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan pemilihan yang mencakup suara,

sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari

dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk

mempengaruhi hasil proses pemilihan.

Dengan demikian,

konsep voting berkaitan dengan pemberian suara dari seorang individu dalam rangka

ikut berpartisipasi politik.

24

Dalam menganalisis perilaku pemilih dan untuk menjelaskan

pertimbangan-pertimbangan yang digunakan sebagai alasan oleh para pemilih dalam menjatuhkan

pilihannya, dikenal dua macam pendekatan yaitu, Mahzab Columbia yang

menggunakan pendekatan sosiologis dan Mahzab Michigan yang dikenal dengan

pendekatan Psikologis.25 Selain itu terdapat pendekatan rational choice yang melihat perilaku seseorang melalui kalkulasi untung rugi yang dilihat oleh individu tersebut.26

1. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan ini biasa juga disebut dengan mazhab Colombia. Cikal bakalnya

berasal dari Eropa, model ini kemudian dikembangkan oleh para sosiolog Amerika

Serikat yang mempunyai latar belakang Eropa. Menurut mazhab ini, pendekatan

sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan

usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang keluarga, kegiatan-kegiatan

23

Harol. F. Gosnell, dalam Edwin R.A Salignan dan Alvin Johnson, Encyclopedia of Social Science.

Vol. 15. New York The Macmillan Co 1934, hlm. 287.

24

Jack C. plano, Robert E. Ringgs dan Helenan S. Robin, Kamus Analisa Politik, Jakarta. C.V. Rajawali Press, 1985, hlm. 280.

25

Afan Gaffar, Javanese Voters: A Case Study of Election under a Hegemonic Party System.

Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1992, hlm. 4-9.

26

(16)

dalam kegiatan formal dan informal lainnya memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap pembentukan pilihan-pilihan politik.27

Interaksi yang terjadi di dalam kelompok-kelompok sosial seperti usia, jenis

kelamin, agama, pekerjaan dan sebagainya akan menjadi pengetahuan yang akan

membangun preferensi dan perilaku memilih seseorang sehingga kemudian akan

mempengaruhi pilihan politiknya.

Bonne dan Ranney membagi tipe utama pengelompokkan sosial seperti berikut:28

1. Kelompok Kategorial yang terdiri dari orang-orang yang memiliki satu atau beberapa karakter khas, tapi tidak mengorganisasikan aktifitas politik dan tidak menyadari identifikasi dan tujuan kelompoknya. Pengelompokan kategorial terbentuk berdasarkan perbedaan jenis kelamin, perbedaan usia, dan perbedaan pendidikan.

2. Kelompok Sekunder yang terdiri dari orang-orang yang memiliki ciri yang sama yang menyadari tujuan dan identifikasi kelompoknya dan bahkan sebagian membentuk organisasi untuk memajukan kepentingan kelompoknya. Kelompok skunder mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan kelompok kategorial. Kelompok sekunder dapat diklasifikasikan seperti : pekerjaan, status sosial, ekonomi, dan kelas sosial, dan kelompok-kelompok etnis yang meliputi ras, agama, dan daerah asal.

3. Kelompok Primer yang terdiri dari orang-orang yang sering dan secara teratur melakukan kontak dan interaksi langsung. Kelompok primer memiliki pengaruh yang paling kuat dan langsung terhadap perilaku politik seseorang. Yang termasuk kelompok primer adalah pasangan suami-istri, orang tua dan anak-anak, dan kelompok bermain.

2. Pendekatan Psikologis

Pendekatan ini juga disebut sebagai mazhab Michigan dan pelopor utama

mazhab ini adalah August Cambell. Munculnya pendekatan ini merupakan reaksi atas

ketidakpuasan terhadap pendekatan sosiologis.29

27

Adman Nursal, Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum, 2004, hlm. 55.

Pendekatan sosiologis dianggap

28

Ibid, hlm. 56.

29

(17)

sangat sulit diukur, tidak jelasnya indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama

dan sebagainya merupakan sesuatu hal yang sangat sulit diukur. Disamping itu secara

materi diungkapkan bahwa variabel-variabel sosiologis seperti kelompok primer dan

sekunder memberikan pengaruh pada perilaku pemilih dan pilihan politik. Tidaklah

variabel-variabel itu dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih dan pilihan politik

jika ada proses sosialisasi. Oleh sebab itu pada pendekatan ini, sosialisasilah yang

menentukan perilaku memilih dan orientasi pada pilihan-pilihan politik seseorang

bukan karakter sosiologis.30

Dalam pendekatan ini, sikaplah yang paling menentukan dan hal itu berawal

dari informasi-informasi yang diterima seseorang. Menurut Asfar, sikap tidaklah

terjadi secara begitu saja melainkan melalui proses yang panjang, yang dimulai dari

kanak-kanak saat seseorang pertama kali mendapat pengaruh politik dari orangtua

atau kerabat dekat.31

Seperti yang telah diungkapkan oleh Nursal dan Asfar sebelumnya, bahwa

proses sosialisasi yang panjang akan membuat seseorang untuk membentuk ikatan

yang kuat dengan kelompok sosial ataupun organisasi kemasyarakatan. Sehingga hal

ini menjadi sesuatu yang sangat berpengaruh terhadap pilihan-pilihan politiknya

kelak. Pemilih perempuan yang berada dalam suatu kelompok sosial tertentu akan

menerima proses internalisasi berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam kelompok sosial

tersebut. Perilakunya secara umum akan berkaitan dengan nilai dan kebiasaan yang

secara psikologi sangat mempengaruhi perempuan.

4. Pendekatan Rasional

Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik

pemilih, yaitu orientasi isu dan orientasi kandidat. Orientasi isu berpusat pada

pertanyaan : apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan-persoalan

30

Ibid, hlm. 141.

31

(18)

yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara ? Sementara orientasi kandidat

mengacu kepada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa memperdulikan

label partainya. Meski demikian, katertarikan para pemilih terhadap isu-isu yang

ditawarkan oleh partai ataupun kandidat bersifat situasional.32

Pendekatan rasional mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa para pemilih

benar-benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi

program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, perinsip,

pengetahuan dan informasi yang cukup.

F.2.1. Konfigurasi Pemilih

Perilaku pemilih merupakan sebuah studi yang memusatkan pemilih sebagai

objek dari masalah yang diteliti. Berikut ini merupakan empat konfigurasi pemilih.33

1. Pemilih Rasional

Pemilih rasional adalah pemilih yang lebih mengutamakan kemampuan partai

politik atau calon kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau flatform

partai bisa dianalisis dalam dua hal: (1) kinerja partai dimasa lampau dan tawaran

program untuk menyelesaikan permasalahan nasional yang ada. Pemilih tidak hanya

melihat program kerja partai yang berorientasi ke masa depan tetapi juga

menganalisis apa saja yang telah dilakukan oleh partai tersebut dimasa lampau. (2)

kinerja partai atau calon kontestan biasanya termanisfestasikan pada reputasi dan citra

(image) yang berkembang di masyarakat.

Pemilih rasional memiliki ciri khas yaitu tidak begitu mementingkan ikatan

ideologi suatu partai politik atau calon yang diusungnya. Hal yang penting bagi

32

Asep Ridwan, Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004 di Indonesia, Jurnal Demokrasi dan Ham. Volume 4 No 1. Jakarta 2004, hlm. 38-39.

33

(19)

pemilih jenis ini adalah apa yang bisa dan telah dilakukan oleh suatu partai maupun

calon yang diusungnya.

2. Pemilih Kritis

Untuk menjadi pemilih kritis, seseorang melalui dua hal yaitu: Pertama, Jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada

partai politik mana mereka akan berpihak dan selanjutnya akan mengkritisi kebijakan

yang akan atau yang telah dilakukan. Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya, pemilih tertarik dulu dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partai/kontestan baru

kemudian mencoba untuk memahami nilai-nilai yang melatarbelakangi pembuatan

sebuah kebijakan. Pemilih jenis ini adalah pemilih kritis artinya mereka akan selalu

menganalisis kaitan antara ideologi partai dengan kebijakan yang akan dibuat.

3. Pemilih Tradisional

Jenis pemilih ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak

terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai suatu yang

penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan

kedekatan sosial-budayanya, nilai, asal-usul, paham, dan agama sebagai ukuran untuk

memilih suatu partai politik maupun seorang kontestan. Biasanya pemilih jenis ini

lebih mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah

partai politik atau seorang kontestan. Salah satu karakteristik mendasar jenis pemilih

ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam memegang

nilai serta paham yang dianut. Pemilih jenis ini sangat mudah untuk dimobilisasi

(20)

4. Pemilih Skeptis

Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi terhadap

sebuah partai politik atau seorang kontestan. Pemilih ini juga tidak menjadikan

sebuah kebijakan menjadi suatu hal yang penting. Kalaupun mereka berpartisipasi

dalam pemilu, mereka berkeyakinan bahwa siapapun yang memenangkan pemilu,

hasilnya akan sama saja dan tidak ada perubahan yang berarti yang dapat terjadi bagi

daerah, masyarakat, maupun negara.

Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para

kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian

memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini

dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah

kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang

kemudian termanifestasi dalam institusi politik seperti partai politik. Di samping itu,

pemilih merupakan bagian masyarakat luas yang bisa saja tidak menjadi konsituen

partai politik tertentu. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok, terdapat kelompok

masyarakat yang memang non-partisan dimana ideologi dan tujuan politik mereka

tidak dikatakan kepada suatu partai politik tertentu. Mereka menunggu sampai ada

suatu partai politik yang bisa menawarkan program kerja terbaik menurut mereka,

sehingga partai tersebutlah yang akan mereka pilih.34

Selain penjelasan diatas Firmanzah juga membagi 3 kelompok yang dianggap

sebagai faktor-faktor determinan pemilih yang menggunakan hak pilih dalam

menentukan pasangan calon yaitu :

1. Kondisi awal yang meliputi : keadaan sosial budaya pemilih, nilai

tradisional pemilih, level pendidikan, serta ekonomi pemilih. . Seperti

pada awal yang merupakan tolak ukur pemilih menggunakan hak pilihnya

yaitu dimulai dari kondisi awal, dalam hal ini yang akan berkaitan dengan

kondisi sosial budaya yaitu bagaimana pemilih tersebut dilihat dari

34

(21)

kondisi sekitar lingkungannya seperti tingkat pendidikan, kondisi

lingkungan sekitar, dan nilai-nilai dalam budaya pemilih dalam

menjatuhkan pilihannya terhadap kandidat yang mencalonkan ataupun

yang dicalonkan. Ekonomi juga dilihat sebagai kondisi awal pemilih

dalam menentukan pilihannya karena faktor ekonomi juga merupakan

salah satu alasan apa yang melaterbelakangi seorang pemilih menjatuhkan

pilihannya kepada calon tersebut. Dalam terjun kelapangan peneliti harus

melihat beberapa kondisi awal yang terkait dengan kuisioner yang akan

dibagikan.

2. Massa yang meliputi : data, informasi dan berita dari media masa, ulasan

ahli, permasalahan kini, serta perkembangan media dan trend situasi.

Setelah pada kondisi awal lalu peneliti menggunakan indikator media

massa dalam mengumpulkan data untuk dimasukkan kedalam kuisioner,

tidak dapat ditepiskan bahwa media massa juga mengambil alih dalam

memobilisasi suara pemilih, yang meliputi data, ataupun informasi yang

diperoleh pemilih seputar pemilihan kepala daerah dilingkungannya,

begitupun media juga terlibat dalam mobilisasi pemilih karena media juga

mengulas pendapat para ahli dalam mengemukakan pendapatnya terkait

dengan kondisi politik saat ini, bukan hanya itu saja media massa juga

merupakan indikator dalam melihat situasi dan permasalahan yang ada di

masyarakat yang di angkat kekondisi publik sehingga masyarakat juga

dapat dipengaruhi oleh pemberitaan oleh media massa baik media cetak,

elektronik ataupun media sosial lainnya.

3. Serta bagian terakhir yaitu partai politik/kontestan yang meliputi

performance record dan reputasi, marketing politik, serta program kerja dari kandidat yang mengikuti pemilihan calon kepala daerah. Dalam

(22)

mengusung calon juga tidak dapat terpisahkan dalam menentukan pilihan

pemilih, hal tersebut terlihat dari kondisi kontestan dalam mencalonkan

diri yaitu penampilannya, trek record (reputasi serta pengalamannya) dibidang politik, bagaimana proses marketing politik dalam hal ini untuk

dapat memperoleh suara dan mobilisasi diperlukan merketing politik,

yaitu manajemen untuk dapat memperoleh suara dari pemilih

sebanyak-banyaknya serta program kerja yang dapat diterima oleh semua

masyarakat tidak yang berlebihan dan yang dapat terjadi secara nyata

tanpa harus ada yang berlebihan dalam penyusunan program kerja. Hal

tersebut dapat mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya

terlihat dari iklan, baliho, ataupun spanduk yang dipasang dimana saja

sehingga masyarakat lebih mengenal calon yang ingin dipilih dalam

pemilihan kepala daerah.

Ketika pemilih menilai partai atau seorang kontestan dari kaca mata policy problem-solving maka yang terpenting bagi mereka adalah sejauh mana para kontestan mampu menawarkan program kerja atau solusi suatu permasalahan yang

ada. Sementara pemilih yang lebih mementingkan ikatan ideologi suatu partai atau

seorang kontestan akan lebih menekankan pada aspek-aspek subjektifitas seperti

kedekatan nilai, budaya, agama, moralitas, norma, emosi, dan psikografis. Semakin

dekat kesamaan partai politik atau calon kontestan, maka pemilih akan cenderung

memberikan suaranya ke partai dan kontestan tersebut.

Penjelasan bagian faktor-faktor determinan tersebut tergambar dalam bagan

dibawah ini :35

35

(23)

Bagan 1

Meskipun tampak relatif, pola pengelompokkan pemilih mencerminkan

kecenderungan saling terkait dan mempengaruhi. Lingkup pengelompokkan atau

segmentasi itu dapat didasarkan pada : 36

36

Agung Wibawanto,dkk. Memenangkan Hati dan Pikiran Rakyat. Yogyakarta : Pembaruan 2005, hlm. 24-26.

Pemilih

Ideologi Policy-problem-solving

(24)

1. Lingkup agama (keluarga)

Diantara beberapa jenis pengelompokan sosial lainnya, lingkup agama

merupakan salah satu faktor pembentukan perilaku memilih. Setiap orang

yang mengaku beragama akan mengidentifikasi dirinya sebagai bagian

dari kelompok agamanya dan pilihan politiknya biasanya disejalankan

dengan agama yang dianutnya. Misalnya pemilih yang beragama Islam

akan memiliki kecenderungan memilih kontestan beragama Islam juga.

2. Lingkup gender

Lingkup gender mengidentifikasikan bahwa perbedaan jenis kelamin

antara perempuan dan laki-laki turut mempengaruhi perbedaan perilaku

politik yang dilakukan.

3. Lingkup kelas sosial

Individu yang berasal dari kelas sosial yang berbeda biasanya memiliki

perilaku yang berbeda, hal ini disebabkan karena faktor ekonomi dan

pendidikan.

4. Lingkup geografi

Lingkup geografi berkaitan dengan pengelompokan pemilih berdasarkan

aspek geografi atau lingkungan.

5. Lingkup usia

Lingkup usia pada dasarnya mampu mengelompokkan individu. Dimana

usia seringkali mempengaruhi pilihan atau tindakan yang diambil oleh

seseorang dalam menjatuhkan pilihannya terhadap calon-calon kandidat

yang ikut dalam pemilihan. Ruang lingkup usia yang berdasarkan pada

(25)

6. Lingkup demografi

Lingkup demografi mengelompokkan masyarakat terkait dinamika

kependudukan meliputi ukuran, struktur, dan distribusi penduduk.

7. Lingkup psikografis

Lingkup psikografis dapat diartikan sebagai segmentasi pemilih

berdasarkan gaya hidup yaitu bagaimana pola hidup seseorang yang

diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya.

8. Lingkup perilaku

Lingkup perilaku adalah tindakan atau aktivitas manusia itu sendiri

sebagai respon terhadap sesuatu yang terjadi. Perilaku seseorang dapat

mempengaruhi perilaku individu lainnya.

F.3. Pengertian Perempuan

Para femenisme berpendapat bahwa ‘Wanita’ dalam kosakata jawa berarti

“Wani ditoto=berani ditata (oleh laki-laki). Sedangkan berkaitan dengan istilah

perempuan, dalam prasasti Gundasulli ditemukan bahwa Ia berasal dari serapan kata

‘Parpuanta’ yang artinta ‘dipertuan atau dihormati’ (empu = gelar kehormatan yang

berarti tuan). Oleh karena itu, kaum feminis tidak mau menggunakan istilah wanita,

tetapi lebih memilih istilah perempuan. Mereka memilih persepsi bahwa kata wanita

mengandung makna yang bias patriarhki. Mereka juga berpendapat bahwa pola hidup

perempuan lebih sempurna dari pada laki-laki, karena menurut pandang mereka:

“perempuan = laki-laki + kemampuan melahirkan dan menyusui”, artinya:

perempuan sebenarnya sama dengan laki-laki, tetapi perempuan diberikan potensi

untuk mengandung, dan menyusui anak, potensi ini tidak dimiliki oleh laki-laki.37

37

(26)

Perempuan adalah manusia, bahkan manusia yang agung. Ia adalah pendidik

masyarakat, yang dari pengasuhan perempuan lahirlah laki-laki. Mula-mula lahirlah

laki-laki dan perempuan yang sehat dari pengasuhan perempuan. Perempuan adalah

pendidik laki-laki. Oleh karena itu, kebahagiaan dan kesengsaraan suatu negeri

tergantung pada perempuan. Karena pendidikan yang benar akan mampu mencetak

manusia, dengan pendidikannya yang sehat maka ia akan memakmurkan negeri.

Pengasuhan perempuan merupakan jalan seluruh kebahagiaan, dan perempuan harus

menjadi jalan pertama seluruh kebahagiaan.

Perempuan adalah refleksi dari terwujudnya harapan menusia, dan ia adalah

pendidik kaum Hawa dan kaum Adam yang mulia. Dari pengasuhan perempuan,

laki-laki mampu mencapai ketinggian spiritual. Perempuan adalah buaian pendidikan

perempuan dan laki-laki yang agung.38

Di bawah pendidikan perempuan dan di bawah dekapannya, lahirlah laki-laki

yang pemberani. Sesungguhnya Al-Qur’an Al-Karim mendidik manusia, dan

perempuan juga mendidik manusia. Tugas perempuan adalah mendidik manusia.

Seandainya bangsa dihilangkan dari perempuan yang memiliki kemampuan mendidik

manusia, niscaya bangsa itu akan kalah dan menuju kehancuran serta kehinaan.

F.4. Perempuan Dalam Pandangan Islam

Dalam Islam sebagaimana halnya yang pernah di sabdahkan oleh Rasullullah

Saw bahwa ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah secara etimologis,

kata-kata muslim itu mencakup laki-laki dan perempuan. Islam mempersiapkan agar

perempuan dapat berperan dalam segala bidang.

Kaum perempuan Islam digambarkan sebagai perempuan yang aktif, sopan

dan terpelihara akhlaknya. Bahkan dalam Al-Qur’an, figur ideal seseorang Muslimah

disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian politik (al-istiqlal al-siyasa),

Allah Swt berfirman:

38

(27)

“Wahai Nabi! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang kepadamu untuk mengadakan bai’at (janji setia), bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”39

Seperti figur Ratu Bulgis yang memimpin kerajaan superpower (‘arsyun ‘azhim) Allah Swt berfirman:

“Sungguh, kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar.”40

Memiliki kemandirian ekonomi, (al-istiqlal al-iqtishadi) Allah Swt berfirman:

“Tidak diragukan lagi bahwa Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang yang sombong.”41

Seperti figur-figur perempuan mengelola perternakan dalam kisah Nabi Musa

di Madyan, Allah Swt berfirman:

“Dan ketika dia sampai di sumber air negeri Madyan, dia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang memberi minum (ternaknya), dan dia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang perempuan sedang menghambat (ternaknya). Dia (Musa) berkata, “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua (perempuan) itu menjawab, “Kami tidak dapat memberi minum (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya.”42

Bagi perempuan yang sudah menikah, memiliki kemandirian dalam

menentukan pilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshi) yang diyakini kebenarannya sekalipun berhadapan dengan suami. Allah Swt berfirman:

“Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir’aun, ketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surge dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannta, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.”43

(28)

Atau menentang pendapat orang banyak (public opinion) bagi perempuan belum menikah. Allah Swt berfirman:

“Dan Maryam putrid Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami ; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya; dan dia termasuk orang-orang yang taat.”44

Al-Qur’an mengizinkan kaum perempuan melakukan gerakan “oposisi”

terhadap segala bentuk sistem yang bersifat tirani demi tegaknya kebenaran. Allah

Swt berfirman:

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh Mahaperkasa, Mahabijaksana.”45

Perempuan dalam pandangan Islam sejajar dengan laki-laki. Islam diyakini

oleh para pemeluknya sebagai rahmatan lil’alami (agama yang menebarkan rahmat bagi alam semesta). Salah satu bentuk rahmat itu adalah pengakuan terhadap

keutuhan kemanusiaan perempuan yang setara dengan laki-laki. Ukuran kemuliaan

seorang manusia disisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas taqwanya, tanpa

membedakan ras, etnik dan jenis kelamin.

Sebelum Islam datang, perempuan dipandang tidak memiliki kemanusiaan

yang utuh dan oleh karenanya tidak berhak bersuara, berkarya dan berharta. Bahkan,

ia dianggap tidak memiliki dirinya sendiri. Islam secara bertahap mengembalikan

hak-hak perempuan sebagai manusia yang merdeka. Bahkan menyuarakan keyakinan,

berhak mengaktualisasikan karya, dan berhak memiliki harta yang memungkinkan

mereka dianggap sebagai warga masyarakat. Ini merupakan gerakan emansipatif yang

tiada tara di masanya, saat saudara-saudara perempuan mereka di belahan bumi Barat

terpuruk dalam kegelapan dan kehancuran yang mendalam, dimana setiap umat harus

44

QS. Al- Tahrim, [66]: 12

45

(29)

dapat mempertanggungjawabkan apa yang telah ia perbuat dalam kehidupan dan

manfaat bagi orang sekitar dalam berbagai segi kehidupan.

F.5. Peranan Perempuan Dalam Politik

Berkaitan dalam hal berpolitik terdapat dua aliran yang berbeda mengenai

posisi perempuan sebagai pemimpin dalam pandangan Islam. Pertama, aliran yang mengklim bahwa Islam tidak mengakui hak-hak politik bagi perempuan. Kedua,

aliran yang berpendapat bahwa Islam mengakui hak-hak politik perempuan, sama

seperti yang diberikan kepada laki-laki. Kelompok ini menegaskan bahwa Islam

menetapkan dan mengakui hak-hak politik bagi perempuan termasuk menjadi

pemimipin negara.

Ada 3 alasan yang sering dikemukakan oleh aliran pertama yaitu:46

1. Tempat yang paling cocok bagi perempuan adalah rumah. Pandangan ini

diperkuat hadis yang menyebutkan bahwa Allah telah menetapkan empat rumah

bagi seorang perempuan: rahim ibunya, rumah orang tuanya yang menjadi

tempat tinggalnya sampai dia menikah, rumah suaminya yang tidak boleh dia

tinggalkan tanpa izin yang bersangkutan, dan yang terakhir adalah kuburnya.

Dengan demikian, ruang publik adalah ruang yang sejak awal “ditetapkan”

sebagai wilayah asing bagi perempuan. Allah Swt berfirman:

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias (dan bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”47

46

November 2012, pukul 13.20 Wib.

47

(30)

2. Para ulama, seperti Ibnu Abbas, menegaskan bahwa masalah kepemimpinan

diambil dari ayat tersebut. Secara khusus masalah ini dirujukkan pada kalimat al-rijal qawwamuna ‘ala al-nisa’ (laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan). Berdasarkan ayat ini, Ibnu Abbas mengatakan bahwa laki-laki

memiliki kekuasaan atas perempuan. Rasyid Ridlah malah menganalogikan

kekuasaan tersebut seperti kekuasaan raja terhadap rakyatnya. Allah Swt

berfirman:

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.”48

3. Abu Bakrah yang mengatakan bahwa: La yaflaha qaum wallau amrahum imra’at (Tidak akan berbahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan).49

Ayat-ayat dan hadis-hadis yang disebutkan itu, bagi aliran pertama merupakan

justifikasi bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum laki-laki dan perempuan harus

mengakui kepemimpinan laki-laki. Implikasi dari pemahaman dari itu adalah

perempuan tidak memiliki hak-hak politik seperti yang dimiliki oleh laki-laki.

Memang ada satu hadist yang menyebutkan bahwa jangan sekali-kali perempuan menjadi imam sholat untuk laki-laki. Akan tetapi, sejumlah pakar melakukan tahrij terhadap hadist tersebut dan memperoleh kesimpulan bahwa status

48

QS. An-Nisa [4]: 34

49Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang amat popular dalam Kongres Umat Islam

(31)

hadist itu adalah daif karena dalam rentetan perawinya terdapat Abdullah bin Muhammad al-Adawi yang diduga oleh waqi’ telah melakukan pemalsuan hadist.

Itulah sebabnya, mengapa ulama, seperti Abu Tsaur dan al-Thabari, menganggap

syah imam perempuan dalam sholat. Keabsahan tersebut didasarkan pada sebuah

hadist syahih riwayat Abu Daud tentang Ummu Waraqa yang meminta oleh Nabi

Saw menjadi imam di rumahnya dengan muazin laki-laki dewasa.

Kuatnya kultural masyarakat mengenai perempuan, sangat berkaitan dengan

wajah Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini. Ruang

jalan dan peranan perempuan senantiasa terbatas akibat benturan norma agama. Dan

ini paling tidak memunculkan pemahaman dan sikap bahwa perempuan memang

tidak penting untuk terjun kedalam aspek yang bertentangan dengan yang ditetapkan

oleh agama.

Sedangkan pandangan aliran kedua, melihat bahwa kewajiban berpolitik sebenarnya merupakan sebagian dari dakwah Islam. Islam mewajibkan seluruh kaum

Muslim baik laki-laki maupun perempuan untuk berdakwah mengajak kepada yang

ma’ruf dan menjauhi yang mungkar. Amar maaruf nahi mungkar ini bermaksud

menyeru untuk bertakwa kepada Allah Swt dengan menerapkan seluruh hukum

syariat-Nya. Allah Swt berfirman :

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”50

Perlu kita ketahui, ayat ini diturunkan di Madinah yang merupakan negara

Islam dan hukum-hukum yang diturunkan di Madinah bukan hanya mengatur

bagaimana cara beribadah kepada Allah Swt dalam hal sholat, zakat dsb, tetapi juga

yang mengatur dalam sistem kehidupan. Pada saat itu, hukum-hukum yang mengatur

masyarakat seperti politik luar negeri, uqubat, sistem sosial (pergaulan), sistem

ekonomi, pemerintahan dan pendidikan telah diturunkan. Oleh karena itu, agar kaum

50

(32)

Muslimin dapat menjalankan kewajibannya untuk melakukan amar ma’ruf nahi

mungkar mereka harus memiliki kesadaran berpolitik. Maka, baik laki-laki maupun

perempuan, mereka mempunyai hak yang sama untuk berdakwah amar ma’ruf nahi

mungkar.

Dalam hal ini, menurut pendapat Alkaf Hussein bahwa Allah telah

menetapkan rambu-rambu bagi perempuan dalam beraktivitas politik. Islam telah

memberikan batasan dengan jelas dan tuntas mengenai aktivitas politik perempuan.

Diantaranya :51

1. Hak dan kewajiban Baiat. Ummu Athiyah berkata: ”Kami berbaiat kepada

Rasulullah Saw lalu beliau membacakan kepada kami agara jangan

menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dan melarang kami untuk

niyahah (meratapi mayat). Karena itulah salah seorang perempuan dari kami

menarik tangannya (dari berjabat tangan), lalu ia berkata,”Seseorang telah

membuatku bahagia dan aku ingin membalas jasanya.”Rasulullah tidak

berkata apa-apa, lalu perempuan itu pergi kemudian kembali lagi.” (HR.

Bukhari).

2. Hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat. Perlu dijelaskan,

bahwa Majelis Umat adalah suatu badan negara Islam yang terdiri atas

wakil-wakil rakyat yang bertugas memberikan nasihat dari umat kepada khalifah,

mengajukan apa saja yang dibutuhkan rakyat dan memberikan saran

bagaimana kebutuhan rakyat tersebut terpenuhi, mengoreksi dan menasehati

penguasa apabila cara yang ditetapkan oleh khalifah bertentangan dengan apa

yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.

51

(33)

3. Kewajiban menasehati dan mengoreksi penguasa. Nasihat tersebut bisa

langsung disampaikan kepada penguasa atau melalui majelis umat atau

melalui partai.

4. Kewajiban menjadi anggota partai politik. Keberadaan partai politik

merupakan pemenuhan kewajiban dari Allah Swt, sebagaimana Allah

berfirman dalam QS. Ali-Imran ayat 104 yang artinya: ”Hendaklah (wajib)

ada segolongan umat yang menyerukan kepada kebaikan (Islam);

memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran.52

Kesetaraan (equality) dalam perspektif Islam kondisi yang dialami para wanita di Barat sangat berbeda dengan yang dihadapi oleh para Muslimah di dunia Islam.

Dalam dunia Islam, para perempuan diperlakukan dan dilayani sebagai manusia,

yaitu mereka (perempuan) dan lelaki adalah makhluk Allah Swt. Selain itu, dalam

dunia umum, perempuan diberi kesempatan dan peluang untuk menimba ilmu dan

berpolitik. Hal ini dapat kita lihat pada masa Rasulullah Saw dan Umar bin

Al-Khatab Radiallahu Anhu, yang mana Nabi Saw mengajarkan Al-Quran kepada kaum

perempuan dan juga menerima baiat dari dua orang perempuan pada masa Baiat

Al-Aqabah II. Selain itu, pada masa Umar bin Al-Khattab Radiallahu Anhu ada seorang

perempuan yang menegur Umar karena ingin menetapkan jumlah mahar perkawinan. Mereka itulah

orang-orang yang beruntung.” Partai politik ada untuk menjaga agar semua

hukum-hukum Allah tetap diterapkan secara keseluruhan oleh manusia dalam

kehidupannya sepanjang masa. Keberadaannya wajib bagi kaum muslimin,

baik di dunia ini diterapkan sistem Islam atau tidak. Jika sistem Islam telah

tegak, menjadi bagian dari parpol Islam adalah fardu kifayah, sedangkan jika

belum ada, maka hukumnya menjadi wajib bagi seluruh kaum

muslimin-termasuk para muslimah untuk menegakkan Syariat Islam bersama sebuah

partai.

52

(34)

Akan tetapi dari semua kesetaraan yang ada, kesamaan yang paling mendesak

yang perlu kita sadari adalah adanya persamaan hak dan kewajiban untuk bertakwa

kepada Allah Swt, Allah Swt berfirman :

”Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam.”53

Allah Swt tidak membedakan kemuliaan seseorang berdasarkan jenis

kelaminnya tetapi menjadikan ketakwaan sebagai tolok ukur atau ‘standard’

kemuliaan seseorang. Jadi, inilah persamaan yang semestinya para permpuan

perjuangkan. Persamaan untuk menerapkan syariat Islam, untuk menjadi manusia

yang bertakwa, serta manusia yang mulia di dunia dan akhirat. Justru, seandainya

wujud perbedaan peranan dan cara mengatur urusan perempuan dalam Islam, itu

bukanlah suatu masalah karena yang menentukannya adalah Sang Pencipta lelaki dan

perempuan yaitu Allah Swt. Jadi, apa pun peranan yang Allah Swt berikan, pasti akan

mendapatkan pahala di sisi-Nya.

54

F.6. Defenisi Konsep

Defenisi konsep adalah kata-kata yang merupakan unsur-unsur umum abstrak

yang ditarik dari berbagai fenomena berbeda. Definisi konsep dalam penelitian ini

adalah:

1. Perilaku Pemilih

Perilaku pemilih adalah tingkah laku individu dalam pemungutan suara pada

kegiatan pemilu.

2. Perempuan Islam

Perempuan Islam adalah seorang individu berjenis kelamin perempuan dan

memeluk agama Islam yang dapat ditandai melalui Kartu Tanda Penduduk

(KTP).

53

QS. Ali-Imran :102

54

(35)

F.7. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah penjelasan bagaimana variabel-variabel akan

diukur secara empiris. Adapun yang menjadi definisi operasional pada penelitian ini

ialah:

1. Perilaku Pemilih

a. Pendekatan sosiologis

Pendekatan sosiologis memiliki indikator seperti pendidikan, agama,

dan pekerjaan.

b. Pendekatan psikologis

Pendekatan psikologis memiliki indikator seperti kedekatan emosional

dengan kandidat dan keterlibatan dengan partai pendukung kandidat.

c. Pendekatan rasional

Pendekatan rasional memiliki indikator seperti kepercayaan terhadap

visi dan misi yang ditawarkan kandidat, adanya unsur materi/jabatan

yang diperoleh jika memilih kandidat, dan rekam jejak dari kandidat.

2. Perempuan Islam

Indikator perempuan Islam adalah:

a. Berjenis kelamin perempuan.

b. Memeluk agama Islam ditandai melalui Kartu Tanda Penduduk

(36)

G. Metodologi Penelitian

G.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian korelasional, yaitu

penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antar variabel, dan

dianalisa secara kuantitatif dengan menggunakan rumus statistik.55

G.2. Lokasi Penelitian

Untuk mendapatkan informasi yang mencakup masalah maka saya melakukan

studi lapangan pada lokasi penelitian di Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur

Kota Medan.

G.3. Populasi dan Sampel

G.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang

ciri-cirinya dapat diduga dan paling sedikit mempunyai sifat yang sama. Populasi

penelitian ini adalah seluruh Perempuan Islam yang terdaftar dalam Daftar Pemilih

Tetap (DPT) di Kelurahan Perintis Kecamatan Medan Timur pada Pemilihan

Walikota Medan 2010 di Kota Medan sebanyak 1.557 orang.

G.3.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang nantinya akan digunakan sebagai

responden penelitian. Dalam menentukan jumlah sampel dapat digunakan rumus

Taro Yamane.56dengan presisi 10%, yakni:

55

Suharsimi Arikunto. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta 2005, hlm. 326.

56

(37)

Di mana :

n : Jumlah sampel

N : Jumlah populasi

d : Presisi 10% dengan derajat kepercayaan 90%

Berdasarkan rumusan di atas, maka dapat diketahui bahwa jumlah sampel dari

penelitian ini dengan total perempuan Islamnya adalah :

n = 93,96 responden (94 orang responden)

Berdasarkan pendapat diatas, maka besar sampel yang diambil dalam

penelitian ini adalah 94 responden.

G.4 Teknik Penarikan Sampling

Penelitian ini dalam melakukan penarikan sampel menggunakan teknik

(38)

G.5 Data dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini saya menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu

ada dua jenis data yang saya peroleh untuk dapat menyempurnakan argumentasi serta

teori dalam penelitian ini.

1. Data Primer

Data primer diperoleh dari penelitian ke lapangan untuk mengumpulkan data

melalui:

a. Penyebaran kuisioner, yaitu alat mengumpulkan data dengan

menyebarkan kuisioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang harus

dijawab oleh responden. Kuesioner yang digunakan adalah kuisioner

tertutup sehingga responden hanya memberi jawaban sesuai pilihan

jawaban yang disediakan.

b. Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara memberikan pertanyaan

langsung kepada responden guna memperoleh keterangan dalam

menyimpulkan data yang terkumpul.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dengan metode penelitian keperpustakaan (Library research methods) yaitu dengan membuka, mencatat, mengutip data dari buku-buku, majalah, surat kabar, dan literatur yang berhubungan dengan judul

skripsi.

G.6 Teknik Analisa Data

Teknik analisa data pada penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif,

sehingga nantinya peneliti dapat mendeskripsikan informasi dan data yang diperoleh

(39)

kemudian ditabulasikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan dianalisa maka

akan ditarik kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas dan lebih terperinci serta

untuk mempermudah isi, maka penelitian ini terdiri kedalam 4 (empat) bab, yakni :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini menguraikan dan menjelaskan mengenai latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka

teori, metodologi penelitian serta sistematika penulisan yang

digunakan peneliti dalam penelitiannya.

BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Dalam bab ini menggambarkan segala sesuatu mengenai objek

penelitian yaitu gambaran umum wilayah Kelurahan Perintis yang

melihat dari geografis dan luas wilayah, komposisi penduduk,

perekonomian masyarakat, sarana dan prasarana serta struktur

organisasi dan personalia di Kecamatan yang menjadi lokasi peneliti

melakukan penelitian. Dalam bab ini dijelaskan secara rinci demografi

dan kondisi penelitian oleh peneliti.

BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

Bab ini nantinya akan berisikan tentang penyajian data dan fakta yang

diperoleh dari lapangan dan juga akan menyajikan pembahasan dan

(40)

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan yang

diperoleh dari hasil analisis data pada bab-bab sebelumnya serta berisi

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai pengaman pada jaringan distribusi secara umum dipergunakan Over Current Relay (OCR) dan Ground Fault Relay (GFR) dimana arus yang dibutuhkan adalah arus kecil 1 A atau 5

International Conference on Islam and Muslim Societies (ICONIS) 2018 231 Religious authority and social media: Indonesian da'i use of Facebook.. Rina

[r]

merupakan kegiatan awal sebelum melaksanakan pembelajaran di kelas. Pada pembelajaran pertama peneliti menjelaskan tentang cara menyusun kalimat. Pada pembelajaran pertama

Tindakan dokter gigi tentang standard precaution di ruangan praktek dokter gigi termasuk dalam kategori baik yaitu >80% dalam hal melakukan sterilisasi instrumen sebelum

Jepang adalah negara maju yang terkenal dengan perkembangan teknologi yang sangat cepat, namun tidak begitu saja meninggalkan budaya lama yang sudah lama melekat di kalangan

Mobil-mobil tersebut kemudian menarik hati para otaku sehingga mereka mulai mengikuti menghias mobil-mobil mereka menjadi itasha meski kebanyakan mereka tidak menggunakan

7) Pada wanita hamil dengan sifilis lanjut atau tahap sifilis yang tidak. diketahui, pedoman WHO STI