• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekerasan terhadap Anak (Child Abuse) 2.1.1 Pengertian Anak - Dampak Kekerasan Seksual terhadap Perkembangan Anak (Studi Kasus Anak Korban Kekerasan Seksual di Yayasan Pusaka Indonesia Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekerasan terhadap Anak (Child Abuse) 2.1.1 Pengertian Anak - Dampak Kekerasan Seksual terhadap Perkembangan Anak (Studi Kasus Anak Korban Kekerasan Seksual di Yayasan Pusaka Indonesia Sumatera Utara)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kekerasan terhadap Anak (Child Abuse) 2.1.1 Pengertian Anak

Terdapat beragam defenisi anak yang dapat kita temukan dalam beberapa undang-undang ataupun berbagai instrumen tentang anak dan hak asasi manusia lainnya yang di gunakan di Indonesia. Salah satu tema utama dalam perdebatan defenisi anak adalah tentang kapan mulai dan selesainya seseorang disebut anak.

Namun, perlu ditekankan disini bahwa Konvensi Hak Anak (dalam Save the Children, 2010 : 18) memang tidak menetapkan kapan mulainya seseorang dianggap anak maupun kapan berakhirnya masa anak. Para pedegraf Konvensi Hak Anak (KHA) menghargai keragaman hukum domestik nasional dalam penentuan kapan mulainya seseorang dianggap anak sehingga menghindari solusi tunggal untuk menjawab itu. Sebagai suatu standar minimal, KHA mempersilahkan tiap-tiap sistem hukum untuk mengaturnya sendiri.

Menurut The Minimum Age Convention nomor 138 tahun 1973, pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam Convention on The Rights of Children (1989) yang telah diatifikasi pemerintah melalui

(2)

Selanjutnya UU No. 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak, juga mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kemudian UU no 39 / 1999 tentang HAM dalam pasal 1 ayat 5 menyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yanf berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya (Save the Children, 2010 : 19).

2.1.2 Anak Rawan

Anak rawan pada dasarnya merupakan sebuah istilah untuk menggambarkan kelompok anak-anak yang karena situasi, kondisi, dan tekanan-tekanan kultur maupun struktur menyebabkan mereka belum atau tidak terpenuhi hak-haknya dan acap kali pula dilanggar hak-haknya. Inferior, rentan, dan marginal adalah beberapa ciri yang umum diidap oleh anak-anak rawan. Dikatakan inferior, karena mereka biasanya tersisih dari kehidupan normal dan terganggu proses tumbuh kembangnya secara wajar. Adapun dikatakan rentan karena mereka sering menjadi korban situasi dan bahkan terlempar dari masyarakat (displaced children). Sementara itu, anak-anak rawan tersebut tergolong marjinal karena dalam kehidupan sehari-harinya mereka mengalami berbagai bentuk eksploitasi dan diskriminasi, mudah diperlakukan salah dan bahkan acap kali pula kehilangan kemerdekaannya (Suyanto, 2010 : 4).

(3)

Irwanto (dalam Suyanto, 2010 : 4, 5) menyebutkan bahwa menurut dokumen PBB, beberapa situasi yang dianggap rawan bagi anak sehingga membutuhkan upaya perlindungan khusus, antara lain adalah : Pertama, jika anak berada dalam lingkungan dimana hubungan antara anak dengan orang-orang disekitarnya khususnya orang dewasa, penuh dengan kekerasan atau cenderung tidak perduli dan menelantarkan. Kedua, jika anak berada dalam lingkungan yang sedang mengalami konflik bersenjata. Ketiga, jika anak berada dalam ikatan kerja -baik formal maupun informal- dimana kepentingan perkembangan dan pertumbuhan anak kemudian tidak memperoleh perhatian dan perlindungan yang memadai. Keempat, jika anak melakukan pekerjaan yang mengandung resiko kerja tinggi seperti diatas geladak kapal, pekerjaan konstruksi, pertambangan, pengecoran, dilakukan dengan zat-zat kimiawi yang berbahaya atau mesin-mesin besar atau jenis pekerjaan tertentu yang jelas-jelas merugikan anak, seperti bekerja dalam industri seks komersial. Kelima, jika anak terlibat dalam penggunaan zat-zat psikoaktif. Keenam, jika anak, karena kondisi fisik (misalnya cacat secara lahir atau cacat akibat kecelakaan), latar belakang budaya (minoritas), sosial-ekonomi (tidak memiliki KTP, akte kelahiran, miskin) maupun politis orang tuanya rentan terhadap berbagai perlakuan diskriminatif. Ketujuh, anak yang karena status sosial perkawinannya rentan terhadap tindakan diskriminatif. Kedelapan, jika anak sedang berhadapan dan mengalami konflik dengan hukum dan harus berurusan dengan aparat penegak hukum sesuai pranatanya.

2.1.3 Defenisi Kekerasan terhadap Anak (Child Abuse)

(4)

umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Namun demikian perlu disadari bahwa child abuse sebenarnya tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan secara fisik,

melainkan juga dapat berupa berbagai bentuk seperti eksploitasi melalui pornografi dan penyerangan seksual, pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi (malnutrision), pengabaian pendidikan dan kesehatan (education and medical neglect) dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (medical abuse).

Sementara itu Barker (dalam Huraerah, 2006: 36) mendefinisikan kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan pada orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.

2.1.4 Bentuk – Bentuk Kekerasan terhadap Anak

Terry E. Lawson (dalam Huraerah, 2007: 36), psikiater anak mengklasifikasikan kekerasan terhadap anak (child abuse) menjadi empat bentuk, yaitu: emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.

a. Emotional Abuse

Emotional abuse dapat terjadi apabila setelah orang tua mengetahui

keinginan anaknya untuk meminta perhatian namun sang orang tua tidak memberikan apa yang diinginkan anak tapi justru mengabaikannya. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional, jika kekerasan emosional tersebut berjalan konsisten

(5)

Verbal abuse lahir akibat bentakan, makian orang tua terhadap anak.

Ketika anak meminta sesuatu, orang tua tidak memberikannya dan malah membentaknya. Anak akan mengingat kekerasan ini jika semua kekerasan verbal ini terjadi pada satu periode.

c. Physical Abuse

Kekerasan ini terjadi saat anak menerima pukulan dari orang tua. Kekerasan jenis ini akan diingat anak apalagi kekerasan itu meninggalkan bekas.

d. Sexual Abuse

Terjadi selama 18 bulan pertama dalam kehidupan anak namun ada juga kasus ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual dalam usia 6 bulan.

Selain itu child abuse juga dapat dikelompokkan kedalam 4 benntuk yaitu : 1. Kekerasan secara Fisik (physical abuse), adalah penyiksaan, pemukulan,

dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang, atau rotan dan dapat pula berupa luka bakar.

(6)

3. Kekerasan secara seksual (Sexual Abuse), dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, ekshibitionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).

4. Kekerasan secara sosial (social abuse), dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Sedangkan eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat (Huraerah, 2006: 37).

2.2 Kekerasan Seksual (Sexual Abuse)

Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap

orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.

Selain itu kekerasan anak secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibisionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).

(7)

eksploitasi. Dalam ekspoitasi termasuk diantaranya prostitusi dan pornografi. Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut :

a. Pemerkosaan

Pelaku tindak pemerkosaan biasanya adalah pria. Perkosaan biasanya terjadi pada suatu saat dimana pelaku biasanya lebih dahulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Jika anak diperiksa segera setelah perkosaan, maka bukti fisik dapat ditemukan seperti air mata, darah, dan luka memar yang merupakan penemuan mengejutkan dari penemuan akut suatu penganiayaan. Apabila terdapat kasus pemerkosaan dengan kekerasan terhadap anak, akan merupakan suatu resiko terbesar karena penganiayaan sering berdampak emosi tidak stabil.

b. Incest

Didefenisikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual lainnya antara individu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan diantara mereka dilarang hukum ataupun kultur. Incest biasanya terjadi dalam waktu yang lama dan sering menyangkut suatu proses terkondisi.

c. Eksploitasi

(8)

pornografi. Ekspoitasi anak-anak membutuhkan intervensi dan penanganan yang banyak scara psikiatri.

Selain itu Tower juga melakukan pembagian jenis kekerasan seksual berdasarkan identitas pelaku.

1. Familial Abuse

Familial Abuse atau Incest merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan

darah, menjadi bagian dalam keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, termasuk dalam pengertian incest. 2. Extrafamilial Abuse

Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban, dan hanya

40% yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban utamanya adalah anak-anak. Pedophilia diartikan ”menyukai anak-anak”.

2.3 Perkembangan Anak

2.3.1 Defenisi Perkembangan Anak

(9)

Selain itu perkembangan juga dapat diartikan sebagai perubahan yang progresif dan kontinyu (berkesinambungan) dalam diri individu dari mulai lahir sampai mati (The progressive and Continous Change in the Organism from Birth to Death). Pengertian lain dari perkembangan adalah perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan baik menyangkut fisik (Jasmaniah) maupun psikis (rohaniah) (Yusuf, 2004: 15).

Banyak orang menggunakan istilah pertumbuhan dan perkembangan secara bergantian. Namun dalam kenyataannya kedua istilah itu memiliki makna yang berbeda. Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif yaitu peningkatan ukuran dan struktur. Sebaliknya perkembangan, berkaitan dengan perubahan kualitatif dan kuantitatif. Ia dapat didefenisikan sebagai deretan progresif dari perubahan yang teratur dan koheren. “Progresif’ menandai bahwa perubahannya terarah, membimbing mereka maju dan bukan mundur. “Teratur” dan “Koheren” menunjukkan adanya hubungan nyata antara perubahan yang terjadi dan dan yang akan mengikutinya (Hurlock, 1993: 23).

(10)

lebih merujuk pada pengertian perkembangan sebagai suatu proses perubahan yang bersifat progresif dan menyebabkan tercapainya kemampuan dan karakteristik psikis yang baru.

2.3.2 Fase Perkembangan Anak

Untuk mendapatkan wawasan yang jelas mengenai perkembangan anak, orang membagi perkembangan anak dalam beberapa periode dengan alasan pada fase perkembangan tertentu, anak secara umum memperlihatkan ciri dan tingkah laku karakteristiknya. Pada umumnya, sarjana-sarjana ilmu jiwa anak mengemukakan pembagian periode perkembangan anak menurut pertimbangannya sendiri.

Aristoteles (dalam Kartono, 1995 : 28) membagi masa perkembangan selama 21 tahun kedalam 3 stepnia yang dibatasi 2 gejala alamiah yang penting yaitu (1) pergantian gigi dan (2) munculnya gejala pubertas. Pembagian tersebut adalah :

a. 0-7 tahun, disebut sebagai masa kecil, masa bermain.

b. 7-14 tahun, masa anak-anak, masa belajar, atau masa sekolah rendah.

c. 14-21 tahun, masa remaja atau pubertas, masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa.

Kemudian Charlot Buhler (dalam Kartono, 1995 : 28) membagi masa perkembangan anak menjadi:

1. Fase pertama, 0-1 tahun : masa menghayati obyek-obyek diluar diri sendiri, dan saat melatih fungsi-fungsi terutama fungsi motorik.

(11)

batinnya pada benda-benda diluar dirinya. Karena itu ia berbicara dengan boneka ataupun kelinci sperti betul-betul memiliki sifat yang dimilikinya sendiri. Fase ini disebut pula fase bermain dengan subyektifitas menonjol.

3. Fase ketiga, 5-8 tahun : masa sosialisasi anak. Pada saat ini anak mulai memasuki masyarakat (misalnya taman kanak-kanak, pergaulan dengan kawan sepermainan, dan sekolah rendah). Anak mulai belajar mengenal dunia sekitar dengan objektif.

4. Fase keempat, 9-11 tahun : masa sekolah rendah. Pada titik ini anak mencapai onyektivitas tertinggi. Pada fase ini anak mulai menemukan diri sendiri yaitu secara tidak sadar mulai berfikir tentang diri pribadi. Pada waktu ini, anak sering kali mengasingkan diri.

5. Fase kelima, 14-19 tahun : masa tercapainya sintesa antara sikap kedalam batin sendiri dengan sikap keluar kepada dunia obyektif. Setelah berumur 16 tahun anak melepaskan diri dari persoalan tentang diri sendiri. Ia lebih mengarahkan minatnya pada lapangan hidup yang lebih konkrit yang dahulu hanya dikenal secara subyektif. Diantara subyek dan obyek yang dihayatinya mulai terbentuk satu sintese. Dengan tibanya masa ini, tamatlah masa perkembangan remaja dimana individu kemudiam memasuki batas kedewasaan.

(12)

1. Dari lahir sampai masa kegoncangan pertama (tahun ketiga atau keempat) yang biasa disebut masa kanak-kanak.

2. Dari masa kegoncangan pertama sampai masa kegoncangan kedua yang biasa disebut masa keserasian bersekolah.

3. Dari masa kegoncangan kedua sampai akhir masa remaja yang biasa disebut masa kematangan (Yusuf, 2004 : 22).

2.3.3 Aspek-Aspek Perkembangan Anak

Aspek-aspek perkembangan ini meliputi : fisik, intelligensi (kecerdasan), emosi, bahasa, sosial, kepribadian, moral, dan perkembangan kreativitas.

1. Perkembangan Fisik

Kuhlen dan Thompson (dalam Yusuf, 2004: 101) mengemukakan bahwa perkembangan fisik individu meliputi empat aspek yaitu (1) Sistem syaraf, yang sangat mempengaruhi perkembangan syaraf dan emosi; (2) Otot-otot, yang mempengaruhi perkembangan kekuatan dan motorik; (3) Kelenjar Endokrin, yang menyebabkan munculnya pola tingkah laku baru, seperti pada usia remaja berkembang perasaan senang untuk aktif dalam suatu kegiatan, yang sebagian anggotanya terdiri atas lawan jenis; (4) Struktur fisik/tubuh yang meliputi tinggi, berat, proporsi.

(13)

Perkembangan fisik seolang anak dapat mempengaruhi perilaku anak sehari-hari baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, perkembangan fisik seorang anak menentukan keterampilannya dalam bergerak. Dan secara tidak langsung, pertumbuhan dan perkembangan fisik akan mempengaruhi bagaimana anak memandang dirinya sendiri dan bagaimana ia memandang orang lain. Ini akan tercermin dari pola penyesuaian diri anak secara umum yang akan memberikan warna tersendiri pada perkembangan pribadi anak (Hurlock, 1993 : 114).

2. Perkembangan Intelektual

C.P. Chaplin mengartikan intelegensi sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Anita E. Woolfolk mengemukakan bahwa menurut teori-teori lama, intelegensi itu meliputi tiga pengertian yaitu (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; (3) kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya Woolfolk mengemukakan intelegensi merupakan satu atau beberapa kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan masalah dan beradaptasi dengan lingkungan (Yusuf, 2004 : 106).

Jean Piaget (dalam Ali dan Ansori, 2004: 27) membagi perkembangan Intelek/kognitif menjadi empat tahapan sebagai berikut :

a. Tahap Sensori-Motoris

(14)

kemampuannya untuk mempersepsi, melakukan sentuhan, gerakan dan secara perlahan belajar mengoordinasikan tibdakan-tindakannya.

b. Tahap Praoperasional

Dialami pada usia 2-7 tahun, tahap ini disebut juga tahap intuisi sebab perkembangan kognitifnya memperlihatkan kecenderungan yang ditandai oleh suasana intuitif. Pada tahap ini anak sangat bersifat egosentis sehingga seringkali bermasalah dengan lingkungannya dan cenderung mengutamakan pandangannya sendiri.

c. Tahap Operasional Konkret

Dialami pada usia 7-11 tahun, pada tahap ini anak mulai menyesuaikan diri dengan realitas konkret dan sudah mulai berkembang rasa ingin tahunya. Dalam tahap ini interaksinya dengan lingkungannya semakin berkembang dengan baik karena egosentrisnya sudah semakin berkurang dan anak sudah mulai lebih objektif.

d. Tahap Operasional Formal

Dialami pada usia 11 tahun ke atas. Pada masa ini anak telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan dalam pekerjaannya yang merupakan hasil dari berfikir logis. Pada tahap ini interaksinya dengan lingkungan sudah amat luas, menjangkau teman sebayanya bahkan berusaha untuk dapat berinteraksi dengan orang dewasa.

3. Perkembangan Emosi

(15)

menyatakan bahwa emosi adalah suatu respons terhadap suatu perangsang yang menyebabkan perubahan fisiologis disertai perasaan yang kuat dan biasanya mengandung kemungkinan untuk meletus.

Daniel Goleman (dalam Ali dan Asrori, 2004: 63) kemudian mengidentifikasi sejumlah kelompok emosi yaitu amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu. Dari deretan daftar emosi tersebut ternyata ada bahasa emosi yang dikenal oleh bangsa-bangsa diseluruh dunia, yaitu emosi yang diwujudkan dalam bentuk ekspresi wajah yang didalamnya mengandung emosi takut, marah, sedih dan senang.

Selain itu, emosi juga dapat dikelompokkan kedalam 2 bagian yaitu :

1. Emosi Sensori yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang lapar, dll.

2. Emosi Psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan. Diantaranya adalah perasaan intelektual, perasaan sosial, perasaan susila, perasaan keindahan (estetis) dan perasaan ketuhanan (Yusuf, 2004 : 117).

4. Perkembangan Bahasa

(16)

Bahasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan berfikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya yaitu kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan. Berikut adalah laju dari perkembangan bahasa pada anak.

a. Usia 1,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat positif, seperti “bapak makan”. b. Usia 2,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat negatif (menyangkal).

c. Pada usia selanjutnya anak dapat menyusun pendapat kritikan, keragu-raguan, dan menarik kesimpulan analogi (Yusuf, 2004 : 119).

5. Perkembangan Hubungan Sosial

Alisyahbana, dkk (dalam Ali dan Ansori, 2004: 85) mendefenisikan Hubungan Sosial sebagai “cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang di sekitarnya dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap dirinya. Selain itu hubungan sosial juga dapat diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi ; meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan berkomunikasi.

Anak dilahirkan belum bersifat sosial. Dalam Arti, dia belum memiliki kemampuan untuk bergaul dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan ini diperoleh anak melalui berbagai kesempatan atau pengalaman bergaul dengan orang-orang di lingkungannya, baik orang tua, saudara, teman sebaya atau orang dewasa lainnya (Yusuf, 2004: 122).

(17)

laku berkuasa, mementingkan diri sendiri, simpati maupun bentuk tingkah laku sosial lainnya. Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Apabia lingkungan sosial itu baik maka anak akan mencapai perkembangan sosialnya secara matang. Namun, apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif, seperti perlakuan yang kasar, sering memarahi, acuh tak acuh, atau pembiasaan terhadap anak dalam menerapkan norma maupun tata karma cenderung menampilkan perilaku maladjustment, seperti perasaan minder, senang mendomiasi orang lain, egois, senang menyendiri, kurang memiliki tenggang rasa, kurang mempedulikan norma dalam berperilaku (Yusuf, 2004 : 124,125).

6. Perkembangan Kepribadian

MAY (dalam Yusuf, 2004: 126) mengartikan kepribadian sebagai “a social stimus value”. Jadi menurutnya cara orang lain mereaksi, itulah kepribadian

individu. Dalam kata lain, pendapat orang lainlah yang menentukan kepribadian individu itu. Gordon W. Allport kemudian mendefenisikan kepribadian sebagai organisasi dinamis dalam diri individu sebagai system psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.

E.B Hurlock (dalam Yusuf, 2004 : 130) mengemukakan bahwa kepribadian yang sehat ditandai dengan karakteristik sebagai berikut :

a. Mampu menilai diri secara relistik. Individu mampu menilai dirinya sebagai apa adanya, baik kelebihan maupun kekurangannya yang menyangkut fisik dan kemampuan.

(18)

c. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik. Individu tidak mereaksi keberhasilan prestasinya dengan perasaan superiority complex, maupun dengan perasaan frustasi apabila menghadapi kegagalan.

d. Menerima tanggung jawab. Individu mampu bertanggung jawab dn mengatasi masalah yang dihadapinya.

e. Kemandirian. Individu memiliki sikap mandiri dalam berfikir dn bertindak. Mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku.

f. Dapat mengontrol emosi. Individu merasa nyaman dengan emosinya. Dapat menghadapi situasi frustasi, depresi, ataupun stress.

g. Berorientasi tujuan. Dapat merumuskan tujuan berdasarkan pertimbangan yang matang dan berupaya mencapai tujuan tersebut dengan mengembangkan kepribadian (wawasan) dan keterampilan.

h. Berorientasi keluar. Individu mampu bersikap respek, empati terhadap orang lain, mempunyai keperdulian terhadap situasi atau masalah lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berfikirnya.

i. Penerimaan sosial. Individu dinilai positif oleh orang lain, mau berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial, dan memiliki sikap bersahabat dengan orang lain. j. Memiliki filsafat hidup. Mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup dan

berakar dari keyakinan agama.

(19)

Adapun kepribadian yang tidak sehat ditandai dengan karakteristik seperti mudah marah, cemas, tertekan (depresi), bersikap kejam atau senang mengganggu orang lain, sulit untuk menghindari perilaku menyimpang meski sudah diperingati atau dihukum, suka berbohong, hiperaktif, memusuhi semua bentuk otoritas, senang mencemooh, sulit tidur, kurang memiliki tanggung jawab, minim kesadaran beragama, pesimis, dan kurang bergairah (Yusuf, 2004 : 131).

7. Perkembangan Moral

Menurut Shaffer (dalam Ali dan Anshori, 2004: 136) moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi. Rogers juga berpendapat bahwa moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat.

Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai moal dari lingkungannya terutama orang tua. Beberapa sikap orang tua perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Konsisten dalam mendidik anak. 2. Sikap orang tua dalm keluarga.

3. Penghayatan dan pengalman agama yang dianut.

(20)

1. Tahap Pra Konvensional. Pada tahap ini, anak mengenal aik-buru, benar-salah suatu perbuatan dari sudut konsekuensi menyenangkan atau menyakiti secara fisik, atau enak tidaknya akibat perbuatan yang diterima.

2. Tahap Konvensional. Pada tingkat ini anak memandang perbuatan baik-benar atau berhrga bagi dirinya apabila dapat memenuhi harapan keluarga, kelompok atau bangsa.

3. Tahap Pasca Konvensional. Ada usaha individu untuk mengartikan nilai atau prinsip moral yang dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok, pendukung atau orang yang menganut prinsip moral tersebut.

8. Perkembangan Kreativitas

Torrance (dalam Ali dan Anshori, 2004 : 43) mengatakan bahwa agar potensi kreatif individu dapat diwujudkan diperlukan kekuatan-kekuatan pendorong dari luar yang didasari oleh potensi dari dalam individu tersebut. Selanjutnya ia kemudian mendefinisikan kreativitas sebagai proses kemampuan memahami kesenjangan-kesenjangan atau hambatan-hambatan dalam hidupnya, merumuskan hipotesis-hipotesis baru dan mengomunikasikan hasilnya serta sedapat mungkin memodifikasi dan menguji hipotesis-hipotesis yang telah dirumuskan.

(21)

segala potensi dan disposisi kepribadiannya dipengaruhi oleh lingkungan sosial tempat individu berada, yang meliputi ekonomi, politik, kebudayaan dan peran keluarga (Ali dan Anshori, 2004 : 45).

2.4 Kesejahteraan Sosial

2.4.1 Defenisi Kesejahteraan Sosial

Secara yuridis konsepsional, pengertian kesejahteraan sosial termuat dalam UU No. 11 tahun 2009 tentang ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial, pasal 1 ayat 1 mengartikan kesejahteraan sosial sebagai “Kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya”.

Pengertian lain juga dapat dikembangkan dari hasil Pre-Coference Working for the 15’th International Conference of Social Welfare yakni, “Kesejahteraan sosial adalah keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Di dalamnya tercakup pula unsur kebijakan dan pelayanan dalam arti luas yang terkait dengan berbagai kehidupan masyarakat, seperti pendapatan, jaminan sosial, kesehatan, perumahan, pendidikan, rekreasi budaya dan lain sebagainya (Huda, 2009: 73).

Elizabeth Wickenden (dalam Wibawa, 2010: 23) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem perundang-undangan, kebijakan, program, pelayanan dan bantuan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan sosial yang dikenal sebagai kebutuhan dasar bagi kesejahteraan manusia dan bagi berfungsinya ketertiban sosial secara lebih baik.

(22)

a. Konsep Pelayanan Sosial (bidang praktik Pekerjaan sosial) mencakup aktivitas yang sangat luas, mulai dari perundang-undangan sosial sampai kepada tindak langsung pemberian bantuan.

b. Konsep ‘Kesejahteraan Sosial’ berbeda dengan ‘kesejahteraan’. Terpenuhinya kebutuhan sosial (kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan) menjadi dasar bagi terciptanya ‘kesejahteraan’ (sebagai keadaan yang baik dalam semua aspek kehidupan manusia).

c. Pada tingkat masyarakat, kesejahteraan sosial berarti terdapatnya ketertiban sosial (social order) yang lebih baik.

2.4.2 Peran Pekerja Sosial terhadap Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak

Pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan, yang tujuannya adalah untuk meningkatkan keberfungsian sosial individu, kelompok, keluarga, dan masyarakat. Sementara itu, pengertian pekerjaan sosial yang diadopsi oleh IFSW (International Federation Of Social Workers), General Meeting, 26 July 2000, Montreal, Canada adalah profesi untuk meningkatkan perubahan sosial, pemecahan masalah dalam hubungan kemanusiaan serta pemberdayaan serta kebebasan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan. Dengan menggunakan teori-teori perilaku manusia dan sistem sosial, pekerja sosial mengintervensi pada titik-titik dimana masyarakat berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip hak asasi manusia dan keadilan sosial adalah hal yang fundamental bagi pekerjaan sosial.

(23)

berada di garis depan untuk melakukan identifikasi, assesment, dan tindakan kekerasan dan penelantaran anak (Huraerah, 2006: 97).

Pelaksanaan model pertolongan terhadap kasus kekerasan terhadap anak dapat dilakukan melalui prosedur atau proses sebagai berikut :

1. Identifikasi. Penelaahan awal terhadap masalah mengenai adanya tindakan kekerasan terhadap anak. Laporan dari masyarakat atau dari profesi lain, seperti, polisi, dokter, ahli hukum dapat dijadikan masukan pada tahap ini.

2. Investigasi. Penyelidikan terhadap kasus yang dilaporkan. Pekerja sosial dapat melakukan kunjungan rumah, wawancara dengan anak atau orang yang diduga sebagai pelaku mengenai tuduhan yang dilaporkan, pengamatan terhadap perilaku anak dan orang yang diduga sebagai pelaku, penelaahan terhadap kehidupan keluarga.

3. Intervensi. Pemberian pertolongan terhadap anak atau keluarga yang dapat berupa bantuan komkrit, bantuan penunjang, atau penyembuhan.

4. Terminasi. Pengakhiran atau penutupan kasus.

2.5 Kerangka Pemikiran

(24)

Menurut Gelles kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Terry E. Lawson, psikiater anak mengklasifikasikan kekerasan terhadap anak (child abuse) menjadi empat bentuk, yaitu: emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.

Sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan

seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.

Inferior, rentan, dan marginal adalah beberapa ciri yang umum diidap oleh anak-anak korban kekerasan. Dikatakan inferior, karena mereka biasanya tersisih dari kehidupan normal dan terganggu proses tumbuh kembangnya secara wajar. Adapun dikatakan rentan karena mereka sering menjadi korban situasi dan bahkan terlempar dari masyarakat (displaced children). Sementara itu, anak-anak korban kekerasan tersebut tergolong marjinal karena dalam kehidupan sehari-harinya mereka mengalami berbagai bentuk eksploitasi dan diskriminasi, mudah diperlakukan salah dan bahkan acap kali pula kehilangan kemerdekaannya.

(25)

Situasi psikis yang oleh pakar kriminologi disebut monomanien (gangguan terhadap kekuatan jiwa) itu akan berpengaruh terhadap perkembangan anak dimana disatu kutub dapat menimbulkan depresi yang meruntuhkan mental, dan kepribadian anak, dan pada kutub ekstrim lain, justru dapat menghilangkan rasa takut. Kekerasan kemudian dianggap sebagai sesuatu yang biasa, sah, dan wajar.

Tabel I

Bagan Alur Pemikiran

Anak Korban Kekerasan Seksual

Pusaka Indonesia

Perkembangan Anak

Bahasa Fisik

Moral Intelektual

Hubungan Sosial Kepribadian

Emosi

(26)

2.6 Definisi Konsep dan Definisi Operasional 2.6.2 Definisi Konsep

Konsep adalah suatu makna yang berada di alam fikiran atau dunia kepahaman manusia yang dinyatakan kembali dengan sarana lambang perkataan atau kata-kata. Dengan demikian konsep bukanlah objek gejalanya itu sendiri, konsep adalah suatu hasil pemaknaan di dalam intelektual manusia yang memang merujuk ke gejala nyata ke alam empiris. Konsep merupakan sarana yang merujuk ke dunia empiris, dan bukan merupakan refleksi sempurna (mutlak) dunia empiris. Bahkan konsep bukanlah dunia empiris itu sendiri. Berdasarkan konsep tersebut peneliti dapat menata hasil pengamatannya ke dalam suatu tata kepahaman yang menggambarkan dunia realitas sebagaimana yang dirasa, dialami, dan diamati (Suyanto, 2011 : 49).

Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini adalah :

a. Dampak adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh suatu keadaan atau kondisi. b. Kekerasan Anak adalah peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang

umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak.

c. Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.

(27)

2.6.3 Definisi Operasional

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto (dalam Suyanto, 2011: 50) , spesifikasi prosedur yang memungkinkan penegasan ada atau tidaknya realitas tertentu sebagaimana menurut konsepnya disebut defenisi operasional.

Jika defenisi konsep ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman tentang konsep-konsep, baik berupa obyek, peristiwa, maupun fenomena yang diteliti, maka perumusan operasional ditujukan dalam upaya transformasi konsep ke dunia nyata sehingga konsep-konsep penelitian dapat diobservasi. Defenisi operasional atau yang sering disebut operasionalisasi konsep berarti menjadikan konsep yang semula berfifat statis menjadi dinamis. Jika konsep itu sudah bersifat dinamis, maka akan memungkinkan untuk dioperasikan (Siagian, 2011: 141).

Dalam hal ini harus ditentukan terlebih dahulu variabel-variabel yang ada dalam penelitian ini agar terlihat jelas bagaimana dampak kekerasan seksual terhadap perkembangan anak. Terdapat dua variabel dalam penelitian ini yaitu variabel bebas dan variabel terikat.

1. Variabel Bebas

(28)

2. Variabel Terikat

Variabel terikat (dependent variable) secara sederhana dapat didefenisikan sebagai variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain. Melihat kedudukannya maka variabel terikat sering juga disebut variable terpengaruh. Biasanya diberi notasi “y” sehingga disebut sebagai variabel y (Siagian, 2011: 90).

Dan variabel terikat dalam penelitian ini adalah perkembangan anak korban kekerasan seksual, dengan menganalisis kasus anak korban kekerasan seksual yang didampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia Sumatera Utara.

Gambar

Tabel I

Referensi

Dokumen terkait

Alfread Muhsin, Mahasiswa Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Gorontalo, Dr. Lilan Dama, M.Pd, Dosen Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri

Ada beberapa cara yang dapat di lakukan oleh masyarakat awam untuk membedakan jamur beracun dengan jamur yang tidak beracun, umumnya jamur beracun mempunyai warna yang mencolok

With the limits of connectivity, service workers provide us with a means to build offline-first capable applications, which will load content for our users, after an initial site

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap analisis mutu minyak kelapa murni buatan industri rumah tangga secara menyeluruh bahwa ketiga sampel tersebut

Iuran kepada negara yang terhutang oleh yang wajib membayarnya (Wajib Pajak) berdasarkan' undang-undang, dengan tidak mendapat prestasi (balas jasa) kembali se~

(2) Subbidang Potensi Sumber Daya Kawasan Perbatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan, dan

Peranan modal intelektual sangat berpengaruh terhadap kinerja karyawan dan dalam jangka panjang akan mempengaruhi kinerja organisasi, karena modal intelektual

Masalah yang terdapat pada siswa kelas IV MI Miftahul Huda Soga Desa Tenajar Kidul Kecamatan Kertasemaya Kabupaten Indramayu adalah rendahnya hasil belajar siswa pada mata