commit to user
BURNOUT PADA KARYAWAN DITINJAU DARI PERSEPSI BUDAYA
ORGANISASI DAN MOTIVASI INTRINSIK DI PT. KRAKATAU STEEL
SKRIPSI
Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat
guna memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi
Oleh :
Nikki Rasuna Katarini
G 0106070
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
BURNOUT PADA KARYAWAN DITINJAU DARI PERSEPSI BUDAYA
ORGANISASI DAN MOTIVASI INTRINSIK DI PT. KRAKATAU STEEL
INTISARI
Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat
guna memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi
Oleh :
Nikki Rasuna Katarini
G 0106070
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
commit to user
x
DAFTAR ISI
Halaman Judul ……… i
Halaman Persetujuan ……….…. ii
Halaman Pengesahan ……….…. iii
Halaman Motto ……… iv
Halaman Penghargaan ………….……….………….…. v
Kata Pengantar ………..……….…. vi
Intisari ..………..……….…. viii
Abstract ………..……….….…. ix
Daftar Isi ...……….… x
Daftar Gambar ………. xiv
Daftar Tabel ………..……… xv
Daftar Lampiran ………..……… xvii
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ……….. 1
B. Rumusan Masalah ……….…. 7
C. Tujuan Penelitian ………... 8
D. Manfaat Penelitian ………... 8
BAB II Landasan Teori A. Burnout Pada Karyawan 1. Pengertian Burnout ……….... 10
commit to user
3. Penanganan Burnout ………..……….… 20
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Burnout ……….……… 22
B. Persepsi Budaya Organisasi 1. Pengertian Persepsi Budaya Organisasi ………….…...………... 25
a. Pengertian Persepsi ……….………..…… 25
b. Pengertian Budaya Organisasi ………. 27
c. Pengertian Persepsi Budaya Organisasi ……….……….. 32
2. Aspek-aspek Persepsi Budaya Organisasi ……….. 33
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Budaya Organisasi …..… 39
C. Motivasi Intrinsik 1. Pengertian Motivasi Intrinsik ……….….….… 41
2. Aspek-aspek Motivasi Intrinsik ……….…. 43
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi Intrinsik ……….………… 47
D. Hubungan antara Persepsi Budaya Organisasi dan Motivasi Intrinsik dengan Burnout Pada Karyawan ………. 48
E. Hubungan antara Persepsi Budaya Organisasi dan Burnout pada Karyawan ………. 51
F. Hubungan antara Motivasi Intrinsik dan Burnout pada Karyawan ……… 53
G. Kerangka Berpikir ……… 55
H. Hipotesis ……… 56
commit to user
xii
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Burnout pada Karyawan ……….……….…. 57
2. Persepsi Budaya Organisasi ...………..… 58
3. Motivasi Intrinsik ……….…….………….……... 59
C. Populasi, Sampel, dan Sampling
1. Populasi ...……….……… 59
2. Sampel ...……….. 60
3. Teknik Sampling ……….…………..…………. 61
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Sumber Data ...……….. 62
2. Metode Pengumpulan Data ...………..…… 63
E. Metode Analisis Data
1. Validitas Instrumen Penelitian ...……….. 70
2. Reliabilitas Instrumen Penelitian ……….……. 71
3. Uji Hipotesis ...……….………. 72
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Persiapan Penelitian
1. Orientasi Kancah Penelitian ...……….. 75
2. Persiapan Penelitian ………...………..…… 77
B. Pelaksanaan Penelitian
1. Penentuan Subjek Penelitian ...………..……….. 84
2. Pengumpulan Data untuk Uji Coba …...………..…… 84
commit to user
4. Pengumpulan Data ………..……….……… 92
5. Pelaksanaan Skoring ……….……… 93
C. Hasil Analisis Data Penelitian 1. Uji Asumsi ………...………..……….. 94
2. Uji Hipotesis ………...………..…… 98
3. Mean Empirik (ME) dan Mean Hipotetik (MH) …………..……….… 100
4. Sumbangan Relatif dan Sumbangan Efektif ………….……….……… 104
D. Pembahasan ……….………... 104
BAB V Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan ……….………..………..………….. 109
B. Saran ……….…. 110
commit to user BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan bidang industri saat ini selalu mengalami kemajuan, hal ini
menyebabkan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh
perusahaan dan tuntutan pekerjaan pun semakin meningkat. Dunia perusahaan
sebagai sebuah organisasi harus mampu mencapai tujuan yang direncanakan
untuk dapat memenuhi tuntutan pembangunan dan kemajuan teknologi pada masa
sekarang. Persoalan yang muncul pada dunia organisasi selalu berkaitan dengan
diri individu dalam menghadapi tuntutan organisasi yang semakin tinggi dan
persaingan yang keras di tempat kerja karyawan itu adalah stres.
Stres yang berlebihan akan berakibat buruk terhadap kemampuan individu
untuk berhubungan dengan lingkungannya secara normal. Stres yang dialami
individu dalam jangka waktu yang lama dengan intensitas yang cukup tinggi akan
mengakibatkan individu yang bersangkutan menderita kelelahan, baik fisik
ataupun mental. Keadaan seperti ini biasa disebut dengan burnout.Burnout adalah
istilah yang pertama kali dikemukakan oleh Freudenberger pada tahun 1974, yang
merupakan representasi dari sindrom psychological stress yang menunjukkan
respon negatif sebagai hasil dari tekanan pekerjaan (Maslach, 1993).
Maslach dan Jackson (1993), memandang burnout sebagai suatu sindrom
psikologis yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu, emotional exhaustion,
dapat terjadi pada semua orang, baik pada karyawan human service setting dan
non human service setting. Hal tersebut terjadi karena setiap manusia tentu
mengalami tekanan-tekanan yang diperoleh dalam kehidupan, khususnya dalam
menjalani pekerjaan. Penelitian-penelitian awal mengenai burnout yang kemudian
dijadikan dasar bagi pengembangan teori-teori burnout sebagian besar dilakukan
di lapangan pekerjaan yang melibatkan banyak orang seperti rumah sakit,
perusahaan, dan sekolah. Menurut Garden (1990), konsep burnout muncul untuk
pekerjaan yang berhubungan dengan banyak orang ini, disebabkan karena
kerangka penelitian burnout selama ini hanya terbatas pada human service
settiing.
Burnout merupakan gejala yang lebih banyak ditemukan dalam bidang
pekerjaan pelayanan sosial dibandingkan dengan pekerjaan lainnya (Sarafino,
1998). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Faustino, dkk (2009),
memberitahukan bahwa tingkat burnout yang tinggi lebih banyak dialami oleh
pekerja sosial dan perawat, biasanya di dalam satu dimensi terdapat 30,4%
dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, 33,7% oleh kurangnya kontak realitas pribadi
perawat, dan 35,9% oleh keinginan untuk pencapaian pribadi masing-masing
perawat. Konsep yang mendasari penelitian tentang burnout merujuk pada teori
keperilakuan khususnya perilaku organisasi yang dikembangkan pertama kali oleh
Chris Argyris pada tahun 1952. Penelitian yang dilakukan oleh Pattrick (2008),
mengatakan bahwa kepuasan kerja, stres kerja, kemampuan dalam mengatasi
commit to user
burnout pada karyawan. Faktor-faktor ini adalah kontributor tertinggi stres pada
pekerjaan.
Ghozali (2006) mengemukakan, penelitian yang telah dilakukan oleh
Almer & Kaplan (2002) menemukan indikasi bahwa role stressor berpengaruh
terhadap kondisi burnout dan job outcomes. Selanjutnya Ghozali (2006) juga
menambahkan, mengenai penelitian Fogarty, dkk, (2000), variabel burnout
diletakkan dalam suatu model sebagai mediasi dari pengaruh role stressor
terhadap job outcomes. Model mediasi tersebut dikenal dengan istilah konstruk
burnout. Penelitian Fogarty, dkk, (2000) membuktikan bahwa variabel burnout
mampu memisahkan aspek fungsional (eusstress) dan disfungsional (distress) dari
role stressor terhadap job outcomes sehingga melalui kedua aspek role stressor
dan burnout, dapat dilakukan tindakan perbaikan. Kaitannya dengan stres,
burnout bukanlah role stressor, karena burnout muncul sebagai akibat kumulatif
dari stressor secara terus-menerus dalam jangka panjang yang dialami oleh
individu dalam berbagai tingkatan dan kombinasi. Dampak dari tekanan tersebut
adalah munculnya situasi yang tidak menguntungkan (distress dan disfungsional).
Burnout tidak akan dialami oleh individu jika role stressor berpengaruh positif
dan fungsional (eusstres) terhadap job outcomes.
La Fellete (Imelda, 2004) mengatakan bahwa lingkungan kerja psikologis
tidak nampak tetapi nyata, ada, dan akan dirasakan oleh seseorang bila memasuki
lingkungan kerja suatu organisasi. Untuk mengetahui keadaan tersebut dapat
diketahui melalui persepsi individu terhadap lingkungan kerja psikologisnya.
kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dialami di tempat kerja.
Kesenjangan dan harapan yang dimaksud adalah harapan tentang prestasi yang
dicapai dan unjuk kerja yang dimilikinya. Kesenjangan lainnya terjadi bila
organisasi tempat bekerja tidak sesuai dengan harapan atau tata nilai pribadinya.
Kondisi lingkungan fisik ataupun psikis karyawan tidak terlepas dari pengaruh
budaya organisasinya.
Budaya organisasi yang disfungsional dan tidak efektif akan menimbulkan
dampak negatif bagi anggotanya dan memungkinkan terjadinya burnout. Setiap
karyawan memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap budaya organisasi.
Gerungan, (1996), Verderber mengatakan persepsi adalah proses menafsirkan
informasi indrawi. Persepsi ini merupakan inti komunikasi, jika persepsi
karyawan terhadap budaya organisasi ini tidak akurat, maka kita tidak dapat
berkomunikasi secara efektif. Persepsi ini yang menentukan kita dalam memilih
dan mengabaikan suatu pesan yang lain.
Menurut As’ad (2003), proses persepsi yang dilakukan oleh setiap
karyawan terhadap budaya organisasi ini dimulai dari penerimaan, pengartian dan
pemberian reaksi. Susanto (1997) memberikan definisi budaya organisasi sebagai
nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi
permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan
sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada
dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku. Djokosantoso (2003)
commit to user
dengan istilah budaya kerja merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan di
dalam organisasi dan diacu sebagai filosofi kerja karyawan.
Persepsi terhadap budaya organisasi merupakan pengertian masing-masing
karyawan terhadap nilai dan pedoman yang diperuntukkan seluruh anggota
sebagai filosofi organisasi. Seseorang akan mempersepsikan sesuatu hal sesuai
dengan dorongan yang dimiliki dan apa yang mendasari perilakunya agar dapat
memenuhi kebutuhannya, untuk itu dapat dikatakan bahwa dalam diri seseorang
ada kekuatan yang mengarah kepada tindakannya. Mengingat kebutuhan setiap
karyawan berbeda-beda dengan yang lain tentunya cara untuk memperolehnya
akan berbeda pula. Kebutuhan seseorang akan terpenuhi jika ia berperilaku sesuai
dengan dorongan yang dimiliki dan apa yang mendasari perilakunya, untuk itu
dapat dikatakan bahwa dalam diri seseorang ada kekuatan yang mengarah kepada
tindakannya. Kehidupan sehari-hari seorang karyawan akan selalu dihadapkan
pada berbagai macam tantangan dan termotivasi untuk menguasainya.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Herpen, dkk. (2002), mengungkapkan
motivasi seseorang berasal dari interen dan eksteren. Herpen, dkk (2002) juga
menjelaskan beberapa pendapat dari Gacther, Falk (2000); Kinman, Russel
(2001), yang mengatakan bahwa, motivasi intrinsik dan ekstrinsik merupakan hal
yang mempengaruhi tugas seseorang. Perilaku yang konkret atau nyata yang
sebenarnya, kebanyakan adalah kombinasi dari dua unsur tersebut. Motivasi
intrinsik merupakan kebutuhan seseorang untuk berkompetensi dan menentukan
sendiri dalam kaitannya dengan lingkungannya (Walgito, 2004). Motivasi
kompetensi dan self determinasi. Motivasi intrinsik ini lebih berperan dalam
penyelesaian sesuatu hal karena ini merupakan motivator yang sangat kuat dari
perilaku manusia dan dapat digunakan untuk membuat seseorang lebih produktif.
Berdasarkan data di atas masalah burnout karyawan merupakan masalah
yang selalu terjadi di setiap organisasi, sehingga peneliti tertarik untuk meneliti
burnout karyawan, khususnya di PT. Krakatau Steel. PT. Krakatau Steel
merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang secara langsung
bergerak di bidang industri, khususnya industri baja di Provinsi Banten. PT.
Krakatau Steel memiliki empat bagian direktorat diantaranya adalah direktorat
pengembangan sumber daya manusia, direktorat keuangan, direktorat produksi,
dan direktorat logistik. Berdasarkan interview yang telah dilakukan, direktorat
logistik memiliki kecenderungan tingkat burnout yang tinggi dibandingkan
dengan direktorat lainnya. Direktorat logistik ini menangani penyediaan dan
memantau seluruh pengeluaran serta masuknya barang-barang produksi
perusahaan. Sehingga seluruh direktorat akan selalu berhubungan dengan
direktorat logistik ini.
PT. Krakatau Steel ini mempunyai budaya perusahaan yang berisi
kepercayaan, prinsip-prinsip, nilai-nilai yang menjadi dasar dan referensi sistem
manajemen perusahaan serta perilaku karyawan dalam bekerja, diyakini mampu
untuk mendorong percepatan ke arah perubahan yang lebih baik. Penetapan
budaya organisasi ini dilakukan untuk penyatuan visi dan misi organisasi hingga
commit to user
budaya organisasi yang ditetapkan oleh perusahaan, ternyata dapat menimbulkan
berbagai persepsi yang berbeda di setiap karyawan.
Berdasarkan hasil observasi yang telah peneliti lakukan, terdapat
ketimpangan antara budaya organisasi tertulis dengan kejadian yang ada di
lapangan, seperti perilaku karyawan yang melakukan kerjasama dengan klien
belum sesuai dengan prosedur penjualan hanya untuk mencapai target penjualan
dan perubahan yang lebih baik. Kesadaran setiap masing-masing karyawan untuk
menyamakan persepsi budaya organisasi ini, merupakan motivasi intrinsik
karyawan untuk mencermikan dari nilai-nilai yang terkandung didalam organisasi
tersebut. Jika, persamaan persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik setiap
karyawan telah dicapai, maka tingkat burnout pada karyawan dapat dikurangi
secara berkesinambungan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ada
kemungkinan hubungan antara persepsi terhadap budaya organisasi dan motivasi
intrinsik dengan burnout karyawan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Burnout Pada Karyawan ditinjau dari
Persepsi Budaya Organisasi dan Motivasi Intrinsik di PT. Krakatau Steel”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah:
1. Apakah terdapat hubungan persepsi budaya organisasi dan motivasi
2. Apakah terdapat hubungan persepsi budaya organisasi dengan burnout
pada karyawan ?
3. Apakah terdapat hubungan motivasi intrinsik dengan burnout pada
karyawan ?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui hubungan antara persepsi budaya organisasi dan motivasi
intrinsik dengan burnout pada karyawan.
2. Mengetahui hubungan antara persepsi budaya organisasi dengan burnout
pada karyawan.
3. Mengetahui hubungan antara motivasi intrinsik dengan burnout pada
karyawan.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat
teoritis maupun manfaat praktis sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a) Sebagai bahan untuk melakukan kajian dan diskusi mengenai
burnout pada karyawan dalam kaitannya dengan persepsi terhadap
budaya organisasi dan motivasi intrinsik.
b) Menjadi wacana bagi kalangan akademisi atau mahasiswa yang
akan melakukan penelitian terhadap tema yang sama dan dengan
commit to user
c) Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran dan
referensi guna menunjang ilmu psikologi pada umumnya serta ilmu
psikologi yang khususnya di bidang psikologi industri dan
organisasi.
2. Manfaat Praktis
a) Karyawan
Bila penelitian ini terbukti maka dapat diterapkan untuk
pencegahaan terhadap burnout karyawan dengan meningkatkan
motivasi intrinsik dan mengembangkan persepsi budaya organisasi
yang sesuai.
b) Perusahaan
Sebagai informasi tentang hal-hal yang mempengaruhi burnout
pada karyawan, sehingga dapat menentukan langkah antisipasi
terhadap hal-hal yang tidak diinginkan.
c) Peneliti lain
Dapat dijadikan sebagai wacana atau referensi dalam melakukan
penelitian selanjutnya, dengan variabel yang sama atau dengan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Burnout pada Karyawan
1. Pengertian Burnout
Burnout merupakan fenomena baru di dalam bidang psikologi.
Pemahaman tentang konsep ini sebenarnya telah ada kurang lebih 35 tahun lalu,
tetapi baru pada tahun 1974 permasalahan burnout menjadi bahan kajian para ahli
psikologi. Burnout adalah istilah yang pertama kali dikemukakan oleh
Freudenberger di tahun 1974, yang merupakan representasi dari sindrom
psychological stress yang menunjukkan respon negatif sebagai hasil dari tekanan
pekerjaan (Cordes & Dougherty, 1993). Maslach (1993), menjelaskan mengenai
definisi burnout secara operasional. “Burnout is a syndrome of emotional
exhaustion, depersonalization, and reduced personal accomplishment that occur
among individuals who do people work of some kind”, yang artinya berdasarkan
batasan ini maka dapat ditentukan kapan seseorang telah mengalami burnout,
caranya adalah dengan meneliti gejala-gejala kekeringan emosional, adanya
depersonalisasi dan penurunan rasa keberhasilan dalam melakukan tugas
sehari-hari.
Burnout dikenal secara luas dalam dunia kerja dan secara khusus nampak
pada helping professions (Cox, 1993). Burnout merupakan suatu keadaan
commit to user
Webster (Cicilia, 2002), mendefinisikan burnout sebagai kehilangan kekuatan
fisik atau emosional dan motivasi yang biasanya sebagai akibat dari stres
berkepanjangan atau frustrasi, peran konflik atau ambiguitas, upah yang rendah
dan kurangnya sistem penghargaan yang sehari-hari tegangan yang cenderung
asah karyawan di dunia, mengakibatkan depresi dan keluar dari kerangka
pikirannya.
Istilah burnout juga diartikan sebagai suatu keadaan keletihan (exhaustion)
fisik, emosional, dan mental yang menganggu dirinya. Ciri yang muncul adalah
psysikal depletion (habisnya energi fisik) dengan perasaan tidak berdaya dan
putus harapan, keringnya perasaan, konsep dirinya yang negatif dan sikap negatif
terhadap kerja dan orang lain (Prawasti, 1991). Caputo (1991) mengungkapkan,
burnout merupakan situasi yang tak henti-hentinya dialami oleh karyawan dalam
memenuhi keinginannya mencapai tujuan dengan sumber daya yang mencukupi
dan menghasilkan transformasi dalam berkomitmen, kebosanan, dan kelelahan
fisik.
Burnout yang dialami secara terus-menerus dan tidak dapat diatasi akan
mengakibatkan dampak bagi diri sendiri dan organisasi. Hal ini dapat dilihat dari
segi fisiologis, tingkah laku, dan psikologis setiap individu yang mengalami.
Dalam Prawasti (1991), Miller dan Elllis (1990) mengungkapkan karyawan yang
mengalami burnout memiliki tingkat kepuasan dan komitmen yang rendah.
Kalliath dan Morris (2002) juga mengatakan bahwa burnout yang terus-menerus
akan menyebabkan penurunan kepuasan kerja dan berdampak pada kesehatan
mengungkapkan bahwa kelelahan emosi dan depersonalization mempunyai
hubungan yang kuat dengan tekanan dan burnout pada karyawan (Andarika,
2004). Hal ini dapat dilihat dari penelitiannya yang menunjukkan bahwa
kelelahan emosi dan depersonalization juga berpengaruh terhadap komitmen
terhadap organisasi sebanyak 61%.
Cordes dan Dougherty (1993) mendeskripsikan burnout sebagai gabungan
dari tiga tendensi psikis, yaitu kelelahan emosional (emotional exhaustion),
penurunan prestasi kerja (reduced personal accomplishment) dan sikap tidak
peduli terhadap karir dan diri sendiri (depersonalization). Bernardin (Rosyid,
1996) menggambarkan burnout sebagai suatu keadaan yang mencerminkan reaksi
emosional pada individu yang bekerja pada bidang kemanusiaan (humanservice),
atau bekerja erat dengan masyarakat. Menurut Kreitner dan Kinicki (1992),
burnout adalah akibat dari stres yang berkepanjangan dan terjadi ketika seseorang
mulai mempertanyakan nilai-nilai pribadinya. Burnout juga merupakan istilah
populer untuk kondisi penurunan energi mental atau fisik setelah periode stres
kronik yang tidak sembuh-sembuh berkaitan dengan pekerjaan, terkadang
dicirikan denganpekerjaan atau dengan penyakit fisik(Potter & Perry, 2005).
Pengertian-pengertian tentang burnout yang telah dikemukakan oleh
beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa burnout adalah keadaan yang
mencerminkan reaksi emosional yang tengah dirasakannya, dimana dapat
ditandai dengan kelelahan fisik, mental, dan emosional, serta rendahnya
commit to user
menghadapi stres kerja yang dialami oleh individu pekerja dalam bidang human
service setting dan non human service setting. Jadi disini ditekankan pada
terjadinya suatu perubahan motivasi, hilangnya semangat yang dialami karyawan
berkaitan dengan kekecewaan yang berlebih yang dialami dalam situasi kerja.
2. Aspek-Aspek Burnout
Maslach dan Jackson (1993) telah melakukan penelitian selama
bertahun-tahun terhadap burnout pada bidang pekerjaan yang berorientasi melayani orang
lain, hingga menemukannya tanda-tanda burnout yang terdiri dari tiga bagian
yaitu :
a. Emotional exhaustion adalah suatu dimensi dari kondisi burnout yang
berwujud perasaan dan energi terdalam sebagai hasil dari excessive
psychoemotional demands yang ditandai dengan hilangnya perasaan dan
perhatian, kepercayaan, minat dan semangat (Ray & Miller, 1994). Orang
yang mengalami emotional exhaustion ini akan merasa hidupnya kosong,
lelah dan tidak dapat lagi mengatasi tuntutan pekerjaannya.
b. Depersonalization merupakan tendensi kemanusiaan terhadap sesama
yang merupakan pengembangan sikap sinis mengenai karir dan kinerja diri
sendiri (Cordes & Dougherty, 1993). Orang yang mengalami
depersonalisasi merasa tidak ada satupun aktivitas yang dilakukannya
bernilai atau berharga. Sikap ini ditunjukkan melalui perilaku yang acuh,
bersikap sinis, tidak berperasaan dan tidak memperhatikan kepentingan
c. Reduced personal accomplishment merupakan atribut dari tidak adanya
aktualisasi diri, rendahnya motivasi kerja dan penurunan rasa percaya diri.
Seringkali kondisi ini mengacu pada kecenderungan individu untuk
mengevaluasi diri secara negatif sehubungan dengan prestasi yang
dicapainya (Cordes & Dougherty, 1993). Ini adalah bagian dari
pengembangan depersonalisasi, sikap negatif maupun pandangan terhadap
klien lama-kelamaan menimbulkan perasaan bersalah pada diri pemberi
pelayanan. Individu tidak akan merasa puas dengan hasil karyanya sendiri,
merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri,
maupun orang lain. Perasaan ini akan berkembang menjadi penilaian
terhadap diri sendiri dalam pemenuhan tanggung jawabnya yang berkaitan
dengan pekerjaannya (Maslach, 1993; Jackson dan Leither 1996).
Menurut Ryan (Maslach, 1996), aspek lain adalah perkembangan negatif,
sikap sinis dan perasaan tentang seorang klien. Reaksi negatif yang ditujukan pada
klien dapat dihubungkan dengan pengalaman kelelahan emosional. Kelelahan
emosional ini misalnya perasaan tertekan, kecemasan, dan konflik yang terjadi
secara sadar ataupun tak sadar. Disinilah, mekanisme pertahanan diri seseorang
dapat berperan sebagai pelindung dari kelelahan emosional melalui
pemutarbalikkan kenyataan (Dwiputri, 2007). Cherniss (1990), mengatakan
bahwa burnout dipengarui oleh lingkungan pekerjaannya, seperti gaya
kepemimpinan atasan. Cherniss (1990) mengungkapkan adanya dinamika dalam
commit to user
a. Stres, merupakan persepsi mengenai ketidakseimbangan antara
sumber-sumber individu dan tuntutan yang ditujukan pada individu yang
bersangkutan. Tuntutan ini dapat berasal dari diri sendiri ataupun
lingkungan.
b. Strain, merupakan respon emosional langsung dari adanya kesenjangan
antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki, ditandaisi strain dengan
perasaan cemas, tegang dan lelah.
c. Coping, merupakan respon dari strain dimana individu berusaha
melakukan sesuatu untuk mengatasi strain. Jika situasi tersebut tidak dapat
ditangani dengan menggunakan coping masalah secara aktif, individu akan
melakukan pertahanan intrapsikis dan mengalami perubahan sikap serta
perilaku, seperti kecenderungan menjauhkan diri ataupun bersikap sinis.
STRES STRAIN COPING
Gambar 1. Proses Burnout (kaitan stress, strain, dan coping)
(Sumber : Staff Burnout: JobStress in Human Service, Cherniss, 1990)
Burnout sebagai suatu tipe respon terhadap stres, merupakan hasil dari
menjaga jarak psikologis dari keterlibatannya dengan pekerjaan, menurunnya
tujuan dan menyalahkan situasi atau orang lain. Cherniss (1990), menekankan
pada adanya sikap menjauhkan diri secara psikologis dari tuntutan peran profesi
sebagai symptom dari burnout, karena dengan sikap demikian, tidak
menghiraukan lagi klien atau pasien dan bersikap masa bodoh terhadap pihak
yang seharusnya dibantu. Individu akan dapat menghindari terjadinya
penambahan beban stres yang dialaminya. Semua ini merupakan usaha defensif
dari penolong, sehingga Cherniss (1990), menyatakan bahwa bisa saja individu
penolong tidak mengalami “penderitaan” namun relasi yang tercipta antar
penolong-ditolong yang terganggu.
Burnout berdampak bagi individu, orang lain, dan organisasi (Maslach,
1993). Dampak burnout, pada individu terlihat dari adanya gangguan fisik
maupun psikologis. Dampak burnout yang dialami individu juga dirasakan oleh
orang lain. Selain itu, burnout juga berdampak pada efektivitas dan efisiensi kerja
dalam organisasi. Ketika mereka mengalami burnout, Freudenberger dan
Richelson (1990) mengidentifikasikannya sebagai berikut :
a. Kelelahan yang merupakan proses kehilangan energi disertai keletihan.
Keadaan ini merupakan gejala utama burnout. Individu tersebut akan sulit
menerima, karena mereka merasa bahwa selama ini tidak pernah lelah,
walaupun aktifitas yang dijalani sangat padat.
b. Lari dari kenyataan, ini adalah alat yang digunakan individu untuk
commit to user
tidak peduli terhadap permasalahan yang ada, agar dapat mengindari
kekecewaan yang lebih parah, seperti misalnya sebagai karyawan tidak
melakukan tanggung jawab atas pekerjaannya karena tidak senang dengan
kepimpinan atasannya.
c. Kebosanan dan sinisme, ketika individu tersebut mengalami kekecewaan,
sulit bagi mereka untuk tertarik lagi pada kegiatan yang mereka tekuni.
Mereka mulai mempertanyakan makna kegiatan, mulai merasa bosan, dan
berpandangan sinis terhadap kegiatan tersebut.
d. Tidak sabar dan mudah tersinggung, hal ini terjadi karena selama individu
mampu melakukan segalanya dengan cepat dan ketika itu pula mengalami
kelelahan untuk menyelesaikannya dengan cepat.
e. Merasa hanya dirinya yang dapat menyelesaikan semua permasalahan.
Disini, individu tersebut mempunyai satu keyakinan bahwa hanya dirinya
yang dapat melakukan sesuatu dengan baik.
f. Merasa tidak dihargai, usaha yang semakin keras namun tidak disertai
dengan kemampuan yang cukup sehingga hasil yang diperoleh tidak
memuaskan dan timbul perasaan tidak berharga dan dihargai oleh orang
lain.
g. Mengalami disorientasi, individu merasa dirinya terpisah dari
lingkungannya, karena tidak mengerti bagaimana situasinya menjadi kacau
dan tidak sesuai dengan harapan. Ketika berbincang-bincang dengan orang
h. Keluhan psikosomatis, individu akan seringkali mengeluh sakit kepala,
mual-mual, diare, ketegangan otot, dan gangguan fisik lainnya.
i. Curiga tanpa alasan, ketika sesuatu hal tidak berjalan sebagaimana
mestinya, kecurigaan muncul dalam diri individu tersebut, menurutnya hal
ini dibuat oleh orang lain.
j. Depresi, yang perlu diperhatikan adalah depresi dalam konteks burnout
yang bersifat sementara, khusus, dan terbatas. Individu dapat merasa
tertekan di tempat kerja, tetapi dapat bersenda gurau dan tertawa saat tiba
di rumah.
k. Penyangkalan, selalu menyangkal kenyataan yang dihadapinya.
Penyangkalan ini ada dua macam yaitu penyangkalan terhadap kegagalan
yang dialami dan penyangkalan terhadap rasa takut yang dirasakannya.
Tanda-tanda burnout ini banyak ditemukan pada pekerja yang mempunyai
profesi sebagai “penolong” antara lain perawat dan pekerja sosial. Para peneliti
meyakini bahwa awal munculnya burnout sebagai hasil dari seringnya
berinteraksi dengan orang lain. (Spector dan Paul E, 2000). Berbeda dengan
pandangan diatas, Leiter (1993) mengemukakan model proses burnout yang baru.
Leiter (1993), mengungkapkan bahwa stressor yang dihadapi individu
(seperti, konflik personal, beban kerja, dan lain-lain) menyebabkan munculnya
emotional exhaustion yang kemudian berkembang menjadi depersonalization.
Sedangkan reduced personal accomplishment berkembang sejalan dengan
commit to user
sosial dari atasan dan rekan kerja yang tidak adekuat. Pada model inilah,
dimensi-dimensi burnout berkembang secara paralel.
Gambar 2. Proses burnout menurut pandangan Leiter, keadaan yang dituju
(Sumber: Burnout as a Development process: Consideration of Models, Leiter,
1993).
Keterangan :
- Tanda (+) berarti menambah kemungkinan terjadi
- Tanda (-) berarti mengurangi kemungkinan terjadinya keadaan yang dituju
Corrigan, dkk (1994) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan
salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap burnout. Lebih jauh
dikatakan bahwa dukungan sosial yang diterima dari rekan kerja akan mengurangi
resiko burnout. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Gibson, dkk (1996) yang
mengatakan bahwa dukungan sosial dari teman sekerja menengahi hubungan
antara burnout dengan keluhan kesehatan.Semakin tinggi dukungan sosial, maka Beban kerja berlebihan dan rutinitas Konflik interpersonal
Kelelahan emosional
Keterampilan dan
coping Dukungan sosial dari
atasan dan rekan kerja
semakin sedikit keluhan tentang kesehatan yang dilaporkan. Penelitian yang
dilakukan oleh Britton (1989) melaporkan bahwa dukungan sosial dari para atasan
berpengaruh positif terhadap kesehatan fisik dan kesehatan mental para karyawan.
Berdasarkan uraian di atas, aspek-aspek burnout terbagi menjadi
emotional exhaustion misalnya tidak dapat menuntaskan pekerjaannya,
depersonalization seperti tidak dapat memperhatikan kepentingan orang lain,dan
reduced personal accomplishment yakni timbulnya perasaan tidak puas dengan
hasil karyanya sendiri.
3. Penanganan Burnout
Kondisi stres berat, berulang, dan sulit diatasi ini dapat menghantarkan
individu untuk mengalami kondisi yang lebih buruk seperti apatisme, sinisme,
frustasi, penarikan diri menjadi berkembang. Akan tetapi, telah terdapat berbagai
cara efektif untuk mengatasi kejenuhan pada para pegawai pada suatu lingkungan
kerja. Salah satunya adalah munculnya kesadaran pada diri para pimpinan bahwa
dalam melaksanakan pekerjaannya, seorang pegawai banyak menghadapai
berbagai masalah yang bisa berdampak pada timbulnya sindrom burnout pada
mereka. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal-hal tersebut hendaknya para
pimpinan di lapangan melakukan hal-hal sebagai berikut (Mulyana, 2009):
a. Menciptakan birokrasi yang tidak menimbulkan anggapan di mata
karyawan bahwa para pemimpin yang bekerja di kantor, tidak peduli
commit to user
dibina oleh mereka yang memiliki citra tidak kompeten, tidak efisien,
kurang komitmen, kurang berminat terhadap hobi dan kegiatan kantor
pada umumnya.
b. Melakukan pembinaan karyawan secara profesional, artinya lakukan
serangkaian usaha bantuan kepada karyawan, terutama bantuan yang
berwujud layanan profesional guna meningkatkan proses dan hasil
pembinaan yang menggairahkan.
c. Melakukan hubungan profesional yang tidak kaku, yang akrab, yang tidak
bersikap otoriter pimpinan, sehingga pegawai tidak takut bersikap terbuka
kepada pimpinan. Dengan demikian, akan terjadi interaksi antara pegawai
dengan pimpinan yang harmonis, sehingga pada gilirannya tersedia
kesempatan untuk mengembangkan ke arah yang dapat menurunkan
kemungkinan terjadinya burnout.
d. Melakukan dukungan sosial yang cukup bermakna kepada pegawai. Sebab
dukungan sosial yang tidak kuat dari pimpinan dapat menjadi sumber stres
emosional yang berpotensi terhadap timbulnya burnout. Jenis dukungan
yang diharapkan karyawan ialah:
1) Saran dari pimpinan dalam mengatasi masalah pekerjaan yang
dihadapi karyawan.
2) Kesediaan pimpinan untuk berempati terhadap perasaan-perasaan
pegawai saat mengahadapi klien (masyarakat).
3) Peran pimpinan dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan
4) Memberikan contoh tingkah laku yang dapat dijadikan panutan
ditempat kerja karyawan.
5) Memberikan umpan balik yang nyata terhadap kinerja karyawan
seperti pemberian upah kerja dan bonus yang sesuai dengan kinerja
pekerjaannya ataupun pujian atas hasil kerjanya.
e. Melakukan kebijakan pembinaan yang dapat meningkatkan kepuasan kerja
karyawan.
Selain itu, yang lebih penting dalam mencegah terjadinya burnout adalah
usaha yang dilakukan karyawan itu sendiri. Para karyawan sebaiknya waspada
akan munculnya burnout. Sebab, selain merugikan diri sendiri, juga berdampak
pada pekerjaan dan citra pegawai yang sampai hari ini perlu diperjuangkan.
Berdasarkan penjelasan di atas burnout dapat ditangani dengan cara
menciptakan birokrasi yang tidak menimbulkan anggapan di mata karyawan,
melakukan pembinaan karyawan secara profesional, melakukan hubungan
profesional yang tidak kaku, melakukan dukungan sosial yang cukup bermakna
kepada karyawan, dan melakukan kebijakan pembinaan yang dapat meningkatkan
kepuasan kerja karyawan.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Burnout
Karyawan yang mengalami burnout lebih sering absen atau terlambat
untuk bekerja daripada rekan-rekan yang tidak mengalaminya, mereka menjadi
commit to user
(Farber, 1983 dalam Corrigan 1994). Maslach, kemudian menciptakan alat ukur
sindrom burnout yang dialami seseorang, menyatakan bahwa burnout merupakan
hasil dari tekanan emosional yang konstan dan berulang, yang diasosiasikan
dengan keterlibatan yang intensif dalam hubungan antar personal untuk jangka
waktu yang lama. Selanjutnya, Baron dan Greenberg (1995) mengungkapkan ada
dua faktor yang dipandang mempengaruhi munculnya burnout, yaitu:
a. Faktor Eksternal
Meliputi lingkungan kerja psikologis yang kurang baik, kurangnya
kesempatan untuk promosi, imbalan yang diberikan tidak mencukupi,
kurangnya dukungan sosial dari atasan, tuntutan pekerjaan, pekerjaan yang
monoton. Misalnya, dukungan sosial diartikan sebagai kesenangan,
bantuan, yang diterima seseorang melalui hubungan formal dan informal
dengan yang lain atau kelompok (Gibson, 1996). Menurut Pines dan
Aronson (Caputo, 1991) adanya faktor yang saling berinteraksi dalam
menimbulkan burnout, yaitu faktor lingkungan kerja dan individu.
b. Faktor Internal
Meliputi usia, jenis kelamin, harga diri, dan karakteristik kepribadian.
Seperti, pengetahuan bahwa “saya seorang pria” atau “saya seorang
wanita” merupakan salah satu bagian inti dari identitas pribadi, dan di
dalam benak kita sudah tertanam siapa itu pria dan siapa itu wanita.
Demikian pula tentang pemikiran apa kekhasan perilaku seorang pria dan
seorang wanita. Pria dan wanita tidak hanya berbeda secara fisik saja,
Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Parasuraman, dkk
(1992) bahwa kedua faktor di atas berhubungan dengan burnout. Corrigan, dkk
(1994) mengatakan bahwa faktor eksternal merupakan salah satu variabel penting
yang berpengaruh terhadap burnout. Burnout sebagai suatu bentuk respon stres
harus dipandang sebagai suatu proses yang diawali oleh adanya
ketidakseimbangan, kesenjangan atau diskrepansi antara tuntutan dan sumber
daya individu yang menimbulkan kondisi strain (ketegangan).
Individu tidak bisa mengatakan “saya menderita burnout hari ini dan
bersemangat hari berikutnya (Pines dan Aronson, 1990)”. Seseorang yang
mengalami kelelahan secara fisik setelah lari maraton, namun secara emosional
gembira, bisa dikatakan ia tidak mengalami burnout. Demikian pula orang yang
tertekan namun tetap nyaman di dalam bekerja, tidak mengalami burnout.
Burnout tidak selalu terjadi pada setiap orang, karena ada perbedaan individual
yang turut berpengaruh. Satu hal yang memiliki kontribusi besar terhadap
timbulnya burnout, yaitu jika mereka merasa tidak bernilai, tidak dihargai, dan
pekerjaan mereka merasa tidak berarti.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa burnout
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal yang meliputi lingkungan kerja
psikologis dan faktor internal seperti usia, jenis kelamin, harga diri, dan
commit to user
B. Persepsi Budaya Organisasi
1. Pengertian Persepsi Budaya Organisasi
a. Pengertian Persepsi
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses
penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera
atau disebut juga proses sensoris. Alat indera tersebut adalah alat penghubung
antara individu dengan dunia luarnya (Walgito, 2004). Stimulus yang diterima
oleh indera akan diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu
menyadari, mengerti tentang apa yang ada di dalam indera itu, dan proses ini
disebut persepsi. De Vito, (1997 dalam Desy, 2004) mengungkapkan persepsi
sebagai sebuah proses ketika kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang
mempengaruhi indera kita. Rakhmat (2005), mengatakan bahwa persepsi adalah
pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh
dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Ekspresi mengenal orang lain merupakan studi awal tentang persepsi
(Muhadjir, 1992, dalam Hartijati 2001). Gibson & Ivancevich (1996) menyatakan
bahwa persepsi merupakan serangkaian hal dari lingkungan yang diartikan oleh
orang-orang yang bekerja dalam lingkup besar dan mempunyai peranan yang
besar dalam mempengaruhi tingkah laku karyawan. Lain halnya dengan Pareek
(1996), mendefinisikannya lebih luas yaitu persepsi sebagai proses menerima,
menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji, dan memberikan reaksi
kepada rangsangan pancaindera atau data. Dengan demikian dapat dikemukakan,
yang diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan
respon yang integrated dalam diri individu (Walgito, 2004).
Senada dengan hal tersebut, Atkinson dan Hilgard (1991) mengemukakan
bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan
pola stimulus dalam lingkungan. Gibson dan Donely (1996) menjelaskan bahwa
persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu.
Persepsi merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu, karena itulah
apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi, ungkap Walgito,
(2004). Persepsi merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga
terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan
segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya
(Aronson, 2008).
Anderson dan Kyprianov, (1994, dalam Napitupulu 2002) mengatakan
bahwa persepsi sebagai proses yang aktif dimana yang memegang peranan bukan
hanya stimulus yang mengalaminya, tetapi juga keseluruhan
pengalaman-pengalamannya, memotivasinya dan sikap relevan terhadap stimulus tersebut.
Kotler (2000) menjelaskan persepsi sebagai proses bagaimana seseorang
menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi
untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Mangkunegara (Arindita,
2002) berpendapat bahwa persepsi adalah suatu proses pemberian arti atau makna
terhadap lingkungan. Adapun Robbins (2003) mendeskripsikan persepsi dalam
commit to user
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna
kepada lingkungan mereka.
Persepsi dalam arti umum adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu
yang akan membuat respon bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak.
Leavitt (Rosyadi, 2001) membedakan persepsi menjadi dua pandangan, yaitu
pandangan secara sempit dan luas. Pandangan yang sempit mengartikan persepsi
sebagai penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu. Sedangkan pandangan
yang luas mengartikannya sebagai bagaimana seseorang memandang atau
mengartikan sesuatu. Sebagian besar dari individu menyadari bahwa dunia yang
sebagaimana dilihat tidak selalu sama dengan kenyataan, jadi berbeda dengan
pendekatan sempit, tidak hanya sekedar melihat sesuatu tapi lebih pada
pengertiannya terhadap sesuatu tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat disimpulkan bahwa
proses kita menjadi sadar akan banyaknya perasaan, kemampuan berpikir,
pengalaman-pengalaman individu tidaklah sama, maka dalam mempersepsi
sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan
individu lain.
b. Pengertian Budaya Organisasi
Budaya organisasi merupakan bagian dari manajemen sumber daya
manusia dan teori organisasi. Manajemen sumber daya manusia memandang
budaya organisasi dari aspek perilaku, sedangkan teori organisasi dilihat dari
organisasi sebagai wadah tempat individu bekerjasama secara rasional dan
sistematis untuk mencapai tujuan. Budaya organisasi sebagai sistem penyebaran
kepercayaan dan nilai-nilai yang berkembang dalam suatu organisasi dan
mengarahkan perilaku anggota anggotanya. Budaya organisasi dapat menjadi
instrumen keunggulan kompetitif yang utama, bila budaya organisasi mendukung
strategi organisasi, dan bila budaya organisasi dapat menjawab atau mengatasi
tantangan lingkungan dengan cepat dan tepat.
Denison (2003), mengatakan budaya organisasi sebagai sebuah nilai-nilai,
keyakinan dan prinsip-prinsip dasar yang merupakan landasan bagi sistem dan
praktek-praktek manajemen serta perilaku yang meningkatkan dan menguatkan
prinsip-prinsip tersebut. Pada dasarnya budaya organisasi bukan merupakan
kenyataan yang timbul dengan sendirinya, melainkan kenyataan yang bisa
ditanamkan dan dikembangankan. Budaya organisasi ini berjalan turun temurun
dalam kehidupan organisasi, tetapi nilai-nilai tersebut dapat berubah ketika timbul
kemauan politis dari manajer menghendaki perubahan nilai menuju organisasi
yang lebih sehat dan selektif (Retno, 2004).
Perkembangan budaya organisasi, pertama kali dikenalkan di Amerika dan
Eropa pada era 1970-an. Salah satu tokohnya : Edward H. Shein seorang Profesor
Manajemen dari Sloan School of Management, Massachusetts Institute of
Technology dan juga seorang Ketua Kelompok Studi Organisasi 1972-1981. Salah
satu karya ilmiahnya : Organizational Culture and Leadership. Di Indonesia,
commit to user
membicarakan tentang konflik budaya, bagaimana mempertahankan Budaya
Indonesia serta pembudayaan nilai-nilai baru.
Djokosantoso (2005) menyatakan bahwa budaya korporat atau budaya
manajemen atau juga dikenal dengan istilah budaya kerja merupakan nilai-nilai
dominan yang disebarluaskan di dalam organisasi dan diacu sebagai filosofi kerja
karyawan. Susanto (1997) memberikan definisi budaya organisasi sebagai
nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi
permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan
sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada
dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku.
Robbins (1991) mendefinisikan budaya organisasi (organizational culture)
sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang
membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Lebih lanjut,
Robbins (1991) menyatakan bahwa sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk
oleh warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem
pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai
organisasi ("a system of shared meaning held by members that distinguishes the
organization from otherorganization. This system of shared meaning is, on closer
examination, a set of key characteristics that the organization values"). Amnuai
(Soedjono, 2005), budaya organisasi adalah seperangkat asumsi dasar dan
keyakinan yang dianut oleh anggota-angota organisasi, kemudian dikembangkan
dan diwariskan guna mengatasi masalah adaptasi eksternal dan
Schein (1992), mengatakan bahwa budaya organisasi itu, mengacu ke
suatu sistem makna bersama, dianut oleh anggota-anggota yang membedakan
organisasi itu terhadap organisasi lain (Melinda, 2004). Luthans (1998, dalam
Melinda, 2004) mengatakan budaya organisasi merupakan norma-norma dan
nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota akan
berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya.
Sarplin (1995, dalam Sutanto, 1997), mendefinisikan budaya organisasi sebagai
suatu sistem nilai, kepercayaan dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling
berinteraksi dengan struktur sistem formalnya untuk menghasilkan norma-norma
perilaku organisasi.
Menurut Stoner (1995, dalam Robbins 2003), budaya organisasi sebagai
suatu cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma prilaku dan
harapan-harapan yang disumbangkan oleh anggota organisasi. Monde dan Noe
(Retno 1995), budaya organisasi adalah sistem dari shared value, keyakinan dan
kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan
struktur formalnya untuk menciptakan norma-norma perilaku. Konsep budaya
organisasi ini disandarkan pada kemampuan karyawan, sehingga penguatan yang
diberikan pada karyawan selaku individu sebagai sumber daya manusia semakin
disadari merupakan aset organisasi yang paling berharga dan memiliki
kemampuan beradapatasi yang paling fleksibel.
Melinda (2004), mendefinisikan budaya organisasi adalah bagian dari
commit to user
sedangkan budaya organisasi dalam teori organisasi, ditemukan saat mengkaji
aspek sekelompok individu yang bekerjasama untuk mencapai tujuan, atau
organisasi sebagai wadah tempat individu bekerjasama secara rasional dan
sistematis untuk mencapai tujuan. Budaya organisasi juga mencakup nilai dan
standar-standar yang mengarahkan perilaku pelaku organisasi dan menentukan
arah organisasi secara keseluruhan. Menurut Atmosoeprapto (2001), budaya
organisasi ialah suatu hal yang sangat penting karena kemampuannya untuk
mengarahkan perilaku para anggota organisasi ke tujuan yang dikehendaki.
Martin, 1992 (Lako, 2004), berpendapat bahwa budaya organisasi
merupakan sensitivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan karyawan; kemauan
untuk menerima resiko; kebebasan atau minat karyawan untuk memberi ide-ide
baru; keterbukaan untuk melakukan komunikasi secara bebas dan bertanggung
jawab. Pengaruh budaya organisasi ini melebihi pengaruh lain dalam organisasi
seperti struktur, sistem, manajemen, dan lain sebagainya. Ini merupakan suatu
keadaan yang sangat diharapkan oleh para pimpinan sehingga tidak bersusah
payah mengarahkan perilaku para anggota organisasinya. Menurut Harris dan
Moran (1991, dalam Sutanto 1997) baru sejak dekade yang lalu (akhir 70-an atau
awal 80-an) para eksekutif dan cendekiawan benar-benar memperhatikan faktor
budaya organisasi yang ternyata berpengaruh terhadap perilaku, moral atau
semangat kerja dan produktivitas kerja.
Osborne dan Plastrik (2000) mengungkapkan, budaya organisasi sebagai
seperangkat perilaku, perasaan, dan kerangka psikologis yang terinternalisasi
organisasi memberikan karyawan rasa kenyamanan, keamanan, kebersamaan, rasa
tanggung jawab, ikut memiliki, tahu bagaimana bersikap, apa yang harus mereka
kerjakan, dan sebagainya. Untuk itu diperlukan komitmen dari seluruh karyawan,
mulai dari top, middle sampai lower atau operasioal yang merupakan persyaratan
mutlak untuk tetap terpeliharanya budaya organisasi. Komitmen saja tidak sekedar
keterkaitan secara fisik, tapi juga secara mental.
Berdasarkan uraian diatas, budaya organisasi adalah perekat bagi setiap
organisasi. Tanpa budaya organisasi, keberadaan organisasi akan mengalami
proses pemekaran dan pertumbuhan tanpa adanya keseimbangan integrasi dan
reintegrasi. Dengan budaya organisasi ini, karyawan menjadi lebih
menyenangkan, sehingga perlu ada upaya serius dari seluruh sumber daya
manusia yang ada di perusahaan (stake holder) untuk memelihara keberadaannya.
c.Pengertian Persepsi Budaya Organisasi
Rakhmat (1994), mengatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang
objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor
internal dan eksternal, yaitu faktor perceiver, obyek yang dipersepsi dan konteks
situasi persepsi dilakukan. Budaya organisasi disini berperan sebagai objek dan
konteks yang akan dipersepsi oleh seluruh anggota organisasi. Robbins (1991)
mendefinisikan budaya organisasi (organizational culture) sebagai suatu sistem
commit to user
rasa kenyamanan, keamanan, kebersamaan, rasa tanggung jawab, ikut memiliki,
tahu bagaimana bersikap, apa yang harus mereka kerjakan, dan sebagainya.
Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas dapat disimpulkan persepsi
budaya organisasi adalah rangkaian proses yang dimulai dari proses sensoris
tentang pengalamannya yang kemudian dilanjutkan ke tahapan yang
menghasilkan tanggapan atas budaya organisasi sebagai keyakinan dan nilai-nilai
organisasi yang dipahami, ditanamkan dalam jiwa dan dipraktekkan oleh
organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar
aturan berperilaku dalam organisasi.
2. Aspek-aspek Persepsi Budaya Organisasi
Budaya organisasi pada hakekatnya adalah pondasi suatu organisasi, jika
pondasi yang dibuat tidak cukup kokoh maka betapapun bagusnya bangunan
pondasi itu tidak akan cukup kokoh menopangnya. Agar hal ini benar terjadi,
maka perlu sosialisasi budaya organisasi dengan baik sehingga dapat
terinternalisasi dalam diri para karyawan organisasi. Untuk itu, peran pemimpin
organisasi sangat penting, baik dalam menanamkan pemahaman dan persepsi
yang sama tentang budaya organisasi tersebut ke setiap karayawannya.
Persepsi merupakan suatu proses bagaimana seseorang menyeleksi,
mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi dan
pengalaman-pengalaman yang ada dan kemudian menafsirkannya untuk menciptakan
suatu interelasi dari berbagai komponen. Dengan demikian, Sobur (2003) dan
Allport (Mar'at, 1991) mengemukakan tiga aspek dalam persepsi, yaitu :
a. Komponen Kognitif
Yaitu komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi
yang dimiliki seseorang tentang obyek sikapnya. Dari pengetahuan ini
kemudian akan terbentuk suatu keyakinan tertentu tentang obyek sikap
tersebut.
b. Komponen Afektif
Afektif berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang. Jadi sifatnya
evaluatif yang berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau sistem
nilai yang dimilikinya.
c. Komponen Konatif
Yaitu merupakan kesiapan seseorang untuk bertingkah laku yang
berhubungan dengan obyek sikapnya.
Aspek-aspek yang telah diungkapkan di atas dapat disimpulkan bahwa
persepsi mengandung aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif, yaitu
merupakan kesediaan dalam bertindak atau berperilaku. Sikap seseorang pada
suatu obyek sikap merupakan manifestasi dari kontelasi ketiga komponen tersebut
yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan dan berperilaku terhadap
obyek sikap. Ketiga aspek itu saling berinterelasi dan konsisten satu dengan
lainnya. Jadi, terdapat pengorganisasian secara internal diantara ketiga komponen
commit to user
Persepsi yang terjadi pada penelitian ini adalah persepsi budaya organisasi.
Persepsi budaya organisasi merupakan rangkaian proses yang dimulai dari proses
sensoris tentang pengalamannya yang kemudian dilanjutkan ke tahapan yang
menghasilkan tanggapan atas budaya organisasi sebagai keyakinan dan nilai-nilai
organisasi yang dipahami, ditanamkan dalam jiwa dan dipraktekkan oleh
organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar
aturan berperilaku dalam organisasi. Denison (2003) merangkum empat prinsip
integratif mengenai literatur perilaku organisasi yang mendahuluinya dengan
menggunakan istilah lain, akan tetapi gagasan pokok Denison (2003), adalah
efektivitas kinerja perusahaan yang merupakan keempat fungsi budaya organisasi
yaitu:
a. Keterlibatan
Ini merupakan faktor kunci dalam budaya organisasi. Keterlibatan dalam
hubungan antara budaya organisasi dan efektivitas bukanlah hal yang baru
karena telah banyak literatur perilaku organisasi yang mendahuluinya
dengan menggunakan istilah lain. Konsep ini mengemukakan bahwa
tingkat keterlibatan dan partsipasi yang tinggi menciptakan kesadaran akan
pemilikan (sense of ownership) dan tanggung jawab. Dari kesadaran ini
timbul komitmen yang lebih besar pada organisasi dan kebutuhan yang
lebih sedikit akan sistem kontrol yang ketat.
b. Konsistensi
Teori konsistensi tentang hubungan antara budaya organisasi dan
menekankan adanya dampak positif ”budaya kuat” pada efektivitas
organisasi dan bahwa sistem keyakinan, nilai, dan simbol yang dihayati,
serta dipahami secara luas oleh para anggota organisasi, memiliki dampak
positif pada kemampuan mereka dalam mencapai konsensus dan
melakukan tindakan-tindakan yang terkoordinasi.
c. Adaptabilitas
Komponen pertama dan kedua dari teori budaya hanya memfokuskan pada
dinamika internal suatu organisasi. Keduanya sangat sedikit menyinggung
lingkungan eksternal organisasi. Schein (1992, dalam Melinda 2004),
mendiskusikan hubungan antara adaptabilitas dan budaya, serta
menekankan bahwa budaya biasanya terdiri dari respon-respon perilaku
kolektif yang terbukti adaptif di masa lalu. Bila dikonfrontasikan dengan
situasi baru, pertama-tama organisasi akan mencoba respon-respon
kolektif yang diketahui.
d. Penghayatan Misi
Komponen terakhir dari budaya organsasi ini menekankan pada
pentingnya misi, atau definisi bersama dari suatu fungsi dan tujuan
organisasi serta anggotanya. Penghayatan misi memberi dua pengaruh
besar terhadap organisasi. Pertama, misi menentukan manfaat dan makna
dengan cara mendefinisikan peran individu berkenaan dengan peran
intuisi. Kedua, kesadaran akan misi memberikan arah dan sasaran yang
commit to user
kejelasan dan arah sehingga dapat mewujudkan kesuksesan yang memiliki
kemungkinan terbesar terjadi ketika individu mempunyai tujuan terarah
(Locke dalam Hartijasti, 2001).
Individu yang memiliki budaya organisasi yang kuat dinilai sebagai
karyawan yang paling kooperatif, dapat bekerja dengan banyak orang dan
memiliki preferensi yang paling kuat untuk mengevaluasi kinerja yang
memberikan kontribusi pada organisasi daripada untuk dirinya sendiri. Budaya
organisasi memiliki aspek-aspek dalam melakukan pengukurannya, dan Robbins,
(1991) menjelaskannya sebagai berikut:
a. Insiatif Individu, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam
mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas tingkatan
tanggung jawab, kebebasan, dan kemandirian yang dimiliki.
b. Risk Tolerance, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam
mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas dorongan
karyawan untuk dapat lebih agresif, inovatif, dan mau menghadapi resiko.
c. Direction, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam
mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas organisasi
menentukan tujuan yang akan dicapai dan kinerja yang diharapkan.
d. Integration, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam
mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas unit-unit
didalam organisasi didorong melakukan kegiatannya dalam satu
e. Management Support, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam
mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas para
manajer memberikan komunikasi yang jelas, bantuan, dan dukungan
terhadap bawahannya.
f. Control, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam
mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas peraturan
dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan
mengontrol perilaku karyawan.
g. Identity, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam
mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas anggota
mengidentifikasikan diri dari organisasi bukannya dengan kelompok kerja
atau bidang keahlian profesional.
h. Reward System, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam
mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas alokasi
penghargaan atau keahlian, gaji, dan promosi yang berdasarkan kriteria
hasil kerja karyawan.
i. Conflict Tolerance, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam
mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas dapat
mendorong karyawan untuk kritis terhadap konflik yang terjadi.
j. Communication Patterns, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu
dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas
commit to user
Ideologi organisasi atau budaya yang dimiliki organisasi dapat
mempengaruhi perilaku orang-orang yang terlibat didalamnya, kemampuan dalam
memenuhi kebutuhan dan permintaan secara efektif dan cara menyesuaikan diri
dengan lingkungan eksternalnya (Orlilowski dan Hoffman, 1997).
Berdasarkan aspek-aspek persepsi yang dikemukakan Sobur (2003) dan
Allport (Mar’at 1991) yakni : kognitif, afektif dan konatif. Selanjutnya aspek
budaya organisasi yang dikemukakan oleh Robbins (1991) ialah : insiatif
individu, risk tolerance, direction, integration, management support, control,
identity, reward system, conflict tolerance, dan communication patterns. Maka
dapat disimpulkan persepsi budaya organisasi dapat dilihat dari bagaimana
karyawan memberikan tanggapan secara kognitf, afektif dan konatif atas budaya
organisasi dimana dalam budaya organisasi terdapat aspek-aspek insiatif individu,
risk tolerance, direction, integration, management support, control, identity,
reward system, conflict tolerance, dan communication patterns (Robbins, 1991).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Budaya Organisasi
Budaya organisasi merupakan satu unsur terpenting dalam organisasi yang
mengarah pada perilaku yang dianggap tepat, mengikat, dan memotivasi anggota
yang ada di dalamnya. Kebudayaan akan mempengaruhi cara berpikir, sikap, dan
perilaku seseorang. Dengan demikian, pemahaman budaya organisasi menjadi
penting, mengingat adanya keanekaragaman budaya yang dibawa oleh karyawan
ke dalam organisasi. Martin, 1992 (dalam Lako, 2004), berpendapat bahwa
karyawan; kemauan untuk menerima resiko; kebebasan atau minat karyawan
untuk memberi ide-ide baru; keterbukaan untuk melakukan komunikasi secara
bebas dan bertanggung jawab. Secara tidak langsung ataupun langsung, budaya
organisasi dapat berupa hasil pemikiran dan tindakan-tindakan yang dilakukan
pendiri organisasi, meski tidak selalu demikian.
Budaya organisasi selalu dipengaruhi oleh persepsi masing-masing
karyawan terhadap hal tersebut. Rakhmat (1994), mengatakan bahwa persepsi
adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi
dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal, yaitu faktor perceiver,
obyek yang dipersepsi dan konteks situasi persepsi dilakukan.
Seiring dengan perkembangan organisasi, budaya organisasi dapat
mengalami transformasi dengan berbagai cara. Transformasi dari budaya
organisasi tersebut dipengaruhi oleh persepsi setiap karyawannya. Oleh karena
itu, Chatman dan Barsade (1997), mengungkapkan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi persepsi budaya organisasi diantaranya adalah :
a. Identitas Organisasi, seperti memberikan penghargaan dengan mendorong
motivasi karyawan.
b. Komitmen Kolektif, yaitu fungsi budaya organisasi yang baik ialah
’sebuah organisasi dimana anggotanya bangga menjadi bagian darinya’.
c. Stabilitas Sistem Sosial, merupakan cerminan taraf dari lingkungan kerja