• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerimaan diri pada pelaku perkawinan Katolik yang berpisah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerimaan diri pada pelaku perkawinan Katolik yang berpisah."

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

PENERIMAAN DIRI PADA PELAKU PERKAWINAN KATOLIK YANG BERPISAH

Angela Sunya Sankya ABSTRAK

Perkawinan Katolik dilakukan sekali seumur hidup dan tidak dapat terceraikan. Apabila pelaku perkawinan Katolik memutuskan untuk berpisah, maka konsekuensi yang didapatkan adalah tidak diperkenankan menikah lagi dalam lingkup gereja Katolik. Selain itu, harus menghadapi konsekuensi seumur hidup tanpa pasangan. Penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan tahap respon psikologis dalam proses penerimaan diri pada pelaku perkawinan Katolik yang berpisah. Metode penelitian yang digunakan adalah naratif. Pengumpulan data dilakukan lewat wawancara mendalam dengan tiga orang informan. Pemilihan informan dilakukan dengan memilih informan bertujuan. Informan merupakan individu yang pernah melakukan perkawinan secara hukum Gereja Katolik namun berpisah dengan pasangan dengan tetap adanya ikatan perkawinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri adalah penyangkalan, marah, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Selain itu, belum semua informan dapat mencapai tahap proses psikologis penerimaan diri.

(2)

SELF-ACCEPTANCE ON DIVORCED PEOPLE OF CATHOLIC MARRIAGE

Angela Sunya Sankya ABSTRACT

Catholic marriage conducted once in a lifetime and can’t be divorce. If people who have a catholic marriage decided to divorce, then the consequence that they got is that they are probibited from having another marriage within catholic curch. Also, they have to deal with a lifetime consequence of being single for their entire life. This research is trying to describe psychological response stages within self-acceptance proces on people who have a divorced catholic marriage. The research method used is narrative. Data gathering conducted throught deep interview with three informants with purpose. Informants are people who have conduct marriage according to catholic church law but divorced from their couple while still having a marriage bond. The result of the research shows that psychological response stages within self acceptance process are denial, anger, bargaining, depression, and acceptance. Also, not all of the informants could reach the psychological response stage of self-acceptance.

(3)

PENERIMAAN DIRI PADA PELAKU PERKAWINAN KATOLIK YANG BERPISAH

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Angela Sunya Sankya NIM : 119114107

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

MOTTO

(7)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan hasil usaha dan karyaku ini untuk :

Tuhan Yesus Kristus, sumber pengharapan dan kekuatanku Ayah yang dengan kehangatannya tulus mendidik dan menjagaku

Ibu yang mengajarkan arti ketulusan rasa Kakak yang selalu ada dalam apapun keluh kesahku

Simbah putri yang membantu merawatku Keluarga yang tidak bisa saya sebutkan satu demi satu

Aa’yoss yang menjadi sahabat, kakak serta my secret. Sahabat OMK Rayon KP dan sahabat di kampus yang selalu menaruh kasih setiap

(8)
(9)

PENERIMAAN DIRI PADA PELAKU PERKAWINAN KATOLIK YANG BERPISAH

Angela Sunya Sankya ABSTRAK

Perkawinan Katolik dilakukan sekali seumur hidup dan tidak dapat terceraikan. Apabila pelaku perkawinan Katolik memutuskan untuk berpisah, maka konsekuensi yang didapatkan adalah tidak diperkenankan menikah lagi dalam lingkup gereja Katolik. Selain itu, harus menghadapi konsekuensi seumur hidup tanpa pasangan. Penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan tahap respon psikologis dalam proses penerimaan diri pada pelaku perkawinan Katolik yang berpisah. Metode penelitian yang digunakan adalah naratif. Pengumpulan data dilakukan lewat wawancara mendalam dengan tiga orang informan. Pemilihan informan dilakukan dengan memilih informan bertujuan. Informan merupakan individu yang pernah melakukan perkawinan secara hukum Gereja Katolik namun berpisah dengan pasangan dengan tetap adanya ikatan perkawinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri adalah penyangkalan, marah, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Selain itu, belum semua informan dapat mencapai tahap proses psikologis penerimaan diri.

(10)

SELF-ACCEPTANCE ON DIVORCED PEOPLE OF CATHOLIC MARRIAGE

Angela Sunya Sankya ABSTRACT

Catholic marriage conducted once in a lifetime and can’t be divorce. If people who have a catholic marriage decided to divorce, then the consequence that they got is that they are probibited from having another marriage within catholic curch. Also, they have to deal with a lifetime consequence of being single for their entire life. This research is trying to describe psychological response stages within self-acceptance proces on people who have a divorced catholic marriage. The research method used is narrative. Data gathering conducted throught deep interview with three informants with purpose. Informants are people who have conduct marriage according to catholic church law but divorced from their couple while still having a marriage bond. The result of the research shows that psychological response stages within self acceptance process are denial, anger, bargaining, depression, and acceptance. Also, not all of the informants could reach the psychological response stage of self-acceptance.

(11)
(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas

berkat, rahmat serta peyertaanNya yang telah dilimpahkan sehingga penulisan

skripsi yang disusun sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Universitas Sanata Dharma ini dapat terselesaikan dengan baik.

Dalam penulisan skripsi ini tidaklah sedikit sumbang saran dan bimbingan

yang penulis dapatkan dari berbagai pihak, baik sumbangan moral maupun

material. Hal ini penulis sadari bahwa tanpa adanya bantuan tersebut, penulisan

skripsi ini tidak dapat berjalan dengan lancar.

Melalui halaman ini, perkenankan penulis untuk menyampaikan ungkapan

rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah berkenan memberikan bantuan

berupa bimbingan serta pendampingan yang sangat berharga sehingga membantu

terselesaikannya skripsi ini. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogayakarta.

2. Ibu Debri Pristinella, M. Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi sekaligus

Dosen Pembimbing Akademik, yang dengan kesabaran serta perhatiannya

telah meluangkan banyak waktu untuk memberikan bimbingan, masukan,

kritik serta saran yang membangun, sehingga penulisan skripsi dapat

terselesaikan dengan baik.

3. Ibu Dr. Tjito Susana, M. Si serta Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S., M.A. selaku

dosen penguji yang memberikan masukan, kritik serta saran yang bersifat

(13)

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang telah membimbing penulis

selama studi di Fakultas Psikologi.

5. Seluruh staff Sekretariat serta staff Laboratorium Fakultas Psikologi , yang

selalu mendukung dengan pelayanan terbaiknya.

6. Kedua orangtua tercintaku Bapak Macarius Edy Suyanta dan Ibu Primitifa

Ratna Niar Kamdani, terimakasih tak terhingga atas segala dukungan,

cinta, kasih serta doa yang selalu diberikan. Kakak tercintaku Adyapaka

Apatya yang selalu menjadi saudara dalam suka dukaku serta

membimbingku dengan cara uniknya. Simbah putri Fransiska Sarbinah

yang membantu mendidikku hingga sampai saat ini. Om Kardi, bulik

Asih, dek Diaz, dek Agnes, Alexa kecil, bulik Timin, Om Sumar, Dek

Ricky terima kasih. Seluruh saudara yang tidak dapat saya sebutkan satu

demi satu, terima kasih atas dukungannya.

7. Rm FX. Alip, Rm. Bilie serta Diakon Danarto, Diakon Andhika dan Frater

Yayan, terima kasih atas semangat dan dukungan ilmu yang diberikan.

8. Aa’Yossi, teima kasih atas support, dukungan dan kasihnya selama 3

tahun terakhir dan semoga selalu. Sahabatku terkasih Dhika, Nana, Vhirlis,

Pipit, Lindut, Dika terima kasih selalu membantu dalam suka dan dukaku.

Teman– teman satu bimbingan, teman-teman GKC, serta teman kampus

yang telah bersama melewati hari selama perkuliahan. Mbak Astrid yang

memberi semangat serta mensuport dalam mengerjakan skripsi. Terkhusus

bagi saudara, teman, sahabatku OMK Rayon Kulon Progo : Mbak Rima,

(14)

Mas Beny, Erni, Nita, Culis, Bang Yoyok, Brigita Anggit, Trisna, Mas

Eko, Mbak Santi, Atik, Dony Baskara, Dita, Genggo, dan semua yang

tidak dapat saya sebutkan satu demi satu, kalian keluarga yang luar biasa.

9. Semua pihak yang teah membantu segala proses pengerjaan skripsi ini,

terkhusus bagi informan yang dengan kerelaan serta ketulusan hati

membantu. Semoga senantiasa diberkati Tuhan Yesus Kristus.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini terdapat banyak kekurangan

serta kesalahan. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati penulis

memohon sumbang kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir

kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Yogyakarta, 25 Agustus 2016

Penulis

(15)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI (3 DOSEN) ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 9

B. Masalah Penelitian ... 9

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

(16)

2. Faktor- faktor yang memengaruhi Penerimaan Diri ... 12

3. Ciri- ciri Individu yang Menerima Diri ... 15

4. Aspek Penerimaan Diri ... 17

5. Tahap Penerimaan Diri ... 19

6. Manfaat Penerimaan Diri ... 25

B. Perkawinan Katolik ... 26

1. Definisi Perkawinan Katolik dalam Kitab Hukum Kanonik .. 27

2. Perkawinan Katolik yang Mampu Secara Hukum ... 28

3. Perpisahan Pasangan ... 30

C. Kerangka Berfikir... 33

D. Pertanyaan Penelitian ... 36

E. Skema Tahap Respon Proses Penerimaan Diri pada Pelaku Perkawinan Katolik yang Berpisah ... 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 39

A. Jenis Penelitian ... 39

B. Fokus Penelitian ... 40

C. Informan Penelitian ... 40

D. Metode Pengumpulan Data ... 41

E. Metode Analisis Data ... 42

F. Verifikasi Penelitian ... 43

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44

A. Pelaksanaan Penelitian ... 44

1. Deskripsi ... 44

2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan ... 46

3. Analisis Hasil Wawancara Informan I ... 48

a. Sebelum Berpisah (beginning) ... 48

b. Ketika Berpisah (middle) ... 50

c. Setelah Berpisah (end) ... 52

(17)

b) Respon Psikologis Proses Penerimaan Diri ... 56

4. Analisis Hasil Wawancara Informan II ... 60

a. Sebelum Berpisah (beginning) ... 60

b. Ketika Berpisah (middle) ... 60

c. Setelah Berpisah (end) ... 61

a) Berpisah dengan Tetap Adanya Ikatan Perkawinan... 61

b) Respon Psikologis Proses Penerimaan Diri ... 63

5. Analisis Hasil Wawancara Informan III ... 65

a. Sebelum Berpisah (beginning) ... 65

b. Ketika Berpisah (middle) ... 67

c. Setelah Berpisah (end) ... 68

a) Berpisah dengan Tetap Adanya Ikatan Perkawinan... 68

b) Respon Psikologis Proses Penerimaan Diri ... 69

6. Deskripsi hasil………...71

7. Pembahasan………..78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 79

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Inform Consent ...

Lampiran 2. Narasi Informan ...

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yaitu, manusia tidak dapat menjalani

hidup seorang diri. Ia memerlukan orang lain untuk membantu memenuhi

kebutuhan hidupnya. Salah satunya adalah kebutuhan akan rasa mencintai dan

dicintai. Menurut Schutz (1980, dalam Sarwono 1991) kebutuhan akan kasih

sayang merupakan kebutuhan untuk mengembangkan emosional dengan orang

lain. Prinsip dasar kebutuhan akan kasih sayang adalah perasaan disukai atau

dicintai. Salah satu tingkah lakunya adalah berani memilih individu lain menjadi

pasangan hidupnya. Ketika individu telah sampai pada kedewasaan, individu

memiliki hasrat untuk memenuhi kebutuhan akan kasih sayang yaitu salah satunya

dengan cara hidup bersama dalam rumah tangga.

Kehidupan dalam masyarakat tidak bisa melegalkan hidup bersama tanpa

tata cara atau aturan yang jelas. Di dalam masyarakat ada suatu tata hidup

bersama yang mengikat seluruh anggota masyarakat terkait dengan kehidupan

bersama, yaitu adalah perkawinan. Menikah merupakan salah satu pilihan hidup

manusia. Dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 1/1974, bab I, pasal

1 bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan

(20)

suami istri yang mesra yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan

hukumNya, dibangun oleh perjanjian perkawinan atau persetujuan pribadi yang

tak dapat ditarik kembali ikatan suci demi kesejahteraan suami-istri dan anak

maupun masyarakat itu tidak tergantung pada kemauan manusia semata-mata.

Allah sendirilah Pencipta perkawinan, yang mencakup berbagai nilai dan tujuan”

(dikutip dari Kasih Setia dalam Suka-Duka, Pedoman Perkawinan di Lingkungan

Katolik, 1993).

Gereja Katolik memberikan tanda kekudusan kepada calon pasangan

suami-istri yang sudah dibabtis melalui penerimaan Sakramen Perkawinan.

Dengan Sakramen Perkawinan, seorang laki-laki dan seorang perempuan

dihadapkan kepada sebuah ikatan kepada pasangannya seumur hidup dan

mengarah pada kesejahteraan suami-istri, serta kelahiran anak (Kitab Hukum

Kanonik, 1055) untuk setia dalam suka ataupun duka dalam sehat maupun sakit.

Dalam perkawinan, dua individu yang berbeda sifat tinggal bersama dan

seiring perjalanan hidup tentunya muncul konflik dan permasalahan. Konflik

pernikahan terjadi karena masing-masing individu membawa kebutuhan,

keinginan dan latar belakang yang berbeda (Sprey dalam Laswell, 1987).

Finchman (dalam Mawadah 1990) mendefinisikan konflik pernikahan sebagai

keadaan suami-istri yang sedang menghadapi masalah dalam pernikahannya dan

hal tersebut tampak dalam perilaku mereka yang cenderung kurang harmonis.

Ketika mereka mampu untuk menyelesaikan masalah, kehidupan rumah tangga

mereka akan semakin kokoh. Namun jika tidak dapat menyelesaikannya, banyak

(21)

pasangan.

Indonesia menjadi salah satu Negara dengan tingkat perceraian yang

cukup tinggi. Indonesia menduduki peringkat keempat tingkat perceraian tertinggi

di dunia. Dari dua juta pasangan yang melangsungkan perceraian, 10%

diantaranya berakhir pada perceraian. Pada tahun 2000-an 30% perceraian

disebabkan karena suami menceraikan istri. Pada 2005, 68,5% perceraian terjadi

karena istri menggugat cerai suami (Republika, 25 Juni 2011, Dirjen Binmas

Kemenag RI).

Banyaknya masalah yang timbul di dalam rumah tangga. Jika tidak

ditemukan penyelesaiannya, perceraian dipilih sebagai suatu keputusan final.

Dilandasi oleh berbagai alasan yang dianggap rasional, pasangan suami istri tidak

lagi mengindahkan janji suci di depan altar. Pasangan mengesampingkan hakekat

dan tujuan perkawinan secara Katolik yang mengikat pasangan seumur hidupnya.

Sudarto & Wirawan (2000) yang menyatakan bahwa sebelum perceraian, individu

memandang kehidupannya sebagai masa yang menyenangkan. Namun ketika

ketegangan hadir dalam pernikahan dan mulai membahayakan pernikahan,

kehidupan dipandang sebagai suatu kepahitan yang mendalam dan penuh

penderitaan serta perjuangan.

Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang

perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup,

yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum

(22)

Perkawinan Katolik, perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan

memiliki tujuan yaitu mengarah pada kesejahteraan hidup bersama, kelahiran

anak, serta perkawinan Katolik merupakan sakramen dalam Gereja.

Perpisahan dalam keluarga Katolik menjadi klimaks runtuhnya

pengendalian rumah tangga. Perpisahan biasanya diawali dengan ketidakpuasan

pada pasangan, buntunya alur komunikasi, serta hilangnya rasa saling percaya

antara satu dengan yang lain. Kebanyakan perpisahan akan menimbulkan gejolak

amarah bagi pelaku perpisahan serta bagi anggota keluarga yaitu anak.

Dalam wawancara yang dilakukan dengan salah satu anggota Tribunal

(Hakim Gereja) yaitu Rm. AS, pada 12 Agustus 2015 di Yogyakarta, beliau

memaparkan bahwa ada kenaikan kasus perpisahan secara Katolik dalam 5 tahun

terakhir ini. Hal tersebut dikarenakan banyak faktor namun, faktor penyebab

paling umum dalam perpisahan Katolik yaitu masalah ekonomi, KDRT serta

komunikasi khususnya alat telekomunikasi canggih yaitu handphone. Beliau

memaparkan bahwa, perkawinan Katolik hanya dilaksanakan satu kali seumur

hidup dan tidak dapat terpisahkan kecuali oleh maut. Jadi perpisahan Katolik

sebenarnya tidak diperkenankan oleh Gereja kecuali dengan alasan kodrati.

Banyaknya kasus perpisahan Katolik saat ini membuat beliau prihatin khususnya

karena beliau sebagai hakim gereja Katolik haruslah secara manusiawi memediasi

setiap kasus perpisahan yang ada dalam gereja Katolik. Penelitian penerimaan diri

ini dapat menjadi bahan evaluasi untuk dapat menentukan langkah dalam

penangan pastoral bagi mereka yang mengalami perpisahan Katolik.

(23)

tanggal 24 Juli 2016. Beliau memaparkan apabila dalam Katolik, perkawinan

adalah sakramen yang perjanjian perkawinan tidak dapat ditarik kembali.

Sakramen perkawinan Katolik itu permanen dan yang membedakan dengan

keyakinan lain yaitu tidak dapat terceraikan oleh kuasa manusia manapun kecuali

oleh kematian. Perkawinan ratum dan consummatum tidak dapat diputus oleh

kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun selain kematian (KHK 1414).

Menurut Beliau, sebagian besar pelaku perpisahan yang berkonsultasi

adalah sebagai korban atau orang yang tidak menghendaki adanya perpisahan

dalam perkawinannya. Kebanyakan pelaku perpisahan berkonsultasi dan datang

kepada beliau adalah mereka yang mengalami keputusasaan akibat dari

ditinggalkan pasangan. Sebuah contoh yang beliau paparkan adalah beliau

menemani umat pelaku perpisahan yang ditinggalkan oleh suaminya karena

suaminya memiliki hubungan khusus dengan orang lain sehingga berujung pada

pertengkaran serta KDRT dan akhirnya perkawinan tersebut terceraikan dalam

pengadilan. Pemaparan beliau, perkawinan mereka tetap sah dalam Gereja Katolik

dan tetap menjadi suami istri karena perkawinan tidak terceraikan. Pelaku

perpisahan yang sebagai korban tersebut kerap kali datang karena merasa putus

asa, merasa diri lemah dan tidak memiliki semangat dalam menjalani

kehidupannya. Tidak jarang pula ada kasus kegagalan atau perpisahan umat

dengan usia yang masih belia, mereka harus hidup dengan ikatan perkawinan

seumur hidup (Berpisah dengan tetap Adanya Ikatan Perkawinan, Kanon

(24)

psikisnya, untuk dapat melakukan penerimaan diri ke arah yang lebih positif yang

tentunya membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Sebagai orang Katolik, ketika berpisah dari pasangannya tentunya akan

berdampak bagi kehidupan psikologisnya. Hal ini disebabkan karena pelaku

perpisahan harus menerima bila perkawinan Katolik hanya dilaksanakan satu kali

seumur hidup. Oleh karena itu, umat Gereja Katolik yang berpisah dari

pasangannya diharapkan mampu menerima keadaan diri atas perpisahan yang

terjadi dan seumur hidup dalam ikatan perkawinan (Kitab Hukum Kanonik 1151).

Menurut Ryff (1996), penerimaan diri positif adalah keadaan dimana

seorang individu memiliki penilaian positif terhadap dirinya, menerima serta

mengakui segala kelebihan maupun segala keterbatasan yang ada dalam dirinya

tanpa merasa malu atau merasa bersalah terhadap kodrat dirinya. Coleridge

(1997) mengatakan penerimaan diri bukanlah sikap pasrah, tetapi menerima

identitas diri secara positif pandangan tentang diri sendiri dan harga diri tidak

menurun sama sekali, bahkan dapat meningkat. Berdasarkan pendapat dari

beberapa tokoh di atas, penerimaan diri merupakan sikap positif terhadap dirinya

sendiri dengan menerima keadaan dirinya secara tenang. Ia mampu menerima diri

dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Selain itu, ia juga

memiliki kesadaran dan penerimaan penuh terhadap siapa dan apa dirinya sendiri,

Serta menerima keadaan emosionalnya (depresi, marah, takut, cemas, dan

lain-lain) tanpa mengganggu orang lain.

Individu yang mampu menerima keadaan diri dan mampu

(25)

dan mengusahakan tindakan nyata untuk menghadapi dan melewati masa tersebut

karena menyadari bahwa yang dilakukannya akan bermanfaat bagi dirinya di

kemudian hari. Sejalan dengan itu menurut Hurlock (1993) individu yang

memahami perilakunya maka ia akan menyukai dirinya dan merasa orang lain

juga menyukai dengan kualitas yang sama pada dirinya. Individu tersebut akan

menerima dirinya, menyenangi dirinya, dan puas akan dirinya sehingga ia

menganggap dirinya bahagia.

Pandangan individu yang merasa puas akan keadaan dirinya seperti ini

akan membuat individu menerima dirinya secara akurat dan realitis tidak akan

memusuhi dirinya walaupun ia tahu ia bukanlah orang yang sempurna dan karena

itu ia menganggap orang lain juga menerima dirinya (Hurlock, 1999). Keadaan ini

akan memungkinkan individu berbuat yang terbaik bagi dirinya dan memberi

kontribusi bagi terwujudnya pemahaman dan penerimaan diri. Tantangan yang

muncul selama masa sesudah perceraian tidak diapresiasikan sebagai suatu

penderitaan, tetapi sebagai masa yang harus diselesaikan oleh setiap orang yang

melakukan perceraian.

Penelitian sebelumnya yaitu Penerimaan diri pada Janda yang Bercerai

oleh Nurmaeni tahun 2009. Hasil penelitian tersebut memaparkan bahwa

perempuan yang bercerai dan berubah status menjadi janda mengalami perasaan

lega, bingung, berat berpisah, tidak ada teman curhat, sedih, sakit hati, minder dan

malu. Pada penelitian ini, peneliti meneliti pada proses menuju penerimaan diri

(26)

Dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 3 April 2016 di Kulon

Progo, dengan salah seorang pelaku perpisahan Katolik yaitu saudara A, beliau

memaparkan bahwa perpisahan yang terjadi dalam kehidupannya diawali karena

adanya konflik intern dalam rumah tangga dan menimbulkan pertengkaran yang

terus-menerus dengan pasangan dan dalam waktu yang lama. Hal tersebut

membuat ia dan pasangan semakin merasa tidak cocok satu dengan yang lain serta

tercipta suasana yang dingin dalam keluarga. Perpisahan dengan pasangan diambil

sebagai jalan terbaik menyelesaikan konflik. Pasca perpisahan ia harus

beradaptasi dengan hidup yang baru tanpa pasangan. Beliau memaparkan bila siap

tidak siap harus siap membesarkan anak dan menjadi orang tua tunggal. Ketika

memutuskan untuk berpisah, yang ada dalam pikirannya yaitu hanyalah

menyelesaikan konflik dalam rumah tangga. Namun, setelah konflik dengan

pasangan selesai, kini ia dihadapkan dengan acuan perkawinan katolik yang

dilaksanakan hanya satu kali seumur hidup. Maka, beliau memaparkan bahwa

hendaknya dapat menjalani hidup dengan baik, ikhlas hati serta percaya pada

kehendak Tuhan.

Penerimaan diri dalam konteks penelitian ini adalah penerimaan diri dari

pasangan perkawinan Katolik yang telah berpisah. Perkawinan Katolik hanya

dilakukan sekali seumur hidup dan tidak ada perceraian. Oleh karena itu, pelaku

perpisahan menghadapi suatu konsekuensi yaitu seumur hidup hendaknya tidak

diperkenankan lagi untuk menikah dalam lingkup gereja Katolik serta menghadapi

hidup tanpa pasangan. Sikap pelaku yang muncul dari permasalahan tersebut yang

(27)

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti ingin lebih mengetahui bagaimana

gambaran tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri pelaku

perkawinan Katolik yang kemudian berpisah. Hasil penelitian ini diharapkan

dapat membantu pada penerapan hidup individu yang memiliki permasalahan

tentang penerimaan diri berkaitan dengan kondisi kehidupan yang pada awalnya

utuh dalam pasangan namun kini berpisah dengan status sah secara hukum negara

namun tidak sah secara hukum gereja dan seumurhidup terikat dalam perkawinan

Katolik.

B.Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, peneliti mengidentifikasi

masalah secara lebih terperinci, yaitu: perpisahan menjadi alternatif

penyelesaian konflik dari pasangan namun, sekingkali individu tidak siap

dengan resiko dari perpisahan tersebut yaitu harus melakukan penerimaan diri

karna ia akan tetap terikat dalam ikatan perkawinan seumur hidup dan tidak

diperkenankan untuk menikah lagi.

C.Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah, maka dapat dirumuskan masalah yaitu

bagaimana tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri pada

pelaku perkawinan Katolik yang kemudian berpisah?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat tahapan respon psikologis dalam

(28)

F. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

berikut :

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini dapat digunakan dalam pengembangan pengetahuan

khususnya dalam bidang Psikologi Keluarga, serta dapat menjadi referensi

bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat praktis

a) Bagi subjek penelitian

Bagi pelaku agar dapat meningkatkan diri secara positif, meningkatkan

kepercayaan diri, kualitas dan potensi diri kearah yang bermanfaat.

b) Bagi Masyarakat

Bagi masyarakat dapat memberikan sumbangan informasi yang

bermanfaat dalam kaitan dengan penerimaan diri pada pelaku

perkawinan Katolik yang berpisah.

c) Bagi Gereja

Membantu Gereja mengetahui respon proses penerimaan diri, yang

dilakukan setelah terjadi perpisahan dalam rumah tangga, sehingga

(29)

BAB II KAJIAN TEORI

A.Penerimaan Diri 1. Definisi

Menurut Ryff (dalam Wilsa, 1997) penerimaan diri adalah suatu keadaan

dimana seseorang memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri, mengakui

dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk, dan

merasa positif terhadap kehidupan yang dijalani. Hal ini juga didukung oleh

Ryff (dalam Kail & Cavanaugh, 2000) mengenai penerimaan diri sebagai

individu yang memiliki pandangan positif terhadap dirinya, mengakui dan

menerima segi yang berbeda dari dirinya sendiri.

Penerimaan diri berkaitan dengan konsep diri yang positif. Seseorang

dengan konsep diri yang positif dapat memahami dan menerima fakta-fakta

yang begitu berbeda dengan dirinya. Orang dapat menyesuaikan diri dengan

seluruh pengalaman mentalnya sehingga evaluasi tentang dirinya juga positif

(Calhoun dan Acocella,dalam Handayani dkk, 1998).

Hal tersebut didukung oleh pendapat Hjelle & Ziegler (Sari & Nuryoto,

2002) yaitu bahwa seorang individu dengan penerimaan diri memiliki memiliki

toleransi terhadap frustasi atau kelemahan-kelemahan dirinya tanpa harus

menjadi sedih atau marah. Individu ini dapat menerima dirinya sebagai seorang

(30)

adalah memiliki pandangan yang positif tentang diri sendiri, mengakui dan

menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruknya yang ada

pada dirinya, dan memandang positif terhadap kehidupan yang telah

dijalaninya.

Maslow (dalam Hjelle & Ziegler, 1992) penerimaan diri adalah sikap

positif terhadap dirinya sendiri, individu dapat menerima keadaan dirinya

secara tenang dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Individu dapat

bebas dari rasa bersalah, rasa malu, dan rendah diri karena keterbatasan diri

serta bebas dari kecemasan akan adanya penilaian dari orang lain terhadap

keadaan dirinya.

Allport (dalam Hjelle & Ziegler, 1992) berpendapat bahwa penerimaan

diri merupakan sikap yang positif ketika individu menerima diri sebagai

seorang manusia, ia dapat menerima keadaan emosionalnya (depresi, marah,

takut, cemas, dan lain-lain) tanpa mengganggu orang lain.

Jadi dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri merupakan keadaan di

mana seorang individu memiliki sikap positif terhadap dirinya dan mampu

mengolah segala kelebihan serta kekurangan yang ada dalam dirinya termasuk

mengolah bermacam emosi yang ada dalam dirinya. Individu yang mampu

menerima kekurangan dirinya sebagaimana mampu menerima kelebihannya.

2. Faktor – Faktor yang mempengaruhi Penerimaan Diri

Menurut Ratnawati (1990) faktor yang mempengaruhi penerimaan diri

seseorang adalah jenis kelamin. Jenis kelamin akan mempengaruhi penerimaan

(31)

dinilai memiliki penerimaan diri yang lebih positif bila dibandingkan dengan

wanita. Hal ini karena wanita relatif lebih sensitif serta lebih menitikberatkan

pada afektif daripada pria.

Menurut Hurlock (dalam Anugrah, 1974) ada beberapa kondisi yang

mempengaruhi penerimaan diri dari seseorang, antara lain :

1. Pemahaman diri

Memahami diri ditandai dari perasaan tulus, nyata, dan

jujur menilai diri sendiri. Kemampuan seseorang untuk

memahami dirinya tergantung pada kapasitas intelektualnya dan

kesempatan menemukan dirinya. Ia dapat melihat dirinya sama

dengan apa yang dilihat orang lain pada dirinya, individu tidak

hanya mengenal dirinya tetapi juga menyadari kenyataan dirinya.

Pemahaman dan penerimaan diri tersebut berjalan beriringan.

Semakin paham individu mengenal dirinya, maka semakin besar

individu menerima dirinya dan akan melihat dirinya dari waktu ke

waktu secara konstan serta tidak mudah berubah-ubah.

2. Harapan yang realistis

Harapan yang realistis akan membawa rasa puas pada diri

seseorang. Perasaan puas terhadap diri sendiri lebih lanjut akan

membuahkan penerimaan diri. Tercapainya harapan yang realistis

menuntut seseorang untuk merencanakan sendiri dan tidak

(32)

seseorang perlu menyadari kelemahan- kelemahannya sekaligus

kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Hal ini juga tergantung

pada seberapa realistis harapan terhadap dirinya dan seberapa

besar ia memahami kekuatan dan kelemahannya.

3. Perilaku sosial yang menyenangkan

Seseorang yang mendapatkan sikap yang menyenangkan

dari masyarakat lebih dapat menerima dirinya. Tiga hal yang

mengarah kepada evaluasi sosial yang menyenangkan adalah

tidak adanya prasangka terhadap individu dan anggota

keluarganya, memiliki keahlian sosial dan mau untuk menerima

anggota kelompok.

4. Adanya kondisi emosi yang menyenangkan

Stress secara emosional dapat mengarah kepada

ketidakseimbangan fisik dan psikologis. Ketidakseimbangan fisik

yang diikuti oleh stress emosional dapat membuat seseorang

bekerja dengan kurang efisien, mengakibatkan kelelahan, dan

bereaksi secara negatif kepada orang lain.

Tidak adanya stres dapat membuat seseorang melakukan

yang terbaik untuk pekerjaannya. Selain itu, seseorang dapat

menjadi lebih rileks dan bahagia. Kondisi sepeti ini berkontribusi

kepada evaluasi sosial yang baik yang menjadi dasar bagi evaluasi

(33)

3. Ciri- ciri Individu yang Menerima Diri

Menurut Allport (dalam Hjelle & Ziegler, 1992) ciri- ciri orang yang

dapat menerima diri adalah :

a. Memiliki gambaran yang positif tentang dirinya.

b. Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan rasa frustasi dan

kemarahannya.

c. Dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka

apabila orang lain memberi kritik.

d. Dapat mengatur keadaan emosi mereka (depresi, marah).

Jersid (dalam Sari & Nuryoto, 2002) memaparkan bahwa ciri-ciri

individu yang menerima diri yaitu :

a. Memiliki penghargaan yag realistis terhadap kelebihan- kelebihan

dirinya.

b. Memiliki keyakinan-keyakinan akan standar-standar dan

prinsip-prinsip dirinya tanpa harus diperbudak oleh opini-opini individu

lainnya.

c. Memiliki kemampuan untuk memandang dirinya secara realistis

tanpa menjadi malu akan keadaannya.

d. Mengenali kelebihan - kelebihan dirinya dan bebas

memanfaatkannya.

(34)

f. Memiliki spontanitas dan rasa tanggung jawab dalam dirinya.

g. Menerima potensi dirinya tanpa menyalahkan dirinya atas kondisi

yang berada di kontrol mereka.

h. Tidak melihat diri mereka sebagai individu yang harus dikuasai

rasa marah atau takut atau menjadi tidak berarti karena

keinginan-keinganannya tetapi dirinya bebas dari ketakutan untuk berbuat

kesalahan.

i. Merasa memiliki hak untuk memiliki ide-ide dan keinginan-

keinginan serta harapan-harapan tertentu.

j. Tidak merasa iri akan kepuasan-kepuasan yang belum mereka

raih.

Sheerer dalam (Sugoto dan Esthy, 1998) berpendapat bahwa ciri –

ciri penerimaan diri yang positif yaitu :

a. Memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menjalani

kehidupan.

b. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang

sederajat dengan individu lainnya.

c. Menyadari dan tidak merasa malu akan keadaan dirinya.

d. Menempatkan diri sebagaimana manusia lain sehingga individu

lain dapat menerima dirinya.

e. Bertanggungjawab atas segala perbuatannya.

(35)

g. Mempercayai prinsip-prinsip atau standar hidupnya tanpa harus

diperbudak oleh pendapat individu lain.

h. Tidak mengingkari atau merasa bersalah atas dorongan-dorongan

atau emosi-emosi yang ada pada dirinya.

Chaplin (2005) mengatakan bahwa ciri-ciri penerimaan diri yang

positif adalah :

a. Mampu menerima tanggung jawab terhadap perilakunya.

b. Mempunyai keyakinan akan kemampuan untuk menghadapi

kebutuhan.

c. Memiliki pandangan potitif tentang diri.

d. Menerima kelemahan dan kelebihan yang ada.

Berdasar pada pendapat beberapa ahli, penerimaan diri yang positif

adalah :

a. Mampu menerima kelebihan dan kekurangan dirinya.

b. Mampu memahami serta mengolah emosinya dengan baik.

c. Mampu menghadapi masalah kehidupannya.

d. Mampu bertanggungjawab atas pilihan yang dilakukan.

4. Aspek Penerimaan Diri

Pada umumnya, individu dengan penerimaan diri yang baik akan

(36)

menerima aspek-aspek dalam dirinya secara positif. Grinder (dalam

Parista, 2008) menjelaskan bahwa aspek-aspek penerimaan diri meliputi :

a) Aspek Fisik

Penerimaan diri secara fisik meliputi kepuasan individu terhadap

bagian-bagian tubuh dan penampilan fisik secara keseluruhan.

Penerimaan diri secara fisik menggambarkan evaluasi dan penilaian

diri terhadap penampilannya, apakah penampilannya menyenangkan

dan memuaskan untuk diterima atau tidak.

b) Aspek Psikis

Aspek psikis meliputi pikiran, emosi dan perilaku individu. Individu

yang dapat menerima dirinya adalah individu yang secara keseluruhan

memiliki keyakinan akan kemampuan diri dalam menghadapi tuntutan

lingkungan.

c) Aspek Sosial

Aspek sosial meliputi pikiran dan perilaku individu terhadap orang lain

dan masyarakat. Individu yang menerima dirinya secara sosial akan

memiliki keyakinan bahwa dirinya sederajat dengan orang lain

sehingga dapat menempatkan diri dalam masyarakat.

d) Aspek Moral

Perkembangan moral dalam diri dipandang sebagai suatu proses yaitu

mampu mengambil keputusan secara bijak serta mampu

(37)

diambil berdasarkan konteks sosial yang ada dalam masyarakat

(Grinder dalam Kinayungan, 2008).

5. Tahap Penerimaan Diri

a) Tahap penerimaan diri secara umum

Proses seorang individu untuk dapat menerima dirinya tidak dapat muncul

begitu saja, melainkan terjadi melalui serangkaian proses secara bertahap.

Menurut Germer (2009), tahapan penerimaan diri terjadi dalam 5 fase,

antara lain:

1. Penghindaran (Aversion)

Pertama-tama, reaksi naluriah seorang individu jika dihadapkan

dengan perasaan tidak menyenangkan (uncomfortable feeling) adalah

menghindar. Contohnya kita selalu memalingkan pandangan kita saat

kita melihat adanya pemandangan yang tidak menyenangkan. Bentuk

penghindaran tersebut dapat terjadi dalam beberapa cara, dengan

melakukan pertahanan, perlawanan, atau perenungan.

2. Keingintahuan (Curiosity)

Setelah melewati masa aversion, individu akan mengalami adanya

rasa penasaran terhadap permasalahan dan situasi yang mereka hadapi

sehingga mereka ingin mempelajari lebih lanjut mengenai

permasalahannya tersebut walaupun hal tersebut membuat mereka

(38)

Pada tahap ketiga ini, individu akan menahan perasaan tidak

menyenangkan yang mereka rasakan sambil berharap hal tersebut

akan hilang dengan sendirinya.

4. Membiarkan Begitu Saja (Allowing)

Setelah melalui proses bertahan akan perasaan tidak menyenangkan

telah selesai, individu akan mulai membiarkan perasaan tersebut

datang dan pergi begitu saja. Individu secara terbuka membiarkan

perasaan itu mengalir dengan sendirinya.

5. Persahabatan (Friendship)

Seiring dengan berjalannya waktu, individu akan mulai bangkit dari

perasaan tidak menyenangkan tadi dan mencoba untuk dapat memberi

penilaian atas kesulitan tersebut. Bukan berarti ia merasakan

kemarahan, melainkan individu dapat merasa bersyukur atas manfaat

yang didapatkan berdasarkan situasi ataupun emosi yang hadir.

b) Tahap Penerimaan Diri dalam kondisi tidak menyenangkan, yaitu : Tahap – tahap penerimaan diri menurut Kubler – Ross (dalam Anugrahani,

1998) :

a. Tahap 1

Pada tahap ini seseorang mengalami perasaaan shock/kaget,

melakukan penyangkalan terhadap kondisi yang dialami sehingga

memungkinkan orang tersebut mengasingkan dirinya sendiri.

(39)

Tahap ini memunculkan perasaan marah dan cenderung melakukan

proyeksi. Hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian atau

perhatian yang berlebih dari orang terdekat terhadap kondisinya,

harapan tidak sesuai dengan kenyataan, adanya perbedaan dengan

kondisi yang dulu dan sekarang serta ada penolakan-penolakan.

Dalam tahap ini, selanjutnya juga menimbulkan perasaan bersalah

yang diakibatkan oleh sikap menyalahkan diri sendiri karena

dianggap sebagai penyebab yang membuat diri mengalami suatu

hal buruk atau karena kelemahan yang dimiliki.

c. Tahap 3

Tahap ketiga seseorang mengalami pengalaman religiusitas dengan

Tuhan. Ada proses tawar menawar dimana seseorang itu berjanji

untuk bertingkah laku baik asalkan permintaannya dipenuhi.

Namun pada kenyataannya janji tidak selalu dipenuhi dan terus

menuntut permintaan yang lainnya. Memiliki perjanjian dengan

Tuhan ataupun dengan orang lain di sekitarnya. Di tahap ketiga ini

memungkinkan munculnya perasaan bersalah, ketakutan, atau

merasa dihukum karena kesalahannya.

d. Tahap 4

Terdapat 2 jenis depresi pada tahap ini, yaitu :

- Depresi reaktif : keinginan untuk mengungkapkan banyak

(40)

- Depresi preparation : hanya ada sedikit atau bahkan tidak

ada reaksi secara verbal melainkan lebih ke non verbal

seperti : sentuhan, ingin ditemani.

e. Tahap 5

Munculnya sikap penerimaan terhadap kondisi yang dialami.

Merasakan kedamaian, sudah dapat melalui tahap-tahap

sebelumnya dengan baik sehingga tidak akan merasakan depresi

maupun marah terhadap kondisinya.

Respon psikologis yang dialami seseorang karena kehilangan oleh

Kubler-Ross (1998) dikemukakan oleh teori “The Five stages of Grief”.

Teori ini membagi respon psikologis dalam lima tahap yaitu,

penyangkalan (denial), marah (anger), tawar-menawar (bargaining),

depresi (depression) dan penerimaan (acceptance). Kelima tahap respons

psikologis ini sering diidentikkan dengan lima tahap model duka cita yang

disebabkan oleh proses kematian. Namun akhirnya berkembang tidak

hanya sebatas itu, lima tahap respon psikologis ini juga bisa digunakan

untuk mengidentifikasi individu pasca pemutusan hubungan kerja, adanya

bencana sehingga terpaksa harus mengungsi, kehilangan anggota tubuh,

hukuman, kebangkrutan, korban kejahatan atau kriminal atau

keputusasaan. Teori ini berkembang lebih luas dan dapat digunakan untuk

memahami reaksi pasca kejadian traumatik yang dialami seseorang.

(41)

Reaksi pertama individu adalah terkejut, tidak percaya dan

menyangkal bahwa kehilangan itu benar-benar terjadi

(Suliswati, 2005). Secara sadar maupun tidak sadar seseorang

yang berada dalam tahap ini menolak fakta, informasi dan

sesuatu yang berhubungan dengan hal yang dialaminya. Pada

tahap ini seseorang tidak mampu berpikir apa yang seharusnya

dia lakukan untuk keluar dari masalah. Dia tidak siap

menerima kondisinya (Kozier, 2004). Oleh karena tahap

pengingkaran merupakan tahap yang tidak nyaman dan situasi

yang menyakitkan ( French, 1992).

Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini berupa keletihan,

kelemahan, pucat, mual, diare, sesak nafas, detak jantung cepat,

manangis, gelisah (Suliswati, 2005).

2. Tahap Marah (Anger)

Kemarahan yang dialami seseorang dapat diungkapkan dengan

berbagai cara. Individu mungkin menyalahkan dirinya sendiri

dan atau orang lain atas apa yang terjadi padanya, serta pada

lingkungan tempat dia tinggal. Pada kondisi ini, individu tidak

memerlukan nasehat, baginya nasehat adalah sebuah bentuk

pengadilan (judgement) yang membuatnya lebih terganggu.

Reaksi fisik yang sering terjadi pada tahap ini antara lain wajah

(42)

3. Tahap Tawar-menawar (bargaining)

Pada tahap ini seseorang berfikir seandainya ia dapat

menghindari kehilangan itu. Reaksi yang sering muncul adalah

dengan mengungkapkan perasaan bersalah atau ketakutan pada

dosa yang pernah dilakukan (Kozier, 2004). Seringkali

seseorang yang berada pada tahap ini berusaha tawar menawar

dengan Tuhan agar merubah apa yang telah terjadi supaya tidak

menimpanya. Sering juga dinyatakan dengan kata-kata “kenapa

harus terjadi pada keluarga saya”. Tahap tawar-menawar yang

dilakukan seseorang tidak memberikan solusi apapun bagi

permasalahan yang dia hadapi.

4. Tahap Depresi (Depression)

Pada tahap ini individu mengalami disorganisasi dalam batas

tertentu dan merasa bahwa mereka tidak mampu melakukan

tugas yang di masa lalu dilakukan dengan sedikit kesulitan

(Niven, 2002). Individu sering menunjukkan sikap menarik

diri, tidak mau berbicara, takut, perasaan tidak menentu dan

putus asa. Seseorang yang berada pada tahap ini setidaknya

sudah mulai menerima apa yang terjadi padanya adalah

kenyataan yang memang harus dihadapi (Chapman, 2006).

Gejala fisik yang sering muncul adalah menolak makan, susah

tidur, letih dan libido menurun. (Suliswati, 2005)

(43)

Pada tahap ini individu akan menyadari bahwa hidup mereka

terus berlanjut dan mereka harus mencari makna baru dari

keberadaan mereka. Pikiran yang selalu terpusat pada objek

atau orang yang hilang akan mulai berkurang. Individu telah

menerima kenyataan kehilangan, gambaran tentang objek mulai

dilepaskan dan secara bertahap perhatian akan beralih pada

objek yang baru (Suliswati, 2005).

6. Manfaat Penerimaan Diri

Menurut Supratiknya (1995) menerima diri secara positif

ditunjukkan dari sikap penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri dan

lawannya sehingga tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri. Penerimaan

diri berkaitan dengan kerelaan individu untuk membuka atau

mengungkapkan aneka pikiran, perasaan, dan reaksi kita terhadap orang

lain (kesehatan psikologis individu, serta penerimaan individu terhadap

orang lain).

Calhoun dan Accocela (1990) berpendapat bahwa penerimaan diri

yang positif berkaitan dengan konsep diri yang positif. Seseorang yang

memiliki konsep diri yang positif dapat memahami dan menerima

fakta-fakta yang berbeda antara harapan dan realitas diri. Individu yang

bersangkutan tetap mampu menyesuaikan diri dengan seluruh pengalaman

(44)

Menurut Roger (dalam Handayani 1998) penerimaan diri dapat

dicapai apabila real self dalam keadaan congruence dengan ideal self.

Dengan keadaan tersebut, individu telah menjadi diri sendiri karena ia

dapat menyelaraskan harapan akan dirinya dengan keadaan diri yang

sesungguhnya.

Orang yang dapat menerima diri memiliki tingkat kecemasan yang

lebih rendah. Individu tidak perlu cemas akan keterbatasannya karena ia

mengetahui bagaimana menghadapi keterbatasan tersebut. Kritikan dari

orang lain merupakan suatu alarm untuk semakin mengenali diri. Kritikan

tersebut tidak membuat diri merasa semakin kecil dan tak berdaya

sehingga individu tidak perlu merasa cemas ( Sugoto dan Eshty, 1998).

Berdasarkan pendapat para tokoh di atas, peneliti menyimpulkan

bahwa penerimaan diri merupakan kemampuan seorang individu untuk

mengetahui, menerima, dan mengembangkan dirinya. Individu yang

mampu menerima diri secara positif yaitu: percaya diri, merasa diri

berharga, berprinsip, bebas dan spontan, mengembangkan diri,

B. Perkawinan Katholik

Menurut Kitab Hukum Kanonik, perkawinan merupakan hidup

berkeluarga dalam suatu ikatan dan merupakan cara hidup yang sangat

lazim dan normal bagi kebnyakan orang, termasuk di dalamnya

orang-orang yang telah dibabtis secara Katolik atau diterima dalam Gereja

(45)

1. Definisi perkawinan Katolik menurut Ajaran Gereja Katolik dimuat dalam Kitab Hukum Kanonik.

Bagian yang menyebutkan mengenai perkawinan katolik terdapat

dalam :

Kanon 1055

1. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan

seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan

(consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada

kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan

pendidikan anak, antara orang-orang yang dibabtis, oleh Kristus Tuhan

diangkat ke martabat sakramen.

2. Karena itu antara orang-orang yang dibabtis, tidak dapat ada kontrak

perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.

Kanon 1057

1. Kesepakatan pihak-pihak yang dinyatakan secara legitim antara

orang-orang yang meurut hukum mampu, membuat perkawinan,

kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun.

2. Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya

seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan

saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian

(46)

2. Perkawinan Katolik yang mampu secara hukum menurut Ajaran Gereja Katolik dimuat dalam Kitab Hukum Kanonik.

1. Kodrati Kanon 1083

1. Laki-laki sebelum berumur genap enam belas tahun, dan

perempuan sebelum berumur genap empat belas tahun, tidak dapat

melangsungkan perkawinan yang sah.

2. Konferensi para Uskup berwenang penuh menetapkan usia yang

lebih tinggi untuk merayakan perkawinan secara licit.

Kanon 1084 Impotensi untuk melakukan persetubuhan yang mendahului (antecedens) perkawinan yang bersifat tetap

(perpetua), entah dari pihak laki-laki atau perempuan, entah

bersifat mutlak atau relatif, menyebabkan perkawinan tidak sah

menurut kodratnya sendiri.

Kanon 1085

Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang

yang terikat perkawinan sebelumnya, meskipun perkawinan itu

belum consummatum.

2. Gerejawi

Kanon 1086 Perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya dan

tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan yang

(47)

Kanon 1087 tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci.

Kanon 1088 tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang terikat kaul kekal publik kemurnian dalam suatu

tarekat religious.

Kanon 1089 antara laki-laki dan perempuan yang diculiknya atau sekurang-kurangnya ditahan dengan maksud untuk dinikahi, tidak

dapat ada perkawinan, kecuali bila kemudian setelah perempuan itu

dipisahkan dari penculiknya serta berada di tempat yang aman dan

merdeka, dengan kemauan sendiri memilih perkawinan itu.

Kanon 1090 Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang dengan maksud untuk menikahi orang tertentu

melakukan pembunuhan terhadap pasangan orang itu atau terhadap

pasangannya sendiri.

Kanon 1091 Tidak sahlah perkawinan antara mereka semua yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan

kebawah, baik yang sah maupun yang natural.

Kanon 1092 Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat manapun.

Kanon 1093 Halangan kelayakan publik timbul dari perkawinan tidak sah setelah terjadi hidup bersama atau dari konkubinat yang

(48)

garis lurus tingkat pertama antara pria dengan orang yang

berhubungan darah dengan wanita dan sebaliknya.

Kanon 1094 tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi

dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat kedua.

3. PERPISAHAN PASANGAN

Menurut ajaran gereja, setiap perkawinan mempunyai sifat atau

karakter tak-terceraikan (indissolubilis). Namun dalam sejarah

yurisprudensi kanonik, kelihatan bahwa dalam keadaan dan dengan

syarat-syarat tertentu Gereja mengizinkan pemutusan ikatan nikah

yang tidak sekaligus ratum dan consummatum. Dalam hal ini, Gereja

menerapkan prinsip kanonik umum bahwa secara intrinsik perkawinan

tidak dapat diputuskan atas kehendak dan keputusan pasangan sendiri;

namun secara ekstrinsik- kecuali ratum et consummatum – dapat

diputuskan oleh kuasa Gereja yang berwenang sesuai dengan

ketentuan hukum yang ada.

Artikel 1 Pemutusan Ikatan

Kanon 1141 Perkawinan ratum dan consummatum tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun

(49)

Kanon 1142 Perkawinan non-consummatum antara orang-orang yang telah dibabtis atau antara pihak dibabtis dengan pihak tidak

dibabtis, dapat diputus oleh Paus atas alasan yang wajar, atas

permintaan kedua pihak atau salah seorang dari antara mereka,

meskipun pihak yang lain tidak menyetujuinya.

Kanon 1143 Perkawinan yang dilangsungkan oleh dua orang tidak dibabtis diputus berdasarkan privilegium paulinum demi iman

pihak yang telah menerima babtis, oleh kenyataan bahwa ia yang

telah dibabtis tersebut melangsungkan perkawinan baru, asalkan

yang tidak dibabtis pergi.

Kanon 1145 1. Interpelasi hendaknya pada umumnya dilakukan atas otoritas Ordinaris wilayah dari pihak yang bertobat; kepada

pihak yang lain, Ordinaris itu dapat memberikan tenggang waktu

untuk menjawab, jika ia memintanya, tetapi dengan peringatan

bahwa jika tenggang waktu itu lewat tanpa dimanfaatkan, maka

sikap diam itu dianggap sebagai jawaban negatif.

Artikel 2 Berpisah dengan tetap Adanya Ikatan Perkawinan

Kanon 1151-1155 membicarakan perpisahan perkawinan secara tidak sempurna, dalam arti bahwa ikatan perkawinan sendiri masih

tetap ada karena yang dipisahkan hanyalah kebersamaan pasangan

(50)

Kanon 1151 Suami-istri mempunyai kewajiban dan hak untuk memelihara hidup bersama perkawinan, kecuali ada alasan legitim

yang membebaskan mereka.

Kanon 1152 1. Sangat dianjurkan agar pasangan, tergerak oleh cintakasih kristiani dan prihatin akan kesejahteraan keluarga, tidak

menolak mengampuni pihak yang berzinah dan tidak memutus

kehidupan perkawinan. Namun jika ia tidak mengampuni

kesalahannya secara jelas atau diam-diam, ia berhak untuk

memutus hidup bersama perkawinan, kecuali ia menyetujui

perzinahan itu atau menyebabkannya atau ia sendiri juga berzinah.

Kanon 1153 1. Jika salah satu pasangan menyebabkan bahaya besar bagi jiwa atau badan pihak lain atau anaknya, atau membuat

hidup bersama terlalu berat, maka ia memberi alasan legitim

kepada pihak lain untuk berpisah dengan keputusan Ordinaris

wilayah, dan juga atas kewenangannya sendiri, bila penundaan

membahayakannya.

Kanon 1154 Bila terjadi perpisahan suami-istri, haruslah selalu diperhatikan dengan baik sustentasi dan pendidikan yang

semestinya bagi anak-anak.

Kanon 1155 Terpujilah bila pasangan yang tak bersalah dapat menerima kembali pihak yang lain untuk hidup bersama lagi;

(51)

Perpisahan ini tetap mempertahankan ikatan perkawinan.

Oleh karena itu, perpisahan ini tidak sempurna dan dapat bersifat :

- Total (menyangkut keseluruhan hidup perkawinan) atau parsial

(hanya pisah ranjang, atau pisah meja makan, atau pisah

kediaman, atau meliputi ketiganya).

- Tetap (untuk batas waktu yang tidak ditentukan atau

selamanya) atau sementara waktu(hanya untuk kurun waktu

tertentu, missal satu tahun)

- Atas inisiatif kedua belah pihak atau inisiatif salah satu pihak

saja

- Atas prakarsa sendiri atau atas izin kuasa gerejawi yang

berwenang (misalnya, Ordinaris wilayah atau tribunal

diosesan)

- Dapat disebabkan oleh perbuatan zina oleh salah satu pasangan

atau karena sebab-sebab lain.

C. Kerangka Berfikir

Pernikahan menjadi tujuan hidup setiap pasangan. Bersatunya

pasangan dalam ikatan perkawinan dan membentuk rumah tangga dengan

segala pemenuhan harapan menjadi impian sebuah keluarga. Pada

pasangan perkawinan Katolik, mengucapkan janji perkawinan di depan

(52)

diulangi. Gereja Katolik tidak memperkenankan adanya perceraian pada

pasangan yang telah menikah Katolik. Perjanjian (foedus) perkawinan,

dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara

mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri

kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta

kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibabtis, oleh

Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen (KHK 1055).

Dalam perjalanan perkawinan, pasangan mengenal dan menjalani

baik dan buruk, suka dan duka perkawinan. Buruk dan dukanya

perkawinan seringkali menjadi pemicu konflik yang ada dalam rumah

tangga. Ketika pasangan siap dengan kekurangan pasangannya maka

konflik dapat diredam. Namun, ketika pasangan tidak siap akan

kekurangan pasangannya maka konflik rumah tangga dapat terjadi.

Konflik dalam perkawinan yang terjadi berulang dan dalam waktu

yang tidak singkat mengurangi keharmonisan dalam perkawinan. Ketika

menghadapi permasalahan yang besar banyak pelaku pernikahan yang

kemudian memutuskan untuk melakukan perceraian dengan pasangan.

Namun, gereja Katolik tidak menghendaki adanya perceraian dengan kata

lain istilah dalam gereja yaitu hanya ada perpisahan. Perkawinan ratum

dan consummatum tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan

atas alasan apapun selain kematian (KHK 1141).

(53)

Perpisahan menjadi keputusan untuk menyelesaikan konflik

dengan pasangan. Namun, setelah perpisahan terjadi maka pelaku harus

siap bila seumur hidup harus dijalani tanpa adanya pasangan. Oleh karena

perkawinan dalam Katolik hanya dilaksanakan satu kali seumur hidup.

Pelaku dihadapkan dengan situasi tersebut maka, pelaku hendaknya

melakukan penerimaan diri dan menjalani hidup selanjutnya tanpa

pasangan.

Ketidaksiapan pasangan untuk berpisah seringkali menjadikan

individu menghadapi frustasi dan depresi. Segelintir individu yang dapat

menerima keputusan perpisahan dalam waktu yang singkat. Orang dapat

menyesuaikan diri dengan seluruh pengalaman mentalnya sehingga

evaluasi tentang dirinya juga positif (Calhoun dan Acocella,dalam

Handayani dkk, 1998).

Menjadi sebuah tantangan kehidupan di mana Gereja Katolik

menghendaki individu hanya dapat menikah satu kali seumur hidup.

Artinya, ketika seorang individu melakukan perpisahan dengan

pasangannya maka individu tersebut sudah tidak dapat menikah lagi dalam

perkawinan Katolik. Menjadi konflik dalam diri individu untuk melakukan

penerimaan diri. Individu kehilangan pasangan walaupun tetap terikat

dalam ikatan perkawinan dan tidak dapat menikah dengan orang lain lagi

dalam gereja Katolik.

(54)

diri, akan terasa berat bagi seseorang yang kehilangan pasangan dan tetap

terikat dalam ikatan perkawinan. Pelaku perpisahan harus menerima

kenyataan kehilangan pasangan, kemudian pelaku perpisahan melalui

tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri setelah

menghadapi tahapan-tahapan tersebut, barulah pelaku sampai pada rasa

kedamaian dan melakukan penerimaan diri atas apa yang ia alami.

Tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri tidaklah

mudah oleh karena dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Pada pelaku

perpisahan Katolik, selain kehilangan pasangan pelaku juga menghadapi

kenyataan bila ke depan tidak dapat menikah lagi dalam gereja Katolik.

Penerimaan diri dibutuhkan dalam kenyataan ini, agar kelangsungan hidup

pelaku perpisahan dapat lebih positif.

Penerimaan diri pelaku perpisahan akan menimbulkan respon

penerimaan diri dalam kondisi tidak menyenangkan, yaitu tahap – tahap

penerimaan diri menurut Kubler – Ross (dalam Anugrahani, 1998) seperti

penyangkalan, rasa marah, tawar menawar, lalu depresi kemudian

penerimaan diri. Tidak semua pelaku melewati tahap respon psikologis

dalam proses penerimaan diri tersebut. Namun untuk sampai pada tahap

respon psikologis proses penerimaan diri tersebut, pelaku melewati

beberapa tahap respon psikologis sebelumnya.

Pada pelaku perpisahan, seumur hidup ia akan menyandang status

terikat perkawinan seumur hidup tapi tanpa pasangan. Bahkan ketika ia

(55)

keputusan tersebut adalah kehendak dia sendiri. Maka, penerimaan diri

kemudian menjadi sebuah pilihan agar di dalam menjalani kehidupan tidak

terperangkap pada rasa penyesalan. Sedangkan ketika pelaku tidak

melakukan penerimaan diri maka pelaku akan tetap berada situasi tersebut

tanpa berkembang.

D. Pertanyaan Penelitian

Menurut Creswell (2003) pertanyaan penelitian dalam penelitian

kualitatif terdiri dari:

a. Central Question

Central Question merupakan pertanyaan utama yang

bersifat umum. Dalam penelitian ini Central Question yang

peneliti hendak capai yaitu bagaimana tahapan respon

psikologis dalam proses penerimaan diri pada pelaku

perkawinan katolik yang berpisah dengan kondisi akan tetap

terikat seumur dengan pasangannya.

b. Subquestion

Subqustion merupakan pertanyaan-pertanyaan yang

berfungsi untuk memperjelas dan mengarahkan pada

pertanyaan utama dalam penelitian. Maka, subquestion pada

penelitian ini adalah :

(56)

2.2 Faktor apa yang membuat subjek pelaku perpisahan mampu

melewati tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan

diri.

Skema Tahapan Respon Psikologis dalam Proses Penerimaan Diri pada Pelaku Perpisahan Katolik

Pelaku Perpisahan

Kehilangan pasangan akibat

perpisahan

Menghadapi Kenyataan

Pengalaman Tahap Respon Psikologis dalam Proses

Penerimaan Diri

1. Tahap Penyangkalan (Denial

2. Tahap Marah(Anger)

3. Tahap Tawar – menawar

(Bargaining)

4. Tahap Depresi (Depression)

(57)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mendefinisikan metode kualitatif

sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Jenis

penelitian yang digunakan yaitu metode deskriptif naratif.

Penelitian ini menggambarkan tahapan proses penerimaan diri pada

pelaku perkawinan katolik yang berpisah. Seperti telah dijelaskan oleh

Suryabrata (2002) bahwa penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat

pencatatan secara sistematis, factual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan

sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Berdasarkan tujuan tersebut, maka

tipe studi naratif dalam penelitian ini adalah Personal Experience Story

(Lyons & Coyle, 2007). Personal experience story memungkinkan untuk

menggambarkan pengalaman tertentu di satu fase kehidupan, di mana dalam

penelitian ini adalah proses respon penerimaan diri pada pelaku perkawinan

katolik yang berpisah.

Menurut Smith (2009), terdapat dua langkah dalam penelitian

pendekatan psikologi naratif. Pertama adalah mengumpulkan narasi melalui

wawancara kisah kehidupan. Kedua adalah menganalisis narasi melalui fase

(58)

penting dan mengidentifikasi keterkaitan antar bagian. Selain itu, kemudian

dibuat ringkasan dalam bentuk cerita.

Langkah studi naratif dalam penelitian ini adalah :

a. Membuat daftar pertanyaan yang mengungkap pengalaman sebelum,

selama, dan sesudah perpisahan.

b. Mengumpulkan data

c. Menganalisa kisah informan dan menceritakan kembali dalam story line.

d. Menganalisa tahap respon psikologis dalam proses penerimaan diri.

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah deskripsi tahapan respon psikologis

dalam proses penerimaan diri pada pelaku perkawinan Katolik yang

berpisah. Deskripsi tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan

diri ini dapat diketahui dengan cara meminta informan menceritakan

pengalamannya awal sebelum berpisah, saat berpisah dan setelah berpisah.

C. Informan Penelitian

1. Teknik Pemilihan dan Kriteria Informan Penelitian

Menurut Arikunto (1990) subjek penelitian adalah benda, hal atau

organisasi tempat data atau variable penelitian yang dipermasalahkan

melekat. Tidak ada satu pun penelitian yang dapat dilakukan tanpa

adanya subjek penelitian, karena seperti yang telah diketahui bahwa

(59)

dipecahkan. Maksud dan tujuan penelitian adalah untuk memecahkan

persoalan yang timbul tersebut. Hal ini dilakukan dengan jalan

mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari informan. Informan

penelitian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tiga orang pelaku

perkawinan Katolik yang berpisah.

2. Prosedur Mendapatkan Informan Penelitian

Pemilihan informan yang dianggap sesuai dengan kerangka kerja

penelitian ini bersifat purposive (subjek bertujuan). Menurut Untuk

mendapatkan informasi yang lengkap dan valid, peneliti mencari

informan penelitian yang memahami permasalahan yang akan diteliti.

Terkait dengan pertimbangan dan karakteristik tertentu dibutuhkan

kriteria. Kriteria tersebut adalah:

1. Melakukan perkawinan secara hukum Gereja Katolik

2. Berpisah dengan pasangan dengan tetap adanya ikatan

perkawinan.

D. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah teknik wawancara mendalam. Lebih rinci teknik tersebut

(60)

1. Wawancara Mendalam

Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara

bebas terpimpin yang memuat permasalahan pokok dalam penelitian.

Menurut Bungin (2007) karakteristik utama dari wawancara ini adalah

dilakukan secara bertahap dan pewawancara tidak harus terlibat dalam

kehidupan sosial subjek. Kehadiran pewawancara sebagai peneliti yang

sedang mempelajari objek penelitian dapat dilakukan secara

tersembunyi atau terbuka.

Sebelum melakukan penelitian, peneliti mempersiapkan pertanyaan

untuk memudahkan peneliti dalam melakukan wawancara. Metode

wawancara dipilih oleh peneliti agar mendapatkan data tanpa

membatasi informasi yang diterima dari informan. Beberapa sarana

yang peneliti siapkan guna mendukung proses wawancara yaitu: alat

perekam, buku untuk membuat catatan kecil serta alat tulis yang akan

membantu peneliti membuat catatan kecil.

E. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini,dilakukan analisis data menurut Smith (2009)

yaitu:

1. Mencari tema dalam setiap kasus setelah membaca transkip

(61)

2. Mengaitkan tema yang sudah terkumpul dan membaginya

dalam sekuensi awal, tengah, dan akhir lalu menyoroti isu

penting dan mengidentifikasi keterkaitan antar bagian.

3. Menganalisa kisah informan dan menceritakan kembali dalam

story line.

4. Menganalisa tahap respon psikologis dalam proses penerimaan

diri.

F. Verifikasi Penelitian

Dalam melakukan penelitian kualitatif, perlu memastikan bahwa

temuan dan interpretasi tersebut akurat Creswell (2009). Verifikasi

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik member

checking. Member Checking, merupakan salah satu proses mengecek

akurasi data dengan cara konfirmasi terkait hasil penelitian kepada

informan penelitian. Peneliti akan kembali menemui informan serta

membawa laporan akhir yang berisikan tema maupun deskripsi yang sudah

ada dan menanyakan apakah deskripsi yang sudah dibuat oleh peneliti

sudah lengkap dan realistis. Selanjutnya peneliti membuat deskripsi yang

padat tentang hasil penelitan beberapa pengalaman informan dan

menyajikan banyak perspektif mengenai tema, sehingga mendapatkan

(62)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian Secara Keseluruhan 1. Informan

Peneliti tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh informan

penelitian. Informan 1 merupakan orang tua dari teman komunitas

peneliti. Sedangkan informan 2 dan informan 3 merupakan rekomendasi

dari teman informan dalam komunitas. Keterlibatan informan dalam

penelitian didasarkan pada kerelaan informan dengan syarat menjaga

kerahasiaan identitas informan.

Sebelum dilaksanakan penelitian, peneliti juga melakukan

wawancara pendahuluan kepada informan untuk memastikan

kesanggupan serta memenuhi persyaratan sebagai informan. Pada

wawancara pendahuluan, peneliti didampingi

Gambar

Tabel 2.2. Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 2
Tabel 2.4. Identitas Informan dan Ringkasan Deskripsi Relasi
Tabel Perbandingan Hasil
figure suami walaupun ada rasa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum penelitian ini bertujuan pengembangan ilmu hukum dalam bidang hukum perdata yang mengenai pemahaman terhadap prosedur eksekusi hak tanggungan yang dibebani hak sewa

Uraikan latar belakang dari kegiatan penelitian yang disulkan dan uraikan juga kemanfaatan penelitian ini untuk Provinsi Jawa Barata tau masyarakat Jawa Barat

Dari ketentuan tersebut menunjukkan bahwa jika dibandingkan antara (t) hitung dengan (t) tabel, maka bisa dilihat ternyata nilai t hitung > t.. tabel atau 3.944 > 1.64

Tanah bersama adalah sebidang tanah hak atau tanah sewa untuk bangunan yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri rumah susun

Untuk tetap mendapatkan model VAR maka pada uji kointegrasi, variabel yang digunakan harus terbukti tidak memiliki kointegrasi antar variabelnya sehingga dapat

Hasil analisis kuadran untuk masing-masing pengguna jasa dalam bentuk diagram kartesius dapat dilihat bahwa penilaian/persepsi dari pengguna jasa ruko di kawasan

Dan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah NTB melalui wawancara dengan ibu Siti Eni Khaerani, SH., sebagai kasubag biro hukum yang mengatakan bahwa upaya yang

Dari nilai odds ratio dapat diketahui bahwa anak yang tinggal dalam rumah dengan luas ventilasi tidak memenuhi syarat kesehatan (<10% luas lantai) mempunyai