TINJAUAN PUSTAKA
Kawasan Pesisir dan Pantai
Defenisi wilayah pesisir menurut Soegiarto (1976) yang diacu oleh
Dahuri, dkk. (2004) adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat
wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang
masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan
air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan
aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti
penggundulan hutan dan pencemaran. Definisi wilayah pesisir tersebut
memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang
dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam baik di darat maupun
dilaut serta saling berinteraksi antara habitat tersebut.
Bagian kawasan pesisir yang paling produktif adalah wilayah muka pesisir
atau pantai. Daerah pantai adalah suatu kawasan pesisir beserta perairannya
dimana daerah tersebut masih terpengaruh baik oleh aktivitas darat maupun laut
(Pratikto, dkk., 1997). Garis pantai merupakan suatu garis batas pertemuan
(kontak) antara daratan dengan air laut. Posisinya bersifat tidak tetap, dan dapat
berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Pantai
terletak antara garis surut terendah dan air pasang tertinggi (Bengen, 2001).
Tipe pantai dapat dibedakan berdasarkan tipe substrat yang membentuk
hamparan pantainya yaitu pantai berpasir, pantai berlumpur dan pantai berbatu.
dibatasi hanya di daerah dimana gerakan air yang kuat mengangkut partikel yang
halus dan ringan dan juga terendap pada daratan pantai yang landai. Pantai
berlumpur merupakan daerah pantai yang paling subur dibandingkan daerah
pantai lainnya. Pantai berlumpur dicirikan dengan kandungan lumpur yang
berlimpah dan terendapkan di daerah pantai. Pantai berlumpur dapat berkembang
dengan baik jika ada suatu sumber partikel sedimen yang butirannya halus. Pantai
berbatu merupakan pantai yang berbatu-batu memanjang ke laut dan terbenam di
air. Pantai berbatu yang tersusun dari bahan yang keras merupakan daerah yang
paling padat mikroorganismenya dan mempunyai keragaman terbesar baik untuk
spesies hewan maupun tumbuhan. Keadaan ini berlawanan dengan pantai berpasir
dan berlumpur yang hampir tandus (Nybakken, 1992).
Pariwisata dan Ekowisata
Dalam arti luas pariwisata adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk
melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain (Damanik dan
Weber, 2006). Pariwisata juga merupakan kegiatan perpindahan/perjalanan orang
secara temporer dari tempat mereka biasa bekerja dan menetap ke tempat luar,
guna mendapatkan kenikmatan dalam perjalanan atau di tempat tujuan (Holloway
dan Plant, 1989). Wisata merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam
yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Kegiatan manusia untuk
kepentingan wisata dikenal juga dengan pariwisata (Yulianda, 2007).
Istilah kepariwisataan (tourism) mencakup orang-orang yang melakukan perjalanan pergi dari rumahnya dan perusahaan-perusahaan yang melayani
mereka dengan cara memperlancar atau mempermudah perjalanan mereka atau
seseorang yang berada jauh dari tempat tinggalnya dimana jarak jauhnya ini
berbeda-beda (Lunberg, dkk., 1997). Pariwisata pesisir adalah kegiatan rekreasi yang dilakukan di sekitar pantai seperti : berenang, berselancar, berjemur,
berdayung, menyelam, snorkling, beachombing/reef walking, berjalan-jalan atau berlari sepanjang pantai, menikmati keindahan suasana pesisir dan bermeditasi
(Dahuri, dkk., 2004 diacu oleh Rahmawati, 2009).
Ekowisata pertama kali dikenalkan pada tahun 1990 oleh organisasi The Ecotourism Society, sebagai perjalanan ke daerah-daerah yang masih alami yang dapat mengkonservasi lingkungan dan memelihara kesejahteraan masyarakat
setempat (Linberg dan Hawkins, 1993). Ekowisata merupakan wisata berorientasi
pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam
dan industri kepariwisataan (META, 2002). Semula ekowisata dilakukan oleh
wisatawan pecinta alam yang menginginkan daerah tujuan wisata tetap utuh dan
lestari, disamping budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga.
Selanjutnya kegiatan wisata berkembang di daerah konservasi atau
daerah-daerah yang masih memiliki sumberdaya alami dengan tetap mempertahankan
keseimbangan alam. Fenomena ini memberikan manfaat positif bagi kelestarian
alam dan keberadaan kawasan konservasi. Dengan demikian, ekowisata juga
dapat dikatakan merupakan suatu konsep pemanfaatan sumberdaya alam dengan
pendekatan konservasi untuk pengembangan wisata.
Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai bentuk baru dari perjalanan
bertanggung jawab ke area alami dan berpetualang yang dapat menciptakan
industri pariwisata (Wood, 1999 diacu oleh Fandeli dan Muchlison, 2000).
dari pada sumberdaya lainnya. Sumberdaya ekowisata terdiri dari sumberdaya
alam dan sumberdaya manusia yang dapat diintegrasikan menjadi komponen
terpadu bagi pemanfaatan wisata. Berdasarkan konsep pemanfaatan, wisata dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu (Fandeli dan Muchlison, 2000;
META, 2002 diacu oleh Yulianda, 2007) :
a. Wisata alam (nature tourism), merupakan aktivitas wisata yang ditujukan pada pengalaman terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya.
b. Wisata budaya (cultural tourism), merupakan wisata dengan kekayaan budaya sebagai obyek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan.
c. Ekowisata (Ecotourism, green tourism atau alternative tourism), merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani
kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri
kepariwisataan.
Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata
bahari dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu wisata pantai dan wisata bahari.
Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya pantai
dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olahraga dan menikmati
pemandangan, sedangkan wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang
mengutamakan sumberdaya bawah laut dan dinamika air laut (Yulianda, 2007).
Kegiatan wisata pantai dan bahari yang dapat dikembangkan disajikan
Tabel 1. Kegiatan wisata pantai dan bahari yang dapat dikembangkan
Wisata Pantai Wisata Bahari
1. Rekreasi 2. Panorama
3. Resort/Peristirahatan 4. Berenang, berjemur
5. Olahraga Pantai (volley pantai, jalan santai, lempar cakram dan lain-lain)
6. Berperahu 7. Memancing 8. Wisata Mangrove
1. Rekreasi pantai dan laut 2. Resort/peristirahatan
3. Wisata selam (diving) dan wisata
snorkling
4. Selancar, jet ski, banana boat, perahu kaca, kapal selam
5. Wisata ekosistem lamun, wisata nelayan, wisata pulau, wisata pendidikan, wisata pancing
6. Wisata satwa (penyu, duyung, paus, lumba-lumba, burung, mamalia, buaya)
Sumber : Yulianda (2007)
Wisata Pantai
Wisata pantai merupakan bentuk kegiatan wisata yang dilakukan di daerah
pantai yang umumnya memanfaatkan sumberdaya pantai dan permukaan air laut.
Wisata pantai terdiri dari dua kategori yaitu kategori rekreasi pantai dan wisata
mangrove. Kegiatan-kegiatan wisata yang masuk kategori rekreasi pantai antara
lain berjemur, jalan-jalan menikmati panorama, berenang, memancing, berperahu
di sekitar perairan pantai, wisata mangrove, wisata nelayan, olahraga pantai dan
olahraga air. Wisata pantai kategori rekreasi merupakan jenis kegiatan yang paling
dominan di daerah pantai. Kegiatan rekreasi memanfaatkan sumberdaya pantai
seperti pasir putih, hamparan pantai, pemandangan (view), biota dan perairan
pantainya (Kusharjani, dkk., 2009).
Lingkungan dan Sumber Daya Wilayah Pesisir
Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan
(ekosistem) dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami
lamun (sea grass), pantai berpasir (sandy beach), formasi pes caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain
berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri,
kawasan agroindustri dan kawasan pemukiman (Dahuri, dkk., 2004 diacu oleh
Rahmawati, 2009).
Sumberdaya di wilayah pesisir terdiri dari sumber daya alam yang dapat
pulih dan sumber daya alam yang tidak dapat pulih. Sumber daya alam yang dapat
pulih antara lain meliputi sumber daya perikanan (plankton, benthos, ikan,
moluska, krustacea, mamalia laut), rumput laut (seaweed), padang lamun, hutan mangrove, dan terumbu karang. Sedangkan sumber daya alam yang tidak dapat
pulih antara lain yaitu minyak, gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit, dan mineral
serta bahan tambang lainnya (Dahuri,dkk., 2004).
Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Sektoral
Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral biasanya
berkaitan dengan hanya satu macam pemanfaatan sumber daya atau ruang pesisir
oleh satu instansi pemerintah untuk memenuhi tujuan tertentu, seperti perikanan
tangkap, tambak, pariwisata, pelabuhan atau industri minyak dan gas. Pengelolaan
semacam ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor yang
berkepentingan yang melakukan aktivitas pembangunan pada wilayah pesisir dan
lautan yang sama. Selain itu, pendekatan sektoral semacam ini pada umumnya
kurang mengindahkan dampaknya terhadap yang lain, sehingga dapat mematikan
usaha sektor lain. Contohnya kegiatan industri yang membuang limbahnya ke
lingkungan pesisir dapat mematikan usaha tambak, perikanan tangkap, pariwisata
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
Wilayah pesisir dan laut merupakan tatanan ekosistem yang memiliki
hubungan sangat erat dengan daerah lahan atas (upland) baik melalui aliran air sungai, air permukaan (run off) maupun air tanah (ground water), dan dengan aktivitas manusia. Keterkaitan tersebut menyebabkan terbentuknya kompleksitas
dan kerentanan di wilayah pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau
lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara
terpadu guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan.
Keterpaduan yang dimaksud mengandung tiga dimensi yaitu sektoral, bidang ilmu
dan keterkaitan ekologis (Dahuri, dkk., 2004).
Perencanaan Terpadu
Perencanaan terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan
mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan
pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan.
Perencanaan terpadu biasanya dimaksudkan sebagai suatu upaya secara
terprogram untuk mencapai tujuan yang dapat mengharmoniskan dan
mengoptimalkan antara kepentingan untuk memlihara lingkungan, keterlibatan
masyarakat, dan pembangunan ekonomi. Seringkali keterpaduan juga diartikan
sebagai koordinasi antara tahapan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan
yang meliputi : pengumpulan dan analisis data, perencanaan, implementasi, dan
kegiatan konstruksi (Sorensen dan Mc Creary, 1990).
Sementara itu, Lang (1986) menyarankan bahwa keterpaduan dalam
hendaknya dilakukan pada tiga tataran (level) yaitu : teknis, konsultatif dan
koordinasi. Pada tataran teknis, segenap pertimbangan teknis, ekonomis, sosial
dan lingkungan hendaknya secara seimbang atau proporsional dimasukkan ke
dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumberdaya pesisir dan
lautan. Pada tataran konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan para pihak yang
terlibat (stakeholders) atau terkena dampak pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan hendaknya diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai pelaksanaan.
Tataran koordinasi mensyaratkan diperlukannya kerjasama yang harmonis
antarsemua pihak yang terkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan
lautan, baik itu pemerintah, swasta maupun masyarakat umum.
Pengertian dan Kebijakan Pengembangan Masyarakat Wilayah Pesisir
Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah
sepanjang pantai atau pesisir laut, kebanyakan masyarakatnya hidup sebagai
nelayan, petambak, pemasang bagan di laut dangkal atau petani rumput laut dan
lain sebagainya yang berkaitan dengan sumberdaya kelautan. Strategi
pengembangan masyarakat pesisir dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu
bersifat struktural dan non struktural. Pendekatan struktural adalah pendekatan
yang mengutamakan peranan instansi yang berwewenang atau organisasi yang
dibentuk untuk pengelolaan pesisir. Di lain pihak pendekatan non struktural
adalah pendekatan yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat pesisir secara
mental dalam rangka meningkatkan kemampuan anggota masyarakat untuk ikut
serta dalam pengelolaan dan permasalahan pesisir laut. Kedua pendekatan tersebut
Stretegi pengembangan masyarakat pesisir dalam meningkatkan
kemandirian daerah sesungguhnya dapat dibagi dua yaitu, pertama merupakan
strategi jangka pendek yang bertujuan untuk mengatasi berbagai masalah
pengembangan masyarakat pesisir dengan menyesuaikan urgensi kebutuhan
melalui pendekatan srtuktural dan non struktural. Kedua adalah strategi jangka
panjang dengan tujuan yang menitikberatkan pada : (1) Peningkatan kesejahteraan
masyarakat melalui perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha; (2)
Pengembangan program dan kegiatan yang mengarah kepada peningkatan,
pemanfaatan secara optimal dan lestari sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan;
(3) Peningkatan kemampuan dan peran serta masyarakat pantai dalam pelestarian
lingkungan; dan (4) Peningkatan pendidikan, latihan, riset dan pengembangan di
wilayah pesisir dan lautan. Keempat tujuan jangka panjang tersebut hanya
mungkin dicapai bila disusun strategi dan kebijakan pembangunan kawasan
pesisir dan laut secara berkesinambungan (Hidayat dan Surochim, 2003).
Ekowisata Berbasis Masyarakat
Denman (2001) menjelaskan bahwa ekowisata berbasis masyarakat dapat
membantu memelihara penggunaan sumberdaya alam dan penggunaan lahan yang
berkelanjutan. Lebih dari itu ekowisata berbasis masyarakat mengambil dimensi
sosial ekowisata sebagai suatu langkah lebih lanjut dengan mengembangkan
bentuk ekowisata menempatkan masyarakat lokal yang mempunyai kendali penuh
dan keterlibatan di dalamnya baik itu manajemen dan pengembangannya dan
proporsi yang utama menyangkut sisa manfaat di dalam masyarakat. Beberapa
1. Tata ruang atau flora dan fauna yang dianggap menarik bagi para pengunjung
khusus atau bagi pengunjung yang lebih umum.
2. Ekosistem yang masih dapat menerima kedatangan jumlah tertentu tanpa
menimbulkan kerusakan.
3. Komunitas lokal yang sadar akan kesempatan-kesempatan potensial, resiko
dan perubahan yang akan terjadi serta memiliki ketertarikan untuk menerima
kedatangan pengunjung.
4. Adanya struktur yang potensial untuk pengambilan keputusan komunitas
yang efektif.
5. Tidak adanya ancaman yang nyata-nyata dan tidak bisa dihindari atau
dicegah terhadap budaya dan tradisi lokal.
6. Penaksiran pasar awal menunjukkan adanya permintaan yang potensial untuk
ekowisata dan terdapat cara yang efektif untuk mengakses pasar tersebut.
Selain itu juga harus diketahui bahwa pasar potensial tersebut tidak terlalu
banyak menerima penawaran ekowisata (Denman, 2001).
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Untuk keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi sumber daya alam di
wilayah pesisir dan laut, perlu dicarikan strategi yang tepat diantaranya adalah
pemberdayaan atau peningkatan kesadaran masyarakat dalam pelestarian
sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut. Peningkatan kesadaran masyarakat
ditujukan untuk meyakinkan kepada masyarakat pesisir (nelayan), akan manfaat
jangka panjang dari perlindungan kawasan, yaitu manfaat berkelanjutan yang
dihasilkan oleh usaha perlindungan kawasan pesisir. Karenanya peran serta
berbagai kemungkinan manfaat yang dapat diperoleh dari usaha perlindungan
kawasan wilayah pesisir. Pemberdayaan atau peningkatan kesadaran dan peran
serta masyarakat tersebut dapat dilakukan antara lain sebagai berikut :
(a) Melakukan pendidikan, latihan dan bimbingan moral kepada masyarakat;
(b) Mengembangkan sarana dan prasarana yang diperlukan;
(c) Menyebarluaskan arti konservasi ekosistem sumberdaya wilayah pesisir,
dalam kaitannya dengan kegiatan di masyarakat dengan segala aspek
kebudayaan;
(d) Menyebarluaskan pemanfaatan sumberhayati laut dan ekosistem wilayah
pesisir dan laut secara lestari dan budidaya;
(e) Melakukan pengawasan terhadap sumberdaya hayati yang telah langka dan
kritis; dan
(f) Melakukan pemulihan habitat sumberdaya alam hayati yang telah rusak.
Peningkatan kesadaran masyarakat pantai atau pesisir umumnya lebih
banyak diarahkan kepada masyarakat nelayan. Namun pada kenyataannya, para
nelayan hanya sebagai pelaku, sehingga pembinaan juga perlu diarahkan kepada
para “stakeholders” lainnya. Karenanya perlu disusun program pemberdayaan masyarakat pesisir yang jelas. Program pemberdayaan masyarakat mencakup
paling tidak tiga aspek, yaitu :
(a) Pemberdayaan usaha, yaitu mencakup peningkatan kualitas usaha nelayan
sehingga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.
(b) Pemberdayaan sumberdaya manusia, yaitu mencakup peningkatan kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) baik dalam konteks pola sikap dan perilaku,
(c) Pemberdayaan lingkungan, mencakup peningkatan kesadaran dan
kemampuan para kaum nelayan untuk konservasi sumberdaya pesisir
(Supriharyono, 2007).
Partisipasi Masyarakat Pesisir
Semua langkah menuju pendekatan yang demokratis dalam
mengimplementasikan kawasan konservasi perairan laut harus mendapatkan
pujian, tetapi yang paling utama yaitu ketika suatu masyarakat memiliki tanggung
jawab terhadap pengelolaannya, terdapat kemungkinan yang bagus bahwa mereka
akan lebih peduli dan hati-hati dalam memanfaatkan sumber daya. Misalnya,
jumlah ikan dan kerang yang mereka ambil akan lebih dikontrol, tidak akan
menangkap selama masa bertelur ikan, dan penggunaan cara menangkap ikan
yang merusak akan berkurang. Mereka juga akan memiliki kesediaan yang lebih
besar untuk mencegah pencemaran dan memelihara habitat-habitat yang ada.
Masyarakat pantai harus dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan
konservasi perairan laut. Masyarakat lokal tidak dapat dengan mudah dipindahkan
oleh pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat dalam pembentukan kawasan
konservasi atau disisihkan dalam proses perencanaannya (Supriharyono, 2007).
Partisipasi masyarakat oleh beberapa pemerhati lingkungan mungkin
membawa kekhawatiran tercapainya tujuan konservasi melalui dukungan
masyarakat. Sebaliknya, di suatu kawasan yang memiliki nilai konservasi yang
tinggi dan masyarakat pesisir yang hidup berdampingan, terdapat pola
pemanfaatan tradisional terhadap sumberdaya, yang dapat membentuk suatu dasar
bagi tindakan konservasi yang efektif dari segi pembiayaan melalui masyarakat,
pemanfaatannya tidak lestari dan menyebabkan habisnya sumberdaya, muncul
kesadaran yang baik pada masyarakat akan permasalahan tersebut dan menyambut
dengan baik hadirnya intervensi konservasi yang akan memberi mereka
keuntungan yang dapat diperhitungkan (Salm, dkk., 2000).
Partisipasi masyarakat memiliki penafsiran dan aplikasi yang
berbeda-beda, mulai hanya sekedar menginformasikan kepada masyarakat, mendorong
partisipasi penuh dalam penilaian sumberdaya, perencanaan dan pengelolaan.
Beaumont (1977) meninjau ulang pendekatan dan persepsi internasional tentang
keikutsertaan masyarakat dalam penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi
perairan laut, dan menghasilkan beberapa deskripsi dan contoh sebagai berikut :
1. Persuasi atau partisipasi pasif: Teknik pelibatan masyarakat digunakan untuk
merubah perilaku masyarakat tanpa melambungkan harapan partisipasi
masyarakat dalam perencanaan dan proses pengambilan keputusan. Ini adalah
pendekatan tipe lama, perencana dan pengelola kini sedang beralih menuju
salah satu dari yang tercantum di bawah ini
a. Partisipasi melalui konsultasi: Kelompok pengguna memberikan
masukan kepada instansi pemerintah melalui suatu proposal untuk proses
pengumpulan permasalahan dan informasi.
b. Partisipasi untuk insentif materi: Masyarakat berpartisipasi dengan
memberi kontribusi sumberdaya, misalnya ditukar dengan makanan,
uang tunai atau insentif materi lainnya.
c. Partisipasi fungsional: Partisipasi dipandang oleh institusi eksternal
sebagai sarana untuk mencapai tujuan proyek, misalnya mengurangi
d. Partisipasi interaktif: Masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama,
mengembangkan rencana aksi dan formasi institusi lokal. Partisipasi
dipandang sebagai hak, tidak hanya sekedar sebagai alat untuk mencapai
tujuan proyek.
2. Mobilisasi diri: Masyarakat mengambil inisiatif mandiri terhadap institusi
eksternal. Penduduk pulau-pulau Pasifik mungkin memiliki tradisi terlama
dalam pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat, termasuk perlindungan
kawasan melalui mobilisasi diri (Supriharyono, 2007).
Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan strategi. Analisa SWOT didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Analisa SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats) dengan faktor internal kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weaknesses). Analisis SWOT didasarkan asumsi bahwa strategi yang efektif adalah memaksimalkan kekuatan dan kesempatan yang dimiliki serta
meminimalkan kelemahan dan ancaman yang dihadapi. Metode analisis data yang
digunakan adalah analisis data secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis data
secara kualitatif adalah analisis yang dilakukan terhadap faktor-faktor internal dan
faktor eksternal. Sedangkan analisis secara kuantitatif dilakukan dengan