• Tidak ada hasil yang ditemukan

11. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "11. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

11. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Makna Pembangunan Daerah

Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan yang terus menerus pada Gross Domestic Product (Produk Domestik Bruto, PDB) suatu negara atau peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu propinsi, kabupaten atau kota (Kuncoro, 2004). Menurut Todaro (1999), pembangunan wilayah bertujuan untuk mencapai pertumbuhan pendapatan per kapita yang cepat, penyediaan dan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, memperkecil disparitas kemakrnuran antar daerahlregional, serta mendorong transformasi perekonomian yang seimbang antar sektor pertanian dan industri melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia dengan tetap memperhatikan aspek kelestariannya (sustainable). Dengan demikian hakekat pembangunan wilayah bertujuan untuk menciptakan berbagai alternatif yang lebih baik bagi setiap anggota masyarakat guna mencapai aspirasinya, yang dicirikan dengan adanya proses transformasi ekonomi dan struktural melalui peningkatan kapasitas produksi dan produktivitas rata-rata tenaga kerja, peningkatan pendapatan, memperkecil disparitas pendapatan, perubahan struktur distribusi kekuasaan antar golongan masyarakat ke arah yang lebih adil, serta transformasi kultural dan t&ta nilai.

Pembangunan suatu daerah menurut Todaro (1999) harus mencakup tiga inti nilai:

1) Ketahanan (sustenance); kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok untuk mempertahankan hidup,

2) Harga diri (self esteem); pembangunan haruslah memanusiakan orang, meningkatkan kebanggaan sebagai manusia di daerah tersebut.

3) Fresdom from servitude; kebebasan bagi setiap individu suatu negara untuk berfikir, berkembang, berperilaku, dan berusaha untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

Secara umum, pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi

(2)

daerah tersebut. Dalam pembangunan ekonomi daerah peran pemerintah dapat mencakup peran-peran wirausaha (entreprenuer), koordinator, fasilitator, dan stimulator (Blakely, 1989).

Pembangunan ekonomi menurut Sukirno (1985) dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakrt meningkat dalam jangka panjang. Peningkatan ini merupakan suatu pencerminan dari timbulnya perbaikan dalam kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Dalam praktek, lajunya pertumbuhan ekonomi suatu negara ditunjukkan dengan menggunakan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto.

Selanjutnya menurut Kuncoro (2004), beberapa sasaran fundamental pembangunan yang berusaha dicapai oleh banyak daerah adalah :

1) Meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah, 2) Meningkatkan pendapatan per kapita,

3) Mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.

Suatu perekonomian baru dapat dinyatakan dalam keadaan berkembang apabila pendapatan perkapita menunjukkan kecenderungan (trend) jangka panjang menaik, tetapi tidak berarti harus mengalami kenaikan secara terus menerus, karena adanya kekacauan politik, kemunduran sektor ekspor, dan sebagainya.

Untuk melihat lajunya pembangunan suatu daerah dan perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakatnya, pertambahan pendapatan regional dan pertambahan pendapatan perkapita dari masa ke masa perlu ditentukan. Pendapatan regional merupakan nilai produksi barang-barang dan jasa yang diciptakan dalam suatu perekonoinian dalam mssa satu tahun. Untuk menghitungnya dapat digunakan dua cara, yaitu :

(1) Cara pengeluaran, adalah menentukan pendapatan regional dengan menjumlahkan seluruh pengeluaran berbagai golongan pembeli dalam masyarakat yang meliputi transaksi barang jadi final goods) saja.

(2) Cara pendapatan, adalah menentukan pendapatan dengan menjumlahkan pendapatan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam memproduksi barang dan jasa. Yang dijumlahkan adalah pendapatan yang diperoleh pekerja, pendapatan para pengusaha dan pendapatan pemilik modal.

(3)

Sektor-sektor ekonomi menurut klasifikasi BPS telah terjadi perubahan dari 1 1 sektor pada seri konstan 1983 menjadi 9 sektor pada seri konstan 1993 yaitu: (1) Pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan, (2) Pertambangan dan penggalian, (3j Industri pengolahan, (4) Listrik, gas dan air bersih, (5) Bangunan, (6) Perdagangan, hotel dan restoran, (7) Pengangkutan dan komunikasi, (8) Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan (9) Jasa-jasa.

Pendapatan regional menunjukkan tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai pada suatu tahun, sedangkan pertumbuhan ekonomi merupakan perubahan tingkat kegiatan ekonomi yang berlaku dari tahun ke tahun. Oleh sebab itu untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi harus dibandingkan pendapatan regional dari berbagai tahun. Dalam membandingkan perlu disadari bahwa perubahan nilai pendapatan regional yang berlaku dari tahun ke tahun disebabkan oleh dua faktor, yaitu: (1) perubahan dalam tingkat kegiatan ekonomi, dan (2) perubahan dalam harga-harga. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi dari masa sebelumnya. Dengan demikian, pendapatan regional perlu dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu: (i) pendapatan menurut harga yang berlaku, dihitung menurut harga-harga yang berlaku pada tahun yang bersangkutan, dan (ii) pendapatan riil yang dihitung menurut harga tetap (konstan).

2.2. Deforestasi dan Penyebabnya

Deforestasi menurut pengertian F A 0 (1990) dan World Bank (1990) dalam Sunderlin dan Resosudarmo (1 997) didefinisikan sebagai hilangnya tutupan hutan uorest cover) secara pemanen ataupun sementara. Menurut Barrow (1991) deforestasi merupakan kehilangan pohon bagi satwa liar serta pengurangan keanekaragaman jenis atau pengurangan penutupan lahan. Pendapt umum di Indonesia menurut Prakosa (1996), deforestasi diartikan sebagai konversi hutan menjadi penggunaan lahan yang lain, atau penurunan kualitas dan produktivitas hutan yang ada, sehingga secara ekonomi dan ekologi tidak sama dengan keadaan sebelumnya.

Masalah laju dan penyebab deforestasi di Indonesia telah banyak diteliti, diantaranya oleh Sunderlin dan Resosudarmo (1997). Mereka merangkum

(4)

perubahan pandangan mengenai deforestasi di Indonesia dari waktu ke waktu.

Pelaku penyebab deforestasi berturut-turut adalah industri perkayuan, petani rakyat (sistem perladangan berpindah, transmigrasi spontan dan transmigrasi umum), serta perkebunan dan tanaman keras. Sedangkan penyebab yang mendasari deforestasi adalah pemerintahlpolitik dan perkembangan ekonomi yang berlangsung. Secara lengkap penyebab deforestasi disajikan dalam Tabe! 1.

Tabel 1. Perubahan pandangan mengenai penyebab deforestasi di Indonesia.

Dick, 1991

Walhi, 1992

I I I

I

Porter, 1994

1 I I I I

SUMBER

I

Thiele, 1994

I

Dampak dilebih-lebihkan

I 1

A;L,-;lGnn uampak

I

PENYEBAB YANG MENDASARi DEFORESTASI

I I 1 "...uu.x..u,. 1

1

World Bank, I D a m ~ a k I I I

JENIS PENYEBAB

Pemerintahl politik

I

Ross, 1996

1 I I I

Perkembangan ekonomi

Keterangan : Kotak yang diarsir menunjukkan penyebab yang memegang peran utama dalam

lndustri perkayuan

deforestasi.

Sumber : Sunderlin dan Resosudarmo (1 997)

Perkebunan &

tanaman keras Petani mkyat

Dalam tulisan lanjutannya Sunderlin (1999) menambahkan bahwa

Sistem perladangan

penyebab deforestasi yang lainnya adalah ekspansi pertambangan, pembangunan jalan, serta efek ganda dari krisis, kekeringan dan kebakaran hutan.

Transmigmi spontan

Tmnsrnigrasi umum

(5)

Oleh karena itu akibat deforestasi yang disebabkan oleh berbagai pihak diatas juga harus ditanggung oleh masyarakat, sebab hutan memiliki karakteristik sebagai sumberdaya aIam yang sifatnya sebagai barang publik (common property) dan aksesnya terbuka (open access), sehingga dapat begitu mudah dimasuki oleh berbagai pihak atau sistem lain. Implikasinya, usaha-usaha pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh swasta (private), dampaknya akan befkenaan dengan kepentingan publik, baik yang di dalam maupun yang berada jauh di luar areal usahanya (Kartodihardjo, 2000).

2.3. Perkembangan Industri Pulp

Dalam rangka meningkatkan devisa negara untuk keperluan

a a zaman pzmbangunan nasional yang mengalami inflasi yang sangat besar p-d

Orde Lama, pemerintah Orde Baru memerlukan modal kerja (investasi). Untuk menarik investasi dimaksud dikeluarkan regulasi berupa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penamanan Modal Asing (PMA) dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Dalam bidang kehutanan ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). Kebijakan diatas diikuti pula dengan berbagai insentif ekonomi seperti tax holiday terhadap import mesin dan alat-alat berat, prosedur investasi yang mudah, dan rendahnya fee dan royalty terhadap pengusahaan hutan. Maka sejak itu pengusahaan hutan di Indonesia berkembang pesat. Sampai dengan tahun 1997 terdapat 565 unit HPH dengan luas konsesi 60,l juta hektar dsn menurun pada tahun 2003 menjadi 267 unit dengan luas konsesi 28,08 juta hektar (Dephut, 2005a).

Dalam rangka mengupayakan peningkatan rentabilitas dan nilai tambah (added value), disyaratkan HPH wajib mendirikan industri pengolahan hasil hutan terintegrasi. Untuk lebih meningkatkan industri perkayuan, pemerintah membuat kebijakan larangan ekspor kayu bulat (log) melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan dan Koperasi dan Menteri Perindustrian tanggal 8 Mei 1980.

(6)

Saragih dan Sipayung (2000), menyebutkan bahwa kesempatan untuk mengembangkan agribisnis pulp dan kertas di Indonesia masih terbuka luas dan berpeluang untuk menjadi salah satu industri unggulan nasional bila dilihat dari potensi produksi maupun peluang pasar yang ada. Dari potensi produksi, dengan iklim tropis dan lahan yang relatif luas serta memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity), secara alami Indonesia dapat lebih efisien menghasilkan serat alam, sedangkan potensi pasarnya masih terbuka dan terus meningkat baik dalam negeri

.

maupun intcrnasional.

Namun demikian masalah serius yang dihadapi oleh industri primer hasil hutan kayu (IPHHK) tidak terkecuali industri pulp di Indonesia pada saat ini adalah terdapatnya kesenjangan bahan baku, dimana kapasitas terpasang yang ada tidak sebanding dengan produksi lestari dari hutan alam. Menurut Sariljanto (2001), tanpa pembangilnan hutan tanaman (HTI maupun HTR) industri akan menghadapi kesulitan besar dalam mendapatkan bahan baku, karena kondisi hutan alam sudah semakin parah dan rusak berat.

Disisi lain menurut Kartodihardjo (2000), dalam kenyataannya perkembangan kondisi industri pulp dan kertas di Indonesia tidak terlepas dari gangguan yang disebabkan oleh masalah politik, sosial, lingkungan hidup, seperti:

KKN, pencemaran lingkungan dan kerusakan hutan. Hambatan utamanya adalah bersumber dari lemahnya kebijakan pemerintah dimasa lalu, sehingga berdampak luas terhadap kolldisi sosial dan lingkungan hidup hingga saat ini.

Mulai tahun 1990-an pemerintah mendorong terjadinya ekspansi besar- besaran dalam industri pulp dan kertas. Pada tahun 1991 industri pulp msmpunyai kapasitas terpasang sebesar 1,l juta ton per tahun dan meningkat pesat menjadi 6,5 juta ton per tahun pada tahun 2003. Kapasita terpasang ini menjadikan Indonesia negara terbesar ke 9 sebagai produsen pulp (APKI, 2003). Dari kapasitas terpasang tersebut, 86 persen berada di Sumatera, 8 persen berada di Kalimantan, dan 6 persen berada di Pulau Jawa; yang meliputi 14 unit industri pulp. Enam unit terbesar memiliki kapasitas 90 persen dari seluruh kapasitas terpasang (CIFOR, 2004). Rincian selengkapnya seperti pada Tabel 2 berikut.

(7)

Tabel 2. Distribusi Lokasi dan Kapasitzs Terpasang Industri Pulp di Indonesia Tahun 2003.

Sumber : APKI, 2003.

Sekitar 40 persen produksi pulp Indonesia ditujukan untuk keperluan ekspor, terutama ke China dan Korea Selatan; sedangkan sisanya dipasarkan di dalam negeri untuk industri kertas dalam negeri atau diolah langsung menjadi produk kertas pada industri pulp yang terinteg~asi dengan kertas. Realisasi produksi dan ekspor pulp Indonesia selama tahun 1993

-

2002 disajikan seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Produksi dan Ekspor Pulp Indonesia tahun 1993

-

2002.

1

Tahun ' Kapasitas Produksi , Ekspor Nilai Ekspor 1

!

1

(todtahun) ( t ~ ) I _ _ _ (ton) (US $ '000) i

1993

/

1.334.700 900.000 1 PA123.600-1 -

' 1994 1

-

2.054.700 1.314.300 243.200 132.305

1995 2.608.600 2.022.120 5 7 6 . 2 0 0 ~ - 438.468

1

I 1996 I

C--- 2.740.600 2.560.5 10 1.127.390 43 1.558 '

' 1997 4.266.600 3.058.450 -- 1.186.020 -- 489.337 4.323.600 3.430.000 -- --- 1.656.740 --- 689.885 1 4.543.600 3.694.630 ---- - 1.179.400 - - - --- 474.949 I

1 2000 / 5.228.100 4.089.550 1.329.460.- - - - -

[

2001 1 5.587.100 -- 4.665.920 -- I - 1.698.580

707.8q

563.180

2002 6.087.100 4.969.000 - 2.245.200 706.805

Sumber : CIFOR, 2004

Pada tahun 1993 nilai ekspor pulp Indonesia mencapai US$ 45,7 juta dan meningkat pada tahun 2002 menjadi US$706,8 juta.

(8)

2.4. Perkembangan Hutan Tanaman Industri

Hutan Tanaman Industri (HTI) nierupakan unit usaha yang dikelola secara komprehensif dan intensif baik dari sisi teknis, ekonomis dan manajerial dalam rangka membangun dan menyediakan hasil hutan secara efektif, efisien serta berkelanjutan (sustainable), dengan memperhatikan dan mempertimbangkan fungsi-fungsi hutan lainnya. Sedangkan HTI Pulp menurut Tarumingkeng (2000), sda!ah hutan tanarnar. yasg khusus diperuntukkan untuk industri pulp (baik untuk kertas maupun rayon).

Menurut Suhendang (1992), pembangunan hutan tanaman industri bertujuan untuk: (1) Menunjang pertumbuhan industri perkayuan melalui penyediaan bahan baku yang cukup d ~ n berkesinambungan, untuk meningkatkan ekspor kayu olahan dan pemenuhan kebutuhan kayu dalam negeri, (2) meningkatkan produktivitas hutan produksi yang mempunyai arus produktivitas nisbi rendah, dan (3) memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Menurut Iskandar dkk (2003), tujuan pembangunan hutan tanaman industri adalah : (1) Meningkatkan produktivitas, potensi dan kualitas kawasan hutan produksi yang tidak produktif, (2) memenuhi kebutuhan bahan baku industri, (3) menunjang pengembangan industri hasil hutan guna meningkatkan nilai tambah dan devisa, (4) memperbaiki mutu lingkungan hidup, dan (5) memperluas kesempatan kerja dan berusaha.

Selanjutnya menurut Suryohadikusumo (2001), secara teori pembangunan hutan tanaman di Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan terutama 15-20 tahun mendatang karena memiliki jutaan hektar tanah kosong, namun dalam prakteknya tidak mudah untuk dilaksanakan karena menghadapi banyak masalah seperti : klairn dan tantangan dari masyarakat.

Sedangkan menurut Sarijanto (2001), masa depan kehutanan Indonesia sangat tergantung dari keberhasilan membangun Hutan Tanaman (HTI), sebab bila pembangunannnya tidak mencapai luasan yang cukup, maka kondisi hutan alam bahkan hutan lindung dan hutan konservasi sekalipun akan terus terancam keberadaannya dalam rangka mencukupi bahan baku industri pengolahan kayu.

Selanjutnya ia kemukakan, bahwa ada delapan aspek yang menjsdi dasar diperlukannya pembangunan hutan tanaman, yakni : ( I ) perkembangan industri

(9)

kayu yang sangat pesat, sehingga melampui kapasitas produksi hutan alam secara letari; (2) terdapatnya cukup luas lahan tidak produktif dan lahan kosong dalam kawasan hutan produksi, yakni sekitar 18 juta hektar (30 persen dari luas hutan produksi yang ada); (3) sudah tiba saatnya dimana produk-produk hasil hutan yang masuk pasar dunia harus memenuhi sertifikasi ekolabeling yang berasal dari pengelolaan hutan secara lestari; (4) hutan tanaman akan menghasilkan volume kayu yang jauh lebih besar dari hutan alam; (5) pengusahaan hutan tanaman merupakan kegiatan padat karya, yang dapat menyerap tenaga kerja iebih besar dibanding dengan pengusahaan hutan alam; (6) bila pemer~ntah mampu membangun hutan tanaman seluas 6,25 juta hektar sebelum tahun 2018, maka hutan alam tidak perlu ditebang; (7) tersedianya dana reboisasi yang cukup besar untuk memperbaiki kembali kondisi hutan yang rusak dan jika tidak digunakan dikhawatirkan akan dipakai untuk kepentingn lain; (8) pembangunan hutan tanaman lebih mudah dilakukan daripada melakukan pengkayaan pada hutan alam.

Menurut Manan (1997), ada empat cara yang dapat dilakukan untuk membangun HTI, yaitu : (1) melakukan konversi hutan alam produktif, potensi rendah dan under stocked; (2) dilakukan pada tanah kosong dan ditumbuhi alang- alang serta semak belukar; (3) penerapan silvikultur tebang habis dengan permudaan buatan (THPB) di areal HPH, dan (4) melalui penebangan dan pemanenan hutan alam.

Sebagian besar lokasi HTI Pulp berada di sekitar areal pedesaan dimana masyarakatnya masih menganut cara hidup tradisional dan kehidupannya memiliki ketergantungan dengan hutan. Mereka menganggap bahwa hutan merupakan bagian dari kehidupannya, sehingga dengan hadirnya pengusaha pengelola HTI melakukan ekploitasi sumber daya hutan di wilayahnya, mereka merasa terisolir dan tersingkirkan (Tarumingkeng, 2000). Oleh karena itu untuk menjalankan usahanya dengan baik, perusahaan haruslah mencermati lingkungan eksternal yang terdiri dari lingkungan kerja dan lingkungan sosialnya melalui pemberdayaan masyarakat (community development).

Dalam upaya mencapai optimalisasi pengusahaan hutan tanaman dari diinensi ekonomi, ekologi dan sosial dilakukan pengaturan tata ruang hutan

(10)

tanaman sesuai Keputlsai~ Mentzri Kehutanan Nomor 701Kpts-1111995 dengan peruntukannja sebagai bcrikut, yaitu : (I) luas areal tanaman pokok 70 persen; (2) luas areal tanaman unggulan 10 persen; (3) luas areal tanaman kehidupan 5 persen; (4) luas areal konservasi 10 persen; dan (5) luas areal untuk sarana prasarana 5 persen dari unit areal hutan tanaman.

Menurut hasil studl Fahutan IPB dalain Kartodihardjo (2000), ternyata perusahaan yanz herhasil !nemhar.gunan. HTi adalah perusahaar~ yafig memiiiki industri p e r k z y ~ r n dan mensnfaatkan bahan baku kayu dari HTI yang ditanamnya, karena ia tidak memiliki peluang untuk lnendapatkan pasokan kayu dari sumber-sumber lainnya. Perusahaan yang menghadapi situasi demikian akan membangun HTI-nya dengan sungguh-sungguh meskipun tidak disubsidi oleh pemerin~ah.

Pembangunan HTI yang semula merupakan wacana, kemudian direalisasikan pada kehutanan nasional seiring makin tingginya tingkat degradasi dan defore,<tasi di kawasan hutan yang terjadi sejak dasawarsa tahun 1980-ar..

Pembangunan dan pengelolaan HTI yang sudah operasional, keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hutan Tanaman Indcstri yang kemudian diperbaharui dengan PP Nomor 6 Tahun 1999.

Karena sistem kerja yang digunakan adalah n~ono~soni', kayu untuk industri pulp harganya jauh lebih rendah karena tidak ada paspr lain, sehingga menghasilkan biaya transaksi dibawah harga normal. Efek keseluruhan yang dite~nukan pada pasar kayu untuk industri pulp dapat ditampilkan dengan grafik pada Gambar 1.

Karena sistem monopsoni perusahaan illdustri pulp akzn melakukan eksploitasi keuntungan dengan menekan permintaan pada h1EI = D, dimana petani seharusnya mendapat penerimaan pada tingkat P,. Nalnun dalam struktur pasar monopsoni ini petani hutan tanaman industri hanya ~nendapatkan penerimaan pada tingkat Pf. Dengan demikian petani hutan tanaman industri kehilangan pendapatan sebesar P,

-

Pf sehingga terjadi kehilangan produser surplus.

I Monopsoni a d d a h suatu struktur pasar dimana hanya ada satu penibeli dengan kurva suplai ).an: n~eiiiiliki renting posilif. dengnn kata lain kekuatan nionopsoni niampu nienekan h a r p ni~ii.j;lJi ri'nd;~!~ cicng3n pembatasan penibclian.

(11)

Gambar I. Pasar Kayu untuk Industri Pulp.

Sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 sampai dengan tahun 2004, di Indonesia telah terdapat 214 unit HTI dengan luas areal 9,3 juta hektar, dengan realisasi luas tanaman 2,5 juta hektar (26,93 persen). Secara

rinci dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rekapitulasi Pembangunan HTI di Indonesia Berdasarkan Kelas Perusahaan sampai dengan Tahun 2004.

tanaman (ha) No

I

11.

111

Pelaksanaan konsep integrasi pembangunan HTI dengan industri pengolahannya dapat dilakukan melalui berbagai bentuk. Pertama, satu unit HTI

Status SW Kelas Perusahaan Definitif:

HTI Pulp

HTI Pertukangan Sementara :

HTI Pulp

HTI Pertukangan Pencadangan :

HTI Pulp H'I'I Pertukangan

terintegrasi dengan satu unit industri, menempatkan suatu bentuk manajemen JUMLAH (I+II+III)

HTI Pulp HTI Pertukangan

terpadu dalam suatu kelompok usaha (holding company). Kedua, satu unit HTI Jumlah

(unit) 35 79 4 3 3 11 52

terintegrasi dengan lebih dari satu unit industri, terdapat interdependensi sehingga Sumber : Dephut, 2 0 0 5 ~

Luas Areal (ha) 4.069.489

1.733.215 179.815 568.296 1.594.383 1.168.421 214

50 164

memberikan harga yang kompetitif diantara industri lainnya. Ketign, beberapa 9.3 13.629

5.843.697 3.469.932

(12)

unit HTI terintegrasi dengan satu unit industri yang nlemiliki kapasitas terpasang yang relatif besar yang memiliki kelebihan dan kekurangan (Iskandar dkk, 2003).

2.4. Sistem Agribisnis

Agribisnis adalah merupakan rangkaian aktivitas yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang ada kaitannya dengan pertanian dalam arti luas. Pengertian pertanian dalam arti iuas adalah, Lerupa kegiatan yalig menulijang dan diiunjai~g oleh kegiatan pertanian tersebut (Arsyad dalam Soekartawi, 1997). Keterkaitan tersebut dapat bersifat vertikal antar subsistem agribisnis maupun keterkaitan horizontal antara sistem atau subsistem lain seperti : finansial dan perbankan, transportasi, perdagangan, pendidikan dan sebagainya.

Menurut Saragih dan Sipayung (2000), pembangunan ekono~ni nasional abad ke-21 (paling tidak dalam dekade awal) akan masih berbasis pada pertanian secara luas. Sejalan dengan tahapan perkembangan ekonomi, maka kegiatan agribisnis yang mengarah pada bidang jash dan bisnis yang berbasis pertanian akan sernakin meningkat. Oleh karea itu pegembangan agribisnis akan menjadi salah satu sektor unggulan (a leading sector) dalam pembangunan ekonomi nasional. Selanjutnya disebutkan pula bahwa agribisnis pulp dan kertas merupakan suatu kluster industri (industry cluster) yang terdiri dari : kegiatan pembibitan kayu (nursery), budidaya tanaman (timber plantation), industri pulp dan kertas (pulp andpaper industry) serta industri lanjutannya. Disebutkan juga bahwa fase yang terpenting dalam pengembangan agribisnis pulp dan kertas adalah, fase dimana agribisnis tersebut digerakkan oleh inovasi (innovation- driven) yang menggunakan pengetahuan dan teknologi serta tenaga kerja terampil.

Kemajuan teknologi pemuliaan tanaman (breeding) memungkinkan produksi bahan baku kayu per hektar lahan makin tinggi dan siklus pemanenan lebih singkat dan efisiensi pengolahan makin meningkat yanz dapat menurunkan biaya produksi dan mengurangi pollutan ke lingkungan.

Menurut Yudohusodo (2001), dalam pelaksanaan otonomi daerah pengembangan agribisnis akan dihadapkan pada berbagai potensi dan kendala dalam implementasinya. Sebagai potensi, dengan pemberian kewenangan yang

(13)

luas untuk mengatur rumah tangganya, daerah akan termotivasi untuk menggali lebih banyak lagi sumber ciaya yang dimilikinya untuk dimanfaatkan secara optimal guna mempercepat pembangunan di segala bidang. Sebaliknya bila daerah tidak mampu memadukan potensi yang dimiliki dengan keterbatasan sumber daya yang tersedia, maka akan menjadi kendala yang akan mengancam kelestarian sumber daya itu sendiri.

2.5. Anaiisis Kelayakan Usaha

Analisis Kelayakan usaha adalah suatu peneiitian yang menyangkut tentang layak tidaknya suatu usaha bisnis bila telah dilaksanakan yang digambarkan oleh tingkat keuntungan yang diperoleh. Analisis kelayakan usaha yang dilaksanakan pada pengkajian ini dimaksudkan untuk melihat sisi finansial apakah pengembangan industri pulp, pengembangan hutan tanaman, dan pengembangan industri pulp terintegrasi dengan hutan tanaman di Kabbpaten Pelalawan layak atau tidak, yang didekati dengan perhitungan Net Present Value (nPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Net BeneJit Cost Ratio (Net B/C).

2.6. Manfaat Ekonomi Pengusahaan Hutan

Menurut Todaro (1999), pembangunan wilayah bertujuan untuk mencapai pertumbuhan pendapatan perkapita yang cepat, penyediaan dan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, memperkecil disparitas kemakrnaran antar daerahlregional, serta mendorong transformasi perekonomian yang seimbang antar sektor pertanian dan industri melalui pemanfaatan sumberdaya d a m yang tersedia dengan tetap memperhatikan aspek kelestariannya (sustainable). Dengan demikian hakekat pembangunan wilayah bertujuan untuk menciptakan berbagai alternatif yang lebih baik bagi setiap anggota masyarakat guna mencapai aspirasinya, yang dicirikan dengan adanya proses transformasi ekonomi dan struktural melalui peningkatan kapasitas produksi dan produktivitas rata-rata tenaga kerja, peningkatan pendapatan, memperkecil disparitas pendapatan, perubahan struktur distribusi kekuasaan antar golongan masyarakat ke arah yang lebih adil, serta transformasi kultural dan tata nilai.

Hasil penelitian Maturana (2005) terhadap lima perusahaan perkebunan kayu di Sumatera dengan menggunakan metode Total Economic Value (TEV),

(14)

menunjukkan bahwa empat perusahaan pericebunan kayu, yang lokasinya merupakan bekas tebangan (log over area) menunjukkan bahwa rasio manfaat dan biaya ekonominya (dalam mata uang dolar Amerika Serikat) pada tingkat suku bunga 4 persen adalah: PT. Arara Abadi 0,61 diikuti oleh PT. Wirakarya Sakti 0,49 dan PT. Riau Andalan Pulp and Paper 0,38, serta PT. Toba Pulp Lestari 0,37.

Sedangkan satu perusahaan yaitu PT. Musi Hutan Persada, yang arealnya merupakan padang alang-alang dan semak belukar; menunjukkan rasio manfaat dan biaya ekonomi 2,32. Nanun demikian, pilihan terbaik bagi pemerintah adalah membiarkan perusahaan beroperasi untuk menghindarkan biaya-biaya operasi bersih yang lebih tinggi karena biaya-biaya ekonomi akan tetap sama walaupun manfaatnya mencapai angka nol.

Simangunsong (2003), menghitung Nilai Ekonomi Total (TEV) pada hutan produksi alam dengan pendekatan : (1) Nilai guna langsung, yaitu nilai barang dan jasa yang dikonsumsi langsung seperti kayu bulat, hasil hutan non- kayu, (2) Nilai guna tidak langsung, yaitu nilai dari barang dan jasa yang diperoleh secara tidak langsung seperti pengawetan air dan tanah, (3) Nilai pilihan, yaitu nilai langsung dan tidak langsung dari hutan dimasa mendatang, serta (4) Nilai keberadaan, yaitu nilai intrinsik dari hutan seperti nilai spiritual, sosial budaya. Pada hutan alam primer, nilai ekonomi total adalah US$ 1.415,62 yang terdiri dari nilai guna langsung US$ 100,20, nilai guna tidak langsung US$

1.306,66; nilai pilihan US$ 3,11 dan nilai keberadaan US$ 5,65. Sedangkan pada hutan bekas tebangan (LOA), nilai ekonomi totalnya adalah US$ 1.283,Ol yang terdiri dari nilai guna langsung US$ 84,94; nilai guna tidak langsung US$

1.191,14; nilai pilihan US$2,69 dan nilai keberadaan US$4,24.

2.6.1. Penciptaan Devisa

Pengertian devisa sesuai Kamus Istilah Manajemen tahun 1994 adalah alat pembayaran luar negeri atau yang dapat diuangkan dengan mata uang asing

@reign exchange). Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalulintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, yang dimaksud dengan devisa adalah aset dan kewajiban finansial yang digunakan dalam transaksi internasional.

(15)

Menurut Sukirno (1 997) transaksi intemasional melalui perdagangan luar negeri akan tneninggikan tingkat kegiatan ekonomi suatu negarafdaerah apabila ekspor bersih, yaitu ekspor dikurangi impor bernilai positif.

2.6.2. Penciptaan Nilai Tambah PDRB

Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan bagian dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestik Product (GDP), yang merupakan nilai produksi barat~g-barang dan jasa yang dihasilkan suatu perekonomian (negara) dalam waktu satu tahun (Arsyad, 1999). PDRB menyatakan pendapatan regional dalam tingkat provinsi. Nilai PDRB adalah penjumlahan dari seluruh besaran nilai tambah bruto dari seluruh unit produksi yang berada pada region tertentu, dalam rentang waktu tertentu (BPS Provinsi Riau, 2000). Nilai tambah bruto merupakan nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam periode waktu tertentu, yang diperoleh dari perkalian antara jumlah produksi dan harganya, dikurangi biaya antara. Biaya antara adalah biaya yang digunakan dalam proses produksi oleh unit-unit produksi domestik pada rentang waktu tertentu, biasanya satu tahun. Tehnik perhitungan yang menjumlahkan nilai tambah yang diciptakan ini dikenal dengan sebutan metode nilai tambah.

Cara ini dilakukan untuk menghindari terjadinya perhitungan berganda (Arsyad, 1999).

Salah satq manfaat PDRB adalah untuk mengetahui tingkat aktivitas ekonomi yang dihasilkan oleh seluruh faktor produksi, besarnya laju pertumbuhan ekonomi dan struktur perekonomian pada satu periode dan daerah tertentu, yang dapat dievaluasi hasilnya dan sebagai bahan penyusunan perencanaan pembangucan untuk masa mendatang (BPS Provinsi Riau, 2000).

2.6.3. Penerimaan Pungutan Kehutanan dan Pajak

Di dalam pemanfaatan hutan di Indonesia, pemerintah memungut berbagai macatn iuranlpungutan dari kegiatan yang dilakukan para pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan Ijin Lainnya yang sah (ILS). Pungutan-pungutan tersebut antara lain :

1) Iuran HPHkIPHTI

2) Iuran Hasil Hutan (IHH)/Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)

(16)

3) Dana Jaminan Reboisasi (DJR)/Dana Reboisasi (DR).

Iuran HPH/HPHTI adalah fee (ongkos atau bayaran) yang harus dibayar oleh pengusaha untuk mendapat ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu. Iuran ini besarnya ditetapkan pemerintah berdasarkan luas areal kerja HPWHPHTI dan dibayarkan pada waktu pengusaha mendapat ijin dimaksud. Penetapan besarnya iuran mengalami beberapa kali perubahan, terakhir diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 1999 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pad2 Departemen Kehutanan dan Perkebunan;

dikelompokan menjadi 3 wilayah yaitu wilayah Sumatera dan Sulawesi, Kalilnantan dan Maluku, serta Irian Jaya, NTB dan NTT. Untuk permohonan baru HPH, tarif masing-masing wilayah per hektarnya adalah Rp37.500, Rp 50.000, dan Rp 20.000. Sedangkan untuk perpanjangan ijin adalah Rp 22.500, Rp 30.000 dan Rp 15.000. Selanjutnya untuk HPHTI dengan sistem THPB adalah Rp. 2.600 per hektar.

Iuran Hasil Hutan (IHH) atau sekarang diubah menjadi PSDH atau Resoursces Royalty ~ r o v i s i o n ~ adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.

Besarnya PSDH didasarkan pada volume kayu yang dipungut dan grup spesies.

Besarnya pungutan PSDH adalah sebesar 6 persen dari harga pasar masing- masing jenis dan ukuran kayu bulat diameter diatas 30 centimeter untuk setiap meter kubik kayu yang diambil. Sedangkan untuk limbah pembalakan dan bahan baku serpih dari hutan alam adalah sebesar 1 persen, sedangkan untuk kayu-kayu yang berasal dari hutan tanaman adalah sebesar 5 persen dari harga pasar yang berlaku.

Sedangkan DJR bukan merupakan pungutan yang lazim dibayar oleh pengusaha hutan seperti fee atau royalty, tetapi lebih merupakan suatu 'trust fund', sehingga pungutan ini mungkin agak unik bentuknya (Prakosa, 1996). DJR merupakan dana jaminan dari pengusaha hutan untuk melakukan penanaman kembali pada areal yang ditebang. Jika pengusaha menunjukkan keberhasilan

*

Royalty adalah kompensasi (imbalan hasil) akibat dipergunakannya sebuah hak paten, hak cipta atau hak-hak lainnya (LPPM, 1994)

(17)

pelaksanaan pembinaan hutan, maka DJR dikembalikan kepada pengusaha; tetapi jika tidak maka DJR menjadi rnilik pemerintah.

Berdasarkan Kepres Nomor 31 Tahun 1989 DJR dicabut dan diganti menjadi DR. DR tidak lagi merupakan dana jaminan yang dapat dikembalikan kepada pengusaha, tetapi merupakan kewajiban pengusaha untuk menyediakan dana guna usaha peremajaan hutan diluar HPH, membangun HTI, dan usaha rehabilitasi tanah-tanah negara yang direncanakan oleh Menteri Kehutanan.

Meskipun demikian, pembayaran DR tetap tidak menghilangkan kewajiban pengusaha hutan untuk melakukan penamanan dan pemeliharaan pada areal bekas tebangan. Besarnya tarif DR telah beberapa kali diubah. Untuk wilayah Sumatera dan Sulawesi, tarif DR per meter kubik kayu bulat yang berlaku adalah US$ 14 untuk kelompok meranti, US$ 12 untuk kelompok rimba campuran, dan US$ 18 untuk kelompok kayu indah. Tarif DR untuk bahan baku serpih adalah sebesar US$ 2,O bagi kayu yang berasal dari provinsi yang memiliki industri pulp dan US$ 0,O bagi kayu yang berasal dari propinsi lain yang tidak memiliki industri pulp-

Menurut UU No 25 Tahun 1999 Jo Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, Iuran HPWHPHTI dan IHW PSDH termasuk Dana Perimbangan Bagian Daerah dari penerimaan sumberdaya alam. Penerimaan negara dari sumberdaya alam sektor kehutanan dibagi dengan perimbangan 20 persen untuk Pemerintah Pusat dan 80 persen untuk Daerah.

Sedangkan DR merupakan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang dibagi dengan perimbangan 40 persen untuk Daerah penghasil dan 60 persen untuk Pemerintah Pusat.

Pajak yang berlaku di bidang kehutanan adalah sama dengan pajak bagi perusahaan pada umumnya yang ditetaapkan Menteri Keuangan. Pengertian pajak menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani dalam Sukardji (2000) adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Pajak-pajak tersebut antara lain :

(18)

1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 2) Pajak Penghasilan (PPh)

3) Pajak Pertambahan Nilai (PPn)

Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pengembangan dari pajak tanah (land rente), yaitu berupa pengenaan pajak sehubungan dengan hak atas bumi dantatau perolehan manfaat atas bangunan. PBB di bidang kehutanan adalah tax

pada tanah kawasan HPH dan HPHTI yang dibayarkan oleh pemegang hak pada Pemerintah Daerah setempat, yang besarnya ditentukan berdasarkan nilai tanahnya.

Pajak Penghasilan (PPh) merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang berasal dari penghasilan masyarakat, yang dapat dikelompokkan menjadi :

a. Penghasilan dari pekerjaan, yaitu penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, misalnya penghasilan dari praktek dokter, notaris, akuntan publik, aktuaris (ahli matematika asuransi jiwa), pengacara, dan sebagainya.

b. Penghasilan dari kegiatan usaha, yaitu penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan melalui srana perusahaan, misalnya impor barang, menjual barang dagangan, dan sebagainya.

c. Penghasilan dari modal. Penghasilan ini dapat berupa penghasilan dari harta bergerak, seperti bunga, dividen, royalty, maupun penghasilan dari ha& yang dikerjakan sendiri.

d. Penghasilan lain-lain, seperti menang undian, pembebasan hutang, dan lain- lain penghasilan yang tidak termasuk kelompok lain.

Pajak Pertambahan Nilai (PPn) merupakan pengenaan pajak atas nilai tambah (added value) yang timbul pada barang atau jasa tertentu yang dikonsumsi. Nalnun sebelum barang atau jasa tersebut sampai pada tingkat konsumen, PPn telah dikenakan pada setiap tingkat mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Secara sederhana, nilai tambah dapat diartikan sebagai selisih antara harga jual dengan harga beli barang dagangan.

Gambar

Tabel  1. Perubahan pandangan mengenai penyebab deforestasi di Indonesia.
Tabel 2.  Distribusi Lokasi dan Kapasitzs Terpasang Industri Pulp  di Indonesia Tahun 2003
Gambar  I.  Pasar Kayu untuk Industri Pulp.

Referensi

Dokumen terkait

2012 Direktorat Budidaya Aneka Kacang dan Umbi (dana Tugas Pembantuan/TP dan Dekon) melalui program pengelolaan.. Upaya yang telah dilakukan Direktorat Budidaya Aneka

Elemen-elemen ini akan bereaksi selama proses fiksasi dan akan tergantung pada jenis fiksasi yang digunakan, baik itu akan bereaksi secara kimia dengan fiksatif, distabilisasi

Diabetes seringkali ditemukan pada masyarakat dengan usia tua karena pada usia tersebut, fungsi tubuh secara fisiologis menurun dan terjadi penurunan sekresi

Sedangkan pada variabel lainnya, CAR, FDR, ROA, dan ROE tidak menunjukkan perbedaan kinerja antara satu tahun sebelum dan satu tahun sesudah spin-off, dengan nilai

kegiatan Program peningkatan manajemen dan pelayanan Administrasi Persentase kinerja perkantoran yang baik Bidang pelaksana Uraian Indikator Kinerja 2016 2017 2018 2019

Electrolarynx yang bebas genggam ( hands-free ) dengan kontrol on/off otomatis menjadikan EL lebih praktis dan akan membuat pasien lebih fleksibel. Beberapa penelitian

Closed display (Penataan dalam ruang tertutup): Barang-barang dipajangkan dalam suasana tempat tertutup. Barang-barang tersebut tidak dapat dihampiri dan dipegang atau diteliti

Migas hanya terbentuk dalam setting geologi dan syarat  –   –   syarat  syarat tertentu dimana migas terakumulasikan yang mana nantinya akan membutuhkan tahapan -