SKRIPSI
Untuk Meme nuhi Persyaratan Mempe role h Gelar Sarjana Kedok te ran
Medha Gitta Anindita
G000 5132FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
ii
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 1 April 2010
iii
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul : Hipe rtensi Se bagai Fak to r Ris iko Re tinopati Diabe tik Pada Pasie n Diabete s Melitus
Medha Gitta Anindita, G0005132/X, Tahun 2010
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
iv
ABSTRACT
Medha Gitta Anindita, G00 05 13 2, 2010, Hypertension as A Risk Factor of Diabetic Retinopathy in P atients With Diabetes Mellitus. Medical Faculty, Sebelas Maret University of Surakarta.
Diabetic retinopathy is damage to the retina which is not caused by inflamation in patients with diabetes mellitus. One of the risk factor of diabetic retinopathy is hypertension. This research is to determain the relationship between hypertension and the incidence of diabetic retinopathy.
This research is analytical in traits having cross sectional approach. The sample size is 83 patients in RSUD Dr. Moewardi Surakarta, which are selected using exhausted sampling. Data was collected by recording the patients’ medical record results and analyzed using linear regression analysis. The influence of hypertension is measured by Odd Ratio (OR) and CI 95% .
The result show that patients with hypertension have 11 times more possibility to have retinopathy diabetic then patients with no hypertension (OR=11 ; CI 95% 2.7 to 46.6).
This research concludes that hypertension will increase the incidence of diabetic retinopathy in patients with diabetes mellitus and it is statistically significant.
v
ABSTRAK
Medha Gitta Anindita, G000 51 32, 2010, Hipertensi Sebagai Faktor Risiko Retinopati Diabetik P ada P asien Diabetes Melitus, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Retinopati diabetik adalah kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh proses inflamasi, yang sering terjadi pada penderita diabetes melitus. Salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian retinopati diabetik adalah hipertensi. Penelitian ini bertujuan menguji dan mengestimasi hubungan antara hipertensi pada pasien diabetes melitus terhadap kejadian retinopati diabetik.
Penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan cross section al. Jumlah sampel sebanyak 83 orang pasien RSUD Dr. Moewardi Surakarta dipilih dengan tekniks exhau sted sa mp ling. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencatat hasil rekam medis pasien. Data dianalisa dengan model analisis uji chi kuadrat. Pengaruh hipertensi diukur dengan Odds Ratio (= OR) dan CI 95%
Hasil penelitian menunjukkan pasien dengan hipertensi memiliki risiko 11 kali lebih besar untuk mengalami retinopati diabetik daripada pasien tanpa hipertensi (OR=11 ; CI 95% 2.7 sampai dengan 46.6).
P enelitian ini menyimpulkan bahwa hipertensi akan meningkatkan kejadian retinopati diabetik pada pasien diabetes melitus yang secara statistik signifikan.
vi PRAKATA
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan bimbingan dan anugerahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Hipertensi Sebag ai Faktor Risiko Re tinopati Diabetik Pada Pasien Diabe te s Melitus.
Penyusunan skripsi dimaksudkan untuk melengkapi tugas, guna memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk mencapai gelar Sarjana Kedokteran. P ada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. A. A. Subijanto, dr., MS selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Prof. Dr. Admadi Soeroso, dr., Sp. M., MARS selaku pembimbing
utama.
4. Senyum Indrakila dr., Sp. M selaku pembimbing pendamping. 5. Moch. Djafar dr., Sp. M selaku penguji utama
6. Prof.Bhisma Murti, dr., MPH., MSc., PhD selaku anggota penguji 7. Dan segenap pihak-pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini. Akhir kata penulis memohon kritik dan saran apabila dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan.
Surakarta, 1 April 2010
vii
BAB III. METODE PENELITIAN... 24
A.Jenis P enelitian ... 24
G.Definisi Operasional Variabel ... 25
H.Analisis Da ta ... 26
BAB IV. HASIL PENELITIAN... 28
viii
BAB VI. SIMPU LAN DAN SARAN ... 35
A.Kesimpulan ... 35
B.Saran ... 35
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa...21 Tabel 4.1 Karakteristik sampel menurut umur...28 Tabel 4.2 Karakteristik sampel menurut jenis kelamin... 28 Tabel 4.3Hasil analisis hipertensi sebagai faktor risiko retinopati pada
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka berpikir tentang hipertensi sebagai faktor risiko
retinopati diabetik...23 Gambar 3.1Skema P enelitian tentang hipertensi sebagai faktor risiko
retinopati diabetik... 25 Gambar 4.1.Perbedaan persentase retinopati antara pasien DM tipe 2 dengan
xi
1 BAB I PENDA HULU AN
A. Latar Belakang Masalah
Kebutaan menurut Interna tio na l Co uncil of Optha lmolog y adalah suatu kondisi dimana persepsi visual seseorang berkurang baik karena faktor
fisiologis ataupun faktor neurologis (Wikipedia, 2002).
Buta menurut PERDAMI adalah keadaan dimana visus seseorang 3/60
setelah koreksi maksimal, dengan lapang pandang 100.
Kategori buta antara lain : 1) Buta oftalmologis, ialah tajam
penglihatan yang sudah 0 (nol), dimana penderita sudah tidak dapat melihat
terangnya sinar lampu sama sekali ; 2) Buta sosial, ialah kondisi dimana
ketajaman penglihatan kurang atau sama dengan 1/60 ; 3) Buta ekonomi, ialah
suatu ketajaman penglihatan di antara 1/60 – 5/30 (sangat mengganggu
aktivitas dan pekerjaan sehari-hari), tanpa gangguan lapang penglihatan
(Soeroso, 1994).
Departemen kesehatan telah menetapkan batasan dari kebutaan, ialah
golongan buta social, bila visusnya dengan fing er cou nting jarak satu meter adalah 1/60, dan buta optalmologis bila tidak ada persepsi sinar, visus = nol
(Wilardjo, 2001).
Kebutaan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat
sebagaimana orang sehat, untuk negara berkembang adalah tajam penglihatan
3/60 atau lebih rendah yang tidak dapat dikoreksi. Penyebab utama kebutaan
kronis termasuk katarak, glaukoma, usia yang berhubungan dengan degenerasi
makula, kekeruhan kornea, retinopati diabetik, trakoma, dan kondisi mata
pada anak-anak (misalnya disebabkan oleh kekurangan vitamin A). Kebutaan
yang berkaitan dengan usia meningkat di seluruh dunia, seperti kebutaan
akibat diabetes yang tak terkendali. Di sisi lain, kebutaan yang disebabkan
oleh infeksi menurun, sebagai akibat dari tindakan kesehatan masyarakat. Tiga
perempat dari semua kebutaan dapat dicegah atau diobati (WHO, 2009).
Hingga kini kebutaan masih menjadi masalah besar di dunia. WHO
(2002) menyebutkan bahwa distribusi global kebutaan berdasarkan penduduk
di masing-masing daerah adalah : Asia Tenggara 28%, P asifik Barat 26%,
16,6% Afrika, Mediterania Timur 10% , Amerika 9,6%, dan Eropa 9,6%.
WHO (2002) juga menyebutkan bahwa di banyak negara selama
sepuluh tahun terakhir, katarak (47,9%) tetap menjadi penyebab utama
gangguan penglihatan di seluruh wilayah di dunia, kecuali negara-negara
maju. P enyebab utama lain gangguan penglihatan pada tahun 2002 adalah
glaukoma (12,3%), degenerasi makula (8,7%), kekeruhan kornea (5,1%),
retinopati diabetik (4,8%), trakoma (3,6% ), dan onkoseriasis (0,8%).
Angka kebutaan di Indonesia merupakan kategori tertinggi di dunia,
mencapai 1,5% dari jumlah penduduk atau sekitar 3,5 juta orang. Sementara
pertambahan angka kebutaan di Indonesia, setiap tahunnya mencapai 210.000
3
katarak 0,78%, galukoma 0,20 % , kelainan refraksi 0,14 %, kelainan kornea
0,10 %. Data resmi jumlah penderita retinopati diabetik di Indonesia belum
ada. Dalam Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI tahun
1995, kelainan ini belum didefinisikan dan masih dimasukkan ke dalam
”kebutaan lain-lain” sebanyak 28%.
Ilyas (1997) menyebutkan dalam bukunya bahwa diketahui prevalensi
kebutaan di Indonesia berkisar 1.2% dari jumlah penduduk di Indonesia. Dari
angka tersebut presentase kebutaan utama ialah : katarak 0,70 %, kelainan
kornea 0.13 % , penyakit glaukoma 0,10 %, kelainan refraksi 0.06 %, kelainan
retina 0,03 %, kelainan nutrisi 0,02 %. Kelainan retina yang paling sering
menyebabkan kebutaan adalah retinopati hipertensi dan retinopati diabetik.
Wong (2004) menyebutkan bahwa atas dasar grade fotografi, studi
epidemiologi ini menunjukkan bahwa tanda-tanda retinopati hipertensi yang
umum pada orang usia 40 tahun atau lebih, bahkan dalam sejarah mereka yang
tanpa hipertensi. Tingkat prevalensi berkisar 2-15 persen untuk berbagai
tanda-tanda retinopati di antara peserta yang menjalani pemeriksaa
optalmoskopi dengan dilatasi. P revalensi retinopati yang lebih tinggi telah
dilaporkan di antara orang-orang kulit hitam dari pada orang kulit putih,
perbedaan ini dijelaskan dengan lebih tingginya tekanan darah pada orang
kulit hitam. Baru sedikit studi yang mengkaji tentang insiden retinopati
hipertensi. Dua penelitian menunjukkan bahwa kejadian berbagai tanda-tanda
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering
ditemukan pada usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes
memiliki risiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibanding
non-diabetes. Risiko mengalami retinopati pada pasien diabetes meningkat seiring
dengan lamanya diabetes (P andelaki, 2006).
Sovanni (1999) menyebutkan bahwa prevalensi retinopati diabetik
berdasarkan data WHO adalah 5,2-30,8% dari populas i diabetes melitus.
Sedangkan Ilyas (1999) menyebutkan bahwa di Amerika Serikat
5.000 orang pertahun menderita kebutaan akibat retinopati diabetik. Di Inggris
retinopati diabetik menjadi penyebab kebutaan nomer 4 dari seluruh
penyebab kebutaan.
Di Indonesia sendiri, Sovanni (1999) menyebutkan bahwa prevalensi
retinopati diabetik adalah 10-32% dari seluruh popuasi diabetes melitus.
Beberapa faktor yang mempengaruhi onset dan progresifitas retinopati
diabetik antara lain lamanya pasien menderita diabetes melitus, kontrol
glukosa, dan kontrol tekanan darah (Fong dkk, 2004).
Lamanya menderita diabetes melitus berpengaruh terhadap onset dan
progresifitas retinopati diabetik. Pada waktu diagnosis diabetes tipe 1
ditegakkan, retinopati diabetik hanya ditemukan pada kurang dari 5% pasien.
Setelah 10 tahun, prevalensi meningkat menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun
lebih dari 90% pasien sudah menderita retinopati diabetik. Pada diabetes tipe 2
ketika diagnosis diabetes ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita retinopati
5
prevalensi retinopati diabetik meningkat menjadi lebih dari 60% dalam
berbagai derajat (Pandelaki, 2006).
Kontrol glukosa darah secara intensif tidak dapat mencegah terjadinya
retinopati secara sempurna, namun dapat mengurangi risiko timbulnya
retinopati diabetik dan memburuknya retinopati diabetik yang sudah ada.
Secara klinik, kontrol glukosa yang baik dapat melindungi visus dan
mengurangi risiko kemungkinan menjalani terapi fotokoagulasi dengan sinar
laser (Pandelaki, 2006).
Hubungan antara hipertensi dengan onset dan progresivitas retinopati
diabetik telah ditegakkan. Hoogwerf (2005) menyebutkan bahwa data
prospektif terbaik datang dari UKPDS (United King do m Pro sp ective Dia betes Study). Dimana pasien dengan kontrol tekanan darah ketat, dalam 7.5 tahun mengalami penurunan risiko progresifitas retinopati sebanyak 34%.
UKPDS juga mengadakan penelitian terhadap 1919 pasien dengan
foto retina yang diambil pada saat diagnosa dan 6 tahun kemudian dengan data
yang tersedia. Foto digolongan dengan memusatkan pada lesi retinopati
diabetik mengunakan modifikasi akhir skala Early Treatmen t of Diab etic Retinop athy S tud y. Faktor risiko dinilai setelah 3 bulan diet sejak didiagnosa diabetes. P engukuran secara biokimia telah dilakukan oleh laboratorium pusat.
Hasil pengukuran tentang angka kejadian dan perkembangan retinopati
diagnosa, dalam 6 tahun, 22 % berkembang menjadi retinopati diabetik,
dimana terdapat mikroaneurisme pada kedua mata atau lebih buruk. 703 (37
%) pasien dengan retinopati pada saat didiagnosa, 29 % berkembang dalam
dua derajat atau lebih. (Matthews dkk, 2001)
Perkembangan derajat retinopati berhubungan dengan glikemia dasar,
paparan glikemik selama 6 tahun, tekanan darah yang lebih tinggi dan pasien
tanpa kebiasaan merokok. Dalam kasus ini, pasien yang sebelumnya telah
menderita retinopati diabetik, perkembangannya berhubungan dengan usia
yang lebih tua, jenis kelamin laki-laki, hiperglikemi (sebagaimana ditunjukan
oleh tingginya HbA1c) dan pasien tanpa kebiasaan merokok. Hasilnya,
penemuan kembali menekankan perlunya kontrol glikemik yang baik dan
pengobatan hipertensi jika retinopati diabetik ingin diminimalkan (Matthews
dkk, 2001).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih
lanjut mengenai pengaruh hipertensi terhadap onset retinopati diabetika pada
pasien diabetes melitus di RS Dr. Moewardi, Surakarta.
B. Pe rumusan Masalah
Apakah hipertensi merupakan faktor risiko retinopati diabetika pada
7
C.Tujuan Pe ne litian
Mengetahui pengaruh hipertensi terhadap onset retinopati diabetik
pada pasien diabetes melitus.
D. Manfaat Pene litian
Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Mengetahui lebih lanjut ada tidaknya pengaruh hipertensi terhadap onset
retinopati diabetika, serta mencocokan kesesuaian antara teori empiris dan
data yang ada.
2. Manfaat Aplikatif
a. Menambah pengalaman klinik bagi penulis untuk melakukan
penelitian melalui pengumpulan data klinik tentang retinopati diabetik.
b. Sebagai dasar pertimbangan bagi profesi dokter dalam memberikan
saran kepada pasien untuk pengendalian progresivitas retinopati
8 A. Tinjauan Pustaka
1 . Diabe te s Me litus a. De finisi
Diabetes melitus (DM) (dari kata Yunani διαβαίνειν, d ia baín ein, "tembus" atau "pancuran air", dan kata Latin mellitus, "rasa manis") yang umum dikenal sebagai kencing manis adalah suatu
sindrom kronik gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak
akibat ketidakcukupan sekresi insulin atau resistensi insulin pada
jaringan yang dituju. [12]
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hipergikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. [13]
b. Klasifik asi
Schteingart menyebutkan bahwa American Dia betes
Associatio n (ADA) menjelaskan klasifikasi diabetes melitus berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom
diabetes dan gangguan toleransi glukosa. Klasifikasi ini telah disahkan
oleh World Health Orga niza tio n (WHO) dan telah dipakai di seluruh
dunia. Klasifikasi klinis gangguan toleransi glukosa tersebut antara
9
b) Cacat genetik kerja insulin : sindrom resistensi insulin berat
c) Endokrinopati : sindrom Cushing, akromegali
d) Penyakit eksokrin pankreas
e) Obat atau diinduksi secara kimia
f) Infeksi
4) Gangguan toleransi glukosa (IGT)
5) Gangguan glukosa puasa (IFG)
c. Ge jala
Tiga gejala khas diabetes melitus berupa polidipsi, poliuri, dan
polifagi. Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah lemas,
berat badan turun, kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita. (Mansjoer dkk, 2001).
Gejala awal diabetes tipe 1 meliputi rasa lapar dan haus yang
berlebihan, penurunan berat badan tanpa sebab, sering buang air kecil,
krisis, serangan diabetes tipe 1 dapat menyebabkan kejang,
kebingungan, gagap, napas berbau buah dan ketidaksadaran
(D’Adamo, 2007).
Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala
selama beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka
timbullah gejala yang berupa sering kencing dan haus. Jarang terjadi
ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari
1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres-misalnya infeksi atau
obat-obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa
menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan
yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik
d. Diagnos is
Keluhan dan gejala yang khas, ditambah hasil pemeriksaan
glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl atau glukosa darah puasa ≥ 126
mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Bila
hasil pemeriksaan glukosa darah meragukan, pemeriksaan TTGO
diperlukan untuk memastikan diagnosis diabetes melitus.
Untuk diagnosis diabetes melitus dan gangguan toleransi
glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa.
Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal
untuk konfirmasi diagnosis diabetes melitus pada hari yang lain atau
TTGO yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas
11
ketoasidosis, dan berat badan yang menurun cepat (Mansjoer dkk,
2001).
e. Ko mplikasi
Dalam bukunya, Mansjoer dkk (2001) menyebutkan beberapa
komplikasi diabetes melitus, antara lain :
1) Akut
a) Koma hipoglikemia
b) Ketoasidosis
c) Koma hiperosmolar nonketotik
2) Kronik
a) Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar : pembuluh
darah jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak.
b) Mikroangiopati, mengenai pembuluh darah kecil: retinopati
diabetik, nefropati diabetik, neuropati diabetik.
c) Rentan infeksi, seperti tuberkulosis paru, ginggivitis, dan
infeksi saluran kemih
Retinopati adalah kelainan pada retina yang tidak disebabkan
oleh radang. Kebanyakan adalah manifestasi dari penyakir sistemik
(Ilyas, 2003).
Retinopati diabetik adalah penyakit mata yang tidak
disebabkan oleh proses inflamasi, yang sering terjadi pada penderita
diabetes (Ilyas, 2003).
b. Klasifik asi dan g ejala
Klasifikasi dan tanda retinopati diabetik (Sovani, 1999) :
1) Retinopati diabetik non proliferatif (NP DR)
a) Retinopati diabetik non proliferatif, ringan – sedang
Tanda : b) Retinopati diabetik non proliferatif, sedang – berat
Tanda :
(1) Eksudat lunak.
(2) Perdarahan intra retina, sedang – berat, pada 4 kuadran.
(3) Dilatasi vena fokal
13
c) Retinopati diabetik non proliferatif, berat
Tanda : salah satu dari gejala di bawah ini
(1) Perdarahan intra retina hebat pada keempat kuadran.
(2) Dilatasi vena fokal pada dua kuadran.
(3) IRMA sedang – berat pada satu kuadran.
d) Retinopati diabetik non proliferatif, sangat berat
Tanda : dua dari gejala di bawah ini
(1) Perdarahan intra retina hebat pada keempat kuadran.
(2) Dilatasi vena fokal pada dua kuadran.
(3) IRMA sedang – berat pada satu kuadran.
2) Retinopati Diabetik Proliferatif (PDR)
Tanda :
(a) Neovaskularisasi diskus optikus.
(b) Neovaskularisasi retina
(c) Perdarahan preretina. (d) Perdarahan vitreous.
(e) Ablasio retina traksi.
(f) Neovaskularisasi pada iris atau sudut bilik mata depan.
c. Etiolo gi dan pato fos io lo gi
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa hiperglikemia
kronis, hipertensi dan hiperlipidemia berkontribusi pada patogenesis
retinopati diabetik. Kerusakan pembuluh darah retina dalam beberapa
keparahan dan durasi hiperglikemia. Mekanisme yang tepat tentang
peeningkatan glukosa yang menyebabkan gangguan vaskular pada
retinopati belum didefinisikan dengan benar.
Namun, berbagai jalur biokimia telah diusulkan untuk
menunjukkan korelasi antara hiperglikemia dan komplikasi
mikrovaskuler pada retinopati. Di antara jalur-jalur tersebut,
meningkatnya aktivitas protein kinase C (P KC) dan protein kunci yang
mengarah pada Advan ced Glycation End (AGEs) produk yang lebih penting daripada poliol akumulasi atau stres oksidatif (Shah, 2008).
1) Peran aktivasi PKC
Kegiatan peningkatan isoform berbagai PKC memainkan
peran penting dalam patogenesis retinopati diabetik. Aktivasi PKC
menyebabkan perubahan sel, yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah retina, perubahan pada aliran darah
retina, penebalan membran basal dan seluler oleh faktor pertumbuhan endotel vaskular (Vasculer End othel Gro wth Fa ctors - VEGFs) mengarah pada neovaskularisasi okuler.
2) Peran AGEs
Peningkatan konsentrasi glukosa darah pada diabetes dapat
menyebabkan pembentukan AGEs oleh non enzimatik glukosa
mengikat protein rantai samping. Hewan penelitian telah
menunjukkan bahwa akumulasi AGEs berkaitan dengan
15
Sedangkan yang diberi AGEs inhibitor (aminoguanidin)
menunjukkan penurunan kerusakan retina.
3) Peranan Akumulasi P oliol
Percobaan penelitian telah menunjukkan bahwa akumulasi
poliol pada hewan dikaitkan dengan perubahan serupa yang terlihat
pada retinopati diabetik pada manusia. Pada peningkatan
konsentrasi poliol, hiperglikemia diabetes mengarah pada
konsentrasi sorbitol intraseluler tinggi melalui aktivitas enzim
aldosa reduktase. P eningkatan konsentrasi sorbitol telah
dihipotesiskan menyebabkan kerusakan osmotik pembuluh darah
retina.
4) Kerusakan Oksidatif
Hiperglikemia pada diabetes dan jalur biokimia lainnya
yang dijelaskan di atas dapat menyebabkan pembentukan spesies
oksigen reaktif (radikal bebas) yang mengarah pada stres oksidatif
dan kerusakan pembuluh darah retina. Lebih jauh, normalisasi
glukosa akibat produksi superoksida telah ditunjukkan untuk
memblokir setidaknya tiga jalur independen hiperglikemia akibat
kerusakan pembuluh darah. Hewan dan studi manusia juga
menyatakan bahwa antioksidan seperti vitamin E bisa mencegah
beberapa disfungsi vaskular berkaitan dengan diabetes.
Pemahaman tentang jalur-jalur biokimia yang mendasari
retinopati diabetik telah dengan jelas menunjukkan peran penting
dari sejumlah faktor pertumbuhan (faktor pertumbuhan endotel
vaskular (VEGF), hormon pertumbuhan, PKC, mengubah faktor-β
pertumbuhan dan pigmen epitel berasal faktor) dalam
pengembangan perubahan struktural dalam pembuluh darah retina
(peningkatan permeabilitas vaskular retina, retinal iskemia,
neovaskularisas i) dan perkembangan Retinopati diabetik.
d. Fakto r risiko
Faktor risiko retinopati diabetik :
1) Lamanya menderita diabetes melitus
Lamanya menderita diabetes melitus adalah prediktor
terkuat onset dan progresifitas retinopati. P ada pasien diabetes
dengan onset dini di WESDR (Wiscon sin Epidemiolog ica l S tu dy o f Diabetic Retino pa thy), prevalensi retinopati diabetik pada tahun ke tiga adalah 8%, 25% pada tahun ke lima, 60% pada tahun ke
sepuluh, dan 80% pada tahun ke lima belas. Prevalensi proliferatif
diabtik retinopati adalah 0% pada tahun ketiga, dan bertambah
sampai 25% pada tahun ke lima belas (Fong dkk, 2004).
2) Kontrol metabolik glukosa
Meskipun kontrol glukosa darah secara intensif tidak dapat
mencegah terjadinya retinopati secara sempurna, namun dapat
17
retinopati diabetik yang sudah ada. Secara klinik, kontrol glukosa
yang baik dapat melindungi visus dan mengurangi risiko
kemungkinan menjalani terapi fotokoagulasi dengan sinar laser
(P andelaki, 2006).
3) Kontrol Tekanan darah
Tingginya tekanan darah dapat mengganggu aspek dari
retinopati diabetik. Pengendalian tekanan darah mengurangi risiko
komplikasi penyakit mata pada pendrita diabetes (Matthews dkk,
2004).
Hipertensi adalah salah faktor risiko yang penting dalam
perkembangan dan / atau memburuknya retinopati diabetik.
Peningkatan tekanan darah menyebabkan stress endotel dengan
pelepasan VEGF yang mengubah autoregulasi retina,
mengakibatkan peningkatan tekanan perfusi dan cedera. Hasil
RCTs (Rand omized Clinical Trials) telah menunjukkan bahwa hipertensi adalah setiap tahap merugikan retinopati diabetik dan
strategi pengendalian tekanan darah yang ketat dapat mengurangi
risiko komplikasi dari diabetes mata (Shah, 2008).
e. Diagnos is
Cara mendeteksi retinopati diabetik, meliputi:
Tes ini menggunakan diagram mata untuk mengukur
seberapa baik seseorang melihat pada berbagai jarak (yaitu,
ketajaman visual).
2) Dilatasi pupil
Mata pasien ditetesi agar pupil melebar. Hal ini
memungkinkan untuk melihat retina dan mencari tanda-tanda
retinopati diabetik. Setelah pemeriksaan, penglihatan mungkin
buram selama beberapa jam.
3) Optalmoskopi
Ini adalah pemeriksaan retina pada Eye Care profesional:
a) Terlihat melalui alat dengan lensa pembesar khusus yang
menyediakan pandangan sempit retina
b) Mengenakan head set dengan cahaya terang, terlihat melalui kaca pembesar khusus dan memperoleh pandangan yang luas
retina.
4) Op tical Co herence Tomograp hy (OCT)
OCT adalah modalitas pencitraan optik berdasarkan
gangguan, dan analog dengan USG. OCT menghasilkan gambar
penampang retina (B-scan) yang dapat digunakan untuk mengukur
ketebalan retina dan mengatasi lapisan utamanya, sehingga dapat
mengamati pembengkakan dan kebocoran.
19
Program sistematis untuk deteksi dini penyakit mata
termasuk retinopati diabetik menjadi lebih umum, seperti di
Inggris, di mana semua orang dengan diabetes mellitus diperiksa
retina setidaknya setiap tahun. Hal ini melibatkan pengambilan
foto digital dan transmisi gambar ke pusat bacaan digital untuk
evaluasi dan pengobatan rujukan.
6) S lit Lamp Bio microscopy Retinal Screen in g Prog rams
Program sistemik untuk deteksi dini retinopati diabetik
menggunakan S lit Lamp Biomicro scop y. Ini bisa digunakan sebagai skema mandiri atau sebagai bagian dari program digital
(di atas) di mana foto digital dianggap kurang cukup jelas untuk
mendeteksi dan / atau diagnosis kelainan retina apapun.
Tanda-tanda awal penyakit, seperti: (1) bocor pembuluh darah,
(2) retina bengkak, seperti edema makula, (3) pucat, lemak pada retina
(eksudat) - tanda-tanda kebocoran pembuluh darah, (4) kerusakan
jaringan saraf (neuropati), dan (5) setiap perubahan dalam pembuluh
darah.
Jika dokter mencurigai makula edema, maka dilakukan tes
menggunakan angiografi fluoresen. Dalam tes ini, cairan khusus
disuntikkan ke lengannya. Gambar tersebut kemudian diambil sebagai
pewarna melewati pembuluh darah di retina. Tes ini memungkinkan
f. Penatalaksanaan
Ada tiga perawatan untuk retinopati, yang sangat efektif dalam
mengurangi hilangnya penglihatan. Pada kenyataannya, pasien dengan
retinopati diabetik memiliki 90 % kesempatan untuk menjaga
penglihatan mereka ketika mereka mendapatkan perawatan sebelum
terjadi kerusakan retina yang lebih parah. Ketiga perawatan tersebut
adalah bedah laser, injeksi triamsinolon ke dalam mata dan vitrektomi
(Anonim, 2009).
Walaupun pengobatan ini sukses, tetapi tidak menyembuhkan
retinopati diabetik. Harap berhati-hati dalam perawatan dengan
pembedahan laser karena dapat menyebabkan hilangnya jaringan
retina. Lebih berhati-hati lagi dalam menyuntikkan triamsinolon. P ada
beberapa pasien hasil ditandai dengan peningkatan penglihatan,
terutama jika ada edema makula (Anonim, 2009).
Hindarilah merokok dan koreksi yang terkait terapi hipertensi,
serta perlu diperhatikan pentingnya langkah-langkah dalam
manajemen retinopati diabetik (Anonim, 2006).
3 . Hipertensi
Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis di mana
terjadi peningkatan tekanan darah arterial. Berbagai criteria batasannya
telah diajukan. Berkisar dari sistol 140 mmHg dan diastol 90 mmHg
21
memiliki penyebab yang tidak diketahui atau berkaitan dengan penyakit
primer (Dorland, 2002).
Pada pemeriksaan tekanan darah akan didapat dua angka. Angka
yang lebih tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sisto lik), angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung berelaksasi (diastolik). Tekanan darah kurang dari 120/80 mmHg didefinisikan sebagai "normal".
Pada tekanan darah tinggi, biasanya terjadi kenaikan tekanan sistolik dan
diastolik. Hipertensi biasanya terjadi pada tekanan darah 140/90 mmHg
atau ke atas, diukur di kedua lengan tiga kali dalam jangka beberapa
minggu (Wikipedia, 2009).
Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah P ada Orang Dewasa
Katego ri Tek anan Darah Sisto lik Tek anan Darah Diasto lik
Pada hipertensi sistolik terisolasi, tekanan sistolik mencapai 140
mmHg atau lebih, tetapi tekanan diastolik kurang dari 90 mmHg dan
tekanan diastolik masih dalam kisaran normal. Hipertensi ini sering
ditemukan pada usia lanjut. Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir
meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat
sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan
menurun drastis. (Chobanian dkk, 2003)
Dalam pasien dengan diabetes mellitus atau penyakit ginjal,
penelitian telah menunjukkan bahwa tekanan darah di atas 130/80 mmHg
harus dianggap sebagai faktor risiko dan sebaiknya diberikan perawatan.
(Chobanian dkk, 2003)
Hipertensi pada pasien diabetes prevalensinya berkisar dari 20%
sampai 60%. Hipertensi juga menambah risiko insufisiensi renal,
retinopati, dan neuropati diabetik. Karena itu, pada pasien diabetes harus
diusahakan kontrol tekanan darah yang ketat bila ada hipertensi.
23
B. Ke rang ka Pemikiran
Gambar 2 .1 . Kerangka Berpikir Tentang Hipertensi Sebagai Faktor Risiko Retinopati Diabetik
C. Hipote sis
Hipertensi merupakan faktor risiko retinopati diabetik pada pasien
diabetes melitus.
24 A. J enis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan
pendekatan cro ss section al.
B. Lo kasi Pe ne litian
Penelitian ini dilakukan di RS Dr. Moewardi Surakarta.
C. Subjek Penelitian 1. P opulasi sasaran
P asien diabetes mellitus dengan hipertensi. 2. P opulasi sumber
Pasien diabetes melitus dengan hipertensi di RS Moewardi pada bulan
Februari sampai Juli tahun 2008.
3. Besar Sampel
Sampel berjumlah 83 orang pasien diabetes mellitus dengan dan tanpa
hipertensi.
D. Te knik Sampling
25
E. Rancangan Pe nelitian
Gambar 3.1. Skema Penelitian Tentang Hipertensi Sebagai Faktor Risiko Retinopati Diabetik
mana terjadi peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam jangka
waktu lama). Penderita yang mempunyai sekurang-kurangnya tiga kali
pengukuran tekanan darah yang melebihi 140/90 mmHg saat istirahat Uji Chi Kuadrat dan Odds Ratio
Dengan Hipertensi Tanpa Hipertensi
diperkirakan mempunyai keadaan darah tinggi. Hipertensi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah hipertensi pada penyakit
terdahulu.
Variabel skala : kategorikal
2. Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik adalah penyakit mata yang sering terjadi pada
penderita diabetes.
Variabel skala : kategorikal
3. Lamanya menderita diabetes melitus, kontrol metabolik glukosa.
Lamanya menderita diabetes melitus adalah waktu sejak pasien
didiagnosa menderita diabetes melitus sampai saat data diambil.
Kontrol metabolik glukosa adalah kondisi dimana kadar glukosa
pasien diabetes melitus dikontrol agar tetap stabil.
H. Analisis data
1. T abel kontingensi ukuran 2 x 2
Retinopati Diabetik
+ -
Hipertensi + a b
- c d
2. Uji Chi Kuadrat
27
2= N(ad− b c)
(a + b) (c + d) (a + c)( b + d )
3. Odds Ratio
Faktor risiko hipertensi dinilai dengan menggunakan odd s ra tio dan CI95%.
=
95% = 1± 1− 2/√
28 BAB IV
HASIL PEN ELITIAN
Tabel 4.1. Karakteristik sampel menurut umur
Variabel n Mean √D
Umur (tahun) 83 59 12.4
Dari tabel 4.1 diketahui bahwa jumlah sampel adalah 83 orang, dengan
rata-rata umur 59 tahun dan standar deviasi 12.4
Tabel 4.2. Karakteristik sampel menurut jenis kelamin
Variabel n %
Jenis kelamin :
Laki-laki 39 47 %
Perempuan 44 53 %
Total 83 100 %
Dari tabel 4.2 diketahui bahwa laki-laki yang mengalami retinopati
sebanyak 39 orang (47%) dan perempuan yang mengalami retinopati sebanyak 44
29
Tabel 4.3. Hasil analisis hipertensi sebagai faktor risiko retinopati pada pasien
diabetes melitus tipe II
Variabel
Retinopati Tidak Retinopati Total
∆ (%) OR X
2 CI 95%
n (%) n (%) Bawah Atas
Hipertensi 9 (37.5) 15 (62.5) 24 (100) 11.2 14.5 2.7 46.6
Tidak Hipertensi 3 (5.1) 56 (94.9) 59 (100)
n = 83 observasi
Dari tabel 4.3 diketahui pasien diabetes melitus dengan hipertensi
memiliki risiko untuk mengalami retinopati sebelas kali lebih besar daripada
tanpa hipertensi dan peningkatan risiko tersebut secara statistik signifikan (OR =
11.2 ; CI 95% 2.7 sampai dengan 46.6).
Gambar 4.1. Perbedaan persentase retinopati antara pasien DM
30
BAB V PEMBAHASAN
Penelitian dilaksanakan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan sampel
penelitian pasien diabetes melitus dengan hipertensi dan tanpa hipertensi.
Dilakukan dengan cara pengumpulan rekam medik pasien diabetes melitus dari
bulan Februari sampai Juli 2008. Kemudian dilakukan uji statistik uji chi kuadrat
dengan menggunakan program SPSS 17.0.
Dari penelitian diperoleh hasil (Tabel 4.3) yang sesuai dengan hipotesis
yang menyatakan bahwa hipertensi merupakan faktor risiko retinopati diabetik.
Dimana pasien dengan hipertensi memiliki risiko mengalami retinopati 11 kali
lebih besar daripada pasien tanpa hipertensi.
Hipertensi sebagai faktor risiko retinopati diabetik juga telah diteliti
UKPDS dengan menekankan pada pengaruh hipertensi terhadap progresivitas
retinopati diabetik. Penelitian dilakukan di 19 rumah sakit di Inggris, Skotlandia,
dan Irlandia. 1148 pasien diabetes melitus tipe 2 dengan rata-rata menderita
diabetes 2.6 tahun, rata-rata umur 56 tahun dan rata-rata tekanan darah 160/94
mmHg dibagi menjadi 2 kelompok secara random. 758 pasien mendapat
pengawasan kontrol tekanan darah yang ketat (<150/85) dengan terapi angiotensin
inhibitor atau beta bloker dan 390 pasien tidak mendapat pengawasan kontrol
tekanan darah yang ketat (<180/105). Tingkat keparahan retinopati diukur dengan
skala Early Treatment of Dia betic Retinop athy Stud y (ETDRS). Juga dilihat
31
seperti eksudat keras dan cotton-wo ol sp ots. Setelah 4.5 tahun terlihat perbedaan
yang signifikan pada perhitungan mikroaneurisme dimana kelompok dengan
kontrol tekanan darah ketat 23.3% terdapat lebih dari 5 mikroaneurisme.
Sedangkan kelompok dengan kontrol tekanan darah kurang ketat sejumlah 33.5%.
Efek berlanjut setelah 7.5 tahun. Eksudat keras bertambah dari 11.2% menjadi
18.3% dengan lesi yang lebih sedikit pada kelompok dengan kontrol tekanan
darah ketat. Cotton-wo ol sp ots juga bertambah dengan jumlah yang lebih sedikit
pada kelompok dengan kontrol tekanan darah ketat. 9 tahun pengamatan, pasien
dengan kontrol tekanan darah ketat mengalami pengurangan progresivitas
retinopati diabetik 34% dibandingkan yang tidak mendapat pengawasan ketat
(Shah, 2008).
Pada penelitian lain yang dilakukan UKPDS menggunakan fotografi
retina, 1919 pasien diamati selama 6 tahun. Fotograf difokuskan pada lesi
retinopati diabetik yang dinilai menggunakan skala Ea rly Treatment of Dia betic
Retino pa thy Study Fin al. Faktor risiko dinilai setelah 3 bulan diet setelah pasien
didiagnosa diabetes. Pasien diperiksa setiap 3 bulan. Hasil penelitian menyatakan,
1919 pasien, 1216 (63 %) yang tidak menderita retinopati diabetik pada diagnosa
awal, selama 6 tahun, 22% telah berkembang menjadi retinopati dengan
mikroaneurisme pada kedua mata, bahkan lebih buruk. 703 (37 %) pasien dengan
retinopati pada saat diagnose awal, 29 % menjadi lebih parah. Onset dan
progresivitas ini erat hubungannya dengan indeks glikemik, paparan glikemik
yang telah menderita retinopati, progresivitas berhubungan juga dengan usia, jenis
kelamin, hiperglikemi, dan kebiasaan merokok (Matthews dkk, 2009).
Penelitian juga dilakukan oleh Mehler dkk (2002). Beberapa penelitian
sebelumnya meneliti tentang hipertensi pada pasien diabetes melitus tipe 2. Tidak
diketahui apakah tekanan darah yang lebih rendah pada normotensi (Tekanan
darah < 140 / 90 mmHg) pada pasien menawarkan beberapa manfaat pada
komplikasi vaskuler. Mehler dkk mengevaluasi efek kontrol tekanan darah yang
intensif dan moderat terhadap komplikasi diabetik vaskuler pada 480 pasien
diabetes melitus tipe 2 dengan tensi normal. Penelitian ini bersifat prospektif,
dengan ra ndo mized controlled tria l . Subjek dibagi dalam kelompok intensif (10
mmHg dibawah Diastolic Bloo d Prea su re - DBP ) dan kelompok moderat (80-89
mmHg) kontol DBP . Pasien pada kelompok terapi moderat diberi placebo,
sedangkan kelompok terapi intensif diberi obat anti hipertensi. Lalu dinilai
proresifitas retinopati dan neuropati serta insidensi penyakit kardiovaskuler.
Setelah 5.3 tahun, dilihat rata-rata tekanan darah pasien. Kelompok intensif
memiliki tekanan darah rata-rata 75 ± 0.3 / 128 ± 0.8 mmHg. Kelompok moderat
memiliki tekanan darah rata-rata 81 ± 0.3 / 137 ± 0.7 mmHg .Kelompok intensif
juga memperlihatkan progresivitas retinopati diabetic dan insidensi stroke yang
lebih rendah.
Namun, ada penelitian yang menyatakan bahwa kontrol tekanan darah
tidak berpengaruh terhadap progresivitas retinopati diabetic. Hasil penelitian
App ro priate Bloo d Pressure Con tro l in Dia betes (ABCD) pada tahun 2000
33
retinopati diabetic antara kelompok dengan kontrol tekanan darah ketat (diastol <
75 mmHg) dan kelompok dengan kontrol tekanan darah tidak ketat (diastol antara
80-89 mmHg) selama 5.3 tahun (Shah, 2008).
Meningkatnya risiko mengalami retinopati diabetik pada pasien diabetes
melitus dengan hipertensi belum diketahui secara pasti mekanismenya.
Kemungkina hal ini berkaitan dengan pemicuan ganda pada aktivitas biokimia
yang berkaitan dengan endotel vaskuler, terutama VGEFs.
Pasien diabetes melitus mengalami hiperglikemia, dimana hiperglikemia
memicu diasilgliserol, PKC dan AGEs meningkatkan aktivitas PKC, VGEFs dan
faktor pertumbuhan lainnya di retina dan endotel. Hipertensi sendiri menyebabkan
stres endotel yang memicu peningkatan aktivitas VEGFs. Pasien diabetes melitus
dengan hipertensi, mengalami peningkatan aktivitas VEGFs berlebih
dibandingkan pasien diabetes melitus tanpa hipertensi sehingga efek VEGFs,
seperti peningkatan permeabilitas pembuluh darah retina dan penebalan membran
basal dan seluler yang akhirnya menyebabkan kebocoran mikrovaskuler (eksudat,
perdarahan), sumbatan pembuluh darah (iskemik, neovaskularisasi okuler) yang
merupakan gejala retinopati, menjadi berkali lipat dan menimbulkan efek yang
lebih parah. Oleh karena itu, kemungkinan pasien diabetes melitus dengan
hipertensi untuk mengalami retinopati lebih besar dibanding tanpa hipertensi.
Klasifikasi dan tanda retinopati yang dapat menunjukan tingkat
progresivitas penyakit tersebut, oleh Sovani (1999) dibagi atas :
1. Retinopati diabetik non proliferatif (NPDR)
b. Retinopati diabetik non proliferatif, sedang – berat
c. Retinopati diabetik non proliferatif, berat
d. Retinopati diabetik non proliferatif, sangat berat
2. Retinopati Diabetik Proliferatif (PDR)
Pada setiap tahap, terdapat ciri-ciri tertentu yang menunjukan tingkat keparahan
kerusakan pada retina dan jaringan mata. Ciri-ciri yang khas tersebut dapat
digunakan untuk menilai progresivitas dari retinopati diabetik.
Pada penelitian ini tidak dapat diteliti apakah faktor pengobatan dan
kontrol tekanan darah pada hipertensi berpengaruh terhadap perkembangan
retinopati diabetik. Data sekunder yang digunakan mempunyai beberapa
kekurangan kelengkapan data, seperti lamanya pasien menderita hipertensi,
apakah pasien telah menjalani pengobatan hipertensi, bagaimana proses dan
jalannya pengobatan, bagaimana kotrol tekanan darah, serta catatan kondisi mata
pasien (mencakup pemeriksaan detail berkala untuk menilai perjalanan penyakit
retinopati diabetik). Hanya sebagian rekam medis yang mencantumkan data-data
tersebut. Dan mengingat bahwa hipertensi dan pengobatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah hipertensi pada penyakit terdahulu yang pada pencatatan
merupakan hasil anamnesa, kemungkinan data bias menjadi lebih besar sehingga
mengurangi keakuratan data.
Untuk mengetahui lebih lanjut dan meneliti tentang hipertensi dengan
pengobatan dan kontrol tekanan darah, dapat dilakukan pengambilan data primer
dengan teknik perlakuan dan pengawasan langsung terhadap subyek penelitian
35
serta pengendalian terhadap variabel luar lebih baik, seperti yang telah dilakukan
oleh UKPDS. Untuk penelitian tersebut memerlukan waktu yang cukup lama
36
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Penelitian ini menyatakan, hipertensi meningkatkan risiko retinopati
pada pasien diabetes melitus tipe II. Pasien diabetes melitus tipe II dengan
hipertensi meemiliki risiko untuk mengalami retinopati diabetik sebelas kali
lebih besar dibanding tidak hipertensi (OR = 11.2 ; CI 95 % 2.7 sd 46.6).
B. Saran
1. Pada pasien diabetes melitus perlu diperhatikan kontrol glukosa darah agar
glukosa darah stabil sehingga dapat menghindari terjadinya komplikasi
lebih lanjut.
2. Pada pasien diabetes melitus dengan hipertensi perlu lebih mendapat
perhatian terutama dalam hal kontrol tekanan darah agar komplikasi
retinopati dapat dihindari.
3. Pada pasien diabetes melitus dengan hipertensi dan telah mengalami
retinopati diabetik perlu diperhatikan dan dikontrol dengan ketat mengenai
tekanan darah agar progresivitas retinopati diabetik dapat ditekan.
4. Bagi penelitian selanjutrnya, dapat diteliti lebih lanjut sejauh mana
pengobatan hipertensi dan kontrol tekanan darah pada pasien diabetes
melitus dengan hipertensi dapat berpengaruh terhadap onset dan
37
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Chron ic Co mp lication of Diab etes. http://www.health.am/
db/diabetes-ocular-complications/ (2 September 2009)
Anonim. 2009. Diab etic Retino pathy. http://www.nei.nih.gov/health/diabetic/
retinopathy.asp (2 September 2009)
Bickley, L.S. 2008. Pemerik saa n Fisik Dan Riwayat Kesehata n Bates. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran ECG. pp : 54
Chobanian, A.V., Bakris, G.L., Black, H.R et al. 2003. Seventh Repo rt o f The
Joint Nation al Committee on Preventio n Detection Eva lu ation a nd Treatment o f Hig h Blood Pressu re : Hyperten sion 4 2 (6).
http://hyper.ahajournals.org/cgi/content/full/42/6/1206
D’Adamo, P. J., Whitney, Chaterine. 2007. Penemua n Ba ru Memeran gi Dia betes
Melalui Diet Go lo ng an Da rah. Yogyakarta : Penerbit B-first. pp : 23-25
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedo k tera n. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran ECG. pp : 602-1051
Fong D.S., Aiello L., Gardner T.W., King G.L., Blankenship G., Cavallerano,
J.D., Ferris F.L., Klein R. 2004. Retinopathy in Diabetes. Diab etes Ca re.
Gustaviani, R. 2006. Buk u Ajar Ilmu Pen ya k it Da lam. Jakarta : Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 1879-1881
Hoogwerf B.J. 2005. Complication o f Diab etes Mellitus. http://www.ijddc.
com/text.asp?2005/25/3/63/22774 (2 September 2009)
Ilyas, S. 2003. Ilmu Pen ya k it Ma ta. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. pp : 224-227
Mansjoer, A., Kuspuji, Triyanti., Rakhmi, Savitri., Wahyu, Ika Wardhani. and
Wiwiek, Setiowulan. 2005. Kap ita S elek ta Kedo k teran . Jakarta : Penerbit
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 580-591
Matthews D.R., Stratton I.M., Kohner E.M., Aldington S.J., Turner R.C., Holman
R.R. and Manley S.E. 2001. UKPDS 50 : risk factors for in cidence a nd
p ro gressio n of retino pa th y in Typ e II diab etes over 6 years from d ia gn osis. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1127067 (30 sepetember
2009)
Mehler P., Schrier R. W., Esracio R. O., Esler A. 2002. Effects o f ag gressive
b lo od p ressure con trol in n ormo tensive type 2 d ia betic p atien ts on a lb umin uria, retin op athy an d stro k es. http://www.ncbi.nlm.nih.gov
/pubmed/11849464 (31 Maret 2010)
Schteingart, D. E. 2006. Patofisiolo gi Kon sep Klin is Proses-Proses Pen ya k it.
39
Shah, C. A. 2008. Diab etic Retino ph aty : A Co mprehensive Review.
http://www.indianjmedsci.org/text.asp?2008/62/12/500/48562 (1 Oktober
2009)
Soeroso, A. 1994. Pen ya k it-Pen ya k it Dan Pen yeba b Kecaca ta n Netra . Pelatihan
PPRBM Rumah Sakit dr. Soeharso Surakarta. pp : 14
Sovani, I. 1999. Diagnosa dan Penanganan Retinopati Diabeti. Semina r
Pen atalak sa na an Penyak it Diab etes Melitus. Sumedang : Sub.bagian
Retina Bagian Mata FK Unpad / RS Mata Cicendo.
Pandelaki, K. 2006. Buk u Ajar Ilmu Pen ya k it Da lam. Jakarta : Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 1911-1915
WHO. Blin dn ess. http://www.who.int/topics/blindness/en/ (9 Desember 2009)
WHO. Ca uses o f Blin dn ess and visua l impa irment. http://www.who.int/
blindness/causes/en/index.html (22 Oktober 2009)
Wikipedia. 2009. Blind ness. http://en.wikipedia.org/wiki/Blindness (9 Desember
2009)
Wikipedia. 2009. Dia betes Melitus. http://id.wikipedia.org/wiki/Diabetes_
mellitus (29 September 2009)
Wikipedia. 2009. Dia betic Retino ph aty. http://en.wikipedia.org/wiki/Diabetic
Wikipedia. 2009. Hypertension. http://en.wikipedia.org/wiki/Hypertension (29
Desember 2009)
Wilardjo. 2001. Keb utaan S eb aga i Ak iba t Da ri Retin op ati Dia betik Dan Upa ya
Pen cega han nya. http://eprints.undip.ac.id/278/1/Wilardjo.pdf (1 Mei
2010)
Wong, T.Y. 2004. Hypertensive Retino pa thy. http://content.nejm.org/cgi/co