• Tidak ada hasil yang ditemukan

NAMA : SITY AISYAH SARAGIH NIM : 110707009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "NAMA : SITY AISYAH SARAGIH NIM : 110707009"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

i

KAJIAN ORAGANOLOGI SARUNEI BULUH SIMALUNGUN

BUATAN BAPAK RABES SARAGIH DI DESA NAGORI PURBA

TONGAH KECAMATAN PURBA KABUPATEN SIMALUNGUN

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA : SITY AISYAH SARAGIH

NIM : 110707009

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(2)

ii

KAJIAN ORAGANOLOGI SARUNEI BULUH SIMALUNGUN BUATAN BAPAK RABES SARAGIH DI DESA NAGORI PURBA TONGAH

KECAMATAN PURBA KABUPATEN SIMALUNGUN

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.

NIP 196112211991031001 NIP 196512211991031001

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni (S.Sn.) dalam bidang Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(3)

iii

PENGESAHAN

DITERIMA OLEH:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara,

Medan

Pada Tanggal : Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP 195110131976031001

Panitia Ujian: Tanda Tangan

1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D ( )

2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. ( )

3. Drs. Bebas Sembiring, M.Si. ( )

4. Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si. . ( )

(4)

iv DISETUJUI OLEH

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,

(5)

v

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan

Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat

yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis

disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2015

SITY AISYAH SARAGIH

(6)

vi ABSTRAKSI

Skripsi sarjana ini berjudul “Kajian Organologi Sarunei Buluh Simalungun Buatan Bapak Rabes Saragih Di Desa Nagori Purba Tonggah, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun.” Permasalahan yang paling pokok dalam penelitian ini adalah tentang aspek organologi yang mencakup: (a) bagaimana proses dan teknik pembuatan sarunei buluh Simalungun yang dilakukan Bapak Rabes Saragih, (b) bagaimana teknik memainkan sarunei buluh Simalungun, (c) bagaimana eksistensi, guna, dan fungsi alat musik sarunei buluh di tengah-tengah masyarakat Simalungun? Untuk mengkaji tiga masalah organologis tersebut, penulis menggunakan dua teori utama yaitu untuk aspek alat musik itu sendiri digunakan teori struktural fungsional yang ditawarkan Susumu Kashima dan untuk mengkaji eksistensi, guna, dan fungsinya di dalam masyarakat digunakan teori uses and function yang dikemukakan oleh Merriam. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif disertai penelitian lapangan, dan penulis bertindak sebagai pengamat partisipan. Untuk melengkapi tulisan ini, penulis menentukan informan yang bersedia memberikan informasi tentang instrumen Sarunei Buluh Simalungun ini yaitu Bapak Rabes Saragih, seorang musisi tradisional Simalungun yang cukup dikenal dan dipandang memiliki kapasitas sebagai pembuat alat musik dan musisi di kalangan masyarakat Simalungun.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut Secara struktural alat musik Sarune Buluh Simalungun ini terbuat dari bambu rogon, dengan panjang 28,5 cm dan diameter bambu 0,5 cm. Alat musik ini masuk ke dalam klasifikassi aerofon berlidah tunggal (single reed), terdiri dari satu lubang hembusan dan sekali gus tempat lidah, satu lubang pembelah udara di sisi belakang, dan enam lubang nada yang keseluruhannya berbentuk lubang segi empat, serta bahagian ujungnya yang terbuka. Fungsinya adalah menghasilkan nada-nama untuk memainkan melodi lagu-lagu tradisi Simalungun, dimainkan secara tunggal. Fungsinya dalam masyarakat adalah sebagai: (i) hiburan, (ii) komunikasi, (iii) komunikasi, dan (iv) reaksi jasmani. Alat musik Sarune Buluh mengekspresikan kebudayaan Simalungun.

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapakan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan

penyusunan skripsi yang berjudul “Kajian Organologi Sarunei Buluh Simalungun

Buatan Bapak Rabes Saragih Di Desa Nagori Purba Tongah Kecamatan Purba

Kabupaten Simalungun.” Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh

gelar sarjana seni S-1 pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih diucapkan kepada Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku

dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan tak lupa kepada

segenap jajarannya, yang telah banyak membantu di kantor FIB USU.

Kemudian penulis mengucapkan terimakasih kepada Ketua Departemen

Etnomusikologi Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D. sebagai Ketua

Departemen Etnomusikologi dan sekaligus pembimbing dua, juga Ibu Dra.

Heristina Dewi, M.Pd selaku Sekretaris Departemen Etnomusikologi yang telah

memberikan dukungan dan bantuan administrasi serta registrasi dalam perkuliahan

terhadap mahasiswa/i di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara

(USU) dan dalam menyelesaikan tugas akhir penulis. Juga kepada pegawai

Departemen Etnomusikologi FIB USU yaitu Ibu Siti Nurhawani diucapkan terima

kasih.

Penulis secara khusus tidak lupa untuk mengucapkan terimakasih kepada

Dosen Pembimbing I, yaitu Bapak Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si yang telah

(8)

viii

penulis dapat menjadi baik dan telah mengajar terhadap mahasiswa/i di Departemen

Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara (USU).

Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh dosen Departemen

Etnomusikologi, yaitu Bapak Prof. Drs. Mauly Purba, M.A., Ph.D., Ibu Dra.

Rithaony Hutajulu, M.A. , Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. , Ibu Dra. Frida

Deliana Harahap, M.Si., Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A. , Bapak Drs. Fadlin,

M.A. , Bapak Drs. Perikuten Tarigan, M.A. , Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si. ,

Ibu Arifni Netrirosa, SST., M.A., Bapak Drs. Irwansyah , M.A., terutama ilmu yang

penulis peroleh selama dalam proses mengajar di Departemen Etnomusikologi,

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (FIB USU), sampai ke dalam

penyelesaian tugas akhir penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua tercinta Bapak M.

Yamin Saragih dan mama Sawiyah Lubis yang telah membesarkan penulis dengan

kasih sayang dan berusaha payah membiayi, mendoakan, dan mendukung serta

memberikan semangat yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Juga kepada saudara/i penulis yang tersayang : Kakakku Halimah

Tuksadiah Saragih A.Md., Abangku M. Soleh Saragih, Kakakku Sity Anggur

Saragih. Keluarga yang selalu memberi dorongan, semangat dan doa, sebagai

inspirasi dalam tulisan ini.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua Informan , yaitu Bapak

Rabes Saragih, Bapak Riden Purba, dan Bapak Orsen Sumbayak beserta

keluarganya, dan seluruh keluarga Informan yang telah mau menerima penulis

selama melakukan penelitian dan memberikan banyak informasi mengenai

(9)

ix

Penulis mengucapkan terimakasih kepada teman-teman seperjuangan

stambuk 2011 (CCB.com) di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera

Utara (USU), yaitu Aprindo, Erwin, David, Jose, Gok, Debby, Lisken, Agnest,

Blessta, Agriva, Alfred, Appril, Ardi, Eyaki, Titi, Toyib, Benny, Andi, Adji, Roy,

Denny, Gopas, Jonathan, Kawan, Kharis, Leony, Mahyun, Mustika, Riri, Samuel,

Talenta, Tari, Zani, Zube, Egi, Riko, Elkando, Slamet, Linfia, Mona, Oktika, Rian,

Sopandu yang selalu setia dalam suka dan duka selama perkuliahan dan

penyelesaian skripsi penulis.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Verawati, Anita, Gohana, Nerly,

Blessta yang memberikan bantuan berupa doa, kasih sayang dan semangat kepada

penulis selama perkuliahan dan selama penyelesaian skripsi ini serta kepada seluruh

keluarga besar PSM USU.

Akhirnya, dengan segala kerendahan htai penulis menyadari masih banyak

terdapat kekurangan-kekurangan, sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan

kritikyang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Sehingga lebih

mengarah kepada kemajuan ilmu pengetahuan, yang khususnya di bidang ilmu

etnomusikologi. Penulis berharap tulisan ini dapat berguna dan menambah

pengetahuan serta informasi baru bagi seluruh pembaca.

Medan, Agustus 2015

Penulis

Sity Aisyah Saragih

(10)

x

1.2 Pokok Permasalahan ... 14

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 15

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 15

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI BAPAK RABES SARAGIH ... 23

2.1 Lokasai Penelitian ... 23

2.2 Keadaan Penduduk ... 24

2.5 Sistem Kekerabatan ... 32

2.6 Sistem Kepercayaan ... 37

2.7 Biografi Singkat Bapak Rabes Saragih ... 40

BAB III KAJIAN ORGANOLOGI SARUNEI BULUH SIMALUNGUN ... 42

3.1 Klasifikasi Sarunei Buluh ... 42

3.2 Konstruksi Bagian-bagian Sarunei Buluh ... 44

(11)

xi

3.4 Ukuran Bagian-bagian Sarunei Buluh ... 65

3.5 Kajian Fungsional ... 66

BAB IV EKSISTENSI DAN FUNGSI SARUNEI BULUH SIMALUNGUN ... 69

4.1 Asal-Usul Sarunei Buluh Simalungun ... 69

4.1.1 Cerita Sarunei Buluh Simalungun ... 70

4.1.2 Sejarah Singkat Sarunei Buluh Simalungun ... 70

4.2 Fungsi dan Penggunaan Sarunei Buluh Simalungun ... 71

4.2.1 Fungsi ... 71

BAB V RANGKUMAN DAN KESIMPULAN ... 80

5.1 Rangkuman ... 80

5.2 Kesimpulan ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 98

(12)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Masyarakat Simalungun adalah salah satu kelompok etnis yang ada di

wilayah Provinsi Sumatera Utara. Etnis Simalungun merupakan salah satu dari

lima kelompok masyarakat Batak lainnya, yaitu: Toba, Karo, Pakpak,

Mandailing-Angkola (Bangun, 1993:94). Setiap etnis yang ada di Sumatera

Utara memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Demikian juga halnya dengan etnis Simalungun, memiliki budaya yang

diwariskan secara turun-temurun oleh leluhurnya, baik secara lisan maupun

tulisan. Salah satu bentuk kebudayaan tersebut adalah kesenian. Kesenian pada

masyarakat Simalungun terdiri dari berbagai bidang seperti: seni rupa, seni tari,

seni ukir, dan seni musik. Dalam tulisan ini penulis berfokus untuk mengkaji

seni musiknya, khususnya alat musik sarunei buluh.

Pada masyarakat Simalungun, seni musik terbagi atas dua bagian besar

yaitu musik vokal yang disebut inggou, dan musik instrumental yang disebut

gual. Musik instrumen yang dimainkan secara ensambel, dan musik instrumen

dimainkan secara tunggal (solo instrument). Alat-alat musik tersebut dapat

dipakai untuk mengiringi upacara yang bersifat ritual dan hiburan, sebagai

contoh yaitu alat yang dimainkan secara ensambel adalah gonrang sidua-dua

(13)

2

upacara-upacara adat masyarakat Simalungun baik upacara sukacita (malas ni

uhur) maupun upacara dukacita (pusok ni uhur).

Alat musik tunggal yang terdapat pada masyarakat Simalungun di

antaranya adalah: garantung, sordam, tulila, husapi, arbab, dan saligung.

Ensambel musik gonrang sidua-dua maupun gonrang sipitu-pitu juga dapat

mengiringi tari-tarian (tortor) dalam konteks hiburan, misalnya Tortor

Huda-huda atau disebut juga Toping-toping. Tortor ini ditampilkan pada upacara

kematian, yaitu acara na matei sayur matua.1 Tortor ini berfungsi untuk

menghibur masyarakat pada umumnya dan keluarga secara khusus agar tidak

larut dalam kesedihan.

Salah satu alat musik tunggal yang akan penulis bahas adalah sarunei

buluh. Alat musik ini merupakan salah satu alat musik yang tergolong dalam

aerophone single reed (aerofon berlidah tunggal) sesuai dengan sistem

klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel. Menurut penjelasan Bapak Rabes

Saragih,2 sarunei buluh adalah alat musik tiup yang memiliki tujuh buah lubang

nada, dalam klasifikasi termasuk ke dalam (aerofon) yang getarannya berasal

dari udara dan dimainkan dengan cara meniup (end blown flute), sedangkan

lubang untuk meniup sarunei tidak memiliki diameter tetapi untuk lubang

hembusan memiliki diameter, pembuatan lubang diameter yang dilakukan oleh

Bapak Rabes Saragih itu hanya dengan menggunakan dua jari tangan saja.

(14)

3

Sarunei buluh terbuat dari bambu buluh rogon dan kayu simardaruma.

Instrumen ini dimainkan dengan ditiup dengan menggunakan teknik pernafasan

(circular breathing). Bambu yang dipakai oleh Bapak Rabes Saragih ini

memiliki daya tahan, umumnya dalam waktu jangka panjang, dan apabila retak

sarunei buluh tersebut tidak dapat digunakan lagi.

Orang yang memainkan sarunei disebut parsarunei3, sementara orang

yang membuat sarunei disebut pambahen sarunei. Di Purba Tongah terdapat

banyak parsarunei, tetapi tidak semua parsarunei mengerti tentang cara-cara

pembuatan sarunei buluh. Salah satu orang yang dapat membuat sarunei buluh

Simalungun adalah bapak Rabes Saragih. Beliau adalah salah satu pembahen

sarunei dan parsarunei. Selain dikenal kepiawaiannya dalam memainkan dan

membuat sarunei buluh Simalungun beliau juga dikenal sebagai seorang tokoh

masyarakat yang mendukung kelestarian musik tradisional Simalungun seperti

memperkenalkan kebudayaan musik Simalungun kepada muda-mudi, serta

pertunjukan dalam berbagai peristiwa budaya seperti rondang bintang,

kegiatan pariwisata, hiburan dalam upacara perkawinan, dan lain-lainnya. Latar

belakang keluarga yang menjadi dorongan beliau untuk menjadi seorang

pemain musik.Ayahnya seorang pemain sarunei, dan alat-alat musik tradisional

Simalungun lainnya. Hal ini menjadi motivasi beliau untuk menjadi seorang

seniman musik Simalungun.

3

(15)

4

Sebagai seorang seniman musik tradisi Simalungun, Rabes Saragih

memulai kinerjanya sebagai pemaian Sarunei Bolon. Kemudian sesuai dengan

pengalamannya berkesenian ia juga menjadi seorang pambahen sarunei.

Sesudah itu kemudian beliau sering dipanggil untuk ikut tampil sebagai

pemaian saruneidi berbagai upacara adat Simalungun.

Sejak tahun 1963 Bapak Rabes Saragih menjadi pemusik tradisi.

Kemudian sesuai perkembangan zaman pada tahun 1990-an ia masuk menjadi

anggota pemusik pada Martile Keyboard Julia Group. Di dalam kelompok ini

ia ditugaskan sebagai pemain sarunei buluh, sarunei bolon, dan gonrang.

Kapan ia memainkan alat-alat musik tersebut adalah sesuai dengan kehendak

pimpinan grup ini. Yang paling sering ia memainkan sarunei bolon. Bapak

Rabes Saragih mulai mempelajari cara memainkan alat musik sarunei buluh

secara ototidak pada saat berumur 18 tahun.

Cara belajar digunakan beliau untuk mempelajari sarunei buluh adalah

dengan menghapal melodi-melodi lagu yang sering dimainkan oleh parsarunei

didalam grup tersebut. Secara lambat laun beliau mulai bisa memainkan

sarunei buluh, dan mulai menggantikan parsarunei utama dengan memainkan

dua atau tiga repertoar lagu, sehingga Bapak Rabes Saragih dipercaya oleh

grup untuk menjadi salah satu parsarunei didalam grup itu. Meskipun belajar

secara otodidak dalam memainkan sarunei buluh beliau tetap menganggap

teman-temannya sebagai tempat belajar bermain dan membuat sarunei buluh.

(16)

5

teman-temannya, sehingga sedikit banyaknya telah mempengaruhi teknik

permainan dan pembuatan sarunei buluh.

Bapak Rabes Saragih sering melihat dan bertanya tentang proses-proses

pembuatan sarunei buluh kepada ayahnya, yaitu Bapak Hormat Saragih, yang

juga seorang pemusik tradisi Simalungun. Kemudian secara perlahan-lahan

beliau mulai mencoba untuk membuat sarunei buluh hasil karya ciptanya

sendiri. Walaupun telah berkali-kali gagal, tetapi Bapak Rabes Saragih tidak

pernah berhenti untuk mencoba hingga beliau menghasilkan sarunei buluh

yang dianggap beliau memenuhi syarat sebagai alat musik tradisi

Simalungun.Untuk membuat satu buah sarunei buluh Bapak Rabes Saragih

membutuhkan waktu kurang lebih satu jam, dengan catatan bambu sudah harus

kering.

Dalam proses pembuatan, Bapak Rabes Saragih masih tetap

menggunakan alat-alat tradisional, yakni berupa: parang, pisau belati, pisau

cutter, dan bahan-bahan buluh rogon dan kayu simardaruma. Proses

pembuatannya tergolong tradisional, yaitu menggunakan tenaga manusia, dan

tidak menggunakan bantuan mesin.

Proses pertama yang dilakukan pambahen sarunei buluh adalah

mencaribambu rogon yang sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan di sekitar

desa, di pinggiran ladang para petani, yang biasanya tumbuh sendiri secara

alamiah. Bagian yang digunakan adalah ranting bambu. Ranting tersebut harus

lurus tidak bengkok, kemudian ranting tersebut dilubangi untuk lubang nada,

(17)

6

Setelah bagian kulit luarnya dihaluskan dengan pisau kater (cuter),

barulah pembuat sarunei buluh mengukur dan memberi tanda untuk lobang

nada sarunei buluh tersebut. Setelah itu ujung bambu dikikis secara perlahan

dengan menggunakan pisau kater pada bagian atas dan pangkal pada bambu.

Diukur sesuai garis tengah pada bambu dengan menggunakan dua jari tangan.

Kemudian diukur lagi sebanyak lima kali sebagai tanda hasil dari yang diukur

pada bambu. Setelah selesai mengukur dan menggarisi pada bambu, Bapak

Rabes Saragih membuat pengukuran dengan taksiran dengan berpedoman pada

lebar dua jari tangan, telunjuk dan tengah.

Pembuatan lubang nada sarunei buluh biasanya memakai pisau cutter.

Jarak untuk melubangi lubang nada menggunakan dua jari tangan. Lalu dibuat

dahulu lubangnya yang kecil dengan menggunakan pisau kater. Kemudian

secara pelan-pelan dan hati-hati mengikis lubang nada, maka terbentuklah

lubang tersebut.Pada bagian pangkal lubang hembusan, ditutup dengan kayu

simardaruma. Di bahagian ujung tiupan maka selanjutnya dibentuk lidah dari

bambu itu sendiri, dengan menggunakan pisau kater.

Menurut penjelasan Bapak Rabes Saragih yang banyak memesan

sarunei buluh kepada beliau adalah orang-orang yang hendak mempelajari

sarunei buluh Simalungun (diantaranya pemuda-pemudi), begitu juga halnya

dengan parsarunei yang sudah professional. Terdapat banyak upacara

maupun kegiatan adat masyarakat Simalungun di Purba Tongah yang selalu

melibatkan musik tradisional dalam pelaksaannya seperti upacara pernikahan

(18)

7

dilestarikanbegitu juga dengan instrumensarunei buluh yang kerap digunakan

dalam setiap penyajian musik tradisional Simalungun di Purba Tongah.

Sampai saat ini sarunei buluh masih dipergunakan sebagai instrument

musik dalam kegiatan yang berhubungan dengan musik pada masyarakat

Simalungun.Tidak hanya dalam hal penggunaan, pembuatan sarunei buluh

oleh Rabes Saragih masih berlangsung sampai saat ini di Purba Tongah.

Dari uraian latar belakang atas, maka penulis tertarik unutuk meneliti

dan mengkaji, serta menuliskan dalam sebuah tulisan ilmiah dengan judul:

“Kajian Organologi Sarunei Buluh Simalungun Buatan Bapak Rabes Saragih

di Desa Nagori Purba Tongah, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun.”

Penelitian ini secara ilmiah menggunakan disiplin etnomusikologi, yang

salah satunya adalah mengkaji alat-alat musik. Apa itu etnomusikologi

dijelaskan oleh Alan P. Merriam (1964) sebagai sebuah disiplin ilmu yang

mengkaji musik dalam konteks kebudayaan manusia. Artinya jika seorang

ahli etnomusikologi mengkaji musik, maka ia akan selalu melihatnya dalam

perspektif kebudayaan di mana musik itu hidup, tumbuh, dan berkembang.

Musik tidak hanya fenomena bunyi yang dihasilkan manusia, tetapi musik

adalah bahagian dari fenomena manusia yang menghasilkan musik tersebut.

mengkaji musik dalam kebudayaan berarti juga mengkaji eksistensi manusia

yang menghasilkan musik tersebut. Tujuan akhir seorang etnomusikolog

bukan mengkaji musik sebagai bunyi dengan hukum-hukum internalnya

sendiri, tetapi adalah mengkaji manusia yang menghasilkan musik

(19)

8

Sama halnya dengan ilmu-ilmu lain di dunia ilmu pengetahuan,

etnomusikologi memiliki wilayah atau jangkauan pengkajian. Seorang

etnomusikolog mestilah paham tentang wilayah penyelidikan etnomusikologi.

Apa pun yang dikerjakan oleh etnomusikolog di lapangan, pada hakekatnya

ditentukan oleh rumusan metodenya sendiri dalam arti yang luas. Maka sebuah

penelitian etnomusikologis dapat diarahkan seperti perekaman suara musik, atau

masalah peran sosial pemusik di dalam masyarakat. Jikalau suatu penelitian

diarahkan kepada kajian mendalam di suatu daerah penelitian, dan jika peneliti

menganggap studi etnomusikologi bukan hanya sebagai kajian musik dari aspek

lisan, tetapi juga terhadap aspek sosial, kultural, psikologi, dan estetika—paling

tidak ada enam wilayah penyelidikan yang menjadi perhatian etnomusikologi

(Merriam 1964).

Yang pertama adalah kebudayaan material musik. Ini pula yang menjadi

fokus kajian dalam penelitian penulis, yaitu kebudayaan material musik, berupa

sarunei buluh di dalam konteks kebudayaan Simalungun di Sumatera Utara.

Wilayah ini meliputi kajian terhadap alat musik yang disusun oleh peneliti

dengan klasifikasi yyang biasa digunakan, yaitu: idiofon, membranofon,

aerofon, dan kordofon. Selain itu pula, setiap alat musik harus diukur,

dideskripsikan, dan digambar dengan skala atau difoto; prinsip-prinsip

pembuatan, bahan yang digunakan, motif dekorasi, metode dan teknik

pertunjukan, menentukan nada-nada yang dihasilkan, dan masalah teoretis perlu

pula dicatat. Selain masalah deskripsi alat musik, masih ada sejumlah masalah

(20)

9

antaranya adalah apakah terdapat konsep untuk memperlakukan secara khusus

alat-alat musik tertentu di dalam suatu masyarakat? Adakah alat musik yang

dikeramatkan? Adakah alat-alat musik yang melambangkan jenis-jenis aktivitas

budaya atau sosial alain selain musik? Apakah alat-alat musik tertentu

merupakan pertanda bagi pesan-pesan tertentu pada masyarakat luas? Apakah

suara-suara atau bentuk-bentuk alat musik tertentu berhubungan dengan

emosi-emosi khusus, keberadaan manusia, upacara-upacara, atau tanda-tanda tertentu?

Nilai ekonomi alat musik juga penting dikaji dalam etnomusikologi.

Mungkin ada beberapa spesialis yang mencari nafkahnya dari membuat alat

musik. Apakah ada atau tidak spesialis pada suatu masyarakat? Apakah proses

pembuatan alat musik melibatkan waktu pembuatnya? Alat musik dapat dijual

dan dibeli, dapat dipesan; dalam keadaan apa pun, produksi alat musik

merupakan bagian dari kegiatan ekonomi di dalam masyarakatnya secara luas.

Alat musik mungkin dianggap sebagai lambang kekayaan; mungkin dimiliki

perorangan; jika memilikinya mungkin diakui secara individual akkan tetapi

untuk kepentingan praktis diabaikan; atau mungkin alat-alat musik ini menjadi

lambang kekayaan suku bangsa atau desa tertentu. Penyebaran alat musik

mempunyai makna yang sangat penting di dalam kajian-kajian difusi dan di

dalam rekonstruksi sejarah kebudayaan, dan kadang-kadang dapat memberi

petunjuk atau menetukan perpindahan penduuduk melalui studi alatmusik.

Kategori kedua adalah kajian tentang teks nyanyian. Kajian ini meliputi

kajian teks sebagai peristiwa linguistik, hubungan linguistik dengan suara musik,

(21)

10

antara teks dengan musik telah banyak diteliti di dalam etnomusikologi karena

memberi manfaat yang jelas. Namun hingga kini belum pernah dilakukan kajian

yang menggunakan linguistik modern dan teknik-teknik etnomusikologis.

Teks nyanyian mengekspresikan perilaku kebahasaan yang dapat dianalisis

dari sudut struktur dan isi. Bahasa teks nyanyian cenderung mempunyai

perbedaan sifat dengan ungkapan harian, dan kadangkala, seperti pada

nama-nama pujian, atau bunyi pertanda gendang, teks tersebut merupakan bahasa

“rahasia” yang hanya diketahui sekelompok tertentu saja dari masyarakatnya.

Dalam teks nyanyian, bahasa yang digunakan sering lebih elastis dibandingkan

dengan bahasa sehari-hari, dan bahasa tersebut tidak hanya mengungkapkan

proses kejiwaan seperti pengendoran tekanan, akan tetapi juga informasi tentang

sifat yang tidak mudah diungkapkan. Dengan alasan yang sama, teks nyanyian

sering mengungkapkan nilai-nilai yang dalam dan tujuan-tujuan yang hanya

boleh dinyatakan dalam keadaan terpaksa di dalam ungkapan sehari-hari. Hal ini

selanjutnya dapat mengarahkan kepada kepekaan terhadap simbol yang

mengandung etos dari suatu kebudayaan, atau terhadap suatu jenis generalisasi

karakter nasional. Pemahaman mengenai perilaku ideal dan nyata sering dapat

diungkap mellaluiteks nyanyian, dan akhirnya teks juga digunakan sebagai

catatan sejarah bagi kelompok tertentu, sebagai cara-cara untuk menanamkan

nilai-nilai, dan sebagai cara untuk membudayakan generasi muda.

Aspek ketiga adalah meliputi kategori-kategori musik yang dibuat oleh

peneliti yang sesuai dengan kategori yang berlaku dalam kelompok tersebut. Di

(22)

11

diklasifikasikan utuk menyertakan contoh-contoh akurat dari semua jenis musik

di dalam situasi-situasi pertunjukan yang direncanakan dan dipertunjukkan

sebenarnya.

Pemain musik atau musisi dapat menjadi sasaran keempat bagi

etnomusikolog. Dari sekian hal yang penting adalah latihan untuk menjadi

pemusik. Apakah seseorang dipaksa oleh masyarakatnya untuk menjadi

pemusik, atau ia memilih sendiri karirnya sebagai pemusik? Bagaimana

metode latihannya, apakah sebagai pemain musik potensial yang mengandalkan

kepada kemampuan sendiri; apakah ia mendapatkan pengetahuan dasar tentang

teknik memainkan alat musiknya atau teknik menyanyi dari orang lain, atau

apakah ia menjalani latihan yang ketat dalam waktu tertentu? Siapa saja

pengajarnya, dan bagaimanakan metode mengajarnya? Hal ini mengarahkan

kepada masalah profesionalisme dan penghasilan. Sebuah masyarakat mungkin

saja membedakan beberapa tingkatan kemampuan pemusik, membuat klasifikasi

dengan istilah-istilah khusus, dan memberikan penghargaan tertinggi kepada

sesuatu yang dianggap benar-benar profesional; atau pemusik dapat saja tidak

dianggap sebagai spesialis. Bentuk dan cara memberi penghargaan dapat sangat

berbeda untuk setiap masyarakat, dan dapat terjadi bahwa pemusik sama sekali

tidak mendapat bayaran.

Kajian ini dalam rangka penulisan skripsi digunakan dalam rangka

mendeskripsikan biografi musikal Bapak rabes Saragih di dalam kebudayaan

Simalungun. Deskripsi tersebut meliputi apakah ia dipaksa menjadi pemusik

(23)

12

memilih karirnya sebagai pemusik atau dalam bidang musik hanya sambilan

saja, bagaimana ia berlatih, bagaiman ia membuata alat-alat musik, dan berbagai

pertanyaan sejenis.

Wilayah studi kelima adalah mengenai penggunaan dan fungsi musik

dalam hubungannya dengan aspek budaya lain. Informasi yang kita dapatkan,

menunjukkan bahwa didalam hubungan dengan penggunaan, musik meliputi

semua aspek masyarakat; sebagai perilaku manusia, musik dihubungkan secara

sinkronik dengan perilaku lainnya, termasuk religi, drama tari, organisasi sosial,

ekonomi, struktur politik, dan berbagai aspek lainnya. Dalam mengadakan studi

tentangmusik, peneliti dipaksa untuk mengadakan pendekatan budaya secara

lengkap dalam mencari hubungan musik, dan di dalam maknanya yang dalam, ia

mengetahui bahwa musik mencerminkan kebudayaan, sedangkan musik menjadi

bagiannya.

Fungsi musik di dalam masyarakat merupakan objek penyelidikan lain

dari penyelidikan tentang penggunaan tersebut, karena penelitiannya diarahkan

kepada masalah-masalah yang jauh lebih dalam. Telah dinyatakan bahwa salah

satu fungsi utama musik adalah untuk membantu mengintegrasikan masyarakat,

suatu proses yang secara kontinu dilakukan di dalam kehidupan manusia.

Fungsi lain adalah untuk melepaskan tekanan-tekanan jiwa. Perbedaan antara

penggunaan dan fungsi musik belum banyak dibicarakan di dalam

etnomusikologi, dan studi-studi pada wilayah yang luas cenderung untuk

memusatkan kepada masalah pertama dan mengenyampingkan masalah yang

(24)

13

karena studi tersebuts eharusnya mengarahkan kepada pengertian yanglebih

dalam tentang mengapa musik merupakan suatu gejala universal dii dalam

masyarakat.

Wilayah studi kelima etnomusikologi ini, penulis ap-likasikan dalam

mendeskripsikan fungsi alat musik sarunei buluh di dalam kebudayaan

Simalungun. Menurut hemat penulis fungsi alat musik ini adalah: komunikasi,

hiburan, rekasi jasmani, dan penguingkapan emosional.

Akhirnya, keenam, peneliti lapangan dapat mempelajari musik sebagai

aktivitas kreatif di dalam kebudayaan. Yang penting di sini adalah tahap-tahap

dari studi musik yang memusatkan pada konsep-konsep musik yangdigunakan di

dalam masyarakat yang sedang diteliti. Yang mendasari semua pertanyaan

adalah berbagai masalah perbedaan yang dibuat oleh pemusik dan bukan

pemusik di antara apa yang dianggap musik dan bbukan musik, merupakan

sasaran yang baru mendapatkan sedikit perhatian di dalam etnomusikologi. Apa

sumber-sumber musik itu? Apakah musik disusun hanya melalui perantaraan

bantuan dan persetujuan manusia super, atau apakah musik merupakan

gejala-gejala manusia biasa? Bagaimana nyanyian-nyanyian baru muncul? Apabila

penyusun musik mempunyai status tinggidi dalam masyarakat, bagaimana ia

menyusun musik, dan bagaimana pendapatnya tentang proses penyusunan

musik? Ukuran-ukuran kemampuan di dalam pertunjukan adalah penting sekali

karena melalui pengertian ukuran ini peneliti dapat melihat musik yang baik dan

buruk serta dapat melihatnya dengan cara-cara yang digunakan di dalam

(25)

14

evaluasi analitis dari suatu teori tentang musik di dalam masyarakat tersebut;

juga mengarahkan kepada berbagai masalah khusus di mana bentuk

divisualisasikan sebagai sesuatu yang dapat dimanipulasikan, dan terhadap

apakah aspek-aspek bentuk seperti interval musik atau pola-pola ritme inti

khusus digunakan di dalam pemikiran pemusik dan bukan pemusik.

Dengan demikian fenomena dan eksistensi sarunei buluh ini, sangat

menarik didekati dengan pendekatan ilmiah yaitu disiplin etnomusikologi.

Tujuan dari penelitian seperti ini adalah mengungkapkan fakta-fakta tersurat dan

tersirat di balik keberadaan sarunei buluh Simalungun. Selanjutnya masyarakat

yang memiliki kebudayaan material musik sedemikian rupa memiliki identitas

yang khas yang membedakannya dengan masyarakat-masyarakat lain. Di

dalamnya terkandung ide-ide kebudayaan yang dinamis dan memilii kearifannya

tersendiri.

1.2Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan sebelumnya,

pokok permasalahan yang mnjadi topic bahasaan dalam tulisan ini yaitu :

1. Bagaimana proses dan teknik pembuatan sarunei buluh Simalungun

yang dilakukanbapak Rabes Saragih?

2. Bagaimana teknik memainkan sarunei buluh Simalungun?

3. Bagaimana eksistensi, fungsi, dan penggunaan alat musik sarunei buluh

(26)

15 1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian terhadap Sarunei Buluh Simalungun yaitu:

1. Untuk mengetahui proses dan teknik pembuatan sarunei buluh Simalungun

oleh bapak Rabes Saragih.

2. Untuk mengetahui teknik permainan sarunei buluh Simalungun.

3. Untuk mengetahui fungsi dan penggunaan alat musik sarunei buluh

Simalungun di tengah-tengah masyarakat Simalungun.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai untuk menambah informasi dan

pengetahuan tentang kebudayaan Simalungun.

1. Sebagai dokumentasi untuk menambah referensi mengenai musik

Simalungun di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara.

2. Sebagai suatu proses pengaplikasian ilmu yang diperoleh selama mengikuti

perkuliahan di Departemen Etnomusikologi.

3. Untuk melestrikan alat musiksarunei buluh yang sudah jarang dipakai.

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan

(27)

16

1991:431). Konsep juga dapat diartika suatu kesatuan pengertian tentang

suatu hal atau persoalan yang perlu dirumuskan (Mardalis, 2003:46).

Berikut ini penulis akan membuat pengertian dari kata-kata yang

terdapat pada judul. Kajian adalah penyelidikkan atau pelajaran yang

mendalam atau menelah (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Dalam

etnomusikologi, bahwa kajian etnomusikologi tidak hanya berhubungan

dengan musikal, apsek social, konteks budaya, psikologis dan estetika,

melainkan juga paling sedikit ada enam aspek yang menjadi perhatiannya.

Salah satu diantarannya adalah materi kebudayaan musikal (musical

materials culture) (Merriam, 1964:45).

Sementara organologi merupakan bagian dari etnomusikologi yang

meliputi semua aspek, diantaranya adalah ukuran dan bentuk fisiknya

termasuk pada pola biasaanya, bahan dan prinsip pembuatannya, metode dan

teknik memainkan, bunyi dan wilayah nada yang dihasilkan, serta aspek

social budaya yang berkaitan dengan alat musik tersebut. Organologi juga

tidak hanya membahas masalah teknik memainkan, fungsi musikal, dekorasi

(pola hiasan) fisik, dan aspek sosial budaya, melain kan termasuk didalamnya

sejarah dan deskripsi alat musik tersebut secara konstruksional (Hood,

1982:124). Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian Kajian

Organologi adalah, suatu penyelidikan yang mendalam untuk mempelajari

tentang instrument musik baik mencakup aspek sejarahnya maupun deksripsi

alat musik itu sendiri tanpa mengenyampingkan aspek-aspek budaya dari alat

(28)

17

Sarunie buluh merupakan alat musik tiup yang sejenis dengan

recorder dan termasuk dalam klasifikasi alat musik aerofon yang berfungsi

membawakan melodi lagu dalam penggunaanya. Masyarakat Simalungun

mengelompokkan alat musik sarunei buluh ke dalam kelompok alat

musikyang dimainkan secara tunggal (solo instrument), namun pada

kesempatan-kesempatan tertentu sarunei buluh tersebut dimainkan secara

ansambel.

1.4.2 Teori

Teori merupakan pendapat yang dikemukakan mengenai suatu

peristiwa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005).Sebagai landasan berpikir

dalam melihat suatu permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis

menggunakan teori-teori yang revelan, yang sesuai untuk permasalahan

tersebut.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, eksitensi artinya

keberadaan. Sementara pengertian kebudayaan menurut E.B Talyor, dalam

bukunya yang berjudul Primitive Culture (1871) adalah: “keseluruhan yang

mencakup pengetahuan dan kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, serta

kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota

masyarakat.”

Sarunei buluh Simalungun adalah instrumen musik aerofon, berlidah

tunggal, yang memiliki tujuh lubang, yang suaranya berasal dari udara. Oleh

(29)

18

teori yang dikemukakan oleh Curt Sach dan Hornbostel 1961, yaitu sistem

pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyi.

Sistem pengklasifikasian ini terbagi menjadi empat bagian yang terdiri dari:

idiofon, (penggetar utama bunyinya adalah badan alat musik itu sendiri),

aerofon (penggetar utama bunyinya adalah udara), membranofon (penggetar

utama bunyinya adalah kulit atau membrane), dan kordofon (penggetar utama

bunyinya adalah senar).

Maka penulis meyimpulkan bahwa eksistensi merupakan keberadaan

yang mencakup keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,

adat, serta kemampuan dan kebiasaan lainnyaa yang diperoleh manusia sebagai

menjadi landasan teori eksistensi kebudayaan untuk menyatakan keberadaan

instrumensarunei buluh dalam masyarakat Simalungun.

Dalam tulisan ini untuk membahas pendeskripsian alat musik, penulis

mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Susumu Kashima (1978:174)

terjemahan Rizaldi Siagan dalam laporan APTA, bahwa studi musik dapat

dibagi dalam dua kelompok sudut pandang yang mendasar, yaitu studi

strukural dan studi fungsional. Studi struktural berkaitan dengan observasi

(pengamatan), pengukuran, perekaman, atau bentuk pencatatan, ukuran besar

kecil, konstruksi serta bahan-bahan yang dipakai unutuk pembuatan alat musik

tersebut.

Kemudian studi fungsional memperhatikan fungsi dari alat-alat

komponen yang memproduksi (menghasilkan) suara, antara lain membuat

(30)

19

metode pelarasan dankeras lembutnya suara (loudness) bunyi nada, warna nada

dan kualitas suara yang dihasilkan oleh alat musik tersebut. Berdasarkan

penjelasan tersebut, penulis menggolongkan proses dan teknik pembuatan

sarunei buluh Simalungun yang dilakukan Rabes Saragih kedalam studi

structural.

Menurut Herskovits (1964:217-218) dalam Merriam, penggunaan

musik dapat dibagi menjadi lima kategori unsur-unsur budaya yaitu:

kebudayaan material, kelembagaan sosial, hubungan manusia dengan alam,

estetika, dan bahasa.

1.5Metode Penelitian

Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu

pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dihendaki melalui cara kerja yang

bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai

tujuan yang ditentukan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka 2005).

Sedangkan penelitian merupakan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis

dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk

memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk

mengembangkan prinsip-prinsip umum (Kamus Besar Bahasa Indonesia,

2005).

Metode yang dapat digunakan penulius adalah metode penelitian

kualitatif. Menurut Nawawidan Martini(1995:209) penelitian kualitatif adalah

(31)

20

sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek atau bidang

kehidupan tertentu pada objeknya. Untuk medukung metode penelitian

tersebut, penulis menggunakan metode ilmu etnomusikologi yang terdiri dari

dua kerja, yaitu: kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (laboratory

work). Hasil dari kedua metode ini kemudian digabungkan menjadi satu hasil

akhir (a final study), (Merriam, 1964:34).

Untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam tulisan

ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data, yaitu:(1) menggunakan

daftar pertanyaan, dan (2) wawancara.

1.5.1 Kerja Lapangan

Penulis melakukan kerja lapangan dengan observasi langsung melihat

proses pembuatan ke daerah penelitian yaitu ke rumah Bapak Rabes Saragih

dan mencari narasumber dari pemusik dan tokoh masyarakat Simalungun.

Penulis juga melakukan wawancara tidak berstruktur antara peneliti dan

informan yaitu mengajukan pertanyaan yang tidak terikat pada susunan

pertanyaan, akan tetapi tetap pada berfokus permasalahan utama.

1.5.2 Wawancara

Wawancara adalah salah satunya teknik yang digunakan untuk

memperoleh informasi tentang kejadian yang tidak dapat diamati secara

langsung. Teknik wawancara yang dilakukan penulis adalah wawancara

(32)

21

Sebelum melakukan wawancara, penuluis terlebih dahulu menetapkan kepada

siapa wawancara itu dilakukan, lalu menyiapakan pokok-pokok masalah yang

terjadi bahan pembicaraan, kemudian melangsungkan wawancara, hasilnya

ditulis dalam catatan lapangan.Pada wawancara berfokus, pertanyaan

berpusat pada aspek pokok permasalahan.

Walaupun demikian, pertanyaan yang diajukan lebih bersifat bebas,

tidak hanya berpusat pada pokok permasalahan tetapi pertanyaan dapat

beralih pada permasalahan lain dengan tujuan untuk memperoleh data yang

beraneka ragam, namun tidak menyimpang dari objek permasalahan.

1.5.3 Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian dalam mengumpulkan data untuk tulisan ini

adalah di rumah Bapak Rabes Saragih yang berlokasi di desa Nagori Purba

Tongah, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun.Namun untuk mendukung

informasi mengenai sarunei buluh Simalungun tersebut, penulis juga

mengumpulkan data-data maupun informasi dari orang-orang yang mengetahui

tentang alat musik tersebut dan tokoh-tokoh masyarakat.

1.5.4 Studi Kepustakaan

Sebelum melakukan penelitian ke lokasi, penulis terlebih dahulu

mengadakan studi pustaka.Penulis membaca buku-buku dengan penelitian dan

juga tulisan ilmiah dan cacatan yang berhubungan dengan objek penelitian.

(33)

22

dalam website, penulis juga mencari informasi dari internet. Studi pustaka ini

diperlukan untuk melihat teori-teori dan konsep-konsep yang sesuai untuk

mendukung penelitian ini.

1.5.5 Kerja Laboratorium

Data-data yang sudah penulis, kemudian diolah dalam kerja

laboratorium.Kemudian penulis menyaring data-data yang diperlukan sesuai

dengan topik masalah penelitian. Data tersebut diklasifikasikan dan disusun

melalui proses teknik-teknik penulisan skripsi sarjana yang sesuai dengan

norma yang berlaku di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara.

Pada kerja ini penulis melakukan pengeditan terhadap foto-foto yang

telah dikumpulkan di lapangan. Kemudian foto tersebut diinsert ke dalam

skripsi, yang bertujuan mendukung studi organologis. Bila diperlukan foto

difokuskan pada titik tertentu untuk fokus. Foto diedit dalam format jpg.

Dalam kerja laboratorium ini, selain analisis aspek visual dalam studi

organologi, maka diperlukan pula analisis aspek musikal. Oleh karena itu,

penulis melakukan transkripsi lagu yang lazim dimainkan dalam sarunei buluh.

Selain itu penulis juga mentranskripsi tangga nada yang dihasilkan sarunei

(34)

23 BAB II

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI BAPAK RABES SARAGIH

Bab II ini merupakan penjelasan tentang gambaran umum wilayah

penelitian dan biografi singkat Bapak Rabes Saragih sebagai seniman alat musik

tradisional Simalungun.Wilyah yang dimaksud disini adalah bukan hanya lokasi

penelitian, tetapi lebih berfokus kepada gambaran masyarakat Simalungun

khususnya yang ada di Nagori Purba Tongah secara umum. Namun sebelum

membahas topiktersebut, akan diuraikan terlebih dahulu Desa Nagori Purna

Tongah Kecamatan Purba Kabupaten Simalungun.

2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang penulis teliti berada di Desa Nagori Purba Tongah

yang merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai tempat pembuatan Sarunei

Buluh bapak Rabes Saragih yang bertempat tinggal Jalan Purba Tongah,

Kecamatan Purba Kabupaten Simalungun. Menurut data yang didapat dari

Kantor Lurah Desa Nagori Purba Tongah, secara geografis Desa Nagori Purba

Tongah adalah terletak antara 02’50’18 LU- 99’11’20 BT. Dengan luas wilayah

adalah 172,71 Km² dengan letak geografis. Adapaun batas-batas wilayah Desa

(35)

24

(1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Dolok,

(2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Haranggaol Horisan dan

Kecamatan Dolok Pardamean,

(3) Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Silimakuta,

(4) Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Dolok Pardamean dan

Kecamatan Raya.

2.2 Keadaan Penduduk

Pada awalnya penduduk asli Desa Nagori Purba Tongah didominasi oleh

suku Simalungun, namun setelah terjadi urbanisasi kependudukkan, Desa Nagori

Purba Tongah menjadi bersifat heterogen, karena terdiri dari berbagai ragam

suku dan etnis, yaitu Simalungun, Toba, Mandailing, Angkola, Jawa, Aceh,

Pakpak,, Minang Kabau, Melayu. Pada tahun 2013 penduduk Desa Nagori Purba

Tongah mencapai 22.773 jiwa.Dengan jumlah rumah tangga 5.852. Dengan

kepadatan penduduk 131,86 jiwa/km2. Penduduk perempuan di Desa Nagori

Purba Tongah lebih banyak dari penduduk laki-laki. Pada tahun 2013 penduduk

Desa Nagori Purba Tongah yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 11.298

jiwa dan penduduk laki-laki 101,57 jiwa.

Secara etimologi kata “Simalungun” dapat dibagi kedalam tiga suku kata

yaitu: Sibearti “orang”, masebagai kata sambung berarti “yang” dan lungun

berarti “sunyi,kesepian”. Dengan demikian, Simalungun berarti “ia yang

(36)

25

Secara umum masyarakat Simalungun yang tinggal di wilayah

Simalungun maupun perantauan merupakan suatu pribadi yang pendiam dan

tertutup. Menurut Hendrik Kraemer ketika berkunjung ke Tanah Batak pada

bulan Februari-April tahun 1930 melaporkan bahwa jika dibangdingkan dengan

orang Batak Toba, orang Simalungun jelas lebih berwatak halus, lebih suka

meyendiri di hutan dan secara alamaiah kurang bersemangat dibangdingkan

dengan orang Batak Toba. Hal yang senada juga dikatakan oleh Walter Lempp

tentang tabiat dariu pada masyarkat Simalungun yaitu orang Simalungun lebih

halus dan tingkah lakunya hormat sekali,tidak pernah keras atau meletus,

meskipun sakit hati.

Hal itu dimungkinkan karena suku Simalungun satu-satunya yang pernah

dijajah oleh suatu kerajaan di Jawa yang berkedudukkan di Tanah Jawa.

Masyarakat Simalungun yang bertempat tinggal di Kecamatan Purba mengenal

satu lembaga adat yang disebut Parhuta Maujana Simalungun.Lembaga adat ini

telah ada mulai dari tingkat Serikat Tolong Menolong (STM), Desa, Kecamatan,

Kabupaten dan Pusat (Tribudi, 2010).

Masyarkat yang tinggal di Kecamatan Purba, pada umumnya bekerja

sebagai petani, buruh, wiraswasta, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Menurut

wawancara penulis dengan bapak Rabes saragih, pekerjaan beliau adalah sebagai

pemaian musik sarunei buluh Simalungun, dan bertani adalah pekerjaan

sampingan beliau.Untuk membuat Sarunei Bulluh Simalungun dilakukan Bapak

Rabes Saragih apabila adanya pesanan untuk membuat alat musik Sarunei Buluh

(37)

26 2.3 Sistem Bahasa

Asal-usul kependudukan masyarakat Simalungun banyak dipengaruhi

oleh berbagaiaspek dan juga berbagai pendapat atau teori yang berbeda-beda

untuk memberikan pembuktian terhadap kebenarannya.Sistem kemasyarakatan

dalam suatu daerah tentu didasari oleh bahasa sehari-hari yang digunakan oleh

masyarakat di dalamnya.Menurut informasi dari informan saya dengan

terkaitnya lokasi penelitian penulis bahwa keragaman suku yang berada di

daerah tersebut menggunakan bahasa simalungun untuk komunikasi bahasa

sehari-hari.

Sejak berabad-abad yang lampau suku-suku bangsa yang tinggal di

berbagai kepulauan di Nusantara memiliki bahasa masing-masing yang

dipergunakan dalam pergaulan dan komunikasi antar sesama suku

tersebut.Bahasa itu dinamakan sebagai “bahasa daerah” yang disebutkan sesuai

dengan suku bangsa yang memiliki bahasa tersebut.Misalnya bahasa Batak Toba

dipergunakan oleh Batak Toba.Demikian juga dengan bahasa

Simalungun.Disamping itu masyarakat Simalungun juga memiliki aksara yang

sudah sangat tua usianya. Menurut seorang peneliti bahasa Dr. P. Voorhoeve,

yang menjadi pejabat Taalambtenaar di Simalungun tahun 1937, mengatakan

bahwa bahasa Simalungun merupakan bahasa rumpun austronesia yang lebih

dekat dengan bahasa sansekerta yang banyak sekali mempengaruhi

(38)

27

Voorhoeve mengatakan kedekatan bahasa Simalungun dengan bahasa

Sansekerta ditunjukkan dengan huruf pentup suku kata mati yaitu, uy dalam kata

apuy dan babuy, huruf g dalam kata dolog, huruf b dalam kata arbab, huruf

ddalam kata bagod, huruf ah dalam kata babah dan sabah, juga ei dalam kata

simbei dan ou dalam kata sopou dan lapou. Salah satu ciri masyarakat

simalungun adalah memiliki tingkatan bahasa yang disebut dengan ratting ni

hata. Adapun tingkatan tersebut adalah:

1. Lapung ni hata, merupakan bahasa sehari-hari yang dipakai oleh

masyarakat biasa atau bahasa yang dipakai sehari-hari.

2. Guru ni hata, merupakan bahasa yang dipakai untuk mengucapkan

sesuatu dan dianggap lebih halus. Guru ni hata merupakan bahasa

tertinggi yang digunakan oleh kalangan keturunan raja-raja. Dimana

bahasa tersebut adalah bahasa yang sopan hormat, dan berisi nasehat,

yang sering disampaikan melalui perumpamaan. Misalnya adalah

Simakidop artinya mata, Jambulan artinya rambut. Simakulsop artinya

mulut.

3. Sait ni hata, yaitu bahasa yang dipakai ketika seseorang marah atau

menghina seseorang, karena tersinggung atas sesuatu. Sait ni hata

merupakan bahasa yang kasar, karena berisi kata-kata yang pedas,

berisikan sindiran sehingga dapat menyakitkan hati orang lain. Misalnya

(39)

28 2.4 Sistem Kesenian

Kesenian adalah merupakan ekspresi perasaan manusia terhadap

keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat

deskriptif (Koentjaraniningrat, 1980:395-397).Kesenian pada masyarakat

simalungun sangat banyak dan beragam. Taralamsyah Saragih dalam Seminar

Kebudayaan Simalungun 1964 mengatakan bahwa kesenian yang ada di

Simalungun dapat dibagi atas Seni Musik (Gual), Seni Suara (Doding), Seni Tari

(Tortor).

2.4.1 Seni Musik

Seni musik digunakan untuk upacar-upacara hiburan dan upacara-upacara

adat lainnya misalnya upacara dukacita (pusok ni uhur) dan sukacita (malas ni

uhur). Alat-alat musik pada masyarakat simalungun dapat dimainkan secara

ensambel dan dapat pula dimainkan secara tunggal. Alat musik yang dimainkan

secara ensambel adalah Gonrang Sidua-dua dan Gonrang Sipitu-pitu sangat

penting, diantaranya:

1. Manombah yaitu suatu upacara untuk mendekatkan diri kepada

sembahan.

2. Maranggir yaitu upacara untuk membersihkan badab dari

perbuatan-perbuatan yang tidak baik, dan juga membersihkan diri dari gangguan

roh-roh jahat.

3. Ondos Hosah yaitu upacara khusus yang dilakukan suatu desa atau

(40)

29

4. Rondang Bittang yaitu acara tahunan yang diadakansuatu desa karena

mendapatkan panen yang baik. Muda-mudi menggunakan kesempatan

tersebut untuk mencari jodoh.

Adapun alat-alat musik yang dimainkan secara tunggal diantaranya

Jatjaulul/Tengtung, Husapi, Hodong-hodong, Tulila,Ole-ole, Saligung, Sordam

dsb. Alat-alat musik tersebut dimainkan untuk hiburan pribadi ketika lelah

bekerja di ladang, maupunsetelah pulang dari pekerjaan.

2.4.2 Seni Suara (Doding)

Musik vokal simalungun dikenal dengan istilah doding dan ilah.Doding

dipakai unutk nyanyian solo sedangkan ilah dipakai sebagai nyanyian

kelompok.(Sihotang 1993:31).Nyanyian dalam masyarakat Simalungun sangat

banyak dan memiliki fungsi masing-masing.Sselain itu masyarakat Simalungun

memiliki teknik bernyanyi yang disebut inggou. Adapun nyanyian tersebut

dianataranya adalah :

1. Taur-taur yaitu nyanyian yang dilagukan oleh sepasang muda-muda

secara bergantian untuk mengungkapkan perasaan satu sama lainnya.

2. Ilah yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda

dan pemudi sambil menepuk tangan sambil membentuk lingkaran,

3. Doding-doding yaitu nyanyian yang dinyanyiakan oleh sekelompok

pemuda dan pemudi atau orang tua untuk meyampaikan pujian atau

sindiran. Nyanyian ini juga dapat dilagukan untuk mengungkapkan

(41)

30

4. Urdo-urdo atau Tihtah yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh

seorang ibu kepada anaknya atau seorang anak perempuan kepada

adiknya. Urdo-urdo untuk menidurkan sementara Tihtah untuk bermain.

5. Tangis-tangis yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan seorang gadis

karena putus asa ataupun karena berpisah dengan keluarga karena akan

menikah.

6. Manalunda/Mangmang adalah mantera yang dinyanyikan oleh seorang

datu untuk menyembuhkan suatu penyakit ataupun menobatkan seorang

raja pada waktu dulu (Setia Dermawan Purba, 2009).

2.4.3 Seni Tari (Tor-Tor)

Seni tari dalam masyarakat Simalungun banyak mengalami penurunan dari

segi pertunjukkan dimana pada saat ini sudah jarang dijumpai tor-tor yang sering

dilakukan pada zaman dahulu.Tor-tor yang dapat bertahan sampai saat ini adalah

Tor-tor Sombah. Adapun tor-tor yang sering dipertunjukkan pada zaman dahulu

antaralain:

1. Tor-tor Huda-Huda atau Toping-Toping yaitu tarian yang dilakukan

untuk menghibur orang yang meninggal sayur matua yaitu orang yang

telah berusia lanjut. Tarian ini merupakan tarian yang meniru gerakan

kuda dan sebagian permainannya memakai topeng. Pada waktu dulu

tarian ini digunakan untuk menghibur keluarga raja yang bersedih karena

anaknya meninggal. Tarian ini bertujuan untuk menyambut berbagai

(42)

31

undangan, namun mereka juga bertugas mengumpulkan oleh-oleh dari

tamu undangan. Zaman dulu kegiatan tersebut biasa dilakukan dalam

pemakaman seorang raja.

2. Tor-tor Turahan yaitu Tor-tor yang dilakukan untuk menarik kayu untuk

membangun istana atau rumah besar. Seorang mandor bergerak

melompati barang kayu yang ditarik sambil mengibaskan daun-daun

yang dipegan ke batang kayu dan ke badan orang yang menarik untuk

memberi semangat.

Pada masyarakat Simalungun juga terdapt kesenian lain yang pada saat

sekarang ini sudah sangat jarang dijumpai diantarnya adalah Seni Gorga yaitu

sni ukiryang terdapt pada dinding-dinding rumah, Seni Pahat, yaitu seni

membuat patung-patung dari batu ataupun dari kayu, Seni Tenun yaitu seni

membuat kayu dengan menggunakan benang-benang yang dibentuk dengan

suatu keahlian, dan seni Arsitektur yaitu seni untuk membangun rumah dengan

arsitektur tradisional.

Bentuk-bentuk kesenian tersebut telah banyak yang ditinggalkan oleh

masyarakat karena kurang sesuai dengan perkembangan zaman.Namun

meskipun begitu masih ada sebagian orang yang tetap mempertahankan

pengetahuan tersebut seperti Seni Tenun karena kain yang dihasilkan dari butan

(43)

32 2.5 Sistem Kekerabatan

Menurut M.D. Purba dalam bukunya yang berjudul Adat Perkawinan

Simalungun (1985), ada dua cara yang umum yang dipakai untuk menarik garis

keturunan, yaitu:

1. Menarik garis keturunan hanya dari satu pihak, yaitu mungkin dari pihak

laki-laki dan mungkin pula dari pihak permpuan. Masyarakat demikian

dinamakanmasyarakat unilateral. Jika masyarakat tersebut menarik garis

keturunan dari pihaklaki-laki atau ayah saja, maka keturunan tersebut disebut

masyarakat patrilineal.Danjika menarik dari garis keturunan perempuan (ibu)

maka disebut matrilineal.

2. Menarik garis keturunan dari kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu, masyarakat

demikian disebut masyarakat bilateral atau masyarakat parental.

Dari kedua cara tersebut diatas,masyarakat Simalungun termasuk

masyarakat yang menarik garis keturunan dari salah satu pihak saja, yaitu dari

pihak laki-laki atau ayah. Dengan demikian masyarakat Simalungun adalah

masyarakat unilateralpatrilineal, yang artinya bahwa setiap anak-anak yang lahir

baik laki-laki maupun perempuan dengan sendirinya akan mengikuti klan atau

marga dari ayahnya (1985:108).

Bukti bahwa garis keturunan diambil dari pihak laki-laki adalah dengan

adanya marga dalam masyarakat Simalungun. Setiap anak yang lahir dalam satu

keluarga di etnis Simalungun, secara otomatis akan memiliki marga yang sama

dengan marga si ayah.Susunan masyarakat Simalungun didukung oleh berbagai

(44)

33

perkawinan. Hubungan perkawinan antar marga-marga mengakibatkan adanya

penggolongan antar tiap-tiap marga. Marga yang satu akan mempunyai

kedudukan tertentu terhadap marga lain. Perkerabatan dalam masyarakat

Simalungun disebut sebagai Partuturan. Partuturan ini menetukan dekat atau

jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa

kategori sebagai berikut:

1. Tutur Manorus / Langsug

Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri. Misalnya: Botou

artinya saudara perempuan baik lebih tua atau lebih muda. Mangkela

(baca:Makkela) artinya suami dari saudara perempuan dari ayah. Sima-sima

artinya anakdari Nono/Nini,

2. Tutur Holmouan / Kelompok

Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat

Simalungun. Misalnya: Bapa Tongah artinya saudara lelaki ayah yang lahir

dipertengahan (bukan paling muda, bukan paling tua). Tondong Bolon artinya

pambuatan (orang tua atau saudara laki dari istri/suami).Panogolan artinya

kemenakan, anak laki/perempuan dari saudara perempuan.

3. Tutur Natipak / Kehormatan

Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak

berbicara sebagai tanda hormat. Misalnya: Kaha digunakan pada istri dari

(45)

34

suami boru dari kakak ibu.Ambia Panggilan seorang laki terhadap laki lain yang

seumuran atau bawahan.

Ikatan kekerabatan diklasifikasikan dalam suatu sistem yang dalam

bahasa Simalungun dikenal Tolu Sahundulan,yaitu :

1. Tondong (Pemberi istri)

2. Anak Boru/Boru (Penerima Istri)

3.Sanina/Sapanganonkon (Sanak saudara, individu semarga atau

pembawa garis keturunan)

Dalam masyarakat Simalungun seorang pria belum dianggap sebagai

orangdewasa dan belum dapat berperan serta dalam fungsi-fungsi adat bila yang

bersangkutan belum menikah atau sudah menikah tapi belum mempunyai

keturunan.

2.5.1 Marga-marga Simalungun

Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan

akronim Sisadapur, yaitu: 1. Sinaga,

2. Saragih,

3. Damanik, dan

4. Purba.

Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon”

(46)

35

menyerang dan tidak saling bermusuhan, Marsiurupan bani hasunsuhan na

legan, rup mangimbang munsuh,keempat raja tersebut adalah:

1. Raja Nagur bermarga Damanik

Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa

Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan

(bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).Raja ini berasal dari

kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Pada abad ke-12,

keturunan raja Nagur ini mendapat serangan dari Raja Rajendra Chola dari India,

yang mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah Pulau

Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya: Marah

Silau yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja

Siantar, tuan raja siantar dan tuan raja damanik Soro Tilu (yang menurunkan

marga rajaNagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan,

Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola) Timo Raya

(yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok).

Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja,

Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan

mengaku Damanik di Simalungun.

2. Raja Banua Sobou bermarga Saragih

Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana

Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau

(47)

36

Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali

ke Raya. Saragih Garingging kemudian pecah menjadi dua, yaitu: Dasalak,

menjadi raja di Padang Badagei, Dajawak merantau ke Rakutbesi dan Tanah

Karo dan menjadi marga Ginting Jawak.

Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni

Gonrang.Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada dua keturunan Raja Banua

Sobou, pada zaman Tuan Rondahaim terdapat beberapa marga yang mengaku

dirinya sebagai bagian dari Saragih (berafiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk,

Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk.

Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu Pardalan

Tapian, marga ini berasal dari daerah Samosir. Rumah Bolon Raja Purba di

Pematang Purba, Simalungun.

3. Raja Banua Purba bermarga Purba

Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang

berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang,

tenungan pengetahuan, cendekiawan atau sarjana. Keturunannya adalah:

Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada

lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya.Pada abad

ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk

kemudian menetap di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba.Purba keturunan

Simamora ini kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan

(48)

37 4. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga

Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal

sebagai penebab Gempa dan Tanah Longsor.Keturunannya adalah marga Sinaga

di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan.Saat kerajaan Majapahit

melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke-14, pasukan dari Jambi yang

dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku

bahwa dirinya adalah Sinaga.

Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian

menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia

mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou

dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon). (Tideman, 1922).

2.6 Sistem Kepercayaan

Sepanjang yang dapat diketahui melalui catatan (analisis) Tiongkok

sewaktu Dinasty SWI (570-620) Kerajaan Nagur sebagai Simalungun Tua, telah

banyak disebut-sebut dalam hasil penelitian Sutan Martua Raja Siregar yang

dimuat dalam Buku Sejarah Batak oleh Batara Sangti Simanjuntak, dimana

dinyatakan bahwa pada abad ke V sudah ada Kerajaan “Nagur” sebagai satu

“Simalungun Batak Friest Kingdom” yang sudah mempunyai hubungan dagang

dengan bangsa-bangsa lain terutama dengan Tiongkok (China).

Menurut Hikayat “Parpandanan Na Bolag” (Pustaha Laklak lama

Simalungun) bahwa wilayah Kerajaan Parpandanan Na Bolag (Nagur) hampir

Gambar

Gambar 1: Bagian-bagian Sarunei Buluh Simalungun
Gambar 3 : Diameter Lubang nada
Gambar 4 : Diameter Kayu simardaruma
Gambar 5: Kayu Simardaruma
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keluaran Tersedianya Materai 3000 dan 6000 200 lembar Hasil Meningkatnya layanan persuratan pada

If the requested content is cached by multiple cache servers, the cache control server sends the instruction message to the cache server with the lowest load to forward

KEYWORDS: Decision-making, imprecision management, data warehouse, multidimensional model, qualitative data processing, urban sites

Tanam semangka buahnya besar Buah semangka siap diambil Selagi muda giatlah belajar Kelak kan jadi orang berhasilA. Giatlah belajar menanam kelak hidupmu akan

In the classroom there are kinds of things the watch is green and the chalk is colourful the ruler is brown.. In the classroom there are kinds

Pitik, bebek di purik asile yaiku endhog, lan daginge, yen manuk merga unine.. Manuk padha ngoceh lan manggung, agawe

[r]

Carane gemi kanthi ngurangi tuku jajan lan kesenengan.. Wong nyelengi iku yen kulino ora