BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Dalam Bab ini, sesuai dengan judul di atas, diisi Penulis dengan suatu
gambaran tentang hasil penelitian dan analisis. Adapun pemaparan gambaran hasil
penelitian dan analisis tersebut Penulis lakukan dalam rangka untuk menjawab
rumusan masalah dalam penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah ini, seperti
telah dikemukakan di dalam Bab I skripsi ini.
Bab ini terdiri dari tiga sub bab, yaitu: dalam Sub Bab pertama, Penulis
uraikan isi dari PBM. Dalam Sub Bab kedua, Penulis isi dengan Putusan No.41
serta Putusan No.127. Bab ini diakhiri dengan Sub Bab ketiga, yaitu suatu analisis
tentang bagaimana keberadaan prinsip persamaan perlakuan di depan hukum yang
telah diproyeksikan secara teoritis dalam Bab Tinjauan Kepustakaan
mengejawantah di dalam hasil penelitian yang telah dikemukakan dalam sub-sub
bab sebelumnya.
3.1. Kaedah dan Asas dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM)
Perlu Penulis kemukakan bahwa PBM diawali dengan suatu uraian tentang
dalamnya1. Dalam PBM itu, dimaksudkan dengan kerukunan umat beragama
adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran
agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik tahun 19452. Sementara itu, PBM
juga mengartikan apa yang disebut dengan pemeliharaan kerukunan umat
beragama. Menurut PBM tersebut, pemeliharaan kerukunan umat beragama
adalah upaya bersama umat beragama dan Pemerintah di bidang pelayanan,
pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama.
Dalam kaitan dengan apa yang baru saja dikemukakan di atas tersebut,
Rumah Ibadat, menurut PBM adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu
yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing
agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga.
Mengenai Ormas Keagamaan, dalam PBM itu juga diuraikan organisasi
kemasyarakatan keagamaan (OK), adalah organisasi nonpemerintah. Menurut
PBM itu, OK bervisi kebangsaan, dibentuk berdasarkan kesamaan agama, oleh
warga negara RI secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di
pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik.
Berhubungan dengan itu, PBM tersebut juga mendefinisikan Pemuka Agama
(PA), yang menunjuk kepada tokoh komunitas umat beragama baik yang
memimpin OK maupun yang tidak memimpin OK yang diakui dan atau dihormati
1
Adapun konsep-konsep hukum yang dimaksud dipaparkan mulai Pasal 1 Ayat (1) sampai (8), PBM.
2 Seperti telah Penulis kemukakan di Bab-bab sebelumnya pada Skripsi ini, penyebutan UUD 1945
oleh masyarakat setempat sebagai panutan. Berkaitan dengan itu, dalam PBM
juga dicantumkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), suatu forum yang
dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka
membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan
dan kesejahteraan.
Sedangkan yang berhubungan dengan pembangunan rumah ibadat, PBM
juga mengakui suatu Panitia Pembangunan Rumah Ibadat atau Panitia, dibentuk
oleh umat beragama, OK atau pengurus rumah ibadat.
PBM juga rupanya mengaitkan pembangunan rumah ibadat dengan sistem
perijinan. Menurut PBM, Ijin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadat (IMB-RI) itu
ijin yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota untuk pembangunan rumah ibadat.
3.1.1. Kewajiban Kepala Daerah dalam PBM
Kaedah yang mengatur tugas Kepala Daerah, sebagai satu dari sekian
pihak (party to contract) dalam PBM, terutama yang berkaitan erat dengan isu
skripsi dan penelitian ini, yaitu persamaan perlakuan di depan hukum bagi mereka
yang hendak mengekspresikan kebebasan memeluk, beragama dan beribadat
menurut agama dan kepercayaan mereka masing-masing yang juga penting
Penulis kemukakan di sini sebagai temuan atau hasil penelitian adalah
pemeliharaan kerukunan umat beragama3. Kewenangan Kepala Daerah tersebut
kemudian dirinci lebih jauh, yaitu, bahwa Kepala Daerah harus memastikan
bahwa pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama
umat beragama, pemerintahan daerah dan Pemerintah.
3
Rincian mengenai hal di atas itu, yaitu, pemeliharaan kerukunan umat
beragama di provinsi menjadi tugas dan kewajiban gubernur. Pelaksanaan tugas
dan kewajiban gubernur tersebut4, dibantu oleh kepala kantor wilayah departemen
agama provinsi. Perlu Penulis tambahkan di sini, bahwa Kepala Kantor
Departemen Agama (KKDA) adalah unsur dari Pemerintah Pusat, atau Presiden.
Sehingga, tugas untuk memelihara kerukunan beragama, termasuk memastikan
bahwa persamaan perlakuan mengenai hal itu dinikmati oleh seluruh rakyat
Indonesia, bukan hanya menjadi tanggung jawab kepala daerah, yaitu Gubenur
dan Bupati atau Walikota, namun juga menjadi suatu kontrak, atau tanggung
jawab dan tugas (contractual), karena dirumuskan di dalam peraturan
perundang-udangan, sebagaimana dikemukakan di atas adalah merupakan tanggung jawab
Negara Republik Indonesia yang dikepalai Presiden5.
Pemeliharaan kerukunan umat beragama di Kabupaten/Kota menjadi tugas
dan kewajiban Bupati/Walikota. Perundangan (PBM) yang menjadi satuan amatan
penelitian ini juga menegaskan bahwa pelaksanaan tugas dan kewajiban
Bupati/Walikota di atas dibantu oleh Kepala Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota. Sedangkan, dalam kaitan dengan itu, rincian tugas dan
kewajiban Gubernur6 meliputi: pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban
masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di
provinsi; pengkoordinasian kegiatan instansi vertikal di provinsi dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama; menumbuhkembangkan keharmonisan,
saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat
4 Dapat dilihat pengaturannya di dalam Pasal 3 Ayat (1) PBM.
5 Lihat Analisis di hlm., 87, Bab ini, infra.
beragama; dan membina serta mengoordinasikan Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang
ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama. Pelaksanaan
tugas itu dapat didelegasikan kepada Wakil Gubernur.
Tugas dan kewajiban Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud7 meliputi:
memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi
terwujudnya kerukunan umat beragama di Kabupaten/Kota; mengoordinasikan
kegiatan instansi vertikal di Kabupaten/Kota dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama; menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling
menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; membina dan
mengoordinasikan camat, lurah, atau kepala desa dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam
kehidupan beragama; menerbitkan IMB-RI.
Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksudkan di atas dapat didelegasikan
kepada Wakil Bupati/Wakil Walikota. Apabila tugas-tugas berlangsung di
wilayah kecamatan, maka hal itu dilimpahkan kepada camat dan di wilayah
kelurahan/desa dilimpahkan kepada lurah/kepala desa melalui camat8 meliputi:
pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi
terwujudnya kerukunan umat beragama di wilayah kecamatan;
menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati,
dan saling percaya di antara umat beragama; dan membina dan mengoordinasikan
lurah dan kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang
ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan keagamaan.
7
Pasal 4 PBM.
Kaitan dengan apa yang baru saja dikemukakan di atas, maka tugas dan
kewajiban lurah/kepala desa9 adalah meliputi: pemeliharaan ketenteraman dan
ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama di wilayah kelurahan/desa; dan menumbuhkembangkan keharmonisan,
saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat
beragama.
Sampai pada uraian tentang tugas-tugas pihak-pihak (the parties to contract)
sebagaimana dikemukakan di atas, maka menurut Penulis, perlu dikemukakan
bahwa pada prinsipnya, apabila diperhatikan dengan seksama, tugas-tugas
pihak-pihak di atas hakikatnya adalah sama, tidak jauh berbeda antara tugas satu pihak-pihak
dan tugas pihak lainnya, sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas; satu
diantaranya adalah memastikan persamaan perlakuan di depan hukum.
3.1.2. Pihak Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Masih dalam kerangka struktur Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum10,
yang di dalam setiap analisis tidak boleh melupakan identifikasi terhadap
pihak-pihak atau subyek hukum (the parties to contract), atau dalam bahasa yang lebih
teknis yuridis yaitu orang (rechtpersoon), baik itu manusia maupun badan hukum
yang mengemban hak-hak dan kewajiban, terutama dalam konteks penulisan dan
penelitian ini adalah kewajiban kontraktual untuk memelihara kerukunan
beragama yang perlakuannya harus taat asas atau kaedah hukum sama di hadapan
9 Ibid.
10 Gambaran tentang apa itu Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, dapat dibaca di dalam Buku
hukum adalah, masih ada satu pihak lagi yang tidak dapat ditinggalkan memegang
tugas kontraktual dalam PBM di atas, yaitu pihak yang disebut dengan FKUB11.
Menurut PBM, FKUB dibentuk di provinsi dan Kabupaten/Kota dan
dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Sifat hubungan
antara pihak-pihak tersebut adalah konsultatif. Pihak yang disebut dengan FKUB
provinsi, melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat;
menampung aspirasi OK dan aspirasi masyarakat; menyalurkan aspirasi ormas
keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan
gubernur; dan melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama
dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan FKUB Kabupaten/Kota12 bertugas:
melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; menampung
aspirasi OK dan aspirasi masyarakat; menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan
masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan Bupati/Walikota;
melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang
keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan
masyarakat; dan memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian
rumah ibadat.
3.1.3. Para Pihak dalam Struktur Kepengurusan FKUB menurut PBM Dalam temuan Penulis, dalam struktur FKUB itu dapat dilihat siapa saja
pihak-pihak atau unsur-unsur yang merupakan keanggotaan lembaga atau subyek
hukum tersebut, yaitu pemuka-pemuka agama setempat. Jumlah anggota FKUB
11 Lihat, rumusan mengenai pihak itu di dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 12 PBM.
Provinsi paling banyak 21 orang. Sedangkan jumlah anggota FKUB,
Kabupaten/Kota paling banyak 17 orang. Komposisi keanggotaan FKUB Provinsi
dan Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama
setempat dengan keterwakilan minimal satu orang dari setiap agama yang ada di
Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Adapun, struktur kepengurusan FKUB, dimulai dengan kepemimpinan
lembaga yaitu, yang dilakukan oleh satu orang ketua, dua orang wakil ketua, satu
orang sekretaris, satu orang wakil sekretaris, yang dipilih secara musyawarah oleh
anggota. Dalam memberdayakan FKUB, dibentuk Dewan Penasihat FKUB di
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dewan Penasihat FKUB itu bertugas: membantu
Kepala Daerah dalam merumuskan kebijakan pemeliharaan kerukunan umat
beragama; dan memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan pemerintah daerah
dan hubungan antar sesama instansi pemerintah di daerah dalam pemeliharaan
kerukunan umat beragama. Keanggotaan Dewan Penasehat FKUB Provinsi
sebagaimana ditetapkan oleh Gubernur dengan susunan keanggotaan yang terdiri
dari Ketua: Wakil Gubernur; sedangkan Wakil Ketuanya adalah Kepala Kantor
Wilayah Departemen Agama Provinsi; Sekretaris: Kepala Badan Kesatuan
Bangsa dan Politik Provinsi; Anggota: pimpinan instansi terkait. Sedangkan
Dewan Penasehat FKUB Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota
dengan susunan keanggotaan yang terdiri dari Ketua yaitu Wakil Bupati/Wakil
Walikota; Wakil Ketua adalah Kepala Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota, sedangkan Sekretaris adalah Kepala Badan Kesatuan Bangsa
dan Politik Kabupaten/Kota dan Anggota merupakan pimpinan instansi terkait.
Gubernur, lebih lanjut mengatur melalui Peraturan Gubernur mengenai FKUB dan
3.1.4. Pengaturan tentang Pendirian Rumah Ibadat
Berikut, gambaran public policy Indonesia mengenai Pendirian Rumah
Ibadat, suatu aspek yang menjadi konsen dari penelitian dan penulisan karya tulis
kesarjanaan ini13. Menurut perumus PBM, yang juga hal ini sudah barang tentu
harus dilihat sebagai keinginan (political will) dari pembuat policy tersebut, dalam
hal ini pihak Pemerintah Republik Indonesia adalah bahwa pendirian rumah
ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh, berdasarkan
komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di
wilayah kelurahan/desa. Pendirian rumah ibadat yang demikian itu dilakukan
dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan
perundang-undangan. Pembuat PBM juga menyatakan bahwa dalam hal keperluan nyata bagi
pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa tidak terpenuhi,
pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah Kecamatan
atau Kabupaten/ Kota atau Provinsi.
Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis bangunan gedung, dan memenuhi persyaratan khusus yang
meliputi: daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling
sedikit sembilan puluh orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan
tingkat batas wilayah; dukungan masyarakat setempat paling sedikit enam puluh
orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; rekomendasi tertulis Kepala Kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota; dan rekomendasi tertulis FKUB
Kabupaten/Kota. Dalam hal persyaratan di atas14 terpenuhi sedangkan persyaratan
huruf (b) belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi
tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat. Rekomendasi FKUB15 merupakan
hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk
tertulis.
Permohonan pendirian rumah ibadat diajukan oleh panitia pembangunan
rumah ibadat kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh IMB-RI dari
Bupati/Walikota dan keputusan diberikan paling lambat 90 hari sejak permohonan
diajukan. Pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan
gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang dipindahkan karena
perubahan rencana tata ruang wilayah.
3.1.5. Aspek Perijinan Pemanfaatan Bangunan Gedung Menurut PBM Mengenai perijinan, dalam hal ini perijinan berupa ijin Sementara
Pemanfaatan Bangunan Gedung16, di dalam PBM dirumuskan bahwa
pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat
sementara harus mendapat surat keterangan pemberian ijin sementara dari
Bupati/Walikota dengan memenuhi persyaratan: laik fungsi; dan pemeliharaan
kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
Persyaratan laik fungsi mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang
bangunan gedung.
14
Ayat (2) huruf (a) PBM.
15
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (2) huruf (d) PBM.
Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman
dan ketertiban masyarakat itu meliputi: Ijin tertulis pemilik bangunan;
rekomendasi tertulis lurah/kepala desa; pelaporan tertulis kepada FKUB
Kabupaten/Kota; dan pelaporan tertulis kepada Kepala Kantor Departemen
Agama Kabupaten/Kota.
Surat keterangan pemberian ijin sementara pemanfaatan bangunan-gedung
bukan rumah ibadat oleh Bupati/Walikota dimaksud diterbitkan setelah
mempertimbangkan pendapat tertulis Kepala Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota dan FKUB Kabupaten/Kota. Surat keterangan pemberian ijin
sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat dimaksud berlaku
paling lama dua tahun. Penerbitan surat keterangan pemberian ijin sementara
dapat dilimpahkan kepada camat. Penerbitan surat keterangan pemberian ijin
sementara dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis Kepala Kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota dan FKUB Kabupaten/Kota.
3.1.6. Penyelesaian Perselisihan Menurut PBM
Mengenai penyelesaian perselisihan17 akibat pendirian rumah ibadat
diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat. Dalam hal
musyawarah tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan oleh
Bupati/Walikota dibantu Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota
melalui musyawarah yang dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan
mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB Kabupaten/Kota. Apabila
penyelesaian perselisihan musyawarah pada tahap kedua itu tidak dicapai, maka
penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan setempat. Gubernur
melaksanakan pembinaan terhadap Bupati/Walikota serta instansi terkait di daerah
dalam menyelesaikan perselisihan.
Dalam kaitan dengan itu, mengenai pengawasan dan penolakan, Gubernur
dibantu Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi melakukan
pengawasan terhadap Bupati/Walikota serta instansi terkait di daerah atas
pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum
kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadat. Bupati/Walikota dibantu
Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota melakukan pengawasan
terhadap Camat dan Lurah/Kepala Desa serta instansi terkait di daerah atas
pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum
kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat.
Gubernur melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat
beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pengaturan
pendirian rumah ibadat di provinsi kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Agama dengan tembusan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan,
dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Bupati/Walikota melaporkan
pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum
kerukunan umat beragama, dan pengaturan pendirian rumah ibadat di
kabupaten/kota kepada gubernur dengan tembusan Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Agama. Laporan disampaikan setiap enam bulan pada bulan Januari dan
Juli, atau sewaktu-waktu jika dipandang perlu.
Mengenai belanja pembinaan dan pengawasan yaitu sebagai terhadap
pemeliharaan kerukunan umat beragama serta pemberdayaan FKUB secara
Belanja pelaksanaan kewajiban menjaga kerukunan nasional dan memelihara
ketenteraman dan ketertiban masyarakat di bidang pemeliharaan kerukunan umat
beragama, pemberdayaan FKUB dan pengaturan pendirian rumah ibadat di
Provinsi didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi. Belanja pelaksanaan kewajiban menjaga kerukunan nasional dan
memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat di bidang pemeliharaan
kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pengaturan pendirian
rumah ibadat di Kabupaten/Kota didanai dari dan atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam bagian Penutup, di dalam PBM dicantumkan pengaturan bahwa
FKUB dan Dewan Penasehat FKUB di Provinsi dan Kabupaten/Kota dibentuk
paling lambat satu tahun sejak Peraturan Bersama ini ditetapkan. FKUB atau
forum sejenis yang sudah dibentuk di Provinsi dan Kabupaten/Kota disesuaikan
paling lambat satu tahun sejak Peraturan Bersama ini ditetapkan.
Menyangkut ijin bangunan gedung untuk rumah ibadat yang dikeluarkan
oleh pemerintah daerah sebelum berlakunya Peraturan Bersama, dinyatakan sah
dan tetap berlaku. Renovasi bangunan gedung rumah ibadat yang telah
mempunyai IMB untuk rumah ibadat, diproses sesuai dengan ketentuan IMB
sepanjang tidak terjadi pemindahan lokasi. Dalam hal bangunan gedung rumah
ibadat yang telah digunakan secara permanen dan/atau merniliki nilai sejarah yang
belum memiliki IMB untuk rumah ibadat sebelum berlakunya Peraturan Bersama,
Bupati/Walikota membantu memfasilitasi penerbitan IMB untuk rumah ibadat
dimaksud.18
18
Peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintahan
daerah wajib disesuaikan dengan Peraturan Bersama itu paling lambat dalam
jangka waktu dua tahun. Pada saat berlakunya Peraturan Bersama, ketentuan yang
mengatur pendirian rumah ibadat dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas
Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan
Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku. PBM mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
3.2. Pendirian Rumah Ibadat dalam Putusan Pengadilan
Menyusul gambaran hasil penelitian tentang PBM sebagaimana telah
dikemukakan di atas, berikut di bawah ini secara berturut-turut dikemukakan
gambaran hasil penelitian tentang putusan pengadilan, yang terdiri dari Putusan
No.41/G/2008/PTUN-BDG19 dan Putusan No.127 PK/TUN/200920. Putusan 41
adalah Putusan dimana gambaran tentang bagaimana persamaan perlakuan di
depan hukum, khususnya perlakuan terhadap golongan minoritas dalam
mendirikan rumah ibadat di Negara Hukum Kesatuan Republik Indonesia
sedangkan uraian selanjutnya tentang putusan pengadilan adalah Putusan 127
berisi upaya Kasasi ke MA, dimana aspek perlakuan yang sama di hadapan
hukum juga dapat dilihat gambarannya secara langsung.
belakangan tidak serta-merta diinterpretasi membongkar bangunan yang belum berijin sebelumnya.
19 Untuk selanjutnya disingkat dengan Putusan 41.
20
3.2.1. Pihak-Pihak dalam Putusan 41
Pada Putusan 41, terlibat dua pihak yang bersengketa, yaitu antara Kepala
Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor21 sebagai Tergugat melawan Umat
Beragama di Rumah Ibadat A Quo22 sebagai Penggugat. Kedua belah pihak itu
bersengketa mengenai (obyek) berupa Surat Kepala Dinas Tata Kota dan
Pertamanan Kota Bogor Nomor 503/208-DTKP Perihal Pembekuan Ijin
tertanggal 14 Pebruari 200823. Ijin yang dibekukan adalah surat Ijin mendirikan
bangunan kepada Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo oleh Walikota yaitu
dengan diterbitkannya Surat Keputusan Walikota Bogor No.645.8-372 tahun 2006
13 Juli 2006 tentang Ijin Mendirikan Bangunan.
Pembekuan Ijin itu Obyek gugatan,24 Sebab sebagaimana dijelaskan;
“Keputusan Tata Usaha negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, bersifat Konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata”.
Pembekuan Ijin memenuhi syarat obyek gugatan yaitu sebagai suatu
penetapan tertulis yang diberikan dari Kepala Dinas kepada Umat Beragama di
21 Selanjutnya, dalam skripsi ini pihak tersebut namanya disingkat seperti mulai disingkat dalam
Bab 1 skripsi ini, yaitu Kepala Dinas, Lihat catatan kaki No.27 pada BAB I, Supra.
22 Selanjutnya Pihak Penggugat itu dalam skripsi ini disingkat dengan Umat Beragama di Rumah
Ibadat A Quo, menyesuaikan dengan hlm.,12, skripsi ini, Supra.
23 Selanjutnya disingkat dengan Pembekuan Ijin.
24
Rumah Ibadat A Quo; dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara25 yang memiliki kewenangan dan jabatannya, berisi tindakan hukum yang dalam hal ini
adalah tindakan membekukan IMB-RI. Disamping itu, obyek gugatan bersifat
konkret, individual, dan final, yaitu yang tertuang dalam bentuk surat,26 diberikan
tidak kepada umum, tetapi kepada subyek hukum tertentu, yaitu Umat Beragama
di Rumah Ibadat A Quo. Pembekuan Ijin itu telah definitif, telah menimbulkan
akibat hukum berupa hak dan kewajiban para pihak yang bersangkutan. Obyek
gugatan juga bersifat konkret, mengingat obyek yang diatur dalam Keputusan
Tata Usaha Negara27. Obyek juga bersifat individual mengingat KTUN itu
ditujukan kepada Penggugat. Obyek bersifat final, sebab KTUN itu telah berlaku
definitif yaitu Pembekuan Ijin mendirikan bangunan Rumah Ibadat A Quo,
menimbulkan akibat hukum.
3.2.2. Dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo
Menurut Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, dengan dikeluakannya
Pembekuan Ijin itu, pembangunan tempat ibadat yang dibutuhkan untuk
menjalankan ibadat menurut keyakinan Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo
menjadi terhenti sama sekali. Sehingga, menurut Umat Beragama di Rumah
Ibadat A Quo, kepentingan Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, sangat
dirugikan. Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo juga mendalilkan bahwa
mereka telah melakukan banyak persiapan untuk mengadakan pembangunan
Rumah Ibadat A Quo. Maksudnya, mereka telah mengadakan beberapa perjanjian
25 Selanjutnya disingkat Pejabat TUN.
26 No. 503/208-DTKP perihal Pembekuan Ijin tertanggal 14 Pebruari 2008.
kerjasama dengan pihak ketiga yang akan melakukan pembangunan, membeli
material/bahan-bahan bangunan yang dibutuhkan dalam pembangunan. Itulah
sebabnya, menurut Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo Pembekuan Ijin
merugikan mereka. Karena, Kepala Dinas mengeluarkan obyek sengketa secara
tiba-tiba tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, padahal Kepala Dinas seharusnya
konsisten mempertahankan dan melaksanakan Surat Keputusan Walikota Bogor
No. 645.8-372 tahun 2006, 13 Juli 2006 tentang Ijin Mendirikan Bangunan, bukan
malah membekukannya, demikian dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo.
Mengenai tenggang waktu pengajuan gugatan, Umat Beragama di Rumah
Ibadat A Quo berdalil bahwa berdasarkan UU TUN28 telah dinyatakan “Gugatan
dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan Badan atau Pejabat TUN”. Mereka telah menerima Pembekuan Ijin 14 Pebruari 2008, sehingga gugatan itu
menurut Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo masih berada dalam tenggang
waktu yang ditentukan.
Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo sempat mengajukan permohonan
kepada Pengadilan, yaitu mengingat adanya keadaan yang sangat mendesak, agar
dapat dilakukan pembangunan dan kebutuhan mendesak tempat ibadat serta untuk
mencegah mereka semakin dirugikan, maka berdasarkan Pasal 67 Ayat (2) UU
No. 5 tahun 1986 juncto UU No. 9 tahun 2004 yang menyatakan: “Para
Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan TUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berlangsung sampai ada Putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap”. Umat Beragama di
Rumah Ibadat A Quo memohon kepada Majelis Hakim PTUN Bandung untuk menunda pelaksanaan obyek gugatan.
Sementara itu, dalam pokok sengketa, Umat Beragama di Rumah Ibadat A
Quo berdalil bahwa Bangunan Rumah Ibadat A Quo telah memperoleh Surat
Keputusan Walikota Bogor No. 645.8-372 tahun 2006 13 Juli 2006 tentang Ijin
Mendirikan Bangunan. Namun, menurut unsur Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo, mereka telah menerima surat Kepala Dinas perihal Pembekuan Ijin dan telah menanggapi diterbitkannya surat Kepala Dinas tersebut, Umat Beragama di
Rumah Ibadat A Quo telah mengirim surat kepada Walikota, perihal keberatan
dan penolakan atas Pembekuan Ijin yang diterbitkan Kepala Dinas, Kepala Badan
Pengawasan Daerah Kota Bogor, Kepala Bagian Hukum Setdakot Bogor, Kepala
Kantor Sat. Pol P.P. Kota Bogor dan Forum PA dan Ormas Agama tertentu se
kota setempat.
Menurut Penggugat, dalam rangka memperoleh Surat Keputusan Walikota
tahun 2006 13 Juli 2006 tentang Ijin Mendirikan Bangunan, mereka telah
menempuh proses yang cukup lama dan bertahap serta telah memenuhi
persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam SKB29. Pada 10 Maret 2002,
penduduk di sekitar tanah milik Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, seluas
1.721 yang terletak di Taman Yasmin Sektor III Kavling 31 Jalan Ring Road,
Kelurahan Curug Mekar, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, telah
menandatangani Surat Pernyataan yang pada intinya sebanyak 170 orang tidak
keberatan jika di atas sebidang tanah tersebut dibangun sebuah Rumah Ibadat A
Quo. Penggugat juga mendalilkan bahwa 1 Maret 2003 telah berlangsung
musyawarah yang dihadiri 127 orang pemuda Curug Mekar dengan Panitia
29
Pembangunan Rumah Ibadat A Quo dan dari unsur Umat Beragama di Rumah
Ibadat A Quo. Hasil musyawarah tersebut dituliskan dalam bentuk berita acara
yang ditandatangani Ketua Forum Pemuda Curug Mekar dan Penasehat Forum
Pemuda Curug Mekar yang pada intinya menyatakan tidak keberatan di atas
sebidang tanah tersebut dibangun Rumah Ibadat A Quo. Pada 8 Januari 2006
sebanyak 42 warga masyarakat Curug Mekar menandatangani Surat Pernyataan
yang pada intinya menyatakan tidak keberatan di atas sebidang tanah tersebut
dibangun Rumah Ibadat A Quo. Pada 12 Januari 2006 juga telah berlangsung
sosialisasi rencana pembangunan gedung Rumah Ibadat A Quo yang dihadiri oleh
71 orang penduduk setempat atas nama masyarakat RW. I, II, III, IV dan VI
kelurahan Curug Mekar yang terdiri dari para ketua RW, Ketua RT, Pengurus
DKM dan Tokoh Masyarakat. Setelah mendengarkan penjelasan yang
disampaikan oleh Panitia Pembangunan gedung Rumah Ibadat A Quo, mereka
menyatakan telah memahami isi penjelasan tersebut dan menyatakan tidak
keberatan dengan rencana tersebut dan mereka siap menciptakan kerukunan hidup
beragama secara berdampingan dan menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinan
masing-masing, serta meminta dalam pelaksanaan pembangunan dan
operasionalnya agar menyerap tenaga kerja yang ada di wilayah kelurahan Curug
Mekar. Surat Pernyataan itu diberikan kepada tergugat. Surat pernyataan itu juga
diketahui oleh Ketua LPM Kelurahan Curug Mekar dan Lurah Curug Mekar. Pada
14 Januari 2006, setelah mendengarkan penjelasan yang disampaikan oleh Kepala
Kelurahan dan ketua LPM Kelurahan Curug Mekar tentang adanya rencana
pembangunan Rumah Ibadat A Quo di atas tanah tersebut sebanyak 25 orang
Tokoh Masyarakat kelurahan Curug Mekar telah menandatangani Surat
rencana tersebut dan mereka siap menciptakan kerukunan hidup beragama secara
berdampingan dan menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Surat pernyataan juga ditandatangani oleh ketua LPM dan Lurah Curug Mekar.
Pada 15 Januari 2006, juga telah berlangsung sosialisasi rencana pembangunan
Rumah Ibadat A Quo yang dihadiri oleh 40 orang warga masyarakat Perumahan
Taman Yasmin Sektor III RW.VIII Kelurahan Curug Mekar. Setelah
mendengarkan penjelasan yang disampaikan oleh Panitia Pembangunan Rumah
Ibadat A Quo, mereka menyatakan telah memahami isi penjelasan tersebut dan
menyatakan tidak keberatan dengan rencana tersebut dan mereka siap
menciptakan kerukunan hidup beragama secara berdampingan dan menjalankan
ibadat sesuai dengan keyakinan masing-masing. Surat Pernyataan itu diketahui
oleh Ketua RW. VIII, Ketua dan Lurah Curug Mekar. Pada 3 Maret 2006, Dinas
Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor juga telah menerbitkan Saran
Teknis Nomor 660.1/144/DLHK a.n. Umat Beragama dalam rumpun Agama yang
sama dengan Umat Rumah Ibadat A Quo Jabar, Jalan Pengadilan No.35 Bogor
sehubungan dengan rencana pembangunan Rumah Ibadat A Quo tersebut di atas.
Pada 14 Maret 2006, Kantor Pertanahan Kota Bogor juga telah menerbitkan
Pertimbangan Teknis Penatagunaan Tanah dalam Rangka Perubahan Penggunaan
Tanah No. 460/20/PTPGT-SP/2006 atas nama Perkumpulan Umat Beragama
yang sama dengan Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo Jabar sehubungan
dengan rencana pembangunan tersebut di atas. Pada 15 Maret 2006, Dinas Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Kota Bogor juga telah menerbitkan Penilaian Saran
Teknis Lalu Lintas No. 503/262-DLLAJ kepada Pihak atas nama Rumah Ibadat A
Quo sehubungan dengan rencana pembangunan tersebut di atas. Pada 12 April
Ijin Pembuatan Jalan Masuk No. 503/238/018-BINA kepada Pihak atas nama
Perkumpulan Umat Beragama yang serumpun dengan umat beragama di Rumah
Ibadat A Quo sehubungan dengan rencana pembangunan tersebut di atas. Pada 17
April 2006, Kepala Dinas Bina Marga juga telah menerbitkan Surat No.
610/319/018-BIMA perihal saran teknis sehubungan dengan rencana
pembangunan tersebut di atas. Pada 30 Mei 2006, Dinas Tata Kota dan
Pertamanan Kota Bogor juga telah menerbitkan Pengesahan Site Plan
Pembangunan tersebut di atas No. 645.8/705-DTKP kepada GKI Jabar Jalan
Pengadilan No. 35 Bogor sehubungan dengan rencana pembangunan Rumah
Ibadat A Quo.
Penggugat juga mendalilkan bahwa setelah memeriksa seluruh persyaratan
tersebut di atas, Walikota Bogor memutuskan untuk memberikan IMB yang
dimohonkan dengan menerbitkan Surat Keputusan Walikota Bogor No. 645.8-372
tahun 2006 13 Juli 2006. Surat keputusan tersebut atas nama Walikota,
ditandatangani oleh Kepala Dinas. Kemudian, Penggugat juga mendalilkan,
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan PBM dimana seperti telah dikemukaan
dalam uraian hasil penelitian yang pertama di atas.30 PBM tersebut, menurut dalil
Penggugat, dengan jelas ditegaskan bahwa “peraturan perundang-undangan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah Daerah Wajib disesuaikan dengan PBM paling lambat dalam jangka waktu dua tahun”.
Menurut Penggugat, ketentuan tersebut menegaskan bahwa PBM
tergolong sebagai lex specialis. Oleh karena itu, ketentuan31 tentang Bangunan
30
Pasal 29 PBM.
31
Gedung yang dirujuk Kepala Dinas dalam menerbitkan Surat Pembekuan IMB-RI
Penggugat juga berdalil bahwa karena dalam satu konsideran “mengingat”
PBM diatur rujukan kepada UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
maka penerapan PBM harus pula sesuai (comply) dengan norma-norma hukum
Hak Asasi Manusia pada tingkat Nasional maupun Internasional bahwa32
“Perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia
adalah tanggung jawab Negara, terutama Pemerintah”. Hak Asasi Manusia, yaitu hak beragama, menurut Penggugat, termasuk hak untuk mendirikan rumah ibadat,
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sebagaimana yang juga ditegaskan
dalam konsideran “menimbang” PBM. Pemerintah Indonesia, termasuk
Pemerintah Daerah Kota Bogor, terikat untuk melindungi, memajukan,
menegakkan, dan memenuhinya, oleh karena Pemerintah Indonesia telah
mengesahkan/meratifikasi International Convenant on Civil and Political
Rights33. Dengan diterbitkannya obyek gugatan tersebut, maka Penggugat merasa telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia. Untuk itu, Penggugat telah
mengadukan secara langsung perihal ini kepada Komnas HAM di Jakarta pada 10
Maret 2008, sebagai respons terhadap materi pengaduan tersebut, Komnas HAM
32
Pasal 8 UU No.39 tahun 1999.
33
telah mengirim surat kepada Menteri Agama Republik Indonesia No.
592/K/PMT/IV/08 perihal Penolakan Pembekuan Ijin. Pada intinya Komnas
HAM meminta klarifikasi dan perkembangan mengenai permasalahan itu kepada
Menteri Agama dalam waktu yang tidak terlalu lama. Surat Komnas HAM
tersebut juga ditembuskan antara lain kepada Mendagri, Walikota Bogor dan
Kepala Dinas.
Menurut Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, dalam PBM juga diatur
perihal penyelesaian perselisihan.
“Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat34, Selanjutnya menurut dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, dalam PBM disebutkan, jika musyawarah tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan oleh Bupati/Walikota dibantu Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota melalui musyawarah yang dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB Kabupaten/Kota35, Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud di atas tidak dicapai menurut dalil Penggugat, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan setempat36.
Menunjuk ketentuan di atas menurut dalil Umat Beragama di Rumah
Ibadat A Quo, jelas bahwa bila ada pihak ketiga yang keberatan dengan
diterbitkannya IMB-RI di atas, maka langkah pertama yang harus ditempuh
34 Dalam Pasal 21 Ayat (1) PBM. Lihat Uraiannya di hlm.,44, sub-judul 3.1.6. Bab III Skripsi ini,
Supra.
35
Ibid., Ayat (2).
36
adalah bermusyawarah, langkah kedua adalah musyawarah dengan difasilitasi
Walikota, dan langkah ketiga adalah mereka menempuh upaya hukum ke
Pengadilan. Tegasnya, bila musyawarah tidak berhasil, maka pihak ketiga yang
tidak setuju dengan diterbitkannya IMB-RI seharusnya disarankan oleh tergugat
untuk menempuh upaya hukum ke Pengadilan, agar Pengadilan memutuskannya,
tidak dengan cara-cara lain di luar proses hukum.
Didalilkan juga oleh Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo bahwa
menurut PBM surat kepada Walikota Bogor Nomor 82/MJ-GKI Bgr/III/2008,
perihal Tindak Lanjut Pertemuan dengan Walikota Bogor 28 Pebruari 2008,
Penggugat memohon agar Walikota Bogor dapat menyelenggarakan musyawarah
antara Pengurus Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo dan pihak ketiga yang
keberatan diterbitkannya IMB-RI tersebut di atas. Permohonan tersebut merujuk
pada hasil pertemuan sebelumnya, 28 Pebruari 2008 di Rumah Dinas Walikota
Bogor antara Walikota Bogor dan yang bersangkutan. Menurut Penggugat, dalam
PBM37 itu ada wewenang untuk menerbitkan IMB-RI, dan tidak diatur wewenang
mencabut dan/atau membekukan IMB-RI, apalagi Kepala Dinas yang
melakukannya yang nota bene bukan atas nama Walikota (dalam kasus
pembekuan IMB-RI tersebut di atas). Hal ini cukup jelas, bukan saja karena
bentuk hukum “Pembekuan Ijin” tidak dikenal dalam PBM tersebut, tetapi juga
satu-satunya proses hukum yang dapat ditempuh oleh pihak maupun untuk
membatalkan IMB-RI tersebut di atas hanyalah melalui pengadilan. Pembatalan,
pencabutan, pembekuan, dan/atau perbuatan hukum sejenis yang dilakukan di luar
proses peradilan dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum, demikian
dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo.
Oleh karena Pembekuan Ijin IMB-RI tersebut di atas dilakukan oleh
pejabat dan/atau instansi yang tidak berwenang, dalam hal ini adalah Kepala
Dinas, maka Surat Pembekuan Ijin tersebut batal demi hukum dan/atau dapat
dibatalkan. Penggugat merujuk hukum administrasi bahwa Surat Pembekuaan
IMB tidak memenuhi syarat formil struktur Surat Keputusan seorang Pejabat
TUN. Tidak seperti halnya Surat Keputusan Walikota Bogor No. 645.8-372 tahun
2006 tersebut di atas yang dilengkapi dengan konsideran Menimbang, Mengingat,
Memutuskan dan Menetapkan, Surat Pembekuan IMB-RI tersebut sama sekali
tidak dilengkapi dengan Konsideran apa pun, kata Penggugat.
Selanjutnya, dalam dalil yang diajukan Penggugat di Pengadilan,
Pembekuan Ijin melanggar AAUPB, yang dapat dijadikan sebagai suatu alas
Gugatan yang kuat dan sah ke Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam UU
TUN38. Mengutip buku, Penggugat berdalil, bahwa AAUPB yang telah dilanggar
oleh Kepala Dinas itu adalah39 asas kecermatan formal. Asas ini pada intinya
menegaskan bahwa dalam mempersiapkan penerbitan Surat Pembekuan IMB-RI
tersebut harus dilakukan dengan sikap jujur dari instansi yang mengeluarkan
Keputusan tersebut. Pada waktu mempersiapkan Surat Pembekuan IMB-RI itu,
instansi yang bersangkutan harus sudah memperoleh gambaran yang jelas
mengenai semua fakta-fakta yang relevan maupun semua kepentingan yang
tersangkut, utamanya kepentingan perlindungan, pemajuan, penegakan dan
pemenuhan hak asasi manusia. Asas lainya yang juga dilanggar adalah asas fair
play. Asas ini pada intinya menegaskan bahwa instansi yang mengeluarkan Surat
38 Pasal 53 Ayat (2) huruf (b) UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 tahun 1986
tentang PTUN.
39
Pembekuan IMB-RI itu harus bersikap tidak menghalang-halangi kesempatan
pihak yang menerima IMB-RI untuk melanjutkan pembangunan rumah ibadat
yang IMB-nya telah diterbitkan sebelumnya (13 Juli 2006). Disamping itu ada
pula, menurut Penggugat, asas selanjutnya yang juga dilanggar, yaitu asas
kepercayaan dan asas harapan-harapan yang telah ditimbulkan. Asas ini pada
intinya menegaskan bahwa apabila Badan atau Pejabat TUN telah menimbulkan
harapan-harapan dengan janji-janji, maka janji-janji semacam itu jangan diingkari
(baca:dibekukan)40. Dalam asas ini ditegaskan pula bahwa kalau melakukan
penolakan atas suatu permohonan (dalam hal ini adalah pembekuan IMB-RI)
tersebut, bila hal tersebut dilakukan hanya sekedar dengan menunjuk saja pada
peraturan kebijakan yang telah dikeluarkan41, maka hal itu tidak dapat dibenarkan
karena kurang kuat dasar hukumnya. Tak kalah penting, juga masih menurut dalil
Penggugat, terlanggarnya asas kecermatan materiil. Asas ini pada intinya
menghendaki agar kerugian yang ditimbulkan (sebagai akibat dari diterbitkannya
Surat Pembekuan Ijin) itu jangan sampai melampaui yang diperlukan untuk
melindungi suatu kepentingan yang harus dilakukan dengan cara mengeluarkan
keputusan yang bersangkutan. Jelas bahwa Surat Pembekuan IMB-RI yang
diterbitkan oleh Kepala Dinas, nyata-nyata telah menimbulkan pelanggaran hak
asasi manusia dan tergolong sebagai yang melampaui keperluan untuk melindungi
suatu kepentingan tertentu yang nota bene patut diduga sejauh ini tidak jelas
kepentingannya, demikian dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo.
40
Dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Janji yang tidak dapat ditarik kembali itu disebut dengan unconditional promise.
41
Berdasarkan dalil-dalil di atas, menurut Penggugat, terbukti dengan sah
dan meyakinkan bahwa obyek gugatan bukan saja bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku42. Demikian, menurut Penggugat,
alasan-alasan untuk mengajukan gugatan sebagaimana diatur dalam UU TUN43 telah
terpenuhi. Berdasarkan dalil-dalil itu, mereka memohon kepada Majelis Hakim
PTUN yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut untuk memutuskan44
menunda pelaksanaan Pembekuan Ijin. Sedangkan dalam Pokok Sengketa,
dimohon agar Majelis Hakim mengabulkan gugatan Umat Beragama di Rumah
Ibadat A Quo untuk seluruhnya; menyatakan batal atau tidak sah Pembekuan Ijin;
memerintahkan Kepala Dinas untuk mencabut Pembekuan Ijin dan menghukum
Kepala Dinas untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara tersebut.
3.2.3. Jawaban Kepala Dinas
Dalam Eksepsi, Kepala Dinas telah mengajukan sejumlah sanggahan
kepada dalil-dalil yang diajukan pihak Penggugat, sebagaimana telah Penulis
kemukakan di atas. Menurut Kepala Dinas, ada disqualificatoir exceptie,
mengingat gugatan ditandatangani dan diajukan oleh pihak yang tidak mempunyai
wewenang (legitima persona in standi judicio) untuk bertindak sebagai kuasa para
penggugat. Menurut Kepala Dinas, dalam surat gugatan Penggugat tertanggal 7
Mei 2008, pada halaman pertama paragraf terakhir dinyatakan bahwa: “Para
Penggugat dengan ini memberikan surat kuasa khusus tanggal 6 Mei 2008 kepada
empat orang.” Menurut Kepala Dinas, dengan adanya pernyataan “memberikan
42 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta PBM atau Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 tahun 2006/No. 8 tahun 2006.
43 Pasal 53 Ayat (2) huruf (a) dan (b) UU No. 9 tahun 2004.
Surat Kuasa Khusus tanggal 6 Mei 2008” kepada empat orang yang
menandatangani surat gugatan tertanggal 7 Mei 2008 tersebut, maka jelaslah
bahwa yang diberikan oleh Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo kepada
empat orang tersebut adalah benda (zaak) berupa kertas45, yaitu Surat Kuasa
tertanggal 6 Mei 2008, bukan kuasa/kewenangan (lastgeving) untuk bertindak.
Sehingga dengan demikian, menurut Kepala Dinas, antara Para Penggugat dan
empat orang tersebut tidaklah terjadi perbuatan hukum pemberian kuasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1792 KUHPerdata diatur bahwa:
“Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan” .
Menurut Kepala Dinas, dalam rumusan ketentuan undang-undang46 di atas
itu jelas diatur bahwa Perjanjian Kuasa itu perbuatan pemberian Kuasa, bukan
pemberian benda berupa Surat Kuasa. Dengan kata lain, secara hukum pemberian
benda berupa kertas Surat Kuasa tidaklah berarti atau identik dengan pemberian
kuasa, melainkan hanya semata-mata pemberian Surat, bukan pemberian hak atau
wewenang.
Menurut Kepala Dinas, bahwa di dalam surat gugatan tertanggal 7 Mei
2008 pada halaman pertama paragraf terakhir dinyatakan “Para Penggugat
dengan ini memberikan Surat Kuasa Khusus tanggal 6 Mei 2008...”, tidak ada
45
Mungkin, apakah Kepala Dinas menganggap bahwa Kertas yang dimaksudkan itu hanya toilet paper? Menerima kuasa di “Kepala” Kepala Dinas dan menerima kuasa di “kepala” para penerima kuasa tidak ada persamaan perlakuan? Sikap para Hakim mengenai hal ini dapat dilihat pada hlm., 76-77, infra.
dalam bagian selanjutnya penjelasan kedudukan hukum empat orang yang
menandatangani Surat Gugatan tersebut, sebagai kuasa dari wakil Umat Beragama
di Rumah Ibadat A Quo dalam menandatangani dan mengajukan surat gugatan
tersebut. Dengan demikian, menurut Kepala Dinas, Surat Gugatan tersebut
semata-mata penuturan bahwa orang dengan nama tertentu hanyalah memberikan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 6 Mei 2008 kepada empat orang lainnya yang
menandatangani Surat Gugatan tersebut, bukanlah menyatakan diwakili oleh
empat orang tersebut. Sekalipun Surat Kuasa Khusus tertanggal 6 Mei 2008
tersebut ada dan dilampirkan, Surat Kuasa tersebut tidaklah digunakan sebagai
dasar kewenangan bagi empat orang tersebut untuk bertindak atas nama dan
mewakili orang-orang, wakil dari Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo dalam
mengajukan dan menandatangani surat gugatan tersebut. Berdasarkan hal tersebut,
maka yang seharusnya menandatangani dan mengajukan surat gugatan tertanggal
7 Mei 2008 tersebut adalah wakil dari Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo
bukan empat orang di atas, karena dalam perkara itu yang terjadi adalah
pemberian benda47 in casu Surat Kuasa Khusus tertanggal 6 Mei 2008. Menurut
Kepala Dinas, Surat Kuasa tersebut telah tidak digunakan sebagai dasar
kewenangan bagi empat orang untuk menandatangani dan mengajukan Surat
Gugatan tertanggal 7 Mei 2008, yang seharusnya ditandatangani dan diajukan
oleh Wakil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo maka Surat Gugatan
tertanggal 7 Mei 2008 tersebut telah ditandatangani dan diajukan oleh
orang-orang yang tidak mempunyai kewenangan untuk itu, oleh karenanya, menurut
47
hukum gugatan tersebut haruslah dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).
Menyangkut exceptie obscur libell, Kepala Dinas mengatakan bahwa
pihak yang mengajukan gugatan adalah tidak jelas. Menurut Kepala Dinas, dalam
surat gugatan tertanggal 7 Mei 2008 dinyatakan bahwa sejumlah Wakil Umat
Beragama di Rumah Ibadat A Quo adalah disebut Para Penggugat. Dengan
menyebutkan diri mereka sebagai „Para‟ Penggugat, bukan Penggugat, maka
pihak yang menggugat dalam perkara tersebut lebih dari satu subyek hukum yang
masing-masing berdiri sendiri. Dengan demikian oleh karena hal tersebut, surat
gugatan menjadi tidak jelas atau malah kontradiktif karena disebutkan bahwa Para
Penggugat mengajukan gugatan betindak dalam kedudukan dan jabatannya
masing-masing.
Hal ini berarti bahwa ada tiga orang mengajukan gugatan bertindak dalam
kapasitasnya selaku organ dari satu subyek hukum, yaitu Umat Beragama di
Rumah Ibadat A Quo. Akibatnya, gugatan tersebut sangat tidak jelas siapa
Penggugatnya, apakah tiga orang sebagai tiga subyek hukum yang masing-masing
berdiri sendiri di antara mereka yang bertindak secara bersamaan sehingga mereka
menyebutkan diri mereka sebagai Para Penggugat, ataukah Umat Beragama di
Rumah Ibadat A Quo sebagai satu subyek hukum yang diwakili oleh tiga orang
tersebut sebagai organ dari Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo. Dengan
tidak jelasnya siapa Penggugat dalam gugatan perkara tersebut, maka, menurut
Kepala Dinas, dalam perkara tersebut menjadi tidak jelas pula kepentingan pihak
mana yang dirugikan oleh Tergugat: Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo
ataukah Para Penggugat? Apabila tiga wakil yang mengajukan gugatan mewakili
mereka menyebutkan diri mereka sebagai Para Penggugat? Oleh karena gugatan
tersebut diajukan oleh pihak yang subyek hukumnya tidak jelas (obscuur libel),
maka, menurut Kepala Dinas, menurut hukum gugatan tersebut haruslah
dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).
Sedangkan jawaban mengenai tidak ada kualifikasi perbuatan melawan
hukum yang dilakukan tergugat (onrechtmatige overheids daad), Kepala Dinas
menegaskan bahwa dalam surat gugatan tidak disebutkan kualifikasi tentang
perbuatan Kepala Dinas dalam menerbitkan objek gugatan.48 Obyek gugatan di
PTUN adalah Keputusan TUN yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan atau bertentangan dengan AAUPB, yang disebut
dengan Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa (onrechtmatige overheids
daad). Suatu Keputusan TUN yang dinyatakan batal atau tidak sah adalah sebagai
akibat hukum dari Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa (onrechtmatige
overheids daad) yang dilakukan Pejabat TUN yang mengeluarkan suatu keputusan. Sementara, menurut Kepala Dinas, dalam surat gugatan tertanggal 7
Mei 2008 itu baik dalam posita maupun dalam petitum tidak tercantum kualifikasi
yang menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum
Penguasa (onrechtmatige overheids daad) sebagai dasar untuk menuntut obyek
gugatan dinyatakan batal atau tidak sah, oleh karenanya menurut hukum gugatan
tersebut haruslah dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).
Berdasarkan Eksepsi: disqualificatoir exceptie; exceptie obscuur libel; dan
tidak ada kualifikasi perbuatan melawan hukum yang dilakukan tergugat, maka
48
menurut Kepala Dinas, adalah beralasan menurut hukum gugatan tersebut
haruslah dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).
Menanggapi dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo dalam
Penundaan sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, Kepala Dinas
menegaskan bahwa permohonan penundaan tersebut haruslah ditolak oleh karena
gugatan ditandatangani dan diajukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai
kewenangan untuk bertindak. Tidak terdapat keadaan yang sangat mendesak
untuk dikabulkannya permohonan penundaan pelaksanaan Surat Tergugat Nomor
503/208-DTKP tertanggal 14 Pebruari 2008 perihal Pembekuan Ijin49. Apabila
dikabulkan, menurut Kepala Dinas, maka dapat menimbulkan keresahan di
masyarakat sebagaimana disampaikan oleh warga RT 06, RT 08/RW 08 Curug
Mekar, Kecamatan Bogor Barat (Lokasi Pembangunan Rumah Ibadat A Quo) dan
Pihak Ketiga.
Sedangkan menjawab dalil lainnya dalam pokok perkara, Kepala Dinas
mengatakan bahwa seluruh dalil yang telah Tergugat kemukakan Dalam Eksepsi
mohon dianggap termuat dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dengan bagian dalam Pokok Perkara. Kepala Dinas juga mengatakan bahwa ia
menolak seluruh dalil-dalil yang dikemukakan Para Penggugat dalam Gugatan
kecuali yang diakui secara tegas oleh Tergugat. Surat Tergugat No.
503/208-DTKP tertanggal 14 Pebruari 2008 perihal Pembekuan Ijin telah diterbitkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku50, yang berbunyi: “Ijin yang
telah diterbitkan dapat dibekukan apabila ternyata terdapat pengaduan pihak ketiga, atau pelanggaran, atau kesalahan teknis dalam mendirikan bangunan”.
Jawaban lain dari Kepala Dinas adalah, sebelum menerbitkan objek
gugatan, Tergugat telah beberapa kali menerima pengaduan dari warga RT.06,
RT.08 RW.08 Curug Mekar Kecamatan Bogor Barat (Lokasi Pembangunan
Rumah Ibadat A Quo), dan Forum PA serta Ormas Agama tertentu se-Kota Bogor
yang menyampaikan bahwa pembangunan Rumah Ibadat A Quo yang terletak di
Jl.K.H. Abdullah bin Nuh No. 31 Bogor telah menimbulkan keresahan
masyarakat. Menurut Kepala Dinas secara resmi warga RT.06, RT.08 RW.08
Curug Mekar Kecamatan Bogor Barat (Lokasi Pembangunan Rumah Ibadat A
Quo), dan Forum PA serta Ormas Agama tertentu se-Kota Bogor tersebut
menyampaikan pengaduannya melalui Surat tertanggal 1 Oktober 2006.
Berdasarkan ketentuan 51 dengan adanya pengaduan dari masyarakat, dalam hal
ini warga RT. 06 RT.08 RW.08 Curug Mekar Kecamatan Bogor Barat (Lokasi
Pembangunan Rumah Ibadat A Quo) dan Forum PA serta Ormas Agama tertentu
se-Kota Bogor, Tergugat menerbitkan objek gugatan untuk membekukan IMB-RI
A Quo. Dengan demikian, objek gugatan tersebut adalah sah karena telah diterbitkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Kepala Dinas menolak dalil Para Penggugat yang menyatakan bahwa
PBM hanyalah bersifat pedoman bagi pembangunan rumah ibadat. Namun dalam
pelaksanaannya, tetaplah bagi Tergugat yang menjadi dasar hukum adalah Perda52
tersebut untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap semua bangunan yang
demikian, objek gugatan tersebut adalah sah karena telah diterbitkan sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku53. Berdasarkan Perda tersebut, maka
tindakan untuk „membekukan‟ suatu Ijin Mendirikan Bangunan masih tetap valid
dan berlaku untuk kepentingan masyarakat di wilayah Kota Bogor. Oleh
karenanya, menurut Kepala Dinas dalil Para Penggugat yang menyatakan bahwa
Walikota tidak lagi berwenang untuk membekukan suatu Ijin Mendirikan
Bangunan adalah dalil yang keliru dan harus ditolak. Berdasarkan hal-hal tersebut
di atas Kepala Dinas mohon kepada Majelis Hakim yang mengadili perkara
tersebut agar kiranya berkenan menjatuhkan putusan, dalam eksepsi untuk
mengabulkan Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya; menyatakan Gugatan Para
Penggugat tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard). Sedangkan dalam
penundaan, Kepala Dinas menolak permohonan penundaan pelaksanaan objek
sengketa Surat Tergugat No.503/208 – DTKP tertanggal 14 Pebruari 2008 perihal
Pembekuan Ijin. Dalam pokok perkara, primair, Kepala Dinas memohon kepada
Majelis Hakim untuk menolak Gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
menghukum Para Penggugat untuk membayar biaya perkara. Sedangkan di dalam
subsidair, Kepala Dinas memohon kepada Majelis Hakim untuk Putusan yang
seadil-adilnya (ex Aequo et Bono).
3.2.4. Replik-Duplik dan Pembuktian Para Pihak
Atas jawaban Kepala Dinas tersebut, Umat Beragama di Rumah Ibadat A
Quo mengajukan Replik pada tanggal 3 Juli 2008. Dan atas Replik, Kepala Dinas
mengajukan Duplik, 10 Juli 2008 yang selengkapnya termuat dalam Berita Acara
Persidangan. Dalam pembuktian, Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo
53
menguatkan dalil gugatan dengan bukti-bukti tertulis54 berupa foto copy yang
telah ditempeli materai cukup. Tiga orang saksi yang memberikan kesaksian
mereka pada tanggal 17 Juli 2008 dan tanggal 24 Juli 2008, dibawah sumpah
antara lain menerangkan bahwa mereka adalah anggota Umat Beragama di
Rumah Ibadat A Quo yang diberi tugas untuk mencari solusi karena penuhnya
Rumah Ibadat A Quo sehingga perlu didirikan Rumah Ibadat A Quo untuk
menampung sekitar 200 KK umat yang ada di Rumah Ibadat A Quo sehingga
perlu didirikan Rumah Ibadat A Quo. Inisiatif datangnya dari kedua belah pihak,
baik dari umat maupun pengurus Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo ada
kesepakatan, karena adanya kebutuhan, dimana apabila umat sedang melakukan
ibadat di Rumah Ibadat A Quo, Rumah Ibadat A Quo sangat padat sehingga
meluber, mengganggu lalu lintas. Disaksikan juga, bahwa saksi sendiri mencari
lokasi untuk mendirikan Rumah Ibadat A Quo, kemudian ada lokasi yang dapat
digunakan untuk tempat ibadat. Kapling di lokasi milik developer dibeli pada
tahun 2001 oleh pihak Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo. Setelah dibeli
maka ada sosialisasi pembangunan Rumah Ibadat A Quo dengan pemerintah dan
masyarakat. Sosialisasi dilakukan sejak tahun 2002 sampai dengan juli 2006 yaitu
keluarnya IMB. IMB keluar setelah 5 bulan. Pembangunan Rumah Ibadat A Quo
dilakukan setelah keluar Ijin, baru dibangun yaitu dengan melakukan peletakan
batu pertama pendirian Rumah Ibadat A Quo yang dihadiri oleh Pemerintah Kota
Bogor termasuk Walikota dan tokoh masyarakat. Tanggal 7 Januari 2007
dilakukan peletakan batu pertama, dan pemancangan tiang yang diborongkan
kepada Pemborong. Menurut saksi, ada tiga kali penghentian sementara
54
pembangunan. Pemborong hanya mengerjakan pondasi (sistem jet file). Yang memborong pengerjaan pembangunan dilakukan oleh pihak Umat Beragama di
Rumah Ibadat A Quo sendiri dengan tidak melakukan tender, walaupun
sebelumya diadakan tender, karena ada anggota umat yang mampu melakukan
pekerjaan pembangunan. Setelah ada pembekuan IMB, maka pengerjaan
pembangunan Rumah Ibadat A Quo berhenti. Yang menerima surat pembekuan
IMB adalah Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo. Ada pertemuan sehari
sebelum peletakan batu pertama atas undangan pihak Umat Beragama di Rumah
Ibadat A Quo. Yang hadir dalam pertemuan adalah unsur-unsur pemerintah
setempat, Kepala Keamanan Desa, ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
(LPM), tokoh masyarakat di lingkungan lain dari lingkungan di luar lingkungan di
mana Rumah Ibadat A Quo didirikan. Tidak ada penolakan dari yang hadir dalam
pertemuan. Dengan adanya pembangunan Rumah Ibadat A Quo situasi
masyarakat biasa-biasa saja. Ada pemberitaan di media setempat selama tiga hari
berturut-turut tentang pendirian Rumah Ibadat A Quo yang tidak punya Ijin. Berita
tersebut tidak ditanggapi oleh pihak Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo
karena tidak ada konfirmasi. Tidak ada surat keberatan dari masyarakat mengenai
pembangunan Rumah Ibadat A Quo. Pembangunan Rumah Ibadat A Quo tidak
mengganggu lalu lintas dan menimbulkan kebisingan. Dengan adanya surat
pembekuan IMB menimbulkan kerugian materiil dan immaterial. Target awal
penyelesaian pembangunan Rumah Ibadat A Quo adalah akhir tahun 2007,
kemudian rencana selanjutnya adalah september 2009. Sudah 15 % penyelesaian
pembangunan Rumah Ibadat A Quo . Sosialisasi resminya telah dilakukan 3 kali,
yang hadir pada bulan Maret 2013 sebanyak 170 orang. Ada juga Pemuda Curug
2006. Sebelum keluarnya IMB ada pertemuan di kantor Kesbang yang dihadiri
oleh pemerintah yang menyepakati keluarnya IMB. Ada 70 orang yang hadir
dalam sosialisasi kedua dengan 1 orang yang menyatakan keberatan. Tidak ada
hambatan selama proses pembuatan IMB. Setelah keluar IMB tidak ada
penolakan atau demonstrasi. Disaksikan bahwa saksi tidak tahu dalam Perda
Pemkot punya wewenang untuk membekukan IMB. Di lokasi pembangunan
dipasang papan plang IMB. Pada saat sosialisasi ada pernyataan tidak keberatan
dari warga. Lokasi pembangunan Rumah Ibadat A Quo di Perumahan Taman
Yasmin di RW.08 Kelurahan Curug Mekar. Lokasi tanah bukan diperuntukkan
untuk perumahan tetapi masih wilayah perumahan. Lokasi tanah pembangunan
Rumah Ibadat A Quo kemudian diterangkan batas-batasnya oleh saksi. Tidak ada
keberatan dari Pihak yang berbatasan. Sesuai satu bukti di atas, warga tidak
keberatan pembangunan Rumah Ibadat A Quo. Keterangan saksi selanjutnya,
yang isi selengkapnya sebagaimana tercantum dalam Berita Acara Persidangan
tanggal 17 Juli 2008 dan guna menyingkat uraian Putusan tersebut, dianggap telah
termasuk dalam Putusan.
Sementara itu, disaksikan pula keterangan Ketua LPM Kelurahan setempat
bahwa saat sosialisasi hadir 70 orang warga. Dari 70 orang tersebut 69 orang tidak
keberatan dan 1 orang keberatan terhadap pendirian Rumah Ibadat A Quo yaitu
Ketua DKM. Ketua DKM menyatakan keberatan atas pendirian Rumah Ibadat A
Quo, akan tetapi apabila pendiriannya telah sesuai dengan prosedur maka tidak
keberatan. Lokasi pembangunan Rumah Ibadat A Quo juga disaksikan dan
katanya di tempat sosialisasi di aula Kelurahan Curug Mekar, diundang Lurah
Curug Mekar. Disaksikan pertemuan di Kesbang Kota yang bersangkutan
komitmen dari pihak Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo bahwa setelah berdiri maka Rumah Ibadat yang sama harus ditutup. Ada dari Forum PA yang
mendemo dimana pesertanya di luar masyarakat Curug Mekar dan sebagian warga
Curug Mekar. Dua bulan jarak waktu antara demo, keluar pembekuan IMB. Pada
tanggal 19 Agustus 2006 dilakukan peletakan batu pertama. Tanggal 18 Agustus
2006, di Kecamatan ada acara sosialisasi pembangunan Rumah Ibadat A Quo
yang dihadiri Ketua dan Sekretaris Umat Beragama yang serumpun dengan Umat
Beragama di Rumah Ibadat A Quo Kota setempat, PA dan warga masyarakat
Curug Mekar. Tidak ada yang keberatan dalam sosialisasi tersebut dan ada 13
poin kesepakatan. Diantaranya, kesepakatan untuk membina kerukunan umat
beragama di lingkungan masyarakat Curug Mekar, tidak mempengaruhi
keyakinan orang lain, apabila Rumah Ibadat A Quo sudah berdiri maka Rumah
Ibadat yang sama atau tempat-tempat yang dijadikan tempat ibadat harus ditutup.
Selain Rumah Ibadat A Quo yang didemo adalah Pihak di batas-batas Rumah
Ibadat A Quo, tetapi yang dibekukan ijinnya hanya Rumah Ibadat A Quo. Saksi
heran dengan tidak adanya pembicaraan sebelum keluarnya pembekuan IMB.
Yang diundang saat sosialisasi adalah para ketua lingkungan dan tokoh
masyarakat Curug Mekar. Ada 3 sampai 4 kali demo. Yang menegur untuk
menghentikan pekerjaan pembangunan adalah pihak kelurahan. Hadir dalam
pertemuan Kesbang, Pemerintah Kota yang diwakili Asisten Daerah I Kanwil
Depag. Benar sesuai bukti adalah tanda tangan peserta sosialisasi. Setelah
peletakan batu pertama pembangunan Rumah Ibadat A Quo baru 6 bulan
kemudian ada demo. Yang melakukan demo dari kader-kader partai politik
tertentu. Sesuai bukti, ada warga yang menolak pendirian Rumah Ibadat A Quo.
Kesbang yang dihadiri Lurah, Kesbang. Warga tanda tangan untuk mengetahui
adanya sosialisasi bukan menyetujui pendirian Rumah Ibadat A Quo. LPM tidak,
bereaksi dengan adanya surat Pembekuan Ijin. Saksi ikut tanda tangan saat
sosialisasi. Ada kader Parol tertentu yang demo. Keberatan warga tidak diajukan
kepada LPM. Keberatan warga disampaikan kepada Lurah. Saksi belum pernah
menerima tembusan surat keberatan warga. Saksi tinggal di lingkungan setempat
sejak tahun 1991. Jarak antara rumah Saksi dengan Rumah Ibadat A Quo adalah
800 meter, berbatasan langsung dengan Rumah Ibadat A Quo di Jalan yang
diberikan pemerintah. Jalan tersebut adalah jalan raya propinsi. Saksi melarang
kepada warga untuk menjadi koordinator pembangunan Rumah Ibadat A Quo
tetapi untuk menjadi pekerja (kuli) dipersilahkan, warga yang bekerja lingkungan
Kampung Cijahe. Ada Ketua Keamanan, dulunya Ketua lingkungan. Barangkali
ada keterkaitan dengan pemilihan Walikota Bogor. Warga yang demo adalah
kader dari partai politik. Keterangan Saksi selanjutnya, yang isi selengkapnya
sebagaimana tercantum dalam berita Acara Persidangan tanggal 24 Juli 2008 dan
guna menyingkat uraian putusan tersebut, dianggap telah termasuk dalam putusan.
Disaksikan juga adanya sosialisasi pembangunan Rumah Ibadat di
lingkungan, yang mengundang para ketua lingkungan. Khusus RT tersangkut
diundang seluruh warga untuk mengikuti sosialisasi. Saksi tahu ada peletakan
batu pertama pendirian Rumah Ibadat A Quo tidak menyaksikan langsung. Saksi
tahu adanya surat pembekuan Ijin. Bukti memerlihatkan tanda tangan Saksi. Saat
sosialisasi tanggal 16 Januari 2006 ada tanda tangan warga yang menyatakan
tidak keberatan pembangunan Rumah Ibadat A Quo. Maksud tanda tangan Saksi
dalam surat keberatan adalah untuk membenarkan tanda tangan dan foto copy