• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Karakter Fisik Polen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA Karakter Fisik Polen"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Polen

Polen merupakan gametofit jantan tumbuhan yang berperan dalam proses pembuahan. Proses meiosis pada anter menyebabkan dihasilkannya polen yang bersifat haploid (D’Arcy & Keating 1996). Polen mempunyai ukuran, bentuk, serta struktur permukaan yang sangat beragam. Ciri-ciri fisik polen tersebut dapat digunakan sebagai kunci deskriptor dalam mengidentifikasi suatu polen (Murray 2001). Selain ciri fisik, setiap polen juga mengandung komponen-komponen kimia yang beragam (Crane 1990; Human & Nicolson 2006; Wang et al. 2006).

2.1.1. Karakter Fisik Polen

Ukuran polen sangat bervariasi, yaitu berkisar antara 2 - 250 m. Polen tanaman Poaceae umumnya memiliki diameter 20 - 60 m, namun beberapa polen Poaceae berdiameter lebih dari kisaran tersebut. Polen dari tanaman jagung yang merupakan famili Poaceae mempunyai diameter 90 - 110 m. Tanaman Pinaceae menghasilkan polen berdiameter 40 - 100 m, sedangkan Plantaginaceae berdiameter 20 - 30 m, Asteraceae 15 - 30 m, Chenopodiales 20 - 80 m, Betulaceae 20 - 35 m, Aceraceae 25 - 49 m, Oleaceae 20 - 30 m, Salicaceae 10 - 20 m, dan Ulmaceae 25 - 40 m (Weber 1998). Polen tanaman Fagaceae umumnya berkisar antara 10 - 40 m (Frenguelli et al. 1991).

Bentuk polen sangat beragam. Tanaman dari famili Poaceae (rumput-rumputan) umumnya menghasilkan polen dengan bentuk bulat (Weber 1998). Begitu pula polen yang dihasilkan oleh tanaman pisang (Damayanti 2002), tanaman Cornaceae (Murray 2001), dan tanaman Fagaceae (Frenguelli et al. 1991). Sedangkan polen tanaman Cocos nucifera mempunyai bentuk elips (Roubik et al. 2003). Selain berbentuk bulat dan elips, beberapa polen mempunyai bentuk segitiga, yaitu polen kelapa sawit (Elaeis guineensis) yang dilaporkan oleh Lubis dan Adlin (1993), dan Roubik et al. (2003). Beberapa polen berbentuk unik, yaitu terlihat pada polen pinus yang mempunyai dua gelembung (vesikel) pada kedua bagian sisinya. Dua gelembung tersebut disebut sebagai “Mickey Mouse Cap” karena bentuknya menyerupai tudung Mickey Mouse (Weber 1998; Roubik

(2)

et al. 2003). Pada umumnya polen bersifat monad, yaitu terdiri dari satu butir polen, namun beberapa tanaman menghasilkan polen yang terdiri dari beberapa butir polen. Polen monad antara lain ditemukan pada polen Poaceae, Aceraceae, Helianthus, Betulaceae (Weber 1998; Roubik et al. 2003), dan polen tanaman Musaceae (Damayanti 2002). Polen Acacia auriculiformis merupakan polen yang membentuk tetrad karena terdiri dari empat butir polen yang saling menempel (Weber 1998; Roubik et al. 2003). Polen tetrad juga ditemukan pada polen tanaman Annona cherimola (Gonzales et al. 2006). Beberapa polen tanaman Mimosa terdiri dari 16 butir polen sehingga disebut sebagai poliad (Weber 1998).

Permukaan polen mempunyai struktur khusus yang juga dapat digunakan sebagai kunci deskriptor. Struktur tersebut berupa guratan kasar (furrow), lubang (pore), dan ornamen halus (sculpture). Polen dengan guratan kasar pada permukaannya disebut sebagai colpate. Jumlah guratan pada permukaan polen dapat berjumlah satu atau lebih, sehingga polen dengan satu, dua, tiga, atau lebih guratan kasar berturut-turut disebut sebagai monocolpate, dicolpate, tricolpate, dan seterusnya (Weber 1998).

Lubang polen merupakan ciri fisik yang dapat digunakan sebagai salah satu parameter dalam identifikasi polen. Polen dengan lubang pada permukaannya disebut dengan porate. Jumlah lubang pada setiap polen berbeda-beda. Polen dengan lubang satu, dua, tiga, atau lebih berturut-turut disebut monoporate, diporate, triporate, dan seterusnya. Polen yang mempunyai guratan kasar dan lubang pada permukaannya disebut sebagai monocolporate, dicolporate, tricolporate, dan seterusnya tergantung pada jumlah lubang dan guratan pada permukaannya (Weber 1998).

Polen tanaman rumput-rumputan umumnya berupa monoporate. Polen Asteraceae dan Fagaceae umumnya berupa tricolporate. Sedangkan polen Chenopodiales dan Betulaceae berturut-turut berupa periporate (permukaan polen dipenuhi oleh banyak lubang) dan tri- atau pentaporate. Polen yang tidak memiliki guratan kasar dan lubang disebut sebagai inaperturate. Polen tanaman Pinaceae dan Cupressaceae adalah salah satu polen inaperture (Weber 1998; Roubik et al. 2003).

(3)

Struktur berupa ornamen-ornamen halus sangat bervariasi pada setiap permukaan polen. Struktur tersebut juga dapat digunakan sebagai salah satu parameter identifikasi polen. Cushing (2001) dan Minnich et al. (2003) menyebutkan, bahwa ornamen-ornamen halus tersebut dapat diamati apabila menggunakan Scanning Electrone Microscope (SEM). Struktur ornamen tersebut antara lain dikenal sebagai foveolate, verrucate, striate, reticulate, rugulate, dan echinate (Cushing 2001).

2.1.2. Karakter Kimiawi Polen

Polen mengandung komponen-komponen kimia dengan konsentrasi yang sangat beragam. Kandungan kimiawi utama polen adalah protein, karbohidrat, lipid, dan air (Human & Nicolson 2006).

Pada polen rumput-rumputan, protein merupakan komponen tertinggi, yaitu melebihi 40% dari kandungan polen, kandungan gula adalah antara 15 hingga 50%, dan kandungan tepung adalah kurang lebih 18 %. Penelitian oleh Human dan Nicolson (2006) menemukan bahwa protein merupakan komponen tertinggi yang terkandung pada polen tanaman Aloe greatheadii (Asphodelaceae), yaitu sebesar 51%, kemudian diikuti oleh karbohidrat sebesar 35%, air sebesar 13%, dan lipid sebesar 10%. Rata-rata kandungan protein pada 20 jenis polen yang diteliti oleh Crane (1990) adalah sebesar 20%, kemudian dikuti oleh gula sebesar 11%, air sebesar 10%, dan karbohidrat 8%, dan lipid sebesar 5%.

Protein polen dapat ditemukan pada dinding sel maupun bagian protoplasma polen. Pada polen jagung (Zea mays), protein ditemukan pada bagian dinding sel maupun pada sitoplasma polen (Wang et al. 2006).

2.2. Polen Penyebab Alergi Pernapasan

Polen merupakan salah satu partikel yang dapat menyebabkan alergi pernapasan. Ciri-ciri polen sebagai penyebab alergi pernapasan antara lain berukuran kecil serta kering (Environment Affair Department 2006; Hopkins Technology 2006) dan mengandung protein alergenik dengan berat molekul 10 hingga 70 kDa (Ticha et al. 2002; Puc 2003).

(4)

Pada saat cuaca hangat dan berangin, polen yang berukuran kecil serta bersifat kering mudah tertiup oleh angin. Weber (1998) menyebutkan bahwa polen berdiameter kurang dari 100 m merupakan polen yang mudah tertiup angin. Polen Cocos nucifera, Pinus, Poaceae, Asteraceae, Cassia, Quercus, Cedrus, Ailanthus, Cheno/Amaranth, Cyperus, Argemone, Xanthium, Parthenium, Holoptelea, Eucalyptus, Casuarina, dan Putanjiva merupakan polen yang banyak ditemukan di udara bebas negara India (Singh & Kumar 2003). Sedangkan polen tanaman Elaeis guineensis, Podocarpus polystachyus, dan Acacia auriculiformis merupakan polen yang banyak ditemui di udara bebas negara Singapura (Chew et al. 2006). Penelitian di udara bebas kota Bangkok-Filipina menunjukkan bahwa polen rumput merupakan polen yang paling banyak ditemukan (Phanichyakam 1981). Polen tanaman Pinaceae, Plantaginaceae, dan Cupressaceae merupakan polen terbanyak yang ditemukan di udara bebas negara New Zealand pada bulan yang berbeda (Crump 2005). Pada penghitungan polen di udara bebas Sydney-Australia dilaporkan telah ditemukan 14,382 butir polen/m3 di Homebush, 11,584 butir polen/m3 di Eastern Creek, dan 9,269 butir polen/m3 di Nepean (Katelaris et al. 2004).

Polen yang beterbangan di udara bebas berpotensi terhirup oleh saluran pernapasan sehingga dapat menyebabkan alergi pernapasan (Environment Affair Department 2006; Hopkins Technology 2006). Penelitian di Singapura menyebutkan bahwa 40% penduduknya menderita alergi yang disebabkan oleh polen kelapa sawit (Elaeis guineensis), kemudian diikuti oleh polen Podocarpus polystachyus dan Acacia auriculiformis masing-masing sebesar 33,8% dan 28% (Chew et al. 2006). Penelitian di Bangkok-Filipina menunjukan bahwa polen rumput-rumputan merupakan polen yang sangat berpotensi dalam menyebabkan alergi (Sridhara et al. 1995). Sedangkan Crump (2005) menyebutkan bahwa polen tanaman pinus merupakan polen yang dapat menyebabkan alergi pada beberapa penduduk New Zealand. Penelitian dengan menggunakan ELISA menunjukkan bahwa 66,7% koresponden di Malaysia dan Singapura menderita alergi terhadap polen kelapa sawit (Kimura et al. 2002).

Meskipun faktor ukuran serta keringnya polen merupakan faktor penting agar polen terhirup oleh saluran pernapasan sehingga menyebabkan alergi, namun

(5)

D’Amato et al. (2002) menyebutkan bahwa beberapa polen dapat menyebabkan alergi tanpa harus beterbangan di udara bebas. Hal tersebut terjadi apabila polen terguyur oleh air hujan, sehingga menyebabkan polen osmosis. Kondisi tersebut menyebabkan komponen-komponen polen, termasuk komponen penyebab alergi pada polen keluar. Pada saat cuaca hangat dan berangin, komponen-komponen tersebut akan tertiup angin bersama partikel-partikel lain di udara sehingga terhirup oleh saluran pernapasan. Sehingga, polen dengan ukuran relatif besar serta lembab juga dapat menyebabkan alergi pernapasan.

Polen kelapa sawit (Elaeis guineensis) mengandung protein dengan BM 31 kDa yang bersifat alergenik (Allergome 2002, 2003). Penelitian pada polen jagung oleh Wang et al. (2006) dengan menggunakan immunoblot menunjukkan bahwa protein berukuran 31 kDa membentuk kompleks dengan IgE spesifik. Cosgrove et a.l (1997) menyebutkan bahwa protein alergenik polen jagung mempunyai BM 30 kDa, sedangkan data dari Allergome (2005) menunjukkan bahwa protein dengan BM 14, 30, 35, dan 60 kDa merupakan protein alergenik pada polen jagung.

Protein merupakan salah satu penyusun sel yang sangat penting dalam kehidupan. Lebih dari 50% berat kering sel merupakan protein. Protein tersusun dari kombinasi 20 asam amino yang saling berikatan membentuk ikatan peptida. Sejumlah asam amino yang membentuk ikatan peptida menghasilkan rantai polipeptida yang dikenal sebagai struktur primer. Ikatan hidrogen antara asam amino penyusun struktur primer akan menghasilkan struktur sekunder yang lebih kompleks. Pelipatan struktur sekunder melalui ikatan disulfida dan ikatan hidrogen membentuk struktur tersier yang berbentuk tiga dimensi. Gabungan antara dua atau lebih struktur tersier tersebut membentuk protein kuartener yang kompleks. Ukuran protein sangat bervariasi, dipengaruhi oleh jumlah asam amino serta polipeptida penyusun protein tersebut (Nester et al. 2004).

Struktur protein yang berlipat-lipat menentukan aktivitas serta fungsi dari protein tersebut (Branden & Tooze 1999). Pemanasan protein alergenik pada buah apel dengan suhu 100C menyebabkan lipatan-lipatan pada protein terudar sehingga menghilangkan aktivitas protein tersebut dalam menyebabkan alergi (Sancho 2005).

(6)

2.3. Alergi (Hipersensitifitas)

Alergi (hipersensitifitas) merupakan reaksi sistem pertahanan tubuh yang berlebihan terhadap suatu zat yang disebut alergen (zat asing yang menyebabkan alergi). Menurut Roitt (2002) dan Nester et al (2004), berdasarkan respon imun yang terlibat serta waktu yang diperlukan agar respon muncul, alergi dibedakan menjadi empat tipe, yaitu tipe I (Immediate; IgE-mediated), tipe II (Cytotoxity), tipe III (Immune complex-mediated), dan tipe IV (Delayed cell-mediated - T cell mediated cytolysis)

2.3.1. Alergi tipe I (Immediate; IgE-mediated).

Reaksi alergi tipe I disebut juga sebagai reaksi cepat, karena respon alergi muncul secara cepat sesaat setelah tubuh terpapar oleh alergen. Alergi tipe I diawali dengan tahap pengenalan, yaitu saat protein alergenik kontak dengan tubuh untuk pertama kalinya. Protein alergenik tersebut kemudian difagosit dan dihancurkan oleh makrofag menjadi fragmen-fragmen peptida. Fragmen-fragmen ini kemudian dipresentasikan oleh APC (Antigen-Presenting Cell) melalui MHCII (Major Histocompatibility Complex II). Sel T helper 1 (Th1) selanjutnya akan menempel pada kompleks MHCII-fragmen peptida, sehingga sel Th1 mensekresikan sitokin yang merangsang proliferasi dan differensiasi sel B menjadi sel plasma. Sel plasma kemudian menghasilkan sel memori dan IgE. IgE merupakan salah satu anggota imunoglobulin darah yang berperan dalam reaksi alergi dan infeksi parasit. Pada penderita alergi, IgE banyak dihasilkan pada mukosa saluran pernapasan dan saluran pencernaan (Baratawidjaja 2006). Reseptor Fc pada IgE kemudian berikatan dengan reseptor Fc-RI pada permukaan sel mast dan basofil (Conrad 1996). Apabila kondisi ini terjadi, maka dikatakan bahwa individu tersebut telah mengenali alergen yang bersangkutan. Kontak alergen dengan tubuh pada paparan berikutnya menyebabkan terjadinya pengikatan alergen secara silang oleh IgE pada permukaan sel mast dan basofil. Ikatan tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan ion kalsium di dalam sel mast dan basofil, sehingga granul-granul di dalam sel mast dan basofil bergesekan dengan membran dalam sel mast dan basofil. Gesekan tersebut menyebabkan

(7)

granul-granul pecah dan melepaskan mediator-mediator (histamin, leukotrin, prostaglandin, dan sitokin) yang dikandungnya menuju luar sel (Agrawal 1996). Mediator yang dilepaskan tersebut menyebabkan pelebaran pembuluh darah, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, sekresi mukus yang berlebihan, dan kontraksi saluran pernafasan (Roitt 1994). Pilek, bersin-bersin, asma, serta gatal-gatal pada mata, tenggorokan, dan hidung merupakan tanda-tanda alergi tipe I (Nester et al. 2004).

Alergen pernapasan umumnya berupa polen, tinja tungau, debu rumah, bulu binatang, dan spora jamur. Penyebab utama alergi tipe I adalah faktor genetik (keturunan), namun faktor lingkungan juga sangat berperan terhadap munculnya alergi tipe 1 (Nester et al. 2004).

2.3.1.1. Pengaruh Gen terhadap Alergi Tipe 1

Pada saat protein alergenik dikenali oleh sistem pertahanan tubuh, maka respon imun yang diberikan melibatkan aktivitas sel T. Respon tersebut dikenal sebagai respon T-bebas. Sel T yang terlibat adalah sel Th1 dan sel Th2 yang masing-masing memiliki molekul CD4+ pada permukaannya. Faktor genetik dan lingkungan bertanggung jawab dalam evolusi pembentukan jenis sel Th pada setiap individu.

Pada individu yang mempunyai gen alergi, sel Th yang dihasilkan oleh tubuh saat terpapar oleh alergen adalah sel Th2. Sel Th2 menghasilkan sitokin berupa Interleukin-4 (IL-4), IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13 yang berperan dalam sintesis IgE, bertanggung jawab terhadap pertahanan mukosa, serta diferensiasi sel mast dan eosinofil (Maggi & Romagnani 1996; Woodfolk 2007).

Saat protein alergenik dikenali oleh individu normal (individu yang tidak mempunyai gen alergi), maka sel Th yang terlibat adalah sel Th1. Sitokin (mediator kimia) yang dihasilkan oleh sel Th1 adalah Interferon- (IFN-), IL-2, dan Tumor necrosis factor- (TNF- / limfotoksin) yang berperan dalam imunitas seluler. Aktivitas sel Th1 tersebut juga meningkatkan aktifitas sel T cytotoxic (Tc), makrofag serta sel fagosit lain, dan produksi antibodi teropsonisasi yaitu teutama berupa IgG2a (Maggi & Romagnani 1996; Woodfolk 2007). Reseptor pada sel Tc, makrofag, serta IgG2a tidak dapat berikatan dengan reseptor Fc-R

(8)

pada permukaan sel mast maupun basofil, sehingga degranulasi histamin serta mediator lain sebagai penyebab alergi tidak terjadi (Maggi & Romagnani 1996).

2.3.1.2. Pengaruh Alergen Pernapasan pada Sistem Saluran Pernapasan Terhirupnya alergen pernapasan seperti polen, tinja tungau, debu rumah, serta epitel dan ludah pada bulu binatang ke dalam sistem saluran pernapasan dapat menyebabkan munculnya alergi pernapasan. Alergi pernapasan dapat terjadi pada saluran pernapasan atas, yaitu hidung; faring; dan laring, maupun saluran pernapasan bawah, yaitu trakea dan paru-paru (McKane & Kandel 1996). Infeksi pada daerah hidung, faring, dan laring berturut-turut disebut rinitis, faringitis, dan laringitis. Sedangkan infeksi pada bronkus yang merupakan percabangan trakea disebut sebagai bronchitis dan infeksi pada paru-paru disebut sebagai pneumonitis (Nester et al. 2004). Tanda-tanda terjadinya alergi pernapasan antara lain berupa sakit tenggorokan, bersin-bersin, pilek, batuk, gatal-gatal, dan asma (Roitt 1994; Baratawidjaja 2006). .

Sistem saluran pernapasan dilapisi oleh jaringan epitelium yang disebut sebagai membran mukosa. Membran mukosa berperan dalam menghasilkan mukus yang menangkap partikel-partikel kontaminan yang masuk ke dalam saluran pernapasan. Kemudian oleh rambut-rambut silia yang terdapat pada permukaan membran mukosa tersebut, partikel-partikel kontaminan didorong menuju faring dan kemudian masuk ke dalam saluran percernaan (Nester et al. 2004, Campbell et al. 1994).

Saat alergen masuk ke dalam saluran pernapasan, membran mukosa merupakan bagian pertama yang mengenali alergen tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Spurzem et al. (1996) menemukan bahwa membran mukosa berperan dalam menghasilkan mediator-mediator inflamasi. Sesaat setelah alergen terhirup oleh saluran pernapasan, maka membran mukosa menginisiasi dihasilkannya mediator-mediator berupa Granulocyte-Macrophage Colony-Stimulating Factor (GM-CSF), IL-1, IL-6, IL-8, Transforming Growth Factor (TGF)-, TNF-, Leukotriene (LT)B4, dan Prostaglandin (PG)E2. Mediator

GM-CSF berperan dalam mengaktivasi eosinofil, neutrofil, serta menginduksi proliferasi makrofag dan diferensiasi sel-sel yang mengandung histamin. 1,

(9)

IL-6, dan IL-8 berperan dalam rekruitmen, aktivasi, serta diferensiasi leukosit. IL-8 merupakan kemokin yang paling potensial dalam aktivasi kemotaktik sel neutrofil. Selain IL-8, TNF- dan LTB4 juga merupakan kemokin yang dapat

mengaktivasi sel-sel kemotaktik yaitu neutrofil dan monosit. Sedangkan TGF- berfungsi sebagai agen anti-inflamasi atau agen penyembuhan karena bekerja menghambat proliferasi sel T. Peran anti inflamasi juga terdapat pada mediator PGE2, yaitu menurunkan produksi neutrofil sebagai sel-sel kemotaktik pada proses inflamasi.

Reaksi alergi pernapasan menyebabkan inflamasi (pembengkakan) pada sistem saluran pernapasan. Saat alergen masuk ke dalam saluran pernapasan, akan menyebabkan pelebaran pembuluh darah sekitar sehingga meningkatkan aliran darah ke dalam pembuluh tersebut. Pelebaran pembuluh darah kemudian menyebabkan sel-sel leukosit bermigrasi dari sistem pembuluh darah menuju lokasi alergen ditemukan. Erupsi sel-sel leukosit pada lokasi ditemukannya alergen tersebut menyebabkan terjadinya inflamasi (Nester et al. 2004).

2.3.1.3. Deteksi Alergi Tipe 1

Pendeteksian terhadap alergi tipe 1 umumnya dilakukan melalui uji tusuk kulit. Kelebihan uji ini adalah murah, lebih mudah dilakukan, cepat, dan beberapa alergen dapat diuji pada waktu bersamaan. Uji ini dilakukan dengan meneteskan ekstrak alergen pada kulit pasien. Kemudian, pada daerah tetesan tersebut ditusuk dengan bagian ujung jarum. Reaksi positif ditandai dengan adanya inflamasi dan kemerahan pada kulit di sekitar alergen (Black 1999).

Pengujian melalui teknik ELISA juga sering digunakan untuk mendeteksi alergi. Prinsip teknik ini adalah melalui pembentukan kompleks antara alergen dengan IgE spesifik dan anti-IgE berlabel enzim. Reaksi positif pada pengujian kualitatif dapat dilakukan dengan hanya mengamati perubahan warna yang berbentuk, sedangkan pengujian kuntitatif bisa dilakukan dengan membaca absorbansi perubahan warna tersebut melalui alat pembaca ELISA (McKane & Kandel 1996).

(10)

2.3.1.4. Kasus Alergi Pernapasan di Indonesia

Alergi pernapasan merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita oleh penduduk Indonesia. Penelitian terhadap siswa berumur 6 – 20 tahun menunjukkan bahwa dari 370 sekolah di pulau Bali terdapat 11,8% siswa menderita rinitis dan 4,3% siswa menderita asma (Konthen 1985). Penelitian di Utan Kayu Jakarta pada 716 penduduk, menunjukkan bahwa 23,47% penduduk (> 14 tahun) dan 9% penduduk (< 14 tahun) menderita alergi rinitis, 11,78% penduduk (> 14 tahun) dan 6,9% penduduk (< 14 tahun) menderita asma (Siregar et al. 1990). Penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa 7,5% penduduk menderita asma dan 22% penduduk menderita alergi rinitis (Sundaru 2005).

Penelitian terhadap beberapa alergen inhalasi di Indonesia telah banyak dilakukan. Identifikasi terhadap tungau debu rumah di Jakarta sebagai penyebab alergi, menemukan bahwa Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus merupakan tungau debu paling dominan yang terdapat di rumah-rumah pasien penderita alergi pernapasan (Chew et al. 2000). Penelitian terhadap serpihan bulu binatang menemukan bahwa kucing dan anjing merupakan binatang peliharaan yang paling banyak membawa alergen (Baratawidjaja et al. 1998).

Penelitian alergen polen belum pernah dilakukan di Indonesia, padahal keragaman flora di Indonesia sangat tinggi. Hingga saat ini, ekstrak alergen polen yang digunakan untuk mendeteksi alergi di Indonesia masih mengimport dari negara lain. Selain harganya yang mahal, kecocokan alergen polen tersebut di Indonesia belum pernah ditelaah lebih lanjut.

2.3.2. Alergi tipe II (Cytotoxity).

Reaksi alergi tipe II disebut juga sebagai reaksi sitotoksik atau sitolitik. Baratawidjaja (2006) menjelaskan bahwa reaksi ini umumnya melibatkan IgG atau IgM dalam menghancurkan alergen yang merupakan sel pejamu. Antibodi tersebut akan mengaktifkan sel-sel pertahanan tubuh. Sel NK (Natural Killer) berperan sebagai sel efektor dalam membunuh atau menimbulkan kerusakan melalui mekanisme ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxity).

(11)

Kasus alergi tipe II dapat terjadi pada proses tranfusi darah dengan golongan darah yang berlainan serta kehamilan dengan jenis rhesus yang berbeda antara ibu dan janin (Nester et al. 2004).

2.3.3. Alergi tipe III (Immune complex-mediated).

Reaksi alergi tipe III disebut sebagai reaksi imun kompleks, yaitu terjadi apabila terbentuk kompleks antara antibodi dan antigen di dalam sirkulasi darah maupun pada dinding pembuluh darah. Antibodi yang terlibat biasanya berupa IgG. Kompleks antibodi-antigen tersebut menyebabkan aktivasi komplemen sehingga terjadi degranulasi basofil serta penempelan komplemen pada kompleks antibodi-antigen. Mediator yang dilepaskan oleh basofil menyebabkan pelebaran pembuluh darah pembuluh darah, sehingga kompleks antara komplemen-antibodi-antigen menempel pada membran basal pembuluh darah. Penempelan tersebut mengaktifkan komplemen yang bertanggung jawab dalam degranulasi neutrofil. Degranulasi neutrofil melepaskan enzim yang menyebabkan kerusakan jaringan (Roitt 1994).

2.3.4. Alergi tipe IV (Delayed cell-mediated - T cell mediated cytolysis).

Reaksi alergi tipe IV dibedakan dua, yaitu Delayed cell-mediated dan T cell mediated cytolysis. Kedua jenis reaksi alergi tipe IV melibatkan aktivitas sel T namun tidak melibatkan aktivitas antibodi.

Reaksi Delayed cell-mediated disebut juga sebagai reaksi lambat, karena respon alergi muncul lambat, yaitu 2 hingga 3 hari setelah tubuh kontak dengan alergen. Alergi kulit yang disebabkan oleh getah, kain, perhiasan, serta kosmetik merupakan salah satu contoh alergi jenis ini. Reaksi alergi diawali dengan tahap pengenalan, yaitu saat alergen kontak dengan tubuh untuk pertama kalinya, sehingga APC (Antigen-Presenting Cell) mempresentasikan kompleks alergen-hapten terhadap sel Th 1 melalui MHC II. Kontak selanjutnya dengan alergen menyebabkan sel Th 1 menghasilkan sitokin yang menyebabkan makrofag melepaskan mediator. Mediator tersebut menyebabkan kulit kemerahan, gatal, dan berair. Reaksi T cell mediated cytolysis melibatkan peran Th 2 yang berfungsi dalam merusak atau membunuh sel yang terinfeksi. Pengenalan sel terinfeksi oleh

(12)

sel Th 2 menyebabkan dihasilkan sitokin. Sitokin tersebut menyebabkan sel terinfeksi rusak/mati. Reaksi ini umumnya disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa, dan fungi. Herpes simplex, hepatitis, lepra, serta tuberkulosis merupakan contoh penyakit yang disebabkan alergi tipe IV - T cell mediated cytolysis (Nester et al. 2004).

2.4. Tikus Wistar

Tikus Wistar (Rattus norvegicus) merupakan tikus albino yang paling sering digunakan sebagai hewan uji dalam ilmu genetika, penyakit, obat-obatan, serta kesehatan. Tikus Wistar mempunyai beberapa kelebihan antara lain lebih mudah dikembangbiakkan, mudah dikendalikan, serta mempunyai organ-organ yang ukurannya lebih kecil dibandingkan kebanyakan hewan uji lainnya. Selain itu, tikus wistar merupakan tikus non-transgenik sehingga pengamatan terhadap fisiologi serta tingkah laku hewan tersebut dapat diamati dengan mudah tanpa dipengaruhi oleh gen sisipan (Wistar Institute 2007). Penelitian alergi pada tikus wistar juga menunjukkan respon yang sama terhadap respon yang diberikan pada manusia (Arts et al. 1996).

Ciri-ciri khusus tikus wistar antara lain mempunyai bentuk kepala yang lebar, warna bulu putih, dan panjang ekornya tidak melebihi panjang tubuhnya (Wistar Institute 2007).

2.5. SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate–Polyacrilamide Gel Electrophoresis) Elektroforesis merupakan metode yang sering digunakan untuk memisahkan fraksi-fraksi suatu zat berdasarkan muatannya dengan memanfaatkan medan listrik. Migrasi fraksi-fraksi tersebut dipengaruhi oleh ukuran, bentuk, serta muatan fraksi (Walsh 2001).

Proses pemisahan fraksi-fraksi protein umumnya menggunakan gel poliakrilamida sebagai media elektroforesis atau sering disebut sebagai PAGE (Polyaclrilamide Gel Electrophoresis). Keunggulan penggunaan gel poliakrilamida pada proses elektroforesis adalah karena bersifat inert, tidak bereaksi dengan sampel, tidak bermuatan, stabil pada kisaran pH yang luas, dan transparan sehingga pengamatan terhadap pita-pita protein mudah dilakukan.

(13)

Selain itu, ukuran pori-pori gel poliakrilamida juga dapat diatur sesuai dengan molekul yang akan dipisahkan. Semakin kecil ukuran molekul yang akan dipisahkan, maka semakin tinggi konsentrasi poliakrilamida yang digunakan dan sebaliknya. Umumnya, protein dengan kisaran BM 24 – 205, 14 – 205, dan 14 – 66 kDa berturut-turut baik dipisahkan oleh gel poliakrilamida 8%, 10%, dan 12% (Bollag & Edelstein 1991).

SDS-PAGE merupakan modifikasi PAGE, yaitu proses elektroforesis yang menggunakan sampel terdenaturasi serta mempunyai muatan negatif. Denaturasi protein dapat dilakukan dengan pemberian -merkaptoetanol sebagai denaturan yang memecah ikatan disulfida. Denaturasi protein juga dapat dilakukan melalui pemanasan pada suhu kurang lebih 80C selama 2 menit. Pemberian SDS menyebabkan polipeptida bermuatan negatif sehingga sampel akan tertarik menuju elektroda positif. Polipeptida berukuran lebih kecil akan bermigrasi lebih cepat dibandingkan polipeptida yang berukuran lebih besar (Walsh 2001).

Referensi

Dokumen terkait

Klien : ( menarik nafas) Yang paling utama ialah sikap saya : ( menarik nafas) Yang paling utama ialah sikap saya sendiri iaitu masalah kewangan sebab saya ni memang sendiri

Peta Lokasi Pumping Test Sumur Dalam Kota Denpasar (10 titik data primer dan 5 titik data sekunder) Sumber : Hasil pemetaan.. Peta Kontur Air Tanah Tertekan Kota Denpasar

Yus Noron yang bersama Subagyo yang sudah memilih untuk kelak menjadi imam diosesan atau projo akhirnya berhasil menyelesaikan studi pada 1983.. Yus Noron pun memasuki Tahun

Katup penyalur (delivery valve) berfungsi mencegah bahan bakar dari dalam pipa tekanan tinggi masuk ke dalam ruang elemen pompa dan mengisap sisa bahan bakar dari injector pad

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa diantara ketiga  bagian tersebut, baik akar, batang maupun daun, tidak ada distribusi zat radioaktif yang terdapat

5.4.2.4 Hasil evaluasi, rencana tindak lanjut, dan tindak lanjut terhadap pelaksanaan koordinasi lintas program dan lintas sektor.. UKM

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5 isu atau masalah pemantapan konsep pemantapan konsep pembentukan/ pengembangan konsep aplikasi konsep dalam kehidupan:

Pada fraktur femur, pasien biasanya datang dengan gejala trauma hebat disertai pembengkakan pada daerah tungkai atas dan tidak dapat menggerakkan tungkai..