• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI GADAI TRADISIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI GADAI TRADISIONAL"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

PUTRA ANUGERAH RAMADHAN 11150490000006

HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2020 M / 1442 H

(2)
(3)
(4)

ii

Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2002 M/1442 H, 1x + 75 Halaman.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana Prosedur Gadai Tradisional yang berlaku di Desa Geramat Kecamatan Mulak Ulu Kabupaten Lahat yaitu Nyande. Serta bertujuan untuk menganalisis agar mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam atas akad Nyande serta menganalisis bagaimana penerapannya menurut hukum Islam yang benar.

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian metodologi kualitatif, yang berarti prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis. Sumber data yang digunakan data primer, data sekunder dan data tersier. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik survey, wawancara serta mengevaluasi dari hukum positif, hukum Islam dan perundang-undangan yang berlaku.

Penelitian ini menunjukan bahwa Gadai Tradisional ini atau disebut juga dengan istilah Nyande ini masih belum sesuai dengan Hukum Islam yaitu Akad Rahn, yang mana masih terdapat unsur bunga dan unsur pemerasan didalamnya.

Serta didalamnya terdapat unsur yang membuat kecacatan di dalam akadnya yang membuat tidak sesuai dengan hukum Islam yakni memberatkan pihak penyande atau rahin yakni barang yang dijadikan jaminan atau barang sandean dapat dimanfaatkan secara bebas dan semaksimal mungkin dan keuntungannya menjadi milik pemegang sande atau murtahin dan tidak terhitung sebagai cicilan hutang milik penyande atau rahin tersebut. Serta yang membedakannya dengan Rahn yakni didalam akad Nyande bisa terjadi dua akad sekaligus yakni akad gadai dan akad sewa menyewa.

Kata Kunci : Gadai Tradisional, Hukum Islam Dosen Pembimbing : Drs. H. Hamid Farihi, MA.

DaftarPustaka : 1983 - 2019

(5)
(6)

iii

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sholawat serta salam senantiasa selalu tercurahkan kepada junjungan baginda dan suri tauladan yang mulia Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari zaman kegelapan hingga zaman terang benderang seperti saat ini. Semoga kita mendapat syafa’atnya di akhirat kelak.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Hukum Program Studi Hukum Ekonomi Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selanjutnya, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada para pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu sebagai berikut:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, SH., MH., MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. AM. Hasan Ali, MA., ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah dan Dr. Abdurrauf, MA., sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Drs. H. Hamid Farihi, MA, Selaku Dosen Pembimbing yang telah senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan nasihat, motivasi, serta perbaikan-perbaikan selama penyusunan skripsi ini, terima kasih banyak atas arahan, masukan dan koreksi skripsinya yang bersifat membangun, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa membalas atas semua kebaikannya.

(7)

iv

Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan

7. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak ilmu, motivasi dan pengalaman serta staf yang telah memberikan fasilitas dan menjaga kebersihan fakultas selama masa perkuliahan;

8. Teristimewa dan paling khusus ucapan terima kasih kepada orang tua tercinta Ayahanda H. Asirudin dan Hj. Yulisa Maryati yang telah memberi kasih sayang lahir dan batin yang teramat besar dan memberikan dukungan moral dan moriil tiada henti-hentinya. Juga kepada Kakak-kakak Tersayang Deki Serlian Stevani, Rian Pahlevi, dan Meksi Tri Cahyadi (Alm), juga Ayuk-ayuk Helna Heryani, Ellyana, dan Dewi Tri Hapsari yang selalu memberikan semangat dan dukungan lahir batin untuk segera menyelesaikan tugas skripsi dan perkuliahan ini;

9. Segenap Keluarga Besar Mengkudun Geramat, dan Keluarga Besar H.

Djauhari Tanjung Bai, terima kasih atas dukungan moral dan moriil yang telah diberikan kepada penulis selama ini;

10. Teruntuk Teman-teman “Klamee Group Pagar Alam” Heru, Ari, Wira, Yanra, Yayan, Adit, Wawan, Aweg, Alvin, Ucan, Indra, Rizki, Angga, Rezky, Ojik, Arip, Ego, Ag, Agry, Gery yang telah memberikan do’a, semangat serta motivasi kepada penulis;

11. Teman-teman Hukum Ekonomi Syariah Angkatan 2015 yang telah memberikan dukungan dan memberikan saran serta masukan selama perkuliahan khususnya teman-teman seperjuangan kelas A yang telah sama-sama berjuang dan saling memberi motivasi serta semangat dalam menyelesaikan dari awal perkuliahan sampai sekarang.

(8)

v

13. Tidak lupa juga Penulis haturkan ucapan Terima Kasih kepada Sella Putri Utami yang telah memberikan do’a, dukungan, semangat dan bantuan dalam pengerjaan skripsi ini, semoga kita dapat selalu berproses bersama- sama menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan semoga Allah SWT selalu memberikan karomah-Nya, serta dimudahkan urusan-urusan kita.

14. Serta teman-teman dan pihak-pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat, terima kasih atas doa-doa terbaiknya dan dukungannya.

Terimakasih kepada orang-orang yang telah memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini, mohon maaf apabila tidak dapat di ucapkan namanya satu per satu, semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, 16 Desember 2020 Penulis

Putra Anugerah Ramadhan

(9)

1

1. Identifikasi Masalah ... 5

2. Pembatasan Masalah ... 6

3. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1. Tujuan Penelitian ... 7

2. Manfaat Penelitian ... 7

D. Objek Penelitian ... 7

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu... 8

F. Kerangka Teori dan Konseptual... 9

1. Kerangka Teori ... 10

2. Landasan Hukum Gadai ... 11

3. Kerangka Konsep ... 12

G. Metode Penelitian ... 14

1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 14

2. Jenis Penelitian ... 14

3. Jenis dan Sumber Data ... 14

4. Teknik Analisis Data ... 15

5. Teknik Penulisan ... 16

H. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II LANDASAN TEORI ... 18

A. Pengertian Gadai ... 18

B. Rukun dan Syarat Gadai... 20

1. Rukun Gadai ... 20

2. Syarat Gadai ... 20

c. Utang (Marhun Bih) ... 21

(10)

d. Sighat ijab qabul ... 21

C. Dasar Hukum Gadai ... 22

1. Al-Qur’an ... 22

2. As-Sunnah ... 23

3. Pendapat Ulama ... 23

D. Hak dan Kewajiban Dalam Gadai ... 24

1. Hak Rahin ... 24

2. Kewajiban Rahin ... 24

3. Hak Murtahin ... 25

4. Kewajiban Murtahin ... 25

E. Pemanfaatan Barang Gadai ... 26

1. Pemanfaatan oleh Rahin ... 26

2. Pemanfaatan oleh Murtahin ... 28

F. Berakhir dan Selesainya Akad Gadai ... 33

BAB III GAMBARAN UMUM ... 35

A. Gambaran Umum Wilayah Desa Geramat Kecamatan Mulak Ulu Kabupaten Lahat ... 35

1. Profil Singkat ... 35

2. Keadaan Topografi ... 36

3. Jumlah Penduduk ... 36

4. Kondisi Sosial ... 37

5. Kondisi Budaya ... 37

6. Kondisi Keagamaan ... 38

7. Kondisi Ekonomi ... 38

8. Gadai Dalam Adat Besemah di Desa Geramat Kecamatan Mulak Ulu Kabupaten Lahat ... 39

B. Pengertian dan Mekanisme Gadai Dalam Adat Besemah... 39

C. Pemanfaatan Barang Gadai ... 41

D. Jangka Waktu dan Berakhirnya Proses Nyande... 41

(11)

BAB IV PRAKTIK NYANDE DI DESA GERAMAT KECAMATAN MULAK ULU

KABUPATEN LAHAT MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM ... 43

A. Praktik Gadai (Nyande) di Desa Geramat Kecamatan Mulak Ulu Kabupaten Lahat ... 43

1. Mekanisme Praktik Nyande di Desa Geramat Kecamatan Mulak Ulu Kabupaten Lahat ... 45

2. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Praktik Nyande di Desa Geramat Kecamatan Mulak Ulu Kabupaten Lahat... 55

3. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Praktik Nyande... 58

B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Nyande di Desa Geramat Kecamatan Mulak Ulu Kabupaten Lahat ... 59

1. Kedudukan Barang Gadai ... 63

2. Riba ... 64

3. Praktik Nyande dalam Perspektif Hukum Islam ... 67

BAB V PENUTUP ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73

Buku ... 73

Interview ... 74

Skripsi ... 75

(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Manusia selalu berjuang untuk bertahan hidup, berbagai cara telah dilakukan untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupan termasuk dalam kehidupan berekonomi. Ekonomi yang mereka hadapi jika awalnya dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya manusia melakukan secara individual maka dalam perkembangannya manusia berusaha melakukannya secara bersama-sama dan dalam perkembangannya cara-cara yang digunakan untuk memecahkan permasalahan dalam berekonomi yang mereka hadapi itu berbeda-beda seiring dengan berkembangnya jaman1.

Manusia sebagai makhluk sosial sangat bergantung dengan yang lain dan manusia dalam bermasyarakat secara umum dalam hal tolong-menolong. Hal tersebut memperlihatkan adanya kemitraan atau kerja sama dalam proses sosial kemasyarakatan. Manusia sebagai makhluk sosial yang saling berinteraksi satu dengan yang lain dalam bentuk masyarakat tidak dapat terlepas dari suatu kebudayaan, karena menurut Soerjono Soekanto bahwa masyarakat merupakan suatu sistem hidup bersama-sama. Sistem kehidupan bersama menciptakan kebudayaan karena mereka merasa dirinya saling berkaitan satu dengan yang lainnya2.

Dengan demikian, tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya, tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya. Kemudian manusia merupakan makhluk tuhan di dunia yang

1 Hendrojigi, koperasi asas-asas, teori dan praktek, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 ), h., 2.

2 Soerjono Soekanto, sosiologi suatu pengantar, ( Jakarta: Rajawali pers, 2013 ), h., 61.

(13)

memiliki akal budi yang merupakan pemberian sekaligus potensi dalam diri manusia yang tidak dimiliki makhluk lain. Akal adalah kemampuan berpikir sebagai kodrat alami yang dimiliki oleh manusia. Berpikir merupakan perbuatan operasional dari akal yang mendorong untuk aktif berbuat demi kepentingan dan peningkatan hidup manusia. Jadi fungsi akal adalah untuk berpikir, karena manusia dianugerahi akal maka manusia dapat berpikir.

Budi berarti akal yang berasal dari bahasa Sansekerta buddhaya yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Menurut kamus Bahasa Indonesia, akal adalah bagian dari kata hati yang berupa paduan akal dan perasaan yang dapat membedakan baik buruk sesuatu. Dengan akal budi manusia mampu menciptakan, mengkreasi, memperlakukan, memperbarui, mengembangkan, dan meningkatkan sesuatu yang ada untuk kepentingan hidup manusia3.

Setiap manusia dalam berkehidupan bermasyarakat harus saling tolong menolong dalam menghadapi berbagai macam permasalahan atau persoalan, menutupi kebutuhan antara satu dan yang lain, yang kaya menolong yang miskin, yang mampu menolong yang tidak mampu.4 Bentuk dari tolong menolong ini bisa berupa pinjam-meminjam, saling memberi, tukar-menukar, sewa-menyewa, atau dengan cara lainnya, karena sejatinya Manusia adalah Makhluk Sosial (social creature).5

Berbicara mengenai tolong menolong dalam konteks pinjam meminjam ini, Islam memperbolehkan baik melalui Individu maupun lembaga keuangan. Salah satu lembaga keuangan itu adalah Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Dan salah satu produknya ialah “Pegadaian”, yang dalam Hukum Islam , dan tidak deperkenankan untuk saling merugikan. Oleh karenanya, ia dibolehkan meminta

3 Samudra Kurniaman Zendrato, Kebudayaan dan Pariwisata Nias, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2014 ), h., 3-4.

4 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), h., 31.

5 Muhammad Shalikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), h., 2.

(14)

barang dari debitur sebagai jaminan untuk uangnya. Dalam Bermasyarakat, barang jaminan ini biasa dikenal dengan objek jaminan (collateral) dalam gadai konvensional atau barang gadai (marhun) dalam gadai syariah.6

Gadai menurut Syara’ (ar-rahn) adalah akad perjanjian pinjam meminjam dengan menyerahkan benda yang bernilai atau berharga menurut pandangan syara’

sebagai jaminan atas utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.7

Pegadaian sebagai sebuah lembaga keuangan formal yang berfungsi untuk menyalurkan pembiayaan dengan bentuk pemberian uang pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan dengan menggunakan sistem gadai. Dengan adanya pegadaian diharapkan dapat membantu masyarakat agar terhindar dari ijon, praktik-praktik merugikan lainnya.8

Selain pegadaian yang berada dibawah naungan lembaga keuangan, adapula sistem pegadaian yang tidak berada dalam lembaga keuangan yaitu pegadaian yang dilakukan secara individu. Praktik secara individu cukup digemari dan lumrah terjadi dalam masyarakat apalagi didalam masyarakat yang masih menganut sistem transaksi tradisional. Praktik tersebut umumnya masih terdapat sistem kebudayaan yang sangat kental.

Menurut E. B. Tylor, kebudayaan bersifat kompleks karena hampir mencakup semuanya seperti kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan lain yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Sebagaimana disebutkan oleh E. B. Tylor tersebut bahwa kebudayaan tidak hanya dalam bidang kesenian, moral, hukum, adat istiadat, namun seluruh aspek kehidupan manusia misalnya dalam bidang ekonomi tradisional maupun modern,

6Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: UI Press,2006), h., 2-3.

7 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h., 106.

8 Muhammad Shaikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), h., 3.

(15)

seperti halnya di bidang ekonomi tradisional contohnya yang ada di Suku Besemah tepatnya di Desa Geramat, Kecamatan Mulak Ulu, Kabupaten Lahat yaitu budaya transaksi sewa menyewa atau disebut juga dengan istilah Nyande.

Nyande adalah proses transaksi yang biasa atau lumrah terjadi di Desa Geramat Kecamatan Mulak Ulu Kabupaten Lahat, dimana seseorang yang membutuhkan uang akan menggadaikan barangnya sebagai jaminan atas uang yang akan dipinjamnya. Nyande bisa juga disebut sebagai gadai akan tetapi masih bersifat tradisional karena sama-sama memberikan barangnya sebagai barang jaminan atas pinjamannya. Dalam proses Nyande barang yang biasanya dijadikan sebagai barang jaminan bisa berupa barang tidak bergerak seperti Sawah, kebun, rumah, tanah dan ataupun barang bergerak seperti kendaraan bermotor yang dimana dalam praktik Nyande masyarakat yang ingin meminjam harus memberikan atau menyerahkan barang Sandean (jaminan) kepada orang yang memberikan pinjaman dengan syarat barang yang dijaminkan tersebut bisa dimanfaatkan oleh pemberi pinjaman sampai pinjamannya lunas. Waktu transaksinya pun bisa diperpanjang walaupun didalam akadnya tidak disebutkan yang dimana membuat pemanfaatan barang tersebut dapat dilakukan secara berlebihan, sehingga hasil yang didapat oleh pemegang jaminan sudah melewati dari uang pinjaman yang dipinjam, tetapi orang yang menyerahkan barangnya sebagai sandean tetap harus membayar hutangnya tanpa adanya potongan dari hasil pemanfaat baran sandean tersebut.

Praktik Nyande di Desa Geramat ini sangat menguntungkan pihak pemegang sandean dan sebaliknya merugikan pihak penyande, karena dengan memberikan barang sandean tersebut mata pencarian mereka secara langsung akan hilang dan mereka akan kesulitan dalam melunasi hutangnya tersebut. Di dalam praktik Nyande tidak ada sistem bagi hasil yang diberikan pemegang sandean kepada pihak penyande. Pengasilan yang diperoleh dari barang yang disandekan sepenuhnya menjadi milik pemegan barang sandean tersebut.

(16)

Praktik Nyande ini sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat di daerah Besemah khususnya di Desa Geramat Kecamatan Mulak Ulu, karena praktik Nyande ini relatif mudah dilakukan apalagi dalam keadaan mendesak sehingga uang yang dibutuhkan juga bisa lansung diterima oleh pihak penyande. Praktik Nyande ini biasanya dilakukan antara masyarakat yang sudah saling mengenal satu sama lain, tetapi tidak menutup kemungkinan bisa juga dilakukan antara masyarakat yang belum mengenal satu sama lain karena faktor ekonomi. Dalam keadaan inilah pemegang sandean memanfaatkan keuntungan sebesar-besarnya dari memanfaatkan barang sandean tersebut tanpa memperdulikan apakah yang mereka lakukan tersebut sesuai dengan syariat islam atau tidak, karena kurangnya pemahaman terhadap praktik gadai (ar-rahn) yang diajarakan dalam Agama Islam.

Masyarakat Desa Geramat hanya menjalankan kebiasan adat istiadat yang sudah turun temurun yang sudah berlaku di Desa tersebut sejak zaman dahulu.

Sehingga masyarakat kurang atau tidak mengetahui sama sekali landasan hukum dari praktik Nyande tersebut. Jika ditinjau dari penerapan pelaksanaanya, praktik Nyande di Desa Geramat bertolak belakang dengan teori Ar-Rahn yang diajarkan dalam Agama Islam.

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan diatas, penulis tertarik untuk meneliti transaksi tersebut dengan judul Skripsi “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Transaksi Gadai Tradisional (Studi Desa Geramat, Kecamatan Mulak Ulu, Kabupaten Lahat)”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, penulis mengidentifikasi beberapa masalah, yaitu:

(17)

a. Terdapat kekeliruan dalam Transaksi Nyande terhadap akad Rahn.

b. Rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap akad Rahn atau Gadai yang salah satunya adalah Nyande.

c. Barang jaminan yang dapat digunakan oleh peminjam dan menjadi hak penuh pendapatannya dan itu tidak berpengaruh terhadap hutang peminjam.

d. Barang jaminan sementara berpindah tangan kepada penerima gadai selama penggadai belum membayar pinjaman.

e. Tidak memiliki hukum yang tetap.

f. Pada barang bergerak yang dijadikan jaminan terdapat pertambahan Nominal disaat pelunasan.

2. Pembatasan Masalah

Pembahasan penelitian ini memfokuskan untuk mengetahui tinjauan hukum islam didalam transaksi Gadai (Nyande) yang masih lumrah dilakukan di Suku Besemah khususnya di Desa Geramat, Kecamatan Mulak Ulu, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah peneliti berikan pada latar belakang di atas yaitu mengenai tinjauan hukum Islam terhadap transaksi Gadai (Nyande) di Desa Geramat Kecamatan Mulak Ulu Kabupaten Lahat perlu diteliti. Penliti mempertegas permasalahan penelitian dengan pertanyaan penelitian yaitu : a. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap Transaksi Gadai (Nyande) di

Desa Geramat, Kecamatan Mulak Ulu, Kabupaten Lahat?

b. Bagaimana Implementasi Gadai Tradisional pada Suku Besemah di Desa Geramat, Kecamatan Mulak Ulu, Kabupaten Lahat?

(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sehingga dapat memaparkan tinjauan hukum Islam terhadap transaksi Gadai (Nyande) di Desa Geramat Kecamatan Mulak Ulu Kabupaten Lahat.

2. Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahn diatas, maka manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis :

1) Untuk memberikan pemahaman kepada Masyarakat khususnya kalangan akademisi mengenai Gadai Syariah.

2) Sebagai bahan Pustaka yang nantinya diharapkan dapat menambah pemahaman secara mendalam mengenai Gadai Syarian.

b. Manfaat Praktis :

1) Dengan adanya penulisan skripsi ini diharapkan menambah sumbangan pemikiran bagi wacana hukum ekonomi islam tentang pemaham masyarakat terhadap Gadai Syariah.

2) Memberikan pemahaman kepada praktisi hukum ekonomi islam sebagai acuan dalam melaksanakan prinsip-prinsip hukum perekonomian syariah yang sesuai dengan aturan serta landasan syariat Islam.

D. Objek Penelitian

(19)

Dalam pembahasan ini yang menjadi objek penelitian adalah Masyarakat Desa Geramat, Kecamatan Mulak Ulu, Kabupaten Lahat yang menggunakan transaksi Gadai (Nyande).

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Agar tidak terjadi dan menghindari suatu plagiat serta pengulangan dalam suatu penelitian, maka dalam penelitian ini perlu dilakukan tinjauan pustaka awal.

Penulis melakukan kajian pustaka dari berbagai jurnal dan skripsi yang berkaitan dengan proses Nyande dan Gadai secara Konvensional dan Syariah, antara lain : 1. Miftahul Jannah S, “ Perspektif Hukum Islam terhadap Gadai tanpa

batas Waktu dan dampaknya dalam masyarakat Desa Kertagena Daya Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan”. Dalam Skripsi Fakultas Syariah IAIN Raden Fatah Palembang pada Tahun 2012.9

Penelitian ini menjelaskan bahwa praktik didalam akad ini dilatar belakangi karena tidak adanya batasan waktu didalam akad gadai tersebut, sehingga menimbulkan berbagai dampak dalam kedua pihak, dampak yang didapat oleh rahin ialah tidak bisa mengelola dan mengambil manfaat dari barang yang dijadikan obyek gadai sehingga sangat dirugikan. Kemudian dampak yang didapat oleh murtahin adalah pembayaran yang didapat semakin lama semakin kecil nilai hutangnya.

2. Bambang Mulyadi, “Tinjauan Fiqh Muamalah Terhadap Gadai Tanah Sawah di Desa Saleh Agung Kecamatan Air Saleh Kabupaten

9 Miftahul Jannah S, Perspektif Hukum Islam Terhadap Gadai Tanpa Batas Waktu

dan Dampaknya Dalam Masyarakat Desa Kertagena Daya Kec. Kadur Kab. Pamekasan, (Skripsi Fakultas Syariah, IAIN Raden fatah Palembang,2012)

(20)

Banyuasin”. Dalam Skripsi Fakultas Syariah IAIN Raden Fatah Tahun 2012.10

Penelitian ini menjelaskan tentang pemberi gadai sama sekali tidak menggunakan sawah yang dijadikan jaminan gadai dalam pergadaian tersebut tetapi, jika pihak yang menggadaikannya belum dapat menebusnya maka masa gadai tersebut akan diperpanjang sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Dan apabila pihak penggadai masih belum dapat membayar hutangnya, maka pihak yang menggadaikan barangnya memperbolehkan barangnya untuk dijual untuk pelunasan terhadap hutangnya.

3. Tika Purnama Sari, “Sando Sawah Dilihat Dari Perspektif Fiqh Muamalah Studi Kasus Di Desa Jarakan Kecamatan Pendopo Kabupaten Empat Lawang”. Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Raden Fatah Palembang, tahun 2017.11

Penelitian ini hanya menjelaskan proses gadai sawah saja sedangkan peneliti akan membahas gadai tradisional yang mencakup sawah, kebun, kendaraan bermotor dan barang-barang yang dapat digadaikan. Perbedaan selanjutnya adalah prosedur gadai yang akan penulis bahas adalah pengambilan manfaat yang bersifat tak terbatas dan penggunaan manfaat dari barangnya bersifat fleksibel selama penggadai belum bisa membayar uang pinjamannya kepada pihak penerima gadai.

F. Kerangka Teori dan Konseptual

10 Mulyadi, Bambang , Tinjauan Fiqh Muamalah terhadap Tanah Gadai Sawah di Desa Saleh Agung Kecamatan Air Saleh Kabupaten Banyuasin, (Skripsi Fakultas Syariah, IAIN Raden Fatah Palembang,2012)

11 Tika Purnama Sari, Sando Sawah Dilihat dari Perspektif Fiqh Muamalah Studi Kasus Di Desa Jarakan Kecamatan Pendopo Kabupaten Empat Lawang, (skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Raden Fatah Palembang,2017)

(21)

1. Kerangka Teori

Gadai atau ar-Rahn secara bahasa ialah ats-Tsubuut yang memiliki arti tetap, dan ad-Dawaam yang berarti kekal, atau bisa juga diartikan al-Habsu yaitu menahan.12 Makna dari arti tetap dan kekal disini ialah al-habsu yang artinya ialah menahan, yang dalam artian maksudnya ialah menahan barang yang bersifat materiil. Jadi secara bahasa dapat diartikan sebagai menjadikan sesuatu barang yang bersifat materiil menjadi pengikat dalam berhutang.

Kemudian menurut istilah rahn ialah menahan salah satu barang atau harti milik penggadai yang dijadikan jaminan pinjaman yang diterimanya. Barang tersebut haruslah barang yang memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang meminjamkan uangnya memperoleh jaminan untuk memperoleh uang yang dipinjamkanmya kepada pihak penggadai atau peminjam.13

Menurut syara’, gadai adalah perjanjian terhadap suatu barang yang dijadikan jaminan hutang atau menjadikan suatu benda yang memiliki nilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan pinjaman (marhun bih), sehingga dengan adanya tanggungan hutang ini semua atau sebagian hutang dapat diterima.14 Juga didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbook), pengertian gadai adalah hak yang didapat oleh seseorang yang bepiutang atas suatu barang yang bergerak maupun tidak bergerak yang diserahkan kepadanya oleh yang berutang atau orang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan terhadap barangnya kepada si berpiutang itu untuk menggunakan atau mengambil kekuasaan terhadap barangnya agar pelunasan atas utangnya dengan pengecualian biaya yang

12 Az Zuhaili,Wahbah, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 6, ( Jakarta: Gema Insani, 2011 ), h., 106.

13 Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah, ( Jakarta: Gema Insani Press, 2001 ),

h., 128.

14 Ahmad Azhar Basyri, Riba, Hutang Piutang dan Gadai, ( Bandung: Al- Ma’arif,

1983 ), h., 50.

(22)

digunakan untuk melelang barang tersebut dan mendahulukan biaya-biaya yang harus didahulukan terlebih dahulu.15

Kemudian gadai menurut hukum adat adalah menyerahkan barang yang digadaikan untuk menerima sejumlah uang secara tunai dengan ketentuan, penggadai tetap berhak atas pengembalian barang yang digadaikannya dengan cara menebusnya kembali.16

2. Landasan Hukum Gadai

Landasan hukum yang menjadi dasar Gadai Syariah ialah ayat-ayat Al- quran, Hadist, Ijma’ Ulama dan Fatwa MUI. Kemudian diungkapkan sebagai berikut:

a) Al-quran

Q.S Al-Baqarah (2): 283,

ْمُكُضْعَب َن ِمَأ ْنِإَف ۖ ٌةَضوُبْق َم ٌناَه ِرَف اًبِتاَك اوُد ِجَت ْمَل َو ٍرَفَس ٰىَلَع ْمُتْنُك ْنِإ َو ْن َم َو ۚ َةَداَهَّشلا اوُمُتْكَت َلَ َو ۗ ُهَّب َر َ َّاللَّ ِقَّتَيْل َو ُهَتَنا َمَأ َن ِمُت ْؤا ي ِذَّلا ِ د َؤُيْلَف اًضْعَب ٌميِلَع َنوُل َمْعَت ا َمِب ُ َّاللَّ َو ۗ ُهُبْلَق ٌمِثآ ُهَّنِإَف اَه ْمُتْكَي artinya:

"Dan Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Tetapi, jika sebagaian kamu mempercayai sebagai yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, (hutangnya)

15 Abdul Ghafur Anshori, Gadai Syariah, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2011), h., 113.

16 Yanggo, Chuzaimah T. Dkk, Problematika Hukum Islam kontemporer III, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004 ), h., 140.

(23)

dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian karena barang siapa yang menyembunyikannya, sungguh hatinya kotor (berdosa), Allah Maha Mengetahui apa yanag kamu kerjakan.”

b) Hadist

َليِبَقْلا َو َنْه َّرلا َميِها َرْبِإ َدْنِع اَن ْرَكاَذَت َلاَق ُشَمْعَ ْلْا اَنَثَّدَح ِد ِحا َوْلا ُدْبَع اَنَثَّدَح ٌدَّدَسُم اَنَثَّدَح َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُ َّاللَّ ىَّلَص َّيِبَّنلا َّنَأ اَهْنَع ُ َّاللَّ َي ِض َر َةَشِئاَع ْنَع ُد َوْسَ ْلْا اَنَثَّدَح ُميِها َرْبِإ َلاَقَف ِفَلَّسلا يِف ُهَع ْرِد ُهَنَه َر َو ٍلَجَأ ىَلِإ اًماَعَط ٍ يِدوُهَي ْنِم ى َرَتْشا Artinya : Telah diceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Wahid telah menceritakan kepada kami Al A’masy berkata; kami menceritakan dihadapan Ibrahim tentang masalah gadai dan pembayaran tunda dalam jual beli. Maka Ibrahim berkata; telah menceritakan kepada kami Al Aswad dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan Pembayaran tunda sampai waktu yang ditentukan, yang Beliau menggadaikan (menjaminkan) baju besi beliau. (Hadits Bukhori No. 2326)

ْنَع ِد َوْسَ ْلْا ْنَع َميِها َرْبِإ ْنَع ِشَمْعَ ْلْا ْنَع ٍثاَيِغ ِنْب ِصْفَح ْنَع َمَدآ ُنْب ُدَّمَحُم يِن َرَبْخَأ ُهَع ْرِد ُهَنَه َر َو ٍلَجَأ ىَلِإ اًماَعَط ٍ يِدوُهَي ْنِم َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُ َّاللَّ ىَّلَص ِ َّاللَّ ُلوُس َر ى َرَتْشا ْتَلاَق َةَشِئاَع

Artinya : Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Adam dari Hafsh bin Ghiyats dari Al A’masy dari Ibrahim dari Al Aswad dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam membeli makan dari seorang Yahudi hingga suatu tempo dan beliau menggadaikan baju zirah-Nya kepadanya. (Hadits Nasa’i No. 4530)

3. Kerangka Konsep

(24)

Untuk menghindari penafsiran dan pemahaman yang berbeda serta memberikan arahan dalam penelitian, maka landasan konsep ini dirasa perlu untuk mendeskripsikan dan merumuskan istilah-istilah yang berhubungan dengan penelitian yaitu :

a. Gadai adalah suatu upaya menjaminkan barang berharga dengan imbalan pinjaman yang harus dibayar

b. Gadai Syariah ( ar-Rahn ) adalah suatu perjanjian untuk menahan suatu barang yang digunakan sebagai jaminan atau tanggungan utang.

c. Shigat adalah lafadz ijab qabul pada saat akad.

d. Ar-Rahin adalah pihak yang menggadaikan barangnya, Al-Murtahin pihak yang menerima barang gadai dan memberikan pinjaman.

e. Barang yang digadaikan ( al-Marhun ) adalah barang yang dijadikan obyek atau jaminan gadai yang memiliki nilai ekonomis.

f. Utang ( al-marhunbih ) adalah hak wajib atau tanggungan yang harus dikembalikan kepada pihak yang meminjamkan atau tempat berhutang.

Di dalam buku Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), dalam pasal 329 dijelaskan bahwa akad Gadai terdiri dari unsur penerima gadai, pemberi gadai, harta gadai, utang, dan akad. Akad disini maksudnya adalah sesuatu yang harus dinyatakan oleh para pihak baik secara tulisan, lisan, atau isyarat.17 Kemudian didalam akad Rahn, unsur dan rukunnya harus memiliki syarat, diantaranya ialah harus berakal, baligh, tidak memiliki paksaan.

Menurut Mohammad Anwar, syarat dan rukun sahnya perjanjian gadai antara lain:

1) Ijab Qabul (Shigat), dapat berbentuk Lisan maupun Tulisan;

2) Pihak yang bertransaksi (aqid), syaratnya Dewasa atau baligh, berakal, dan bebas (tidak dalam paksaan);

17 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Bandung: FOKUSMEDIA, 2008), h., 76.

(25)

3) Adanya barang yang akan digadaikan yang memiliki sifat ekonomis (barang materiil), jelas, milik sendiri bukan milik orang lain dan tidak mengandung gharar;

4) Hutang (al-marhun bih).18

G. Metode Penelitian

1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2020. Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Desa Geramat, Kecamatan Mulak Ulu, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan.

2. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif atau disebut juga dengan metodologi kualitatif yang berarti prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Atau dapat disebut juga sebagai penelitian yang dalam pengumpulan data penafsirannya tidak menggunakan rumus-rumus statistik.

Deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang obyek yang diteliti, untuk mendeskripsikan akad Rahn dalam hal ini bernama Nyande.

Pada awal penelitian ini akan menggunakan data-data yang ada namun untuk menarik suatu kesimpulan akan dilakukan dengan melakukan survey, wawancara, serta mengevaluasi dari hukum positif, hukum Islam dan perudang- undangan yang ada.

3. Jenis dan Sumber Data

18 Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, (Yogyakarta:

Citra Media, 2006), h., 77-78.

(26)

a. Data Primer

Data Primer, merupakan data yang didapat dari sumber pertama baik dari individu atau perorangan seperti hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti. Data Primer diperoleh langsung dari objek penelitian yaitu dari Masyarakat Desa Geramat Kecamatan Mulak ulu Kabupaten Lahat.

b. Data Sekunder

Data Sekunder, merupakan data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan oleh pihak lain misalnya dalam bentuk tabel-tabel maupun diagram-diagram.

c. Data Tersier

Data Tersier, merupakan data penunjang seperti data yang diambil dari hasil studi pustaka yang bertujuan untuk memperoleh landasan teori yang bersumber dari buku literatur dan karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan perwakafan yang dapat dijadikan sumber pendukung.

4. Teknik Analisis Data

Data yang telah ada dan yang telah terkumpul kemudian telah diolah oleh peneliti, kemudian peneliti akan membahas dengan menggunakan metode Normatif Kualitatit, yaitu suatu pembahasan yang dilakukan dengan cara menafsirkan dan mendiskusikan data-data yang dipeoleh dan diolah berdasarkan norma-norma hukum, doktrin dan teori hukum islam yang ada.

Pada penelitian ini, deskriptif analisis dengan jenis penelitian kualitatif yang akan digunakan untuk menentukan jastifikasi hukum atas kebijakan yang dterapkan pada transaksi gadai (nyande) di Desa Geramat Kecamatan Mulak Ulu Kabupaten Lahat.

Langkah yang dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penelitian baik data primer maupun data sekunder. Setelah data terkumpul, kemudian dipilih kategori mana saja yang relevan dan mana yang tidak relevan terhadap penelitian ini. Setelah itu peneliti menyusun

(27)

menjadi suatu rancangan yang sistematis untuk ditampilkan sehingga pada kesimpulan akhir didapatkan suatu hasil berdasar data yang dianalisis.

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan buku panduan penelitian yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memahami lebih jelas gambaran materi dalam penelitian ini, maka penulis menyusun beberapa sub bab dalam sistematika penyampaian sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.

BAB II LANDASAN TEORI

Bab ini berisi pengertian, rukun dan syarat, undang-undang, dasar hukum, Hak dan Kewajiban, Pemanfaatan dan Batasan waktu berlakunya akad.

BAB III GAMBARAN UMUM

Bab ini berisikan tentang gambaran lingkup wilayah penelitian secara umum yang akan dituliskan.

BAB IV PEMBAHASAN

Bab ini berisikan pembahasan yang memaparkan hasil data dan analisis penelitian.

(28)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisikan mengenai kesimpulan yang merupakan hasil dari permasalahan penelitian dan rekomendasi dari peneliti.

(29)

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Gadai

Menurut etimologi, Gadai atau Rahn berarti kekal, tetap, dan jaminan.19 Ulama mengartikan gadai atau rahn sebagai penahanan, seperti firman Allah SWT dalam Q.S Al-Mudatsir ayat 38 yang artinya; Tiap-tiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.

Sementara menurut istilah, para ahli hukum Islam mengartikan Gadai sebagai berikut20:

1. Ulama Malikiyah

Gadai atau Rahn adalah barang yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan dalam berpiutang dan sifatnya mengikat.

2. Ulama Hanafiyah

Para ahli Ulama Hanafiyah mendefiniskan gadai atau Rahn dengan menjadikan suatu barang yang memiliki nilai ekonomis sebagai barang jaminan terhadap piutang yang mungkin dijadikan pembayaran piutang tersebut, baik seluruhnya atau sebagiannya.

3. Ulama Syafi’iyah

Akad Rahn adalah menjadikan suatu barang sebagai jaminan utang, dimana barang tersebut bisa digunakan untuk membayar utang tersebut ketika Rahin tidak dapat membayar hutangnya.

4. Ulama Hanabilah

Gadai atau Rahn adalah harta yang dijadikan sebagai jaminan utang, dimana ketika pihak yang menanggung utang tidak bisa melunasinya, maka utang tersebut dibayar dengan menggunakan harga hasil penjualan dari harta yang dijadikan jaminan utang tersebut.

5. Muhammad Syafii Antonio

19 S. Askar, Kamus Arab – Indonesia Al-Azhar, (Jakarta: Senayan Publishing, 2010), Cet. II, h., 275.

20 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Wa Fiqh Islam Adillatuhu Jilid 6, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h., 107.

(30)

Menurut Muhammad Syafii Antonio, Rahn adalah menahan salah harta milik rahin sebagai barang yang dijaminkan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan atau yang dijadikan jaminan tersebut haruslah memiliki nilai ekonomis. Sehingga dengan demikian, Murtahin memperoleh jaminan untuk dpat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.21

6. Imam Ibnu Qudhanah

Menurut Imam Ibnu Qudhanah, Rahn adalah suatu benda yang dijadikan dasar kepercayaan atas suatu utang untuk dipenuhi harganya, jika yang berutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang berpiutang.22 7. Ahmad Azhar Basyir

Menurut Ahmad Azhar Basyir, Rahn adalah perjanjian yang menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan yang berutang, sehingga dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.23

8. Nasrun Haroen

Menurut Nasrun Haroen, Gadai adalah menjadikan barang sebagai jaminan terhadap hak atau piutang yang mungkin dijadikan sebagai pembayaran hak atau piutang itu, baik keseluruhannya atau sebagiannya.

Berdasarkan Pengertian yang telah dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa para Ulama dan para Ahli Hukum Islam sepakat mengenai pengertian gadai atau Rahn, ialah perjanjian pinjam meminjam dengan menjadikan suatu barang yang memiliki nilai ekonomis sebagai jaminan atas suatu pinjaman utang, yang mana barang yang dijadikan jaminan tersebut bisa dijual jika yang berutang tidak sanggup membayar kembali utangnya.

21 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani,2001), Cet. I, h., 128.

22 Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Implementasi, dan Institusionalisasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), Cet. II, h., 112.

23 Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Garafika, 2008), Ed. 1. Cet. I, h., 2.

(31)

B. Rukun dan Syarat Gadai

Agar akad Gadai sah, maka ada rukun dan syarat Gadai yang harus terpenuhi, yaitu sebagai berikut:

1. Rukun Gadai

Adapun rukun Gadai ialah sebagai berikut:

a. Rahin (pihak yang menggadaikan dan Murtahin (pihak yang menerima gadai)

b. Marhun (barang yang digaidaikan atau objek jaminan);

c. Marhun Bih (utang);

d. Ijab Qabul 2. Syarat Gadai

Adapun syarat-syarat gadai ialah sebagai berikut:

a. Pihak-pihak, yaitu Rahin (pihak penggadai) dan Murtahin (penerima Gadai)

Adapun syarat para pihak yang melakukan transaksi gadai ialah harus mumayyiz (cukup umur) dan berakal.24

b. Objek Gadai (Marhun)

Marhun berfungsi sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman/utang (marhun bih).25 Para ulama sepakat bahwa syarat-syarat marhun sama seperti syarat-syarat barang yang dijual (al-Mabii), yang bertujuan agar marhun bisa dijual untuk membayar utang.

Adapun syarat barang agar bisa diperjual belikan yaitu:

1) Jumhur Ulama sepakat bahwa Marhun haruslah bisa dijual dan Marhun harus ada ketika terjadinya akad dan marhun juga harus bisa diserahkan kepada murtahin. Jumhur Ulama juga berpendapat tidak sah apabila menggadaikan barang yang bentuknya spekulatif (mungkin ada dan mungkin tidak ada), seperti contohnya seseorang yang menggadaikan buah yang baru akan dihasilkan dan

24 Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Implementasi, Institusionalisasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), Cet. II, h., 112-113.

25 Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h., 172-173.

(32)

menggadaikan seekor burung yang masih di alam liar dan masih terbang bebas dan contoh yang lain-lain,26

2) Marhun haruslah memiliki nilai dan sifatnya barang tersebut ialah harta,

3) Keberadaan Marhun haruslah jelas dan pasti, 4) Marhun milik Rahin.

Disini para ulama berbeda pendapat, Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa syarat ini bukanlah syarat sah akad Rahn, akan tetapi syarat yang berlaku efektifnya akad Rahn, sehingga Ulama Hanafiyah beranggapan masih sah apabila seseorang menggadaikan harta milik orang lain tanpa izin tetapi memiliki kewenangan yang sah, seperti halnya seorang ayah yang menggadaikan harta anak yang dibawa perwaliannya, baik itu adalah tanggungan utang si anak maupun tanggungan utang si ayah tersebut. Lain halnya dengan pendapat ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabilah yang berpendapat bahwa tidak sah menggadaikan harta orang lain tanpa seizin orang tersebut walaupun orang tersebut memiliki kewenangan yang sah.

c. Utang (Marhun Bih)

Utang (Marhun bih) adalah kewajiban bagi pihak Rahin kepada Murtahin dan bersifat mengikat. Adapun syarat-syarat utang atau marhun bih adalah:27

1) Utang (Marhun Bih) wajib dibayar kembali oleh Rahin kepada Murtahin;

2) Utang jika tidak bisa dilunasi secara tunai bisa dilunasi dengan cara memberikan jaminan:

3) Nilai dan bentuk utang harus jelas.

d. Sighat ijab qabul

Ulama Hanafiyah mensyaratkan bahwa Rahn tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, karena ijab qabul dalam akad Rahn sama seperti akad jual beli.28

26 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 6, h., 133-137.

27 Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h., 236.

28 Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h., 118.

(33)

Ulama Syafi’iyah mensyaratkan 3 syarat sah didalam akad rahn, Pertama ialah tuntutan yang ada didalam akad rahn sesuai dengan akad rahn itu sendiri. Kedua ialah syarat yang ditentukan haruslah mengandung kemaslahatan dan tujuan yang jelas, seperti halnya mensyaratkan hewan yang digadaikan tidak makan ini itu, maka syarat ini tidaklah sah dan tidak berlaku namun akad rahn yang ada tetap sah.

Dan yang Ketiga ialah syarat yang tidak sah dan membuat akad rahn ikut menjadi tidak sah ialah mensyaratkan murtahin tidak boleh menjual barang yang digadaikan ketika utang telah jatuh tempo sedangkan rahin belum juga membayar utangnya.

Pendapat ulama Malikiyah dan Ulama Hanabilah adalah setiap syarat yang tidak bertentangan dengan tujuan dan maksud akad serta tidak membawa kepada sesuatu yang haram, syarat tersebut dianggap sah.

Jika syarat yang diajukan bertentangan dengan akad, syarat tersebut dianggap fasid (batal atau tidak sah) dan akad rahn pun menjadi batal dan tidak sah. Seperti, rahin mensyaratkan agar barang jamunan tetap ditangan rahin dan tidak dipegang oleh murtahin. Dan contoh lainnya adalah rahin menginginkan barang yang digadaikan tidak boleh dijual kecuali dengan harga yang diinginkan oleh rahin.29

C. Dasar Hukum Gadai

Hukum gadai adalah mubah, berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

ن َٰه ِرَف اًبِتاَك ۟اوُد ِجَت ْمَل َو ٍرَفَس ٰىَلَع ْمُتنُك نِإ َو ضوُبْقَّم

Artinya: “Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang....” (QS. Al-Baqarah (2): 283)

Makna Mufradat (Kosakata)30

29 Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),, h., 119-121.

30 Syaikh Ahmad Muhammad Al-Hushari, Penerjemah Abdurrahman Kasdi, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), Cet. 1, h., 186.

(34)

“Wa in kuntum ‘ala safari” yakni Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) tidak memperoleh seorang penulis yang menulis utang, maka yang dijadikan peganganadalah barang yang digadaikan, disebutkan pada waktu berpergian karena biasanya pada waktu berpergian tidak ada tulisan dan kesaksian. Hal ini bukan merupakan pedoman tetapi untuk menerangkan kebiasaan ketika dalam perjalanan sulit untuk mendapatkan seorang penulis dan orang yang menjadi saksi.

“Rihanum maqbudhah” yakni Jika kamu tidak menemukan pegangandengan tulisan dan kesaksian, maka yang digunakan untuk bukti adalah barang yang digadaikan, karena jika tidak menerima gadai, maka tidak akan jelas bukti tentang transaksi tersebut.

2. As-Sunnah

Hadits dari Anas bin Malik ra. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang berbunyi

Artinya: “Telah meriwayatkan kepada kami Nashr bin Ali Al- Jahdhami, ayahku telah meriwayatkan kepadaku, meriwayatkan kepada kami Hisyam bin Qatadah dari Anas berkata: Sungguh Rasulullah SAW. menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan menukarnya dengan gandum untuk keluarganya.” (HR. Ibnu Majah).

3. Pendapat Ulama

(35)

Jumhur Ulama (ulama Syafi’iyah, ulama Hanabilah, ulama Malikiyah, dan ulama Hambali) sepakat membolehkan rahn, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad SAW. yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi.31

Dari dasar hukum gadai yang telah dikemukakan di atasdapat disimpulkanbahwa gadai hukumnya mubah atau boleh. Gadai tidak terbatas hanya ketika dalam perjalanan saja, tetapi juga bagi orang yang menetap, dan juga gadai boleh dilaksanakan dengan orang muslim dan juga orang non-muslim.

D. Hak dan Kewajiban Dalam Gadai

Para pihak (penggadai dan penerima gadai) masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut32:

1. Hak Rahin

a. Rahin berhak menerima sejumlah uang dari murtahin setelah menyerahkan barang gadaian;

b. Rahin berhak mendapatkan kembali marhun setelah ia melunasi utangnya kepada murtahin;

c. Rahin berhak mendapatkan sisa dari kelebihan hasil penjualan marhun, apabila harga penjualan marhun lebih besar dari utang rahin;

d. Rahin berhak menuntut ganti rugi atas kerusakan dan/atau hilangnya marhun, bilahal itu disebabkan oleh kelalaian murtahin.

2. Kewajiban Rahin

31 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 6, h., 110.

32 Ibnu Rusyd, Penerjemah Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid Wanihatul Muqtashid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Cet. II, h., 197.

(36)

a. Rahin harus menyerahkan barang gadaian kepada murtahin;

b. Rahin berkewajiban melunasi utang yang telah diterimanya dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan oleh murtahin;

c. Rahin berkewajiban merelakan penjualan marhun, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi utangnya.33 3. Hak Murtahin

a. Murtahin berhak menahan barang yang digadaikan, sehingga rahin melunasi kewajibannya;34

b. Murtahin berhak menjual marhun, apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan marhun dapat digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun bih) dan sisanya dikembalikan kepada rahin;

Murtahin berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun.35

4. Kewajiban Murtahin

a. Murtahin berkewajiban menyerahkan sejumlah uang kepada rahin pada saat gadai berlangsung;

b. Murtahin berkewajiban untuk menjaga marhun dengan sebaik-baiknya;

c. Murtahin berkewajiban mengembalikan marhun apabila rahin telah melunasi utangnya;

d. Murtahin berkewajiban memberitahukan kepada rahin bahwa marhun akan dijual apabila rahin tidak mampu untuk melunasi utangnya pada waktu yang telah ditentukan.

33 Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, h., 41.

34Ibnu Rusyd, Penerjemah Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid Wanihatul Muqtashid, h., 311.

35Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, h., 40.

(37)

E. Pemanfaatan Barang Gadai

Akad gadai merupakan akad yang tujuannya bukan untuk mencari keuntungan tapi untuk berbuat kebajikan (akad tabarru’), dengan demikian orang yang memberi utang tidak diperbolehkan mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, meskipun orang yang berutang mengizinkannya.36 Menurut para ulama siapa yang diperbolehkan mengambil manfaat atas barang yang digadaikan, sebagai berikut:

1. Pemanfaatan oleh Rahin a. Ulama Hanafiyah37

Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai dalam bentuk menggunakan, mengenakan, menaiki, menempati, atau lain sebaginya kecuali dengan izin murtahin.

Larangan pemanfaatan terhadap barang gadai karena murtahin mempunyai hak untuk menahan barang gadai sampai akad gadai itu berakhir. Sehingga ketika rahin memanfaatkan barang gadai tanpa seizin murtahin, maka rahin telah melakukan perbuatan yang melawan hukum. Apabila kemudian terjadi kerusakan pada barang gadai, maka rahin yang harus bertanggung jawab atas kerusakannya, sementara kewajiban membayar uang pinjamn tetap berada pada rahin walaupun barang gadai rusak atau hilang. Hal ini berdasarkan hadist:

36Sayyid Sabiq, Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin, Fikih Sunnah 5, (Jakarta:

Cakrawala Publishing, 2009), Cet. 1, h., 244.

37Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 6, h., 190.

(38)

Artinya: “Dan dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw.

bersabda: “Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya.” (HR. Ad-Daraquthni dan Al-Hakim).

b. Ulama Malikiyah38

Ulama Malikiyah menyatakan bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai. Mereka juga menyatakan bahwa izin murtahin kepada rahin untuk memanfaatkan barang gadai menyebabkan akad gadai menjadi batal. Hal ini dikarenakan pemberian izin oleh murtahin tersebut di anggap sebagai bentuk pelepasan hak murtahin terhadap barang gadai.

c. Ulama Syafi’iyah

Ulama Syafi’iyah memiliki pendapat yang berbeda, yaitu rahin boleh memanfaatkan barang gadai dengan segala jenis pemanfaatan yang tidak menyebabkan berkurangnya barang gadai, seperti menaikinya, menempatinya, dan menggunakannya, jika barang gadai adalah hewan atau kendaraan. Pemanfaatan, perkembangan, dan apapun yang dihasilkan dari barang gadai adalah milik rahin dan barang gadai tersebut statusnya tidak ikut terikat dengan utang yang ada. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW: 39

38Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 6, h., 191.

39 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Penerjemah Fahmi Aziz dan Rohidin Wahid, Bulughul Maram, h., 501.

(39)

Artinya: “Dan dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw.

bersabda: “Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya.” (HR. Ad-Daraquthni dan Al-Hakim).

d. Ulama Hanabilah

Ulama Hanabilah memiliki persamaan pendapat dengan ulama Hanafiyah, yaitu rahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai kecuali dengan persetujuan murtahin. pemanfaatan barang gadai tidak bisa diambil apabila rahin dan murtahin tidak bersepakat atas pemanfaatan barang gadai tersebut. Pendapat ini berdasarkan prinsip bahwa semua pemanfaatan, perkembangan yang dihasilkan oleh barang gadai ikut tergadaikan bersama barang tersebut. 40

Berdasarkan pendapat-pendapat ulama di atas kecuali ulama Syafi’iyah, dapat disimpulkan bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai dalam bentuk apapun, baik dalam bentuk menggunakan, mengenakan, menaiki, menanami, menempati, dan lain sebagainya, kecuali seizin murtahin, karena barang tersebut sebagai jaminan utang, sehingga rahin sebagai pemiliknya tidak boleh memanfaatkannya.

2. Pemanfaatan oleh Murtahin

40Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 6, h., 190-191.

(40)

a. Ulama Hanafiyah

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai, baik itu dalam bentuk penggunaan, menaiki, menempati, mengenakan atau membaca, kecuali dengan izin rahin. Apabila rahin memberi izin ke murtahin boleh memanfaatkannya secara mutlak, karena bentuk seperti itu merupakan bentuk tabarru’ dari rahin untuk murtahin. Namun ada sebagian lagi yang melarangnya secara mutlak, karena itu adalah riba atau mengandung kesyubhatan riba, sedangkan izin atau persetujuan tidak bisa menghalalkan riba dan tidak pula sesuatu yang mengandung syubhat riba, hal ini berdasarkan hadits:

Artinya: “Dan dari Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Rasulullah saw. bersabda: “Setiap utang yang menarik keuntungan/manfaat adalah riba”. (HR. Harits bin Abu Usamah dengan sanad yang sangat lemah).

b. Ulama Malikiyah

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa pemanfaatan barang gadai dalam bentuk pinjaman, maka barang gadai tersebut tidak diperbolehkan karena masuk ke dalam kategori pinjaman utang yang menarik keuntungan,41 sesuai dengan hadits:

41 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 6, h.194.

(41)

Artinya: “Dan dari Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Rasulullah saw. bersabda: “Setiap utang yang menarik keuntungan/manfaat adalah riba”. (HR. Harits bin Abu Usamah dengan sanad yang sangat lemah).42

Namun, apabila utang jual beli secara non tunai, seperti jual beli kredit dengan menjaminkan suatu barang, maka bentuk yang seperti itu diperbolehkan. Tetapi, harus ditentukan batas waktunya dengan jelas.

c. Ulama Syafi’iyah

Dalam pemanfaatan barang gadai oleh murtahin, ulama Syafi’iyah berpendapat apabila utang dalam bentuk pinjaman, murtahin memberikan syarat khusus yang merugikan pihak rahin, maka syarat tersebut tidak sah dan menurut pendapat yang lebih kuat, akad gadai tersebut juga menjadi tidak sah,43 sesuai dengan hadits:

Artinya: “Dan dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw.

bersabda: “Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya.” (HR. Ad-Daraquthni dan Al-Hakim).44

42 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Penerjeah Fahmi Aziz dan Rohidin Wahid, Bulughul Maram, h., 502.

43 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 6, h., 194-195.

44 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Penerjemah Fahmi Aziz dan Rohidin Wahid, Bulughul Maram, h., 501.

(42)

d. Ulama Hanabilah

Ulama Hanabilah menyatakan barang gadai yang tidak butuh biaya perawatan untuk diberi makan, seperti rumah, barang dan lain sebagainya, maka murtahin sama sekali tidak boleh memanfaatkan barang gadai tersebut, kecuali barang gadai tersebut berupa hewan maka murtahin diperbolehkan untuk memanfaatkannya.45 Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW:

Artinya: “Dan dari Abu Hurairah ra., berkata, Rasulullah saw.

bersabda: hewan boleh dinaiki berdasarkan nafkah dan pemeliharaannya ketika hewan tersebut digadaikan, susu hewan boleh di minum berdasarkan nafkah dan pemeliharaannya ketika hewan tersebut digadaikan, pihak yang menaiki dan meminum susu hewan yang digadaikan adalah yang berkewajiban memberikan nafkah dan pemeliharaan terhadap hewan yang digadaikan tersebut.” (HR. Al- Bukhari).

Karena barang gadai, pemanfaatan-pemanfaatannya, dan apa yang dihasilkannya adalah milik rahin. Hal ini berdasarkan hadits:

45 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 6, h., 196.

(43)

Artinya: “Dan dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah SAW.

bersabda: “Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya.” (HR. Ad-Daraquthni dan Al-Hakim).46

Berdasarkan pendapat para jumhur ulama yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa barang gadai selain hewan tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin. Jumhur ulama (ulama Hanabilah, ulama Malikiyah, ulama Hanafiyah, dan ulama Syafi’iyah) berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan, baik itu dalam bentuk menggunakan, menaiki, menanami, mengenakan, menempati, dan lain sebagainya, karena barang tersebut bukan miliknya secara penuh walaupun diizinkan oleh rahin.

Hak murtahin terhadap barang itu hanya sebatas sebagai jaminan piutang yang diberikan kepada rahin. Apabila murtahin memanfaatkan barang jaminan tersebut, maka hasil yang diperoleh dari barang jaminan tersebut termasuk ke dalam kategori riba yang diharamkan, sesuai dengan hadits:

46 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Penerjemah Fahmi Aziz dan Rohidin Wahid, Bulughul Maram, h., 500-501.

(44)

Artinya: “Dan dari Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Rasulullah saw. bersabda: “Setiap utang yang menarik keuntungan/manfaat adalah riba”. (HR. Harits bin Abu Usamah dengan sanad yang sangat lemah).47

F. Berakhir dan Selesainya Akad Gadai

Akad gadai dianggap telah berakhir dan selesai dengan beberapa keadaan, sebagai berikut:

1. Rahin melunasi semua utangnya kepada murtahin;

2. Pembebasan utang. Pembebasan utang dalam bentuk apa saja yang menandakan selesainya gadai, meskipun utang tersebut dipindahkan kepada orang lain;48

3. Diserahkannya barang gadai kepada rahin;

4. Penjualan barang gadai secara paksa yang dilakukan oleh rahin atas perintah hakim atau yang dilakukan oleh hakim ketika rahin menolak untuk menjual barang gadai;

5. Hancurnya barang gadai, karena dengan hancurnya barang gadai berarti objek akad tidak ada;

6. Para pihak melakukan pentasharufan terhadap barang gadai dengan meminjamkannya, menghibahkannya, atau mensedekahkannya;

7. Murtahin membatalkan akad gadai yang ada, walaupun tanpa seizin rahin.

Sebaliknya, gadai dipandang tidak batal jika rahin yang membatalkannya.49

47 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Penerjemah Fahmi Aziz dan Rohidin Wahid, Bulughul Maram, h., 502.

48 Ibnu Rusyd, Penerjemah Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid Wanihatul Muqtashid, h., 203.

49 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 6, h., 229.

(45)

Demikian uraian mengenai Gadai (rahn) dalam Hukum Islam, yang meliputi pengertian gadai, rukun dan syarat gadai, hukum gadai dan dasar hukum gadai, hak dan kewajiban dalam gadai, pemanfaatan barang gadai, dan berakhir dan selesainya akad gadai.

(46)

BAB III GAMBARAN UMUM

A. Gambaran Umum Wilayah Desa Geramat Kecamatan Mulak Ulu Kabupaten Lahat

1. Profil Singkat

Desa Geramat adalah salah satu Desa yang berada di wilayah Kecamatan Mulak Ulu Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan.

Desa Geramat memiliki jumlah penduduk sekitar kurang lebih 1.213 jiwa dengan luas wilayah 5000 m2, yang berbatasan dengan beberapa wilayah, antara lain:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Hantau Dabuk, Desa Padang Bindu dan Desa Keban Agung;

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Pematang Kayu Sahap dan Desa Pengenta’an;

c. Sebelah Barat berbatasan dengan Air atau Sungai Kuali, Desa Tebing Tinggi, desa Jadian dan Desa Datar Balam;

d. Sebelah Timur berbatasan dengan Air atau Sungai Kelian, Desa Air Puar dan Desa Lesung Batu.

Letak Desa Geramat memiliki jarak yang cukup jauh dengan pusat Pemerintahan, yaitu:

a. Jarak ke Ibu Kota Provinsi (Palembang) sejauh 276 Km;

b. Jarak ke Ibu Kota Kabupaten (Lahat) sejauh 60 Km;

c. Jarak ke Ibu Kota kecamatan (Muara Tiga) sejauh 2,5 Km.

Desa Geramat bisa dikatakan sebagai Desa yang lebih dulu atau dituakan di daerah Mulak Ulu. Sesuai namanya, Geramat atau disebut juga dengan Keramat, jadi Desa Geramat bisa disebut juga sebagai

Referensi

Dokumen terkait

Kasus maloklusi Angle klas III dengan skeletal klas III disertai open bite yang dirawat menggunakan alat cekat teknik Begg memberikan hasil yang baik dengan terkoreksinya

Dengan demikian, hipotesis yang diterima adalah hipotesis Ha, yaitu terdapat interaksi antara pemanfaatan CD komputer BSE (klasikal dan kelompok kecil) dengan motivasi

Setelah para guru diberi pelatihan tentang energizers, mereka menjadi lebih paham untuk mengkreasi suatu kegiatan yang bisa membuat suasenergizers dalam

Dalam poling yang dilakukan oleh National Sleep Foundation (NSF) pada tahun 2005 menyebutkan hasil bahwa lebih dari 50 persen orang terdapat satu gejala insomnia

Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengamati dan menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan dari sisi sosial ekonomi yaitu besarnya biaya, hasil

Misi Kepengakapan ialah memberi sumbangan kepada pendidikan generasi muda melalui satu sistem nilai yang berasaskan kepada Persetiaan dan Undang-Undang Pengakap,

Penggunaan dana ADD adalah 30% untuk biaya operasional Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD); 70% untuk pemberdayaan masyarakat dan penguatan

Penulis temukan juga keadaan siswa dalam hal kebutuhan belajar anak seperti pakaian, fasilitas belajar dan lain sebagainya terkucupi sehingga dapat penulis