• Tidak ada hasil yang ditemukan

BURNOUT PADA KARYAWAN DITINJAU DARI PERSEPSI BUDAYA ORGANISASI DAN MOTIVASI INTRINSIK DI PT. KRAKATAU STEEL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BURNOUT PADA KARYAWAN DITINJAU DARI PERSEPSI BUDAYA ORGANISASI DAN MOTIVASI INTRINSIK DI PT. KRAKATAU STEEL"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

BURNOUT PADA KARYAWAN DITINJAU DARI PERSEPSI BUDAYA

ORGANISASI DAN MOTIVASI INTRINSIK DI PT. KRAKATAU STEEL

SKRIPSI

Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat

guna memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi

Oleh :

Nikki Rasuna Katarini

G 0106070

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)

BURNOUT PADA KARYAWAN DITINJAU DARI PERSEPSI BUDAYA

ORGANISASI DAN MOTIVASI INTRINSIK DI PT. KRAKATAU STEEL

INTISARI

Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat

guna memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi

Oleh :

Nikki Rasuna Katarini

G 0106070

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

(3)

commit to user

x

DAFTAR ISI

Halaman Judul ……… i

Halaman Persetujuan ……….…. ii

Halaman Pengesahan ……….…. iii

Halaman Motto ……… iv

Halaman Penghargaan ………….……….………….…. v

Kata Pengantar ………..……….…. vi

Intisari ..………..……….…. viii

Abstract ………..……….….…. ix

Daftar Isi ...……….… x

Daftar Gambar ………. xiv

Daftar Tabel ………..……… xv

Daftar Lampiran ………..……… xvii

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Rumusan Masalah ……….…. 7

C. Tujuan Penelitian ………... 8

D. Manfaat Penelitian ………... 8

BAB II Landasan Teori A. Burnout Pada Karyawan 1. Pengertian Burnout ……….... 10

(4)

commit to user

3. Penanganan Burnout ………..……….… 20

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Burnout ……….……… 22

B. Persepsi Budaya Organisasi 1. Pengertian Persepsi Budaya Organisasi ………….…...………... 25

a. Pengertian Persepsi ……….………..…… 25

b. Pengertian Budaya Organisasi ………. 27

c. Pengertian Persepsi Budaya Organisasi ……….……….. 32

2. Aspek-aspek Persepsi Budaya Organisasi ……….. 33

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Budaya Organisasi …..… 39

C. Motivasi Intrinsik 1. Pengertian Motivasi Intrinsik ……….….….… 41

2. Aspek-aspek Motivasi Intrinsik ……….…. 43

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi Intrinsik ……….………… 47

D. Hubungan antara Persepsi Budaya Organisasi dan Motivasi Intrinsik dengan Burnout Pada Karyawan ………. 48

E. Hubungan antara Persepsi Budaya Organisasi dan Burnout pada Karyawan ………. 51

F. Hubungan antara Motivasi Intrinsik dan Burnout pada Karyawan ……… 53

G. Kerangka Berpikir ……… 55

H. Hipotesis ……… 56

(5)

commit to user

xii

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Burnout pada Karyawan ……….……….…. 57

2. Persepsi Budaya Organisasi ...………..… 58

3. Motivasi Intrinsik ……….…….………….……... 59

C. Populasi, Sampel, dan Sampling

1. Populasi ...……….……… 59

2. Sampel ...……….. 60

3. Teknik Sampling ……….…………..…………. 61

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Sumber Data ...……….. 62

2. Metode Pengumpulan Data ...………..…… 63

E. Metode Analisis Data

1. Validitas Instrumen Penelitian ...……….. 70

2. Reliabilitas Instrumen Penelitian ……….……. 71

3. Uji Hipotesis ...……….………. 72

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

A. Persiapan Penelitian

1. Orientasi Kancah Penelitian ...……….. 75

2. Persiapan Penelitian ………...………..…… 77

B. Pelaksanaan Penelitian

1. Penentuan Subjek Penelitian ...………..……….. 84

2. Pengumpulan Data untuk Uji Coba …...………..…… 84

(6)

commit to user

4. Pengumpulan Data ………..……….……… 92

5. Pelaksanaan Skoring ……….……… 93

C. Hasil Analisis Data Penelitian 1. Uji Asumsi ………...………..……….. 94

2. Uji Hipotesis ………...………..…… 98

3. Mean Empirik (ME) dan Mean Hipotetik (MH) …………..……….… 100

4. Sumbangan Relatif dan Sumbangan Efektif ………….……….……… 104

D. Pembahasan ……….………... 104

BAB V Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan ……….………..………..………….. 109

B. Saran ……….…. 110

(7)

commit to user BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan bidang industri saat ini selalu mengalami kemajuan, hal ini

menyebabkan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh

perusahaan dan tuntutan pekerjaan pun semakin meningkat. Dunia perusahaan

sebagai sebuah organisasi harus mampu mencapai tujuan yang direncanakan

untuk dapat memenuhi tuntutan pembangunan dan kemajuan teknologi pada masa

sekarang. Persoalan yang muncul pada dunia organisasi selalu berkaitan dengan

diri individu dalam menghadapi tuntutan organisasi yang semakin tinggi dan

persaingan yang keras di tempat kerja karyawan itu adalah stres.

Stres yang berlebihan akan berakibat buruk terhadap kemampuan individu

untuk berhubungan dengan lingkungannya secara normal. Stres yang dialami

individu dalam jangka waktu yang lama dengan intensitas yang cukup tinggi akan

mengakibatkan individu yang bersangkutan menderita kelelahan, baik fisik

ataupun mental. Keadaan seperti ini biasa disebut dengan burnout.Burnout adalah

istilah yang pertama kali dikemukakan oleh Freudenberger pada tahun 1974, yang

merupakan representasi dari sindrom psychological stress yang menunjukkan

respon negatif sebagai hasil dari tekanan pekerjaan (Maslach, 1993).

Maslach dan Jackson (1993), memandang burnout sebagai suatu sindrom

psikologis yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu, emotional exhaustion,

(8)

dapat terjadi pada semua orang, baik pada karyawan human service setting dan

non human service setting. Hal tersebut terjadi karena setiap manusia tentu

mengalami tekanan-tekanan yang diperoleh dalam kehidupan, khususnya dalam

menjalani pekerjaan. Penelitian-penelitian awal mengenai burnout yang kemudian

dijadikan dasar bagi pengembangan teori-teori burnout sebagian besar dilakukan

di lapangan pekerjaan yang melibatkan banyak orang seperti rumah sakit,

perusahaan, dan sekolah. Menurut Garden (1990), konsep burnout muncul untuk

pekerjaan yang berhubungan dengan banyak orang ini, disebabkan karena

kerangka penelitian burnout selama ini hanya terbatas pada human service

settiing.

Burnout merupakan gejala yang lebih banyak ditemukan dalam bidang

pekerjaan pelayanan sosial dibandingkan dengan pekerjaan lainnya (Sarafino,

1998). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Faustino, dkk (2009),

memberitahukan bahwa tingkat burnout yang tinggi lebih banyak dialami oleh

pekerja sosial dan perawat, biasanya di dalam satu dimensi terdapat 30,4%

dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, 33,7% oleh kurangnya kontak realitas pribadi

perawat, dan 35,9% oleh keinginan untuk pencapaian pribadi masing-masing

perawat. Konsep yang mendasari penelitian tentang burnout merujuk pada teori

keperilakuan khususnya perilaku organisasi yang dikembangkan pertama kali oleh

Chris Argyris pada tahun 1952. Penelitian yang dilakukan oleh Pattrick (2008),

mengatakan bahwa kepuasan kerja, stres kerja, kemampuan dalam mengatasi

(9)

commit to user

burnout pada karyawan. Faktor-faktor ini adalah kontributor tertinggi stres pada

pekerjaan.

Ghozali (2006) mengemukakan, penelitian yang telah dilakukan oleh

Almer & Kaplan (2002) menemukan indikasi bahwa role stressor berpengaruh

terhadap kondisi burnout dan job outcomes. Selanjutnya Ghozali (2006) juga

menambahkan, mengenai penelitian Fogarty, dkk, (2000), variabel burnout

diletakkan dalam suatu model sebagai mediasi dari pengaruh role stressor

terhadap job outcomes. Model mediasi tersebut dikenal dengan istilah konstruk

burnout. Penelitian Fogarty, dkk, (2000) membuktikan bahwa variabel burnout

mampu memisahkan aspek fungsional (eusstress) dan disfungsional (distress) dari

role stressor terhadap job outcomes sehingga melalui kedua aspek role stressor

dan burnout, dapat dilakukan tindakan perbaikan. Kaitannya dengan stres,

burnout bukanlah role stressor, karena burnout muncul sebagai akibat kumulatif

dari stressor secara terus-menerus dalam jangka panjang yang dialami oleh

individu dalam berbagai tingkatan dan kombinasi. Dampak dari tekanan tersebut

adalah munculnya situasi yang tidak menguntungkan (distress dan disfungsional).

Burnout tidak akan dialami oleh individu jika role stressor berpengaruh positif

dan fungsional (eusstres) terhadap job outcomes.

La Fellete (Imelda, 2004) mengatakan bahwa lingkungan kerja psikologis

tidak nampak tetapi nyata, ada, dan akan dirasakan oleh seseorang bila memasuki

lingkungan kerja suatu organisasi. Untuk mengetahui keadaan tersebut dapat

diketahui melalui persepsi individu terhadap lingkungan kerja psikologisnya.

(10)

kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dialami di tempat kerja.

Kesenjangan dan harapan yang dimaksud adalah harapan tentang prestasi yang

dicapai dan unjuk kerja yang dimilikinya. Kesenjangan lainnya terjadi bila

organisasi tempat bekerja tidak sesuai dengan harapan atau tata nilai pribadinya.

Kondisi lingkungan fisik ataupun psikis karyawan tidak terlepas dari pengaruh

budaya organisasinya.

Budaya organisasi yang disfungsional dan tidak efektif akan menimbulkan

dampak negatif bagi anggotanya dan memungkinkan terjadinya burnout. Setiap

karyawan memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap budaya organisasi.

Gerungan, (1996), Verderber mengatakan persepsi adalah proses menafsirkan

informasi indrawi. Persepsi ini merupakan inti komunikasi, jika persepsi

karyawan terhadap budaya organisasi ini tidak akurat, maka kita tidak dapat

berkomunikasi secara efektif. Persepsi ini yang menentukan kita dalam memilih

dan mengabaikan suatu pesan yang lain.

Menurut As’ad (2003), proses persepsi yang dilakukan oleh setiap

karyawan terhadap budaya organisasi ini dimulai dari penerimaan, pengartian dan

pemberian reaksi. Susanto (1997) memberikan definisi budaya organisasi sebagai

nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi

permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan

sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada

dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku. Djokosantoso (2003)

(11)

commit to user

dengan istilah budaya kerja merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan di

dalam organisasi dan diacu sebagai filosofi kerja karyawan.

Persepsi terhadap budaya organisasi merupakan pengertian masing-masing

karyawan terhadap nilai dan pedoman yang diperuntukkan seluruh anggota

sebagai filosofi organisasi. Seseorang akan mempersepsikan sesuatu hal sesuai

dengan dorongan yang dimiliki dan apa yang mendasari perilakunya agar dapat

memenuhi kebutuhannya, untuk itu dapat dikatakan bahwa dalam diri seseorang

ada kekuatan yang mengarah kepada tindakannya. Mengingat kebutuhan setiap

karyawan berbeda-beda dengan yang lain tentunya cara untuk memperolehnya

akan berbeda pula. Kebutuhan seseorang akan terpenuhi jika ia berperilaku sesuai

dengan dorongan yang dimiliki dan apa yang mendasari perilakunya, untuk itu

dapat dikatakan bahwa dalam diri seseorang ada kekuatan yang mengarah kepada

tindakannya. Kehidupan sehari-hari seorang karyawan akan selalu dihadapkan

pada berbagai macam tantangan dan termotivasi untuk menguasainya.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Herpen, dkk. (2002), mengungkapkan

motivasi seseorang berasal dari interen dan eksteren. Herpen, dkk (2002) juga

menjelaskan beberapa pendapat dari Gacther, Falk (2000); Kinman, Russel

(2001), yang mengatakan bahwa, motivasi intrinsik dan ekstrinsik merupakan hal

yang mempengaruhi tugas seseorang. Perilaku yang konkret atau nyata yang

sebenarnya, kebanyakan adalah kombinasi dari dua unsur tersebut. Motivasi

intrinsik merupakan kebutuhan seseorang untuk berkompetensi dan menentukan

sendiri dalam kaitannya dengan lingkungannya (Walgito, 2004). Motivasi

(12)

kompetensi dan self determinasi. Motivasi intrinsik ini lebih berperan dalam

penyelesaian sesuatu hal karena ini merupakan motivator yang sangat kuat dari

perilaku manusia dan dapat digunakan untuk membuat seseorang lebih produktif.

Berdasarkan data di atas masalah burnout karyawan merupakan masalah

yang selalu terjadi di setiap organisasi, sehingga peneliti tertarik untuk meneliti

burnout karyawan, khususnya di PT. Krakatau Steel. PT. Krakatau Steel

merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang secara langsung

bergerak di bidang industri, khususnya industri baja di Provinsi Banten. PT.

Krakatau Steel memiliki empat bagian direktorat diantaranya adalah direktorat

pengembangan sumber daya manusia, direktorat keuangan, direktorat produksi,

dan direktorat logistik. Berdasarkan interview yang telah dilakukan, direktorat

logistik memiliki kecenderungan tingkat burnout yang tinggi dibandingkan

dengan direktorat lainnya. Direktorat logistik ini menangani penyediaan dan

memantau seluruh pengeluaran serta masuknya barang-barang produksi

perusahaan. Sehingga seluruh direktorat akan selalu berhubungan dengan

direktorat logistik ini.

PT. Krakatau Steel ini mempunyai budaya perusahaan yang berisi

kepercayaan, prinsip-prinsip, nilai-nilai yang menjadi dasar dan referensi sistem

manajemen perusahaan serta perilaku karyawan dalam bekerja, diyakini mampu

untuk mendorong percepatan ke arah perubahan yang lebih baik. Penetapan

budaya organisasi ini dilakukan untuk penyatuan visi dan misi organisasi hingga

(13)

commit to user

budaya organisasi yang ditetapkan oleh perusahaan, ternyata dapat menimbulkan

berbagai persepsi yang berbeda di setiap karyawan.

Berdasarkan hasil observasi yang telah peneliti lakukan, terdapat

ketimpangan antara budaya organisasi tertulis dengan kejadian yang ada di

lapangan, seperti perilaku karyawan yang melakukan kerjasama dengan klien

belum sesuai dengan prosedur penjualan hanya untuk mencapai target penjualan

dan perubahan yang lebih baik. Kesadaran setiap masing-masing karyawan untuk

menyamakan persepsi budaya organisasi ini, merupakan motivasi intrinsik

karyawan untuk mencermikan dari nilai-nilai yang terkandung didalam organisasi

tersebut. Jika, persamaan persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik setiap

karyawan telah dicapai, maka tingkat burnout pada karyawan dapat dikurangi

secara berkesinambungan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ada

kemungkinan hubungan antara persepsi terhadap budaya organisasi dan motivasi

intrinsik dengan burnout karyawan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “Burnout Pada Karyawan ditinjau dari

Persepsi Budaya Organisasi dan Motivasi Intrinsik di PT. Krakatau Steel”.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi permasalahan dalam

penelitian ini adalah:

1. Apakah terdapat hubungan persepsi budaya organisasi dan motivasi

(14)

2. Apakah terdapat hubungan persepsi budaya organisasi dengan burnout

pada karyawan ?

3. Apakah terdapat hubungan motivasi intrinsik dengan burnout pada

karyawan ?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui hubungan antara persepsi budaya organisasi dan motivasi

intrinsik dengan burnout pada karyawan.

2. Mengetahui hubungan antara persepsi budaya organisasi dengan burnout

pada karyawan.

3. Mengetahui hubungan antara motivasi intrinsik dengan burnout pada

karyawan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat

teoritis maupun manfaat praktis sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a) Sebagai bahan untuk melakukan kajian dan diskusi mengenai

burnout pada karyawan dalam kaitannya dengan persepsi terhadap

budaya organisasi dan motivasi intrinsik.

b) Menjadi wacana bagi kalangan akademisi atau mahasiswa yang

akan melakukan penelitian terhadap tema yang sama dan dengan

(15)

commit to user

c) Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran dan

referensi guna menunjang ilmu psikologi pada umumnya serta ilmu

psikologi yang khususnya di bidang psikologi industri dan

organisasi.

2. Manfaat Praktis

a) Karyawan

Bila penelitian ini terbukti maka dapat diterapkan untuk

pencegahaan terhadap burnout karyawan dengan meningkatkan

motivasi intrinsik dan mengembangkan persepsi budaya organisasi

yang sesuai.

b) Perusahaan

Sebagai informasi tentang hal-hal yang mempengaruhi burnout

pada karyawan, sehingga dapat menentukan langkah antisipasi

terhadap hal-hal yang tidak diinginkan.

c) Peneliti lain

Dapat dijadikan sebagai wacana atau referensi dalam melakukan

penelitian selanjutnya, dengan variabel yang sama atau dengan

(16)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Burnout pada Karyawan

1. Pengertian Burnout

Burnout merupakan fenomena baru di dalam bidang psikologi.

Pemahaman tentang konsep ini sebenarnya telah ada kurang lebih 35 tahun lalu,

tetapi baru pada tahun 1974 permasalahan burnout menjadi bahan kajian para ahli

psikologi. Burnout adalah istilah yang pertama kali dikemukakan oleh

Freudenberger di tahun 1974, yang merupakan representasi dari sindrom

psychological stress yang menunjukkan respon negatif sebagai hasil dari tekanan

pekerjaan (Cordes & Dougherty, 1993). Maslach (1993), menjelaskan mengenai

definisi burnout secara operasional. “Burnout is a syndrome of emotional

exhaustion, depersonalization, and reduced personal accomplishment that occur

among individuals who do people work of some kind”, yang artinya berdasarkan

batasan ini maka dapat ditentukan kapan seseorang telah mengalami burnout,

caranya adalah dengan meneliti gejala-gejala kekeringan emosional, adanya

depersonalisasi dan penurunan rasa keberhasilan dalam melakukan tugas

sehari-hari.

Burnout dikenal secara luas dalam dunia kerja dan secara khusus nampak

pada helping professions (Cox, 1993). Burnout merupakan suatu keadaan

(17)

commit to user

Webster (Cicilia, 2002), mendefinisikan burnout sebagai kehilangan kekuatan

fisik atau emosional dan motivasi yang biasanya sebagai akibat dari stres

berkepanjangan atau frustrasi, peran konflik atau ambiguitas, upah yang rendah

dan kurangnya sistem penghargaan yang sehari-hari tegangan yang cenderung

asah karyawan di dunia, mengakibatkan depresi dan keluar dari kerangka

pikirannya.

Istilah burnout juga diartikan sebagai suatu keadaan keletihan (exhaustion)

fisik, emosional, dan mental yang menganggu dirinya. Ciri yang muncul adalah

psysikal depletion (habisnya energi fisik) dengan perasaan tidak berdaya dan

putus harapan, keringnya perasaan, konsep dirinya yang negatif dan sikap negatif

terhadap kerja dan orang lain (Prawasti, 1991). Caputo (1991) mengungkapkan,

burnout merupakan situasi yang tak henti-hentinya dialami oleh karyawan dalam

memenuhi keinginannya mencapai tujuan dengan sumber daya yang mencukupi

dan menghasilkan transformasi dalam berkomitmen, kebosanan, dan kelelahan

fisik.

Burnout yang dialami secara terus-menerus dan tidak dapat diatasi akan

mengakibatkan dampak bagi diri sendiri dan organisasi. Hal ini dapat dilihat dari

segi fisiologis, tingkah laku, dan psikologis setiap individu yang mengalami.

Dalam Prawasti (1991), Miller dan Elllis (1990) mengungkapkan karyawan yang

mengalami burnout memiliki tingkat kepuasan dan komitmen yang rendah.

Kalliath dan Morris (2002) juga mengatakan bahwa burnout yang terus-menerus

akan menyebabkan penurunan kepuasan kerja dan berdampak pada kesehatan

(18)

mengungkapkan bahwa kelelahan emosi dan depersonalization mempunyai

hubungan yang kuat dengan tekanan dan burnout pada karyawan (Andarika,

2004). Hal ini dapat dilihat dari penelitiannya yang menunjukkan bahwa

kelelahan emosi dan depersonalization juga berpengaruh terhadap komitmen

terhadap organisasi sebanyak 61%.

Cordes dan Dougherty (1993) mendeskripsikan burnout sebagai gabungan

dari tiga tendensi psikis, yaitu kelelahan emosional (emotional exhaustion),

penurunan prestasi kerja (reduced personal accomplishment) dan sikap tidak

peduli terhadap karir dan diri sendiri (depersonalization). Bernardin (Rosyid,

1996) menggambarkan burnout sebagai suatu keadaan yang mencerminkan reaksi

emosional pada individu yang bekerja pada bidang kemanusiaan (humanservice),

atau bekerja erat dengan masyarakat. Menurut Kreitner dan Kinicki (1992),

burnout adalah akibat dari stres yang berkepanjangan dan terjadi ketika seseorang

mulai mempertanyakan nilai-nilai pribadinya. Burnout juga merupakan istilah

populer untuk kondisi penurunan energi mental atau fisik setelah periode stres

kronik yang tidak sembuh-sembuh berkaitan dengan pekerjaan, terkadang

dicirikan denganpekerjaan atau dengan penyakit fisik(Potter & Perry, 2005).

Pengertian-pengertian tentang burnout yang telah dikemukakan oleh

beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa burnout adalah keadaan yang

mencerminkan reaksi emosional yang tengah dirasakannya, dimana dapat

ditandai dengan kelelahan fisik, mental, dan emosional, serta rendahnya

(19)

commit to user

menghadapi stres kerja yang dialami oleh individu pekerja dalam bidang human

service setting dan non human service setting. Jadi disini ditekankan pada

terjadinya suatu perubahan motivasi, hilangnya semangat yang dialami karyawan

berkaitan dengan kekecewaan yang berlebih yang dialami dalam situasi kerja.

2. Aspek-Aspek Burnout

Maslach dan Jackson (1993) telah melakukan penelitian selama

bertahun-tahun terhadap burnout pada bidang pekerjaan yang berorientasi melayani orang

lain, hingga menemukannya tanda-tanda burnout yang terdiri dari tiga bagian

yaitu :

a. Emotional exhaustion adalah suatu dimensi dari kondisi burnout yang

berwujud perasaan dan energi terdalam sebagai hasil dari excessive

psychoemotional demands yang ditandai dengan hilangnya perasaan dan

perhatian, kepercayaan, minat dan semangat (Ray & Miller, 1994). Orang

yang mengalami emotional exhaustion ini akan merasa hidupnya kosong,

lelah dan tidak dapat lagi mengatasi tuntutan pekerjaannya.

b. Depersonalization merupakan tendensi kemanusiaan terhadap sesama

yang merupakan pengembangan sikap sinis mengenai karir dan kinerja diri

sendiri (Cordes & Dougherty, 1993). Orang yang mengalami

depersonalisasi merasa tidak ada satupun aktivitas yang dilakukannya

bernilai atau berharga. Sikap ini ditunjukkan melalui perilaku yang acuh,

bersikap sinis, tidak berperasaan dan tidak memperhatikan kepentingan

(20)

c. Reduced personal accomplishment merupakan atribut dari tidak adanya

aktualisasi diri, rendahnya motivasi kerja dan penurunan rasa percaya diri.

Seringkali kondisi ini mengacu pada kecenderungan individu untuk

mengevaluasi diri secara negatif sehubungan dengan prestasi yang

dicapainya (Cordes & Dougherty, 1993). Ini adalah bagian dari

pengembangan depersonalisasi, sikap negatif maupun pandangan terhadap

klien lama-kelamaan menimbulkan perasaan bersalah pada diri pemberi

pelayanan. Individu tidak akan merasa puas dengan hasil karyanya sendiri,

merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri,

maupun orang lain. Perasaan ini akan berkembang menjadi penilaian

terhadap diri sendiri dalam pemenuhan tanggung jawabnya yang berkaitan

dengan pekerjaannya (Maslach, 1993; Jackson dan Leither 1996).

Menurut Ryan (Maslach, 1996), aspek lain adalah perkembangan negatif,

sikap sinis dan perasaan tentang seorang klien. Reaksi negatif yang ditujukan pada

klien dapat dihubungkan dengan pengalaman kelelahan emosional. Kelelahan

emosional ini misalnya perasaan tertekan, kecemasan, dan konflik yang terjadi

secara sadar ataupun tak sadar. Disinilah, mekanisme pertahanan diri seseorang

dapat berperan sebagai pelindung dari kelelahan emosional melalui

pemutarbalikkan kenyataan (Dwiputri, 2007). Cherniss (1990), mengatakan

bahwa burnout dipengarui oleh lingkungan pekerjaannya, seperti gaya

kepemimpinan atasan. Cherniss (1990) mengungkapkan adanya dinamika dalam

(21)

commit to user

a. Stres, merupakan persepsi mengenai ketidakseimbangan antara

sumber-sumber individu dan tuntutan yang ditujukan pada individu yang

bersangkutan. Tuntutan ini dapat berasal dari diri sendiri ataupun

lingkungan.

b. Strain, merupakan respon emosional langsung dari adanya kesenjangan

antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki, ditandaisi strain dengan

perasaan cemas, tegang dan lelah.

c. Coping, merupakan respon dari strain dimana individu berusaha

melakukan sesuatu untuk mengatasi strain. Jika situasi tersebut tidak dapat

ditangani dengan menggunakan coping masalah secara aktif, individu akan

melakukan pertahanan intrapsikis dan mengalami perubahan sikap serta

perilaku, seperti kecenderungan menjauhkan diri ataupun bersikap sinis.

STRES STRAIN COPING

Gambar 1. Proses Burnout (kaitan stress, strain, dan coping)

(Sumber : Staff Burnout: JobStress in Human Service, Cherniss, 1990)

Burnout sebagai suatu tipe respon terhadap stres, merupakan hasil dari

(22)

menjaga jarak psikologis dari keterlibatannya dengan pekerjaan, menurunnya

tujuan dan menyalahkan situasi atau orang lain. Cherniss (1990), menekankan

pada adanya sikap menjauhkan diri secara psikologis dari tuntutan peran profesi

sebagai symptom dari burnout, karena dengan sikap demikian, tidak

menghiraukan lagi klien atau pasien dan bersikap masa bodoh terhadap pihak

yang seharusnya dibantu. Individu akan dapat menghindari terjadinya

penambahan beban stres yang dialaminya. Semua ini merupakan usaha defensif

dari penolong, sehingga Cherniss (1990), menyatakan bahwa bisa saja individu

penolong tidak mengalami “penderitaan” namun relasi yang tercipta antar

penolong-ditolong yang terganggu.

Burnout berdampak bagi individu, orang lain, dan organisasi (Maslach,

1993). Dampak burnout, pada individu terlihat dari adanya gangguan fisik

maupun psikologis. Dampak burnout yang dialami individu juga dirasakan oleh

orang lain. Selain itu, burnout juga berdampak pada efektivitas dan efisiensi kerja

dalam organisasi. Ketika mereka mengalami burnout, Freudenberger dan

Richelson (1990) mengidentifikasikannya sebagai berikut :

a. Kelelahan yang merupakan proses kehilangan energi disertai keletihan.

Keadaan ini merupakan gejala utama burnout. Individu tersebut akan sulit

menerima, karena mereka merasa bahwa selama ini tidak pernah lelah,

walaupun aktifitas yang dijalani sangat padat.

b. Lari dari kenyataan, ini adalah alat yang digunakan individu untuk

(23)

commit to user

tidak peduli terhadap permasalahan yang ada, agar dapat mengindari

kekecewaan yang lebih parah, seperti misalnya sebagai karyawan tidak

melakukan tanggung jawab atas pekerjaannya karena tidak senang dengan

kepimpinan atasannya.

c. Kebosanan dan sinisme, ketika individu tersebut mengalami kekecewaan,

sulit bagi mereka untuk tertarik lagi pada kegiatan yang mereka tekuni.

Mereka mulai mempertanyakan makna kegiatan, mulai merasa bosan, dan

berpandangan sinis terhadap kegiatan tersebut.

d. Tidak sabar dan mudah tersinggung, hal ini terjadi karena selama individu

mampu melakukan segalanya dengan cepat dan ketika itu pula mengalami

kelelahan untuk menyelesaikannya dengan cepat.

e. Merasa hanya dirinya yang dapat menyelesaikan semua permasalahan.

Disini, individu tersebut mempunyai satu keyakinan bahwa hanya dirinya

yang dapat melakukan sesuatu dengan baik.

f. Merasa tidak dihargai, usaha yang semakin keras namun tidak disertai

dengan kemampuan yang cukup sehingga hasil yang diperoleh tidak

memuaskan dan timbul perasaan tidak berharga dan dihargai oleh orang

lain.

g. Mengalami disorientasi, individu merasa dirinya terpisah dari

lingkungannya, karena tidak mengerti bagaimana situasinya menjadi kacau

dan tidak sesuai dengan harapan. Ketika berbincang-bincang dengan orang

(24)

h. Keluhan psikosomatis, individu akan seringkali mengeluh sakit kepala,

mual-mual, diare, ketegangan otot, dan gangguan fisik lainnya.

i. Curiga tanpa alasan, ketika sesuatu hal tidak berjalan sebagaimana

mestinya, kecurigaan muncul dalam diri individu tersebut, menurutnya hal

ini dibuat oleh orang lain.

j. Depresi, yang perlu diperhatikan adalah depresi dalam konteks burnout

yang bersifat sementara, khusus, dan terbatas. Individu dapat merasa

tertekan di tempat kerja, tetapi dapat bersenda gurau dan tertawa saat tiba

di rumah.

k. Penyangkalan, selalu menyangkal kenyataan yang dihadapinya.

Penyangkalan ini ada dua macam yaitu penyangkalan terhadap kegagalan

yang dialami dan penyangkalan terhadap rasa takut yang dirasakannya.

Tanda-tanda burnout ini banyak ditemukan pada pekerja yang mempunyai

profesi sebagai “penolong” antara lain perawat dan pekerja sosial. Para peneliti

meyakini bahwa awal munculnya burnout sebagai hasil dari seringnya

berinteraksi dengan orang lain. (Spector dan Paul E, 2000). Berbeda dengan

pandangan diatas, Leiter (1993) mengemukakan model proses burnout yang baru.

Leiter (1993), mengungkapkan bahwa stressor yang dihadapi individu

(seperti, konflik personal, beban kerja, dan lain-lain) menyebabkan munculnya

emotional exhaustion yang kemudian berkembang menjadi depersonalization.

Sedangkan reduced personal accomplishment berkembang sejalan dengan

(25)

commit to user

sosial dari atasan dan rekan kerja yang tidak adekuat. Pada model inilah,

dimensi-dimensi burnout berkembang secara paralel.

Gambar 2. Proses burnout menurut pandangan Leiter, keadaan yang dituju

(Sumber: Burnout as a Development process: Consideration of Models, Leiter,

1993).

Keterangan :

- Tanda (+) berarti menambah kemungkinan terjadi

- Tanda (-) berarti mengurangi kemungkinan terjadinya keadaan yang dituju

Corrigan, dkk (1994) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan

salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap burnout. Lebih jauh

dikatakan bahwa dukungan sosial yang diterima dari rekan kerja akan mengurangi

resiko burnout. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Gibson, dkk (1996) yang

mengatakan bahwa dukungan sosial dari teman sekerja menengahi hubungan

antara burnout dengan keluhan kesehatan.Semakin tinggi dukungan sosial, maka Beban kerja berlebihan dan rutinitas Konflik interpersonal

Kelelahan emosional

Keterampilan dan

coping Dukungan sosial dari

atasan dan rekan kerja

(26)

semakin sedikit keluhan tentang kesehatan yang dilaporkan. Penelitian yang

dilakukan oleh Britton (1989) melaporkan bahwa dukungan sosial dari para atasan

berpengaruh positif terhadap kesehatan fisik dan kesehatan mental para karyawan.

Berdasarkan uraian di atas, aspek-aspek burnout terbagi menjadi

emotional exhaustion misalnya tidak dapat menuntaskan pekerjaannya,

depersonalization seperti tidak dapat memperhatikan kepentingan orang lain,dan

reduced personal accomplishment yakni timbulnya perasaan tidak puas dengan

hasil karyanya sendiri.

3. Penanganan Burnout

Kondisi stres berat, berulang, dan sulit diatasi ini dapat menghantarkan

individu untuk mengalami kondisi yang lebih buruk seperti apatisme, sinisme,

frustasi, penarikan diri menjadi berkembang. Akan tetapi, telah terdapat berbagai

cara efektif untuk mengatasi kejenuhan pada para pegawai pada suatu lingkungan

kerja. Salah satunya adalah munculnya kesadaran pada diri para pimpinan bahwa

dalam melaksanakan pekerjaannya, seorang pegawai banyak menghadapai

berbagai masalah yang bisa berdampak pada timbulnya sindrom burnout pada

mereka. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal-hal tersebut hendaknya para

pimpinan di lapangan melakukan hal-hal sebagai berikut (Mulyana, 2009):

a. Menciptakan birokrasi yang tidak menimbulkan anggapan di mata

karyawan bahwa para pemimpin yang bekerja di kantor, tidak peduli

(27)

commit to user

dibina oleh mereka yang memiliki citra tidak kompeten, tidak efisien,

kurang komitmen, kurang berminat terhadap hobi dan kegiatan kantor

pada umumnya.

b. Melakukan pembinaan karyawan secara profesional, artinya lakukan

serangkaian usaha bantuan kepada karyawan, terutama bantuan yang

berwujud layanan profesional guna meningkatkan proses dan hasil

pembinaan yang menggairahkan.

c. Melakukan hubungan profesional yang tidak kaku, yang akrab, yang tidak

bersikap otoriter pimpinan, sehingga pegawai tidak takut bersikap terbuka

kepada pimpinan. Dengan demikian, akan terjadi interaksi antara pegawai

dengan pimpinan yang harmonis, sehingga pada gilirannya tersedia

kesempatan untuk mengembangkan ke arah yang dapat menurunkan

kemungkinan terjadinya burnout.

d. Melakukan dukungan sosial yang cukup bermakna kepada pegawai. Sebab

dukungan sosial yang tidak kuat dari pimpinan dapat menjadi sumber stres

emosional yang berpotensi terhadap timbulnya burnout. Jenis dukungan

yang diharapkan karyawan ialah:

1) Saran dari pimpinan dalam mengatasi masalah pekerjaan yang

dihadapi karyawan.

2) Kesediaan pimpinan untuk berempati terhadap perasaan-perasaan

pegawai saat mengahadapi klien (masyarakat).

3) Peran pimpinan dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan

(28)

4) Memberikan contoh tingkah laku yang dapat dijadikan panutan

ditempat kerja karyawan.

5) Memberikan umpan balik yang nyata terhadap kinerja karyawan

seperti pemberian upah kerja dan bonus yang sesuai dengan kinerja

pekerjaannya ataupun pujian atas hasil kerjanya.

e. Melakukan kebijakan pembinaan yang dapat meningkatkan kepuasan kerja

karyawan.

Selain itu, yang lebih penting dalam mencegah terjadinya burnout adalah

usaha yang dilakukan karyawan itu sendiri. Para karyawan sebaiknya waspada

akan munculnya burnout. Sebab, selain merugikan diri sendiri, juga berdampak

pada pekerjaan dan citra pegawai yang sampai hari ini perlu diperjuangkan.

Berdasarkan penjelasan di atas burnout dapat ditangani dengan cara

menciptakan birokrasi yang tidak menimbulkan anggapan di mata karyawan,

melakukan pembinaan karyawan secara profesional, melakukan hubungan

profesional yang tidak kaku, melakukan dukungan sosial yang cukup bermakna

kepada karyawan, dan melakukan kebijakan pembinaan yang dapat meningkatkan

kepuasan kerja karyawan.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Burnout

Karyawan yang mengalami burnout lebih sering absen atau terlambat

untuk bekerja daripada rekan-rekan yang tidak mengalaminya, mereka menjadi

(29)

commit to user

(Farber, 1983 dalam Corrigan 1994). Maslach, kemudian menciptakan alat ukur

sindrom burnout yang dialami seseorang, menyatakan bahwa burnout merupakan

hasil dari tekanan emosional yang konstan dan berulang, yang diasosiasikan

dengan keterlibatan yang intensif dalam hubungan antar personal untuk jangka

waktu yang lama. Selanjutnya, Baron dan Greenberg (1995) mengungkapkan ada

dua faktor yang dipandang mempengaruhi munculnya burnout, yaitu:

a. Faktor Eksternal

Meliputi lingkungan kerja psikologis yang kurang baik, kurangnya

kesempatan untuk promosi, imbalan yang diberikan tidak mencukupi,

kurangnya dukungan sosial dari atasan, tuntutan pekerjaan, pekerjaan yang

monoton. Misalnya, dukungan sosial diartikan sebagai kesenangan,

bantuan, yang diterima seseorang melalui hubungan formal dan informal

dengan yang lain atau kelompok (Gibson, 1996). Menurut Pines dan

Aronson (Caputo, 1991) adanya faktor yang saling berinteraksi dalam

menimbulkan burnout, yaitu faktor lingkungan kerja dan individu.

b. Faktor Internal

Meliputi usia, jenis kelamin, harga diri, dan karakteristik kepribadian.

Seperti, pengetahuan bahwa “saya seorang pria” atau “saya seorang

wanita” merupakan salah satu bagian inti dari identitas pribadi, dan di

dalam benak kita sudah tertanam siapa itu pria dan siapa itu wanita.

Demikian pula tentang pemikiran apa kekhasan perilaku seorang pria dan

seorang wanita. Pria dan wanita tidak hanya berbeda secara fisik saja,

(30)

Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Parasuraman, dkk

(1992) bahwa kedua faktor di atas berhubungan dengan burnout. Corrigan, dkk

(1994) mengatakan bahwa faktor eksternal merupakan salah satu variabel penting

yang berpengaruh terhadap burnout. Burnout sebagai suatu bentuk respon stres

harus dipandang sebagai suatu proses yang diawali oleh adanya

ketidakseimbangan, kesenjangan atau diskrepansi antara tuntutan dan sumber

daya individu yang menimbulkan kondisi strain (ketegangan).

Individu tidak bisa mengatakan “saya menderita burnout hari ini dan

bersemangat hari berikutnya (Pines dan Aronson, 1990)”. Seseorang yang

mengalami kelelahan secara fisik setelah lari maraton, namun secara emosional

gembira, bisa dikatakan ia tidak mengalami burnout. Demikian pula orang yang

tertekan namun tetap nyaman di dalam bekerja, tidak mengalami burnout.

Burnout tidak selalu terjadi pada setiap orang, karena ada perbedaan individual

yang turut berpengaruh. Satu hal yang memiliki kontribusi besar terhadap

timbulnya burnout, yaitu jika mereka merasa tidak bernilai, tidak dihargai, dan

pekerjaan mereka merasa tidak berarti.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa burnout

dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal yang meliputi lingkungan kerja

psikologis dan faktor internal seperti usia, jenis kelamin, harga diri, dan

(31)

commit to user

B. Persepsi Budaya Organisasi

1. Pengertian Persepsi Budaya Organisasi

a. Pengertian Persepsi

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses

penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera

atau disebut juga proses sensoris. Alat indera tersebut adalah alat penghubung

antara individu dengan dunia luarnya (Walgito, 2004). Stimulus yang diterima

oleh indera akan diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu

menyadari, mengerti tentang apa yang ada di dalam indera itu, dan proses ini

disebut persepsi. De Vito, (1997 dalam Desy, 2004) mengungkapkan persepsi

sebagai sebuah proses ketika kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang

mempengaruhi indera kita. Rakhmat (2005), mengatakan bahwa persepsi adalah

pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh

dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Ekspresi mengenal orang lain merupakan studi awal tentang persepsi

(Muhadjir, 1992, dalam Hartijati 2001). Gibson & Ivancevich (1996) menyatakan

bahwa persepsi merupakan serangkaian hal dari lingkungan yang diartikan oleh

orang-orang yang bekerja dalam lingkup besar dan mempunyai peranan yang

besar dalam mempengaruhi tingkah laku karyawan. Lain halnya dengan Pareek

(1996), mendefinisikannya lebih luas yaitu persepsi sebagai proses menerima,

menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji, dan memberikan reaksi

kepada rangsangan pancaindera atau data. Dengan demikian dapat dikemukakan,

(32)

yang diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan

respon yang integrated dalam diri individu (Walgito, 2004).

Senada dengan hal tersebut, Atkinson dan Hilgard (1991) mengemukakan

bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan

pola stimulus dalam lingkungan. Gibson dan Donely (1996) menjelaskan bahwa

persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu.

Persepsi merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu, karena itulah

apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi, ungkap Walgito,

(2004). Persepsi merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga

terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan

segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya

(Aronson, 2008).

Anderson dan Kyprianov, (1994, dalam Napitupulu 2002) mengatakan

bahwa persepsi sebagai proses yang aktif dimana yang memegang peranan bukan

hanya stimulus yang mengalaminya, tetapi juga keseluruhan

pengalaman-pengalamannya, memotivasinya dan sikap relevan terhadap stimulus tersebut.

Kotler (2000) menjelaskan persepsi sebagai proses bagaimana seseorang

menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi

untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Mangkunegara (Arindita,

2002) berpendapat bahwa persepsi adalah suatu proses pemberian arti atau makna

terhadap lingkungan. Adapun Robbins (2003) mendeskripsikan persepsi dalam

(33)

commit to user

mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna

kepada lingkungan mereka.

Persepsi dalam arti umum adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu

yang akan membuat respon bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak.

Leavitt (Rosyadi, 2001) membedakan persepsi menjadi dua pandangan, yaitu

pandangan secara sempit dan luas. Pandangan yang sempit mengartikan persepsi

sebagai penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu. Sedangkan pandangan

yang luas mengartikannya sebagai bagaimana seseorang memandang atau

mengartikan sesuatu. Sebagian besar dari individu menyadari bahwa dunia yang

sebagaimana dilihat tidak selalu sama dengan kenyataan, jadi berbeda dengan

pendekatan sempit, tidak hanya sekedar melihat sesuatu tapi lebih pada

pengertiannya terhadap sesuatu tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat disimpulkan bahwa

proses kita menjadi sadar akan banyaknya perasaan, kemampuan berpikir,

pengalaman-pengalaman individu tidaklah sama, maka dalam mempersepsi

sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan

individu lain.

b. Pengertian Budaya Organisasi

Budaya organisasi merupakan bagian dari manajemen sumber daya

manusia dan teori organisasi. Manajemen sumber daya manusia memandang

budaya organisasi dari aspek perilaku, sedangkan teori organisasi dilihat dari

(34)

organisasi sebagai wadah tempat individu bekerjasama secara rasional dan

sistematis untuk mencapai tujuan. Budaya organisasi sebagai sistem penyebaran

kepercayaan dan nilai-nilai yang berkembang dalam suatu organisasi dan

mengarahkan perilaku anggota anggotanya. Budaya organisasi dapat menjadi

instrumen keunggulan kompetitif yang utama, bila budaya organisasi mendukung

strategi organisasi, dan bila budaya organisasi dapat menjawab atau mengatasi

tantangan lingkungan dengan cepat dan tepat.

Denison (2003), mengatakan budaya organisasi sebagai sebuah nilai-nilai,

keyakinan dan prinsip-prinsip dasar yang merupakan landasan bagi sistem dan

praktek-praktek manajemen serta perilaku yang meningkatkan dan menguatkan

prinsip-prinsip tersebut. Pada dasarnya budaya organisasi bukan merupakan

kenyataan yang timbul dengan sendirinya, melainkan kenyataan yang bisa

ditanamkan dan dikembangankan. Budaya organisasi ini berjalan turun temurun

dalam kehidupan organisasi, tetapi nilai-nilai tersebut dapat berubah ketika timbul

kemauan politis dari manajer menghendaki perubahan nilai menuju organisasi

yang lebih sehat dan selektif (Retno, 2004).

Perkembangan budaya organisasi, pertama kali dikenalkan di Amerika dan

Eropa pada era 1970-an. Salah satu tokohnya : Edward H. Shein seorang Profesor

Manajemen dari Sloan School of Management, Massachusetts Institute of

Technology dan juga seorang Ketua Kelompok Studi Organisasi 1972-1981. Salah

satu karya ilmiahnya : Organizational Culture and Leadership. Di Indonesia,

(35)

commit to user

membicarakan tentang konflik budaya, bagaimana mempertahankan Budaya

Indonesia serta pembudayaan nilai-nilai baru.

Djokosantoso (2005) menyatakan bahwa budaya korporat atau budaya

manajemen atau juga dikenal dengan istilah budaya kerja merupakan nilai-nilai

dominan yang disebarluaskan di dalam organisasi dan diacu sebagai filosofi kerja

karyawan. Susanto (1997) memberikan definisi budaya organisasi sebagai

nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi

permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan

sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada

dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku.

Robbins (1991) mendefinisikan budaya organisasi (organizational culture)

sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang

membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Lebih lanjut,

Robbins (1991) menyatakan bahwa sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk

oleh warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem

pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai

organisasi ("a system of shared meaning held by members that distinguishes the

organization from otherorganization. This system of shared meaning is, on closer

examination, a set of key characteristics that the organization values"). Amnuai

(Soedjono, 2005), budaya organisasi adalah seperangkat asumsi dasar dan

keyakinan yang dianut oleh anggota-angota organisasi, kemudian dikembangkan

dan diwariskan guna mengatasi masalah adaptasi eksternal dan

(36)

Schein (1992), mengatakan bahwa budaya organisasi itu, mengacu ke

suatu sistem makna bersama, dianut oleh anggota-anggota yang membedakan

organisasi itu terhadap organisasi lain (Melinda, 2004). Luthans (1998, dalam

Melinda, 2004) mengatakan budaya organisasi merupakan norma-norma dan

nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota akan

berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya.

Sarplin (1995, dalam Sutanto, 1997), mendefinisikan budaya organisasi sebagai

suatu sistem nilai, kepercayaan dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling

berinteraksi dengan struktur sistem formalnya untuk menghasilkan norma-norma

perilaku organisasi.

Menurut Stoner (1995, dalam Robbins 2003), budaya organisasi sebagai

suatu cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma prilaku dan

harapan-harapan yang disumbangkan oleh anggota organisasi. Monde dan Noe

(Retno 1995), budaya organisasi adalah sistem dari shared value, keyakinan dan

kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan

struktur formalnya untuk menciptakan norma-norma perilaku. Konsep budaya

organisasi ini disandarkan pada kemampuan karyawan, sehingga penguatan yang

diberikan pada karyawan selaku individu sebagai sumber daya manusia semakin

disadari merupakan aset organisasi yang paling berharga dan memiliki

kemampuan beradapatasi yang paling fleksibel.

Melinda (2004), mendefinisikan budaya organisasi adalah bagian dari

(37)

commit to user

sedangkan budaya organisasi dalam teori organisasi, ditemukan saat mengkaji

aspek sekelompok individu yang bekerjasama untuk mencapai tujuan, atau

organisasi sebagai wadah tempat individu bekerjasama secara rasional dan

sistematis untuk mencapai tujuan. Budaya organisasi juga mencakup nilai dan

standar-standar yang mengarahkan perilaku pelaku organisasi dan menentukan

arah organisasi secara keseluruhan. Menurut Atmosoeprapto (2001), budaya

organisasi ialah suatu hal yang sangat penting karena kemampuannya untuk

mengarahkan perilaku para anggota organisasi ke tujuan yang dikehendaki.

Martin, 1992 (Lako, 2004), berpendapat bahwa budaya organisasi

merupakan sensitivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan karyawan; kemauan

untuk menerima resiko; kebebasan atau minat karyawan untuk memberi ide-ide

baru; keterbukaan untuk melakukan komunikasi secara bebas dan bertanggung

jawab. Pengaruh budaya organisasi ini melebihi pengaruh lain dalam organisasi

seperti struktur, sistem, manajemen, dan lain sebagainya. Ini merupakan suatu

keadaan yang sangat diharapkan oleh para pimpinan sehingga tidak bersusah

payah mengarahkan perilaku para anggota organisasinya. Menurut Harris dan

Moran (1991, dalam Sutanto 1997) baru sejak dekade yang lalu (akhir 70-an atau

awal 80-an) para eksekutif dan cendekiawan benar-benar memperhatikan faktor

budaya organisasi yang ternyata berpengaruh terhadap perilaku, moral atau

semangat kerja dan produktivitas kerja.

Osborne dan Plastrik (2000) mengungkapkan, budaya organisasi sebagai

seperangkat perilaku, perasaan, dan kerangka psikologis yang terinternalisasi

(38)

organisasi memberikan karyawan rasa kenyamanan, keamanan, kebersamaan, rasa

tanggung jawab, ikut memiliki, tahu bagaimana bersikap, apa yang harus mereka

kerjakan, dan sebagainya. Untuk itu diperlukan komitmen dari seluruh karyawan,

mulai dari top, middle sampai lower atau operasioal yang merupakan persyaratan

mutlak untuk tetap terpeliharanya budaya organisasi. Komitmen saja tidak sekedar

keterkaitan secara fisik, tapi juga secara mental.

Berdasarkan uraian diatas, budaya organisasi adalah perekat bagi setiap

organisasi. Tanpa budaya organisasi, keberadaan organisasi akan mengalami

proses pemekaran dan pertumbuhan tanpa adanya keseimbangan integrasi dan

reintegrasi. Dengan budaya organisasi ini, karyawan menjadi lebih

menyenangkan, sehingga perlu ada upaya serius dari seluruh sumber daya

manusia yang ada di perusahaan (stake holder) untuk memelihara keberadaannya.

c.Pengertian Persepsi Budaya Organisasi

Rakhmat (1994), mengatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang

objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan

informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor

internal dan eksternal, yaitu faktor perceiver, obyek yang dipersepsi dan konteks

situasi persepsi dilakukan. Budaya organisasi disini berperan sebagai objek dan

konteks yang akan dipersepsi oleh seluruh anggota organisasi. Robbins (1991)

mendefinisikan budaya organisasi (organizational culture) sebagai suatu sistem

(39)

commit to user

rasa kenyamanan, keamanan, kebersamaan, rasa tanggung jawab, ikut memiliki,

tahu bagaimana bersikap, apa yang harus mereka kerjakan, dan sebagainya.

Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas dapat disimpulkan persepsi

budaya organisasi adalah rangkaian proses yang dimulai dari proses sensoris

tentang pengalamannya yang kemudian dilanjutkan ke tahapan yang

menghasilkan tanggapan atas budaya organisasi sebagai keyakinan dan nilai-nilai

organisasi yang dipahami, ditanamkan dalam jiwa dan dipraktekkan oleh

organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar

aturan berperilaku dalam organisasi.

2. Aspek-aspek Persepsi Budaya Organisasi

Budaya organisasi pada hakekatnya adalah pondasi suatu organisasi, jika

pondasi yang dibuat tidak cukup kokoh maka betapapun bagusnya bangunan

pondasi itu tidak akan cukup kokoh menopangnya. Agar hal ini benar terjadi,

maka perlu sosialisasi budaya organisasi dengan baik sehingga dapat

terinternalisasi dalam diri para karyawan organisasi. Untuk itu, peran pemimpin

organisasi sangat penting, baik dalam menanamkan pemahaman dan persepsi

yang sama tentang budaya organisasi tersebut ke setiap karayawannya.

Persepsi merupakan suatu proses bagaimana seseorang menyeleksi,

mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi dan

pengalaman-pengalaman yang ada dan kemudian menafsirkannya untuk menciptakan

(40)

suatu interelasi dari berbagai komponen. Dengan demikian, Sobur (2003) dan

Allport (Mar'at, 1991) mengemukakan tiga aspek dalam persepsi, yaitu :

a. Komponen Kognitif

Yaitu komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi

yang dimiliki seseorang tentang obyek sikapnya. Dari pengetahuan ini

kemudian akan terbentuk suatu keyakinan tertentu tentang obyek sikap

tersebut.

b. Komponen Afektif

Afektif berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang. Jadi sifatnya

evaluatif yang berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau sistem

nilai yang dimilikinya.

c. Komponen Konatif

Yaitu merupakan kesiapan seseorang untuk bertingkah laku yang

berhubungan dengan obyek sikapnya.

Aspek-aspek yang telah diungkapkan di atas dapat disimpulkan bahwa

persepsi mengandung aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif, yaitu

merupakan kesediaan dalam bertindak atau berperilaku. Sikap seseorang pada

suatu obyek sikap merupakan manifestasi dari kontelasi ketiga komponen tersebut

yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan dan berperilaku terhadap

obyek sikap. Ketiga aspek itu saling berinterelasi dan konsisten satu dengan

lainnya. Jadi, terdapat pengorganisasian secara internal diantara ketiga komponen

(41)

commit to user

Persepsi yang terjadi pada penelitian ini adalah persepsi budaya organisasi.

Persepsi budaya organisasi merupakan rangkaian proses yang dimulai dari proses

sensoris tentang pengalamannya yang kemudian dilanjutkan ke tahapan yang

menghasilkan tanggapan atas budaya organisasi sebagai keyakinan dan nilai-nilai

organisasi yang dipahami, ditanamkan dalam jiwa dan dipraktekkan oleh

organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar

aturan berperilaku dalam organisasi. Denison (2003) merangkum empat prinsip

integratif mengenai literatur perilaku organisasi yang mendahuluinya dengan

menggunakan istilah lain, akan tetapi gagasan pokok Denison (2003), adalah

efektivitas kinerja perusahaan yang merupakan keempat fungsi budaya organisasi

yaitu:

a. Keterlibatan

Ini merupakan faktor kunci dalam budaya organisasi. Keterlibatan dalam

hubungan antara budaya organisasi dan efektivitas bukanlah hal yang baru

karena telah banyak literatur perilaku organisasi yang mendahuluinya

dengan menggunakan istilah lain. Konsep ini mengemukakan bahwa

tingkat keterlibatan dan partsipasi yang tinggi menciptakan kesadaran akan

pemilikan (sense of ownership) dan tanggung jawab. Dari kesadaran ini

timbul komitmen yang lebih besar pada organisasi dan kebutuhan yang

lebih sedikit akan sistem kontrol yang ketat.

b. Konsistensi

Teori konsistensi tentang hubungan antara budaya organisasi dan

(42)

menekankan adanya dampak positif ”budaya kuat” pada efektivitas

organisasi dan bahwa sistem keyakinan, nilai, dan simbol yang dihayati,

serta dipahami secara luas oleh para anggota organisasi, memiliki dampak

positif pada kemampuan mereka dalam mencapai konsensus dan

melakukan tindakan-tindakan yang terkoordinasi.

c. Adaptabilitas

Komponen pertama dan kedua dari teori budaya hanya memfokuskan pada

dinamika internal suatu organisasi. Keduanya sangat sedikit menyinggung

lingkungan eksternal organisasi. Schein (1992, dalam Melinda 2004),

mendiskusikan hubungan antara adaptabilitas dan budaya, serta

menekankan bahwa budaya biasanya terdiri dari respon-respon perilaku

kolektif yang terbukti adaptif di masa lalu. Bila dikonfrontasikan dengan

situasi baru, pertama-tama organisasi akan mencoba respon-respon

kolektif yang diketahui.

d. Penghayatan Misi

Komponen terakhir dari budaya organsasi ini menekankan pada

pentingnya misi, atau definisi bersama dari suatu fungsi dan tujuan

organisasi serta anggotanya. Penghayatan misi memberi dua pengaruh

besar terhadap organisasi. Pertama, misi menentukan manfaat dan makna

dengan cara mendefinisikan peran individu berkenaan dengan peran

intuisi. Kedua, kesadaran akan misi memberikan arah dan sasaran yang

(43)

commit to user

kejelasan dan arah sehingga dapat mewujudkan kesuksesan yang memiliki

kemungkinan terbesar terjadi ketika individu mempunyai tujuan terarah

(Locke dalam Hartijasti, 2001).

Individu yang memiliki budaya organisasi yang kuat dinilai sebagai

karyawan yang paling kooperatif, dapat bekerja dengan banyak orang dan

memiliki preferensi yang paling kuat untuk mengevaluasi kinerja yang

memberikan kontribusi pada organisasi daripada untuk dirinya sendiri. Budaya

organisasi memiliki aspek-aspek dalam melakukan pengukurannya, dan Robbins,

(1991) menjelaskannya sebagai berikut:

a. Insiatif Individu, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam

mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas tingkatan

tanggung jawab, kebebasan, dan kemandirian yang dimiliki.

b. Risk Tolerance, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam

mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas dorongan

karyawan untuk dapat lebih agresif, inovatif, dan mau menghadapi resiko.

c. Direction, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam

mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas organisasi

menentukan tujuan yang akan dicapai dan kinerja yang diharapkan.

d. Integration, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam

mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas unit-unit

didalam organisasi didorong melakukan kegiatannya dalam satu

(44)

e. Management Support, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam

mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas para

manajer memberikan komunikasi yang jelas, bantuan, dan dukungan

terhadap bawahannya.

f. Control, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam

mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas peraturan

dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan

mengontrol perilaku karyawan.

g. Identity, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam

mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas anggota

mengidentifikasikan diri dari organisasi bukannya dengan kelompok kerja

atau bidang keahlian profesional.

h. Reward System, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam

mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas alokasi

penghargaan atau keahlian, gaji, dan promosi yang berdasarkan kriteria

hasil kerja karyawan.

i. Conflict Tolerance, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam

mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas dapat

mendorong karyawan untuk kritis terhadap konflik yang terjadi.

j. Communication Patterns, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu

dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas

(45)

commit to user

Ideologi organisasi atau budaya yang dimiliki organisasi dapat

mempengaruhi perilaku orang-orang yang terlibat didalamnya, kemampuan dalam

memenuhi kebutuhan dan permintaan secara efektif dan cara menyesuaikan diri

dengan lingkungan eksternalnya (Orlilowski dan Hoffman, 1997).

Berdasarkan aspek-aspek persepsi yang dikemukakan Sobur (2003) dan

Allport (Mar’at 1991) yakni : kognitif, afektif dan konatif. Selanjutnya aspek

budaya organisasi yang dikemukakan oleh Robbins (1991) ialah : insiatif

individu, risk tolerance, direction, integration, management support, control,

identity, reward system, conflict tolerance, dan communication patterns. Maka

dapat disimpulkan persepsi budaya organisasi dapat dilihat dari bagaimana

karyawan memberikan tanggapan secara kognitf, afektif dan konatif atas budaya

organisasi dimana dalam budaya organisasi terdapat aspek-aspek insiatif individu,

risk tolerance, direction, integration, management support, control, identity,

reward system, conflict tolerance, dan communication patterns (Robbins, 1991).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Budaya Organisasi

Budaya organisasi merupakan satu unsur terpenting dalam organisasi yang

mengarah pada perilaku yang dianggap tepat, mengikat, dan memotivasi anggota

yang ada di dalamnya. Kebudayaan akan mempengaruhi cara berpikir, sikap, dan

perilaku seseorang. Dengan demikian, pemahaman budaya organisasi menjadi

penting, mengingat adanya keanekaragaman budaya yang dibawa oleh karyawan

ke dalam organisasi. Martin, 1992 (dalam Lako, 2004), berpendapat bahwa

(46)

karyawan; kemauan untuk menerima resiko; kebebasan atau minat karyawan

untuk memberi ide-ide baru; keterbukaan untuk melakukan komunikasi secara

bebas dan bertanggung jawab. Secara tidak langsung ataupun langsung, budaya

organisasi dapat berupa hasil pemikiran dan tindakan-tindakan yang dilakukan

pendiri organisasi, meski tidak selalu demikian.

Budaya organisasi selalu dipengaruhi oleh persepsi masing-masing

karyawan terhadap hal tersebut. Rakhmat (1994), mengatakan bahwa persepsi

adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang

diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi

dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal, yaitu faktor perceiver,

obyek yang dipersepsi dan konteks situasi persepsi dilakukan.

Seiring dengan perkembangan organisasi, budaya organisasi dapat

mengalami transformasi dengan berbagai cara. Transformasi dari budaya

organisasi tersebut dipengaruhi oleh persepsi setiap karyawannya. Oleh karena

itu, Chatman dan Barsade (1997), mengungkapkan faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi persepsi budaya organisasi diantaranya adalah :

a. Identitas Organisasi, seperti memberikan penghargaan dengan mendorong

motivasi karyawan.

b. Komitmen Kolektif, yaitu fungsi budaya organisasi yang baik ialah

’sebuah organisasi dimana anggotanya bangga menjadi bagian darinya’.

c. Stabilitas Sistem Sosial, merupakan cerminan taraf dari lingkungan kerja

Gambar

Gambar 1. Proses Burnout (kaitan stress, strain, dan coping)
Gambar 2. Proses burnout menurut pandangan Leiter, keadaan yang dituju
  Gambar 3.
Tabel 2  Skala Persepsi Budaya Organisasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

“ PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KOMITMEN ORGANISASI TERHADAP MOTIVASI KERJA KARYAWAN PT. DJITOEINDONESIAN TOBACCO DI SURAKARTA ”. Skripsi ini disusun guna memenuhi

HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASI DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA KARYAWAN.. DI HOTEL

PENGARUH MOTIVASI, KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KEPUASAN DAN KINERJA.. KARYAWAN

penelitian tentang pengaruh komitmen organisasi, motivasi kerja, dan gaya. kepemimpinan terhadap

Persepsi karyawan terhadap pemimpin transformasional dan budaya organisasi dapat mengarahkan karyawan pada perilaku yang positif dan mendalam, maka diharapkan karyawan dapat..

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara employee engagement dan persepsi budaya organisasi dengan komitmen organisasi.. Populasi penelitian ini adalah

Berdasarkan masalah penelitian yang dikemukakan para peneliti diatas mengenai hubungan antara budaya organisasi, kepemimpinan, motivasi kerja dan kinerja karyawan, maka dirasa

Pada Industri Farmasi dimengertikan bahwa Budaya Organisasi cenderung dibentuk dalam rangka terciptanya hubungan dan komunikasi yang makin baik antara Karyawan dengan