CHAPTER 5
TEKSTUAL, KONTEKSTUAL DAN INTERTEKSTUAL SERTA PENERAPANNYA.
Oleh : Zakiyah, S.I.Kom.,M.I.Kom
Capaian Pembelajaran :
1. Diharapkan mahasiswa memahami tekstual, kontekstual dan intertekstual serta penerapannya.
Analisis wacana adalah kajian atas penggunaan bahasa yang dilakukan manusia (Brown dan Yule, 1996:1). Analisis wacana digunakan untuk mengetahui aspek tekstual dan kontekstual bahasa sebagai sarana komunikasi, baik berupa bahasa lisan, yaitu komunikasi yang berupa bahasa lisan maupun percakapan dan sarana komunikasi yang berupa bahasa tulis.
Analisis wacana tekstual terbagi dalam dua aspek, yaitu aspek gramatikal dan aspek leksikal.
Aspek gramatikal terdiri atas empat jenis, yaitu pengacuan, pelesapan, penyulihan, dan perangkaian. Adapun aspek leksikal dalam analisis tekstual terdiri atas enam jenis, yaitu repetisi, sinonimi, antonimi, kolokasi, hiponimi, dan ekuivalensi.
Analisis wacana juga mengkaji lebih dalam tentang situasi dan kondisi saat terjadinya
peristiwa percakapan atau kebahasaan seseorang atau kelompok orang. Situasi dan kondisi yang terjadi dalam suatu peristiwa dapat dianalisis melalui analisis wacana kontekstual. Dalam menganalisis wacana, baik secara tekstual maupun kontekstual, terdapat banyak kajian mengenai wacana dalam bentuk teks sastra.
Analisis wacana atau discouse analysis adalah cara yang digunakan untuk membongkar makna atau pesan komunikasi yang terdapat dalam suatu teks baik secara tekstual maupun
kontekstual. Sehingga makna yang digali dari sebuah teks atau pesan komunikasi tidak hanya dilihat dari teks yang sudah jelas tertulis semata lebih dari itu.
Menurut pandangan dari Stubs, analisis wacana adalah merupakan salah satu kajian yang meneliti atau menganalisa bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Stubs juga mengatakan bahwa analisis wacana menekankan kajian penggunaan dalam konteks sosial, khusunya dalam interaksi antar penutur. Selain itu, Cook juga berpendapat bahwa analisis wacana merupakan kajian yang membahas tentang wacana, dan sedangkan wacana merupakan bahasa yang digunakan berkomunikasi. pengertian analisis wacana secara konseptual adalah merujuk kepada upaya mengkaji pengaturan bahasa atas kalimat. Mengkaji satuan kebahasaan yang lebih luas. Analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi
TEKSTUAL
Struktur tekstual wacana dapat dibagi ke dalam dua aspek, yaitu aspek gramatikal dan aspek leksikal. Aspek gramatikal dalam analisis tekstual meliputi pengacuan (reference), penyulihan (substitution), pelesapan (ellipsis), dan perangkaian (conjunction). Adapun aspek leksikal dalam analisis tekstual yang meliputi repetisi (pengulangan), sinonimi (padan kata), antonimi (lawan kata), kolokasi (sanding kata), hiponimi (hubungan atas-bawah), dan ekuivalensi (kesepadanan).
Aspek Gramatikal dalam analisis tekstual yang pertama mengenai Pengacuan (Reference) yaitu pengacuan persona, pengacuan demonstratif, dan pengacuan komparatif.
Kedua, Penyulihan (Substitution) dibedakan menjadi empat jenis, yaitu (1) substitusi nominal, (2) substitusi verbal, (3) substitusi frasal, dan (4) substitusi klausal. Ketiga, Pelesapan Di dalam analisis wacana, unsur yang dilesapkan ditandai dengan konstituen nol atau zero (dengan lambang Ø) pada tempat terjadinya pelesapan unsur tersebut. Keempat, Perangkaian atau konjungsi merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal yang ditandai dengan adanya hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam sebuah wacana. Unsur yang dirangkai dapat berupa satuan lingual kata, frasa, klausa, maupun kalimat.
Aspek Leksikal aspek leksikal dalam analisis tekstual yang meliputi repetisi (pengulangan), sinonimi (padan kata), antonimi (lawan kata), kolokasi (sanding kata), hiponimi (hubungan atas-bawah), dan ekuivalensi (kesepadanan). Pertama, Repetisi adalah
pengulangan satuan lingual berupa bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Kedua, Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain. Ketiga, Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain atau satuan lingual yang maknanya berlawanan atau beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Keempat, Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kelima, Hiponimi dapat diartikan sebagai suatu bahasa (kata, frasa, atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Unsur atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang berhiponim itu disebut hipernim atau superordinat. Keenam, Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma.
Sebagai contoh adalah Salah satu novel bahasa Jawa adalah novel berbahasa Jawa yang berjudul Prawan Ngisor Kreteg karya Soetarno yang diterbitkan oleh Usaha Modern, Surabaya pada tanggal 16 Desember 1965. Prawan Ngisor Kreteg merupakan sebuah novel yang di dalamnya terdapat rangkaian pernyataan bahasa secara konkrit berupa untaian kata-kata dan kalimat-kalimat yang disusun oleh pencipta cerita tersebut. Pernyataan bahasa-bahasa tersebut dapat membuat pembaca bisa terhanyut di dalamnya yaitu seperti berada dalam cerita atau mengalaminya.
Wacana dalam novel Prawan Ngisor Kreteg karya Soetarno yaitu Mendeskripsikan bentuk tekstual yang meliputi aspek gramatikal dan leksikal dalam novel Prawan Ngisor Kreteg karya Soetarno dan mendeskripsikan bentuk kontekstual yang meliputi aspek konteks dan inferensi dalam novel Prawan Ngisor Kreteg karya Soetarno.
1. Penanda Tekstual
a) Aspek gramatikal
No Penanda Gramatikal Wujud penanda Deskripsi kalimat dalam novel 1. Pengacuan persona I -ku
-ku
“Sar, tuku apa? Golek telesan Di. Wong djaritku wis kaja ngene.”(PNK, 1965:
10)
Pembahasan:
Satuan lingual -ku pada djaritku merupakan pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan yang mengacu pada Sardjinem. Kohesi gramatikal ini merupakan jenis pengacuan endofora anaforis karena acuannya berada di dalam teks yang acuannya disebutkan kemudian atau antesedennya di sebelah kiri yaitu pada situasi Sardjinem yang sedang mencari barang bekas.
b) Aspek leksikal
No Penanda Leksikal
Wujud Penanda Deskripsi kalimat dalam novel
1. Antonimi Sitik >< okeh “malah2 nek entuk dit sitik rong itik tak nggo kulak.
Iki aku oleh dit okeh.” (PNK, 1965: 12) Pembahasan:
Antara kata sitik dengan kata okeh pada kalimat kedua termasuk beroposisi kutub. Kedua kata tersebut dikatakan beroposisi kutub antara kata sitik ‘sedikit’ dan okeh ‘banyak’, juga terdapat realita yang lain yaitu kesetitiken ‘terlalu sedikit’, rada akeh ‘agak banyak’ kakehen ‘terlalu banyak’.
KONTEKSTUAL
Menurut Sumarlam (2010: 71) analisis kontekstual dalam wacana dapat dilakukan dengan memahami konteks. Konteks dalam wacana dibagi menjadi dua yaitu konteks bahasa dan konteks luar bahasa. Konteks bahasa dengan internal wacana, sedangkan konteks luar bahasa disebut dengan konteks situasi, konteks budaya atau konteks eksternal wacana. Konteks fisik yaitu tempat terjadinya pemakain bahasa, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi, dan tindakan para partisipan dalam peristiwa komunikasi. Konteks epistemis yaitu latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh penutur dan mitra tutur. Konteks sosial yaitu relasi sosial yang melengkapi hubungan antara penutur dan mitra tutur. Dalam pemahaman mengenai konteks, inferensi juga merupakan proses yang sangat penting dalam memahami wacana. Inferensi harus dilakukan oleh pembaca untuk memahami maksud penulis.
Selain inferensi pemahaman konteks dapat mempertimbangkan berbagai prinsip penafsiran yaitu prinsip penafsiran personal, prinsip penafsiran lokasional, prinsip penafsiran temporal dan prinsip analogi.
Konteks luar bahasa disebut dengan konteks situasi dan konteks budaya. Pemahaman mengenai konteks situasi dan budaya dalam wacana dapat dilakukan dengan berbagai prinsip penafsiran dan prinsip analogi. Prinsip penafsiran yang dimaksud antara lain: prinsip penafsiran personal, prinsip penafsiran lokasional, prinsip penafsiran temporal, dan prinsip analogi.
a) Prinsip Penafsiran, penafsiran personal berkaitan dengan siapa yang sesungguhnya menjadi partisipan di dalam suatu wacana. Dalam hal ini, siapa penutur dan siapa mitra tutur sangat menentukan makna sebuah tuturan. Jika kita analogikan penerapannya dalam konsep sebuah drama maka pertama, Kedudukan tokoh utama di dalam sebuah drama sangatlah penting, karena melalui tokoh utamalah pengarang menyampaikan gagasan-gagasannya di dalam sebuah cerita. Kedua, Berdasarkan judul naskah,
b) Prinsip Penafsiran Lokasional berkaitan dengan penafsiran lokasi atau tempat terjadinya situasi (keadaan, peristiwa, dan proses) dalam memahami sebuah wacana. Penerapannya jika kita analogikan dalam konteks Media Massa maka lokasi atau tempat terjadinya situasi pada konteks wacana naskahnya harus dijelaskan, Lokasi ini merupakan lokasi awal yang disebutkan dalam sebuah naskah untuk mengawali sebuah narasi yang menggambarkan adanya sebuah kejadian di suatu tempat.
c) Prinsip Penafsiran Temporal, berkaitan dengan pemahaman mengenai waktu.
Berdasarkan konteksnya, dapat kita tafsirkan kapan atau berapa lama waktu terjadinya suatu situasi (peristiwa, keadaan, ataupun proses). Dalam penerapannya, penulis harus dapat menggambarkan suasana Pada akhir naskah, juga harus dijelaskan pula bahwa cerita dalam naskah ini berakhir pada situasi seperti apa.
d) Prinsip Analogi digunakan sebagai dasar oleh penutur maupun mitra tutur dalam memahami makna dan mengidentifikasi maksud (bagian atau keseluruhan) sebuah wacana.
Contoh dalam kontekstual masih menggunakan contoh novel bahasa Jawa adalah novel berbahasa Jawa yang berjudul Prawan Ngisor Kreteg karya Soetarno yang diterbitkan oleh Usaha Modern, Surabaya pada tanggal 16 Desember 1965 tetapi kali ini kita membahasanya dalam konteks Kontekstual.
a) Konteks fisik
“Satekane Sri Wedari deweke bandjur tuku kartjis wajang, entek. Kepeksa deweke pada nonton ana ndjaban gedong bae. Apa sing ditonton wong loro mau ora dingreteni dening karo2ne. Sing dimangerteni mung djogede wajange betjik Waranggane aju2. Petruke lutju, Bagonge nganjelake, wah apa2ne sarwa njenengake isining tjaritane ora pati diwigatekake, djalaran loro2 ne ora pada ngreti. Kedadean mengkono mau nganti sebubare.” (PNK, 1965:
17)
Pembahasan:
Pada tuturan di atas dikisahkan tentang Sardjinem dan Midi akan menonton wayang tetapi karcisnya habis. Kemudian keduanya menonton wayang dari luar gedung. Secara fisik tempat terjadinya peristiwa komunikasi di tempat pertunjukan wayang. Komunikasi di sini terjadi secara langsung terlihat dari tuturan Apa sing ditonton wong loro mau ora dingreteni dening karo2ne. Sing dimangerteni mung djogede wajange betjik‘apa yang ditonton kedua orang tadi tidak dimengerti oleh keduanya. Yang dimengerti hanya tarian wayangnya yang bagus.
b) Konteks epistemik
“Wong kesed ora gelem njambut gawe. Senenge mung ngemis. Jen kowe gelem ngegarake tanganmu. Mangsa nganti kowe klujuran ngono.”(PNK, 1965: 5)
Pembahasan:
Pada tuturan di atas menyampaikan bahwa pengetahuannya yang diketahui sama oleh penutur dan mitra tuturnya bahwa seseorang yang tidak mau berusaha pasti tidak akan mendapatkan apa-apa dari hasilnya. Hal ini terbukti dari jen kowe gelem ngegarake tanganmu.
Mangsa nganti kowe klujuran ngono apabila kamu mau berusaha tidak mungkin sampai seperti itu
c) Konteks sosial
“Malah terkadang deweke bisa memitran karo asu lan laler kang pada uga nduweni karep sing pada, nggolek pangan. Ah memelas... uriping manungsa kang tinatah urip ana ing alam donja kok isih ana sing gelem nglakoni tumindak mengkono” (PNK. 1965: 8)
Pembahasan:
Pada tuturan di atas mengisahkan realita tentang pengemis sudah sama-sama diketahui oleh penutur dan mitra tutur yaitu seorang pengemis apabila mencari makan di pinggir jalan
selalu berbagi dengan binatang-binatang yang menjijikkan. Hal itu terjadi karena tidak ada pilihan lain selain mencari makan dengan cara seperti itu.
INTERTEKSTUAL
Menurut Hartoko dan Rahmanto (1986:67) bahwa Intertekstual adalah teks yang ditempatkan di tengah-tengah teks-teks lain. Teks lain sering mendasari teks yang bersangkutan. Dalam alam pikiran intertekstualitas yang diilhami oleh ide-ide M.Bakhtin, sebuah teks dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks lain.
Dalam kerangka keseluruhan itu teks yang bersangkutan merupakan jawaban, peninjauan kembali, penggeseran, idealisasi, pemecahan, dan sebagainya. Selanjutnya dalam konteks penerapannya berkaitan dengan semiotik, istilah intertekstual dipergunakan menurut arti yang lebih luas. Segala sesuatu yang melingkungi kita (kebudayaan, politik, dan sebagainya) dapat dianggap sebagai sebuah ‘teks’. Teks yang berbahasa ditempatkan di tengah- tengah teks-teks lain tersebut. Proses terjadinya sebuah teks diumpamakan dengan proses tenunan. Setiap arti ditenunkan ke dalam suatu pola arti lain.
Menurut Miller (1985:19-20), sebagai suatu istilah, intertekstual menunjuk pada dirinya sendiri bagi suatu kemajemukan konsep. Dikatakannya, seseorang dapat memberikan pandangan dalam berbagai macam, seperti interteks meliputi bermacam cara yang disusun dalam istilah teoritis dan disebarkan dalam strategi metodologi. Bagaimanapun, untuk tetap memakai bentuk tunggal untuk menandainya, meskipun hal itu tidak menyatukan konsep, merupakan variasi bentuk yang menyenangkan, apa yang disebut Wittgenstein dengan
‘pertalian keluarga’. Dengan hal tersebut dimaksudkan bahwa salah satu gagasan tentang interteks mungkin bagian yang lain dengan beberapa ciri-ciri umum, tetapi ditemukan dalam seluruh gagasan kata. Secara singkat, tidak ada keistimewaan unsur pokok, memuaskan bagi seluruhnya, yang mengijinkan kita untuk mendefinisikan istilah tersebut.
Ratna (2010:211-212) menyatakan bahwa Interteks berasal dari akar kata inter + teks.
Prefiks inter yang berarti (di) antara, dalam hubungan ini memiliki kesejajaran dengan prefiks
‘intra’, ‘trans’, dan ‘para’. Teks, barasal dari kata textus (Latin), yang berarti tenunan,
anyaman, susunan, dan jalinan. Dengan demikian, intertekstual didefenisikan sebagai jaringan antara teks yang satu dengan teks yang lain. Sebagai varian, intratekstual melibatkan hubungan antarteks dalam karya penulis tunggal, transtekstual, merupakan hubungan secara arsitektural, yaitu interrelasi tipe-tipe wacana, mode ucapan, dan genre literer, kulit buku, ilustrasi dan sebagainya.
Rohman (2012:84-85) mendefenisikan metode intertektual sebagai teknik mengolah dua objek kajian yang dilandasi pada asumsi adanya keterpengaruhan. Dasar asumsinya bahwa tidak ada sebuah karya sastra yang benar-benar orisinil tanpa adanya pengaruh dari karya-karya lainnya. Setiap karya sastra pasti memiliki hubungan dengan karya-karya lainnya. Hubungan dua karya sastra itu biasa dikaji dalam sastra bandingan. Tema-tema kajian itu antara lain genre, tema ,bentuk, aliran, ideologi , dan lain-lain.
Hubungan itu dapat diidentifikasi berdasarkan dua hal berikut (Rohman ,2012:84-85):
1. Hubungan pengaruh (influence). Pengaruh ini merupakan asumsi ada satu karya yang memberikan kaitan sebab akibat dengan karya sesudahnya. Sebagai hasil olah kreatif, karya sesudahnya banyak sedikit pengaruh di dalamnya. Hubungan itu dapat dilihat dari struktur frasa, kalimat, frasa, hingga tema besar karya sastra tersebut. Contoh, karya puisi Sapardi Djoko Damono dianggap mamperoleh pengaruh dari Sanoesi Pane dalam hal bentuk. Novel berjuta – juta dari Deli (2006) karya Emil W. Aulia jelas mendapatkan pengaruh dari novel Max Havelaar (1856) Karya Multatuli.
2. Hubungan kebetulan (immanence). Dua karya memang tidak memiliki pengaruh, tetapi bisa jadi dua karya membahas tema yang sama. Hal itu jelas sebuah kebetulan karena alam kesadaran manusia bisa terhubung melalui mekanisme alam. Sebagai contoh, cerita rakyat Dayang Sumbi tidak memiliki kejelasan pengaruh dengan Odiphus Rex, tetapi jalan ceritanya sama. Dua cerita itu sama- sama menceritakan tokoh yang membunuh ayah untuk menikahi ibunya. Dua cerita itu memberikan pesan larangan inses. Hubungan kebetulan tersebut bisa saja terjadi karena kritikus tidak bisa melacak struktur keterkaitan secara langsung.
Masalah lain yang perlu ditegaskan dalam teori interteks adalah kesadaran bahwa tiruan tidak harus lebih rendah mutunya dibandingkan dengan keaslian. Penolakan terhadap tiruan dan objek lain yang dikategorikan sebagai ‘tidak asli’ sebagian atau seluruhnya diakibatkan oleh adanya oposisi biner, dengan konsekuensi logis salah satu diantaranya dianggap sebagai inferior. Demikian pula halnya karya-karya yang dianggap sebagai bersumber dari karya lain, termasuk terjamahan, salinan, saduran, dan berbagai bentuk modifikasi yang lain secara apriori dikategorikan sebagai bermutu lebih rendah. Teori kontemporer, misalnya, dengan memanfaatkan konsep perbedaan (differance) Derridean, memandang kedua aspek sebagai memiliki dua aspek yang sejajar, tergantung dari sudut mana melihatnya, untuk keperluan apa aspek tersebut dibicarakan.
Hubungan Intertekstual
Hubungan intertekstual berarti adanya hubungan antara satu teks dengan teks lain.
Penciptaan sebuah teks selalu membutuhkan teks lain sebagai teladan dan kerangka, baik untuk penciptaan maupun pemahaman. Hubungan intertekstual dapat diketahui apabila terdapat bentuk-bentuk hubungan tertentu atau ada persamaan antara novel yang satu dengan yang lain.
Dalam hal hubungan sejarah antarteks itu, perlu diperhatikan prinsip intertekstualitas. Hal ini ditunjukan oleh Riffatere dalam bukunya Semiotics of Poetry (1978) bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubunganya dengan sajak lain. Hubungan ini dapat berupa persamaan atau pertentangan. Dikemukakan Riffatere bahwa sajak (teks sastra) yang menjadi latar penciptaan karya sesudahnya itu disebut hipogram. Karena tidak ada karya sastra yang lahir itu mencontoh atau meniru karya sebelumnya yang diserap dan ditransformasikan dalam karya sastra setelahnya. Dalam kesusastraan Indonesia modern pun dapat kita jumpai hubungan intertekstual antara karya sastra, baik prosa maupun puisi.
Eriyanto (2006, 305) mengemukakan bahwa intertekstualitas adalah sebuah istilah dimana teks dan ungkapan dibentuk oleh teks yang datang sebelumnya, saling menanggapi dan salah satu bagian dari teks tersebut mengantisipasi teks lainnya. Masalah intertekstualitas dalam berita dapat dideteksi dari pengutipan sumber berita/narasumber dalam berita. Menurut Fairclough dalam Eriyanto (2006), suara seorang sumber berita yang akan dijadikan berita bisa ditampilkan secara langsung (direct discourse) dapat juga secara tidak langsung (indirect discourse).
Intertekstualitas (interdiskursivitas) merupakan bagian tak terpisahkan dari konsep utama Analisis Wacana Kritis (AWK) Fairclough. Fairclough (1992, 1993) menyatakan bahwa
secara inheren teks merupakan suatu kesatuan antarteks yang utuh. Dalam ranah penerjemahan, suatu teks terjemahan merupakan elemen yang terkait erat dengan teks sumber karena teks terjemahan merupakan perwujudan dari teks sumber dalam bahasa yang berbeda. Oleh karenanya teks sumber dan teks terjemahan merupakan wujud dari intertekstualitas (interdiskursivitas).
Intertekstualitas (interdiskursivitas) hadir dalam dua formasi, yaitu formasi horizontal, menghubungkan pembuat teks dengan penerima teks, dan formasi vertikal, menghubungkan teks dengan teks lainnya (Kristeva 1980). Kedua formasi ini erat kaitannya dengan persamaan pengetahuan dan pemaknaan pada suatu masa dan tempat yang berpotensi berubah. Suatu teks disusun dengan konstruk tertentu dengan melibatkan hubungan antara pembuat teks dan penerima teks dengan tujuan persuasi, melegitimasi atau memberi pilihan atas topik yang dimuat dalam teks itu. Juga, teks dibuat atas konstruk teks lainnya dengan melibatkan wacana lain untuk kemudian dimasukkan ke dalam teks itu. Dengan demikian, teks akan memiliki dampak dan pengaruh secara sosial di masyarakat.
Karenanya, intertekstualitas (interdiskursivitas) memberikan celah untuk adanya pembaharuan dalam mengungkapkan ide, gagasan atau ideologi dalam wacana atau genre. Jika dikaitkan pada tatanan penerapannya maka dalam modul ini akan mencoba untuk mengaitkan dengan penggunaan bahasa gaul, tidak bisa dipungkiri bahwa pengguna bahasa gaul merupakan kelompok sosial remaja yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tertentu tentang cara dan upaya berkomunikasi dengan sesamanya.
Secara keseluruhan jika akan dikaji melalui analisis data dengan menggunakan tekstual, kontekstual dan intertekstual maka gunakan teori tekstual (ketransitifan) dan intertekstual (kutipan langsung dan tidak langsung). Ketransitifan berguna untuk melihat apakah jenis proses dan pemeran yang menonjol di dalam teks, apakah suara utama (aktif atau pasif), dan sejauh mana signifikasinya dalam proses nominalisasi (Idris, 2006: 77). Ketransitifan dipakai untuk menunjukan tindakan yang dilihat sebagai dilakukan oleh aktor melalui suatu proses yang ditunjukan
TUGAS MODUL 5
1. Representasikan Tekstual, Kontekstual dan Intertekstual dalam Wacana Berita ?
2. Carilah berita dari surat kabar baik Media Indonesia, Republika atau Kompas Indonesia ataupun lainnya berkaitan dengan issue yang menurut kalian saat ini sedang
berkembang, kemudian klasifikasikan mana yang bentuk tekstual, kontekstual maupun intertekstual?
Pustaka :
Eriyanto. 2001, Analisis Wacana (Pengantar Analisis Media). Yogyakart:LKis Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya
Saifur Rohman, 2012. Pengantar Metodologi Pengajaraan Sastra, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Soimah Rahmawati Ari (2013). Analisis Wacana Tekstual dan Kontekstual Dalam Novel
Prawan Ngisor Kreteg Karya Soetarno. Vol. 03 / No. 04 / November 2013.