PENERIMAAN DIRI PADA PELAKU PERKAWINAN KATOLIK YANG BERPISAH
Angela Sunya Sankya ABSTRAK
Perkawinan Katolik dilakukan sekali seumur hidup dan tidak dapat terceraikan. Apabila pelaku perkawinan Katolik memutuskan untuk berpisah, maka konsekuensi yang didapatkan adalah tidak diperkenankan menikah lagi dalam lingkup gereja Katolik. Selain itu, harus menghadapi konsekuensi seumur hidup tanpa pasangan. Penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan tahap respon psikologis dalam proses penerimaan diri pada pelaku perkawinan Katolik yang berpisah. Metode penelitian yang digunakan adalah naratif. Pengumpulan data dilakukan lewat wawancara mendalam dengan tiga orang informan. Pemilihan informan dilakukan dengan memilih informan bertujuan. Informan merupakan individu yang pernah melakukan perkawinan secara hukum Gereja Katolik namun berpisah dengan pasangan dengan tetap adanya ikatan perkawinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri adalah penyangkalan, marah, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Selain itu, belum semua informan dapat mencapai tahap proses psikologis penerimaan diri.
SELF-ACCEPTANCE ON DIVORCED PEOPLE OF CATHOLIC MARRIAGE
Angela Sunya Sankya ABSTRACT
Catholic marriage conducted once in a lifetime and can’t be divorce. If people who have a catholic marriage decided to divorce, then the consequence that they got is that they are probibited from having another marriage within catholic curch. Also, they have to deal with a lifetime consequence of being single for their entire life. This research is trying to describe psychological response stages within self-acceptance proces on people who have a divorced catholic marriage. The research method used is narrative. Data gathering conducted throught deep interview with three informants with purpose. Informants are people who have conduct marriage according to catholic church law but divorced from their couple while still having a marriage bond. The result of the research shows that psychological response stages within self acceptance process are denial, anger, bargaining, depression, and acceptance. Also, not all of the informants could reach the psychological response stage of self-acceptance.
PENERIMAAN DIRI PADA PELAKU PERKAWINAN KATOLIK YANG BERPISAH
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Angela Sunya Sankya NIM : 119114107
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
MOTTO
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan hasil usaha dan karyaku ini untuk :
Tuhan Yesus Kristus, sumber pengharapan dan kekuatanku Ayah yang dengan kehangatannya tulus mendidik dan menjagaku
Ibu yang mengajarkan arti ketulusan rasa Kakak yang selalu ada dalam apapun keluh kesahku
Simbah putri yang membantu merawatku Keluarga yang tidak bisa saya sebutkan satu demi satu
Aa’yoss yang menjadi sahabat, kakak serta my secret. Sahabat OMK Rayon KP dan sahabat di kampus yang selalu menaruh kasih setiap
PENERIMAAN DIRI PADA PELAKU PERKAWINAN KATOLIK YANG BERPISAH
Angela Sunya Sankya ABSTRAK
Perkawinan Katolik dilakukan sekali seumur hidup dan tidak dapat terceraikan. Apabila pelaku perkawinan Katolik memutuskan untuk berpisah, maka konsekuensi yang didapatkan adalah tidak diperkenankan menikah lagi dalam lingkup gereja Katolik. Selain itu, harus menghadapi konsekuensi seumur hidup tanpa pasangan. Penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan tahap respon psikologis dalam proses penerimaan diri pada pelaku perkawinan Katolik yang berpisah. Metode penelitian yang digunakan adalah naratif. Pengumpulan data dilakukan lewat wawancara mendalam dengan tiga orang informan. Pemilihan informan dilakukan dengan memilih informan bertujuan. Informan merupakan individu yang pernah melakukan perkawinan secara hukum Gereja Katolik namun berpisah dengan pasangan dengan tetap adanya ikatan perkawinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri adalah penyangkalan, marah, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Selain itu, belum semua informan dapat mencapai tahap proses psikologis penerimaan diri.
SELF-ACCEPTANCE ON DIVORCED PEOPLE OF CATHOLIC MARRIAGE
Angela Sunya Sankya ABSTRACT
Catholic marriage conducted once in a lifetime and can’t be divorce. If people who have a catholic marriage decided to divorce, then the consequence that they got is that they are probibited from having another marriage within catholic curch. Also, they have to deal with a lifetime consequence of being single for their entire life. This research is trying to describe psychological response stages within self-acceptance proces on people who have a divorced catholic marriage. The research method used is narrative. Data gathering conducted throught deep interview with three informants with purpose. Informants are people who have conduct marriage according to catholic church law but divorced from their couple while still having a marriage bond. The result of the research shows that psychological response stages within self acceptance process are denial, anger, bargaining, depression, and acceptance. Also, not all of the informants could reach the psychological response stage of self-acceptance.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
berkat, rahmat serta peyertaanNya yang telah dilimpahkan sehingga penulisan
skripsi yang disusun sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Universitas Sanata Dharma ini dapat terselesaikan dengan baik.
Dalam penulisan skripsi ini tidaklah sedikit sumbang saran dan bimbingan
yang penulis dapatkan dari berbagai pihak, baik sumbangan moral maupun
material. Hal ini penulis sadari bahwa tanpa adanya bantuan tersebut, penulisan
skripsi ini tidak dapat berjalan dengan lancar.
Melalui halaman ini, perkenankan penulis untuk menyampaikan ungkapan
rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah berkenan memberikan bantuan
berupa bimbingan serta pendampingan yang sangat berharga sehingga membantu
terselesaikannya skripsi ini. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogayakarta.
2. Ibu Debri Pristinella, M. Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi sekaligus
Dosen Pembimbing Akademik, yang dengan kesabaran serta perhatiannya
telah meluangkan banyak waktu untuk memberikan bimbingan, masukan,
kritik serta saran yang membangun, sehingga penulisan skripsi dapat
terselesaikan dengan baik.
3. Ibu Dr. Tjito Susana, M. Si serta Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S., M.A. selaku
dosen penguji yang memberikan masukan, kritik serta saran yang bersifat
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang telah membimbing penulis
selama studi di Fakultas Psikologi.
5. Seluruh staff Sekretariat serta staff Laboratorium Fakultas Psikologi , yang
selalu mendukung dengan pelayanan terbaiknya.
6. Kedua orangtua tercintaku Bapak Macarius Edy Suyanta dan Ibu Primitifa
Ratna Niar Kamdani, terimakasih tak terhingga atas segala dukungan,
cinta, kasih serta doa yang selalu diberikan. Kakak tercintaku Adyapaka
Apatya yang selalu menjadi saudara dalam suka dukaku serta
membimbingku dengan cara uniknya. Simbah putri Fransiska Sarbinah
yang membantu mendidikku hingga sampai saat ini. Om Kardi, bulik
Asih, dek Diaz, dek Agnes, Alexa kecil, bulik Timin, Om Sumar, Dek
Ricky terima kasih. Seluruh saudara yang tidak dapat saya sebutkan satu
demi satu, terima kasih atas dukungannya.
7. Rm FX. Alip, Rm. Bilie serta Diakon Danarto, Diakon Andhika dan Frater
Yayan, terima kasih atas semangat dan dukungan ilmu yang diberikan.
8. Aa’Yossi, teima kasih atas support, dukungan dan kasihnya selama 3
tahun terakhir dan semoga selalu. Sahabatku terkasih Dhika, Nana, Vhirlis,
Pipit, Lindut, Dika terima kasih selalu membantu dalam suka dan dukaku.
Teman– teman satu bimbingan, teman-teman GKC, serta teman kampus
yang telah bersama melewati hari selama perkuliahan. Mbak Astrid yang
memberi semangat serta mensuport dalam mengerjakan skripsi. Terkhusus
bagi saudara, teman, sahabatku OMK Rayon Kulon Progo : Mbak Rima,
Mas Beny, Erni, Nita, Culis, Bang Yoyok, Brigita Anggit, Trisna, Mas
Eko, Mbak Santi, Atik, Dony Baskara, Dita, Genggo, dan semua yang
tidak dapat saya sebutkan satu demi satu, kalian keluarga yang luar biasa.
9. Semua pihak yang teah membantu segala proses pengerjaan skripsi ini,
terkhusus bagi informan yang dengan kerelaan serta ketulusan hati
membantu. Semoga senantiasa diberkati Tuhan Yesus Kristus.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini terdapat banyak kekurangan
serta kesalahan. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati penulis
memohon sumbang kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir
kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Yogyakarta, 25 Agustus 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI (3 DOSEN) ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 9
B. Masalah Penelitian ... 9
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Tujuan Penelitian ... 9
E. Manfaat Penelitian ... 10
BAB II LANDASAN TEORI ... 11
2. Faktor- faktor yang memengaruhi Penerimaan Diri ... 12
3. Ciri- ciri Individu yang Menerima Diri ... 15
4. Aspek Penerimaan Diri ... 17
5. Tahap Penerimaan Diri ... 19
6. Manfaat Penerimaan Diri ... 25
B. Perkawinan Katolik ... 26
1. Definisi Perkawinan Katolik dalam Kitab Hukum Kanonik .. 27
2. Perkawinan Katolik yang Mampu Secara Hukum ... 28
3. Perpisahan Pasangan ... 30
C. Kerangka Berfikir... 33
D. Pertanyaan Penelitian ... 36
E. Skema Tahap Respon Proses Penerimaan Diri pada Pelaku Perkawinan Katolik yang Berpisah ... 38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 39
A. Jenis Penelitian ... 39
B. Fokus Penelitian ... 40
C. Informan Penelitian ... 40
D. Metode Pengumpulan Data ... 41
E. Metode Analisis Data ... 42
F. Verifikasi Penelitian ... 43
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44
A. Pelaksanaan Penelitian ... 44
1. Deskripsi ... 44
2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan ... 46
3. Analisis Hasil Wawancara Informan I ... 48
a. Sebelum Berpisah (beginning) ... 48
b. Ketika Berpisah (middle) ... 50
c. Setelah Berpisah (end) ... 52
b) Respon Psikologis Proses Penerimaan Diri ... 56
4. Analisis Hasil Wawancara Informan II ... 60
a. Sebelum Berpisah (beginning) ... 60
b. Ketika Berpisah (middle) ... 60
c. Setelah Berpisah (end) ... 61
a) Berpisah dengan Tetap Adanya Ikatan Perkawinan... 61
b) Respon Psikologis Proses Penerimaan Diri ... 63
5. Analisis Hasil Wawancara Informan III ... 65
a. Sebelum Berpisah (beginning) ... 65
b. Ketika Berpisah (middle) ... 67
c. Setelah Berpisah (end) ... 68
a) Berpisah dengan Tetap Adanya Ikatan Perkawinan... 68
b) Respon Psikologis Proses Penerimaan Diri ... 69
6. Deskripsi hasil………...71
7. Pembahasan………..78
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 79
A. Kesimpulan ... 79
B. Saran ... 79
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Inform Consent ...
Lampiran 2. Narasi Informan ...
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yaitu, manusia tidak dapat menjalani
hidup seorang diri. Ia memerlukan orang lain untuk membantu memenuhi
kebutuhan hidupnya. Salah satunya adalah kebutuhan akan rasa mencintai dan
dicintai. Menurut Schutz (1980, dalam Sarwono 1991) kebutuhan akan kasih
sayang merupakan kebutuhan untuk mengembangkan emosional dengan orang
lain. Prinsip dasar kebutuhan akan kasih sayang adalah perasaan disukai atau
dicintai. Salah satu tingkah lakunya adalah berani memilih individu lain menjadi
pasangan hidupnya. Ketika individu telah sampai pada kedewasaan, individu
memiliki hasrat untuk memenuhi kebutuhan akan kasih sayang yaitu salah satunya
dengan cara hidup bersama dalam rumah tangga.
Kehidupan dalam masyarakat tidak bisa melegalkan hidup bersama tanpa
tata cara atau aturan yang jelas. Di dalam masyarakat ada suatu tata hidup
bersama yang mengikat seluruh anggota masyarakat terkait dengan kehidupan
bersama, yaitu adalah perkawinan. Menikah merupakan salah satu pilihan hidup
manusia. Dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 1/1974, bab I, pasal
1 bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
suami istri yang mesra yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan
hukumNya, dibangun oleh perjanjian perkawinan atau persetujuan pribadi yang
tak dapat ditarik kembali ikatan suci demi kesejahteraan suami-istri dan anak
maupun masyarakat itu tidak tergantung pada kemauan manusia semata-mata.
Allah sendirilah Pencipta perkawinan, yang mencakup berbagai nilai dan tujuan”
(dikutip dari Kasih Setia dalam Suka-Duka, Pedoman Perkawinan di Lingkungan
Katolik, 1993).
Gereja Katolik memberikan tanda kekudusan kepada calon pasangan
suami-istri yang sudah dibabtis melalui penerimaan Sakramen Perkawinan.
Dengan Sakramen Perkawinan, seorang laki-laki dan seorang perempuan
dihadapkan kepada sebuah ikatan kepada pasangannya seumur hidup dan
mengarah pada kesejahteraan suami-istri, serta kelahiran anak (Kitab Hukum
Kanonik, 1055) untuk setia dalam suka ataupun duka dalam sehat maupun sakit.
Dalam perkawinan, dua individu yang berbeda sifat tinggal bersama dan
seiring perjalanan hidup tentunya muncul konflik dan permasalahan. Konflik
pernikahan terjadi karena masing-masing individu membawa kebutuhan,
keinginan dan latar belakang yang berbeda (Sprey dalam Laswell, 1987).
Finchman (dalam Mawadah 1990) mendefinisikan konflik pernikahan sebagai
keadaan suami-istri yang sedang menghadapi masalah dalam pernikahannya dan
hal tersebut tampak dalam perilaku mereka yang cenderung kurang harmonis.
Ketika mereka mampu untuk menyelesaikan masalah, kehidupan rumah tangga
mereka akan semakin kokoh. Namun jika tidak dapat menyelesaikannya, banyak
pasangan.
Indonesia menjadi salah satu Negara dengan tingkat perceraian yang
cukup tinggi. Indonesia menduduki peringkat keempat tingkat perceraian tertinggi
di dunia. Dari dua juta pasangan yang melangsungkan perceraian, 10%
diantaranya berakhir pada perceraian. Pada tahun 2000-an 30% perceraian
disebabkan karena suami menceraikan istri. Pada 2005, 68,5% perceraian terjadi
karena istri menggugat cerai suami (Republika, 25 Juni 2011, Dirjen Binmas
Kemenag RI).
Banyaknya masalah yang timbul di dalam rumah tangga. Jika tidak
ditemukan penyelesaiannya, perceraian dipilih sebagai suatu keputusan final.
Dilandasi oleh berbagai alasan yang dianggap rasional, pasangan suami istri tidak
lagi mengindahkan janji suci di depan altar. Pasangan mengesampingkan hakekat
dan tujuan perkawinan secara Katolik yang mengikat pasangan seumur hidupnya.
Sudarto & Wirawan (2000) yang menyatakan bahwa sebelum perceraian, individu
memandang kehidupannya sebagai masa yang menyenangkan. Namun ketika
ketegangan hadir dalam pernikahan dan mulai membahayakan pernikahan,
kehidupan dipandang sebagai suatu kepahitan yang mendalam dan penuh
penderitaan serta perjuangan.
Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang
perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup,
yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum
Perkawinan Katolik, perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
memiliki tujuan yaitu mengarah pada kesejahteraan hidup bersama, kelahiran
anak, serta perkawinan Katolik merupakan sakramen dalam Gereja.
Perpisahan dalam keluarga Katolik menjadi klimaks runtuhnya
pengendalian rumah tangga. Perpisahan biasanya diawali dengan ketidakpuasan
pada pasangan, buntunya alur komunikasi, serta hilangnya rasa saling percaya
antara satu dengan yang lain. Kebanyakan perpisahan akan menimbulkan gejolak
amarah bagi pelaku perpisahan serta bagi anggota keluarga yaitu anak.
Dalam wawancara yang dilakukan dengan salah satu anggota Tribunal
(Hakim Gereja) yaitu Rm. AS, pada 12 Agustus 2015 di Yogyakarta, beliau
memaparkan bahwa ada kenaikan kasus perpisahan secara Katolik dalam 5 tahun
terakhir ini. Hal tersebut dikarenakan banyak faktor namun, faktor penyebab
paling umum dalam perpisahan Katolik yaitu masalah ekonomi, KDRT serta
komunikasi khususnya alat telekomunikasi canggih yaitu handphone. Beliau
memaparkan bahwa, perkawinan Katolik hanya dilaksanakan satu kali seumur
hidup dan tidak dapat terpisahkan kecuali oleh maut. Jadi perpisahan Katolik
sebenarnya tidak diperkenankan oleh Gereja kecuali dengan alasan kodrati.
Banyaknya kasus perpisahan Katolik saat ini membuat beliau prihatin khususnya
karena beliau sebagai hakim gereja Katolik haruslah secara manusiawi memediasi
setiap kasus perpisahan yang ada dalam gereja Katolik. Penelitian penerimaan diri
ini dapat menjadi bahan evaluasi untuk dapat menentukan langkah dalam
penangan pastoral bagi mereka yang mengalami perpisahan Katolik.
tanggal 24 Juli 2016. Beliau memaparkan apabila dalam Katolik, perkawinan
adalah sakramen yang perjanjian perkawinan tidak dapat ditarik kembali.
Sakramen perkawinan Katolik itu permanen dan yang membedakan dengan
keyakinan lain yaitu tidak dapat terceraikan oleh kuasa manusia manapun kecuali
oleh kematian. Perkawinan ratum dan consummatum tidak dapat diputus oleh
kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun selain kematian (KHK 1414).
Menurut Beliau, sebagian besar pelaku perpisahan yang berkonsultasi
adalah sebagai korban atau orang yang tidak menghendaki adanya perpisahan
dalam perkawinannya. Kebanyakan pelaku perpisahan berkonsultasi dan datang
kepada beliau adalah mereka yang mengalami keputusasaan akibat dari
ditinggalkan pasangan. Sebuah contoh yang beliau paparkan adalah beliau
menemani umat pelaku perpisahan yang ditinggalkan oleh suaminya karena
suaminya memiliki hubungan khusus dengan orang lain sehingga berujung pada
pertengkaran serta KDRT dan akhirnya perkawinan tersebut terceraikan dalam
pengadilan. Pemaparan beliau, perkawinan mereka tetap sah dalam Gereja Katolik
dan tetap menjadi suami istri karena perkawinan tidak terceraikan. Pelaku
perpisahan yang sebagai korban tersebut kerap kali datang karena merasa putus
asa, merasa diri lemah dan tidak memiliki semangat dalam menjalani
kehidupannya. Tidak jarang pula ada kasus kegagalan atau perpisahan umat
dengan usia yang masih belia, mereka harus hidup dengan ikatan perkawinan
seumur hidup (Berpisah dengan tetap Adanya Ikatan Perkawinan, Kanon
psikisnya, untuk dapat melakukan penerimaan diri ke arah yang lebih positif yang
tentunya membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Sebagai orang Katolik, ketika berpisah dari pasangannya tentunya akan
berdampak bagi kehidupan psikologisnya. Hal ini disebabkan karena pelaku
perpisahan harus menerima bila perkawinan Katolik hanya dilaksanakan satu kali
seumur hidup. Oleh karena itu, umat Gereja Katolik yang berpisah dari
pasangannya diharapkan mampu menerima keadaan diri atas perpisahan yang
terjadi dan seumur hidup dalam ikatan perkawinan (Kitab Hukum Kanonik 1151).
Menurut Ryff (1996), penerimaan diri positif adalah keadaan dimana
seorang individu memiliki penilaian positif terhadap dirinya, menerima serta
mengakui segala kelebihan maupun segala keterbatasan yang ada dalam dirinya
tanpa merasa malu atau merasa bersalah terhadap kodrat dirinya. Coleridge
(1997) mengatakan penerimaan diri bukanlah sikap pasrah, tetapi menerima
identitas diri secara positif pandangan tentang diri sendiri dan harga diri tidak
menurun sama sekali, bahkan dapat meningkat. Berdasarkan pendapat dari
beberapa tokoh di atas, penerimaan diri merupakan sikap positif terhadap dirinya
sendiri dengan menerima keadaan dirinya secara tenang. Ia mampu menerima diri
dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Selain itu, ia juga
memiliki kesadaran dan penerimaan penuh terhadap siapa dan apa dirinya sendiri,
Serta menerima keadaan emosionalnya (depresi, marah, takut, cemas, dan
lain-lain) tanpa mengganggu orang lain.
Individu yang mampu menerima keadaan diri dan mampu
dan mengusahakan tindakan nyata untuk menghadapi dan melewati masa tersebut
karena menyadari bahwa yang dilakukannya akan bermanfaat bagi dirinya di
kemudian hari. Sejalan dengan itu menurut Hurlock (1993) individu yang
memahami perilakunya maka ia akan menyukai dirinya dan merasa orang lain
juga menyukai dengan kualitas yang sama pada dirinya. Individu tersebut akan
menerima dirinya, menyenangi dirinya, dan puas akan dirinya sehingga ia
menganggap dirinya bahagia.
Pandangan individu yang merasa puas akan keadaan dirinya seperti ini
akan membuat individu menerima dirinya secara akurat dan realitis tidak akan
memusuhi dirinya walaupun ia tahu ia bukanlah orang yang sempurna dan karena
itu ia menganggap orang lain juga menerima dirinya (Hurlock, 1999). Keadaan ini
akan memungkinkan individu berbuat yang terbaik bagi dirinya dan memberi
kontribusi bagi terwujudnya pemahaman dan penerimaan diri. Tantangan yang
muncul selama masa sesudah perceraian tidak diapresiasikan sebagai suatu
penderitaan, tetapi sebagai masa yang harus diselesaikan oleh setiap orang yang
melakukan perceraian.
Penelitian sebelumnya yaitu Penerimaan diri pada Janda yang Bercerai
oleh Nurmaeni tahun 2009. Hasil penelitian tersebut memaparkan bahwa
perempuan yang bercerai dan berubah status menjadi janda mengalami perasaan
lega, bingung, berat berpisah, tidak ada teman curhat, sedih, sakit hati, minder dan
malu. Pada penelitian ini, peneliti meneliti pada proses menuju penerimaan diri
Dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 3 April 2016 di Kulon
Progo, dengan salah seorang pelaku perpisahan Katolik yaitu saudara A, beliau
memaparkan bahwa perpisahan yang terjadi dalam kehidupannya diawali karena
adanya konflik intern dalam rumah tangga dan menimbulkan pertengkaran yang
terus-menerus dengan pasangan dan dalam waktu yang lama. Hal tersebut
membuat ia dan pasangan semakin merasa tidak cocok satu dengan yang lain serta
tercipta suasana yang dingin dalam keluarga. Perpisahan dengan pasangan diambil
sebagai jalan terbaik menyelesaikan konflik. Pasca perpisahan ia harus
beradaptasi dengan hidup yang baru tanpa pasangan. Beliau memaparkan bila siap
tidak siap harus siap membesarkan anak dan menjadi orang tua tunggal. Ketika
memutuskan untuk berpisah, yang ada dalam pikirannya yaitu hanyalah
menyelesaikan konflik dalam rumah tangga. Namun, setelah konflik dengan
pasangan selesai, kini ia dihadapkan dengan acuan perkawinan katolik yang
dilaksanakan hanya satu kali seumur hidup. Maka, beliau memaparkan bahwa
hendaknya dapat menjalani hidup dengan baik, ikhlas hati serta percaya pada
kehendak Tuhan.
Penerimaan diri dalam konteks penelitian ini adalah penerimaan diri dari
pasangan perkawinan Katolik yang telah berpisah. Perkawinan Katolik hanya
dilakukan sekali seumur hidup dan tidak ada perceraian. Oleh karena itu, pelaku
perpisahan menghadapi suatu konsekuensi yaitu seumur hidup hendaknya tidak
diperkenankan lagi untuk menikah dalam lingkup gereja Katolik serta menghadapi
hidup tanpa pasangan. Sikap pelaku yang muncul dari permasalahan tersebut yang
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti ingin lebih mengetahui bagaimana
gambaran tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri pelaku
perkawinan Katolik yang kemudian berpisah. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat membantu pada penerapan hidup individu yang memiliki permasalahan
tentang penerimaan diri berkaitan dengan kondisi kehidupan yang pada awalnya
utuh dalam pasangan namun kini berpisah dengan status sah secara hukum negara
namun tidak sah secara hukum gereja dan seumurhidup terikat dalam perkawinan
Katolik.
B.Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, peneliti mengidentifikasi
masalah secara lebih terperinci, yaitu: perpisahan menjadi alternatif
penyelesaian konflik dari pasangan namun, sekingkali individu tidak siap
dengan resiko dari perpisahan tersebut yaitu harus melakukan penerimaan diri
karna ia akan tetap terikat dalam ikatan perkawinan seumur hidup dan tidak
diperkenankan untuk menikah lagi.
C.Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah, maka dapat dirumuskan masalah yaitu
bagaimana tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri pada
pelaku perkawinan Katolik yang kemudian berpisah?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat tahapan respon psikologis dalam
F. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut :
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan dalam pengembangan pengetahuan
khususnya dalam bidang Psikologi Keluarga, serta dapat menjadi referensi
bagi penelitian selanjutnya.
2. Manfaat praktis
a) Bagi subjek penelitian
Bagi pelaku agar dapat meningkatkan diri secara positif, meningkatkan
kepercayaan diri, kualitas dan potensi diri kearah yang bermanfaat.
b) Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat dapat memberikan sumbangan informasi yang
bermanfaat dalam kaitan dengan penerimaan diri pada pelaku
perkawinan Katolik yang berpisah.
c) Bagi Gereja
Membantu Gereja mengetahui respon proses penerimaan diri, yang
dilakukan setelah terjadi perpisahan dalam rumah tangga, sehingga
BAB II KAJIAN TEORI
A.Penerimaan Diri 1. Definisi
Menurut Ryff (dalam Wilsa, 1997) penerimaan diri adalah suatu keadaan
dimana seseorang memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri, mengakui
dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk, dan
merasa positif terhadap kehidupan yang dijalani. Hal ini juga didukung oleh
Ryff (dalam Kail & Cavanaugh, 2000) mengenai penerimaan diri sebagai
individu yang memiliki pandangan positif terhadap dirinya, mengakui dan
menerima segi yang berbeda dari dirinya sendiri.
Penerimaan diri berkaitan dengan konsep diri yang positif. Seseorang
dengan konsep diri yang positif dapat memahami dan menerima fakta-fakta
yang begitu berbeda dengan dirinya. Orang dapat menyesuaikan diri dengan
seluruh pengalaman mentalnya sehingga evaluasi tentang dirinya juga positif
(Calhoun dan Acocella,dalam Handayani dkk, 1998).
Hal tersebut didukung oleh pendapat Hjelle & Ziegler (Sari & Nuryoto,
2002) yaitu bahwa seorang individu dengan penerimaan diri memiliki memiliki
toleransi terhadap frustasi atau kelemahan-kelemahan dirinya tanpa harus
menjadi sedih atau marah. Individu ini dapat menerima dirinya sebagai seorang
adalah memiliki pandangan yang positif tentang diri sendiri, mengakui dan
menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruknya yang ada
pada dirinya, dan memandang positif terhadap kehidupan yang telah
dijalaninya.
Maslow (dalam Hjelle & Ziegler, 1992) penerimaan diri adalah sikap
positif terhadap dirinya sendiri, individu dapat menerima keadaan dirinya
secara tenang dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Individu dapat
bebas dari rasa bersalah, rasa malu, dan rendah diri karena keterbatasan diri
serta bebas dari kecemasan akan adanya penilaian dari orang lain terhadap
keadaan dirinya.
Allport (dalam Hjelle & Ziegler, 1992) berpendapat bahwa penerimaan
diri merupakan sikap yang positif ketika individu menerima diri sebagai
seorang manusia, ia dapat menerima keadaan emosionalnya (depresi, marah,
takut, cemas, dan lain-lain) tanpa mengganggu orang lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri merupakan keadaan di
mana seorang individu memiliki sikap positif terhadap dirinya dan mampu
mengolah segala kelebihan serta kekurangan yang ada dalam dirinya termasuk
mengolah bermacam emosi yang ada dalam dirinya. Individu yang mampu
menerima kekurangan dirinya sebagaimana mampu menerima kelebihannya.
2. Faktor – Faktor yang mempengaruhi Penerimaan Diri
Menurut Ratnawati (1990) faktor yang mempengaruhi penerimaan diri
seseorang adalah jenis kelamin. Jenis kelamin akan mempengaruhi penerimaan
dinilai memiliki penerimaan diri yang lebih positif bila dibandingkan dengan
wanita. Hal ini karena wanita relatif lebih sensitif serta lebih menitikberatkan
pada afektif daripada pria.
Menurut Hurlock (dalam Anugrah, 1974) ada beberapa kondisi yang
mempengaruhi penerimaan diri dari seseorang, antara lain :
1. Pemahaman diri
Memahami diri ditandai dari perasaan tulus, nyata, dan
jujur menilai diri sendiri. Kemampuan seseorang untuk
memahami dirinya tergantung pada kapasitas intelektualnya dan
kesempatan menemukan dirinya. Ia dapat melihat dirinya sama
dengan apa yang dilihat orang lain pada dirinya, individu tidak
hanya mengenal dirinya tetapi juga menyadari kenyataan dirinya.
Pemahaman dan penerimaan diri tersebut berjalan beriringan.
Semakin paham individu mengenal dirinya, maka semakin besar
individu menerima dirinya dan akan melihat dirinya dari waktu ke
waktu secara konstan serta tidak mudah berubah-ubah.
2. Harapan yang realistis
Harapan yang realistis akan membawa rasa puas pada diri
seseorang. Perasaan puas terhadap diri sendiri lebih lanjut akan
membuahkan penerimaan diri. Tercapainya harapan yang realistis
menuntut seseorang untuk merencanakan sendiri dan tidak
seseorang perlu menyadari kelemahan- kelemahannya sekaligus
kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Hal ini juga tergantung
pada seberapa realistis harapan terhadap dirinya dan seberapa
besar ia memahami kekuatan dan kelemahannya.
3. Perilaku sosial yang menyenangkan
Seseorang yang mendapatkan sikap yang menyenangkan
dari masyarakat lebih dapat menerima dirinya. Tiga hal yang
mengarah kepada evaluasi sosial yang menyenangkan adalah
tidak adanya prasangka terhadap individu dan anggota
keluarganya, memiliki keahlian sosial dan mau untuk menerima
anggota kelompok.
4. Adanya kondisi emosi yang menyenangkan
Stress secara emosional dapat mengarah kepada
ketidakseimbangan fisik dan psikologis. Ketidakseimbangan fisik
yang diikuti oleh stress emosional dapat membuat seseorang
bekerja dengan kurang efisien, mengakibatkan kelelahan, dan
bereaksi secara negatif kepada orang lain.
Tidak adanya stres dapat membuat seseorang melakukan
yang terbaik untuk pekerjaannya. Selain itu, seseorang dapat
menjadi lebih rileks dan bahagia. Kondisi sepeti ini berkontribusi
kepada evaluasi sosial yang baik yang menjadi dasar bagi evaluasi
3. Ciri- ciri Individu yang Menerima Diri
Menurut Allport (dalam Hjelle & Ziegler, 1992) ciri- ciri orang yang
dapat menerima diri adalah :
a. Memiliki gambaran yang positif tentang dirinya.
b. Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan rasa frustasi dan
kemarahannya.
c. Dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka
apabila orang lain memberi kritik.
d. Dapat mengatur keadaan emosi mereka (depresi, marah).
Jersid (dalam Sari & Nuryoto, 2002) memaparkan bahwa ciri-ciri
individu yang menerima diri yaitu :
a. Memiliki penghargaan yag realistis terhadap kelebihan- kelebihan
dirinya.
b. Memiliki keyakinan-keyakinan akan standar-standar dan
prinsip-prinsip dirinya tanpa harus diperbudak oleh opini-opini individu
lainnya.
c. Memiliki kemampuan untuk memandang dirinya secara realistis
tanpa menjadi malu akan keadaannya.
d. Mengenali kelebihan - kelebihan dirinya dan bebas
memanfaatkannya.
f. Memiliki spontanitas dan rasa tanggung jawab dalam dirinya.
g. Menerima potensi dirinya tanpa menyalahkan dirinya atas kondisi
yang berada di kontrol mereka.
h. Tidak melihat diri mereka sebagai individu yang harus dikuasai
rasa marah atau takut atau menjadi tidak berarti karena
keinginan-keinganannya tetapi dirinya bebas dari ketakutan untuk berbuat
kesalahan.
i. Merasa memiliki hak untuk memiliki ide-ide dan keinginan-
keinginan serta harapan-harapan tertentu.
j. Tidak merasa iri akan kepuasan-kepuasan yang belum mereka
raih.
Sheerer dalam (Sugoto dan Esthy, 1998) berpendapat bahwa ciri –
ciri penerimaan diri yang positif yaitu :
a. Memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menjalani
kehidupan.
b. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang
sederajat dengan individu lainnya.
c. Menyadari dan tidak merasa malu akan keadaan dirinya.
d. Menempatkan diri sebagaimana manusia lain sehingga individu
lain dapat menerima dirinya.
e. Bertanggungjawab atas segala perbuatannya.
g. Mempercayai prinsip-prinsip atau standar hidupnya tanpa harus
diperbudak oleh pendapat individu lain.
h. Tidak mengingkari atau merasa bersalah atas dorongan-dorongan
atau emosi-emosi yang ada pada dirinya.
Chaplin (2005) mengatakan bahwa ciri-ciri penerimaan diri yang
positif adalah :
a. Mampu menerima tanggung jawab terhadap perilakunya.
b. Mempunyai keyakinan akan kemampuan untuk menghadapi
kebutuhan.
c. Memiliki pandangan potitif tentang diri.
d. Menerima kelemahan dan kelebihan yang ada.
Berdasar pada pendapat beberapa ahli, penerimaan diri yang positif
adalah :
a. Mampu menerima kelebihan dan kekurangan dirinya.
b. Mampu memahami serta mengolah emosinya dengan baik.
c. Mampu menghadapi masalah kehidupannya.
d. Mampu bertanggungjawab atas pilihan yang dilakukan.
4. Aspek Penerimaan Diri
Pada umumnya, individu dengan penerimaan diri yang baik akan
menerima aspek-aspek dalam dirinya secara positif. Grinder (dalam
Parista, 2008) menjelaskan bahwa aspek-aspek penerimaan diri meliputi :
a) Aspek Fisik
Penerimaan diri secara fisik meliputi kepuasan individu terhadap
bagian-bagian tubuh dan penampilan fisik secara keseluruhan.
Penerimaan diri secara fisik menggambarkan evaluasi dan penilaian
diri terhadap penampilannya, apakah penampilannya menyenangkan
dan memuaskan untuk diterima atau tidak.
b) Aspek Psikis
Aspek psikis meliputi pikiran, emosi dan perilaku individu. Individu
yang dapat menerima dirinya adalah individu yang secara keseluruhan
memiliki keyakinan akan kemampuan diri dalam menghadapi tuntutan
lingkungan.
c) Aspek Sosial
Aspek sosial meliputi pikiran dan perilaku individu terhadap orang lain
dan masyarakat. Individu yang menerima dirinya secara sosial akan
memiliki keyakinan bahwa dirinya sederajat dengan orang lain
sehingga dapat menempatkan diri dalam masyarakat.
d) Aspek Moral
Perkembangan moral dalam diri dipandang sebagai suatu proses yaitu
mampu mengambil keputusan secara bijak serta mampu
diambil berdasarkan konteks sosial yang ada dalam masyarakat
(Grinder dalam Kinayungan, 2008).
5. Tahap Penerimaan Diri
a) Tahap penerimaan diri secara umum
Proses seorang individu untuk dapat menerima dirinya tidak dapat muncul
begitu saja, melainkan terjadi melalui serangkaian proses secara bertahap.
Menurut Germer (2009), tahapan penerimaan diri terjadi dalam 5 fase,
antara lain:
1. Penghindaran (Aversion)
Pertama-tama, reaksi naluriah seorang individu jika dihadapkan
dengan perasaan tidak menyenangkan (uncomfortable feeling) adalah
menghindar. Contohnya kita selalu memalingkan pandangan kita saat
kita melihat adanya pemandangan yang tidak menyenangkan. Bentuk
penghindaran tersebut dapat terjadi dalam beberapa cara, dengan
melakukan pertahanan, perlawanan, atau perenungan.
2. Keingintahuan (Curiosity)
Setelah melewati masa aversion, individu akan mengalami adanya
rasa penasaran terhadap permasalahan dan situasi yang mereka hadapi
sehingga mereka ingin mempelajari lebih lanjut mengenai
permasalahannya tersebut walaupun hal tersebut membuat mereka
Pada tahap ketiga ini, individu akan menahan perasaan tidak
menyenangkan yang mereka rasakan sambil berharap hal tersebut
akan hilang dengan sendirinya.
4. Membiarkan Begitu Saja (Allowing)
Setelah melalui proses bertahan akan perasaan tidak menyenangkan
telah selesai, individu akan mulai membiarkan perasaan tersebut
datang dan pergi begitu saja. Individu secara terbuka membiarkan
perasaan itu mengalir dengan sendirinya.
5. Persahabatan (Friendship)
Seiring dengan berjalannya waktu, individu akan mulai bangkit dari
perasaan tidak menyenangkan tadi dan mencoba untuk dapat memberi
penilaian atas kesulitan tersebut. Bukan berarti ia merasakan
kemarahan, melainkan individu dapat merasa bersyukur atas manfaat
yang didapatkan berdasarkan situasi ataupun emosi yang hadir.
b) Tahap Penerimaan Diri dalam kondisi tidak menyenangkan, yaitu : Tahap – tahap penerimaan diri menurut Kubler – Ross (dalam Anugrahani,
1998) :
a. Tahap 1
Pada tahap ini seseorang mengalami perasaaan shock/kaget,
melakukan penyangkalan terhadap kondisi yang dialami sehingga
memungkinkan orang tersebut mengasingkan dirinya sendiri.
Tahap ini memunculkan perasaan marah dan cenderung melakukan
proyeksi. Hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian atau
perhatian yang berlebih dari orang terdekat terhadap kondisinya,
harapan tidak sesuai dengan kenyataan, adanya perbedaan dengan
kondisi yang dulu dan sekarang serta ada penolakan-penolakan.
Dalam tahap ini, selanjutnya juga menimbulkan perasaan bersalah
yang diakibatkan oleh sikap menyalahkan diri sendiri karena
dianggap sebagai penyebab yang membuat diri mengalami suatu
hal buruk atau karena kelemahan yang dimiliki.
c. Tahap 3
Tahap ketiga seseorang mengalami pengalaman religiusitas dengan
Tuhan. Ada proses tawar menawar dimana seseorang itu berjanji
untuk bertingkah laku baik asalkan permintaannya dipenuhi.
Namun pada kenyataannya janji tidak selalu dipenuhi dan terus
menuntut permintaan yang lainnya. Memiliki perjanjian dengan
Tuhan ataupun dengan orang lain di sekitarnya. Di tahap ketiga ini
memungkinkan munculnya perasaan bersalah, ketakutan, atau
merasa dihukum karena kesalahannya.
d. Tahap 4
Terdapat 2 jenis depresi pada tahap ini, yaitu :
- Depresi reaktif : keinginan untuk mengungkapkan banyak
- Depresi preparation : hanya ada sedikit atau bahkan tidak
ada reaksi secara verbal melainkan lebih ke non verbal
seperti : sentuhan, ingin ditemani.
e. Tahap 5
Munculnya sikap penerimaan terhadap kondisi yang dialami.
Merasakan kedamaian, sudah dapat melalui tahap-tahap
sebelumnya dengan baik sehingga tidak akan merasakan depresi
maupun marah terhadap kondisinya.
Respon psikologis yang dialami seseorang karena kehilangan oleh
Kubler-Ross (1998) dikemukakan oleh teori “The Five stages of Grief”.
Teori ini membagi respon psikologis dalam lima tahap yaitu,
penyangkalan (denial), marah (anger), tawar-menawar (bargaining),
depresi (depression) dan penerimaan (acceptance). Kelima tahap respons
psikologis ini sering diidentikkan dengan lima tahap model duka cita yang
disebabkan oleh proses kematian. Namun akhirnya berkembang tidak
hanya sebatas itu, lima tahap respon psikologis ini juga bisa digunakan
untuk mengidentifikasi individu pasca pemutusan hubungan kerja, adanya
bencana sehingga terpaksa harus mengungsi, kehilangan anggota tubuh,
hukuman, kebangkrutan, korban kejahatan atau kriminal atau
keputusasaan. Teori ini berkembang lebih luas dan dapat digunakan untuk
memahami reaksi pasca kejadian traumatik yang dialami seseorang.
Reaksi pertama individu adalah terkejut, tidak percaya dan
menyangkal bahwa kehilangan itu benar-benar terjadi
(Suliswati, 2005). Secara sadar maupun tidak sadar seseorang
yang berada dalam tahap ini menolak fakta, informasi dan
sesuatu yang berhubungan dengan hal yang dialaminya. Pada
tahap ini seseorang tidak mampu berpikir apa yang seharusnya
dia lakukan untuk keluar dari masalah. Dia tidak siap
menerima kondisinya (Kozier, 2004). Oleh karena tahap
pengingkaran merupakan tahap yang tidak nyaman dan situasi
yang menyakitkan ( French, 1992).
Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini berupa keletihan,
kelemahan, pucat, mual, diare, sesak nafas, detak jantung cepat,
manangis, gelisah (Suliswati, 2005).
2. Tahap Marah (Anger)
Kemarahan yang dialami seseorang dapat diungkapkan dengan
berbagai cara. Individu mungkin menyalahkan dirinya sendiri
dan atau orang lain atas apa yang terjadi padanya, serta pada
lingkungan tempat dia tinggal. Pada kondisi ini, individu tidak
memerlukan nasehat, baginya nasehat adalah sebuah bentuk
pengadilan (judgement) yang membuatnya lebih terganggu.
Reaksi fisik yang sering terjadi pada tahap ini antara lain wajah
3. Tahap Tawar-menawar (bargaining)
Pada tahap ini seseorang berfikir seandainya ia dapat
menghindari kehilangan itu. Reaksi yang sering muncul adalah
dengan mengungkapkan perasaan bersalah atau ketakutan pada
dosa yang pernah dilakukan (Kozier, 2004). Seringkali
seseorang yang berada pada tahap ini berusaha tawar menawar
dengan Tuhan agar merubah apa yang telah terjadi supaya tidak
menimpanya. Sering juga dinyatakan dengan kata-kata “kenapa
harus terjadi pada keluarga saya”. Tahap tawar-menawar yang
dilakukan seseorang tidak memberikan solusi apapun bagi
permasalahan yang dia hadapi.
4. Tahap Depresi (Depression)
Pada tahap ini individu mengalami disorganisasi dalam batas
tertentu dan merasa bahwa mereka tidak mampu melakukan
tugas yang di masa lalu dilakukan dengan sedikit kesulitan
(Niven, 2002). Individu sering menunjukkan sikap menarik
diri, tidak mau berbicara, takut, perasaan tidak menentu dan
putus asa. Seseorang yang berada pada tahap ini setidaknya
sudah mulai menerima apa yang terjadi padanya adalah
kenyataan yang memang harus dihadapi (Chapman, 2006).
Gejala fisik yang sering muncul adalah menolak makan, susah
tidur, letih dan libido menurun. (Suliswati, 2005)
Pada tahap ini individu akan menyadari bahwa hidup mereka
terus berlanjut dan mereka harus mencari makna baru dari
keberadaan mereka. Pikiran yang selalu terpusat pada objek
atau orang yang hilang akan mulai berkurang. Individu telah
menerima kenyataan kehilangan, gambaran tentang objek mulai
dilepaskan dan secara bertahap perhatian akan beralih pada
objek yang baru (Suliswati, 2005).
6. Manfaat Penerimaan Diri
Menurut Supratiknya (1995) menerima diri secara positif
ditunjukkan dari sikap penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri dan
lawannya sehingga tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri. Penerimaan
diri berkaitan dengan kerelaan individu untuk membuka atau
mengungkapkan aneka pikiran, perasaan, dan reaksi kita terhadap orang
lain (kesehatan psikologis individu, serta penerimaan individu terhadap
orang lain).
Calhoun dan Accocela (1990) berpendapat bahwa penerimaan diri
yang positif berkaitan dengan konsep diri yang positif. Seseorang yang
memiliki konsep diri yang positif dapat memahami dan menerima
fakta-fakta yang berbeda antara harapan dan realitas diri. Individu yang
bersangkutan tetap mampu menyesuaikan diri dengan seluruh pengalaman
Menurut Roger (dalam Handayani 1998) penerimaan diri dapat
dicapai apabila real self dalam keadaan congruence dengan ideal self.
Dengan keadaan tersebut, individu telah menjadi diri sendiri karena ia
dapat menyelaraskan harapan akan dirinya dengan keadaan diri yang
sesungguhnya.
Orang yang dapat menerima diri memiliki tingkat kecemasan yang
lebih rendah. Individu tidak perlu cemas akan keterbatasannya karena ia
mengetahui bagaimana menghadapi keterbatasan tersebut. Kritikan dari
orang lain merupakan suatu alarm untuk semakin mengenali diri. Kritikan
tersebut tidak membuat diri merasa semakin kecil dan tak berdaya
sehingga individu tidak perlu merasa cemas ( Sugoto dan Eshty, 1998).
Berdasarkan pendapat para tokoh di atas, peneliti menyimpulkan
bahwa penerimaan diri merupakan kemampuan seorang individu untuk
mengetahui, menerima, dan mengembangkan dirinya. Individu yang
mampu menerima diri secara positif yaitu: percaya diri, merasa diri
berharga, berprinsip, bebas dan spontan, mengembangkan diri,
B. Perkawinan Katholik
Menurut Kitab Hukum Kanonik, perkawinan merupakan hidup
berkeluarga dalam suatu ikatan dan merupakan cara hidup yang sangat
lazim dan normal bagi kebnyakan orang, termasuk di dalamnya
orang-orang yang telah dibabtis secara Katolik atau diterima dalam Gereja
1. Definisi perkawinan Katolik menurut Ajaran Gereja Katolik dimuat dalam Kitab Hukum Kanonik.
Bagian yang menyebutkan mengenai perkawinan katolik terdapat
dalam :
Kanon 1055
1. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan
seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan
(consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada
kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan
pendidikan anak, antara orang-orang yang dibabtis, oleh Kristus Tuhan
diangkat ke martabat sakramen.
2. Karena itu antara orang-orang yang dibabtis, tidak dapat ada kontrak
perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.
Kanon 1057
1. Kesepakatan pihak-pihak yang dinyatakan secara legitim antara
orang-orang yang meurut hukum mampu, membuat perkawinan,
kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun.
2. Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya
seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan
saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian
2. Perkawinan Katolik yang mampu secara hukum menurut Ajaran Gereja Katolik dimuat dalam Kitab Hukum Kanonik.
1. Kodrati Kanon 1083
1. Laki-laki sebelum berumur genap enam belas tahun, dan
perempuan sebelum berumur genap empat belas tahun, tidak dapat
melangsungkan perkawinan yang sah.
2. Konferensi para Uskup berwenang penuh menetapkan usia yang
lebih tinggi untuk merayakan perkawinan secara licit.
Kanon 1084 Impotensi untuk melakukan persetubuhan yang mendahului (antecedens) perkawinan yang bersifat tetap
(perpetua), entah dari pihak laki-laki atau perempuan, entah
bersifat mutlak atau relatif, menyebabkan perkawinan tidak sah
menurut kodratnya sendiri.
Kanon 1085
Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang
yang terikat perkawinan sebelumnya, meskipun perkawinan itu
belum consummatum.
2. Gerejawi
Kanon 1086 Perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya dan
tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan yang
Kanon 1087 tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci.
Kanon 1088 tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang terikat kaul kekal publik kemurnian dalam suatu
tarekat religious.
Kanon 1089 antara laki-laki dan perempuan yang diculiknya atau sekurang-kurangnya ditahan dengan maksud untuk dinikahi, tidak
dapat ada perkawinan, kecuali bila kemudian setelah perempuan itu
dipisahkan dari penculiknya serta berada di tempat yang aman dan
merdeka, dengan kemauan sendiri memilih perkawinan itu.
Kanon 1090 Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang dengan maksud untuk menikahi orang tertentu
melakukan pembunuhan terhadap pasangan orang itu atau terhadap
pasangannya sendiri.
Kanon 1091 Tidak sahlah perkawinan antara mereka semua yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan
kebawah, baik yang sah maupun yang natural.
Kanon 1092 Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat manapun.
Kanon 1093 Halangan kelayakan publik timbul dari perkawinan tidak sah setelah terjadi hidup bersama atau dari konkubinat yang
garis lurus tingkat pertama antara pria dengan orang yang
berhubungan darah dengan wanita dan sebaliknya.
Kanon 1094 tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi
dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat kedua.
3. PERPISAHAN PASANGAN
Menurut ajaran gereja, setiap perkawinan mempunyai sifat atau
karakter tak-terceraikan (indissolubilis). Namun dalam sejarah
yurisprudensi kanonik, kelihatan bahwa dalam keadaan dan dengan
syarat-syarat tertentu Gereja mengizinkan pemutusan ikatan nikah
yang tidak sekaligus ratum dan consummatum. Dalam hal ini, Gereja
menerapkan prinsip kanonik umum bahwa secara intrinsik perkawinan
tidak dapat diputuskan atas kehendak dan keputusan pasangan sendiri;
namun secara ekstrinsik- kecuali ratum et consummatum – dapat
diputuskan oleh kuasa Gereja yang berwenang sesuai dengan
ketentuan hukum yang ada.
Artikel 1 Pemutusan Ikatan
Kanon 1141 Perkawinan ratum dan consummatum tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun
Kanon 1142 Perkawinan non-consummatum antara orang-orang yang telah dibabtis atau antara pihak dibabtis dengan pihak tidak
dibabtis, dapat diputus oleh Paus atas alasan yang wajar, atas
permintaan kedua pihak atau salah seorang dari antara mereka,
meskipun pihak yang lain tidak menyetujuinya.
Kanon 1143 Perkawinan yang dilangsungkan oleh dua orang tidak dibabtis diputus berdasarkan privilegium paulinum demi iman
pihak yang telah menerima babtis, oleh kenyataan bahwa ia yang
telah dibabtis tersebut melangsungkan perkawinan baru, asalkan
yang tidak dibabtis pergi.
Kanon 1145 1. Interpelasi hendaknya pada umumnya dilakukan atas otoritas Ordinaris wilayah dari pihak yang bertobat; kepada
pihak yang lain, Ordinaris itu dapat memberikan tenggang waktu
untuk menjawab, jika ia memintanya, tetapi dengan peringatan
bahwa jika tenggang waktu itu lewat tanpa dimanfaatkan, maka
sikap diam itu dianggap sebagai jawaban negatif.
Artikel 2 Berpisah dengan tetap Adanya Ikatan Perkawinan
Kanon 1151-1155 membicarakan perpisahan perkawinan secara tidak sempurna, dalam arti bahwa ikatan perkawinan sendiri masih
tetap ada karena yang dipisahkan hanyalah kebersamaan pasangan
Kanon 1151 Suami-istri mempunyai kewajiban dan hak untuk memelihara hidup bersama perkawinan, kecuali ada alasan legitim
yang membebaskan mereka.
Kanon 1152 1. Sangat dianjurkan agar pasangan, tergerak oleh cintakasih kristiani dan prihatin akan kesejahteraan keluarga, tidak
menolak mengampuni pihak yang berzinah dan tidak memutus
kehidupan perkawinan. Namun jika ia tidak mengampuni
kesalahannya secara jelas atau diam-diam, ia berhak untuk
memutus hidup bersama perkawinan, kecuali ia menyetujui
perzinahan itu atau menyebabkannya atau ia sendiri juga berzinah.
Kanon 1153 1. Jika salah satu pasangan menyebabkan bahaya besar bagi jiwa atau badan pihak lain atau anaknya, atau membuat
hidup bersama terlalu berat, maka ia memberi alasan legitim
kepada pihak lain untuk berpisah dengan keputusan Ordinaris
wilayah, dan juga atas kewenangannya sendiri, bila penundaan
membahayakannya.
Kanon 1154 Bila terjadi perpisahan suami-istri, haruslah selalu diperhatikan dengan baik sustentasi dan pendidikan yang
semestinya bagi anak-anak.
Kanon 1155 Terpujilah bila pasangan yang tak bersalah dapat menerima kembali pihak yang lain untuk hidup bersama lagi;
Perpisahan ini tetap mempertahankan ikatan perkawinan.
Oleh karena itu, perpisahan ini tidak sempurna dan dapat bersifat :
- Total (menyangkut keseluruhan hidup perkawinan) atau parsial
(hanya pisah ranjang, atau pisah meja makan, atau pisah
kediaman, atau meliputi ketiganya).
- Tetap (untuk batas waktu yang tidak ditentukan atau
selamanya) atau sementara waktu(hanya untuk kurun waktu
tertentu, missal satu tahun)
- Atas inisiatif kedua belah pihak atau inisiatif salah satu pihak
saja
- Atas prakarsa sendiri atau atas izin kuasa gerejawi yang
berwenang (misalnya, Ordinaris wilayah atau tribunal
diosesan)
- Dapat disebabkan oleh perbuatan zina oleh salah satu pasangan
atau karena sebab-sebab lain.
C. Kerangka Berfikir
Pernikahan menjadi tujuan hidup setiap pasangan. Bersatunya
pasangan dalam ikatan perkawinan dan membentuk rumah tangga dengan
segala pemenuhan harapan menjadi impian sebuah keluarga. Pada
pasangan perkawinan Katolik, mengucapkan janji perkawinan di depan
diulangi. Gereja Katolik tidak memperkenankan adanya perceraian pada
pasangan yang telah menikah Katolik. Perjanjian (foedus) perkawinan,
dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara
mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri
kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta
kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibabtis, oleh
Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen (KHK 1055).
Dalam perjalanan perkawinan, pasangan mengenal dan menjalani
baik dan buruk, suka dan duka perkawinan. Buruk dan dukanya
perkawinan seringkali menjadi pemicu konflik yang ada dalam rumah
tangga. Ketika pasangan siap dengan kekurangan pasangannya maka
konflik dapat diredam. Namun, ketika pasangan tidak siap akan
kekurangan pasangannya maka konflik rumah tangga dapat terjadi.
Konflik dalam perkawinan yang terjadi berulang dan dalam waktu
yang tidak singkat mengurangi keharmonisan dalam perkawinan. Ketika
menghadapi permasalahan yang besar banyak pelaku pernikahan yang
kemudian memutuskan untuk melakukan perceraian dengan pasangan.
Namun, gereja Katolik tidak menghendaki adanya perceraian dengan kata
lain istilah dalam gereja yaitu hanya ada perpisahan. Perkawinan ratum
dan consummatum tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan
atas alasan apapun selain kematian (KHK 1141).
Perpisahan menjadi keputusan untuk menyelesaikan konflik
dengan pasangan. Namun, setelah perpisahan terjadi maka pelaku harus
siap bila seumur hidup harus dijalani tanpa adanya pasangan. Oleh karena
perkawinan dalam Katolik hanya dilaksanakan satu kali seumur hidup.
Pelaku dihadapkan dengan situasi tersebut maka, pelaku hendaknya
melakukan penerimaan diri dan menjalani hidup selanjutnya tanpa
pasangan.
Ketidaksiapan pasangan untuk berpisah seringkali menjadikan
individu menghadapi frustasi dan depresi. Segelintir individu yang dapat
menerima keputusan perpisahan dalam waktu yang singkat. Orang dapat
menyesuaikan diri dengan seluruh pengalaman mentalnya sehingga
evaluasi tentang dirinya juga positif (Calhoun dan Acocella,dalam
Handayani dkk, 1998).
Menjadi sebuah tantangan kehidupan di mana Gereja Katolik
menghendaki individu hanya dapat menikah satu kali seumur hidup.
Artinya, ketika seorang individu melakukan perpisahan dengan
pasangannya maka individu tersebut sudah tidak dapat menikah lagi dalam
perkawinan Katolik. Menjadi konflik dalam diri individu untuk melakukan
penerimaan diri. Individu kehilangan pasangan walaupun tetap terikat
dalam ikatan perkawinan dan tidak dapat menikah dengan orang lain lagi
dalam gereja Katolik.
diri, akan terasa berat bagi seseorang yang kehilangan pasangan dan tetap
terikat dalam ikatan perkawinan. Pelaku perpisahan harus menerima
kenyataan kehilangan pasangan, kemudian pelaku perpisahan melalui
tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri setelah
menghadapi tahapan-tahapan tersebut, barulah pelaku sampai pada rasa
kedamaian dan melakukan penerimaan diri atas apa yang ia alami.
Tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri tidaklah
mudah oleh karena dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Pada pelaku
perpisahan Katolik, selain kehilangan pasangan pelaku juga menghadapi
kenyataan bila ke depan tidak dapat menikah lagi dalam gereja Katolik.
Penerimaan diri dibutuhkan dalam kenyataan ini, agar kelangsungan hidup
pelaku perpisahan dapat lebih positif.
Penerimaan diri pelaku perpisahan akan menimbulkan respon
penerimaan diri dalam kondisi tidak menyenangkan, yaitu tahap – tahap
penerimaan diri menurut Kubler – Ross (dalam Anugrahani, 1998) seperti
penyangkalan, rasa marah, tawar menawar, lalu depresi kemudian
penerimaan diri. Tidak semua pelaku melewati tahap respon psikologis
dalam proses penerimaan diri tersebut. Namun untuk sampai pada tahap
respon psikologis proses penerimaan diri tersebut, pelaku melewati
beberapa tahap respon psikologis sebelumnya.
Pada pelaku perpisahan, seumur hidup ia akan menyandang status
terikat perkawinan seumur hidup tapi tanpa pasangan. Bahkan ketika ia
keputusan tersebut adalah kehendak dia sendiri. Maka, penerimaan diri
kemudian menjadi sebuah pilihan agar di dalam menjalani kehidupan tidak
terperangkap pada rasa penyesalan. Sedangkan ketika pelaku tidak
melakukan penerimaan diri maka pelaku akan tetap berada situasi tersebut
tanpa berkembang.
D. Pertanyaan Penelitian
Menurut Creswell (2003) pertanyaan penelitian dalam penelitian
kualitatif terdiri dari:
a. Central Question
Central Question merupakan pertanyaan utama yang
bersifat umum. Dalam penelitian ini Central Question yang
peneliti hendak capai yaitu bagaimana tahapan respon
psikologis dalam proses penerimaan diri pada pelaku
perkawinan katolik yang berpisah dengan kondisi akan tetap
terikat seumur dengan pasangannya.
b. Subquestion
Subqustion merupakan pertanyaan-pertanyaan yang
berfungsi untuk memperjelas dan mengarahkan pada
pertanyaan utama dalam penelitian. Maka, subquestion pada
penelitian ini adalah :
2.2 Faktor apa yang membuat subjek pelaku perpisahan mampu
melewati tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan
diri.
Skema Tahapan Respon Psikologis dalam Proses Penerimaan Diri pada Pelaku Perpisahan Katolik
Pelaku Perpisahan
Kehilangan pasangan akibat
perpisahan
Menghadapi Kenyataan
Pengalaman Tahap Respon Psikologis dalam Proses
Penerimaan Diri
1. Tahap Penyangkalan (Denial
2. Tahap Marah(Anger)
3. Tahap Tawar – menawar
(Bargaining)
4. Tahap Depresi (Depression)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mendefinisikan metode kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Jenis
penelitian yang digunakan yaitu metode deskriptif naratif.
Penelitian ini menggambarkan tahapan proses penerimaan diri pada
pelaku perkawinan katolik yang berpisah. Seperti telah dijelaskan oleh
Suryabrata (2002) bahwa penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat
pencatatan secara sistematis, factual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan
sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Berdasarkan tujuan tersebut, maka
tipe studi naratif dalam penelitian ini adalah Personal Experience Story
(Lyons & Coyle, 2007). Personal experience story memungkinkan untuk
menggambarkan pengalaman tertentu di satu fase kehidupan, di mana dalam
penelitian ini adalah proses respon penerimaan diri pada pelaku perkawinan
katolik yang berpisah.
Menurut Smith (2009), terdapat dua langkah dalam penelitian
pendekatan psikologi naratif. Pertama adalah mengumpulkan narasi melalui
wawancara kisah kehidupan. Kedua adalah menganalisis narasi melalui fase
penting dan mengidentifikasi keterkaitan antar bagian. Selain itu, kemudian
dibuat ringkasan dalam bentuk cerita.
Langkah studi naratif dalam penelitian ini adalah :
a. Membuat daftar pertanyaan yang mengungkap pengalaman sebelum,
selama, dan sesudah perpisahan.
b. Mengumpulkan data
c. Menganalisa kisah informan dan menceritakan kembali dalam story line.
d. Menganalisa tahap respon psikologis dalam proses penerimaan diri.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah deskripsi tahapan respon psikologis
dalam proses penerimaan diri pada pelaku perkawinan Katolik yang
berpisah. Deskripsi tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan
diri ini dapat diketahui dengan cara meminta informan menceritakan
pengalamannya awal sebelum berpisah, saat berpisah dan setelah berpisah.
C. Informan Penelitian
1. Teknik Pemilihan dan Kriteria Informan Penelitian
Menurut Arikunto (1990) subjek penelitian adalah benda, hal atau
organisasi tempat data atau variable penelitian yang dipermasalahkan
melekat. Tidak ada satu pun penelitian yang dapat dilakukan tanpa
adanya subjek penelitian, karena seperti yang telah diketahui bahwa
dipecahkan. Maksud dan tujuan penelitian adalah untuk memecahkan
persoalan yang timbul tersebut. Hal ini dilakukan dengan jalan
mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari informan. Informan
penelitian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tiga orang pelaku
perkawinan Katolik yang berpisah.
2. Prosedur Mendapatkan Informan Penelitian
Pemilihan informan yang dianggap sesuai dengan kerangka kerja
penelitian ini bersifat purposive (subjek bertujuan). Menurut Untuk
mendapatkan informasi yang lengkap dan valid, peneliti mencari
informan penelitian yang memahami permasalahan yang akan diteliti.
Terkait dengan pertimbangan dan karakteristik tertentu dibutuhkan
kriteria. Kriteria tersebut adalah:
1. Melakukan perkawinan secara hukum Gereja Katolik
2. Berpisah dengan pasangan dengan tetap adanya ikatan
perkawinan.
D. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik wawancara mendalam. Lebih rinci teknik tersebut
1. Wawancara Mendalam
Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara
bebas terpimpin yang memuat permasalahan pokok dalam penelitian.
Menurut Bungin (2007) karakteristik utama dari wawancara ini adalah
dilakukan secara bertahap dan pewawancara tidak harus terlibat dalam
kehidupan sosial subjek. Kehadiran pewawancara sebagai peneliti yang
sedang mempelajari objek penelitian dapat dilakukan secara
tersembunyi atau terbuka.
Sebelum melakukan penelitian, peneliti mempersiapkan pertanyaan
untuk memudahkan peneliti dalam melakukan wawancara. Metode
wawancara dipilih oleh peneliti agar mendapatkan data tanpa
membatasi informasi yang diterima dari informan. Beberapa sarana
yang peneliti siapkan guna mendukung proses wawancara yaitu: alat
perekam, buku untuk membuat catatan kecil serta alat tulis yang akan
membantu peneliti membuat catatan kecil.
E. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini,dilakukan analisis data menurut Smith (2009)
yaitu:
1. Mencari tema dalam setiap kasus setelah membaca transkip
2. Mengaitkan tema yang sudah terkumpul dan membaginya
dalam sekuensi awal, tengah, dan akhir lalu menyoroti isu
penting dan mengidentifikasi keterkaitan antar bagian.
3. Menganalisa kisah informan dan menceritakan kembali dalam
story line.
4. Menganalisa tahap respon psikologis dalam proses penerimaan
diri.
F. Verifikasi Penelitian
Dalam melakukan penelitian kualitatif, perlu memastikan bahwa
temuan dan interpretasi tersebut akurat Creswell (2009). Verifikasi
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik member
checking. Member Checking, merupakan salah satu proses mengecek
akurasi data dengan cara konfirmasi terkait hasil penelitian kepada
informan penelitian. Peneliti akan kembali menemui informan serta
membawa laporan akhir yang berisikan tema maupun deskripsi yang sudah
ada dan menanyakan apakah deskripsi yang sudah dibuat oleh peneliti
sudah lengkap dan realistis. Selanjutnya peneliti membuat deskripsi yang
padat tentang hasil penelitan beberapa pengalaman informan dan
menyajikan banyak perspektif mengenai tema, sehingga mendapatkan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian Secara Keseluruhan 1. Informan
Peneliti tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh informan
penelitian. Informan 1 merupakan orang tua dari teman komunitas
peneliti. Sedangkan informan 2 dan informan 3 merupakan rekomendasi
dari teman informan dalam komunitas. Keterlibatan informan dalam
penelitian didasarkan pada kerelaan informan dengan syarat menjaga
kerahasiaan identitas informan.
Sebelum dilaksanakan penelitian, peneliti juga melakukan
wawancara pendahuluan kepada informan untuk memastikan
kesanggupan serta memenuhi persyaratan sebagai informan. Pada
wawancara pendahuluan, peneliti didampingi