• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENJAMINAN SIMPANANINVESTASI NASABAH BANK SYARIAH MELALUI LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENJAMINAN SIMPANANINVESTASI NASABAH BANK SYARIAH MELALUI LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

* Penulis adalah Lektor dalam Mata Kuliah Hukum Perdata pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Batusangkar

98

Oleh: Ulya Atsani*

Abstrac:Discussions upon the use of LPS by Sharia banks are interesting due to the existence of

LPS which is believed to be identical to conventional finance system. Sharia banks have their own particular characteristics that make them different from that of conventional ones. Sharia baks operate based on the general rules of banking system and on Islamic faith and morals as well. However, laws on LPS points out that warranty functions are also applicable to sharia banks. LPS is needed to keep the public trust toward banking industries and to promote national economic stability. National economic stability is important. However, being committed to sharia laws is the most important.

Kata kunci: penjaminan simpanan nasabah, bank syariah, lembaga penjamin

simpanan

PENDAHULUAN

erkembangan perbankan sya-riah di Indonesia selama ini ber-jalan dengan pesat. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya per-tumbuhan aset perbankan syariah dari waktu ke waktu. Demikian ju-ga halnya denju-gan pertumbuhan ja-ringan kantor bank syariah yang telah menjangkau seluruh provinsi dan kota-kota besar di Indonesia (Rachmadi Usman, 2009: 6). Dalam aspek hukum, perkembangan per-bankan syariah ditandai dengan se-makin mendapat tempatnya penga-turan bank syariah dalam tata hukum Indonesia. Pengaturan terse-but mulai dari Undang-Undang No-mor 7 Tahun 1992 Tentang Perban-kan yang kemudian diperbaharui

melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, dan terakhir dengan la-hirnya undang-undang khusus ten-tang perbankan syariah yaitu Un-dang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 (Nurul Huda, 2010: 37).

Perkembangan bank syariah baik dari segi aset, jaringan kantor maupun adanya UU Perbankan Sya-riah perlu juga diiringi dengan peng-aturan aspek pendukung sektor per-bankan yang sesuai pula dengan prinsip syariah. Salah satunya adalah pengaturan sistem penjaminan dana nasabah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). LPS merupakan ba-dan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas simpanan nasabah penyimpan, melalui skim asuransi, dana penyangga, atau skim

(2)

lainnya. Keberadaan LPS ini diperlukan untuk menjaga keper-cayaan masyarakat terhadap indus-tri perbankan dan untuk mewujud-kan kestabilan perekenomian nasio-nal. Pada sisi lain, pengelolaan dana masyarakat yang berasal dari bank syariah sampai saat ini masih diper-masalahkan dari sudut kesyariahan-nya di samping keberadaan LPS itu sendiri. Mustafa Edwin N., (Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia), berpendapat pengelola-an premi-premi perbpengelola-ankpengelola-an syariah oleh LPS sampai saat ini belum dikelola secara syariah (Dalam Re-publika, 10 November 2010). Pen-dapat ini didasarkan kepada realita LPS yang belum mempunyai skema syariah sebagai pembeda skema penjaminan dana masyarakat yang berbasis syariah. Selain itu ada jua sebagian masyarakat yang menyata-kan bahwa LPS tidak sesuai dengan syariah. Oleh sebab itu keberadaan LPS tidak diperlukan.

Dari uraian di atas sepertinya terdapat gap antara tuntutan untuk menjaga kestabilan perekenomian nasional di satu sisi dengan tuntu-tan penerapan prinsip syariah di sisi lainnya. Berangkat dari permasala-han tersebut, maka tulisan ini akan membahas tentang pentingya fungsi LPS pada kegiatan bisnis perbankan termasuk perbankan syariah dan bagaimana pelaksanaannya pada perbankan syariah saat ini dan ke depannya dalam rangka lebih men-syariahkan bank syariah.

Urgensi Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS)

Secara populer, program pen-jaminan simpanan melalui LPS di-kenal sebagaideposit insurance. Isti-lah ini pertama sekali digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1933 se-waktu pemerintah mendirikanFederal Deposit Insurance Corporation (FDIC). Keberadaan deposit insurance ini me-rupakan bagian dari usaha pemerin-tah untuk menstabilkan sistem bankan di negara tersebut yang per-nah mengalami depresi ekonomi pa-da awal tahun 1930-an. Sejak saat itu keberadaan lembagadeposit insurance dipergunakan hampir di seluruh du-nia. Melihat besarnya manfaat dari adanya deposit insurance tersebut, kalangan perbankan internasional mempunyai keinginan untuk mendi-rikan lembaga depo-sit insurance yang berskala dunia (Muhamad Djum-hana, 2005: 137).

(3)

yaitu setinggi-tingginya sebanyak Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Se-dangkan penyelenggara dari prog-ram asuransi deposito menurut per-aturan pemerintah tersebut adalah Bank Indonesia. (Adrian Sutedi, 2009).

Pelaksanaan program penjami-nan sebagaimana yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No-mor 34 Tahun 1973 tidak berjalan dengan efektif. Bahkan menurut Muhamad Djumhana (2005: 139) penjaminan simpanan uang pihak ketiga melalui asuransi deposito ter-sebut tidak terlaksana sama sekali. Pada waktu itu belum ada political will pemerintah serta otoritas ke-uangan dan moneter untuk melak-sanakannya. Berangkat dari kondisi ini, maka ketika dilakukan peng-gantian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 dengan Undang-Un-dang Nomor 7 Tahun 1992, keten-tuan mengenai lembaga penjamin simpanan tidak diatur lagi dalam Undang-Undang Perbankan yang baru tersebut. Akibatnya pada penghujung tahun 1997, ketika pe-ristiwa likuidasi 16 bank yang di-ikuti dengan krisis moneter dan perbankan pada tahun 1998, sistem perbankan Indonesia tidak memiliki program penjaminan. Hal ini yang menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan di Indonesia menurun.

Untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional sekaligus meng-hambat melemahnya nilai tukar ru-piah, pemerintah memberikan jami-nan atas seluruh kewajiban pemba-yaran bank, termasuk simpanan masyarakat. Hal ini dikenal dengan sistem jaminan penuh atau blanket

guarantee. Pemberian jaminan terse-but ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 ten-tang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Ke-putusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Ke-wajiban Pembayaran Bank Perkredit-an Rakyat.

Sejak 1998 hingga Februari 2004 program penjaminan Pemerintah di-laksanakan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Badan ini menangani pelaksanaan penjami-nan pemerintah terhadap kewajiban pembayaran 52 bank yang dibekukan operasi atau kegiatan usahanya sejak 1998 (LPS, 2006). Pada saat BPPN berakhir tugasnya pada 27 Februari 2004, pelaksanaan program penjami-nan pemerintah dialihkan ke Menteri Keuangan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2004. Pro-gram penjaminan yang belum disele-saikan oleh BPPN selanjutnya dilak-sanakan oleh Menteri Keuangan. Untuk melaksanakan program pen-jaminan pemerintah ini, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk membentuk Unit Pelaksana Penjami-nan Pemerintah dalam lingkungan Departemen Keuangan. Berdasarkan hal tersebut, pada tanggal 27 Pebruari 2004 Menteri Keuangan membentuk Unit Pelaksana Penjaminan Pemerin-tah (UP3).

(4)

nega-ra dan dapat menyebabkan timbul-nyamoral hazardbaik dari pengelola bank maupun dari masyarakat. Pengelola bank menjadi kurang hati-hati dalam mengelola dana ma-syarakat, sementara nasabah tidak peduli untuk mengetahui kondisi keuangan bank karena simpanan-nya dijamin secara penuh oleh pe-merintah. Dengan demikian pro-gram penjaminan atas seluruh ke-wajiban bank kurang mendorong terciptanya disiplin pasar (Zulkar-nain Sitompul, 2007: 6). Selain itu, penerapan penjaminan secara luas ini yang berdasarkan kepada Kepu-tusan Presiden kurang dapat mem-berikan kekuatan hukum sehingga menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan penjaminan. Oleh kare-na itu diperlukan dasar hukum yang lebih kuat dalam bentuk un-dang-undang (Penjelasan UU LPS).

Untuk mengatasi hal tersebut di atas dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas sistem per-bankan, program penjaminan yang sangat luas tersebut perlu diganti-kan dengan sistem penjaminan yang terbatas. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (selanjutnya disebut dengan UU Perbankan) mengamanatkan untuk membentuk suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masya-rakat. Pasal 37 B UU Perbankan me-nyatakan mengamanatkan pendiri-an LPS di Indonesia. Ampendiri-anat ter-sebut timbul sebagai jawaban atas krisis berat yang dialami oleh indus-tri perbankan pada pertengahan tahun 1997 sebagaimana telah di-uraikan sebelumnya.

Tindak lanjut pembentukan LPS maka tanggal 22 September 2004, disahkan Undang-undang Re-publik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Ber-dasarkan Undang-Undang tersebut, dibentuk LPS, suatu lembaga inde-penden, yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara sta-bilitas sistem perbankan sesuai de-ngan kewenade-ngannya. Undang-un-dang tersebut berlaku efektif sejak tanggal 22 September 2005, dan sejak tanggal tersebut LPS resmi ber-operasi.

(5)

kebangkrutan satu bank berakibat buruk terhadap bank lain, sehingga menghancurkan sekmen terbesar dari sistem perbankan.

Lembaga penjamin simpanan (LPS) dapat berfungsi untuk meng-atur keamanan dan kesehatan bank secara umum. Di samping itu LPS juga dapat berfungsi sebagai penga-was yang dilakukan dengan cara memantau neraca, praktik pembe-rian pinjaman dan strategi investasi dengan maksud untuk melihat tanda-tanda financial distress yang mengarah kepada kebangkrutan bank (dalam Zulkarnain Sitompul, 2007:7). Oleh sebab itulah kebera-daan LPS sebagai bagian dari sistem perbankan menjadi penting guna mencegah kepanikan nasabah de-ngan jalan menyakinkan nasabah tentang keamanan simpanan, seka-lipun kondisi keuangan bank mem-buruk.

Dimensi lain dari pentingnya peran LPS dalam sistem perbankan didasarkan pada beberapa pertim-bangan (M. Dahlan Sutalaksana, 1993: 11):

1. Dalam pertumbuhan perekono-mian suatu negara, peranan sek-tor finansial yang stabil sangat penting dan inti kestabilan sektor finansial adalah stabilitas sistem perbankan domestik. Peranan penting sektor perbankan itu da-pat dilihat dalam aspek sistem pembayaran yang memungkin-kan terjadinya transaksi perda-gangan. Di samping itu, bank melakukan penghimpunan dana secara lebih efisien dan untuk seterusnya disalurkan kepada masyarakat. Sebaliknya, dana masyarakat yang disimpan di

bank sangat menentukan eksis-tensi dan keuntungan suatu bank. 2. Untuk mencegah terjadinya erosi

kepercayaan masyarakat terhadap bank yang dapat mengakibatkan terjadinya rush yang sudah tentu dapat membahayakan bank secara individual dan sistem perbankan secara keseluruhan.

3. Dalam era globalisasi dengan ke-majuan teknologi informasi dan komputer telah mengakibatkan terjadinya global market pada sek-tor keuangan. Dalam global market dana bebas bergerak dari satu negara ke negara lain. Kalau pemi-lik dana kurang percaya pada sis-tem perbankan nasional, maka ia dapat menanamkan dananya di luar negeri (capital flight) yang da-pat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya kekuatan yang pro-duktif dari suatu negara.

(6)

usa-ha suatu bank. Sehingga dampak me-rosotnya kepercayaan nasabah yang pada gilirannya dapat menimbulkan bank panic dapat dicegah sesegera mungkin (dalam Zulkarnain Si-tompul, 2007: 8)

Alasan dan kondisi di ataslah yang menjadi latar belakang didiri-kannya LPS dengan diberlakukan-nya Undang-Undang Nomor 24 ta-hun 2004 tentang Pendirian Lem-baga Penjamin Simpanan.

Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Sya-riah tidak secara eksplisit memuat ketentuan tentang penjaminan sim-panan/investasi nasabah bank sya-riah. Undang-undang tersebut ha-nya mengatur tentang kewenang-an BI untuk menyerahkan penanga-nan bank syariah yang mengalami kesulitan dan membahayakan ke-langsungan usahanya kepada LPS. Pasal 54 UU Perbankan Syariah mengatur apabila tindakan penga-wasan yang telah dilakukan BI tidak berhasil untuk mengatasi kesulitan yang dialami oleh bank syariah, ma-ka penanganannya diserahma-kan ke LPS untuk diselamatkan atau tidak diselamatkan. Apabila LPS menya-takan bank syariah yang mengala-mi kesulitan tersebut tidak disela-matkan, BI atas permintaan LPS mencabut izin usaha bank syariah tersebut. Penanganan lebih lanjut terhadap bank syariah yang dicabut izin usahanya dilakukan oleh LPS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di luar ke-tentuan yang berhubungan dengan pengawasan tersebut, dalam UU

Perbankan Syariah tidak terdapat lagi pengaturan mengenai LPS. Se-pertinya pembuat undang-undang berpandangan pengaturan penjami-nan simpanan/investasi nasabah bank syariah cukup diatur melalui UU LPS yaitu Undang-Undang No-mor 24 Tahun 2004 sebagaimana telah dirubah melalui Perpu Nomor 3 Tahun 2008 yang telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui Un-dang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 (selanjutnya disingkat dengan UU LPS).

Dilihat dari konstruksi hukum-nya, UU LPS pada prinsipnya menga-tur tentang penjaminan simpanan nasabah pada bank konvensional. Namun demikian ketentuan peja-minan simpanan melalui LPS berlaku juga bagi bank berdasarkan prinsip syariah. Pasal 96 UU LPS menegas-kan pelaksanaan fungsi LPS juga dilaksanakan bagi bank berdasarkan prinsip syariah baik bank umum, BPRS, dan UUS dari bank konvensio-nal, yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Untuk itu di-terbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2005 Tentang Penja-minan Simpanan Nasabah Bank Ber-dasarkan Prinsip Syariah. Adapun hal-hal yang diatur dalam peraturan pemerintah ini meliputi fungsi LPS yang berkaitan dengan penjaminan simpanan nasabah bank berdasar-kan prinsip syariah. Pengaturan ini teru-tama berkaitan dengan perbedaan ka-rakteristik simpanan pada perbankan syariah dibandingkan dengan per-bankan konvensional.

(7)

a. Giro berdasarkan prinsipwadiah; b. Tabungan berdasarkan prinsip

wadiah;

c. Tabungan berdasarkan prinsip mudharabah muthlaqah atau prin-sip mudharabah muqayyadah yang risikonya ditanggung oleh bank; d. Deposito berdasarkan prinsip

mudharabah muthlaqah atau prin-sip mudharabah muqayyadah yang resikonya ditanggung oleh bank; dan/atau

e. Simpanan berdasarkan prinsip syariah lainnya yang ditetapkan oleh LPS setelah mendapat per-timbangan Lembaga Pengawas Perbankan.

Berdasarkan ketentuan terse-but di atas pada prinsipnya semua simpanan nasabah di bank syariah dijamin oleh LPS kecuai untuk ta-bungan dan deposito berdasarkan prinsip mudharabah muqayyadah yang resikonya ditanggung oleh na-sabah. Apabila dikaitkan dengan bentuk-bentuk penghimpunan dana oleh bank syariah dalam UU Per-bankan Syariah maka terdapat dua bentuk penghimpunan dana yaitu melalui simpanan (giro dan ta-bungan yang didasarkan kepada prinsip wadiah) dan investasi (ta-bungan dan deposito yang didasar-kan kepada prinsip mudharabah). Dengan demikian dalam hubungan-nya dengan perlindungan oleh LPS, semua jenis simpanan yang terdapat dalam UU Perbankan Syariah baik dalam bentuk giro maupun tabung-an ytabung-ang didasarktabung-an kepada prinsip wadiah dilindungi oleh LPS. Semen-tara perlindungan untuk jenis inves-tasi yang didasarkan kepada prinsip mudharabah berlaku untuk tabungan dan deposito yang didasarkan

kepa-da jenis mudharabah muthalaqah atau mudharabah muqayyadah yang resiko-nya ditangung oleh bank syariah. Sedangkan investasi yang didasarkan kepada jenis mudharabah muqayyadah yang resikonya ditanggung oleh na-sabah tidak termasuk kepada inves-tasi yang dijamin oleh LPS.

Adanya perbedaan penjaminan antara prinsip wadiah dan prinsip mudharabah muqaiyadah yang resiko-nya tidak ditanggung oleh bank ber-kaitan dengan karakteristik masing-masing akad tersebut dalam pelaksa-naannya di bank syariah. Terhadap simpanan yang didasarkan kepada aqad wadiah, PP Nomor 39 Tahun 2005 mendefenisikan prinsip wadiah seba-gai suatu akad penitipan uang dima-na pihak yang menerima titipan uang (bank) boleh menggunakan dan me-manfaatkan uang yang dititipkan, dengan ketentuan (Pasal 1 angka 3 PP Nomor 39 Tahun 2005):

a. Semua keuntungan atau kerugian sebagai akibat penggunaan dan pemanfaatan uang menjadi milik atau tanggung jawab bank;

b. Pihak bank dapat memberikan in-sentif berupa bonus dengan cata-tan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan di awal (in advance) namun hanya pemberian (’athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.

(8)

da-lam bentuk nisbah yang ditetapkan di awal dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening. Dalam PP Nomor 39 Tahun 2005 juga dijelas-kan bahwa akadmudharabah dibeda-kan menjadi mudharabah muthalaqah danmudharabah muqayyadah. Mudha-rabah muthalaqah adalah suatu ben-tuk aqad mudharabah di mana pe-milik dana tidak memberikan bata-san-batasan tertentu atas pemanfaa-tan atau pengelolaan dananya. Bank/mudharib diberi wewenang penuh dalam mengelola dana ter-sebut tanpa terikat adanya pembata-san tertentu misalnya waktu, jenis usaha, tempat usaha, atau jenis pelayanan tertentu. Sedangkan mu-dharabah muqayyadah adalah suatu bentuk akadmudharabah dimana pe-milik dana/nasabah/shahibul maal memberikan batasan-batasan terten-tu atas pemanfaatan atau pengelola-an dpengelola-anpengelola-anya.

Ditinjau dari pihak yang me-nanggung risiko, dalam pelaksana-an oleh bpelaksana-ank syariah akad mudhara-bah muqayyadah dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu: pertama, risiko di-tanggung oleh bank/mudharib, yang pengadministrasiannya dilakukan secara on balance sheet (dilakukan oleh bank). Kedua, risiko di-tanggung oleh pemilik dana/nasa-bah/shahibul maal, yang pengad-ministrasiannya dilakukan secaraoff balance sheet (cha-nelling) di mana dalam hal ini biasanya bank hanya bertindak selaku perantara. Oleh karenanya yang terakhir ini tidak menjadi objek yang dijamin oleh LPS.

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2005 hanya mengatur bentuk-bentuk simpanan nasabah bank syariah yang dijamin oleh LPS.

Pengaturan lain yang berhubungan dengan pelaksanaan jaminan oleh LPS seperti kepesertaan dan kewa-jiban peserta, jumlah simpanan yang dijamin, premi, pembayaran klaim ja-minan, termasuk cara-cara penanga-nan bank gagal merupakan hal yang berlaku umum dalam UU LPS di-mana tidak ada pembedaan antara bank syariah dan bank konvensional.

ISU SYARIAH PADA LPS

Kedudukan LPS merupakan ba-dan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas simpanan nasabah penyimpan, melalui skim asuransi, dana penyangga, atau skim lainnya (Muhamad Djumhana, 2005: 137). Pernyataan ini berangkat dari ketentuan UU LPS tentang kududu-kan LPS sebagai badan hukum yang menyelenggarakan program penjami-nan simpapenjami-nan masyarakat. Program penjaminan ini yang mewajibkan se-tiap bank untuk menjadi peserta pen-jaminan simpanan melalui LPS. Pengertian setiap bank dalam UU LPS ini termasuk juga bank syariah. Pasal 96 UU LPS mengatur bahwa ketentuan mengenai penjaminan sim-panan juga diberlakukan terhadap bank berdasarkan prinsip bagi hasil.

(9)

(satu per seribu) dari modal sendiri (ekuitas) bank pada akhir tahun fiskal sebelumnya atau dari modal disetor bagi bank baru. Selain membayar kontribusi kepesertaan bank juga diwajibakan membayar premi penjaminan ditetapkan sama untuk setiap bank sebesar 0,1% (satu per-seribu) dari rata-rata saldo bulanan total simpa-nan dalam setiap periode (Pasal 13 UU LPS). Pembayaran premi ini dilakukan sebanyak dua kali dalam satu tahun.

Pengelolaan premi bank peser-ta LPS sebagaimana yang terdapat dalam UU LPS adalah mengguna-kan premi asuransil. Hal ini berlaku juga terhadap premi yang dibayar-kan oleh bank syariah. Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Mustafa Edwin (dalam Re-publika, 10 November 2010) menya-takan bahwa pengelolaan premi-premi perbankan syariah sampai saat ini belum dikelola secara sya-riah. Penyebabnya, Lembaga Penja-min Simpanan (LPS) belum mem-punyai skema syariah sebagai pem-beda skema penjaminan dana ma-syarakat yang berbasis syariah. Senada dengan pendapat Mustafa Edwin N. ini, Assosiasi Perbankan Syariah Indonesia (Asbisindo), me-minta agar penjaminan nasabah bank syariah melalui LPS dilaksana-kan sesuai dengan prinsip syariah. Untuk itu Asbisindo mengusulkan agar LPS untuk bank syariah dipi-sahkan dengan LPS bank kovensio-nal. Asbisindo juga meminta agar agar LPS mengembalikan premi yang mereka bayar apabila tidak terjadi klaim (Republika Online, 15 Januari 2010)

Berkaitan dengan pandangan yang menyamakan antara penjami-nan dengan prinsip asuransi, Zul-karnaen Sitompul berpendapat bah-wa adanya pandangan yang menya-takan bahwa LPS identik asuransi tidak tepat. Lebih lanjut Zulkarnaen Sitompul mengemukakan pada da-sarnya LPS bukanlah asuransi. Istilah deposit insurance masuk ke Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral dengan terjemahan asuransi deposito. Terjemahan ini mengandung dua ke-keliruan. Pertama, deposit tidak iden-tik dengan deposito, terjemahan yang tepat untuk deposit adalah simpanan. Deposito adalah salah satu bentuk simpanan selain giro dan tabungan. Kedua, insurance bukan asuransi seba-gaimana dirumuskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) atau UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Karena itu, dalam pandangan Zulkarnaen Sitompul perlu ada kajian lebih lanjut tentang kebolehan deposit insurance dalam kacamata syariah (2009: 1).

Berkaitan dengan deposit insu-rance pada bank syariah ini, sampai saat ini belum diatur melalui ada fatwa dari lembaga yang berkompe-ten, dalam hal ini DSN MUI. Semen-tara itu, di Malaysia Majelis Penasi-hat Syariah Bank Negara Malaysia te-lah pernah mengeluarkan fatwa ten-tang yang isinya sebagai berikut:

(10)

par-ticipants to the scheme. The imple-mentation of deposit insurance scheme does not contradict with the Shariah principles since its objective is to protect the public-interest especially the depositors and the banking industry as a whole. (sumber: http://www.isra.my)

Dari pernyataan di atas, Maje-lis Penasihat Syariah Bank Negara Malaysia memperbolehkan skim asuransi simpanan dalam perban-kan syariah yang didasarperban-kan kepa-da saling memberikan jaminan di antara bank syariah sebagai peserta. Pelaksaanaan skim asuransi simpa-nan tidak bertentangan dengan prinsip syariah karena tujuannya adalah untuk saling melindungi terutama sekali untuk kepentingan nasabah dan industri perbankan se-cara keseluruhan.

Senada dengan pandangan Majelis Penasihat Bank Negara Malaysia tersebut, Arab Institute of Islamic Banking juga pernah menge-luarkan fatwa:

ﺪﻘﻋ ﰲ نﺎﻛ اذإ ﻊﻨﳝ ﻪﻜﻳﺮﺸﻟ ﻚﻳﺮﺸﻟا ﻦﻣ نﺎﻤﻀﻟا

ﻂﺑر يأ نود ﻼﺼﻔﻨﻣ نﺎﻤﻀﻟا ﻊﻗو اذإ ﺎﻣأ ,ﺔﻛرﺎﺸﳌا

ﺔﺑرﺎﻀﳌا ﰲ ﻢﻜﳊا ﻚﻟﺬﻛو ,ﺎﻋﺮﺷ ﻪﻨﻣ ﻊﻧﺎﻣ ﻼﻓ ﺪﻘﻌﻟﺎﺑ

ﺔﻟﺎﻔﻛ ﻲﻫ ﻞﺼﻔﻟا ﺔﻟﺎﺣ ﰲ ﻪﻧﻷ رﺎﻤﺜﺘﺳﻻﺎﺑ ﺔﻟﺎﻛﻮﻟا وأ

ﺔﻔﺻ ﲑﻏ ىﺮﺧأ ﺔﻔﺼﺑ

ﻠﺗ ﻻو ﻞﻴﻛﻮﻟا وأ برﺎﻀﳌا وأ ﻚﻳﺮﺸﻟا

اذإ دﻮﻘﻌﻟا ﻚﻠﺗ ﻲﻐ

نﺎﻤﻀﻟا ﻲﻐﻟأ

ﻲﻣﻼﺳﻹا ﺔﻴﻓﺮﺼﳌا ﺔﻴﺑﺮﻌﻟا ﺔﺴﺳﺆﳌا ﻚﻨﺑ :رﺪﺼﳌا

Jaminan dari mitra kepada mitra yang lain tidak diperboleh-kan, jika berada dalam kontrak mu-syarakah. Namun, jika jaminan ter-sebut terpisah tanpa terkait dengan akad, maka tidak halangan dalam

pandangan syariat. Hal yang sama berlaku untuk kontrak mudharabah dan wakalah bil istitsmar (perwakil-an investasi) karena jamin(perwakil-an y(perwakil-ang terpisah adalah pertanggungan de-ngan bentuk lain, bukan sebagai mitra atau mudharib ataupun wakil, maka akad-akad tersebut tidak dibatalkan meskipun jaminan di-batalkan. (Sumber: Arab Institute of Islamic Banking)

Walaupun fatwaArab Institute of Islamic Banking tidak berkaitan lang-sung dengan deposit insurance pada bank syariah, namun Ghazana Said Atan, menyatakan bahwa berdasar-kan fatwa di tersebut kita dapat mengatakan bahwa sistem deposit in-surance melalui suatu coorporation di-perbolehkan karena hal ini keberada-an coorporation adalah sebagai penja-min dan bukan pihak yang terlibat dalam akad kerjasama atau kemitra-an (2008: 9)

(11)

men-jadi isu penting yang dicarikan jawabannya.

Pengalaman dari negara-ne-gara yang industri perbankan sya-riahnya sudah jauh lebih maju dari Indonesia, seperti Malaysia, dalam mengelola deposit insurance dapat dijadikan sebagai alternatif model oleh LPS. Dalam hal ini LPS dapat mengadopsi cara-cara yang dilaku-kan oleh Perbadanan Insurans Deposit Malaysia (PIDM) yang memisahkan antara dana dari bank syariah dengan bank konvensional serta memastikan bahwa dana dari bank syariah tersebut diinvestasikan dalam instrument yang sesuai de-ngan prinsip syariah. Walaupun da-lam tataran konsep hal ini bukanlah sesuatu yang baru, namun dalam ta-taran pelaksanaan membutuhkan pemikiran dan political will dan good will, tidak hanya dari LPS sendiri tetapi juga pihak-pihak lain yang terkait terutama sekali dalam mela-hirkan dan mereformasi regulasi yang mendukung penerapan prin-sip syariah di LPS di lembaga

legis-latif. Kalaupun hal ini sulit diwu-judkan dalam waktu singkat, seti-dak-tidaknya sesuai dengan kewe-nangannya, LPS dapat belajar dari cara-cara BI melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah dengan mengeluarkan Peraturan LPS.

PENUTUP

Sebagai penutup dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa keberada-an LPS bagi bkeberada-ank syariah diperlukkeberada-an tidak hanya untuk kepentingan nasa-bah tetapi juga untuk menjamin daya saing perbankan syariah di masa yang akan datang. Untuk itu diperlu-kan sistem penjaminan yang sesuai dengan prinsip syariah. Dalam hal ini sistem penjaminan yang sesuai de-ngan prinsip syariah sama penting-nya dengan esensi dari pembentukan LPS itu sendiri yaitu untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap in-dustri perbankan dan untuk mewu-judkan kestabilan perekenomian nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Adrian Stutedi (2009), Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia

Majelis Penasihat Syariah Bank Negara Nagara Malaysia, Fatwa Deposit Insurance, dalam http://www/isra.my, diakses tanggal 2 Desember 2010

Ghazana Said Atan (2005), Concept Of Deposit Insurance Is Appropriate For Mudharabah Investment,Malaysia

M. Dahlan Sutalaksana (1993), “ The Importance of A Deposit Protec-tion Scheme,” ASEAN Conference on Deposit Protection System, (Desember 1993), hal

Muhamad Djumhana (2005), Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta, Rajawali Press

Mustafa Edwin N., LPS Perlu Skema Syariah, dalam Harian Republika, 10 November 2010

(12)

Tinjauan Teoritis dan Praktis, Kencana, Jakarta

Rachmadi Usman, 2002, Aspek-as-pek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung

Zulkarnaen Sitompul (2009), Status Premi Bank Syariah pada LPS, Makalah dimuat dalam www. lps.go.id, diakses tanggal 2 Desember 2010

Zulkarnaen Sitompul (2007), Pen-tingnya Keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Sis-tem Perbankan, Makalah disam-paikan pada Seminar Nasional “Sistem dan Mekanisme Lem-baga Penjamin Simpanan (LPS) Serta Peran Pentingnya Dalam Menunjang Industri Perbankan”: yang diselengga-rakan oleh Inti Sarana Infor-matika, Jakarta, tanggal 24 Januari 2007

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penja-minan Simpanan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Peruba-han Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lem-baga Penjaminan Simpanan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Penetapan Pera-turan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Peruba-han Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lem-baga Penjaminan Simpanan menjadi Undang-Undang

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, bab ini juga berisi saran-saran yang diberikan oleh mahasiswa berkaitan dengan kegiatan pelaksanaan selama proses Kerja Praktek berlangsung yang mungkin saja

Setelah dilakukan analisis pada tokoh Komako mengenai konflik batin yang dialaminya selama menjalin hubungan dengan Shimamura maka didapatkan bahwa Komako mengalami

Unit Layanan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah Kabupaten Muara Enim Pokja Pengadaan Barang Kelompok I yang dibentuk berdasarkan Keputusan Kepala Unit Layanan Pengadaan

Informasi Politik mengenai proses pembuatan kebijakan politik didesa/kelurahan.Untuk mengetahui pemahaman generasi muda mengenai hal tersebut diajukan pertanyaan:

Hasil penelitian ini berupa aplikasi Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Hama dan Penyakit Tanaman Padi Menggunakan Teorema Bayes yang dapat menentukan Hama dan

• Pembuang Intern untuk mengalirkan kelebihan air dari sawah untuk mencegah terjadinya genangan dan kerusakan tanaman, atau untuk mengatur banyaknya air tanah sesuai dengan

Budi bukan warga yang baik maka ia tidak membayar pajak... Hakcipta©MGMP Matematika Kota Batam

Pelanggan yang sangat puas umumnya lebih setia, membeli lebih banyak, membicarakan hal-hal yang menyenangkan tentang produknya, tidak banyak memberi perhatian pada merek pesaing