• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Stres 1.1 Pengertian Stres Akademik - Gambaran Stressor dan Koping Mahasiswa Pembelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Stres 1.1 Pengertian Stres Akademik - Gambaran Stressor dan Koping Mahasiswa Pembelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Stres

1.1Pengertian Stres Akademik

Stres merupakan suatu fenomena yang pernah atau akan dialami oleh seseorang dalam kehidupannya dan tidak seorang pun dapat terhindar dari padanya. Berdasarkan terminologinya, istilah stres berasal dari bahasa Latin “singere” yang berarti keras atau sempit (strictus). Istilah ini mengalami perubahan seiring dengan perkembangan penelaahan yang berlanjut dari waktu ke waktu dari straise, strest, stresce, dan stress (Yosep, 2007).

Menurut Santrock (2005), stres merupakan respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stressor) yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya (coping).Stres adalah realitas kehidupan setiap hari yang tidak dapat dihindari, disebabkan oleh perubahan yang memerlukan penyesuaian (Keliat, 1998). Sarafino (1990) mendefinisikan stres sebagai kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungannya yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber daya dari sistem-sistem biologis, psikologis dan sosial seseorang.

(2)

tahunnya seiring dengan tuntutan terhadap anak yang berbakat dan berprestasi yang tidak pernah berhenti. Baumel dalam Wulandari (2011)menyatakan bahwa stres akademik merupakan stres yang disebabkanoleh stressor akademik, yaitu yang bersumber dari proses belajar mengajar atau yang berhubungan dengan kegiatan belajar yang meliputi lama belajar, banyak tugas, birokrasi, mendapatkan beasiswa, keputusan menentukan jurusan, dan karir serta kecemasan ujian dan manajemen waktu.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stres di bidang akademik adalah respon individu akibat kesenjangan antara tuntutan lingkungan terhadap prestasi akademik dengan kemampuan untuk mencapainya sehingga situasi tersebut mengakibatkan perubahan respon dalam diri individu tersebut, baik secara fisik maupun psikologis.

1.2 Faktor-Faktor Penyebab Stres

Penyebab stress atau stressor adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang tersebut terpaksa mengadakan adaptasi untuk menanggulangi stressor yang timbul (Yosep, 2007). Menurut Yosep (2007), pada umumnya penyebab stres dapat digolongkan sebagai berikut:

(3)

2. Masalah orang tua, yaitu permasalahan yang dihadapi orang tua, misalnya tidak punya anak, kebanyakan anak, kenakalan anak, anak yang sakit, dan kondisi pertengkaran dengan mertua, besan, dan ipar yang tidak baik.

3. Hubungan interpersonal, berupa gangguan yang timbul dari hubungan dengan orang terdekat seperti teman dekat, konflik dengan kekasih, konflik antara bawahan dan atasan.

4. Pekerjaan, misalnya pekerjaan yang terlalu banyak, pekerjaan tidak cocok, jabatan, kenaikan pangkat, pensiun, dan kehilangan pekerjaan.

5. Lingkungan hidup, berupa gangguan yang dialami di daerah tempat tinggal, misalnya disebabkan oleh hidup dalam lingkungan yang tingkat kriminalitasnya tinggi, penggusuran, dan pindah tempat tinggal.

6. Keuangan, yaitu masalah keuangan yang tidak sehat, misalnya pendapatan jauh lebih rendah daripada pengeluaran, terlibat hutang, usaha yang gagal, dan permasalahan warisan.

7. Hukum, yaitu keterlibatan seseorang dalam permasalahan hukum seperti tuntutan hukum, pengadilan, dan penjara.

8. Perkembangan, yaitu gangguan yang timbul akibat perkembangan fisik dan mental seseorang yang tidak baik sehingga menimbulkan kondisi stres, bahkan jatuh dalam kondisi cemas dan depresi.

(4)

10.Faktor keluarga, yaitu faktor penyebab stres yang dialami oleh anak dan remaja yang disebabkan hubungan keluarga yang tidak baik, misalnya komunikasi orang tua dan anak yang tidak baik, kedua orang tua jarang di rumah, orang tua kurang sabar dalam mendidik anak, dan lain sebagainya.

11.Faktor penyebab stres lainnya, seperti bencana alam, kebakaran, kehamilan di luar nikah, dan lain sebagainya.

1.3 Faktor-Faktor Penyebab Stres Akademik

Stressor adalah situasi atau keadaan yang menimbulkan stres atau memicu

terjadinya stres (Santrock, 2005). Wilks dalam Calaguas (2011), menyatakan bahwa banyak faktor yang berkontribusi terhadap pengalaman stres mahasiswa, tetapi secara khusus stres akademik yang dialami berkaitan dengan manajemen waktu, masalah keuangan, interaksi dengan dosen, tujuan pribadi, kegiatan sosial, penyesuaian dengan lingkungan sekolah, dan kurangnya dukungan.

(5)

Kohn & Frazer (1986) mendeskripsikan pengalaman penyebab stress menjadi tiga bagian, yaitu: 1) physical stressors berupa suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan; 2) psychological stressor berupa belajar untuk menghadapi ujian, tugas yang berlebihan, lupa mengerjakan tugas; 3) psychosocial stressor yang terjadi akibat interaksi interpersonal.

Berdasarkan penelitian Calaguas (2011), faktor penyebab stres yang sering dialami oleh mahasiswa di Philipina ada delapan kategori, yaitu:

1. Stressor yang berkaitan dengan pendaftaran dan penerimaan perkuliahan,

yaitu mengikuti prosedur pendaftaran, mengambil/menambahkan mata pelajaran, dan validasi mata pelajaran.

2. Stressor yang berkaitan dengan mata pelajaran, yaitu mempersiapkan ujian, melewati ujian tertulis, melewati ujian lisan, lulus dalam ujian praktek, berpartisipasi dalam diskusi kelas, memahami diskusi kelas, melakukan penelitian, menyelesaikan karya tulis, mencari bahan referensi, menyelesaikan tugas, berpartisipasi dalam kegiatan penyuluhan.

3. Stressor yang berkaitan dengan dosen, yaitu menghadapi dosen pengajar yang perfectionist, metode pengajaran dosen, penyesuaian dengan dosen yang

memperlakukan mahasiswa dengan tidak adil, permasalahan dengan dosen.

(6)

5. Stressor yang berkaitan dengan jadwal kuliah, yaitu kehadiran mengikuti perkuliahan, waktu kosong yang terlalu banyak, waktu kosong yang terlalu sedikit, partisipasi dalam kegiatan ekstrakulikuler, menghadiri pertemuan organisasi dan menghadiri kegiatan kampus.

6. Stressor yang berkaitan dengan ruang kelas, yaitu kelas yang sangat penuh, ventilasi kelas yang buruk, pencahayaan kelas yang buruk, kelas yang kotor, kelas yang bising, kelas dengan tempat yang terbatas, dan gangguan dari dalam dan luar kelas.

7. Stressor yang berkaitan dengan keuangan, yaitu penganggaran keuangan,

pengeluaran yang tidak terduga, dan penghematan uang untuk rencana-rencana.

8. Stressor yang berkaitan dengan harapan, yaitu khawatir terhadap masa depan dan mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah, harapan dari orang tua, harapan kerabat, harapan dosen, dan menangani harapan diri.

1.4 Tahapan Stres

(7)

a. Stres tahap I

Merupakan tahapan stres yang paling ringan, dan biasanya disertai dengan perasaan-perasaan semangat bekerja besar, penglihatan “tajam” tidak sebagaimana biasanya, merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya tanpa menyadari cadangan energi dihabiskan, disertai rasa gugup yang berlebihan, merasa senang dengan pekerjaan tersebut dan semakin bertambah semangat, tetapi tanpa disadari cadangan energi semakin menipis. b. Stres tahap II

Pada tahap ini dampak stres yang semula “menyenangkan” mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena kurang istirahat. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan adalah merasa letih ketika bangun pagi, merasa mudah lelah sesudah makan siang, lekas merasa capai menjelang sore hari, sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman (bowel discomfort), detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar),

otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang dan tidak bisa santai. c. Stres tahap III

(8)

berkonsultasi pada dokter atau terapis, beban stres hendaknya dikurangi dan tubuh beristirahat.

d. Stres tahap IV

Tidak jarang seseorang yang memeriksakan diri ke dokter karena keluhan-keluhan yang dialami pada stres tahap III, dinyatakan tidak sakit oleh dokter dikarenakan tidak adanya kelainan fisik yang ditemukan pada organ tubuhnya. Bila hal ini terjadi dan orang tersebut tetap memaksakan diri untuk bekerja tanpa mengenal istirahat, maka gejala stres tahap IV akan muncul. Gejalanya adalah bosan terhadap aktivitas kerja yang semula terasa menyenangkan, kehilangan kemampuan untuk merespon secara memadai (adequate), ketidakmampuan untuk melakukan kegiatan rutin sehari-hari, gangguan pola tidur disertai mimpi-mimpi yang menegangkan, seringkali menolak ajakan (negativism) karena tidak ada semangat dan kegairahan, daya konsentrasi dan daya ingat menurun dan timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.

e. Stres tahap V

Keadaan lanjutan yang ditandai dengan keadaan kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam (physical and psychological exhaustion), ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana, gangguan sistem pencernaan semakin berat (gastro-intestinal disorder), dan timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin

(9)

f. Stres tahap VI

Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang akan mengalami serangan panik (panic attack) dan perasaan takut mati. Stres pada tahap ini ditandai dengan gejala debaran jantung teramat keras, susah bernapas (sesak dan megap-megap), sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran, ketiadaan tenaga untuk melakukan hal-hal yang ringan, pingsan atau kolaps (collapse).

1.5 Reaksi Stres

Menurut Helmi dalam Safaria & Saputra (2009), ada empat macam reaksi stres, yaitu reaksi psikologis, fisiologis, proses berpikir dan tingkah laku. Keempat reaksi ini dapat berwujud negatif maupun positif. Reaksi yang bersifat negatif antara lain sebagai berikut:

1. Reaksi psikologis, biasanya lebih dikaitkan pada aspek emosi, seperti mudah marah, sedih dan tersinggung.

2. Reaksi fisiologis, biasanya muncul dalam bentuk keluhan fisik, seperti pusing, nyeri tengkuk, tekanan darah naik, nyeri lambung, gatal-gatal di kulit dan rambut rontok.

(10)

4. Reaksi perilaku, biasanya tampak dari perilaku-perilaku menyimpang seperti minum-minuman beralkohol, mengkonsumsi obat-obatan, frekuensi merokok meningkat, dan menghindari bertemunya teman.

1.6 Dampak Stressor

Menurut Kozier dan Erb dalam Keliat (1998), dampak stressor dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu:

a. Sifat stressor

Jika seseorang mempersepsikan stressor sebagai keadaan yang mengancam kehidupannya dan berakibat buruk baginya, maka tingkat stres yang dialami akan terasa berat. Namun, bila stressor yang sama dipersepsikan dengan baik, maka tingkat stres yang dialami akan lebih ringan.

b. Jumlah stressor yang dihadapi dalam waktu bersamaan

Apabila terdapat banyak stressor sedang dialami oleh seseorang, maka penambahan stressor kecil dapat menjadi pencetus yang mengakibatkan reaksi yang berlebihan.

c. Lamanya pemaparan terhadap stressor

Pemaparan yang intensif terhadap stressor dapat menyebabkan kelelahan dan ketidakmampuan menghadapi stressor.

d. Pengalaman masa lalu

(11)

cemas lagi ketika harus di rawat di rumah sakit yang sama untuk kedua kalinya.

e. Tingkat perkembangan

Pada tingkat perkembangan tertentu, terdapat jumlah dan intensitas stressor yang berbeda sehingga resiko terjadinya stres pada tiap tingkat perkembangan berbeda-beda.

2. Koping

2.1Pengertian Koping

Proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi yang penuh dengan stres. Koping adalah respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologis (Rasmun, 2004). Menurut Keliat (1998), koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, respon terhadap situasi yang mengancam. Jadi dapat dikatakan koping adalah proses dimana seseorang berusaha mengatur ketidakcocokan antara tuntutan dan sumber yang muncul dalam situasi yang penuh stres atau dengan kata lain cara yang dilakukan individu untuk menyelesaikan masalahnya.

2.2Respon Koping

(12)

a. Respon Fisiologis

Manifestasi tubuh terhadap stres dapat dirasakan melalui pelebaran pupil mata, sekresi keringat yang meningkat, denyut nadi yang meningkat, kulit menjadi dingin, tekanan darah meningkat, frekuensi dan kedalaman pernapasan, pengeluaran urin yang menurun, mulut kering, kewaspadaan mental dan ketegangan otot yang meningkat, gula darah meningkat, letargi, dan mungkin penurunan fungsi fisiologis dan tonus otot.

b. Reaksi Psiko-Sosial

Koping yang dapat dikaji pada diri individu terkait dengan aspek psikososial adalah:

a. Reaksi yang berorientasi pada ego yang sering disebut sebagai mekanisme pertahanan mental, yaitu berupa reaksi penyangkalan (denial), proyeksi (menyalahkan orang lain), regresi (penolakan), mengisar (displacement), isolasi (keinginan untuk menyendiri), dan supresi (menunda menyelesaikan masalah).

(13)

verbal tidak menyelesaikan masalah secara tuntas karena itu perlu dikembangkan kemampuan menyelesaikan masalah.

c. Reaksi yang berorientasi pada penyelesaian masalah. Koping ini melibatkan proses kognitif, afektif, dan psikomotor, seperti berbicara dengan orang lain (teman maupun anggota keluarga) tentang masalahnya dan mencari jalan keluar dari informasi orang lain, mencari tahu lebih banyak tentang situasi yang dihadapi melalui buku atau orang yang ahli, melakukan kegiatan ibadah yang teratur untuk meningkatkan percaya diri dan mengembangkan pikiran positif, melakukan latihan penanganan stres, misalnya latihan pernapasan dan meditasi, membuat berbagai alternatif tindakan dalam menangani situasi, dan belajar dari pengalaman yang lalu atau dengan kata lain tidak mengulang kesalahan yang sama.

2.3Fungsi Koping

Menurut Lazarus & Folkman dalam Safaria & Saputra (2009), koping memiliki dua fungsi umum, yaitu fungsinya dapat berupa fokus ke titik permasalahannya, serta melakukan regulasi emosi dalam merespon masalah.

(14)

yang akan diambil, memilih alternatif yang terbaik, dan mengambil keputusan untuk bertindak. Setiap hari dalam kehidupan kita secara tidak langsung koping berpusat pada masalah sering kita gunakan, saat kita bernegosiasi untuk membeli sesuatu di toko, saat kita membuat jadwal pelajaran, mengikuti perawatan psikologis, atau belajar untuk meningkatkan kemampuan (kursus bahasa Inggris, menjahit, pelatihan komputer).

Folkman & Lazarus juga mengidentifikasi beberapa aspek koping yang berpusat pada masalah, yaitu:

1. Seeking informational support, yaitu mencoba untuk memperoleh informasi

dari orang lain, seperti dokter, psikolog, atau guru

2. Confrontive coping, yaitu melakukan penyelesaian masalah secara konkrit 3. Planful problem solving, yaitu menganalisa setiap situasi yang menimbulkan

masalah serta berusaha mencari solusi secara langsung terhadap masalah yang dihadapi.

(15)

emosi dari sahabat atau keluarga, meakukan aktivitas yang disukai, seperti olahraga atau menonton film untuk mengalihkan perhatian dari masalah, bahkan tidak jarang dengan menggunakan alkohol dan obat-obatan.

Folkman & Lazarus dalam Safaria & Saputra (2009) juga mengidentifikasi beberapa aspek koping yang berpusat pada emosi yang didapat dari penelitian-penelitiannya, yaitu:

1. Seeking social emotional support, yaitu mencoba untuk memperoleh dukungan secara emosional maupun sosial dari orang lain

2. Distancing, yaitu mengeluarkan upaya kognitif untuk melepaskan diri dari

masalah atau membuat sebuah harapan positif

3. Escape avoidance, yaitu mengkhayal mengenai situasi atau melakukan tindakan atau menghindar dari situasi yang tidak menyenangkan dimana individu melakukan fantasi andaikan permasalahannya pergi dan mencoba untuk tidak memikirkan tentang masalah dengan tidur atau menggunakan alkohol

4. Self control, yaitu mencoba untuk mengatur perasaan diri sendiri atau tindakan dalam hubungannya untuk menyelesaikan masalah

5. Accepting responsibility, yaitu menerima untuk menjalankan masalah yang

dihadapinya sementara mencoba untuk memikirkan jalan keluarnya

6. Positive reappraisal, yaitu mencoba untuk membuat suatu arti positif dari

(16)

2.4 Mekanisme Koping

Menurut Keliat (1998), mekanisme koping terdiri dari dua jenis, yaitu: 1. Mekanisme koping adaptif, yaitu suatu usaha yang dilakukan individu dalam

menyelesaikan masalah akibat adanya stressor atau tekanan, yang bersifat positif, rasional, dan konstruktif.

2. Mekanisme koping maladaptif, yaitu suatu usaha yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah akibat adanya stressor atau tekanan, yang bersifat negatif, merugikan dan destruktif serta tidak dapat menyelesaikan masalah dengan tuntas.

3. Kurikulum Berbasis Kompetensi

Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dengan pendekatan Problem Based Learning (PBL) adalah kurikulum dan proses pembelajaran dimana

dirancang masalah-masalah yang menuntut mahasiswa mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim (Direktorat Akademik Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2008). Kurikulum yang dikonsepkan ini, lebih didasarkan pada rumusan kompetensi yang harus dicapai/dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi yang sesuai atau mendekati kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat pemangku kepentingan/stakeholders (competence based curriculum). Luaran hasil pendidikan (outcomes) yang diharapkan sesuai dengan societal needs,

(17)

outcomes merupakan kemampuan mengintegrasikan intellectual skill, knowledge dan afektif dalam sebuah perilaku secara utuh (Direktorat Akademik Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2008).

Berdasarkan Kepmendiknas No. 232/U/200, kurikulum ini terdiri atas kelompok-kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), Mata Kuliah Keilmuan dan Ketrampilan (MKK), Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB), Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB), serta Mata Kuliah Berkehidupan Bersama (MBB). Kurikulum ini tidak hanya menekankan pada hard skill saja, namun mengembangkan soft skill sesuai bidang ilmunya.

Pola pembelajaran yang sebelumnya terpusat pada dosen dianggap kurang memadai untuk mencapai tujuan pengajaran yang berbasis kompetensi. Berbagai alasan yang dapat dikemukakan adalah: (i) perkembangan IPTEK dan Seni yang sangat pesat dengan berbagai kemudahan untuk mengaksesnya merupakan materi pembelajaran yang sulit dapat dipenuhi oleh seorang dosen, (ii) perubahan kompetensi kekaryaan yang berlangsung sangat cepat memerlukan materi dan proses pembelajaran yang lebih fleksibel, (iii) kebutuhan untuk mengakomodasi demokratisasi partisipatif dalam proses pembelajaran di pergruan tinggi. Oleh karena itu, pembelajaran ke depan di dorong menjadi berpusat pada mahasiswa (SCL) dengan memfokuskan pada tercapainya kompetensi yang diharapkan. Hal ini berarti mahasiswa harus didorong untuk memiliki motivasi dalam diri mereka sendiri, kemudian berupaya keras mencapai kompetensi yang diinginkan.

(18)

proses mencari dan membentuk/mengkonstruksi pengetahuan, jadi bersifat aktif, dan spesifik caranya. Pola pembelajaran yang dipraktekkan adalah dosen hanya sebagai fasilitator dan motivator dengan menyediakan beberapa strategi belajar yang memungkinkan mahasiswa (bersama dosen) memilih, menemukan dan menyusun pengetahuan serta cara mengembangkan ketrampilannya (method of inquiry and discovery). Dengan paradigma inilah proses pembelajaran (learning

process) dilakukan.

Terdapat beragam metode pembelajaran untuk SCL, di antaranya adalah Small Group Discussion, Role-Play & Simulation, Case Study, Discovery

Learning, Self-Directed Learning, Cooperative Learning, Collaborative Learning,

Contextual Instruction, Project Based Learning, dan Problem Based Learning and

Inquiry. Selain model tersebut, masih banyak model pembelajaran lain yang

Referensi

Dokumen terkait