46
Bab III
Perbandingan Teori Monisme-Dualisme dan
Teori Internasionalisme
Isu utama pembahasan Bab ini adalah perbandingan antara teori monisme-dualisme klasik atau tradisional dengan teori internasionalisme berkenaan dengan kedudukan hukum internasional dalam forum yudisial domestik (international law before municipal court). Atas dasar analisis komparatif tersebut penulis ingin mempertahankan argumen bahwa teori internasionalisme mampu memberikan dasar normativitas lebih kuat untuk penerapan hukum internasional oleh pengadilan domestik atau nasional suatu negara. Dengan demikian, pembahasan ini ingin mendukung prinsip bahwa “international law is law” yang implikasinya hukum internasional juga dapat diaplikasikan oleh pengadilan nasional dan teori internasionalisme sebagai theoretical underpinning-nya mengandung dasar normativitas lebih kuat ketimbang teori monisme-dualisme.
A.Kelemahan Teori Monisme-Dualisme
1. Teori Monisme-Dualisme Bersifat Teori Ex Post
47
facto.1 Ex post facto berarti “after the fact” atau
setelah kejadian.2 Dengan analisis ex post facto
maka posisi teori monisme-dualisme dapat digambarkan sebagai berikut: untuk membuat kesimpulan apakah suatu negara menganut monisme atau dualisme, maka akan dilihat terlebih dahulu praktik-praktik dalam sistem konstitusional suatu negara yang mengekspresikan karakter masing-masing teori monisme dan dualisme tersebut.3 Dalam pengertian demikian
teori monisme dan dualisme sangat sulit untuk diberi label sebagai hukum yang seyogianya bersifat ex ante dan mengharuskan. Analisis tersebut hanya sebatas menyatakan teori monisme dan dualisme sebagai pernyataan deskriptif (“is” statement); bukan pernyataan normatif (“ought” statement).
Teori monisme-dualisme merupakan outflow dari perspektif terhadap praktik-praktik negara4
yang kemudian menimbulkan gejolak tersendiri pada forum nasional yang berimplikasi
1Martin Dixon, Textbook on International Law:Seventh Edition,
Oxford: Oxford University Press, 2007, hlm. 94.
2 Henry Campbell Black, A Law Dictionary Containing
Definitions of The Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient, and Modern, New Jersey: The Lawbook Exchange, 1995, hlm. 453.
3 Rebecca M.M. Wallace, International Law: A Student
Introduction, London: Sweet & Maxwell, 1986), hlm. 33.
4Robert Kolb, “The Relationship Between The International And
The Municipal Legal Order: Reflections On The Decision No. 238./2014 Of The Italian Constitutional Court”. Diunduh dari
http://www.qil-qdi.org/wp-
48 memunculkan berbagai pandangan yang saling bertentangan oleh para ahli hukum dalam menginterpretasi sistem konstitusional suatu negara untuk menentukan apakah negara tersebut monis atau dualis. 5 Sebagai contoh Article VI
Konstitusi Amerika Serikat menyatakan, “All treaties made, or which shall be made, under the authority of the United States, shall be the supreme law of the land.” Seorang pengacara internasional akan menganggap bunyi Konstitusi di atas sebagai indikasi bahwa Amerika merupakan negara monis. Tetapi di sisi lain, The US Supreme Court justru memiliki pandangan berbeda dengan mengembangkan pembedaan treaties yang di antaranya adalah non-self-executing treaty dimana jenis treaty ini hanya bisa dilaksanakan apabila sesuai dengan legislasi nasional. Tindakan the US Supreme Court ini justru condong mendukung teori dualisme yang berseberangan dengan pendapat pengacara internasional sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa teori monisme-dualisme yang bersifat ex post ini akan menyelesaikan pertentangan pandangan di antara keduanya.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa teori monisme-dualisme yang bersifat ex post ini tidak cukup memadai sebagai instrumen untuk mengatribusikan normativitas bagi hukum internasional dalam sistem hukum nasional suatu negara. Teori tersebut hanya bersifat penyimpulan
49 atau inferensi dari praktik-praktik negara dalam sistem konsitusionalnya berkenaan dengan aplikabilitas hukum internasional melalui forum legislatif dan yudisial domestik.
2. Teori Monisme-Dualisme Kurang Mengandung
Nor mat i ve Cont ent
Kelemahan kedua adalah teori monisme-dualisme tidak memiliki daya mengharuskan berkaitan dengan isu aplikabilitas hukum internasional. Oleh karena itu teori ini tidak dapat digunakan dalam dasar pertimbangan putusan di pengadilan (semisal kasus mengenai tanggung gugat internasional). Lord Steyn dalam kasus the Tin Council Case antara J.H. Rayner (Mincing Lane) Limited v Department of Trade and Industry pada tahun 1990 di Inggris menjelaskan bahwa suatu kasus tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan monis atau dualis.6 Pertanyaan mengenai apakah
suatu negara menganut monisme maupun dualisme merupakan pertanyaan teoretis tanpa implikasi praktikal 7 karena teori
monisme-dualisme hanya digunakan untuk menjelaskan interaksi antara hukum internasional dan hukum nasional.8
6Martin Dixon, 2007,Op.Cit.,hlm. 94.
7 Benedetto Conforti, “Notes on the Relationship between
International Law and National Law” International Law FORUM du droit international Vol. 3, 2001, hlm.18.
8 Onkemetse Tshosa, “The Status of International Law in
Namibian National Law: A Critical Appraisal of the Constitutional
Strategy”. Diunduh dari
50 Article 27 the 1969 Vienna Convention on The Law of Treaties menyatakan bahwa “A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perform a treaty”. Suatu negara tidak dapat menggunakan hukum nasionalnya sebagai alasan untuk ketidakpatuhan terhadap hukum internasional. 9 Apabila
diterapkan dalam suatu sengketa, maka negara tidak dapat mengelak dari kewajiban internasional dengan alasan ia menganut teori dualisme.
3.Moni sm-Dual i sm Over l appi ng
Perbedaan cara pandang praktisi dalam menganalisis suatu negara berdasarkan teori monisme-dualisme menghasilkan kesimpulan bervariasi yang menunjukkan adanya praktik kedua teori secara bersamaan dalam negara tersebut.10 Misalnya, Konstitusi Amerika Serikat
mencerminkan pendekatan keduanya yakni dualist dan monistyang tergambarkan sangat kompleks.11
Kompleksitas lebih jauh nampak ketika negara adalah monist terhadap treaty law tetapi dualist terhadap hukum kebiasaan internasional12 atau
_Law_Journal/2010_1/NLJ_section_1.pdf pada tanggal 27 Oktober 2015 pukul 10.45 WIB.
9Louise Henkin, Op.Cit., hlm. 137.
10Lihat pembahasan pada sub teori ex post monisme-dualime. 11 Anthony Aust, Handbook of International Law: Second
Edition, New York: Cambridge University Press, 2010, hlm. 76 dan 78.
12 Tom Ginsburg, “Locking in Democracy: Constitutions,
51 terhadap jenis hukum internasional lainnya dan sebaliknya.
Amerika Serikat adalah negara monist secara efektif, namun ia dikatakan dapat menjadi dualist seiring dengan berkembangnya kekuasaannya 13
dan kini Amerika Serikat tengah berada pada sistem campuran, yakni “jalan” ketiga di antara monisme dan dualisme14. Seperti yang tertulis
pada Konstitusi Amerika Serikat bahwa treaties merupakan “Law of the Land” 15 , namun
praktiknya, sejarah membuktikan bahwa tidak semua treaties menjadi law of the land di negara Amerika Serikat.
Supreme Court Amerika Serikat membuat kategori “self-executing” dan “non-self-executing” treaties dimana kedua jenis treaties ini diperlakukan berbeda.16 Pengategorian treaties di
atas menekankan pada pertanyaan apakah perjanjian dapat dengan sendirinya berlaku di Amerika Serikat atau harus menunggu implementasi dengan legislasi atau tindakan administratif yang tepat.17 Terdapat dua kasus di
Amerika Serikat yaitu Sei Fujii v. California dan
13 Vicki C. Jackson, Constitutional Engagement in a
Transnational Era, New York: Oxford University Press, 2010, hlm. 65.
14Tae-Ung Baik, Emerging Regional Human Rights Systems in
Asia, New York: Cambridge University Press, 2012, hlm. 69.
15Ciri konstitusional monisme dalam Amerika Serikat.
16Eric A. Posner dan Alan O. Sykes, Economic Foundations of
International Law, London: The Belknap Press of Harvard University Press, 2013.
52
Foster v. Neilson yang menggambarkan kerangka kedua jenis treaties tersebut.
Pada kasus Sei Fujii v. California, the Alien Land Law negara California yang mengandung pembatasan kepemilikan tanah dinilai inkonstitusional dengan Universal Declaration of Human Rights dan the United Nations Charter.18
Kasus ini menunjukkan bahwa UDHR dan UN Charter adalah hukum internasional yang bersifat self-executing sehingga dapat diterapkan langsung di wilayah hukum nasional tanpa perlu adanya transformasi ke dalam bentuk legislasi nasional. Nampak bahwa hal ini sudah sesuai dengan sifat negara monist. Namun pada kasus yang lain yaitu Foster v. Neilson, praktik dualisme justru terjadi. Dalam kasus tersebut, Chief Justice Marshall berargumentasi bahwa sebuah perjanjian harus dilihat juga sebagai kontrak antar negara, bukan sebagai sebuah legislative act.19 Oleh karena ia
merupakan sebuah kontrak, maka sifat dari perjanjian tersebut harus dilihat pada “bahasa kontrak” yang kemudian hakim akhirnya memutus bahwa perjanjian antara Amerika Serikat dan Spanyol dalam amity, settlement, and limits tersebut adalah perjanjian yang non-self-executing karena terdapat frasa “shall be ratified and
18 Jane Dailey, “Race, Marriage, and Sovereignty in the New
World Order”Theoretical Inquiries in Law Vol. 10,2009, hlm. 562.
19 Srini Sitaraman, State Participation in International Treaty
53
confirmed” (harus diratifikasi dan dikonfirmasi).20
Pemerintah federal seharusnya menentukan apakah suatu perjanjian bersifat self-executing atau non-self executing yang menuntut adanya peraturan pelaksana atau tindakan administratif lanjutan yang dibutuhkan.21
Apa yang digambarkan dalam kedua contoh kasus di atas adalah adanya praktik monisme dan dualisme dalam negara monist. Tidak hanya terjadi di negara monist, kedua praktik tersebut juga dapat terjadi di negara dualist.
Belgia merupakan negara yang secara formal adalah negara dualist, namun pengadilan negaranya menganut monisme kaitannya dengan European Court of Human Rights (ECHR) dan European Union (EU) Law. 22 Bahkan sebuah
laporan nasional memaparkan bahwa ECHR telah memberikan pengaruh selama lebih dari 3 dekade pada Belgia, lebih dominan daripada Perancis yang notabene adalah negara monist23. Hal tersebut
disebabkan hakim Belgia menganggap konvensi HAM merupakan supra-legislative yang diterapkan secara langsung, sedangkan hakim Perancis beranggapan tidak dapat diterapkan secara
20Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 99. 21Tae-Ung Baik, Loc.Cit.
22Helen Keller dan Alex Stone Sweet, “Assessing Impact of the
ECHR on National Legal Systems” Yale Law School: Faculty Scholarship Series Paper 88, 2008, hlm. 683.
54 langsung sehingga tercipta adanya gap antara status Convention’s de jure dan de facto.24
Ketimpangan teori tersebut nyatanya juga terjadi di Indonesia. Di satu sisi, Indonesia nampak menganut teori monisme. 25 Pertama, menurut
Damos Dumoli Agusman yang terlibat dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional menerangkan bahwa Undang-Undang a quo tidak ditujukan untuk mengklarifikasi status perjanjian internasional yang diratifikasi oleh Indonesia karena drafters dan Kementerian Luar Negeri telah mengasumsi Indonesia adalah negara monisme. Maksudnya adalah, Undang-Undang tersebut dibentuk untuk kepentingan pencatatan pada Lembaran Negara sehingga dapat diketahui semua warga negara Indonesia. Kedua, tindakan Mahkamah Agung RI menggunakan prinsip the diplomatic community pada Article 31 the 1961 Vienna Convention on Diplomatic Relations untuk menyelesaikan kasus Kedutaan Arab di Indonesia meski ketentuan dalam Konvensi yang sudah diratifikasi tersebut belum ditransformasikan ke dalam hukum nasional. Dari kedua hal di atas, maka dapat dilihat bahwa Indonesia adalah negara monist.
Di sisi lain, Indonesia nampak sebagai negara dualist.26 Contoh pertama adalah the 1982
24Helen Keller dan Alex Stone Sweet,Loc.Cit. 25Simon Butt, Op.Cit., hlm 7-9.
55
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Ratifikasi Konvensi tersebut dengan UU No. 17 Tahun 1985 nyatanya tidak serta merta mengganti UU No. 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia sampai 10 tahun kemudian ia terganti dengan UU No. 6 Tahun 1996 yang menerapkan UNCLOS. Contoh kedua adalah penolakan Mahkamah Agung RI untuk menerapkan the 1958 New York Convention on Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards. Meski Konvensi tersebut telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981, hal tersebut tidak serta merta langsung berlaku di Indonesia karena belum ada peraturan pelaksananya.27 Penerapan Konvensi tersebut baru
dapat dilakukan setelah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang memperbolehkan hakim untuk mengaplikasi Konvensi tersebut. Dalam hal ini, karakter dualisme sangat kuat dipraktikkan di Indonesia.
Praktik-praktik negara di atas menunjukkan terjadi simpang-siur atau tumpang tindih (overlapping) praktik monisme dan dualisme dalam suatu negara monist atau dualist. Overlapping ini menyimpulkan bahwa pemisahan teori monisme-dualisme nyatanya nampak kabur pada
27 Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional,
56 praktiknya28 dan tidak dapat digunakan secara
murni untuk menjustifikasi normativitas hukum internasional dalam ruang lingkup nasional sehingga perlu adanya dasar analisis lain yang lebih memadai untuk memberikan normativitas hukum internasional dalam sistem hukum nasional suatu negara.
B.Teori Internasionalisme Sebagai Alternatif yang Lebih Memadai
Teori monisme-dualisme kurang memiliki kandungan normatif di mana proposisi-proposisinya sebagai preskripsi seyogianya bersifat ex-ante. Oleh karena itu wajar kiranya jika pengadilan tidak pernah menggunakan teori monisme-dualisme sebagai dasar argumen dalam putusannya. Hal itu karena pengadilan harus memutuskan berdasarkan hukum; a fortiori, teori monisme-dualisme hanya sekadar teori, tidak ditanggapi sebagai hukum oleh pengadilan.
Pada dasarnya, normativitas penggunaan hukum internasional dalam wilayah nasional tergantung pada aturan konstitusional setiap negara, bukan atas dasar teori monisme-dualisme. 29
Konstitusi ataupun aturan konstitusional menjadi pegangan bagi para hakim untuk menggunakan hukum internasional di ranah domestik. Namun
28 Thomas Cottier, “International Trade Law: The Impact of
Justiciability and Separations of Powers in EC Law” Working Paper No. 2009/ 18, 2009, hlm. 3.
57 sayangnya, teori monisme-dualisme tidak melihat konstitusi sebagai dasar normativitas, melainkan hanya melihat pada praktik negara semata dan kemudian melakukan generalisasi secara ex post.
Negara yang dijustifikasi sebagai negara dualist melalui teori monisme-dualisme akan mengatakan bahwa “International law is not ipso facto part of municipal law” (hukum internasional tidak serta merta dianggap sebagai hukum nasional). 30 Oleh
sebab itu, segala hukum internasional harus menempuh proses transformasi melalui ratifikasi dan peraturan nasional terlebih dahulu. 31 Ini adalah
salah satu cara pandang dari teori monisme-dualisme yang lemah.
Proses transformasi32 maupun inkorporasi33
merupakan suatu metode bagaimana suatu negara menginternalisasi norma-norma hukum internasional34. Hal tersebut sebenarnya tidak lantas
menunjukkan apakah negara itu monist atau dualist. Maksudnya, tidak menutup kemungkinan apabila suatu negara yang disebut dualist juga perlu melakukan proses inkorporasi terhadap norma-norma hukum internasional tertentu. Apabila suatu
30Martin Dixon, Op.Cit., hlm. 74. 31Bahakal Yimer dkk., Loc.Cit.
32Case Regina vs. Keyn (1876), definisi transformation adalah
suatu proses legislasi yang dibutuhkan untuk mengubah hukum internasional menjadi bagian dari the law of the land. Damos Dumoli Agusman, Op.Cit.,hlm. 91.
33Lauterpacht mengatakan bahwa inkorporasi adalah tindakan
negara untuk membuat hukum internasional dapat diterapkan di hukum nasional tanpa mengubah dasar hukumnya. Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 85.
58 negara (dualist) dituntut mutlak untuk selalu menggunakan teori transformasi, maka hal ini akan menjadi kendala besar bagi suatu negara. Transformasi membutuhkan waktu yang relatif lama serta proses yang relatif panjang dan kompleks sehingga negara akan kesulitan dalam menggunakan hukum internasional.
Secara substansial, transformasi tidak absolut untuk dilakukan.35 Transformasi dibutuhkan apabila
hukum internasional secara spesifik memberi mandat kepada negara untuk membuat legislasi nasional lebih lanjut seperti sanksi pidana dan lain-lain. Hal serupa dapat ditemui pada perjanjian internasional TRIPs yang telah diratifikasi Indonesia kemudian memberi kewajiban internasional kepada Indonesia untuk mengharmonisasikan seluruh peraturan mengenai hak kekayaan intelektual. 36
Terhadap peraturan sejenis ini, maka transformasi dibutuhkan.
Namun di sisi lain, perlu dipahami bahwa terdapat norma-norma hukum internasional yang sifatnya self-executing37, misal yang berkaitan dengan
hak asasi manusia. Terhadap norma sejenis ini, maka teori inkorporasilah yang tepat diterapkan. Inkorporasi diperlukan untuk norma-norma yang bersifat dapat diterima secara universal seperti contoh kasus Roper v. Simmons dimana Missouri
35Sarah H. Cleveland, Op.Cit., hlm. 10. 36Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., hlm. 71.
37Penerapan perjanjian internasional/treaties secara langsung.
59
Supreme Court akhirnya menghapuskan hukuman pidana mati bagi anak di bawah umur dengan menggunakan pertimbangan yang ditarik dari prinsip-prinsip hukum internasional terkait hak asasi manusia.38 Pada poin inilah hakim memiliki
peran besar dalam menginterpretasi norma hukum internasional tanpa perlu adanya proses transformasi untuk menggunakan norma tersebut.
Teori internasionalisme memiliki kelebihannya sendiri dalam menyikapi cara pandang teori monisme-dualisme yang telah dijelaskan di atas. Jika disandingkan dengan teori monisme-dualisme, konsep international constitution nampak berada di jalur teori monisme 39 namun teori ini memiliki
jawaban dengan argumentasi berbeda dengan sekedar jawaban ex post yang ditawarkan teori monisme-dualisme.
Melalui teori international constitution, dasar legitimasi penggunaan hukum internasional terletak pada 3 hal yaitu konstitusi, interpretasi hakim, dan kerangka perlindungan hak asasi manusia (bukan pada cerminan praktik-praktik negara yang tidak memiliki normativitas di pengadilan nasional). Teori ini memberi peluang bagi setiap negara untuk memanfaatkan hukum internasional dalam wilayah domestik meski konstitusi negara tidak menyebutkan secara eksplisit pada teksnya. Hakim dapat menginterpretasi konstitusi tidak hanya secara
38Karen M. Hess dkk., Juvenile Justice: Sixth Edition, Belmont:
Wadsworth, 2013, hlm. 328.
60 tekstual namun juga mencakup kontekstual. Artinya, apabila konstitusi suatu negara tidak menyatakan secara eksplisit bagaimana posisi hukum internasional di ranah nasional (seperti tertuang pada konstitusi Afrika Selatan yang dengan tegas menyatakan posisi hukum internasional), maka teori ini memberi jalan bagi hakim untuk melakukan interpretasi terhadap konstitusinya sehingga ia mendapat legitimasi penggunaan hukum internasional sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Ini adalah sudut pandang yang ingin dijunjung teori international constitution pada level nasional.
Teori international constitution juga telah memberi rambu-rambu dalam hal norma-norma hukum internasional seperti apa yang dapat diterapkan seorang hakim supaya terhindar dari penerapan hukum internasional yang abusive terhadap hukum nasional. Pertimbangan hakim terhadap norma hukum internasional tertentu merupakan wujud konkret bagaimana pengadilan melakukan suatu filtering terhadap norma hukum internasional yang dapat diberlakukan di negaranya. Hal tersebut tercermin dalam kasus Sei Fujii v. State.40 Dalam kasus tersebut, pengadilan menilai
bahwa ketentuan hak asasi manusia dalam UN Charter bersifat self-executing yang sesuai dengan
40 Sei Fujii v. State. 97 A.C.A. 154, 217 P. 2d 481 (1950).
61 Konstitusi AS sehingga hakim menilai ketentuan tersebut dapat langsung diterapkan di pengadilan nasionalnya tanpa harus mendapati proses transformasi.
Sedangkan pada level internasional, teori internasionalisme memiliki teori Transnational Legal Proses yang mengandung daya keberlakuan hukum internasional yang lebih kuat ketimbang teori monisme-dualisme. Sebagaimana dijelaskan pada Sub-judul sebelumnya, teori ini mempunyai 3 tahap proses yakni interaksi, interpretasi, dan internalisasi norma hukum internasional. Ketiga proses tersebut dilandasi oleh kebutuhan negara dan subyek hukum lainnya untuk memanfaatkan hukum internasional di wilayah nasional yang kemudian menghasilkan kewajiban internasional bagi setiap pihak untuk patuh atau berlaku sesuai dengan hukum internasional. Alasan kepatuhan inilah yang menjadi salah satu legitimasi kuat penggunaan hukum internasional di ruang lingkup nasional, sekaligus hal yang tidak dapat dijelaskan oleh teori monisme-dualisme karena ia tidak mengaitkan bangunan teorinya dari sisi ini.
62 diberlakukan dalam sistem hukum nasional setiap negara. Justice Stephen Breyer dalam kasus Printz v. United States berpendapat meskipun konstitusi setiap negara berbeda, namun terdapat pengalaman-pengalaman sama yang terjadi di negara-negara dapat menjadi pertimbangan solusi yang bisa diterapkan di suatu negara lain. 41 Pernyataan
tersebut digambarkan dalam putusan pengadilan nasional yang secara konsisten merujuk pada hukum internasional dari jaman ke jaman. 42 Fenomena
tersebut merupakan gambaran bahwa sesungguhnya international law is law yang berimplikasi dapat diterapkannya di wilayah domestik pula dan turut mendukung pernyataan Harold Koh mengenai “International law as part of our law”. Bahwa ketika suatu negara melakukan 3 proses hukum transnasional, maka negara tersebut tidak lagi secara eksklusif bergerak di wilayah domestik lagi. Negara tersebut telah mengambil hukum internasional untuk diterapkan sebagai bagian dari hukum nasional.
Berdasarkan argumen komparatif antara teori internasionalisme dan teori monisme-dualisme di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teori internasionalisme memiliki dasar normativitas yang lebih kuat dan memadai ketimbang teori monisme-dualisme. Oleh karena itu, sudah selayaknya teori monisme-dualisme tidak digunakan untuk
41Harold Hongju Koh, “International Law as Part of Our Law,”
The American Journal of International Law Vol. 98, 2004, hlm. 46.